Anda di halaman 1dari 16

Gangguan Mood 1.

Definisi gangguan mood Mood adalah kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis seseorang. Gangguan mood adalah suatu tipe gangguan yang ditandai dengan adanya gangguan pada mood. 2. Tipe-tipe gangguan mood Tipe-tipe gangguan mood dibedakan menjadi gangguan unipolar dan bipolar. Gangguan unipolar merupakan gangguan yang terjadi hanya terjadi pada satu arah atau kutub emosional. Gangguan depresi merupakan jenis gangguan unipolar. Sementara itu, gangguan yang melibatkan perubahan mood termasuk pada gangguan bipolar. Berikut adalah table tipe-tipe gangguan mood: Tipe-Tipe Gangguan Mood Gangguan-gangguan Depresi (Gangguan Unipolar) Gangguan Depresi Mayor; terjadinya satu atau lebih periode atau episode depresi (disebut episode depresi mayor) tanpa ada riwayat terjadinya episode manic atau hipomanik alami. Seseorang dapat mengalami satu episode depresi mayor, yang diikuti dengan kembalinya mereka pada keadaan fungsional yang biasa. Umumnya orang yang pernah mengalami episode depresi mayor dapat kambuh lagi diantara periode normal atau kemungkinan mengalami hendaya pada fungsi-fungsi tertentu. Gangguan Distimik ; pola depresi ringan (tetapi mungkin saja menjadi mood yang menyulitkan pada anak-anak atau remaja) yang terjadi dalam suatu rentang waktu-pada orang dewasa, biasanya dalam bebrapa tahun. Gangguan-gangguan Perubahan Mood (Gangguan Bipolar) Gangguan Bipolar; gangguan yang disertai satu atau lebih episode manic

atau hipomanik (episode mood yang melambung dan hiperaktifitas, di mana penillaian dan tingkah laku mengalami hendaya). Episode manic atau hipomanik sering digantikan dengan episode depresi mayor dengan jeda periode mood yang normal. Gangguan siklotimik; gangguan mood kronis meliputi beberapa episode hipomanik (episode yang disertai dengan ciri-ciri manic pada tingkat keparahan yang lebih rendah daripada episode manic) dan beberapa periode mood tertekan atau hilangnya minat atau kesenangan pada kegiatan-kegiatan, tetapi tingkat keparahannya tidak sampai memenuhi criteria sebagai episode depresi mayor.

Ciri-Ciri Umum Depresi

Perubahan pada Kondisi Emosional; perubahan pada mood (periode terusmenerus dari perasaan terpuruk, depresi, sedih, atau muram). Penuh air mata atau menangis. Meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan, atau kehilangan kesabaran.

Perubahan dalam Motivasi; perasaan tidak termotivasi, atau memiliki kesulitan untuk memulai (kegiatan) di pagi hari atau bahkan sulit bangun dari tempat tidur. Menurunya tingkat partisipasi social atau minat pada aktifitas social. Kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas menyenangkan. Menurunnya minat pada seks. Gagal untuk berespons pada pujian atau rewards.

Perubahan dalam Fungsi dan Perilaku Motorik; bergerak atau berbicara dengan lebih perlahan daripada biasanya. Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, bangun lebih awal dari biasanya dan merasa kesulitan untuk kembali tidur di pagi buta-disebut mudah terbangun di

pagi buta. Perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyyak atau terlalu sedikit). Perubahan dalam berat badan (bertambah atau kehilangan berat badan). Berfungsi secara kurang efektif daripada biasanya di tempat kerja atau di sekolah Perubahan Kognitif; kesulitan berkonsentrasi atau berpikir jernih, berpikir negative mengenai diri sendiri, dan masa depan. Perasaan bersalah atau menyesal mengenai kesalahan di masa lalu. Kurangnya self-esteem atau merasa tidak adekuat. Berpikir akan kematian atau bunuh diri.

