Anda di halaman 1dari 29

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Aqidah Kata aqidah berasal dari aqad.

Secara bahasa aqidah berarti ikatan atau sampul. Jamaknya aqaid yang berarti simpulan atau ikatan-ikatan iman, mahkota. Dari segi bahasa aqidah berarti sesuatu yang tersimpul dalam hati dan dihormati seperti mahkota. Dari kata tersebut muncul kata Itikad yang berarti membenarkan atau kepercayaan. Akidah menurut istilah ialah keyakinan hidup/iman.

B. Sebab Timbulnya Perbedaan dalam Pemahaman Aqidah 1. Perbedaan qir`at, yaitu perbedaan yang terjadi dikarenakan beragamnya cara melafalkan ayat al-Qur`n oleh para imam ahli Qir`at. 2. Perbedaan dalam pengetahuan hadts, yaitu perbedaan yang terjadi karena tidak meratanya penyampaian hadits antara yang sudah menerima, belum menerima, bahkan tidak menerima. 3. Perbedaan dalam menilai keshahhan hadts, yaitu perbedaan yang disebabkan karena tidak sama dalam menilai cacat (jarh) dan adil (tadil)nya seseorang yang meriwayatkan hadts. 4. Perbedaan dalam menafsirkan teks (nash), yaitu perbedaan yang terjadi dikarenakan pengambilan substansi tasyr yang berbeda. 5. Adanya lafazh isytirk, yaitu perbedaan yang disebabkan karena lafazh yang mengandung makna lebih dari satu. 6. Adanya dalil kontradiktif, yaitu perbedaan dalam menilai dalil yang kontradiktif antara yang mengukuhkan dan yang menganggap perlu adanya tarjih dari dalil lain yang menguatkan. 7. Perbedaan qawid ushliyyah, yaitu perbedaan qaidah-qaidah ushul masing-masing ulama yang tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya.

8. Adanya keterbatasan teks (nash), yaitu perbedaan yang disebabkan karena tidak adanya nash dalam masalah tertentu sehingga memunculkan pandangan lain seperti qiys dan lain-lainnya. Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang aharus dipegang teguh, yaitu : 1. Untuk mengihlaskan niat dan ibadah kepada AllahI semata. Karena Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagiNya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepadaNya. 2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang dapat di indera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat. 3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur, Hakim yang membuat tasyri'. Oleh karena itu hatinya menerima takdirNya, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain. 4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena diantara dasar akidah ini adalah mengimani para Rasul, dengan mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan. 5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan beramal baik, kecuali digunakannya dengan mengharap pahala. Serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena diantara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan. "Dan masingmasing orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang

dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (QS. Al An'am : 132). Nabi Muhammad SAW juga mengimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya : "Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masingmasing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan janganlah lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka jaganlah engkau katakan : seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah : itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki dia lakukan. Sesungguhnya mengada-ada itu membuka perbuatan setan." ( HR. Muslim) 6. Menciptakan umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat tiang penyanggahnya tanpa peduli apa yang akan terjadi untuk menempuh jalan itu. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orangorang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang orang yang benar." (QS. Al Hujurat : 15), 7. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individuindividu maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan

kemuliaan. "Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang paling baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An Nahl 97) C. Pengertian Teologi Islam Teologi dari segi etimologi berasal dari bahsa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan .menurut

William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology yang artinya discourse or reason concerning god (diskursus atau pemikiran tentang tuhan) dengan kata-kata ini Reese lebih jauh mengatakan, teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Gove mengatkan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional. Sedangkan menurut Fergilius Ferm the discipline which consern God (or yhe divine Reality)and God relation to the word (pemikiran sistematis yang berhubungan dengan alam semesta). Dalam ensiklopedia everymans di sebutkan tentang teologi sebagai science of religion, dealing therefore with god, and man his relation to god (pengetahuan tentang agama, yang karenanya membicarakan tentang tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan tuhan). Disebutkan dalam New English Dictionary, susunan Collins, the science treats of the facts and phenomena of religion and the relation between God and men (ilmu yang membahs fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara tuhan dan manusia). Sedangkan pengertian teologi islam secara terminologi terdapat berbagai perbedaan. Menurut abdurrazak, Teologi islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional. D. Ruang Lingkup Studi Teologi Islam Aspek pokok dalam kajian ilmu Teologi Islam adalah keyakinan akan eksistensi Allah yang maha sempurna, maha kuasa dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Karena itu pula, ruang lingkup pembahasan yang pokok adalah: 1. Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau yang sering disebut dengan istilah Mabda. Dalam bagian ini termasuk Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan manusia.

