Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

Meningitis

Disusun oleh:

Dwi Permatasari 0818011016

PEMBIMBING: dr. Zam Zanariah, Sp.S, M.Kes

S M F N E U RO L O G I RSUD Dr. Hi. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG April 2013

Anatomi dan Fisiologi Meninges Otak dilindungi oleh tulang tengkorak serta dibungkus membran jaringan ikat yang disebut meninges. Dimulai dari lapisan paling luar, berturut-turut terdapat dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat. Dura mater dipisahkan dari araknoid oleh celah sempit, disebut ruang subdural. Permukaan dalam dan luar dura mater dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim. Arachnoidea mater bentuknya seperti jaring laba-laba. Terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng. Rongga di antara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang terisi cairan serebrospinal (CSF). Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh darah. Pia mater dilapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim. Pia mater menyusuri seluruh lekuk permukaan SSP dan menyusup ke dalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. Susunan dari luar ke dalam: Periostem tengkorak ruang epidural duramater ruang subdural arachnoid ruang subarachoid piamater

Cerebrospinal Fluid Cerebrospinal Fluid (CSF) merupakan cairan yang mengelilingi ruang

subarakhnoid sekitar otak dan medulla spinalis, serta mengisi ventrikel dalam otak. Cairan ini mengangkut oksigen, glukosa, dan bahan kimia yang dibutuhkan dari darah ke neuron dan neuroglia. Volume total dari CSF adalah 80-150ml. CSF dihasilkan oleh : 1. Plexus choroid : jaring-jaring kapiler berbentuk bunga kol yang menonjol dari piamater pada ventrikel ke-3 dan ke-4. 2. Disekresikan oleh sel-sel ependimal : single layer yang mengitari pembuluh darah cerebral dan melapisi kanal sentral medulla spinalis. Sel-sel ependimal ini pun menutupi choroid plexus sebagai blood-brain barrier sehingga berfungsi untuk mengatur komposisi CSF.

Sirkulasi CSF

Keterangan: Cairan bergerak dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular (Munro) menuju ventrikel ke-3 otak (tempat cairan semakin banyak karena ditambah oleh plexus koroid) melalui aquaductus cerebral (Sylvius) menuju ventrikel ke-4 (tempat cairan ditambahkan kembali dari pleksus koroid) melalui tiga lubang pada langit -langit ventrikel ke-4 bersirkulasi melalui ruang subarakhnoid, di sekitar otak dan medulla spinalis direabsorsi di vili arakhnoid (granulasi) ke dalam sinus vena pada duramater kembali ke aliran darah tempat asal produksi cairan tersebut.

Fungsi CSF a) Menyokong dan melindungi otak dan spinal cord b) Sebagai shock absorber antara otak dan tulang cranium (otak dan CSF memiliki gaya berat spesifik yang kurang-lebih sama sehingga otak dapat dengan aman terapung dalam cairan ini) c) Menjaga agar otak dan spinal cord tetap basah sehingga memungkinkan pertukaran zat antara CSF dan sel saraf d) Mempertahankan tekanan intracranial
4

e) Transportasi nutrisi bagi jaringan saraf mengangkut produk sisa

a. NORMAL CSF Jernih (tidak berwarna) seperti air. Ditemukan sel-sel mononuclear (limfosit 2 5 sel/ml dan monosit). Tidak ditemukan mikroorganisme Sifatnya basa / alkali Tidak berbau

b. Komposisi CSF Komposisi dari CSF menyerupai plasma darah dan cairan interstitial, mengandung glukosa, protein, asam laktat, urea, kation (Na+, K++, Ca2+, Mg2+), anion (Cl-, HCO3-), sel darah putih, tetapi tidak mengandung protein. a. Protein Normal : sedikit protein, karena sawar darah otak tidak bisa ditembus oleh protein yang molekulnya besar (akan meningkat bila terjadi penurunan permeabilitas BBB) b. Glukosa Normal : 40-70mg/dl (2/3 gula darah). c. Asam laktat Normal : 10 -20 mg/dl (akan meningkat bila terjadi perombakan glukosa) d. Ureum Normal : 10-15 mg/dl, hampir sama dengan darah e. Glutamine Normal : 20 mg/dl f. Enzim enzim yang terdapat dalam serum(seperti : LDH, ALT, dan AST) juga terdapat dalam CSF dengan jumlah lebih rendah g. Zat-zat lain : Konsentrasi Na sama dengan pada plasma Konsentrasi Cl 15 % lebih besar daripada plasma Konsentrasi K 40 % lebih kecil daripada plasma Sedikit ion bikarbonat.

Meningitis
Definisi Meningitis adalah suatu peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura, arachnoid dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam likuor cerebrospinal (LCS), yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis.

Epidemiologi Meningitis Bakterial Insidensinya mencapai 3-5 kasus per 100.000 populasi per tahun, dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa. Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumonia, dan Haemophilus influenza tipe B. Meningitis Jamur Jamur yang paling sering menyebabkan meningitis adalah Cryptococcus neoformans dan Coccoides immites, sedangkan insidensi infeksi jamur yang disebabkan oleh Histoplasma capsulatum, Blastomyces dermatitidis, Sporothrix schenckii dan Candida dilaporkan meningkat.

Meningitis Viral / Aseptik Penyebab meningitis viral di dunia meliputi enterovirus, mumps, measles, VZV, dan HIV. Insidensi menurun sesuai meningkatnya usia, semakin muda usia pasien, risiko terjadinya meningitis viral semakin meningkat. Pada neonatus berusia lebih dari 7 hari, enterovirus merupakan etiologi tersering dari meningitis viral.

Etiologi Bakteri a. Streptococcus pneumoniae (50%)

Sering terjadi pada orang dewasa berusia di atas 20 tahun dan timbul karena sebelumnya pasien menderita penyakit sinusitis, otitis media (permasalahan THT). Berhubungan dengan alkoholisme, penyakit diabetes, hypogammaglobulinemia, dan juga trauma kepala. b. Neisseria meningitidis (25%) Kejadian pada anak-anak dan pada dewasa muda berusia 2-20thn sekitar 60%, paling sering merupakan penyebaran dari infeksi nasofaring dan juga berhubungan dengan pasien yang menderita diabetes, sirosis, dan Infeksi Saluran Kemih. c. Streptococcus group B (15%) Sering pada neonatus dan frekuensi kejadian meningkat pada individu berusia lebih dari 50 tahun serta pasien yang memiliki penyakit infeksi streptokokal. d. Listeria monocytogenes (10%) Sering pada neonatus berusia kurang dari 1 bulan dan kejadiannya sering terjadi akibat pasien meminum susu yang terkontaminasi Listeria. e. Haemophilus influenza type B (<10%) Terjadi pada anak-anak yang tidak menjalani vaksinasi HiB. f. Staphylococcus aureus Sering merupakan akibat dari prosedur bedah saraf (neuro-surgery procedure).

Viral Sekitar 90% kasus disebabkan oleh enterovirus (coxakievirus, echovirus, poliovirus). Hampir 30% kasus meningitis viral terjadi pada individu yang tidak mendapatkan vaksinasi secara sempurna/lengkap.

