Anda di halaman 1dari 13

Pendahuluan

Hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial meliputi kurang lebih 90 % dari seluruh penderita hipertensi dan sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Dari golongan hipertensi sekunder hanya 50 % yang dapat diketahui sebabnya, oleh karena itu upaya untuk penanganan hipertensi esensial lebih mendapatkan prioritas. Menurut WHO (1978) batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg, dan tekanan darah sama atau di atas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai Hipertensi, tekanan darah diantara normotensi dan hipertensi adalah borderline hipertensi. Batasan tersebut tidak membedakan usia dan jenis kelamin. The sixth Report of the Joint Comitee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (1997) mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolic 90 mmHg atau lebih. Dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk yang berumur 18 tahun atau lebih Katagori Optimal Normal Normal tinggi Hipertensi Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Sistolik < 120 < 130 130-139 140-159 160-179 > 180 Diastolik < 80 < 85 85-90 90-99 100-109 > 110

dan dan atau atau atau atau

Hipertensi renovaskuler adalah salah satu bentuk hipertensi sekunder. Prevalensinya yang pasti belum diketahui, diperkirakan sekitar 5 % dari seluruh populasi hipertensi dan merupakan penyebab terbanyak dari hipertensi sekunder. Diagnosis untuk hipertensi ini sering dilewatkan, padahal diagnosis pasti diperlukan. Hipertensi jenis ini merupakan hipertensi yang dapat diobati/disembuhkan pada setiap umur. Hipertensi ini juga merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronis yang potensial untuk reversibel. Batasan Hipertensi renovaskuler didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sekunder yang disebabkan oleh berbagai kondisi yang berhubungan dengan arteri ke jaringan ginjal, atau hipertensi yang disebabkan oleh lesi arteri renalis yang dapat sembuh setelah koreksi terhadap lesi tersebut atau dengan mengangkat ginjal yang bersangkutan. Diagnosis pasti hipertensi renovaskuler ditegakkan secara retrospektif , yaitu setelah dilakukan tindakan koreksi.

Walaupun secara morfologis didapatkan suatu lesi ataupun kelainan pada arteri renalis, namun hubungan hipertensi dengan lesi pada arteri renalis yang diduga sebagai penyebab hipertensi tersebut dipastikan setelah melakukan koreksi terhadap lesi tersebut.. sebelum dilakukan tindakan nefrektomi, tidak dapat disimpulkan apakah hipertensi disebabkan oleh hipoplasia ginjal atau oklsi dari pembuluh darah ginjal tersebut atau oleh kedua-duanya. Bila hipertensi renovaskuler ini berlangsung lama dan menjadi bagian dari suatu sindrom hipertensi maka sifat reversibilitasnya akan hilang, karena mungkin akibat hipertensi ini telah terjadi kerusakan pada ginjal dan pembuluh darah non renal. Etiologi dan Patofisiologi 1. Etiologi Penyebab yang tersering dari hipertensi renovaskuler adalah aterosklerosis arteri renalis dan displasi muskuler. Kedua kelainan ini merupakan 95 % dari penyebab hipertensi renovaskuler. Gambaran yang menyeluruh penyebab hipertensi renovaskuler dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Types of lession associated with renovaskuler hypertension Intrinsic Lession -Atherosklerosis -Fibromuskular displasia -intimal -medial -Aneurysm -Emboli -Arteritis -polyarteritis nodusa -Arteriovenous malformation atau fistula -Renal artery or aortic dessection -Angioma -Neufibromatosis

-Tumor thrombus -Trombosis with antiphospolipid syndrome -Rejection of renal transplatasion -Injury of the renal artery -trombosis after umbilical artery catheteryzation -surgical ligation -trauma -Radiation -Lithotripsy -Congenital unilateral renal hipoplasia -Unilateral renal infection Extrensic Lessions -Pheochromacythoma or paraganglioma -Congenital fibrous band -Pressure from diaphragmatic crus -Tumor -Subcapsular or perirenal tumor -Retroperitoneal fibrosis -Ptosis -Ureteral obtruction -Perirenal pseudocyst -Stenosis of celiac axis wih steal of renal blood flow. Dikutip dari : Kapplan Clinical Hypertension, eight edition

