Anda di halaman 1dari 10

Perjanjian Annapolis

Israel, Palestina Sepakat Upayakan Perjanjian Damai Sebelum Akhir 2008 Presiden Bush mengatakan Pihak Israel dan pihak Palestina sepakat untuk memulai lagi perundingan yang lama terhenti dalam upaya mencapai perjanjian perdamaian duanegara sebelum akhir tahun 2008.Bush membuat pengumuman itu selagi ia membuka konferensi Timur Tengah hari ini, di Annapolis, Maryland. Ia membacakan dokumen bersama pemerintah Israel dan pemerintah Palestina yang menyatakan tekad untuk menghentikan puluhan tahun pertumpahan dan dan menyambut kedatangan era perdamaian.Dalam pernyataannya setelah pidato Bush, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengimbau agar orang Palestina memiliki Jerussalem Timur sebagai ibukota mereka. Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, dalam kata sambutannya, mengatakan menyelesaikan konflik akan menyakitkan, tetapi tidak bisa dielakkan. Ia menandaskan komitmen Israel bagi proses perdamaian itu sekalipun adanya serangan-serangan Palestina termasuk peluncuran roket ke beberapa daerah Israel selatan oleh pihak militan di Gaza. Sementara itu, polisi Palestina di Tepi Barat menggunakan kekerasan untuk membubarkan demonstrasi menentang konferensi Perdamaian Timur Tengah di Annapolis , Maryland.Tim medik Palestina mengatakan satu orang tewas akibat luka peluru di Hebron sementara pasukan keamanan yang setia kepada Presiden Mahmoud Abbas melepaskan tembakan ke udara dan menggunakan pentung terhadap para demonstran. Polisi juga membubarkan aksi-demo di Ramallah, Nablus dan Jenin.Demonstrasi lebih besar terjadi di Jalur Gaza yang dikuasai Hamas. Puluhan ribu orang Palestina berkumpul di kota Gaza untuk memprotes konferensi Annapolis itu.Seorang tokoh terkemuka dalam Hamas, Ismail Haniyeh, mengimbau negara-negara Arab mencabut apa yang disebutnya pengepungan Gaza. Ia mengatakan negara-negara Arab sebaiknya jangan menjadi antek-antek ke konferensi yang menurut dia tidak menawarkan apapun

Hari ini, Kota Annapolis di negara bagian Maryland menjadi tuan rumah pelaksanaan konferensi yang disebut Konferensi Perdamaian Timur Tengah. Direncanakan dalam konferensi ini akan dibicarakan beberapa agenda penting. Di antaranya pembentukan negara merdeka Palestina dan pengakuan resmi Rezim Zionis Israel oleh sebagian negara-negara Arab. Dalam sidang tingkat Menteri Luar Negeri negara-negara Arab dan Rezim Zionis Israel, Presiden Amerika, George W. Bush, Perdana Menteri Rezim Zionis Israel, Ehud Olmert dan Pemimpin Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, diagendakan turut menghadiri sidang itu. Presiden Amerika, George W. Bush, sehari sebelum dibukanya konferensi Annapolis, berusaha keras meyakinkan agar dunia tidak terlalu berharap keberhasilan konferensi ini. Namun, ia tetap