Fungi Infeksi meningitis jamur disebabkan oleh antara lain Candida albicans, Histoplasma, dan Cryptococcus neoformans.

A. Meningitis Tuberkulosa

Mikobakterium tuberkulosa mencapai alveoli dan bermultiplikasi. Pada 2 4 minggu pertama, belum terjadi respon imun sehingga terjadi penyebaran hematogen, organisme tersebar ke seluruh tubuh. Setelah 2 4 minggu terjadinya infeksi, timbul imunitas seluler terhadap kuman dimana antigen mikobakterium menarik dan mengaktifkan sel-sel mononuklear dari aliran darah. Organisme akan mati dalam makrofag namun dalam waktu bersamaan banyak pula makrofag yang mati karena produk toksik antigen, terbentuklah tuberkel yang terdiri dari makrofag, limfosit, dan sel-sel lain yang mengelilingi jaringan kaseosa. Pada meningitis tuberkulosa terbentuk eksudat yang kental dalam ruang subarakhnoid dan terjadi reaksi inflamasi di ruang subarakhnoid. Secara mikroskopis eksudat terdiri dari lekosit PMN, sel darah merah, makrofag, dan limfosit.

B. Meningitis Bakterialis Sekitar 40% pasien meningitis bakterialis mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan yang dapat mengganggu meknisme pertahanan mukosa sehingga memudahkan timbulnya infeksi oleh organisme. Kolonisasi bakteri di nasofaring menghasilkan IgA protease yang dapat merusak barier mukosa dan memungkinkan bakteri menempel pada sel epitel nasofaring. Bakteri akan melewati sel-sel tersebut dan selanjutnya masuk ke aliran darah. Saat bakteri di dalam darah, bakteri berhadapan dengan sistem kekebalan tubuh tapi karena bakteri memiliki kapsul polisakarida yang bersifat antifagosit dan antikomplemen, maka bakteri dapat masuk ke dalam sistem kapiler SSP. Bakteri melewati sawar darah otak lalu, mencapai choroids plexus dan menginfeksi sel-sel epitel choroids plexus sebagai akses masuk ke ruang subarachnoid yang berisi CSF. Bakteri bermultiplikasi di

cairanserebrospinal karena cairan tersebut kurang memiliki pertahanan seluler. Proses inflamasi lebih lanjut akan menyebabkan gangguan reabsorpsi cairan serebrospinal di granula arakhnoid yang berakibat meningktakan tekanan intrakranial sehingga timbullah edema interstitial di otak.

C. Meningitis Jamur

Keterlibatan flora normal di dalam tubuh dan gangguan respon imunologi merupakan hal yang diduga mendasari terjadinya infeksi ini. Infeksi jamur cenderung terjadi pada pasien dengan lekopenia, fungsi limfosit T yang tidak adekuat atau antibodi yang jumlahnya tidak mencukupi.

D. Meningitis Viral Virus masuk ke SSP melalui dua jalur yaitu hematogen (tersering) atau melalui serabut saraf (pada jenis virus tertentu seperti herpervirus dan beberapa enterovirus).Virus bereplikasi di sitem organ lalu menyebar ke darah. Viremia primer terjadi ke organ retikuloendotelial. Jika replikasi virus tetap terjadi meskipun sudah ada pertahanan imunologi maka viremia sekunder akan terjadi. Proses terakhir inilah yang kemudian dianggap berperan terhadap penyebaran virus ke SSP.

Klasifikasi

A. Berdasarkan onset Acute : <24jam Subacute : 1-7hari, pasien mempunyai sakit kepala, kaku kuduk, demam yang tidak terlalu tinggi dan lethargy untuk beberapa hari ke minggu. Chronic : >7hari, mempunyai karakteristik syndrome neurologic untuk >4minggu dan berkaitan dengan inflamasi yang persistent di CSF (WBC > 5L). Penyebab : infeksi meningeal, keganasan, noninfectious inflammatory disorder, meningitis kimiawi and infeksi parameningeal.

B. Berdasarkan penyebab dan hasil pemeriksaan CSF Meningitis purulenta (Bakterialis) Meningitis Serosa : Meningitis Tuberkulosa Meningitis Viral / Aseptik Meningitis Sifilitika (Lues SSP)

Mengitis Jamur

Manifestasi Klinis dan Diagnosa Trias klasik meningitis: demam, nyeri kepala, dan kaku kuduk Iritasi dan kerusakan saraf kranial: (selubung saraf yang terinflamasi) - N II : papil edema, kebutaan

- N III, IV, VI : ptosis, defisit lapang pandang, diplopia -NV - N VII - N VIII : fotofobia : paresis facial : ketulian, tinnitus dan vertigo

Pusat muntah teriritasi: muntah yang proyektil Kebingungan atau penurunan respons TTIK : nyeri kepala, papil edema, delirium sampai dengan tidak sadar Komplikasi neurologis: Ventrikulitis, Efusi subdural, Meningitis berulang, Abses otak, Paresis,

Hidrosefalus, Epilepsi Komplikasi non-neurologis : Artritis, Endokarditis bakterial akut, SIADH, Gangguan koagulasi DIC, Syok.

Demam inflamasi Kaku kuduk

: perubahan setting temperatur di hipothalamus akibat sel-sel

: tanda iritasi meningen karena adanya refleks spasme dari otot-otot ekstensor leher

Nyeri kepala

: akibat perangsangan nociceptor di subdural oleh meningen yang teriritasi dan vasodilatasi pembuluh darah untuk mendatangkan banyaknya komponen sel-sel darah

Kernig, Laseque dan Brudzinski sign: tanda iritasi meningen karena radiks yang mempersarafi otot-otot yang dirangsang terinflamasi.

Terapi

10

Penanganan Meningitis Tuberkulosis Perawatan di rumah sakit dengan istirahat di tempat tidur Untuk penderita sudah penurunan kesadaran sampai koma, maka diperlukan : (a) (b) (c) (d) pengawasan saluran pernafasan yang baik keseimbangan cairan & elektrolit kateterisasi urin perubahan posisi tidur penderita sesering mungkin untuk mencegah dekubitus Perawatan pasien tergantung pada hasil temuan LCS: limfositik plesitosis, penurunan glukosa, dsb. Diperlukan diet dengan komposisi protein, karbohidrat, lemak dan mineral yangg baik. Rekomendasi: diet tinggi kalori tinggi protein dan cairan infus glukosa 5% dua bagian dengan NaCl 0.9% satu bagian untuk keadaan dehidrasinya. Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan RHZE (E). Bila setelah 2 bulan masih tetap positif maka tahap intensif diperpanjang lagi selama 2-4 minggu dengan 4 macam obat. Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4RH atau 4R3H3. Pasien dengan tuberculosis berat (meningitis, tuberculosis diseminata, spondilitis dengan gangguan neurologist), R dan H harus diberikan setiap hari selama 6-7 bulan (6R7H7 atau 7R7H7). Pyridoxine (50mg/d) dapat diberikan untuk encegah neuropati Dexamethasone menurunkan edema otak, resistensi outflow CSS, produksi sitokin inflamasi, jumlah leukosit, sehingga proses inflamasi di ruang subarakhnoid berkurang & meminimalisasi kerusakan sawar darah otak. Dexamethasone direkomendasi pada kasus meningitis tuberkulosa apabila ada salah satu komplikasi di bawah: (a) (b) (c) (d) penurunan kesadaran papiledema defisit neurologic fokal tekanan pembukaan CSS lebih besar dari 300 mmH2O

11

Dosisnya adalah 10 mg bolus intravena kemudian 4 x 5 mg intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.