3.1.1. Aterosklerosis Lesi aterosklerotik pada arteri renalis terutama terjadi pada segmen proksimalnya, yang merupakan komplikasi aterosklerosis secara menyeluruh. WHO pada tahun 1958 mendefinisikan sebagai berikut : Perubahan variabel intima arteri yang merupakan akumulasi fokal lemak (lipid), komplek karbohidrat, darah dan hasil produk darah, jaringan fibrous dan deposit kalsium yang kemudian diikuti dengan perubahan lapisan media. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dan merangsang terbentuknya aterosklerosis. Faktor-faktor ini disebut faktor resiko. Faktor resiko ada yang dapat dimodifikasi dan ada yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah: merokok, hiperlipoproteinemia dan hiperkolesterolnemia, hipertensi, diabetes mellitus dan obesitas. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin (pria), riwayat keluarga dengan penyakit aterosklerosis. Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dingding arteri. Karbon monoksid (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dingding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat menimbulkan hipersensitif dingding arteri. 3.1.2. . Fibromuskular displasia Penyakit fibromuskular umumnya mengenai kelompok usia muda, wanita lebih sering terkena daripada pria penyakit fibrodisplasi umumnya mengenai bagian distal arteri renalis atau cabang intra renalnya biasanya terjadi bilateral, fibromuskular displasia dapat menyebabkan hipertensi tapi kadang-kadang dapat menyebabkan kerusakan yang hebat pada fungsi ginjal, fibromuskular displasia merupakan kelainan congenital yang autosomal dominan. 1. Fibroplasia intima Bentuk yang paling jarang ( 1%), jenis primer, idiopathic, penebalan intima melingkar, terdapat jaringan fibrous, materi seperti musin, dengan sebukan sedikit atau sedang. Sering ada reduplikasi membran elastika interna, sedangkan tunika media dan adventisia masih baik. Kelainan intima juga dijumpai pada kasus hipertensi maligna dimana tekanan darah dapat dikontrol dengan obat jangka panjang dan hemodialisa jangka panjang. 1. Fibrodisplasia media dengan aneurisma mural Angka kejadian 64 % dari seluruh kasus displasia, terutama pada wanita muda dan sering pada 2/3 bagian distal arteri renalis yang sering meluas ke cabang pertama arteri dan kebanyakan bilateral. Pada arteriografi sering terlihat sebagai pita sosis atau pita manik-manik. Pada lesi tersebut terdapat penimbunan jaringan ikat dan sel otot polos yang atropik sehingga lumen menyempit (berupa pita) diselingi dengan mikroaneurisma (berupa manik) yang dasarnya membran elastika yang kebanyakan menebal sedangkan tunika media hilang. Tunika intima normal tetapi membran elastika interna hilang atau menebal.