2. Hal yang berhubungan dengan utusan Allah sebagai perantara antara manusia dan Allah atau disebut pula wasilah meliputi: Malaikat, Nabi/Rosul, dan kitab-kitab suci. 3. Hal-hal yang berhubungan dengan samiyyat (sesuatu yang diperoleh melalui lewat sumber yang meyakinkan, yakni Al-Quran dan Hadits, misalnya tentang alam kubur, azab kubur, bangkit di padang mahsyar, alam akhirat, arsh, lauhil mahfud, dll). E. Faktor Faktor Timbulnya Persoalan-persoalan Kalam. Faktor yang menyebabkan timbulnya persoalan-persoalan kalam atau aqidah antara lain dapat dikelompokkan menjadi 2 faktor yaitu : Faktor Internal dan Faktor Eksternal. 1. Faktor Internal a. Dorongan dan Pemahaman Al-Quran. Faktor internal ini yang mengundang berbeda pendapat dan senantiasa mengajak berfikir. Sehingga tuntutan berfikir itulah yang menyebabkan umat islam pada saat itu menentukan sesuatu dengan menggunakan fikirannya tanpa mengembalikan hasil pemikirannya pada Al-Quran, sehingga mengakibatkan perpecahan diantara umat islam pada saat itu. b. Persoalan Politik Disamping faktor memahami Al-Quran, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, faktor politik dapat memunculkan madzhab-madzhab pemikiran dilingkungan umat islam, khususnya pada awal-awal perkembangannya. Maka, persoalan imamah (khilafah), menjadi persolan tersendiri dan khas yang menyebabkan perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di lingkungan umat islam.

Persoalan ini muncul mungkin karena umat islam menyadari bahwa khalifah adalah amanah Ilahi, yang memiliki tujuan untuk mengembangkan dan menegakkan kultur, menegakkan perdamaian, serta menjamin manusia menjadi masyarakat yang tertib, dan lebih lanjutlagi menegakkan islam di muka bumi ini. c. Adanya kepentingan kelompok atau golongangan Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran, sangat jelas, dimana syiah merupakan kelompok yang mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan khawarij sebagai kelompok yang sebaliknya. Dan tujuantujuan diatas tadi berubah disebabkan kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi maupun golongan, sehingga menyebabkan terjadinya pertentangan politik, yang menjurus kepada saling menyalahkan diantara mereka 2. Faktor Eksternal Faktor ini muncul dari luar umat islam, yaitu : a. Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam. Disamping faktor internal mendorong dan mempengaruhi kemnculan persoalan-persoalan kalam juga ada faktor eksternal berupa paham-paham keagamaan non muslim tertentu yang mempengaruhi dan ikut mewarnai sebagian paham di lingkungan umat islam. Paham keagamaan non-islam yang dimaksudkan adalah paham keagamaan yahudi dan nasrani, sebagaimana pendapat H.A.R Gibb yang mengatakan bahwa sejak islam tersebar luas, terjadi kontak dengan lingkungan lokalnya. Di Syiria misalnya, pemikiran islam

mulai dipengaruhi oleh pemikiran Kristen Hellenistik, dan di Irak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Gnostik. Demikian pula pandangan Goldziher orang jerman yang ahli ketimuran dan ahli islam, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar aceh, yang mengatakan bahwa banyak ucapan dan cara berfikir kenasranian dimasukkan ke dalam hadits-hadits yang dikataakan berasal dari Muhammad. b. Filsafat Yunani Buku buku karya filosofi yunani di samping banyak membawa manfaat juga ada sisi negatifnya bila di tangan kalangan yang tidak punya pondasi yang kuat tentang akidah dan syariat islam. Sehingga terdapat keinginan oleh umat islam untuk membantah alasan alasan mereka memusuhi islam. F. Macam-Macam Aliran Teologi dalam Islam Berikut pandangan-pandangan ketiga aliran teologi Islam tentang masalah Ruyatullah. 1. Aliran Syiah Imamiyah Aliran Syiah Imamiyah merupakan salah satu aliran Syiah yang berkembang di dunia Islam. Tidak seperti aliran Syiah lainnya, aliran ini meyakini bahwa ada dua belas imam pengganti kepemimpinan nabi Muhammad SAW.Aliran ini berkembang di negara-negara seperti Iran, Iraq, Suriah, Libanon, Indonesia, Pakistan, dan lainnya.Aliran ini pun memiliki konsep kalam yang sistematis, filosofis, dan mendalam. Para ulama Syiah Imamiyah pun pernah membahas tentang masalah Ruyatullah.Aliran Syiah Imamiyah mempercayai bahwa Allah SWT tidak memiliki tubuh. Dia tidak terbatas dan tidak memiliki organorgan tubuh. Allah SWT bukan suatu bentuk ragawi sehingga Dia tidak menempati ruang dan tidak bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Karena itulah, mereka meyakini bahwa Allah SWT tidak bisa dilihat dengan mata, baik di dunia maupun di akhirat.

