Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS KASUS KELOMPOK 5

1. Nimas Ayu N 2. Wahyuningsih 3. Honesty pujiyani 4. Fillia Oksi 5. Renidya 6. Ratna Septiningsih 7. Rahmi Ariyanti

8. Husniar Adzani

KASUS 1

Bidan yt di puskesmas pembantu di duga melakukan mal


praktek dengan memberikan obat , CTM. Paracetamol, obat batuk berwarna merah pada seorang bayi berumur

3 bulan dengan keluhan panas . Setengah jam setelah di


berikan obat, bayi tersebut mengalami kejang kejang dan tubuhnya membiru. Sudah di bawa ke RSUD Bari Palembang namun bayi tersebut tidak terselamatkan.

Lanjutan
Tindakan : pemberian obat pada bayi usia 3

bulan yang mengalami panas


Pelanggaran : kode etik dan wewenang

Tanggapan
Pemberian obat tidak sesuai dengan keluhan

yang dialami pasien


Tidak sesuai dengan wewenang

Analisis
Dalam kasus ini, bidan bisa dikatakan melanggar wewenang, namun juga dapat dikatakan tidak melanggar wewenang karena di dalam berita tidak disebutkan

sedang ada atau tidak dokter di pustu tersebut.


Melanggar wewenang:
1.

Dalam penyelanggaraan praktik sesuai dengan PerMenkes no 1464/2010 BAB III pasal 9, bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi

a. b. c.

Pelayanan kesehatan ibu Pelayanan kesehatan anak Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana

Lanjutan
2.Permenkes no 1464/2010 BAB III:

pasal 11 ayat 1 dan 2

pasal 14 ayat 3

Tidak melanggar: 3.Bidan boleh melakukan wewenang tersebut jika tidak ada dokter di wilayah tersebut Permenkes no 1464/2010 BAB III:

Pasal 14 ayat 1 dan 2 pasal 15 ayat 1 dan 2 pasal 16 ayat 1, 2 , dan 3.

Sanksi
Permenkes no 1464/menkes/per/x/2010 pasal 23 ayat 2 A . teguran lisan B. teguran tertulis C. pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama 1

tahun
D. pencabutan SIKB/SIPB selamanya

Solusi
1. Seharusnya bidan melakukan diagnosa dengan baik sehingga tidak terjadi kesalahan pemberian obat atau dosisnya 2. Jika di puskesmas pembantu tersebut ada dokter, sebaiknya bidan tersebut menghubungi dokter tersebut agar pasien diperiksa oleh dokter. Tetapi seandainya dokter sedang tidak ada, bidan bisa mengonsultasikan pada dokter melalui alat komunikasi, agar bidan lebih tepat dalam memberikan tindakan.

Kesimpulan
Dalam menjalankan praktik kebidanan, bidan

harus menjalankan praktik sesuai wewenang


agar resiko kesalahan dapat di minimalkan

sehingga tidak ada pihak yang di rugikan

1. Tindakan yang dilakukan dalam kasus ini.


Mantri memberi obat (pemberian seharusnya wewenang dokter)

Dituduh melanggar pasal 108 UU kesehatan (yang berwenang


memberikan pengobatan hanya dokter dengan obat silomidia dan vitamin.

Dalam kasus mantri berada di Desa pedalaman yang besar kemungkinan tidak ada dokter.
Di Indonesia praktek mantri adalah suatu keterpaksaan, di
mana tenaga dokter sangat terbatas

2. Dalam kasus hukum digolongkan dalam


pelanggaran apa?
Dalam kasus hukum kasus ini tergolong pelanggaran etika. Sehingga dikenakan sanksi perdata dengan denda 10 juta subsider 5 bulan kurungan.

3. Apakah Mantri tersebut telah melanggar atau melakukan standar pelayanan tenaga kesehatan?
Tindakan mantri Irfan tersebut telah melanggar standar pelayanan tenaga kesehatan sesuai dengan UU No 108 ayat (1) UU Kesehatan (yang berwenang memberikan obat adalah tenaga kefarmasian ). Tapi ditinjau dari keadaan tersebut mantri berada di desa pedalaman dan dalam keadaan seperti itu berlaku : jika tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu (yang) dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter atau dokter gigi, bidan,

dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan
jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.

Kasus matri irfan ini mengacu pada kasus Matri Misran. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan mantri kesehatan asal Kalimantan Timur yang mengajukan

uji materi atas pasal 108 ayat 1 dan pasal 190 UU ayat 1 nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan. Dari putusan MK, dalam keadaan tertentu seorang mantri dalam keadaan tertentu diperkenankan untuk melakukan praktik kefarmasian demi menyelamatkan pasien.

4. Apakah Mantri tersebut telah melakukan kewajiban sesuai kode etik profesi?
Mantri itu sudah melakukan kewajiban sesuai kode etik profesi.

5. Pelanggaran mana yang telah dilakukan oleh Mantri tersebut?

Mantri tersebut melakukan pelanggaran pelayanan yang bukan wewenangnya yaitu memberikan obat pada pasien sesuai UU No 108 ayat (1) UU Kesehatan (yang berwenang memberikan obat adalah tenaga kefarmasian ). Tapi dalam hal

ini mantri berada di desa pedalaman dan dalam keadaan seperti itu berlaku :
jika tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu (yang) dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien

6. Pasal yang terkait kasus tersebut

Ketentuan UU No 108 ayat (1) UU Kesehatan mengatur bahwa praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Sementara dalam Penjelasan Pasal 108 ayat (1) ditegaskan, Yang dimaksud dengan "tenaga kesehatan dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan dan perawat yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Mahkamah membatalkan pasal 108 ayat 1 UU Kesehatan, yang melarang mantri memberikan pengobatan.

Implementasi UU kesehatan bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945. Pada pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 disebutkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang


baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Melihat pasal 28 H ayat 1 tersebut, maka misran beserta kuasa hukumnya mengusulkan bahwa pasal 108 UU kesehatan no. 36 tahun 2009 agar dibatalkan keabsahannya

karena tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan


dengan UUD 1945.

Setelah kasus Mantri Misran ini, MK memutus mengabulkan permohonan Misran. Dengan demikian

kini para mantri boleh melakukan pelayanan kesehatan


layaknya dokter. Keputusan yang membolehkan mantri

praktek adalah perawat yang melakukan tugasnya


dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.

SOLUSI KASUS 2 :

A. Kemendagri

Pemerintah Daerah baik itu propinsi dan kabupaten seharusnya bisa memetakan daerah mana yang tergolong terpencil sehingga dimungkinkan seorang mantri memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat setempat. Sebagai contoh di daerah perkotaan tidak diperbolehkan mantri praktek walalupun kenyataannya tidak ada masyarakat kota yang berobat ke mantri. Intinya UU No 36/2009 bisa dijabarkan ke dalam bentuk Perda.

B. Kemenkes

Membuat standarisasi yang memungkinkan seorang mantri bisa praktek. Standard dengan pendidikan dan ketrampilan tertentu yang bisa melegitimasi seorang mantri bisa memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Ini bisa semacam ajang sertifikasi bagi perawat. Sertifikasi yang meliputu segala aspek tindakan keperawatan, kefarmasian, kegawatdaruratan. Sertifikasi ini harus selalu diperbarui sehingga pendidikan dan ketrampilan selalu up to date. Ini juga diperlukan untuk penerbitan surat ijin dsb.

Di samping ada SOP dan scope of practice yang jelas. Misalnya obat apa saja yang boleh diberikan, tindakan apa saja yang bisa diberikan dan sanksi-sanksi yang jelas bagi yang melanggar SOP

Anda mungkin juga menyukai