1. Fibrodisplasia perimedial Angka kejadian 20 % dari seluruh displasi, secara mikroskopis terlihat 1/2-2/3 bagian luar tunika media diganti dengan jaringan kolagen. Aneurisma tidak ada, intima normal atau terlihat beberapa focus penebalan jaringan fibrous. Tunika elastika ekterna biasanya sedikit menebal. 1. Lesi Adventisia Fibroplasi periarterial ditemukan paling jarang (1%). Adventisia diganti jaringan kolagen yang meluas ke jaringan fibrous yang berlemak. Jaringan adventisia diinfiltrasi secara fokal oleh limfosit dan sel plasma. Lapisan lain normal. 2. Patofisiologi 2.1. Peranan Sistem Renin Angiotensin Pada saat awal terjadinya penyempitan lumen arteri renalis (stenosis), baik pada cabang utama ataupun cabang segmental, aparatus juxtaglomerular akan melepaskan renin yang menyebabkan pembentukan angiotensin I, yang kemudian diubah diginjal menjadi angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteriol eferen ginjal. Hal ini menyebabkan meningkatnya tekanan pada pembuluh darah ginjal proksimal. Peningkatan tekanan arteriol ginjal dapat mensupresi sekresi renin. Walaupun proses ini kemudian akan menyebabkan hipertensi, tekanan darah sistematik dan aktivitas renin perifer pada tahap ini tetap normal Dengan bertambahnya stenosis pada arteri renalis, terjadi tekanan pada arteriol aferen dan meningkatkan kembali sekresi renin. Pada sirkulasi sistemik, aktifitas renin menyebabkan produksi angiotensin I yang diubah oleh angiotensin converting enzyme menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor yang poten hingga terjadilah hipertensi sistemik. Angiotensin II juga memfasilitasi sekresi norepinefrin dan meningkatkan efeknya. Karena menstimulasi sekresi aldosteron, angiostensin II juga menstimulasi reabsorbsi natrium pada tubulus ginjal. Dengan peningkatan tekanan darah terjadi natriurisasi, pada ginjal yang sehat, untuk mengurangi retensi Na. Tetapi, pada stenosis bilateral hal ini tidak mencukupi hingga volum tetap meningkat dan terjadi hipertensi . Tingginya kadar renin pada pemeriksaan aktifitas renin plasma menunjukkan bahwa terdapat iskemi pada ginjal tersebut sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal oleh suatu oklusi dan suplai darah melalui aliran kolateral tidak mencukupi untuk ginjal tersebut 2.2. Pengaruh hemodinamik Jika stenosis arteri renalis timbul pada ginjal soliter,maka tidak terdapat ginjal kontralateral yang dapat mengeluarkan fraksi natrium yang diretensi sebagai hasil dari sistem renin-angiotensinaldosteron. Akibatnya, volum meningkat, tekanan darah meningkat, diikuti kembalinya perfusi pada ginjal soliter. Ketika perfusi arteriol ginjal kembali normal, sekresi renin menurun, aktivitas renin perifer mungkin normal. Hipertensi pada keadaan ini disebabkan terutama oleh ekspansi

volume. Sistem renin dan angiotensin pada kasus ini seakan-akan tertutupi ( masking effect ). Kondisi ini dapat terjadi pada stenosis arteri renalis bilateral. Jika volume dikurangi dengan pemberian terapi diuretik, perfusi ke ginjal menurun dan sekresi renin dapat kembali meningkat . Pada pasien ini, peningkatan tekanan darah bukan melalui mekanisme ekspansi volume namun melalui mekanisme yang pertama, yaitu vasokonstriksi. 2.3. Pengaruh Posisi Ginjal (Nefroptosis) Nefroptosis atau mobilitas ginjal yang abnormal diduga menyebabkan tertekuknya arteri renalis yang akan menyulut terjadinya fibrosis dan obstruksi, Penderita dengan nefroptosis didapatkan penurunan laju filtrasi glomerulus lebih menurun pada posisi tegak. 2.4. Pengaruh Faktor Hormonal yang lain Hipertensi renovaskuler dapat mengakibatkan hiperaldosteronism sekunder sedang sampai berat, hal ini dapat diakibatkan oleh adanya dissosiasi aktivitas kadar plasma renin dengan kadar angiotensin II, dapat juga disebabkan karena adanya keseimbangan natrium yang berubah dalam hal sensitivitas terhadap angiotensin II. Adanya kekurangan natrium akan memperbesar respon aldosteron terhadap Angiotensin II pada sel glomerulus. Plasma katekolamin mungkin normal pada penderita hipertensi renovaskuler tanpa adanya azotemia, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem syaraf simpatis berperan bagi timbulnya fluktuasi tekanan darah, karena adanya korelasi antara tekanan darah dengan kadar norepineprin dan renin. Prostaglandin juga dapat meningkat dalam darah vena ginjal dan urin pada penderita hipertensi renovaskuler, prostaglandin dapat meningkatkan pelepasan renin pada penderita hipertensi renovaskuler, diduga akibat ginjal yang mengalami iskhemik. Gambaran Klinis Tanpa anamnesis yang jelas tentang mana yang terjadi terlebih dahulu antara hipertensi dan penyakit ginjal,sangat sukar untuk memastikan apakah hipertensi yang terdapat pada seseorang penderita dengan penyakit ginjal adalah primer ataukah sekunder. Pada dasarnya pada tiap penderita hipertensi haluslah dilakukan evaluasi yang baik untuk menetapkan diagnosis, sehingga pengobatannya bersifat kausal. Perlu dilakukan : 1. anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan teliti. 2. pemeriksaan laboratarium awal meliputi pemeriksaan urinalisis, darah lengkap, LED, BUN dan kreatinin serum, gula darah dan lemak darah. 3. elektrokardiogram, echokar diogram dan foto toraks. Pemeriksaan klinis sederhana tersebut biasanya sudah cukup untuk membedakan sebagian besar penderita hipertensi sekunder dari hipertensi esensiil.