menaruh harapan banyak dari hasil konferensi ini. Sekalipun tetap menegaskan bahwa cukup sulit bagi kedua belah pihak untuk menyepakati perdamaian. Mayoritas pengamat politik meyakini konferensi Annapolis tidak berbeda jauh dengan perundingan-perundingan sebelumnya seperti konferensi Madrid, Oslo, Kamp David, dan Way River sejak 15 tahun lalu tidak memberikan hasil nyata. Sikap pesimis ini juga dapat dibaca dari pernyataan pejabat-pejabat Otoritas Palestina atau Rezim Zionis Israel. Mereka sama punya keyakinan bahwa konferensi Annapolis tidak dapat menyelesaikan krisis asli Palestina. Presiden Amerika, George W. Bush, dan jajarannya memerlukan sebuah proyek prestisius di Timur Tengah sebelum meninggalkan Gedung Putih. Proyek itu bernama konferensi yang dipublikasikan bertujuan damai di Annapolis. Padahal semua tahu berbarengan dengan pelaksanaan konferensi ini, politik ekspansif dan invasi militer Rezim Zionis Israel belum ditemukan adanya perubahan apapun. Bush berbicara soal pendirian negara Palestina merdeka, sementara pada saat yang sama Rezim Zionis Israel menekankan pendudukan abadi Baitul Maqdis sekaligus melanjutkan proyek pembangunan dinding pemisah di kawasan Palestina di daerah Tepi Barat Sungai Jordan. Belum lagi rezim terkutuk ini mengembargo satu setengah juta rakyat Palestina di Gaza. Bila didiamkan, di Jalur Gaza bakal terjadi tragedi kemanusiaan. Oleh karenanya, berunding dengan penjajah yang didukung oleh dunia internasional, khususnya Amerika, tidak akan pernah berhasil. Bangsa Palestina dan negara-negara Arab menentang keras perundingan Annapolis. Ini membuat visi perdamaian Timur Tengah yang dicita-citakan Amerika tidak diterima di sana. Dukungan besar rakyat Palestina terhadap pemerintah persatuan nasional Palestina di bawah kepemimpinan Ismail Haniyah menjadikan Mahmoud Abbas tidak punya kekuatan. Mahmoud Abbas tidak dapat dijadikan wakil resmi bangsa Palestina untuk melakukan perundingan dengan Rezim Zionis Israel. Bahkan, penandatangan kontrak yang dilakukan sebelumnya oleh Mahmoud Abbas tidak membawa perdamaian dan ketenangan di kawasan. Di sini, pemenang dari kehadiran negara-negara Arab di meja perundingan dengan Rezim Zionis Israel adalah Amerika. Tujuannya cuma satu, konferensi ini harus bisa mendongkrak kegagalan Amerika di Irak, Afghanistan dan Lebanon. Believe It Or Not! http://abatasya.net

Belum genap seminggu pertemuan Annapolis, Israel mementahkan kembali kesepakatannya untuk mewujudkan perdamaian dengan Palestina pada tahun 2008. Di hadapan kabinetnya, PM Israel Ehud Olmert mengatakan bahwa ia tidak terikat dengan batas waktu itu. "Kita akan berupaya untuk mempercepat negosiasi dengan harapan kita bisa mencapai hasil pada akhir tahun 2008, tapi tidak ada komitmen untuk jangka waktu yang pasti untuk penyelesaiannya, " ujar Olmert. Di depan anggota kabinetnya, Olmert juga mengatakan bahwa Israel harus hati-hati dan ia tidak akan membuat konsesi apapun jika Palestina tidak mengambil sikap yang sama dengan upaya Israel mewujudkan perdamaian itu. Ia menyatakan, kemajuan dalam mencapai perdamaian tergantung pada kepatuhan Palestina terhadap komitmen yang sudah ditetapkan AS dalam Peta Jalan Damai. "Dengan kata lain, Israel tidak harus melakukan komitmen apapun yang ditetapkan dalam kesepakatan-kesepakatan sebelum semua komitmen dalam Peta Jalan damai dipenuhi, " tukas Olmert. Pernyataan Olmert mementahkan kembali janjinya dalam konferensi Annapolis, setelah sebelumnya, AS juga menarik draft resolusi PBB yang akan mengesahkan kesepakatan Annapolis. Alasan AS menarik resolusi itu, karena resolusi tersebut dianggap tidak pantas. Israel sendiri tidak menunjukkan niat baiknya untuk berdamai dengan Palestina. Karena sejak Konferensi Annapolis berlangsung, hingga ada kesepakatan, Israel terus melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap warga Palestina. Hari Minggu (2/12) Israel menembakkan senjata-senjata artilerinya ke wilayah Jalur Ghaza, yang menyebabkan seorang pejuang Palestina tewas dan lima orang lainnya luka-luka. Militer Israel mengatakan, mereka menembak "bayangan mencurigakan" yang mengendap-endap di perbatasan. Beberapa jam sebelumnya, tiga prajurit Israel mengalami luka ringan akibat serangan mortir dari Jalur Ghaza. (ln/iol/aljz) http://www.eramuslim.com

perjanjian annapolis

konferensi annapolis
konferensi annapolis itu terjadi pada tanggal 27 nov 2007 dan di adakan di annapolis,maryland.di sana di hadiri dari 40 negara terutama negara indonesia,malaysia,turki.kemudian davit welch berkata"berharap agar palestina dan israel mencapai posisi bersama untuk memulai perundingan secara serius".departemen luar negeri telah menyebarkan undangan bagi 100 delegasi dari 40 negara.