3. Penjelasan profil orang yang mengalami gangguan depresi mayor yang berat Diagnosis dari gangguan depressive mayor didasarkan pada munculnya satu atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya riwayat episode manic atau hipomanik. Dalam episode depresi mayor, seseorang mengalami salah satu diantara mood depresi (merasa sedih, putus asa, atau terpuruk) atau kehilangan minat atau rasa senang dalam semua atau berbagai aktifitas untuk periode waktu paling sedikit 2 minggu (APA, 2000). Seseorang dengan gangguan depresi mayor juga memiliki selera makan yang buruk, kehilangan, atau bertambah berat badan secara mencolok, memiliki masalah tidur atau tidur terlalu banyak, dan menjadi gelisah secara fisik, atau-pada ekstrem lainnya-menunjukkan melambatnya aktifitas motorik. Depresi mayor menimbulkan hendaya pada kemampuan seseorang untuk memenuhi tanggungjawabnya yang biasa dalam kehidupan sehari-hari (Judd dkk., 2000a). meski depresi merupakan gangguan psikologis yang dapat didiagnosis, lebih dari 40% orang Amerika yang di-polling dalam survey terkini mempersepsikannya sebagai suatu tanda kelemahan pribadi (Brody, 1992c). banyak orang tampaknya tidak memahami bahwa seseorang yang secara klinis mengidap depresi tidak dapat dengan mudah menghilangkannya dalam sekejap. Sikap ini, dapat menjelaskan mengapa, terlepas dari tersedianya penanganan

yang aman dan efektif, kebanyakan orang yang secara klinis mengidap depresi tetap tidak terdiagnosis dan tidak tertangani atau gagal mendapatkan penanganan yang tepat (Gilbert, 1997a; Hirschfeld dkk., 1997). Gangguan depersi mayor adalah tipe yang paling umum dari gangguan mood yang dapat didiagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidup berkisar antara 10% hingga 25% untuk wanita dan 5% hinggan 12% untuk pria (APA, 2000). Diperkirakan 120 juta orang di seluruh dunia menderita depresi (E. Olson, 2001). Sebuah kasus gangguan depresi mayor: Seorang pegawai administrasi perempuan, berusia 38 tahun, telah menderita depresi singkat yang muncul berulang kali sejak ia berusia 13 tahun. Terakhir ia mersa terganggu oleh serangan menangis di tempat kerjanya, terkadang muncul secara sangat tiba-tiba sehingga ia tidak punya cukup waktu lari untuk ke toilet wanita demi menyembunyikan tangisnya dari orang lain. Ia mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi saat bekerja dan merasa kurang mendapat kepuasan dari pekerjaan yang sebelumnya sangat ia nikmati. Ia menyimpan perasaan pesimistis dan rasa marah yang parah, yang akhir-akhir ini telah menjadi semakin parah karena berat badannya bertambah dan ia mengabaikan perawatan terhadap diabetes yang dididapnya. Ia merasa bersalah terhadap kemungkinan bahwa ia sedang membunh dirinya sendiri secara perlahan-lahan dengan tidak menjaga kesehatannya secara lebih baik. Ia terkadang merasa pantas untuk mati. Ciri-Ciri Diagnostik dari Suatu Episode Depresi Mayor Suatu episode depresi mayor ditandai dengan munculnya lima atau lebih cirri-ciri atau simtom-simtom dibawah ini selama suatu periode 2 minggu, yang mencerminkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya. Paling tidak satu dari cirriciri tersebut harus melibatkan (1) mood yang depresi, atau (2) kehilangan minat atau kesenangan dalam beraktivitas. Lebih lagi, simtom-simtom tersebut aharus menyebabkan baik tingkat distress yang signifikan secara klinis ataupun hendaya