Untuk hipertensi renovaskuler ada beberapa kekususan anemnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat membantu. Anamnesis : Nyeri perut atau pinggang disertai timbulnya hipertensi. Hipertensi mendadak pada penderita dibawah umur 30 tahun atau diatas umur 50 tahun. Timbulnya accelerated hypertension pada penderita diatas 60 tahun. Hipertensi membangkang terhadap obat. Pernah mengalami CVA atau tromboemboli sebelumnya. Tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga Menjeleknya fungsi ginjal setelah diterapi dengan ACEI Merokok

Fisik : terdengarnya bising vaskuler ( bruit ) di daerah perut atau kostovetebral.

Laboratory: Hiperaldosteronism Peningkatan plasma renin Proteinuria Peningkatan serum kreatinin Perbedaan ukuran ginjal >1.5 cm pada sonography

5. Diagnosis Di bawah ini ditunjukkan indek dari gambaran klinik yang dicurigai akan kemungkinan Hipertensi renovaskuler dan pemeriksan penunjang yang perlu. Index yang bernilai rendah (tidak perlu dilakukan test screening)

Borderline hipertensi, hipertensi ringan sampai sedang tanpa

disertai gejala yang klinik. Index yang bernilai sedang (dianjurkan pemeriksaan yang non invasive)

Hipertensi berat (tekanan diastolik .120 mmHg) Hipertensi dengan dugaan adanya bruit pada abdomen. Hipertensi yang tidak mempan dengan terapi standar Hipertensi sedang atau berat yang muncul tiba-tiba pada umur <20 tahun atau >50 tahun Hipertensi sedang (tekanan diastolic >105 mmHg) pada perokok, atau pada penderita yang mengalami penyumbatan pembuluh darah arteri (cerebrovaskuler, coronary, pembuluh darah perifer), atau pada pasien dengan peningkatan serum kreatinin yang tidak dapat dijelaskan. Hipertensi sedang atau berat yang mempunyai respon yang baik (menjadi normal) dengan pengobatan ACEI atau ARB (khususnya pada perokok atau penderita hipertensi yang onset cepat)

Index yang bernilai tinggi (boleh langsung dilaksanakan arteriography)

Hipertensi berat (tekanan diastolik, >120 mmHg) dengan pengobatan yang adekuat.

Insufisiensi renal yang progresif atau yang refrakter terhadap


Hipertensi maligna ( retinopathy grade iii atau iv) Hipertensi dengan peningkatan serum kreatinin yang tidak dapat dijelaskan, yang dipicu oleh ACEI atau ARB Hipertensi sedang atau berat dengan perbedaan ukuran dari kedua ginjal.

Pemerikasaan Penunjang Diagnosis hipertensi renovaskuler didasarkan atas dua tahap pemeriksaan yaitu tes seleksi (screening test) dan tes penentu (confirmative test) 1. Tes seleksi a. Pyelografi intravena, Dugaan hipertensi renovaskuler timbul bila ditemukan : - Perbedaan panjang ukuran kedua ginjal lebih dari 1,5 cm ischemia yang terjadi karena stenosis arteri renalis menyebabkan ukuran ginjal - Terlihatnya kontras pada sisi sakit terlambat. berkurang