Konferensi Annapolis Tak Berguna

Musthafa Abd Rahman

Konferensi damai Timur Tengah di Annapolis, Maryland, AS, dimulai hari Selasa, 27 November. Rencana dan isi konferensi itu lebih maju dari konferensi sebelumnya. Namun, hasilnya diperkirakan akan nihil. Hampir 50 negara, termasuk Indonesia; serta lembaga regional dan internasional diundang menghadiri konferensi tersebut. Dalam konteks banyaknya peserta, konferensi damai Annapolis seperti sebuah proyek ambisius. Konferensi Annapolis hanya bisa ditandingi konferensi Madrid tahun 1991. Sasaran konferensi Annapolis lebih maju. Konferensi Madrid hanya menegaskan kerangka dasar, yaitu resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB Nomor 242 dan Nomor 338, yakni soal tanah Palestina dengan imbalan perdamaian. Konferensi Annapolis dibekali perangkat yang lebih lengkap dengan berpijak pada dua resolusi DK PBB itu, dilengkapi dengan mekanisme pelaksanaan yang dituangkan dalam konsep peta perdamaian. Konsep ini diprakarsai kuartet (AS, PBB, Uni Eropa, dan Rusia) tahun 2002. Sasaran kuartet jelas, yaitu berdirinya dua negara Israel dan Palestina yang berdampingan secara damai. Tak saling percaya Konferensi Annapolis didukung dengan solusi yang sempat disepakati pada konferensi Camp David II tahun 2000, yang mencari solusi atas permukiman Yahudi dan kota Jerusalem Timur.

Apakah konferensi Annapolis dijamin sukses? Belum tentu. Kepentingan AS, Israel, dan juga dunia Arab serta regional secara keseluruhan adalah terwujudnya dua negara ideal itu. AS dan Israel melihat berdirinya negara Palestina menjadi sebuah keniscayaan. Ada beberapa faktor, di antaranya adalah ancaman demografi di mana penduduk Palestina dalam 15 tahun mendatang akan menjadi mayoritas di wilayah Israel dan Palestina sekarang. Pertumbuhan penduduk Palestina sangat tinggi. Kekuatan militer faksi-faksi seperti Hezbollah, Hamas, dan faksi-faksi Palestina atau Arab lain semakin berkembang. Mereka akan berpikir serius terhadap eksistensi negara Israel. Faksi-faksi bersenjata di Irak sekarang yang punya pengalaman berperang melawan pasukan AS tidak mustahil mengalihkan sasarannya pada Israel jika masalah Irak nanti sudah selesai. Faksi-faksi Sunni maupun Syiah di Irak sekarang sama-sama dikenal anti-Israel. Konferensi Annapolis keterpencilannya. hanya merupakan upaya Israel untuk keluar dari

Lalu, apakah negara Palestina yang ideal bisa diwujudkan? Pengganjal dari semua konferensi perdamaian Timur Tengah tetap tidak berubah, yakni tiadanya saling percaya antara Palestina dan Israel. Juga ada tantangan kubu radikal dari kedua belah pihak. Ketidakmampuan melaksanakan apa yang telah ditandatangani makin kecil. Ini adalah problem klasik, yang membuat proses perdamaian di Timur Tengah selalu terseok-seok. Kasus tewasnya mendiang PM Yitzhak Rabin pada tahun 1995 oleh tembakan ekstremis Yahudi, misalnya, telah menggagalkan atau membuyarkan harapan-harapan pada kesepakatan Oslo. Seandainya Yitzhak Rabin masih hidup, mungkin jalannya sejarah akan lain. Ada bukti betapa kubu radikal berandil besar menggagalkan sebuah proses perdamaian. Harapan kosong Dalam konteks konferensi Annapolis, di permukaan para pejabat AS, Israel, dan Arab selalu berusaha memberi harapan. Namun, situasi di lapangan sangat berbeda. Harian Israel, Haaretz, Kamis (22/11), membocorkan draf dokumen politik bersama yang gagal dicapai antara perunding Israel dan Palestina.