Lebih jelasnya, aliran Syiah Imamiyah menolak tatil mutlak dan tasybih mutlak. Tatiladalah konsep yang menyatakan bahwa manusia tidak akan mampu mengetahui hakikat Tuhan. Pengetahuan dan kecerdasan manusia tidak akan mampu mengetahui hakikat Allah SWT. Sementara tasbih adalah konsep yang menyatakan bahwa Allah SWT memiliki kesamaan dengan makhluq.Dalam konsep ini, Allah SWT dibuat menyerupai makhluk sehingga Dia memiliki bentuk dan rupa. Perbedaan antara Allah SWT dengan makhluq-Nya tidak lain hanyalah pangkat dan gelar. Bagi Syiah Imamiyah, konsep yang benar adalah kedudukan antara keduanya, yakni antara tatil dan tasbih. Menurut pemuka aliran Syiah Imamiyah, memang manusia sebenarnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengetahui Allah SWT sebenarbenarnya.Namun melalui fenomena-fenomena alam dan makhluk-Nya, manusia bisa memperoleh pengetahuan mengenai Allah

SWT.Pengetahuan manusia tentang Allah tersebut tidak mutlak dan tidak lengkap. Bagi madzhab Syiah, Allah SWT memiliki semua aspek positif dari segala pengetahuan manusia tentang-Nya.Namun pada saat yang bersamaan, Dia tidak terbatasi oleh pengetahuan manusia

tersebut.Pengetahuan manusia tidak dapat membatasi-Nya. Di pihak lain, Allah SWT tidak memiliki tubuh. Dia tidak terbatas.Dia tidak berada di dalam ruang dan waktu.Allah SWT tidak pantas memiliki tubuh fana, lemah, dan rentan kerusakan.Bagi mereka, Allah SWT itu lebih tinggi dari prasangka manusia terhadap-Nya. Ketika manusia memberikan nama-nama dan sifat-sifat kepadaNya itu, maka nama-nama dan sifat-sifat yang diberikan kepada-Nya itu tidak melebihi bahkan tidak menyamai keagungan-Nya yang

sebenarnya.Dia tidak bisa digambarkan.Setiap penggambaran atas diriNya selalu jauh lebih rendah dari kenyataan.Pengetahuan paling tinggi adalah menempatkan-Nya di tempat di mana manusia tidak bisa lagi menggambarkan diri-Nya.Dia lebih sempurna dari pada setiap kesempurnaan.Bagi aliran Syiah Imamiyah, Allah SWT memiliki nama-

10

nama dan sifat-sifat-Nya.Namun nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut tidaklah memadai untuk menyatakan kekekalan dan keberadaan-Nya. Meskipun memiki nama-nama dan sifat-sifat, ketika seseorang menyebutkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka orang tersebut harus selalu konsisten dengan keMahasempurnaan dan kekekalan yang dimilikiNya.Ketika seseorang menyebutkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka orang tersebut harus mengartikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya secara hati-hati.Orang tersebut tidak boleh memahaminya sebagaimana