paling tidak dalam satu area penting dari fungsi, serta fungsi social atau pekerjaan, dan harus bukan merupakan akibat langsung dari penggunaan obat-obatan atau medikasi, dari suatu kondisi medis atau dari gangguan psikologis lain. Lebih lanjut lagi, episode tersebut tidak boleh mewakili suatu rekasi berduka yang normal terhadap kematian seseorang yang dicintai-yaitu berkabung (bereavement). 1. Mood yang depresi hampir sepanjang hari, dan hampir setiap hari. Dapat berupa mood yang mudah tersinggung pada anak-anak atau remaja. 2. Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam semua atau hampir semua aktifitas, hampir setiap hari, hampir sepanjang hari. 3. Suatu kehilangan atau penambahan berat badan yang signifikan (5% lebih dari berat tubuh dalam sebulan), tanpa upaya apapun untuk berdiet, atau peningkatan atau penurunan dalam selera makan. 4. Setiap hari atau hampir setiap hari mengalami insomnia atau hipersomnia (tidur berlebihan) 5. Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respons gerakan hampir setiap hari. 6. Perasaan lelah atau kehilangan energy hampir setiap hari 7. Perasaan tidak berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat hampir setiap hari 8. Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih atau untuk mebuat keputusan hampir setiap hari. 9. Pikiran yang muncul berulang tentang kematian atau bunuh diri tanpa suatu rencana yang spesifik, atau munculnya suatu percobaan bunuh diri, atau rencana yang spesifik untuk melakukan bunuh diri.

4. Penjelasan tentang gangguan bipolar Gangguan bipolar adalah suatu gangguan yang ditandai dengan perubahan mood antara rasa girang yang ekstrem dan depresi yang parah. Seseorang dengan

gangguan bipolar seperti mengendarai roller coaster emosional, berayun dari satu ketinggian rasa girang ke kedalaman depresi tanpa adanya penyebab eksternal. Episode pertama dapat berupa manic atau depresi. Episode manic biasanya bertahan beberapa minggu hingga beberapa bulan, umumnya lebih singkat durasinya dan berakhir secara tiba-tiba dibandingkan episode depresi mayor. Sejumlah orang dengan gangguan bipolar yang muncul berulang berusaha untuk bunuh diri pada saat bergerak turun dan fase maniknya. Mereka melaporkan bahwa mereka akan melakukan hampir apapun juga untuk lari dari kedalaman depresi yang mereka tahu akan terjadi DSM membedakan dua tipe umum dari gangguan bipolar, gangguan bipolar I dan gangguan bipolar II (APA,2000). Pada gangguan bipolar I, seseorang mengalami paling tidak satu episode manic secara penuh. Pada banyak kasus individu mengalami perubahan mood antara rasa girang dan depresi dengan diselangi periode antara berupa mood yang normal. Gangguan Bipolar II diasosiasikan dengan suatu bentuk maniak yang lebih ringan. Pada gangguan Bipolar II seseorang mengalami satu atau lebih episode-episode depresi mayor dan paling tidak satu episode hipomanik. Namun, orang tersebut tidak pernah mengalami suatu episode manic secara penuh. Gangguan bipolar relative tidak umum terjadi, dengan angka prevalensi seumur hidup yang dilaporkan oleh survey komunitas berkisar antara 0,4% hingga 1,6% untuk gangguan bipolar I dan sekitar 0,5% untuk gangguan bipolar II (APA, 2000; USDHHS, 1999a). Episode manic atau periode maniak biasanya muncul secara tiba-tiba, mengumpulkan kekuatan selama beberapa hari. Selama satu episode manic, orang tersebut mengalami elevasi atau ekspansi mood yang tiba-tiba dan merasakan kegembiraan, euphoria, atau optimisme yang tidak biasa. Orang tersebut tampak memiliki energy yang tidak terbatas dan menjadi sangat suka bergaul, meski mungkin sampai pada titik dimana ia menjadi sangat menuntut dan memaksa terhadap orang lain. Orang lain menyadari bahwa perubahan yang tiba-tiba pada mood ini adalah

berlebihan bagi kondisi orang tersebut. Orang yang mengalami sebuah episode atau fase manic merasa bersemangat dan akan memperolok orang lain, dengan memberikan lelucon yang keterlaluan, contohnya, mereka cenderung memperlihatkan penilaian yang buruk dan menjadi argumentative, terkadang bertindak sangat jauh seperti merusak barang-barang. Mereka cenderung berbicara sangat cepat. Pikiranpikiran dan pembicaraan mereka dapat melompat dari satu topic ke topic lain.