Dalam draf itu Israel menolak memecah kota Jerusalem dan membahas isu nasib pengungsi Palestina, serta menuntut Palestina mengakui negara Israel sebagai negara Yahudi. Palestina menolak hal itu. Gagalnya perundingan pendahuluan itu membuat konferensi Annapolis tak berhasil. Lalu, untuk apa lagi berangkat ke Annapolis kalau di belakang sudah berantakan? Itulah yang membuat banyak analis menyebut konferensi damai Annapolis hanya sekadar konsumsi publik untuk memperbaiki citra pemerintahan Presiden AS George W Bush yang akan mengakhiri jabatannya pada tahun 2008.
Mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kessenger di harian Asharq Al-Awsat, Selasa (30/10), mengatakan, konferensi damai Annapolis bisa saja melahirkan kesepakatan. Namun, siapa yang mampu melaksanakannya? Pesimisme Kessenger tidak berlebihan.

Konferensi Annapolis untuk Solusi Palestina


Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook Reaksi: Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 26 27 November 2007, telah diselenggarakan konferensi internasional mengenai proses perdamaian Timur Tengah di Annapolis, Maryland, Amerika Serikat (AS). Konferensi yang secara langsung dipimpin oleh Presiden AS George.... W. Bush tersebut secara khusus juga mengagendakan proses perdamaian Israel-Palestina yang mencakup enam masalah pokok di antaranya, Negara Kedaulatan Palestina, status final Kota Jerusalem sebagai ibukota Palestina, perbatasan, pengungsi Palestina, permukiman Yahudi, keamanan, dan pembagian sumber air (www.republika.co.id, 22/11/07) Konferensi ini telah dihadiri oleh lebih dari 40 negara dan organisasi, termasuk Saudi Arabia, Syria, dan Indonesia walaupun negara-negara ini tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Konferensi ini pula yang telah menandai untuk pertama kalinya, pemimpin Palestina dan Israel bertemu di meja perundingan setelah tujuh tahun. Terakhir, perundingan di antara kedua pihak yang bertikai itu terjadi pada tahun 2000 di masa Presiden Bill Clinton. Skeptisisme Kesuksesan Konferensi

Konferensi Annapolis merupakan yang kesekian kalinya diselenggarakan sejak Israel manganeksasi Palestina sejak hampir 60 tahun yang lalu. Sebelumnya, pernah pula

