Anda di halaman 1dari 38

G e j a l a i r

STATUS ILMU KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA Nama Mahasiswa NIM : Yunita Wulandari : 030.08.263

Dokter Pembimbing : dr. Riza Mansyoer, Sp. A I IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Status perkawinan Pendidikan Agama MR Masuk RS Orang tua/wali Ayah Nama : Tn. S Agama : Islam : : : : : : : : : : An. T 13 tahun Laki-laki Jl. Rorotan 9 Gang 4 RT 05 RW 10 Cakung Timur Belum Bekerja Belum Menikah SMP Islam 01-23-92-35 1 April 2013

Ibu

Suku : Jawa Pekerjaan: Tidak bekerja Alamat Pekerjaan: Penghasilan : -

Nama : Ny. S Agama : Islam Suku : Jawa Pekerjaan : Swasta Alamat Pekerjaan : Penghasilan: 1.000.000/bulan

II

ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan OS dan Ibu OS pada tanggal 7 April 2013 pukul 13.00 wib

KELUHAN UTAMA OS datang dengan keluhan kedua kaki bengkak. KELUHAN TAMBAHAN Mata bengkak pagi hari, Demam RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG OS datang ke IGD RSUD Koja dengan keluhan kedua kaki bengkak sejak 3 hari SMRS. OS rujukan dari Puskesmas Kelurahan Cakung Timur. OS mengaku pada awalnya, OS tidak
2

menyadari kalau kedua kakinya bengkak. Namun, OS mengaku 3 hari SMRS OS bermain futsal, setelah itu kedua kakinya terlihat bengkak. OS merasa saat memakai sepatu futsalnya seperti kekecilan. Apabila bengkak ditekan terasa lunak dan meninggalkan bekas setelah ditekan. Perut pasien membuncit tetapi tidak kembung. Pasien tidak pernah sakit kuning sebelumnya. Keluhan bengkak tersebut tidak dirasakan sakit. Bengkak tersebut tidak disebabkan oleh gigitan serangga. OS juga mengaku 3 hari SMRS pipi OS menjadi tembem, dan matanya seperti bengkak saat bangun tidur di pagi hari sejak 1 minggu SMRS. OS mengaku matanya menjadi sipit. Keluhan tidak disertai sesak napas dan batuk. OS mengaku ada demam 2 hari SMRS. BAK dan BAB lancar dan normal. Warna air seni kuning tidak ada warna kemerahan. Ibu pasien menyangkal pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan lain yang menyebabkan badannya bengkak. Saat ini OS telah menjalani perawatan di RS selama 6 hari, OS mengaku bengkak pada kedua kakinya telah menghilang dan tidak ada bengkak pada kedua kelopak matanya lagi disaat bangun tidur di pagi hari. OS mengaku BAB dan BAK tidak ada gangguan. Saat ini OS mengaku batuk namun tidak berdahak. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat asma dan alergi disangkal. Ibu OS mengaku tidak ada riwayat penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit kuning sebelumnya. RIWAYAT KEHAMILAN/KELAHIRAN : KEHAMILAN Morbiditas Kehamilan Perawatan Antenatal KELAHIRAN Tempat Kelahiran Penolong Persalinan Tidak ada Teratur 1 bulan sekali Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Rumah lain-lain Dokter/Bidan/Dukun Lainnya Cara Persalinan Spontan Penyulit, kelainan Tindakan
3

Masa Gestasi Keadaan Bayi

Lebih bulan/Cukup Bulan/Kurang Bulan Berat lahir: 3150 gr Panjang: 48 cm Ling.kepala: Langsung Menangis Pucat/Biru/Kuning/Kejang Nilai Apgar: tidak ada Kelainan Bawaan: tidak ada

Kesan : Lahir cukup bulan, tidak terdapat penyulit RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pertumbuhan gigi I : 8 bulan Psikomotor - Tengkurap - Duduk - Berdiri Perkembangan Pubertas - Rambut Pubis - Payudara - Menarche : mulai berkembang : belum berkembang : belum berkembang : 6 bulan : 7 bulan : 11 bulan - Berjalan - Bicara : 12 bulan : 11 bulan

- Membaca/Menulis : 6 tahun

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan baik. RIWAYAT MAKANAN Umur (bulan) 0-2 2-4 ASI/PASI V V Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

4-6 6-8 8-10 10-12 2 tahun Frekuensi / Hari Jumlah / Hari

V V V V V : 2-3 kali sehari. : tidak tentu. V V V V V V V V

Kesan : pola makan cukup baik.