memahami nama-nama dan sifat-sifat manusia.Nama-nama dan sifatsifat-Nya memiliki makna lebih luas apabila dibandingkan dengan namanama dan sifat-sifat manusia.Demikianlah, aliran Syiah Imamiyah menghendaki posisi antara tatildengan tasybih. Mereka menolak tatil mutlak dan menolak tasybih mutlak.Karena itu, bagi mereka bukan tatil dan bukan tasybih, melainkan antara keduanya. Para ulama Syiah Imamiyah mendukung ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat oleh mata fisik manusia baik di dunia maupun di akhirat.Sebaliknya, mereka menafsirkan ayatayat yang sepintas menyatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhannya. Menurut mereka, makna pertemuan dengan Allah SWT di akhirat di dalam ayat-ayat al-Quran adalah bahwa Allah SWT pada hari Penghisaban menghilangkan semua keraguan akan eksistensi atau keberadaan diri-Nya dengan memperlihatkan amalan-amalan mereka. Pada hari itu, seluruh keraguan tentang keberadaan Allah SWT akan sirna karena Allah SWT telah memperlihatkan kebesaran Hari Penghisaban tersebut. Demikianlah, aliran Syiah Imamiyah meyakini bahwa Allah SWT tidak akan dapat dilihat oleh mata fisik manusia. Namun bagi mereka, bukan berarti manusia benar-benar tidak dapat melihat Allah SWT.Bagi mereka, manusia dapat melihat manusia namun mereka melihat-Nya tidak melalui mata fisiknya, melainkan melalui hati yang suci dan bersih. Mereka meyakini bahwa keyakinan indra dan keyakinan akal (ilmu al-

11

yaqin) itu bukan sebagai tingkat keyakinan tertinggi manusia, melainkan keyakinan hati (ain al-yaqin). Keyakinan hati manusia lebih tinggi dari pada keyakinan akal dan indranya. Ain al-Yaqin (yakin karena melihat) mengandung makna menyaksikan Tuhan dengan hati, bukan dengan mata (indra) dan akal. Pendeknya, bagi Syiah Imamiyah, kendati Tuhan tidak dapat dilihat dengan indra dan akal, namun Tuhan dapat dilihat dengan hati yang bersih dan suci. Hal ini pun selalu ditekankan oleh para Imam Syiah Imamiyah. Tegasnya, bagi Syiah Imamiyah, keyakinan bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh mata fisik manusia, baik di dunia maupun di akhirat, sangat bertentangan dengan dalil akal dan naqal. Karena hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT memiliki tubuh.Karena jika Allah SWT dapat dilihat oleh mata fisik, sebagai konsekuensi hukum fisik, maka Allah SWT itu harus memiliki fisik.Pada dasarnya, keyakinan ini merupakan keyakinan kaum Yahudi yang menyusup ke dalam keyakinan umat Islam. Walhasil, bagi aliran Syiah Imamiyah, keyakinan Islam tidak lain adalah bahwa Allah SWT bisa dilihat bukan melalui indra fisiknya, melainkan melalui penglihatan hati yang suci dan bersih. 2. Aliran Ahlusunnah WaAl-jamaah Aliran Ahlussunnah wal Jamaah ini sering diidentikkan dengan aliran Asyariyah dan aliran Maturidiyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa aliran Ahlussunnahwaljamaah ini menyatakan bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh orang-orang mukmin di akhirat kelak. Para pemuka aliran Asyariyah dan Maturidiyah meyakini hal ini. Mereka semua sepakat tentang kemungkinan manusia melihat Tuhan di akhirat kelak.Hanya saja, masing-masing mereka menggunakan argumentasiargumentasi yang berbeda, dan sedikit berbeda dalam perincianperinciannya. Secara khusus, bagian ini akan memaparkan pandangan aliran Asyariyah dan Maturidiyah tentang masalah ruyatullah. a. Aliran Asyariyah

12

Secara umum dapat dikatakan bahwa aliran Asyariyah menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia.Mereka mengajukan sejumlah argumen, tidak saja argumen aqli namun pula argumen naqli.Bagi aliran ini, jika sesuatu menempati ruang dan waktu, maka sesuatu itu bersifat temporal.Bagi mereka, Tuhan tidak menempati ruang dan waktu. Bagi mereka, suatu benda, meskipun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya, mungkin saja untuk dilihat. Karena itu pula, Tuhan sangat mungkin dilihat, meskipun indra manusia tidak memperoleh kesan obyek yang mengenai indra itu. Selain itu, tidak mustahil Tuhan akan menciptakan di dalam diri manusia sebuah kapasitas untuk melihatNya di akhirat kelak. Menurut al-Asyari, segala keberadaan dapat dilihat dan menyebabkan dapat dilihat dari sisi keberadaannya.Karena Allah SWT itu secara niscaya ada, maka Dia mesti dapat dilihat oleh manusia di hari akhirat kelak.Al-Asyari memiliki dua pendapat tentang hakikat ruyat.Pertama, ruyat itu sebagai pengetahuan