Management Meningitis Bakterialis Jika meningitis bakterialis sudah dicurigai maka pengobatan haruslah segera diberikan walaupun bakteri penyebab masih belum jelas (belum diidentifikasi). Antibiotik yang diberikan harus dapat menembus sawar cairan serebrospinal, diberikan dalam dosis yang adekuat serta sensitif terhadap bakteri penyebab (stlh diiidentifikasi). Pada kasus-kasus dimana organisme penyebab tidak dapat teridentifikasi, pengetahuan tentang pola resistensi obat akan menentukan pemilihan antibiotika secara empiris misalnya pada anak-anak (sefalosporin generasi ketiga atau ampisilin beserta kloramfenikol), pada dewasa (penisilin dan sefalosporin generasi ketiga) dan pada orang tua (ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga). Pemberian sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim) dan kloramfenikol masih sangat efektif, obat ini diberikan selama minimal 7-10 hari sebaiknya selama 2 minggu penuh.

Management Meningitis Jamur Obat yang sering dipakai pada penanganan menigitis jamur diantaranya: 1. Amfoterisin B untuk terapi infeksi kriptokokal, antifungal spektrum luas. 2. Flusitosin efektif untuk infeksi jamur pada SSP yang disebabkan oleh Candida dan Cryptococcus sp. Penetrasi ke cairan serebrospinal baik, mencapai 75% konsentrasi serum. Diberikan sebagai kombinasi dengan Amfoterisin B atau Flukonasol, tidak diberikan sebagai obat tunggal, mudah terjadi resistensi. 3. Flukanosol Triazol spektrum luas yang digunakan untuk terapi kriptokokal meningitis dan infeksi Candida. Dapat melalui sawar darah otak dengan mudah dan memiliki waktu paruh tinggi dalam cairan serebrospinal.

12

4. Vorikonasol Triasol baru yang mempunyai aktivitas antifungal. Obat pilihan untuk infeksi Aspergillus, Fusarium, Scedosporium yang sulit diterapi dengan Amfoterisin. 5. Kombinasi Obat Dengan tujuan memperbaiki efikasi dan meminimalkan toksisitas Amfoterisin B 0,7 mg/kgBB/hari iv + Flusitosin 100 mg/kgBB/hari per oral semala 2 minggu dilanjutkan Flukonasol 400-800 mg/hari per oral selama 8-10 minggu lalu dilanjutkan Flukonasol 200 mg/hari per oral, baik untuk infeksi oleh Cryptococcus neoformans. Amfoterisin B 0,5 0,7 mg/kgBB/hari iv selama 4 minggu diteruskan Flukonasol 400-800 mg/hari per oral seumur hidup untuk infeksi Coociodes immitis. Amfoterisin B 0,7 mg/kgBB/hari iv + Flusitosin 100 mg/kgBB/hari per oral semala 2 minggu dilanjutkan Flukonasol 400-800 mg/hari per oral atau iv selama 4-6 minggu untuk infeksi karena Candida Albicans.

Penanganan Meningitis Viral Simptomatis dan terapi suportif Rawat inap di rumah sakit tidak diperlukan (kecuali pasien yang disertai defisiensi imunitas humoral, neonatus dengan infeksi berat, dan pasien dengan hasil pemeriksaan LCS cenderung ke arah infeksi meningitis bakterial) Pasien biasanya memilih untuk beristirahat di ruangan yang tenang dan tidak banyak gangguan, dan juga agak gelap Analgesik dapat diberikan untuk mengatasi nyeri kepala dan antipiretik diberikan untuk menurunkan demam Status cairan dan elektrolit harus dimonitor (karena dikhawatirkan terjadi hiponatremia akibat pelepasan vasopressin yang berlebihan) Ulangi tindakan Lumbal Pungsi dengan indikasi sbb: (a) Demam dan gejala-gejala tidak hilang setelah beberapa hari (b) Ditemukan adanya pleositosis PMN atau hipoglicorrhachia

13

(c) Apabila ada keraguan mengenai diagnosa Acyclovir oral/IV bermanfaat untuk: (a) HSV-1 atau -2 (b) Infeksi EBV atau VZV yang parah Pasien yang sakit parah dapat diberikan acyclovir IV (30 mg/kgBB dalam 3 dosis terbagi) selama 7 hari Untuk pasien yang tidak terlampau parah: (a) Oral acyclovir (800 mg, 5x sehari) (b) Famciclovir (500mg, tid) (c) Valacyclovir (1000mg, tid) selama satu minggu Pasien dengan meningitis HIV harus mendapatkan antiretroviral terapi aktif. Pasien dengan meningitis viral dan diketahui memiliki defisiensi imunitas humoral, sebaiknya diberikan gamma globulin secara IM/IV Vaksinasi sangat efektif unutk mencegah terjadinya meningitis yang disebabkan oleh poliovirus, mumps, dan infeksi measles.

Komplikasi Neurologis: Hydrocephalus Vasculitis (parese/plegi, diffuse brain injury, edema) Arachnoiditis Seizure

Non-neurologis SIADH Pneumonia Thrombophlebitis Urinary tract infection Decubitis Contracture Dehydration Arthritis (direct infection or immune complex deposition) Acute bacteria endocarditis Shock

14

Tingkat kesadaran dan keparahan penyakit pada admisi awal memiliki korelasi kuat dengan prognosa pasien. Pasien yang datang dengan Stadium 2 atau 3 Meningitis Tuberkulosa memiliki sequelae (gejala sisa) yang cukup parah.

Prognosis Tergantung pada agen penyebab yang bersangkutan Haemophilus influenza: pada umumnya baik, tingkat mortalitas < 5% Meningococcal meningitis: Onset bertahap dengan prognosis baik. Onset tiba-tiba prognosis kurang baik. Tingkat mortalitas keseluruhan mendekati 10%. Pneumococcal meningitis: Onset mungkin saja sangat mendadak, progresif dan kematian dapat terjadi dalam beberapa jam. Tingkat mortalitas 20%. Prognosis buruk apabila terdapat koma, seizure, dan hitung jenis yang teramat rendah pada cairan serebrospinal. Aseptic meningitis (viral): prognosis sangat baik. Bacterial meningitis: risiko kematian meningkat apabila.. 1. Penurunan tingkat kesadaran sewaktu admission 2. Onset seizure selama 25 jam dari sejak admision 3. Ada tanda-tanda TTIK 4. Usia muda (bayi) atau usia tua (>50tahun) 5. Adanya kondisi komorbiditas termasuk syok dan/atau perlunya pemasangan mechanical ventilation 6. Keterlambatan dalam penanganan dini

Meningitis Purulenta Definisi Meningitis bakterialis merupakan suatu respon inflamasi terhadap infeksi bakteria yang mengenai piamater dan arakhnoid yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalan cairan serebrospinal.