diselenggarakan Konferensi Madrid (Oktober 1991), perjanjian Oslo (September 1993) serta yang terakhir dengan diajukannya Peta jalan (road map) yang diprakarsai kwartet AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB. Namun alih-alih menyelesaikan masalah, pertemuan-pertemuan yang diadakan tidak pernah menghasilkan sesuatu kecuali bertambahnya legalitas Israel untuk merampas tanah Palestina serta bergulirnya proses normalisasi hubungan antara Israel dengan negara-negara Arab. Sehingga tidak heran banyak pihak yang bahkan sejak jauh-jauh hari merasa skeptis terhadap keberhasilan Konferensi Annapolis ini. Apalagi dalam sejarahnya, Israel tidak pernah mau tunduk pada hasil perundingan, kecuali dengan sesuatu yang jelas menguntungkan mereka saja. Sehingga kuat dugaan, krisis Palestina pun akan terus berlarut-larut dan berkepanjangan. Keadaan ini pula yang akan tetap di jaga oleh AS sehingga hal ini akan menghabiskan energi dan memupus harapan kaum Muslim. Dengan begitu, pada saatnya nanti kaum Muslim kahabisan energi dan putus asa sehingga menerima setiap bentuk tawaran AS yang didakwakan sebagai solusi. Sehingga dengan demikian, pengaruh AS akan tetap eksis di Timur Tengah. Lebih dari itu, bagi Bush sendiri Konferensi Annapolis yang diselenggarakan di saat mendekatnya jadwal pemilu AS, bisa jadi hanya sebatas komoditas politik yang dianggap bisa sedikit mengangkat pamornya di dalam negeri AS sekaligus memperkuat pengaruh Bush di Timur Tengah setelah dia babak belur akibat kebijakannya di Irak, serta keruntuhan mercu suar demokrasinya dari Pakistan hingga Libanon. Maka pantaslah, banyak pihak yang merasa heran terhadap niat baik Bush ini. Salah satunya sebagaimana yang diungkapkan oleh media representative Hizbut Tahrir Inggris, Dr. Imran Wahid, Bagaimana mungkin George Bush yang tangannya berlumuran darah lebih dari 650.000 warga sipil Iraq dan yang beberapa tahun yang lalu mendukung serangan briutal yang dilancarkan Israel atas Libanon berbicara tentang perdamaian? (www.hizb.org.uk,27/11/07). Bagi Israel, Konferensi Annapolis hanya dijadikan sebatas manuver politik dan publikasi saja untuk mencari simpati dunia Arab dan yang terpenting adalah melakukan normalisasi dengan negara-negara Arab. Hal ini cukup beralasan, mengingat Israel sebagai negara baru di Timur Tengah butuh hidup damai dengan tetangganya. Normalisasi dengan negara negara Arab merupakan sebuah upaya untuk mengubah situasi perang menjadi situasi yang penuh kekeluargaan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dalam pembukaan konferensi Annapolis, Selasa (27/11) Presiden AS George W. Bush mendesak negara-negara Arab agar melakukan normalisasi hubungan dengan Israel dan menunjukkan baik dalam perkataan dan sikap bahwa mereka percaya Israel dan rakyatnya harus memiliki "rumah" di Timur Tengah. (www.kispa.org, 28/11/07), Sedangkan bagi Palestina sendiri, konferensi ini tidak menghasilkan keuntungan sedikit pun. Karena memang Konferensi Annapolis dan juga konferensi-konferensi yang lainnya sudah dirancang seperti itu; yakni konferensi atau perundingan-perundingan yang semacamnya yang tidak pernah menyentuh persoalan mendasar dari krisis yang berkepanjangan ini. Keadaan inilah yang sudah disadari oleh takyat Palestina. Hal tesebut terbukti dari tantangan keras rakyat Palestina baik yang berada di wilayah pendudukan maupun di pengungsian serta penolakan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Palestina di Eropa. Misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh ribuan rakyat Palestina secara serentak melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di Palestina di saat berlangsungnya Konferensi Annapolis untuk menolak Konferensi itu. Aksi yang dimotori oleh Hizbut Tahrir Palestina ini juga telah mengungkap pengkhianatan para pemimpin Arab. (www.Suara-Islam.com,28//11/07). Aksi serupa dilakukan pula oleh Hamas sebagai pemenang pemilu pada tahun 2006 lalu. Dengan kata lain, Presiden