5. Penjelasanan tentang dinamika psikologis seseorang yang depresi kemudian melakukan bunuh diri dengan paradigma psikodinamika. Teori psikodinamika klasik dari Freud (1917/1957) dan para pengikutnya (misalnya Abraham, 1916/1948) meyakini bahwa deperesi mewakili kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri dan bukan terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah dapat diarahkan kepada self setelah mengalami kehilangan yang sebenarnya atau ancaman kehilangan dari orang-orang yang dianggap penting ini. Freud meyakini bahwa berduka (mourning), atau rasa berkabung yang normal, adalah rposes yang sehat karena dengan berduka seseorang akhirnya dapat melepaskan dirinya sendiri secara psikologis dari seseorang yang hilang karena kematian, perpisahan, atau perseraian. Namun, rasa duka yang patologis tidak mendukung perpisahan yang sehat. Bahkan, hal ini memupuk depresi yang tidak berkesudahan. Rasa duka yang patologis cenderung terjadi pada orang yang memiliki perasaan ambivalen yang kuat-suatu kombinasi dari perasaan positif (cinta) dan negative (marah, permusuhan)-terhadap orang yang telah pergi atau ditakutkan kepergiannya. Freud meneorikan, bahwa saat orang merasa kehilangan, atau bahkan takut kehilangan, figure penting dari orang yang kepadanya mereka miliki perasaan ambivalen, perasaan marah mereka terhadap orang tersebut berubah menjadi kemarahan yang ekstrem. Namun kemarahan yang ekstrem tersebut memicu rasa bersalah, yang justru mencegah mereka untuk mengarahkan rasa bersalah secara langsung kepada orang (disebut objek) yang telah pergi.

Untuk mempertahankan hubungan psikologis dengan objek yang telah hilang, mereka mengintrojeksikan, atau membawa ke dalam, suatu representasi mental dari objek itu. Mereka kemudian menyatukan orang lain tersebut ke dalam self. Sekarang kemarahan terarah ke dalam, berhadapan dengan bagian dari self yang mewakili representasi di dalam dari orang yang hilang . hal ini menimbulkan self-hatred, yang nantinya akan menimbulkan depresi. Menurut pandangan psikodinamika, gangguan bipolar mewakili dominansi yang berubah-ubah dari kepribadian individu antara ego dan superego. Dalam fase dpresi, superego adalah dominan, memproduksi kesadaran yang berlebihan atas kesalahan-kesalahan dan membanjiri individu dengan perasaan bersalah dan ketidakberhargaan. Setelah beberapa waktu, ego muncul kembali dan mengambil alih supermas, memproduksi perasaan girang dan self-confidance yang menandai fase manic. Ekshibisi ego yang berlebihan nantinya akan memicu kembalinya rasa bersalah, menenggelamkan individu kepada depresi. Model psikodinamika klasik memandang depresi sebagai pengalihan ke dalam diri rasa marah terhadap representasi internal atas objek cinta yang hilang. Kemudian bunuh diri mewakili kemarahan yang dialihkan ke dalam yang menjadi bersifat membunuh. Jadi, orang yang bunuh diri tidak berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Mereka malah mencari cara untuk mengekspresikan rasa marah mereka terhadap representasi internal atas objek cintanya. Dengan melakukannya, mereka tentu saja juga menghancurkan diri mereka sendiri. Dalam tulisannya yang lebih baru, Freud berspekulasi bahwa bunuh diri kemungkinan dimotivasi oleh insting kematian, suatu kecenderungan untuk kembali ke keadaan bebas tekanan yang ada sebelum kelahiran. 6. Perbedaan distimik dengan siklotimik Gangguan distimik merupakan suatu tipe gangguan depresi yang ringan namun kroniss. Distimik diambil dari akar bahasa Yunani dys, yang berarti buruk atau sulit dan thymos, berrati spirit. Seseorang dengan gangguan dist imik merasakan spirit yang buruk atau keterpurukan sepanjang waktu, namun mereka