15

Epidemiologi Insidensi dari tipe bakteri penyebab meningitis bervariasi menurut umur penderita, yaitu sebagai berikut: Neonatus: basil gram negatif (E. coli, Klebsiella), H. influenzae Anak-anak: H. influenzae, N. meningitidis, dan S. pneumoniae Dewasa: S. pneumoniae dan N. Meningitidis

Meningitis bakteria yang paling berbahaya adalah yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis atau meningokokus. Meningokokus merupakan sebab utama morbiditas dan mortalitas dari infeksi bakteri akut di seluruh dunia. Setelah ditemukannya antibiotik, angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah sekitar 10%. Pada suatu studi klinik memperlihatkan insidensi dari sekuele neurologis pada lebih dari 50% kasus orang dewasa dan lebih dari 30% pada anak-anak, 10% daripadanya dengan tuli sensori neural yang permanen. Angka kematian pada kasus yang tidak diobati adalah sebesar 75-100%.

Patogenesis Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui: Hematogen, oleh karena infeksi dari tempat lain seperti faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, dan infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada di dalam cairan otak Perkontinuitatum, perluasan dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, dan abses otak compound fractures dari tulang tengkorak, fraktur melalui sinus nasalis atau mastoid atau setelah prosedur neurosurgical. Infeksi bakteria transplasental melalui tindakan lumbal punksi (jarang)

16

Sebagian besar infeksi SSP terjadi akibat penyebaran secara hematogen. Saluran napas merupakan port dentry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen diawali dengan perlekatan bakteri pada sel epitel mukosa nasofaring, mengadakan kolonisasi, kemudian menembus rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran darah, dan menimbulkan bakteremia. Selanjutnya bakteri masuk kedalam CSS dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri ini menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak. Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subarakhnoid masih belum diketahui. Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah. Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri ke dalam SSP. Pelepasan lipopolisakarida dari N. meningitidis merupakan salah satu faktor yang menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi ke dalam ruang subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supuratif lokal dalam SSP.

Patofisiologi Mekanisme pertahanan didalam ruang subarakhnoid Jika bakteri meningen patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, maka berarti mekanisme pertahanan tubuh tidak adekuat. Pada umumnya didalam CSS yang normal, kadar dari beberapa komplemen adalah negatif atau minimal. Inflamasi meningen mengakibatkan sedikit peningkatan konsentrasi komplemen. Konsentrasi komplemen ini memegang peranan penting dalam opsonisasi dari patogen meningen tidak berkapsul, suatu proses yang penting untuk terjadinya fagositosis. Aktivitas opsonik dan bakterisidal tidak didapatkan atau hampir tidak terdeteksi pada pasien dengan meningitis.

17

Kolonisasi di mukosa (1), invasi ke aliran darah (2), multiplikasi (3) menyebabkan tinnginya level bakteremia, melewati sawar darah otak (4), invasi ke meningen dan sistem saraf pusat (5). Bakteri dapat meningkatkan permeabilitas sawar darah otak (6) dan pleocytosis (7), memicu terjadinya emena dan menigkatkan tekanan intrakranial (8), dan mengeluarkan komponen proinflamasi dari sel darah putih t=yang terinfiltrasi dan sel host lainnya (9), akibatnya proses tersebut memicu injuri neuron (10)

Etiologi Neiserria meningitidis Epidemiologi Meningitis akibat N.meningitidis sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi komplemen kongenital (C5 C6 C7 C8 C9 ) adalah faktor resiko terjadinya meningococcemia. Biasanya habitat normal N.meningitidis terdapat di nasofaring, dan

18

penyakit ini disebarkan oleh karier atau oleh individu yang mengidap penyakit. Penyakit ini biasanya terjadi dalam bentuk sporadik, dalam interval yang tidak teratur. Epidemik biasanya terjadi pada saat perubahan besar di dalam populasi, seperti pada waktu perang. Patogenesis Meningococci (N.Meningitidis) biasanya masuk ke meningen, langsung dari nasofaring melalui cribriform plate. Bakteri ini biasanya ditemukan dalam darah atau lesi kutaneus, sebelum manifestasi klinis dari meningitis terjadi, sehingga menunjukkan bahwa penyebaran ke sistem syaraf adalah melalui hematogen. Cairan ventrikuler, mungkin dipenuhi dengan organisme, sebelum lapisan meningen mengalami inflamasi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kapsul bakteri berperan sangat penting di dalam perlekatan dan penetrasi untuk dapat masuk ke dalam tubuh. Beberapa elemen pada dinding sel bakteri diperlukan untuk penetrasi dari endotel pembuluh darah ke dalam rongga cairan serebrospinal, dan menginduksi terjadinya respon inflamasi. Patologi Pada kasus yang akut fulminan, kematian dapat terjadi sebelum adanya perubahan patologi pada sistem syaraf. Pada umumnya, bila tidak terjadi kematian dalam beberapa hari setelah onset penyakit, maka terjadi reaksi inflamasi yang hebat di meningen. Reaksi inflamasi ini biasanya berat pada rongga subarakhnoid yang meliputi kecembungan otak dan di sekitar dari basis otak. Proses ini dapat meluas sepanjang rongga perivaskuler ke substansi otak dan medula spinalis, tetapi jarang menembus sampai ke parenkim. Meningococci, baik intra maupun ekstraseluler, dapat ditemukan di meningen dan cairan serebrospinal. Dengan perkembangan infeksi, lapisan piaarakhnoid menebal dan terjadi adhesi. Adhesi pada basis otak, mengganggu aliran cairan serebrospinal dari ventrikel keempat dan akhirnya menyebabkan hidrosefalus. Reaksi inflamasi dan fibrosis pada meningen, di sepanjang radiks saraf otak, dianggap sebagai penyebab terjadinya paralisis saraf kranial yang kadang terjadi.