Umur diatas 1 tahun Jenis Makanan Nasi/Pengganti Sayur Daging Telur Ikan Tahu Tempe Susu (merk/takaran) Lain-lain Frekuensi / Hari Jumlah / Hari : 2-3 kali sehari. : tidak tentu. Frekuensi dan Jumlah 3x/hari, banyak 3x/hari 2-3x/minggu 3x/minggu 3x/minggu 3x/minggu Jarang (<1x/minggu) Jarang (<1x/minggu)

Kesan : Pola makan baik dan cukup bervariasi RIWAYAT IMUNISASI Vaksin BCG DPT/DT POLIO CAMPAK 2 2 0 9 Dasar (umur) X 4 2 X X 6 4 X
5

Ulangan (umur)

HEPATITIS B MMR IPA

1 X

6 X

Kesan : Imunisasi dasar lengkap, imunisasi ulangan belum lengkap. RIWAYAT KELUARGA Pasien merupakan anak ke 3 dari tiga bersaudara berjenis kelamin laki-laki. Tidak ada keluarga yang lahir mati maupun yang abortus. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki hal serupa. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN Perumahan Keadaan rumah : Tinggal mengontrak di rumah kontrakan. : Rumah dengan ventilasi cukup baik dan cahaya matahari dapat masuk melalui jendela. Satu rumah dihuni oleh 4 orang. Sumber air minum dan air untuk kebutuhan rumah tangga lainnya berasal dari PAM (Perusahaan Air Minum). Kamar mandi berada di dalam rumah. Daerah / lingkungan : Lingkungan sekitar rumah cukup padat, saluran air lancar. Sampahsampah terkumpul pada tempat sampah dan dibersihkan oleh tukang sampah 2-3 hari sekali secara teratur. Kesan : Perumahan dan lingkungan baik, namun cukup padat.

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA Penyakit Alergi Cacingan Demam berdarah Demam tifoid Otitis Parotitis (-) (-) (-) (-) (-) (-) Penyakit Difteria Diare Kejang Kecelakaan Morbili Operasi (-) (-) (-) (-) (+) (-) Penyakit Penyakit jantung Penyakit ginjal Penyakit darah Radang paru Tuberculosis Lain, batuk, pilek (-) (-) (-) (-) (-) (+)

Kesan : OS pernah menderita morbili saat berumur 5 tahun dan di rawat di Rumah Sakit.
6

III. PEMERIKSAAN FISIS Keadaan umum Kesadaran Tanda vital Frekuensi nadi Frekuensi napas Suhu tubuh Tekanan Darah : 88x per menit : 20x per menit : 37,4oC :120/70 mmHg : sakit sedang : compos mentis

Data antropometri

: - Berat badan - Tinggi badan

: :

64 kg 162cm

Status Gizi (CDC) - BB/U - TB/U - BB/TB : : :

: 64/46 x 100 % = 139% 162/155 x 100 % = 104 % 64/50x 100 % = 128 % Obesitas

Berdasarkan data di atas maka dapat disimpulkan bahwa status gizi pasien obesitas

Kepala : 1. 2. 3. Bentuk dan ukuran Rambut dan kulit kepala Mata : Normocephali, ubun-ubun normal : Hitam, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut : palpebra tidak cekung, oedem palpebra -/-, konjungtiva

tidak pucat, sclera tidak ikterik, reflek cahaya langsung +/+, reflek cahaya tidak langsung +/+. 4. 5. 6. 7. Telinga Hidung Bibir Mulut lengkap 8. Lidah : tidak kotor, tidak tremor
7

: Normotia, tidak tampak serumen dan tidak tampak sekret. : Tidak ada deformitas, septum deviasi (-), sekret (-) : Tidak kering, tidak sianosis : Stomatitis (-), mukosa mulut tidak kering, gigi geligi

9. Leher

Faring

: tidak hiperemis : KGB tidak teraba Trakea lurus di tengah

Toraks: 1. Dinding toraks : Bentuk normal, retraksi sela iga (+), iga vertikal, simetris dalam

keadaan statis dan dinamis 2. Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis : Vokal fremitus simetris : Sonor pada paru kedua lapang paru : Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, ronkhi +/+, wheezing -/-

3. -

Jantung Inspeksi Palpasi : Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial garis midclavicularis sinistra,

tidak teraba thrill Auskultasi : BJ I normal, BJ II normal, regular, tidak ada splitting, tidak ada murmur,

tidak ada gallop

Abdomen: Inspeksi Palpasi : buncit, tidak tampak distensi, tidak tampak vena collateral : Tidak ada nyeri tekan, undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik, lemas Perkusi Auskultasi : Timpani, shifting dullness (-) : bising usus (+) normal : tidak ada kelainan : Tidak teraba : Laki-laki : atas : akral hangat, deformitas (-), sianosis (-), oedem (-)

Anus dan rectum Kelenjar getah bening Genitalia Anggota gerak

bawah : akral hangat, deformitas (-), sianosis (-), oedem (-) Pemeriksaan neurologis 1. Refleks fisiologis : (+) Normal
8

2. 3.