tidak mengalami depresi yang sangat parah seperti yang dialami oleh orang dengan gangguan dperesi mayor. Sementara gangguan depresi mayor cenderung parah dan terbatas waktunya, gangguan distimik relative ringan dan kronis, biasanya berlangsung selama beberapa tahun (Klein dkk., 2000b). perasaan depresi dan kesulitan social terus ada bahkan setelah orang tersebut menanpakkan kesembuhan (USDHHS, 1999a). Resiko dari kambuh kembali juga cukup tinggi (Klein dkk., 2000a). Pada gangguan distimik, keluhan mengenai depresi dapat menjadi semacam pelengkap dari kehidupan orang tesebut sehingga sepertinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur kepribadian mereka. Keluhan yang terus menerus dapat membuat orang lain menganggap mereka perengek dan pengeluh (Akiskal, 1983). Sebagian orang yang mengalami gangguan distimik sekaligus depresi mayor pada waktu yang bersamaan disebut dengan depresi ganda (double depression) dapat dikenakan pada mereka yang mengalami episode depresi mayor yang berlapis dengan gangguan distimik yang bertahan lebih lama (Keller, Hirschfeld, & Hanks, 1997). Gangguan Sikolotimik; cyclothymia berasal dari akar kata Yunani kyklos, yang berarti lingkaran dan thymos (spirit). Pengertian spirit yang bergerak secaar berputar adalah suatu deskripsi yang tepat dari siklotimik karena gangguan ini melibatkan suatu pola melingkar yang kronis dari gangguan mood yang ditandai oleh perubahan mood ringan paling tidak selama 2 tahun (1 tahun untuk anak-anak dan remaja). Gangguan siklotinik biasanya bermula pada masa akhir remaja atau awal masa dewasa dan berlangsung selama bertahun-tahun. Terdapat sedikit, bila ada, periode mood normal yang berlangsung lebih dari sebulan atau dua bulan. Namun, tidak satu pun dari periode mood yang terelevasi atau terdepresi cukup parah untuk dikenakan diagnosis gangguan bipolar. Perkiraan dari penelitian di masyarakat mengindikasikan angka prevalensi semasa hidup untuk gangguan siklotimik adalah antara 0,4% hingga 1 % (4-10 orang dalam 1.000), dimana pria dan wanita hampir sama kemungkinannya untuk mengalami gangguan ini (APA, 2000).

Periode dari mood yang terelevasi fisebut episode hipomanik, dari awalan kata Yunani hypo, yang berarti di bawah atau kurang dari. Episode hipomanik lebih ringan daripada episode manic dan tidak disertai dengan masalah social atau pekerjaan yang berat yang diasosiasikan dengan episode manic yang penuh. Selama episode hipomanik, orang akan memiliki perasaan self esteem yang meningkat, merasa penuh terisi dengan energy, dan kewaspadaan yang tidak biasa, dan menjadi lebih gelisah serta mudah tersinggung daripada biasanya. Mereka dapat bekerja selama berjam-jam tanpa begitu merasa lelah dan atau memebutuhkan tidur. Namun, saat mood mereka berbalik, proyek-proyek mereka dapat ditinggalkan sebelum selesai. Kemudian mereka memasuki keadaan suatu keadaan mood yang terdepresi ringan dan merasa sulit untuk mengumpulkan energy atau minat mereka untuk tetap tekun. Mereka merasa lelah dan tertekan, namun tidak sampai sejauh yang biasa terjadi pada episode depresi mayor. Hubungan social mereka dapat menjadi tegang karena mood yang berubah-ubah, dan pekerjaan mereka akan terbengkalai.

7. Gangguan mood bersumber dari pikiran irasional. Setujukah dengan pendapat ini (sumber dari pandangan kognitif). Berikan alasan! Setuju. Karena pikiran negative dan irasional baik itu terhadap diri sendiri, lingkungan, dan masa depan akan menimbulkan gangguan mood. Hal ini sesuai dengan pandangan Aaron Beck, seorang teoretikus paling berpengaruh dan kognitif, yang menghubungkan pengembangan depresi dengan adopsi dari cara berpikir yang bias atau terdistorsi secara negative di awal kehidupan-segi tiga kognitif dari depresi. Segi tiga kognitif ini mencakup pada keyakinan-keyakinan negative mengenai diri sendiri, lingkungan/ dunia, dan keyakinan negative terhadap masa depan. Teori kognitif meyakini bahwa orang yang mengadopsi cara berpikir negative mengalami resiko yang lebih besar untuk menghadapi gangguan mood dan depresi bila dihadapkan pada pengalaman hidup yang mengecewakan atau menyedihkan, seperti mendapat nilai buruk atau kehilangan pekerjaan.