khusus, yakni khusus melihat yang ada dan bukan yang tidak ada.Kedua, penglihatan itu adalah temuan di belakang ilmu, bukan refleksi dari yang ditemui dan bukan pula pengaruh dari yang ditemui. Berkenaan dengan Tuhan, aliran Asyariyah berada pada posisi tengah antaragolongan Musyabihah dan Mujassimah dengan golongan tanzih (nihil).Pemuka aliran ini menyatakan bahwa Allah itu memiliki wajah, tangan, mata, dan Dia bersemayam

di Arsy. Namun demikian, seseorang tidak boleh menanyakan bagaimana wajah, tangan, mata, dan seperti apa bersemayam di Arsy itu. Bersamaan dengan itu, seseorang pun tidak boleh mengingkari semua hal itu.Demikian pandangan mereka tentang hakikat Tuhan.

13

Dalam bukunya al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah, Abul Hasan Al-Asyari menguraikan secara luas pandangannya tentang masalah ini.Menurutnya, Allah SWT dapat dilihat oleh penglihatan mata manusia di akhirat kelak.Beliau pun mengajukan argumentasiargumentasi, baik aqliyah maupun naqliyah. Dalam konteks argumen aqliyah, beliau menyatakan: Pertama. Setiap yang ada, mungkin untuk diperlihatkan Allah kepada kita.Yang tidak mungkin terlihat adalah sesuatu yang tidak ada.Jika Allah termasuk sesuatu yang ada, berarti Dia dapat memeprlihatkan wujud-Nya kepada manusia, dan ini tidak mustahil.Kedua, bahwa Allah melihat segala sesuatu. Jika Allah melihat sesuatu, maka tidak mungkin Dia melihat sesuatu sementara Dia tidak dapat melihat diri-Nya. Jika Dia dapat melihat diri-Nya sendiri, maka bukan suatu kemustahilan jika Dia memperlihatkan diri-Nya kepada kita. Dengan kata lain, jika Allah mengetahui sesuatu, maka berarti Dia mengetahui diri-Nya, dan jika Dia dapat melihat diri-Nya berarti tidak mustahil jika Dia memperlihatkan diri-Nya kepada kita. Sebagaimana halnya Dia mengetahui tentang diri-Nya, maka tidak mustahil jika Dia memberitahukan kepada kita tentang diri-Nya. Berkenaan dengan dalil naqli, Abu Hasan al-Asyari menganggap bahwa ayat-ayat tentang kemungkinan manusia melihat Tuhan sebagai ayat-ayat muhkam sehingga mesti diyakini.Sementara ayat-ayat tentang ketidakmungkinan melihat Tuhan sebagai ayatayat mutasyabih, sehingga perlu ditakwil. Sedikitnya, beliau mengajukan sejumlah ayat sebagai argumentasi guna membuktikan bahwa manusia dapat melihat Tuhan di akhirat tentang matanya, yakni: i. Q.S. al-Qiyamah ayat 22-23 membuktikan bahwa manusia dapat melihat Tuhan melalui mata di akhirat kelak. Kata nazhar dalam ayat ini memiliki 4 kemungkinan makna, yakni berfikir, menunggu, merahmati, dan melihat. Ayat ini membicarakan

14

peristiwa di hari akhirat, karena itu kata Nazhar tidak mungkin berfikir karena akhirat bukan tempat berfikir, bukan pula bermakna menunggu karena kata ini dikaitkan dengan kata wajah, sehingga maknanya adalah melihat dengan mata yang ada di wajah, dan bukan pula bermakna merahmati, karena makhluk tidak mungkin merahmati Penciptanya.