Reflek patologis

: (-)

Rangsang meningeal : (-) : tidak ada kelainan : warna sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), turgor baik, kelainan kulit

Tulang belakang Kulit lain(-)

*PEMERIKSAAN FISIK (Pada saat awal pasien datang ke IGD) KU/Kes : TSS/CM TD N RR S : 150/110 mmHg : 88 x/menit : 22 x/menit : 37.2 0C

Kepala : normocefali, oedem palpebra -/-, konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik Thorak : SN ves, rh-/-, wh-/BJ I dan II reg, murmur -, gallop -. Abdomen : buncit, supel, nyeri tekan Ekstrimitas : oedem + pada ekstrimitas bawah

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (1 April 2013) Jenis Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Hasil Pemeriksaan 12, 3 20.250 38 506.000 Trombosit SGOT SGPT 16 19 0,6 36 100 139 Na K Cl 3,66 114 134-146 mmol/L 3,4-4,5 mmol/L 96-108 mmol/L 13-33U/L 6-30U/L Nilai Normal 12, 0 -16, 0 g/dl 4100 10900/UL 36-46 % 182000-369000/UL

Hematokrit

Ureum Kreatinin

0,4-0,7mg/dl 17-43 mg/dl

Glukosa Sewaktu

60-100 mg/dl

Laboratorium (2 April 2013) Jenis Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Hematokrit Hasil Pemeriksaan 12,4 15100 38 Nilai Normal 12,0 -16,0 g/dl 4100-10900 /Ul 36-46 %

10

Eritrosit Trombosit MCV(VER) MCH (HER) MCHC (KHER) Hitung Jenis: Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit LED RDW

4,56 395000 82

4- 5 juta/Ul 140000-440000/Ul 80-100 fl 26-34 pg

33

31-36 g/dl

1 1 0 69 20 9 80 14,3

0-2% 0-5 % 2-6 % 47-80 % 13-40 % 2- 11 % <15 mm/jam 11,6- 14,8

Jenis Pemeriksaan Albumin Globulin Protein Total Kolesterol Total Elektrolit : Na K Cl

Hasil Pemeriksaan 1,71 3,10 4,81 353

Nilai Normal 4,0 -5,2 g/l 1,3-2,7 g/dl 6,0- 8,0 g/dl <200 mg/dl

142 3,3 106

135-147 mmol/L 3,5-5,0 mmol/L 96-108 mmol/L

Urinalisa (4 April 2013) Jenis Pemeriksaan Warna Berat Jenis Hasil Pemeriksaan Kuning agak keruh 1030 1,003-1030 Nilai Normal

11

PH Albumin Glukosa Keton Bilirubin Darah Samar Nitrit Urobilinogen Sedimen : Leukosit Eritrosit Silinder Epitel Bakteri Kristal : Ca Oksalat Karbonat Fosfat Asam Urat Amorf Sel Ragi Lain-lain

6,6 2+ Negatif 2+ Negatif 3+ Negatif 1,0

4,6 -8,5 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 0,1-1,0 EU

10-15 10-15 Negatif 1+ 1+

<10 /LPB <1 /LPB Negatif/LPK

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

V. RESUME Seorang anak laki-laki, usia 13 tahun dating ke IGD RSUD Koja dengan keluhan kedua kaki bengkak sejak 3 hari SMRS. Apabila bengkak ditekan terasa lunak dan meninggalkan bekas setelah ditekan. Perut pasien membuncit tetapi tidak kembung. Keluhan bengkak tersebut tidak dirasakan sakit. Bengkak tersebut tidak disebabkan oleh gigitan serangga. OS juga mengaku 3 hari SMRS pipi OS menjadi tembem, dan matanya seperti bengkak saat bangun tidur di pagi hari

12

sejak 1 minggu SMRS. OS mengaku ada demam 2 hari SMRS. BAK dan BAB lancar dan normal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nadi 88x per menit, frekuensi napas 20x per menit, suhu 37,4oC, tekanan darah 120/70 mmHg, status gizi obesitas (CDC). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit 20.250/UL, LED 80 mm/jam, albumin 1.71 g/dl, globulin 3,10 g/dl, protein total 4,81 g/dl, kolesterol total 353 mg/dl. Pada pemeriksaan urinalisa didapatkan warna urin kuning agak keruh, albumin 2+, keton 2+, darah samar 3+, sedimen eritrosit 1015/LPB, sedimen leukosit 10-15/LPB, bakteri 1+.

VI. DIAGNOSIS KERJA : Sindroma Nefrotik

VII. DIAGNOSI BANDING : Glomerulonefritis Akut

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN : Pemeriksaan ASTO

IX. PENATALAKSANAAN Infuse KaEN 1B 120 cc/hari Inj. Albapur 20% 100 cc Inj. Ceftizoxim 2 x 1 gr IV Inj. Ranitidin 2 x 20 mg IV Aspar K 3 x tab P.O Captopril 2 x 12, 5 mg P.O
13

Terapi awal masuk RS : Infuse KaEN 1B 120 cc/hari Inj. Lasix 2 x 15 mg IV Inj. Ceftizoxim 2 x 1 gr IV Inj. Ranitidine 2 x 20 mg IV Inj. Somerol 2 x 20 mg IV Aspar K 3 X tb P. O

X. PROGNOSIS Ad vitam : Bonam

Ad fungsionam: Dubia ad bonam Ad sanasionam : Dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP Pemeriksaan 7 April 2013 - Wajah sembab (-) S Keluhan - Kelopak mata bengkak (-) - Tangan dan kaki bengkak (-) - Batuk (+), dahak (-) Sakit Sedang Compos mentis Sakit Sedang Compos mentis Sakit Sedang Compos mentis Tanggal 8 April - Wajah sembab (-) - Tangan dan kaki bengkak (-) - Batuk (+) tidak berdahak 9 April - Batuk (+) berkurang - Tadi malam demam (38,60C)