Segi Tiga Kognitif dari Depresi Pandangan Negatif tentang Diri Sendiri: memandang diri sendiri sebagi tidak berharga, penuh kekurangan, tidak adekuat, tidak dapat dicintai, dan kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan. Pandangan negative tentang lingkungan: memandang lingkungan sebagai memaksakan tuntutan yang berlebihan dan/atau memeberikan hambatan yang tidak mungkin diatasi, yang terus-menerus

menyebabkan kegagalan dan kehilangan. Pandangan negative tentang masa depan: memandang masa depan tidak ada harapan dan meyakini bahwa dirinya tidak punya kekeuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik. Harapan orang ini terhadap masa depan hanyalah kegagalan dan kesedihan yang berlanjut serta kesulitan yang tidak pernah usai.

Beck memandang konsep-konsep negative mengenai self dan dunia ini sebagai cetakan mental atau skema-skema kognitif yang diadopsi saat masa kanakkanak atas dasar pengalaman belajar pada masa awal. Anak-anak dapat menemukan bahwa tiada satu pun yang mereka lakukan yang cukup baik sehingga dapat menyenangkan orang tua. Sebagai hasilnya, mereka akan menganggap diri mereka sendiri sebagai orang yang pada dasarnya tidak kompeten dan memandang suram prospek masa depan mereka. Keyakinan-keyakinan ini akan membuat mereka menjadi lebih sensitive di kehidupan selanjutnya sehingga menginterpretasikan kegagalan atau kekcewaan apapun sebagai refleksi dari sesuatu yang pada dasarnya salah atau tidak adekuat mengenai diri mereka sendiri. Kekecewaan kecil dan kegagalan pribadi menjadi dibesar-besarkan melampaui proporsinya. Bahkan satu kekecewaan kecil dapat menjadi hempasan yang merusak, atau kekalahan total, yang dapat mentebabkan depresi.

Kecenderungan untuk membesar-besarkan pentingnya kegagalan kecil adalah sebuah contoh dari kesalahan dalam berpikir yang disebut Beck sebagai distorsi kognitif. Ia percaya bahwa distorsi kognitif membentuk tahapan-tahapan untuk depresi di saat menghadapi kehilangan personal atau peristiwa hidup yang negative. Psikiater David Burns (1980) menyusun sejumlah distorsi kognitif yang diasosiasikan dengan depresi: a. Cara berpikir Semua-atau-Tidak Sama Sekali (All-or- Nothing Thingking). Memandang kejadian-kejadian sebagai hitam dan putih, sebagai semua tentangnya baik atau semua tentangnya buruk. b. Generalisasi yang berlebihan. Mempercayai bahwa bila suatu peristiwa negative terjadi , maka hal itu cenderung akan terjadi lagi pada siatuasi yang serupa di masa depan c. Filter mental. Berfokus hanya pada detail-detail negative dari suatu peristiwa , dan dengan sendirinya menolak unsure-unsur positif dari semua yang pernah dialami. Seperti nila setetes rusak susu sebelanga, brfokus hanya pada satu detail negative dapat menggelapkan visi seseorang akan realitas. d. Mendiskualifikasikan hal-hal positif. Ini mengacu pada kecenderungan untuk memilih kalah dari kemenangan yang hampir terjadi dengan menetralisasi atau tidak mengakui pencapaian-pencapaian yang didapatkan. e. Tergesa-gesa membuat kesimpulan. Membentuk interpretasi negative

mengenai suatu peristiwa meskipun kekurangan bukti. f. Membesar-besarkan dan mengecilkan. Membesar-besarkan, atau