Bahan kontras yodium sebagian besar disekresi melalui filtrasi glomelurus, pada stenosis kecepatan filtrasi glomelurus menurun , sehingga eksresi yodium terlambat . Untuk menangkap hal tersebut lebih jelas foto harus dibuat setiap 5 menit pertama. - Kadar bahan kontras dalam system kalises di sisi yang sakit bertambah. Sebabnya adalah karena stenosis arteri renalis menyebabkan reabsorpsi air di sisi sakit bertambah. Jadi meskipun kecepatan filtrasi glomelurus berkurang, karena hal tersebut di atas itu pada fase ekskresi kadar bahan kontras di saluran kalises bertambah. - Stenosis atau takik ureter penyempitan ureter yang biasanya letaknya di bagian atas karena ada pembuluh darah kolateral yang melewati tempat tersebut b. Aktivitas Renin Plasma Aktivitas renin plasma perifer basal meningkat pada sekitar 70 % hipertensi renovaskuler dan 30 % diantaranya normal. Di samping pemeriksan ARP basal, juga bisa dikerjakan tes kaptopril atas efek kaptopril dalam menghambat pembentukan angiotensin II. Pada pemberian kaptopril pasien hipertensi renovaskuler akan mengalami peningkatan aktivitas renin plasma. c. Renogram hippuran Pada renogram akan tampak perbedaan waktu untukmencapai puncak lebih dari 40 detik, pelambatan dalam eleminasi Hippuran dari kortek, dan perbedaan dalam ukuran dan aliran darah kedua ginjal. 2. Tes Penentu a. Arteriografi ginjal. Dengan tindakan ini di samping diagnosis pasti ditegakkan, juga dapat diketahui sifat dan lokasi stenosis yang terjadi. Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, terutama pada kasus renovaskuler bilateral karena sering tidak ditemukan pada pemeriksaan yang non invasive. Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat sifat dan lokasi stenosis serta perubahan pembuluh darah parenkim sebagai penyebab stenosis arteri renalis seperti aneurisma, tumor, hematoma perirenal. Penyempitan lumen sampai lebih kecil dari 1,5 cm menyebabkan perubahan hemodinamik yang jelas, begitu pula bila diameter melintang ginjal sisi yang sakit mengurang yang menimbulkan kolateral ke kapsula, glandula adrenalis atau ureter. Pada penderita dengan lekukan berat atau penyempitan berat aorta abdominalis atau arteri dalam rongga pelvis dilakukan aortografi translumbal dengan anastesi umum. Lesi di luar atau di dalam parenkim biasanya disebabkan karena hiperplasi fibromuskuler, dapat dilihat dengan arteriografi ginjal terpisah. Pada pembacaan hasil foto harus diperhatikan :

Adanya desakan Adanya dilatasi pasca kortek Tebal kortek ginjal sisi sakit Tebal kortek ginjal kontralateral dan kondisi arteri arkuata dan arteri intralobularis Besar ginjal

Gambaran stenosis arteri renalis pada angiografi : Stenosis karena perubahan dingding pembuluh darah arteri renalis terlihat sirkuler. Kebanyakan konsentrik dan kadang-kadang eksentrik, terletak beberapa mm dari orifisium aorta. Beberapa ateroma sering terlihat pada dingding aorta. Bila lumen mengecil sampai 30 % sering terlihat dilatasi pasca stenosis. Pada stenosis yang sangat berat atau penyumbatan total, terlihat kolateral. Gambaran displasi arterial pada angiografi : Terletak sepertiga tengah arteri renalis yang kadang-kadang meluas sampai bagian distal dan cabang sekunder, bentuk lesi ada dua macam yaitu: -Difus berupa manik-manik -terlokalisasi dalam bentuk anuler, tubuler dan hourglass. Untuk tindakan yang tidak invasif (non invasive) dilakukan Magnetic Renosance Angiography (MRA). Penatalaksanaan Dalam penatalaksanaan disini perlu diperhatikan beberapa faktor yaijadian ateroma ini juga dapat dijumpai pada tempat lain, misalnya di jantung arau di otak, tidak jelas apakah stenosis arteri renalis menyebabkan hipertensi atau kejadiaanya konsidental atau merupakan konsekuensi dari hipertensi. Revaskularisasi dengan pembedahan dan angioplasti yang dilakukan memberikan hasil yang baik dan mampu mengontrol tekanan darah, khususnya untuk usia muda tetapi tidak untuk usia lanjut. b. Sifat dan Lokasi Lesi Pada beberapa penderita lesi penyumbatan karena atherosklerosis dapat cepat bertambah atau menetap untuk beberapa tahun, hanya sebagian kecil kasus penyumbatan mengurang setelah pengobatan terhada[ lipidemia dan diet rendah lemak. Lesi cabang arteri renalis yang terletak di pelvis umumnya tidak dioperasi, bila infark kortek ginjal terlokalisasi dan sekresi renin