Palestina, Mahmoud Abbas yang mengadiri konferensi ini sebenarnya tidak memiliki dukungan dari rakyatnya sendiri atas semua konsesi yang di hasilkan dari konferensi tersebut. Sehingga Posisi politik Presiden Palestina Mahmoud Abbas saat ini bisa diibaratkan setengah mati. Dia bisa mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat tapi tidak dari mayoritas rakyatnya sendiri. Di samping itu, tidak di ikutsertakannya kelompok yang non-kooperatif dengan Israel semacam Hamas dan juga kekuatan perlawanan rakyat Palestina lainnya dalam konferensi ini bisa jadi sebagai sebuah upaya untuk memarginalkan kelompok teroris (sebagaimana yang di tuduhkan Amerika) yang jumlahnya mayoritas itu. Dengan melihat kenyataan di atas, tidak heran banyak pengamat yang melihat Konferensi Annapolis ini hanya bertujuan untuk memaksakan normalisasi gratis (antara Israel dan negara Arab) dan berusaha memecah belah pemerintah-pemerintah Arab, memperdalam perpecahan di internal Palestina serta memperkuat embargo atas Jalur Gaza dan Hamas. Dengan kata lain konferensi ini hanya akan menguntungkan Amerika Serikat dan Israel. Posisi Negara-Negara Arab dan Indonesia pada Koferensi Annapolis Kelemahan politik luar negeri (polugri) tampaknya sudah menjadi penyakit akut yang menjangkiti Negara-Negara Arab dan Indonesia. Buktinya walaupun sebenarnya mereka sudah skeptis terhadap keberhasilan Konferensi Annapolis, namun toh kenyataannya mereka tetap saja menghadiri konferensi tersebut. Mereka tidak mampu menentukan sikap apalagi menolak seruan Bush untuk menghadiri konferensi tersebut. Dengan hanya menghadirinya saja, sebenarnya sudah merupakan keberhasilan bagi Israel dan AS. Sebagaimana yang diungkapkan Menlu Israel, Tsepi Livni, bahwa konferensi Annapolis yang terpenting adalah tingkat keikutsertaan Arab di dalamnya dan bukan apa yang disampaikan oleh Ehud Olmert. Menlu Israel itu juga menegaskan bahwa Arab tidak boleh intervensi dalam perundingan yang berlangsung antara Israel dan pihak pemerintah otoritas Palestina (www.Infopalestina.com, 27/11/07). Terlebih lagi, negara-negara yang hadir tidak diberikan kebebasan untuk mengungkapkan pendapat atas solusi untuk Palestina. Sebab sebagaimana yang diungkapkan oleh Direktur Timur Tengah Deplu A. Chandra Salim bahwa penentuan negara mana yang akan berbicara sepenuhnya menjadi wewenang Rice. (www.republika.co.id, 24/11/07) Tak pelak kehadiran Negara-Negara Arab itu mengundang kecaman dari berbagai pihak. Kecaman tersebut misalnya diungkapkan oleh Ahmadinjead di hadapan para mahasiswa relawan (Basij) di Teheran, dia mengatakan "Keikutsertaan dalam konferensi ini menunjukkan keluguan para politikus tersebut. Sejarah akan mencatat nama para peserta konferensi ini dan para pemberi konsensi kepada Zionis Israel dengan buruk." (www.Suara-Islam.com,26//11/07). Sementara Pemerintah RI, mendapat kecaman karena sikap plin-plan-nya dari Mahmoud Al Zahar, menteri luar negeri dalam kabinet Palestina Hamas pimpinan Ismail Haniyah, dalam acara Al Quds International Forum di Istanbul (15-17 November 2007) Betapa tidak, di satu sisi, ke mana-mana Indonesia mengaku mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk merebut kemerdekaannya dari penjajahan Zionis Israel. Di sisi lain Indonesia, disengaja atau tidak, ikut mendukung makar yang dilakukan Amerika Serikat dan Israel. Akar Masalah Palestina Harus disadari bahwa masalah palestina, bukan hanya masalah bagi rakyat Palestina atau bangsa Arab saja, tetapi merupakan permasalahan seluruh umat Islam. Inti masalah Palestina tidak lain adalah perampasan tanah Palestina tanah kaum muslim oleh Yahudi yang didalangi oleh Barat pada tahun 1948. Masalah ini secara real muncul sebagai masalah politik sejak tahun 1916