Keadaan umum Kesadaran

14

Tanda vital

BB : 64 kg TD : 120/70 Nadi: 90 x /menit RR : 18 x /menit Suhu : 36,8 C

BB : 64kg TD : 140/90 Nadi : 96 x /menit RR : 20 x /menit Suhu : 36,5 C Normocephali kurang sembab

BB : 64 kg TD : 130/90 Nadi : 90 x /menit RR : 20 x /menit Suhu : 36,2 C Normocephali tidak sembab

O Kepala Wajah Mata Normocephali sembab(-)

oedem palpebra - oedem palpebra - oedem palpebra -/// KGB & tiroid ttm KGB & tiroid ttm KGB & tiroid ttm Suara napas Suara napas vesikuler Rh -/-, Wh -/ Suara napas vesikuler Rh -/-, Wh -/ S1 & S2 reguler S1 & S2 reguler Murmur (-) Gallop (-) S1 & S2 reguler Murmur (-) Gallop (-) Datar, supel Buncit, supel, NT (-) Buncit, supel NT (-) Akral hangat Akral hangat Oedem pitting (-) di ekstrimitas Sianosis (-) semua Akral hangat Oedem pitting (-) di ekstrimitas Sianosis (-) Oedem pitting (-) di kedua tungkai NT (-) Murmur (-) Gallop (-) vesikuler Rh -/-, Wh -/-

Leher

Paru

Jantung

Abdomen

Extremitas

semua bawah Sianosis (-)

15

Diagnosa

Sindroma Nefrotik - Bed rest

Sindroma Nefrotik - Bed rest - IVFD KaEN 1B 120 cc/hari - Albapur 20% 100 cc IV - Ceftizoxime 2 x 1 gr IV (H6) -Ranitidin 2 x 20 mg IV - Aspar K 3 X tb P.O

Sindroma Nefrotik - Bed rest - IVFD KaEN 1B 120 cc/hari - Albapur 20% 100 cc IV - Ceftizoxime 2 x 1 gr IV (H6) -Ranitidin 2 x 20 mg IV - Aspar K 3 X tb P.O

Pengobatan

- IVFD KaEN 1B 120 cc/hari - Albapur 20% 100 cc IV - Ceftizoxime 2 x 1 gr IV (H6) -Ranitidin 2 x 20 mg IV - Aspar K 3 X tb P.O - Captopril 2 x 12,5 mg P.O Cek UL, Albumin, Globulin, Elektrolit

- Captopril 2 x 12,5 - Captopril 2 x 12,5 mg P.O - Vectrin syr 3 x cth mg P.O - Vectrin syr 3 x cth

Pemeriksaan Laboratorium (8 April 2013) Jenis Pemeriksaan Warna Berat Jenis PH Albumin Glukosa Keton Bilirubin Darah Samar Nitrit Hasil Pemeriksaan Kuning keruh 1010 7,0 3+ Negatif Negatif Negatif 2+ Negatif 1,003-1030 4,6 -8,5 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Nilai Normal

16

Urobilinogen Sedimen : Leukosit Eritrosit Silinder Epitel Bakteri Kristal : Ca Oksalat Karbonat Fosfat Asam Urat Amorf Sel Ragi Lain-lain

0,2

0,1-1,0 EU

1-3 20-25 Negatif 1+ Negatif

<10 /LPB <1 /LPB Negatif/LPK

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Jenis Pemeriksaan Albumin Globulin Protein Total Elektrolit : Na K Cl

Hasil Pemeriksaan 1,58 2,79 4,37

Nilai Normal 4,0 -5,2 g/l 1,3-2,7 g/dl 6,0- 8,0 g/dl

135 3,67 103

135-147 mmol/L 3,5-5,0 mmol/L 96-108 mmol/L

17

BAB II ANALISA KASUS A. Pada pasien ini ditegakkan diagnosa Sindrom Nefrotik, karena dari hasil I. Anamnesa: Pasien datang dengan keluhan utama muka bengkak terutama pada mata pada saat bangun tidur pagi sejak 1 mgg SMRS, kaki bengkak sejak 3 hari SMRS, apabila ditekan bengkak terasa lunak dan meninggalkan bekas pada lokasi penekanan.BAK warna kuning agak keruh, darah (-). II. Pemeriksaan fisik: Tekanan darah 120/70 mmHg ( 150/110 mmHg pada saat di IGD). Mata : oedema palpebra (+), ekstremitas : kaki kanan dan kiri :oedem (pitting oedem)pemeriksaan di IGD III. Pemeriksaan penunjang Laboratorium darah : Leukosit 20.250/UL LED 80 mm/jam Albumin 1.71 g/dl Globulin 3,10 g/dl Protein total 4,81 g/dl Kolesterol total 353 mg/dl Urinalisa : warna urin kuning agak keruh Albumin 2+ Keton 2+, Darah samar 3+ Sedimen eritrosit 10-15/LPB Sedimen leukosit 10-15/LPB Bakteri 1+.
18