19

Kerusakan pada nervus auditorius sering terjadi mendadak, dan defek auditori biasanya bersifat permanen. Kerusakan tersebut terjadi akibat perluasan infeksi ke telinga bagian dalam atau trombosis dari arteri nutrien. Paralisis wajah sering terjadi setelah reaksi meningeal mulai menghilang. Tanda dan gejala dari kerusakan parenkim (seperti hemiplegia, aphasia, tanda cerebellar) jarang terjadi dan mungkin disebabkan karena infark sebagai akibat trombosis dari arteri atau vena yang terinflamasi. Dengan pengobatan yang efektif, dan dalam beberapa kasus tanpa pengobatan, reaksi inflamasi di meningen berangsur-angsur menghilang dan tidak ada bukti dari infeksi yang dapat ditemukan pada otopsi pasien yang meninggal beberapa bulan atau tahun kemudian. Di semua tipe meningitis, kontribusi terhadap proses inflamasi oleh berbagai macam sitokin yang dilepaskan oleh sel fagosit dan sel imunoaktif terutama IL-1 dan TNF, telah diketahui. Hasil penelitian tersebut telah dijadikan dasar penggunaan obat kortikosteroid anti inflamasi pada pengobatan meningitis. Beberapa penelitian, baik terhadap meningitis H.influenza dan S.pneumoniae telah membuktikan, bahwa terdapat perbaikan pada penggunaan kortikosteroid, terutama jika steroid diberikan beberapa saat sebelumnya diberikan pengobatan antibiotik. Pengobatan biasanya dilakukan selama empat hari. Kortikosteroid sangat menguntungkan pada pengobatan meningitis bakterial akut pada anak-anak. Manifestasi Klinis Onset penyakit ini ditandai dengan demam dan menggigil, nyeri kepala, mual dan muntah, nyeri di punggung, kekakuan leher dan kelemahan. Terjadinya herpes labialis, konjungtivitis dan petekie atau ruam, sangat umum terjadi pada infeksi meningococcal. Pada saat onset, pasien menjadi mudah marah, sedangkan pada anak-anak, ditandai dengan ciri-ciri adanya tangisan sharp, shrill cry (meningeal cry). Dengan perkembangan penyakit, dapat terjadi penurunan kesadaran hingga stupor atau koma. Kejang konvulsi sering terjadi pada awal gejala, terutama pada anak-anak, tetapi defisit neurologis fokal jarang terjadi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda:

20

- Kesan sakit akut, dengan kesadaran delirium, stupor atau semikoma. - Suhu meningkat hingga 38,3oC - 39,4oC - Takikardi, takipnea - Tekanan darah normal, kecuali pada kasus fulminan akut, di mana ditemukan hipotensi. - Ruam petekie ditemukan pada kulit, membran mukosa atau konjungtiva dan menghilang 3 sampai 4 hari. - Ditemukan rangsang meningeal : kaku kuduk, Kernig, Brudzinski yang positif (Namun tanda-tanda ini tidak ditemukan pada bayi baru lahir, orang tua dan pasien koma). - Tekanan tinggi intrakranial menyebabkan penonjolan dari fontanel anterior yang belum menutup dan respirasi yang periodik. - Refleks tendon sering menurun, namun dapat meningkat. Paralisis nervus kranial dan defisit neurologis fokal jarang ditemukan dan tidak akan berkembang sampai beberapa hari setelah onset infeksi. Diskus optikus normal, tapi papiledema dapat terjadi jika meningitis menetap hingga lebih dari satu minggu. Pemeriksaan Laboratorium Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan : - Jumlah leukosit meningkat hingga 10.000-30.000/mm3, namun kadang dapat normal atau lebih tinggi dari 40.000/ mm3. - Pada pemeriksaan urin didapatkan albumin, sedimen dan sel darah merah. - Kultur meningococci dapat diperoleh dari apusan nasofaaaring, darah, atau dari lesi kulit. - Dari pemeriksaan Lumbal Pungsi didapatkan karakteristik cairan serebrospinal : tekanan yang meningkat antara 200-500 mmH2O, warna keruh atau purulen karena mengandung banyak sel dengan dominasi PMN, jumlah sel antara 2000-10.000/ mm3 (namun terkadang dapat <100/ mm3 atau >20.000/ mm3), kadar protein meningkat, kadar glukosa menurun (sampai di bawah 20mg/dL), pada pewarnaan gram

21

ditemukan gram negatif diplokokus dan kultur meningkokus positif pada 90% pasien yang tidak dirawat serta terdeteksinya antigen dari kapsul polisakarida. Komplikasi dan Gejala Sisa Komplikasi dan gejala sisa biasanya berhubungan dengan : - Proses inflamasi di meningen dan pembuluh darah, seperti konvulsi, paralisis saraf kranial, lesi fokal serebri, kerusakan medula spinalis atau radiks, hidrosefalus. - Keterlibatan organ tubuh lain oleh meningococci, seperti panophtalmitis dan infeksi okular lain, arteritis, purpura, perikarditis, endokarditis, miokarditis, pleuritis, orkhitis, epididimitis, albuminuria atau hematuria, pendarahan adrenal.

Komplikasi lain dari meningitis biasanya berupa DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), infeksi berulang pada traktus respiratorius atas, telinga tengah dan paru-paru. Komplikasi-komplikasi tersebut dapat meninggalkan gejala sisa yang permanen, namun, gejala sisa yang paling umum adalah akibat trauma pada sistem saraf, yang meliputi ketulian, paralisis okuler, kebutaan, perubahan mental, konvulsi, dan hidrosefalus. Diagnosis Diagnosis pasti meningitis meningococcal, diperoleh melalui isolasi organisme dari cairan serebrospinal, namun diagnosis dapat ditegakkan sebelum organisme diisolasi pada pasien dengan gejala klinis berupa nyeri kepala, muntah, demam dan menggigil, kaku kuduk, dan ruam petekie, terutama jika terjadi epidemi meningitis meningococcal. Untuk menegakkan diagnosis, harus dilakukan kultur dari lesi kulit, sekresi nasofaring, darah dan cairan serebrospinal. Tetapi diagnosis juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan apusan sedimen dari cairan serebrospinal setelah pewarnaan gram. Prognosis Angka mortalitas dengan terapi saat ini adalah sekitar sepuluh persen di mana

insidensi komplikasi dan gejala sisa rendah. Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat

22

mortalitas adalah usia pasien, bakteriemi, kecepatan terapi, komplikasi, dan kondisi umum dari pasien. Tingkat fatalitas yang terendah dapat dilihat pada pasien dengan usia 5 dan 10 tahun, sedangkan tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada bayi, orangtua dengan kondisi tubuh yang lemah dan pada keadaan pendarahan yang luas sampai ke kelenjar adrenal. Terapi Terapi antibiotik biasanya dimulai sebelum jenis organismenya dipastikan, sehingga regimen awal harus tepat untuk semua organisme dan penentuannya tergantung dari usia pasien dan lokasi. Sefallosporin generasi ketiga, biasanya seftriakson dan sefotaksim, telah menjadi pilihan pertama pengobatan meningitis bakterialis. Spektrum obat tersebut luas dan sangat berguna sejak terjadinya resistensi H. Influenzae penicillin, ampicillin dan amoxicillin. dan S.pneumoniae terhadap

Dosis antibiotika yang dapat diberikan adalah : Seftriakson 4-6 g/ hari p.o. dibagi dalam 2dosis selama 7-10 hari. Sefotaksim 12 g/hari p.o. dibagi dalam 6 dosis selama 7-10 hari. Kloramfenikol 75-100mg/kgBB/hari i.v. dibagi dalam 4 dosis selama 7-10 hari.