M ketika wilayah Khilafah Turki Utsmani dibagi-bagi di antara negara Eropa, khususnya antara Prancis dan Inggris. Pada tahun itu, menteri luar negeri kedua negara, yaitu Sykes dan Picot, menyepakati perjanjian pembagian wilayah Timur Tengah bagi kedua negara. Perjanjian ini dikenal sebagai perjanjian Sykes-Picot. Palestina ditetapkan sebagai perbatasan kedua wilayah. Keduanya menetapkan Palestina sebagai wilayah bebas dari intrik kedua negara. Untuk itu, mereka menjadikan Palestina sebagai wilayah internasional. Inilah upaya untuk menyerahkan Palestina kepada Yahudi. Setelah itu, diadakan pertemuan Balfour (November 1917), yang menyepakati penyerahan Palestina kepada Yahudi. Kedua negara lalu memberikan bantuan harta, senjata, dan bantuan lainnya bagi berdirinya negara Yahudi. Jadi, negara-negara besar Eropalah (khususnya Inggris dan Prancis) yang melahirkan negara Yahudi. Kebaikan hati Eropa terutama Inggris dengan memfasilitasi Yahudi untuk menempati wilayah Palestina tentu saja tidak tanpa beralasan. Pasalnya, sejak Napoleon menyerang negeri Syam, di wilayah Eropa berkembang ide menanam orang-orang Yahudi di jantung wilayah kaum Muslim, menjauhkan Yahudi dari Eropa, dan membersihkan Eropa dari orang Yahudi. Ide ini kemudian memiliki kekuatan politis ketika Lord Cambel sebagai representasi Inggris dan Eropa menyebarkan suatu ketetapan untuk mewujudkan ide terebut. Yang tujuannya adalah untuk membentuk negara yang memusuhi kaum Muslim di jantung wilayah kaum Muslim sendiri. Semua itu untuk menghalangi kaum Muslim yang dulunya merupakan bangsa yang satu; dengan bahasa yang satu; agama yang satu; serta harapan yang satu untuk bangkit dari keterpurukannya. Apa yang terjadi di tanah yang telah dibuka melalui futuhat para mujahiddin di masa Kholifah Umar bin al-Khoththob r.a pada abad VII M saat ini hanyalah pergantian pelaku. Bila di masa sebelum PD I dan PD II, Inggris merajalela sebagai polisi dunia dan imperialis ulung, maka saat ini peran tersebut berada di tangan AS. Bahkan dengan skala dan kualitas yang lebih dahsyat. Berbagai krisis yang ada di Palestina dan juga di negeri-negeri Muslim lainnya merupakan hasil dari rekayasa yang di ciptakan oleh Negara-Negara Barat sehingga kondisi itu bisa dijadikan sebagai jembatan untuk mengintervensi negeri-negeri tersebut, yang pada akhirnya negeri-negeri Muslim yang pada umumnya sangat kaya itu menjadi tidak berdaya dan tergantung kepada Barat. Solusi Tuntas Palestina Dengan melihat kenyataan di atas, satu-satunya pilihan yang sangat rasional dan sekaligus syari adalah tetap mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir Yahudi dari bumi Palestina. Sebab Israel terus-menerus membunuhi rakyat Palestina. Solusi ini akan sangat sulit terlaksana dengan adanya para penguasa negara-negera Arab yang menjadi kaki tangan AS. Untuk itu, agar jihad ini bisa secara optimal dilakukan, pagar penghalang ini haruslah disingkirkan terlebih dahulu. Pagar penghalang ini tidak akan mungkin di hilangkan sebelum kaum Muslim memiliki kekuatan yang mampu menghancurkan mereka. Karena itu kaum Muslim harus sesegera mungkin menegakan Daulah Khilafah yang akan menghilangkan para penguasa penghianat ini sekaligus mempersatukan ummat Islam seluruh dunia untuk membebaskan tanah palestina dari cengkraman Yahudi. Untuk itu, selama kita berupaya menegakkan khilafah, kita harus tetap mempertahankan kondisi perang terus menerus terhadap musuh, tidak mengadakan perjanjian damai dengan Israel, serta membatalkan kesepakatan apapun dengan mereka.

Ikhtitam Solusi dua negara bukanlah solusi atas persoalan tanah Palestina. Pasalnya, Israel berdiri di atas tanah rampasan. Pengakuan dunia muslim terhadap negara Israel menunjukkan kelemahan polugri mereka serta kebodohan dunia Muslim terhadap situasi politik internasional. Konferensi ini hanyalah konferensi sia-sia yang tidak ada artinya sama sekali bagi kaum Muslim terutama di Palestina yang menginginkan pembebasan dari penjajahan Yahudi Israel. Hingga saat ini, rakyat Palestina menginginkan tanah mereka dibebaskan kembali. Mereka menantikan orang-orang semacam Umar al-Faruq dan Shalahuddin kembali. Muslim Palestina juga menantikan umat Islam dunia untuk membebaskan kembali Palestina. Bukan dengan cara berdamai dengan Yahudi Israel, melainkan dengan jalan menegakkan kembali Daulah Khilafah Islamiyyah, insya Allah. Wallaahu alam bi ash-showab

Anda mungkin juga menyukai