Pada pasien ini mendapat terapi : Injeksi Ceftizoxim 2 x 1 gr IV Merupakan antibiotic golongan sefalosporin generasi ke 3 indikasi pada os untuk penyakit infeksi sekunder saluran pernafasan. Dosis: 40-80mgxkgbb/hari dibagi dalam 2-4 dosis 1 x 1,5 g iv . Efek samping: Reaksi hipersensitif, gangguan GI tract, sakit kepala. Pada pasien ini diberikan karena didaptkan tanda- tanda infeksi, yaitu dari hasil leukosit : 20. 250 /UL, sedimen leukosit 10- 15 /LPB, bakteri 1+ pada urin. Injeksi Ranitidine 2 x 20 mg IV Golongan AH2. Melindungi mukosa lambung dengan menghambat perangsangan sekresi asam lambung. Dosis: 2 x 20mg. Efek samping:sakit kepala, pusing, gangguan GI, ruam kulit. Injeksi Lasix 2 x 15 mg IV Diberikan pada pasien untuk menghilangkan oedemnya. Aspar K 3 x 1/2 tb Diberikan pasien untuk koreksi kehilangan kalium akibat pemberian diuretic ( Lasix). Injeksi Albapur 20% 100 cc IV Merupakan albumin manusia. Pada kasus ini OS mengalami hipoalbuminemia yang menjadi indikasi pemberian Albapur ini. Dosis: Hanya digunakan melalui infus intravena. Hipoproteinemia : dewasa : 250-375 ml. anak-anak : 125 ml. Kecepatan penggunaan tidak boleh melebihi 2 ml/menit. Syok : dosis awal 100 ml dengan kecepatan 2-4 ml/menit. Dosis total tidak boleh melebihi 2 gram/kg berat badan jika tidak terjadi perdarahan aktif.
19

Luka bakar : pada 24 jam pertama 100-400 ml dengan kecepatan sekitar 1 ml/menit. lewat dari 24 jam : konsentrasi Albumin dalam plasma dijaga pada 25 gram/liter. sindroma gangguan pernapasan pada orang dewasa : 250 ml selama 24 jam pertama bersama dengan terapi diuretika. Selanjutnya dosis disesuaikan untuk memelihara tanda-tanda vital. Hemodialisis : 100-200 ml pada akhir prosedur dialisis. Pertukaran plasma terapeutika : ganti derajat Albumin pada basis g-for-g, seperti penghilangan 2,5 Liter plasma harus digantikan oleh 625 ml Albapure. Inj. Somerol 2 x 20 mg IV
Merupakan metilprednisolon. Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan dosis 60 mg/m2/24jam (maksimum dosis 60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang dibutuhkan untuk berespon dengan prednison sekitar 2 minggu, responnya ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Jika anak berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan pemberian prednison dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari, maka disebut resisten steroid dan terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang tepat. Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick), dosis prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak. Captopril 3 x 12, 5 mg P.O

Captopril merupakan obat antihipertensi dan efekif dalam penanganan gagal jantung dengan cara supresi sistem renin angiotensin aldosteron. Renin adalah enzim yang dihasilkan ginjal dan bekerja pada globulin plasma untuk memproduksi angiotensin I yang besifat inaktif. "Angiotensin Converting Enzyme" (ACE), akan merubah angiotensin I menjadi angiotensin Il yang besifat aktif dan merupakan vasokonstriktor endogen serta dapat menstimulasi sintesa dan sekresi aldosteron dalam korteks adrenal. Peningkatan sekresi aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan cairan, serta meretensi kalium. Dalam kerjanya, kaptopril akan menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin ll terhambat, timbul vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan serta mensekresi kalium.
20

Keadaan ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah dan mengurangi beban jantung, baik 'afterload' maupun 'pre-load', sehingga terjadi peningkatan kerja jantung. Vasodilatasi yang timbul tidak menimbulkan reflek takikardia Dosis: Dewasa: Hipertensi,dosis awal: 12,5 mg tiga kali sehari.

Bila setelah 2 minggu, penurunan tekanan darah masih belum memuaskan maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 25 mg tiga kali sehari. Bila setelah 2 minggu lagi, tekanan darah masih belum terkontrol sebaiknya ditambahkan obat diuretik golongan tiazida misal hidroklorotiazida 25 mg setiap hari.