mengkatastrofekan, mengacu pada kecenderungan untuk membuat gunung dari kerikil-kerikil-untuk membesar-besarkan pentingnya peristiwa negative, kekurangan pribadi, ketakutan, atau kesalahan. Mengecilkan adalah memandang rendah kebaikan-kebaikannya. g. Penalaran emosional. Mendasarkan penalaran pada emosi-berpikir misalnya, bila saya merasa bersalah, ini pasti karena saya telah melakukan suatu kesalahan yang sangat besar. Meinginterpretasikan perasaan dan peristiwa

berdasarkan emosi dan bukan terhadap pertimmbangan-pertimbangan yang adil terhadap bukti. h. Pernyataan-pernyataan keharusan. Menciptakan perintah personal atau self commandments keharusan-keharusan atau semetinya-semestinya.

Misalnya; pukulan pertama saya harus masuk. Musterbation-label yang diberikan oleh Albert Ellis untuk metode berpikir seperti ini yang dapat menyebabkan seseorang menjadi depresi saat gagal mencapainya. i. Memberi label dan salah melabel. Menjelaskan perilaku dengan melekatkan label negative pada diri sendiri dan orang lain. j. Melakukan personalisasi. Hal ini mengacu pada kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa diri anda bertanggung jawab atas masalah dan perilaku orang lain.

Kasus: Kesalahan Berpikir dalam Sebuah Kasus Depresi Cristie adalah seprang agen real estate berusia 33 tahun yang mengalami episode depresi secara berulang-ualang. Setiap kali gagal menjual ia akan menyalahkan dirinya sendiri: Bila saja saya bekerja lebih keras lebih keras dalam bernegosiasiberbicara dengan lebih persuasivepenjualan itu pasti sudah terjadi. Setelah sejumlah kekecewaan yang beruntun , masing-masing diikuti oleh self-recriminations, ia merasa benar-benar ingin keluar dari pekerjaannya. Cara berpikirnya menjadi makin didominasi oleh pikiran-pikiran negative, yang membuat moodnya menjadi lebih tertekan dan menurunkan self esteemnya: saya seorang pecundangsaya tidak akan pernah suksesini semua kesalahan sayasaya tidak ada gunannya dan saya tidak akan pernah sukses dalam keadaan apapun juga.

Pikiran Christie mencakup kesalahan-kesalahan kognitif sebagai berikut: Personalisasi; meyakini dirinya merupakan satu-satunya penyebab dari peristiwa-peristiwa negative Memberi label dan salah melabel; melabel dirinya sebagai seorang pecundang Generalisasi yang berlebihan; meramalkan masa depan yang suram dengan berdasarkan pada kekcewaan masa kini Filter mental; menilai kepribadiannya secara keseluruhan berdasarkan kekecewaannya. Dalam terapi, Cristie dibantu untuk berpikir lebih realistis mengenai peristiwa-oeristiwa yang terjadi dan untuk tidak mudah mengambil kesimpulan bahwa ia secara otomatis bersalah bila suatu penjualan gagal diselesaikan, atau untuk tidak menilai keseluruhan pribadinya berdasarkan kekcewaan atau kelemahan yang dipersepsikan dalam dirinya. Menggantikan gaya berpikrnya yang self defeating, ia mulai berpikir lebih realistis saat kekecewaan terjadi, seperti mengatakan pada dirinya sendiri, Oke saya kecewa. Saya frustasi. Saya merasa kesal. Lalau kenapa? Ini tidak berarti saya tidaka akan pernah sukses. Biar saya menemukan paa yang salah dan

mencoba mmeperbaikinya lain kali. Saya harus melihat ke depan dan tidak tenggelam memikirkan kekecewaan di masa lalu.

Daftar Pustaka Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, & Beverly Greene. 2003. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I dan II. Terj. Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta:Erlangga

TUGAS PSIKOLOGI ABNORMAL

GANGGUAN MOOD

Di susun Oleh:

Ade Irma Arifin


0910352018

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS ANDALAS Padang, 2012

Anda mungkin juga menyukai