bertambah, dilakukan nefrektomi pada bagian tersebut. Pada infark multiple, pengobatan bersifat medikamentosa d. Derajat aterosklerosis Hipertensi renovaskuler pada orang tua dengan insufisiensi derajat sedang atau berat pembuluh darah otak atau koroner, pengobatannya lebih baik konservatif. Bila kondisi pasien memburuk dan penyumbatan lebih dari 90 % sebaiknya dilakukan nefrektomi. e. Fungsi ginjal Pada kasus dengan klirens kreatinin <25-30 ml/menit dan kreatinin lebih dari 2.5 mg/dl, tindakan operasi tidak memperbaiki hipertensi. Prognosis juga jelek bila sumbatan arteri renalis bilateral. f. Lebar dan tebal kortek ginjal Pengukuran dilakukan pada film arteriografi seri vaskuler penuh. Pada orang dewasa , tebal kortek normal lebih besar dari 5,5 6 mm. Bila ukuran tebal kortek ginjal kontralaterel lebih kecil dari dari 5,5, mm, diduga merupakan akibat aterosklerosis pada arteri arkuata dan arteri lobularis yang berarti bahwa hipertensi cukup berat dan berlangsung sudah lama. Bila hal ini terjadi pada sisi sakit, berarti hipertensi essensial sebelumnya. Pada kasus tersebut tindakan operasi tidak memperbaiki hipertensi. Ada tiga pilihan dalam tata laksana dalam pengelolaan hipertensi renovaskuler, yaitu operasi (pembedahan), angioplasti dan medikamentosa. Pemilihan ini biasanya disesuaikan dengan etiologi dan kondisi pasien sendiri. Dua tujuan yang ingin dicapai pada keadaan ini adalah menghilangkan atau mengatasi hipertensinya dan mempertahankan atau mencegah bertambah buruknya fungsi ginjal. a. Pembedahan Rekonstruksi arteri merupakan salah satu pilihan dalam pengobatan hipertensi renovaskuler yang disebabkan oleh stenosis arteri renalis revaskularisasi bedah dengan stenosis arteri renalis meliputi endarterektomi dan pintasan aortorenal, baik dengan vena autogen ataupun graft, autoransplantasi ginjal, serta reanastomosis langsung. Nefrektomi saat ini diperuntukan bagi yang gagal dalam revaskularisasi bedah, jika terdapat komplikasi dalam pembedaan atau jika fungsi ginjal yang terkena sudah buruk. Oklusi total arteri renalis dengan ginjal yang sudah tidak berfungsi sudah sejak lama dilakukan tindakan nefrektomi, namun setelah 1970 telah dilakukan proses revaskularisasi terhadap sejumlah pasien dan hasilnya berupa kembalinya fungsi ginjal serta hipertensi dapat dikontrol . Nefrektomi pada ginjal dilakukan karena fungsi ginjal tersebut sudah sangat menurun. Ini diketahui dari pemeriksaan scintigrafi ginjal. Ginjal dengan oklusi total arteri renalis dapat dilakukan revaskularisasi jika kriteria berikut dipenuhi, adanya kolateral atau pengisian retrogad oleh arteri renalis distal dari kolateral, adanya