21

BAB III TINJAUAN PUSTAKA Epidemiologi Secara keseluruhan prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar15,5/100.000.3 Sindrom nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakan sindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1. dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun.2 Di Amerika insidens nefrotik sindrom dilaporkan 2-7 kasus pada anak per 100.000 anak per tahun. Pada dewasa biasanya menderita glomerulopaty yang bersifat sekunder dari penyakit sistemik yang dideritanya, dan jarang merupakan sindrom nefrotik primer atau idiopatik1. Pada pasien sindrom nefrotik angka mortalitas berhubungan langsung dengan proses penyakit primernya, tapi bagaimanapun sekali menderita sindrom nefrotik, prognosisnya kurang baik karena1: 1. sindrom nefrotik meningkatkan insiden terjadinya gagal ginjal dan komplikasi sekunder (trombosis, hiperlipidemia, hypoalbuminemia). 2. pengobatan berkaitan dengan kondisi; peningkatan insidens infeksi karena pemakaian steroid, dan dyscaria darah karena obat imunosupresif lain. Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibanding dewasa, dan kebanyakan kasus nefrotik sindrom primer pada anak merupakan penyakit lesi minimal1,3.Prevalensi penyakit lesi minimal berkurang secara proprosional sesuai dengan umur onset terjadinya penyakit. Fokal segmental glomerosclerosis (FSGS) merupakan sub kategori nefrotik sindrom kedua tersering pada anak dan frekuensi kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proloferatif glomerulonephritis (MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi pada anak yang lebih besar dan adolescent. Kurang lebih 1 % dari sindrom nefrotik pada anak dan adolescent dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit virus lain.3

22

Etiologi Nefrotik sindrom dapat bersifat primer, sebagai bagian dari penyakit sistemik, atau sekunder karena beberapa penyebab. Penyebab primer diantaranya1: 1. post infeksi 2. Colagen vaskular disease (SLE, rheumatoid arthritis, polyarteritis nodosa) 3. Henoch-Schnlein purpura 4. Hereditary nephritis 5. Sickle cell disease 6. Diabetes melitus 7. Amyloidosis 8. Malignancy (leukemia, lymphoma, Wilms tumar, pheochromocytoma) 9. Toxin (sengatan lebah, racun ular)4 10. obat-obatan (probenecid, fenoprofen, catopril, lithium, wafarin, penicilamine, mercury, gold, trimethadione, para metadione, AINS) 4 11. Penggunaan Heroin Penyebab sekunder berhubungan dengan keadaan post infeksi mencakup1: 1. Group A beta-hemolytic streptococcus 2. syphilis 3. Malaria 4. Tuberkulosis 5. infeksi virus (varicella, hepatitisB, HIV tipe1, infeksi mononukleosis) Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik mempunyai beberapa bentuk sindrom nefrotik idiopatik, diantaranya ; penyakit lesi minimal sekitar 85%, proliferasi mesangium 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya menderita nefrosis. Sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis dan yang tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif.5

23

Patofisiologi Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang terjadi lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain. Jumlah protein dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh (1gr/ m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan pada filter glomerulus. Perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan filtrasi glomerulus begantung pada tipe kelainan glomerulus. Tetapi secara garis besar dapat diterangkan bahwa, pada orang normal filtrasi plasma protein berat molekul rendah bermuatan negatif pada membran basal glomerulus normalnya dipertahankan oleh muatan negatif barier filtrasi. Muatan negatif tersebut terdiri dari molekul proteoglikan heparan sulfat. Pada orang dengan nefrotik sindrom, konsentrasi heparan sulfat mucopoly sakarida pada membrana basal sangat rendah. Sehingga banyak protein dapat melewati barier. Selain itu terjadi pula terjadi perubahan ukuran celah (pori-pori) pada sawar sehingga protein muatan netral dapat melalui barier. Pada Sindrom Nefrotik terjadi hipoproteinemia terutama albumin, hal ini disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya degradasi dalam tubulus renal yang melebihi daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya didalam plasma adalah menurunnya -1 globulin. Sedangkan -2globulin, -globulin dan fibrinogen meningkat secara relatif atau absolut. -2globulin meningkat disebabkan oleh retensi selektif protein dengan berat molekul tinggi oleh ginjal sedangkan laju sintesisnya relatif normal. Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema terjadi karena menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein melalui urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan intersisial. Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensinaldosteron, yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi penyerapan air

24

dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial sehingga memperberat edema.

Kelainan Glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma

Volume plasma

Retensi Na di tubulus distal & sekresi ADH

Edema

Pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air diakibatkan karena mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi natrium primer akibat defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler. Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial.

25

Kelainan Glomerulus

Retensi Na renal primer

Albuminuria Hipoalbuminemia

Volume plasma

Edema

Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume plama yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia. Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid meningkat. Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1) hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Manifestasi Klinik Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi;menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin berbusa. Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan prolaps ani.2
26

Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga bengkak dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas seperti kelopak mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti ankles, pada saat duduk atau berdiri. Pada anak tekanan darah umumnya rendah dan tekanan darah dapat turun sekali saat berdiri (orthostatic hypotension), dan shock mungkin dapat terjadi. Produksi urin dapat menurun dan renal faillure dapat terjadi jika terjadi kebocoran cairan dari dalam pembuluh darah kejaringan sehingga suplai darah ke ginjal berkurang. Biasanya renal failure dengan kurangnya produksi urin terjadi tiba-tiba. Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat di temukan, hal ini dikaitkan dengan sinteis protein yang meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut. 2 Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi psikososial yang merupakan akibat stess nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang. Klasifikasi Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan deskripsi histologi dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.3 Tetapi bagaimanapun pengetahuan mengenai penyebab spesifik sindrom nefrotik sangat terbatas, varians nefrotik sindrom akan diketahui manifestasi klinisnya dengan memastikan proses histopatologinya. Tipe histopatologi juga menentukan dalam hal respon terapi, dan prognosis dari penyakit. Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada sindroma nefrotik yang digunakan sesuai dengan rekomendasi komisi internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop

27

elektron dan imunoflorosensi. Dibawah ini tabel klasifikasi glomerulus pada sindrom nefrotik primer sesuai laporan ISKDC (1970) dan Habib, kleinknecht (1971). Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomeruloskerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intra membran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/ subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Komplikasi 1. Infeksi Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh5: penurunan kadar imunoglobulin

28

kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat menurun, dimana pada suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal. Sedangkan kadar IgM meningkat. Hal ini menunjukan kemungkinan ada kelainan pada konversi yang diperantarai sel T pada sintesis IgG dan IgM cairan edema yang berperan sebagai media biakan.2 defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit, imunosupresif karena pengobatan, penurunan perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor komplemen (Faktor properdin B) dalam urin yang meng oponisasi bakteria tertentu. Pada Sindrom nefrotik terdapat peningkatan kerentanan terhadap bakteria tertentu seperti1 : Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Dan bakteri gram negatif lain

Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas sebabnya. Jenis infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia, selulitis dan ISK. Terapi profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif dianggap penting untuk mencegah terjadinya peritonitis. 5 2. Kelainan koagulasi dan trombosis Kelainan hemostatic ini bergantung dari etiologi nefrotik sindrom, pada kelainan glomerulopati membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada kelainan minimal jarang menimbulkan komplikasi tromboembolism1,2. Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VII, dan X yang disebabkan oleh meningkatnya sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan sintesis albumin serta lipoprotein. Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya kadar plasminogen, fibrinogen plasma meningkat dan konsentrasi anti koagulan protein C dan protein S meningkat dalam

29

plasma4. Secara ringkas kelainan hemostatik pada Sindrom nefrotik dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda2: peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan: meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti anti trombin III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin hipoalbuminuria mengakibatkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatkan sintesis protein pro koagulan karena hiporikia dan tekanan fibrinolisis. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit. 3. Pertumbuhan abnormal Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure to thrive), hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia, peningkatan katabolisme protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, mal absorbsi karena edem saluran gastrointestinal.1,2 Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik dapat pula menyebabkan gangguan pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat menghambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linier; terutama apabila dosis melampaui 5mg/m2/hari. Walau selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat pengurangan produksi atau sekresi hormon pertumbuhan, tapi telah diketahui bahwa kortikosteroid mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada tingkat jaringan perifer , melalui efeknya terhadap somatomedin. 4. Perubahan hormon dan mineral Pada pasien Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinemia. Hipo kalsemia pada sindrom nefrotik berkaitan dengan disebabkan oleh albumin serum yang rendah dan berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi trionisasi tetap normal dan menetap.2
30

5. Anemia Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik. Anemianya hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap prefarat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemia nya terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang sangat menurun, karena hilangnya protein ini dalam urin dalam jumlah besar.

Diagnosis Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis3. Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1-8 tahun agaknya menderita penyakit lesi minimal yang responsif terhadapt kortikosteroid. Penyalit lesi minimal tetap lazim pada anak usia diatas 8 tahun, tetapi glomerulonefritis membranosa dan membranoploriferatif frekuensinya menjadi semakin sering. Pada kelompok ini biopsi ginjal dianjurkan biopsi ginjal untuk menegakan diagnostik sebelum pertimbangan terapi. Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hemeturia mikroskopis, tapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens protein melebihi 2 gr/24 jam. Kadar kolesterol dan trigliserid serum naik, kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dl (20g/L). Dan kadar kalsium serum total menurun, karena penurunan fraksi terikat albumin. Kadar C3 biasanya normal.5

Penatalaksanaan 1. Terapeutik Obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine. Respon terhadap pengobatan dengan kortikosteroid berhubungan dengan tipe histopatologi sindrom nefrotik.

31

ISKDC melaporkan sekitar 91,8% pasien yang bererpon terhadap kotikosteroid mempunyai kelainan minimal glomeruloneprithis, dibandingkan dengan 25% pasien yang tidak respon. Pada pasien yang tidak berespon terhadap kortikosteroid dan berusia dibawah 6 tahun, 50 % merupakan kelainan minimal glomerulonepritis. Dan pada usia lebuh dari 6 tahun hanya 3,6% yang mempunyai kelainan minimal glomerulonepritis. The Southwest Pediatric Nephrology Study Group melaporkan sekitar 63% pasien dengan diffuse membranous hypercellularity, dan glomeruralscerosis berespon terhadap kortikosteroid. 1 Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan dosis 60 mg/m2/24jam (maksimum dosis 60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang dibutuhkan untuk berespon dengan prednison sekitar 2 minggu, responnya ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Jika anak berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan pemberian prednison dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari, maka disebut resisten steroid dan terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang tepat. Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick), dosis prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak. Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak dengan keadaan ini menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil pasien yang berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera setelah perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari, penderita demikian disebut tergantung steroid. Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas steroid (muka cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi imuno supresif lain. Siklofosfamid, Dosis siklofosfamid 3 mg/kg/24jam sebagai dosis tunggal, selama total pemberian 12 minggu (8 minggu 1). Terapi prednison tetap diteruskan selama
32