Organisme Neisseria meningitidis

Streptococcus pneumonia Batang gram negatif (kec. Pseudomonas aeruginosa) Pseudomonas aeruginosa Haemophilus influenzae type B Staphylococcus aureus (sensitif methicillin) Staphylococcus aureus (resisten methicillin) Listeria monocytogenes

Antibiotik Dosis total per hari Penicillin G 20-24 million U/hari i.v. (setiap 4 jam) atau Ampicillin 12 g/hari i.v. (setiap 4 jam) Ceftriaxone atau cefotaxime plus vancomycin Ceftriaxone 2-4g/hari i.v. (setiap 12 jam) atau Cefotaxime 8g/hari i.v. (setiap 4 jam) Ceftazidime 6g/hari i.v. (setiap 8 jam) Ceftriaxone atau cefotaxime Oxacillin 9-12 g/hari i.v. (setiap 4 jam) Vancomycin 2 g/hari i.v. (setiap 6 jam) Ampicillin 12 g/hari i.v. (setiap 4 jam)

23

Enterobacteriaceae Meningitis Tuberkulosa

Sefalosporin generasi ke-3

Merupakan manifestasi klinis paling sering dari infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang mengenai arakhnoid, piamater, dan cairan serebrospinal di dalam sistem ventrikel. Pada anak-anak, dihasilkan dari bakteriemia yang mengikuti fase inisial dari tuberkulosis paru primer. Pada orang dewasa, dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer. Meningitis tuberkulosa selalu merupakan sekunder dari penyakit tuberkulosa pada organ lainnya. Fokus primer biasanya terdapat di paru-paru, namun dapat juga terjadi di kelenjar limfe, tulang, sinus nasalis, GI tract, atau organ-organ lainnya. Onset biasanya sub akut. Penyakit ini dapat dibagi ke dalam beberapa stadium, yaitu : Stadium I: nyeri kepala, gelisah, anoreksia, demam, gangguan tingkah laku Stadium II: gejala TTIK, defisit neurologis fokal (parese N. II, IV, VI, VII), meningismus ( hemiparesis, qudraparesis, ataksia, disartria) Stadium III: demam tinggi, respirasi iregular, distonia, koma

Patofisiologi Meningitis tuberkulosa tidak berkembang secara akut dari penyebaran tuberkel bacilli ke meningen secara hematogen, melainkan merupakan hasil dari pelepasan tuberkel bacilli ke dalam rongga subarakhnoid dari lesi kaseosa subependimal. Selama fase inisial dari infeksi, sejumlah kecil tuberkel berukuran seperti biji tersebar di dalam substansi otak dan meningen. Tuberkel-tuberkel ini cenderung membesar dengan bersatu dan tumbuh besar, dan biasanya caseating, lembut dan membentuk eksudat. Kemungkinan lesi kaseosa untuk menyebabkan meningitis ditentukan dari kedekatan jarak lesi dengan rongga subarakhnoid dan kecepatan enkapsulasi fibrosa berkembang akibat resistensi imun dapatan. Foci caseosa subependymal dapat terus tak bergejala selama berbulan-bulan bahkan tahunan tetapi kemudian dapat menyebabkan meningitis melalui pelepasan bacilli dan antigen tuberkel ke dalam rongga subarakhnoid. Gambaran Klinis

24

Gambaran klinis meningitis tuberkulosa dapat berupa sindroma meningitis akut memberikan gejala koma, peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan defisit neurologis fokal atau berupa slowly progressive dementing illness. Ketika infeksi berupa sindroma meningitis akut, tanda dan gejala karakteristiknya adalah nyeri kepala, malaise, meningismus, papil edema, muntah, bingung, kejang, dan defisit saraf kranial. Pasien dirawat dengan letargi atau stupor dapat menjadi koma dalam hitungan hari. Demam dapat muncul, dapat pula tidak muncul. Meningitis tuberkulosa dapat pula tampak sebagai slowly progressive dementing illness dengan defisit memori dan perubahan perilaku yang khas pada penyakit lobus frontalis, berupa abulia, dan inkontinensia urin dan fecal. Bentuk ini merupakan bentuk meningitis tuberkulosa yang banyak ditemukan. Defisit saraf kranialis dan konvulsi juga terjadi pada meningitis tuberkulosa subakut. Kadang ada riwayat anorexia, batuk, berkeringat pada malam hari dan penurunan berat badan dalam waktu beberapa hari sampai beberapa bulan, akibat perkembangan gejala infeksi susunan saraf pusat. Ensefalopati tuberkulosa juga dijelaskan sebagai sindroma konvulsi, stupor atau koma, gerakan involunter, paralysis, dan spasme atau rigiditas deserebrasi dengan atau tanpa gejala klinis meningitis atau kelainan CSS pada meningitis tuberkulosa. Secara patologis tampak edema difus dari cerebral white matter dengan hilangnya neuron dalam gray matter, leukoencephalopathy hemorrhagic, atau encephalomyelitis demyelinating pasca infeksi. Sindroma ini terutama tampak pada anak dengan tuberkulosis milier atau diseminata

Faktor Resiko Faktor resiko untuk meningitis tuberkulosa termasuk usia, alkoholisme, infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV), malnutrisi, status imunosupresi, penyalahgunaan obat dan tuna wisma. Kriteria Diagnosis Menurut Ogawa (1987) :

25

Definitif : Kultur Mycobacterium tuberculosis (+) pada LCS atau diagnosa dari otopsi atau terdapat keduanya. Probable gambaran pleositosis, kultur bakteri atau jamur negative dan disertai satu dari : 1. Uji tuberkulin positif 2. Terdapat TB ekstra SSP atau TB aktif atau paparan TB yang bermakna sebelumnya 3. Glukosa cairan serebrospinal kurang dari 40 mg/dl 4. Kadar protein serebrospinal lebih dari 60 mg/dl. Menurut Thwaites (2005) : 1. Definitif Meningitis TB : Meningitis klinis (kaku kuduk dan parameter LCS abnormal), dan Ditemukan bakteri tahan asam di LCS dan atau kultur M. Tuberkulosis positif. 2. Probable Meningitis TB : Meningitis klinis (kaku kuduk dan parameter LCS abnormal), dan Sekurang-kurangnya 1 dari kriteria : - suspek TB paru aktif berdasarkan foto rontgen dada - ditemukan bakteri tahan asam pada sediaan lain selain LCS - suspek, bukti klinis TB ekstra paru 3. Possible Meningitis TB : Meningitis klinis (kaku kuduk dan parameter LCS abnormal), dan Sekurang-kurangnya 4 dari kriteria : - riwayat TB - dominasi limfositik di LCS - sakit lebih dari 5 hari - rasio glukosa LCS : darah < 0,5 - penurunan kesadaran - LCS kuning (xanthochromic) - Tanda neurologis fokal

Grade Meningitis TB menurut Medical Research Council of Great Britain:

26

Grade I : tidak ada gejala dan tanda yang spesifik, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada defisit neurologik. Grade II : perubahan derajat kesadaran ringan dengan defisit neurologik fokal seperti hemiparese dan kelumpuhan saraf kranial. Grade III : penurunan kesadaran berat (sopor atau koma) dengan defisit neurologik yang berat.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk meningitis tuberkulosa: 1. Tuberculin skin test 2. Foto roentgen: adenopati hilar, ,infiltrasi nodular lobus atas, pola milier 3. Computed tomography atau Magnetic Resonance Imaging: hidrosefalus & basilar meningeal enhancement pasca kontras 4. Pemeriksaan cairan serebrospinal: limfositik pleositosis, pewarnaan tahan asam dan kultur 5. Pemeriksaan mata untuk koroid tuberkel 6. Pewarnaan urin dan sputum dan kultur untuk bakteri tahan asam