perdarahan balik dari ginjal saat arteriotomi distal dari sumbatan selama operasi, dan pada pemeriksaan biopsi potong beku (frozen section) tampak glomerulus viabel secara hitologis. Jika terdapat keraguan intra operatif untuk menentukan viabilitas ginjal, biopsi ginjal cukup membantu. b. Angioplasti Ginjal Tehnik angioplasti dengan balon pertama kali dipelopori oleh Dotter dan Judikins pada tahun 1964 dengan mnggunakan kateter koksial untuk menghasilkan dilatasi yang progresif pada arteri renalis yang mengalami stenosis. Keberhasilan tindakan Percutaneus Transluminal Angioplasty pertama kali dilaporkan oleh McCook dkk 1980. PTA untuk pengobatan stenosis arteri renalis, yaitu pada stenosis yang tidak terlalu panjang serta di luar ginjal. Komplikasi setelah prosedur ini tidak jarang didapatkan seperti oklusi dan diseksi ataupun pecahnya dinding pembuluh darah. Tindakan PTA kurang berhasil jika stenosis terdapat pada ostium arteri renalis Angioplasti renovaskuler merupakan tindakan terpilih dalam pengelolaan hipertensi renovaskuler, khususnya yang disebabkan oleh displasia fibromuskuler. c. Medikamentosa Tindakan pembedahan dan angioplasti merupakan tindakan yang sering dilaksanakan untuk revaskularisasi ginjal yang iskhemik, namun bila tindakan ini tidak berhasil atau tidak dapat dilaksanakan maka pengobatan dengan medikamentosa harus dilaksanakan, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan medikamentosa yaitu memperlambat progesivitas arteri renalis dan untuk mengurangi efek hemodinamik dari tekanan darah pada fungsi ginjal. Penghambat ACE, Dapat digunakan sebagai alat bantu menegakkan diagnosis dan terapi pasien hipertensi renal. Kaptopril dosis tunggal merupakan tes penapisan yang terbaik untuk menentukan adanya hipertensi renal. Respon dari penghambat ACE terhadap kenaikan tekanan darah sesuai dengan aktivitas renin plasma, respon ini lebih besar pada hipertensi renovaskuler dibandingkan dengan hipertensi esensial. Penderita dengan stenosis bilateral juga menunjukkan penurunan tekanan darah seperti pada stenosis unilateral, Hal ini dipikirkan karena efek angiotensin II pada pembuluh darah efferent ginjal, dimana GFR harus dipertahankan meskipun terjadi penurunan tekanan darah. Sejumlah bukti menunjukkan gangguan akibat pasca iskemik yang berlangsung lama (2 minggu) kurang berespon terhadap tes ini dibandingkan dengan keadaan akut reversibilitas Pada pasien dengan ginjal yang normal penghambat ACE akan meningkatkan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerorus, penderita dengan stenosis bilateral atau dengan stenosis arteri ginjal yang unilateral, pengobatan dengan penghambat ACE mungkin dapat menyebabkan kenaikan yang dramatis serum kretinin dan urea nitrogen darah (BUN), bahkan kadang-kadang dapat menyebabkan gagal ginjal yang akut.

Antagonis Kalsium, antagonis kalsium berbeda dengan vasodilator yang lain, dalam hal penurunan tekanan darah akan menyebabkan kenaikan GFR, ia juga merupakan suatu vasodilator yang berefek pada arteriol afferent. Pada pasien hipertensi renovaskuler obat ini tidak akan menyebabkan gangguan fungsi seperti pada penghambat ACE. Klonidin, pemberian klonidin dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara mendadak pada pasien hipertensi renovaskuler, klonidin juga tidak menurunkan aktivitas renin plasma yang biasanya disertai kenaikan norepineprin yang rendah. Beta Bloker, juga efektif dalam menurunkan tekanan darah karena kerjanya menghambat sekresi renin, tetapi resiko terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus pada ginjal stenotik tetap terjadi. Diuretik dapat digunakan pada hipertensi yang resisten tetapi pada umumnya tidak terlalu efektif. Prognosis Hipertensi jenis ini merupakan hipertensi yang dapat disembuhkan atau diobati pada setiap umur. Hipertensi ini juga merupakan salah satu penyebab gagal hinjal kronis yang potensial unjtuk reversible. Namun bila hipertensi renovaskuler ini berlangsung lama dan menjadi bagian dari suatu sindroma hipertensi maka sifat reversibilitas akan hilang karena mungkin telah terjadi kerusakan pada ginjal dan pembuluh darah non renal

Anda mungkin juga menyukai