30% pasien dengan focal

pemberian siklosfosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun dibawah 5000/mm3. komplikasi lain berupa supresi sumsum tulang,hair loss, azoospremia, hemorrhagic cystitis, keganasan, mutasi dan infertilitas. Levamison, adalah imunosimultan dengan efek steroid-sparing yang lemah sehingga perlu penghentian terapi prednison. Dosis yang dipakai adalah 2,5 mg/kg selama 4-12 bulan. Efek samping jarang ditemukan, tetapi dilaporkan dapat terjadi neutropenia dan encelopathy. Obat ini tidak umum digunakan. Cyclosporin, adalah inhibitor fungsi limfosit T dan diindikasikan bila terjadi relaps setelah terapi dengan cyclosfosfamid. Cyclosporin lebih disukai digunakan pada anak laki-laki dalam masa pubertas yang beresiko menjadi azoospermia akibat induksi siklosfosfamid. Cyclosporin dapat bersifat nefrotoksik, dan dapat

menyebabkan hisurtism, hipertensi dan hipertropi ginggiva. 2. Pengobatan supotif Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja pendekatan farmakologis terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya. Tapi juga ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele yang menyertainya. Pengobatan suportif sangat penting bagi pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan imunosupresif dan karena itu mudah mendapat komplikasi Sindrom nefrotik yang berkepanjangan. terapi dietetik 1,2 masukan garam dibatasi 2gram/hari untuk mengurangi keseimbangan natrium yang positif diet tinggi kalori, protein dibatasi 2 gram/kgBB/hari. Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan hiperlipidemia. Pengobatan terhadap edema. Dengan pemberian diuretik tiazid ditambah dengan obat penahan kalium (spirinolakton, triamteren). Bila tidak ada respon dapat digunakan furesemid, asam etekrinat atau bumetamid. Dosis furosemid 25-1000mg/ hari dan paling sering dipakai karena toleransinya baik walau dengan dosis tinggi.
33

Proteinuria dan hipoalbuminemia ACE inhibitor mempunyai efek antiproteinuria, efek bergantung pada dosis, lama pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah dan secara progresif ditingkatkan sampai dosis toleransi maksimal. Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan protreinuia sampai 50%, efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap protein, nenurunnya tekanan kapiler intraglomerural dan atau karena menurunnya luas permukaan filtrasi. Indometasin (150mg/hari) dan meklofenamat (200300mg/hari) merupakan obat yang sering dipakai. n-3 asam lemak takjenuh (polyunsaturated fatty acid) dapat mengurangi proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti.

Hiperlipidemia Pada saat ini penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada sindrom nefrotik.

Hiperkoagulabilitas Pemakaian obat anti koaagulan terbatas pada keadaan terjadinya resiko tromboemboli seperti; tirah baring lama, pembedahan, saat dehidrasi, atau saat pemberian kortikosteroid iv dosis tinggi.

Prognosis Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif

34

renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra renal. Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun. Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi. Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang progresif. Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya kurang baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada pasien ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun. 1

35

BAB IV KESIMPULAN Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal1 Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar 15,5/100.000.3 Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan teori overfille. Gejala awal pada sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropi dan urin berbusa. Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan pada deskripsi histologi dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.3 Komplikasi pada sindromnrfrotik antara lain : 1. Infeksi 2. Kelainan koagulasi dan trombosis 3. Pertumbuhan abnormal 4. Perubahan hormon dan mineral 5. Anemia Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis3 Penatalaksanaan 1. Terapeutik, obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine.

36

2. Pengobatan supotif (Hiperlipidemia, Hiperkoagulabilitas, edema, Proteinuria dan hipoalbuminemi) serta terapi dietetik 1,2 Prognosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Agraharkar Mahendra, Nefrotik Syndrome. www.emedicine.com Last Update: september 2, 2006 2. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2007 3. Travis Luther, Nephrotic Syndrome. www.emedicine.com. Last Update: april14, 2006. 4. Nephrotic Syndrome, The Merck Manual Diagnosis and Therapy.

www.Merckmanual.com. 5. Behram, Kleigman, Arvin. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. EGC Jakarta 2008 6. Wiguna P., 2009. Dalam Ilmu penyakit dalam: Interna publishing. Jakarta. 7. Ahmed M.S.& Wong C.F., 2007. Rituximab and nephrotic syndrome: a new therapeutic hope? Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 1719 8. Cohen E.P., 2009. Nephrotic Syndrome. www.emidicine.com. 9. Effendi I.& Pasaribu R., 2006.Edema Patofisiologi dan Penanganan dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-15 10. Hartoko B., 2008. Art of Therapy. Yogyakarta. Pustaka Cendikia Press Yogyakarta. Hal. 69-70

38

Anda mungkin juga menyukai