Abnormalitas CSS yang klasik ada pada meningitis tuberkulosa adalah: 2. Peningkatan tekanan pembukaan 3. Peningkatan konsentrasi protein antara 100-500 mg/dl 4. Jumlah sel leukosit antara 10-500 sel/mm dengan limfosit predominan 5. Penurunan konsentrasi glukosa (< 50% gula darah) Abnormalitas CSS yang ditemukan pada meningitis tuberkulosa: 1. Peningkatan jumlah leukosit antara 10-500 sel/mm dengan limfosit predominan 2. Peningkatan konsentrasi protein antara 100-500 mg/dl 3. Penurunan konsentrasi glukosa (< 50% gula darah)

27

4. Kultur positif pada 75 % kasus membutuhkan 3-6 minggu untuk tumbuh 5. Penurunan konsentrasi klorida 6. Rasio bromida serum/cairan serebrospinal yang rendah 7. Assay asam tuberculostearic positif

Pengobatan 1. Obat Anti Tuberkulosa Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat anti tuberkulosa secara umum yang dipakai (di Indonesia) secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.

Nama Obat

Dosis harian

Dosis berkala 3X

BB<50 kg Isoniazid/INH (H) Paling baik menembus sawar darah otak Rifampisin Profilaksis meningitis oleh karena 450 mg 300 mg

BB>50 kg 400 mg

Seminggu 600 mg

600 mg

600 mg

Meningokokus/Haemophylus influenza Pirazinamid (Z) Streptomosin (S) i.m Etambutol (E) Etionamid (T) 1500 mg 750 mg 1000 mg 500 mg 2000 mg 1000 mg 1500 mg 750 mg 2-3 g 1000 mg 1-1,5 g -

Pengobatan yang diberikan pada pasien meningitis tuberkulosa adalah pengobatan kategori I yang ditujukan terhadap : kasus tuberkulosis paru baru dengan sputum BTA positif penderita TB paru, sputum BTA negative, roentgen positif dengan kelainan paru luas

28

kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat separti meningitis, tuberkulosis diseminata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologist, kelainan paru yang luas dengan BTA negative, tuberkulosis usus, tuberkulosis genitourinarius

Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan RHZE (E). Bila setelah 2 bulan BTA menjadi negative, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 2 bulan masih tetap positif maka tahap intensif diperpanjang lagi selama 2-4 minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH rendah, tahap intensif cukup diberikan 3 macam obat saja yaitu RHZ. Hal ini karena secara teoritis pemberian Isoniazid, Rifampisin, dan Pirazinamid akan memberikan efek bakterisid yang terbaik.

Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4RH atau 4R3H3. Pasien dengan tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis diseminata, spondilitis dengan gangguan neurologist), R dan H harus diberikan setiap hari selama 6-7 bulan (6R7H7 atau 7 R7H7).

2. Steroid Pada pasien dengan penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan intrakranial, kortikosteroid dapat menguntungkan, karena patofisiologi koma dan peningkatan tekanan intrakranial sama pada kedua penyakit itu. Pada pasien dengan presentasi meningitis yang subakut, kortikosteroid mungkin sedikit menguntungkan bila edema serebri dan peningkatan tekanan intracranial bukan merupakan etiologi dari komplikasi neurologis. Dexamethasone menurunkan edema otak, menurunkan resistensi outflow CSS, menurunkan produksi sitokin inflamasi, menurunkan jumlah leukosit, sehingga masa inflamasi di ruang subarakhnoid berkurang, dan meminimalisasi kerusakan di sawar darah otak. Dexamethasone direkomendasikan pada kasus meningitis tuberkulosa dengan telah adanya salah satu komplikasi di bawah ini : 1. Penurunan kesadaran; 2. Papiledema;

29

3. Defisit neurologis fokal; dan atau 4. Tekanan pembukaan CSS lebih besar dari 300 mmH2O Dosis dexamethasone adalah 10 mg bolus intravena kemudian 4x5 mg intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.

Meningitis Viral/Aseptik Definisi Berdasarkan definisi, merupakan suatu penyakit dengan gambaran klinis meningitis, abnormalitas CSS yang ringan, dan bersifat jinak. Kriteria definitif untuk aseptik meningitis diantaranya: 1. onset akut; 2. tanda dan gejala rangsang meningeal; 3. abnormalitas CSS tipikal untuk meningitis dengan sel mononuclear predominan; 4. bakteri tidak tampak pada pewarnaan dan kultur CSS; 5. tidak ada fokus infeksi parameningeal; 6. perjalanan penyakit bersifat jinak dan self limited.

Gambaran Klinis Penderita dengan meningitis virus tampak sakit akut, mengeluh nyeri kepala frontal atau retro-orbital, fotofobia, nyeri otot, mual,muntah, tapi tetap sadar dan waspada. Yang paling dikeluhkan adalah nyeri kepala grippe-like. Pada pemeriksaan fisik, ada tandatanda iritasi meningeal, pasien lethargi, tapi tidak comatose. Keberadaan defisit neurologis fokal tipikal untuk encephalitis viral, terutama herpes simplex virus encephalitis. Defisit neurologis fokal tidak terjadi pada meningitis virus jinak dan sembuh spontan. Infeksi enterovirus dapat diaosiasikan dengan ruam makulopapulae, vesicular atau ptekial. Dapat terbukti adanya lesi genital vesikular atau riwayat herpes genital rekurens pada meningitis virus herpes simplex tipe 2. Enteroviruses merupakan agen infeksi paling sering dari meningitis virus yang etiologinya dapat ditentukan (echovirus tipe 6,9 dan 20 dan Coxsackieviruses A9, B2, B3, dan B5). Gambaran klinik meningitis enteroviruses meliputi nyeri kepala, demam,

30

faringitis, letargi, mual, muntah, dan meningismus. CSSnya memberikan gambaran pleositosis ringan dengan hitung jenis kurang dari 100/mm dan limfosit predominan. Konsentrasi protein sedikti meningkat; konsentrasi glukosa normal. Meningitis enterovirus tipikal self-limmiting dan pengobatannya secara suportif. Herpes simplex virus tipe 2 menyebabkan penyakit kelamin dan meningitis aseptic. Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan identifikasi lesi kelamin vesicular atau keluhan retensi urin atau gejala resikular, diasosiasikan dengan nyeri kepala, demam dan fotofobia ringan. Pemeriksaan CSS menunjukkan limfositik pleositosis (300-400 sel/mm) dengan peningkatan konsentrasi protein. Konsentrasi glukosa dapat normal atau menurun. Diagnosis definitive memerlukan kultur CSS virus positif atau menunjukkan kenaikan 4x IgG spesifik HSV-2. Terapi antiviral direkomendasikan untuk meningitis yang berhubungan dengan infeksi herpes genital primer. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) dapat menyebabkan meningitis terutama karena serologi positif yang terdeteksi. Dalam waktu 3-6 minggu dari infeksi inisial, virus HIV dapat menyebabkan mononucleosis-like syndrome dengan demam, limfadenopati generalisata, infeksi faring, ruam, malaise, mialgia, arthralgia dan splenomegali. Sindroma aseptic meningitis dapat berkembang selama penyakit akut ditandai dengan nyeri kepala, kaku kuduk, fotofobia, dan ensefalopati. Pemeriksaan CSS menunjukkan peningkatan protein (<100 mg/dl), pleositosis mononuclear (<200 sel/mm) dan konsentrasi glukosa yang normal atau sedikit meningkat. Meningitis aseptic yang disebabkan Virus HIV dapat sembuh sendiri, tapi mungkin memerlukan 4 minggu untuk sembuh sempurna. Virus mumps dan virus koriomeningitis limfositik adalah 2 dari beberapa etiologi virus dari meningitis aseptic. Masa inkubasi keduanya adalah 21 hari. Komplikasi neurologis paling sering dari kedua virus ini adalah meningitis. Mumps dan meningitis akibat vaksin Mumps tampak dengan gejala demam, nyeri kepala dan muntah. Mumps ensefalitis tampak dengan adanya demam, penurunan kesadaran, kejang dan defisit neurologis fokal. Abnormalitas CSS yang tipikal pada meningitis mumps berupa : 1. Tekanan pembukaan normal;

31

2. Leukosit count 300-600 sel/mm, dengan limfosit predominan, walau leukosit PMN predominan pada stadium awal; 3. Konsentrasi protein yang normal atau sedikit meningkat; 4. Konsentrasi glukosa normal pada mayoritas kasus, tapi konsentrasi glukosa 20-40 mg/dL dapat tampak pada 10-20 % kasus. Meningitis mumps merupakan self-limmiting illness dengan kesembuhan sempurna.

Diagnosa banding etiologi infeksi dengan gambaran CSS limfositik pleositosis: Viral Enterovirus Mumps Virus Lymphocytic Chorio Meningitis (LCM) Herpes Simplex Virus (HSV) Human Immunodeficiency virus (HIV) Arthropod-borne viruses

Non-viral Mycobacterium tuberkulosis Listeria monocytogenes Mycoplasma pneumoniae Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain spotted fever) Treponema pallidum (syphilis) Borrelia burgdorferi (Penyakit Lyme) Cryptococcus neoformans, Coccidioides immites, Histoplasma capsulatum

Lain-lain Meningitis tuberkulosa yang diobat sebagian Fokus infeksi parameningeal Meningitis dari komplikasi endokarditis Sindroma parainfeksius (acute disseminated encephalomyelitis)

32

Diagnosa banding etiologi non-infeksius dengan gambaran CSS limfositik pleositosis : Sistemic Lupus Erythematosus Sarcoidosis Migraine Traumatic Lumbal Puncture Chronic benign lymphocytic meningitis Vasculitis Meningeal carcinomatosis Pengobatan (ibuprofen, azathioprine, trimethoprim (sulfonamides), sulindac, tolmetin, naproxen)

Pemeriksaan Rutin Pemeriksaan rutin pada cairan serebrospinalis Tekanan pada saat pembukaan CSS Hitung jenis sel Kimia Venereal disease research laboratory test (VDRL) Apusan dan kultur bakteri Kultur virus Tinta india, kultur jamur Antigen Cryptococcal Apusan dan kultur bakteri tahan asam

Pemeriksaan Penunjang Selain pemeriksaan neurologis, studi neuroimaging, dan pemeriksaan CSS, semua pasien sebaiknya melakukan chest X-ray, darah, urine, kultur tenggorokan dan tinja, dan serologis HIV dan sifilis.

33

Meningitis Jamur Banyak terjadi pada individu dengan AIDS; yang mendapat transplantasi organ; kemoterapi imunosupresif atau terapi kortikosteroid kronik; dan pada keganasan limforetikular. Jamur yang paling sering menyebabkan meningitis adalah Cryptococcus neoformans dan Coccidioides immites. Kondisi yang diasosiasikan dapat meningkatkan resiko untuk meningitis diantaranya kehamilan; hemodialisis; kemoterapi imunosupresif (terutama kortikosteroid); transplantasi organ dan AIDS. Pada umumnya invasi ke dalam otak merupakan penyebaran hematogen dari infeksi primer di paru-paru. Penjalaran perkontunuitatum dapat juga terjadi melalui koloninya di nasofaring. Dalam hal tersebut terakhir, nasofaring sendiri dapat tidak mengalami gangguan yang berarti, sehingga kalau terjadi infeksi fungal serebral melalui penjalaran dari nasofaring, manifestasi serebralnya dapat dianggap sebagai gejala neurologik primer. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan selaputnya sebanding dengan metastasis kuman tuberkulosis ke ruang intra kranial. Baik di permukaan korteks maupun di arakhnoid dapat dibentuk granuloma yang besar atau kecil-kecil, yang akhirnya berkembang menjadi abses, juga infeksi fungal selaput otak bersifat meningitis basalis yang sukar dibedakan dengan meningitis tuberkulosa. Cryptococcal meningitis dapat tampak sebagai penyakit akut dengan demam, nyeri kepala, dan fotofobia, serta penurunan sensoris, atau tampak sebagai penyakit subakut dengan nyeri kepala dan demam ringan. Pada coccidiomycosis CNS pun dapat tampak sebagai penyakit akut dan sub akut dengan gejala demam, demam ringan, mual muntah, dan perubahan mental. Apabila terdapat SOL atau vaskulitis, dapat tampak defisit neurologis fokal maupun kejang. Diagnosis pasti dengan kultur LCS pada Sabouraund glucose agar atau latex aglutinasi. Gambaran LCS pada meningitis jamur hampir sama dengan TB, dimana terjadi peningkatan tekanan LCS, pleositosis dengan dominasi limfositik, peningkatan kadar protein dengan kadar glukosa normal atau menurun.

34

Terapi yang direkomendasikan pada pengobatan meningitis jamur Organisme Cryptococcus neoformans Pasien Non-AIDS Obat antifungal Amfoterisin B IV 0.3 mg/kg/hari plus Flucytosine 150 mg/kg/hari Untuk 6 minggu atau Amfoterisin B 0.4-0.6 mg/kg/hari Pasien AIDS Amfoterisin B IV (0,5-0,8 mg/kg/hari) Untuk total dosis 1-1,5 g diikuti oleh Terapi supresif kronik dengan Fluconazole (200mg/hari) Coccidioides immites Amfoterisin B IV 0,4-0,6 mg/kg/hari Plus Amfoterisin B Intraventricular 0,25-0,75 mg tiga kali seminggu Histoplasma capsulatum Amfoterisin B IV untuk total dosis 35 mg/kg digunakan selama 6-12 minggu

DAFTAR PUSTAKA

1. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview.

35

2. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. Pediatric Hospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6. 3. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf 4. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated : August 6th, 2009 Available from :

http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html 5. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier saunders; 2005. h. 106-13. 6. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h. 2038-47. 7. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71 8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. 9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9. 10. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 208. 11. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview. 12. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August 6th, 2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html.

36

Anda mungkin juga menyukai