KataNazhar tidak mungkin pula bermakna menunggu karena kata ini disertai hurufila dan sebelumnya terdapat kata wujuh, sehingga maknanya harus melihat dengan mata kepala. Jika kata nazhar dalam ayat ini tidak disertai huruf ila,maka maknanya bisa menunggu. ii. Q.S. al-Araf ayat 143. Dalam ayat ini, Allah SWT menceritakan bahwa Musa memohon kepada Allah agar ia bisa melihat-Nya. Dalam konteks ini, Musa diangkat Allah sebagai nabi. Allah pun memeliharanya dari kesalahan-kesalahan. Karena itu, tidak mungkin Musa mengajukan sebuah permintaan yang mustahil. Jika hal itu tidak boleh dilakukan Musa, maka nabi Musa tidak akan meminta hal-hal mustahil kepada Tuhannya. Oleh karena Musa meminta kepada Tuhan agar ia bisa melihat-Nya, berarti ia meminta sesuatu yang tidak mustahil,. Jadi, melihat Tuhan adalah sesuatu yang mungkin. Dalam ayat ini pula, sebenarnya Allah berkuasa menjadikan gunung tersebut kokoh. Jika hal itu dilakukan Allah, maka Musa akan mampu melihat-Nya. Sesungguhnya Allah berkuasa menjadikan hamba-Nya mampu melihat-Nya. Benar bahwa mata manusia tidak akan mampu melihat matahari di dunia, maka mata manusia pun tidak akan mampu melihat-Nya di akhirat. Namun kelak, Allah sangat berkuasa untuk memperkuat pandangan mata manusia tersebut, sehingga mata manusia mampu melihat-Nya. iii. Berdasarkan Q.S. Yunus: 26; Q.S. Qaaf: 35; Q.S. al-Ahzab: 44; dan Q.S. al-Muthaffifin: 15, bahwa melihat Tuhan itu sangat

15

mungkin terjadi. Karena melihat Tuhan itu merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman. Orang-orang beriman akan melihat-Nya, sebagai balasan atas perbuatan kebajikannya di dunia. Sementara orang-orang kafir tidak akan dapat melihat-Nya, sebagai balasan atas kejahatannya di dunia. iv. Secara lahiriah, Q.S. al-Anam: 103 menunjukkan ketidakmungkinan melihat Tuhan. Namun bagi al-Asyari, maknanya bukan demikian, melainkan ketidakmungkinan

melihat-Nya di dunia, sementara melihat-Nya di akhirat sangat mungkin. Bisa pula diartikan sebagai ketidakmungkinan orangorang kafir melihat-Nya. Di samping itu, kata ruyah memiliki perbedaan makna dengan kata idrak. Kata idrak dalam ayat ini berarti melihat seutuhnya. Sementara kata ruyah bermakna sekedar melihat dan/atau melihat tidak seutuhnya. Jadi, kedua kata ini berbeda maknanya. Oleh karena itu, ayat tersebut memiliki makna bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat secara penuh (idrak), namun dapat dilihat tidak seutuhnya dan/atau sekedarnya (ruyah). Bahwa melihat Allah bukan dalam melihatNya secara penuh tidak akan mengurangi kesempurnaan Allah SWT. Benar bahwa manusia tidak dapat mencapai-Nya, namun bukan berarti manusia itu tidak dapat melihat-Nya. Manusia melihat-Nya dengan mata kepala, bukan berarti manusia itu telah mencapai-Nya. Pandangan al-Asyari tentang ruyatullah ini diikuti oleh para penerusnya.Sebagaimana al-Asyari, al-Baqillani menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.Sebagaimana alasan al-Asyari, al-Baqillani menandaskan bahwa setiap yang ada dapat dilihat. Karena Tuhan itu niscaya ada, maka Tuhan pun dapat dilihat, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam

16

Q.S. al-Araf: 143 dan Q.S. Al-Qiyamah: 22-23. kemudian, AlBaghdadi menyatakan bahwa Tuhan pun dapat dilihat. Baginya manusia dapat melihat aksiden, karena manusia dapat membedakan antara hitam dan putih.Kalau aksiden dapat dilihat, maka Tuhan pun dapat dilihat. Sementara itu, al-Juwaini menyatakan pula bahwa manusia dapat melihat Tuhannya di akhirat kelak dengan menggunakan mata kepalanya. Penglihatan itu akan menjadi kenyataan nanti di akhirat, ketika manusia berada di

syurga. Muhammad bin Tumart menandaskan pula bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh manusia. Bahwa manusia wajib meyakini dan membenarkan dalam hati bahwa manusia dapat melihat Tuhan.Namun melihat ini bukan berarti Tuhan memiliki tubuh (tasybih). Al-Syahrastani pun mendukung bahwa manusia mampu melihat Tuhannya di akhirat kelak.Baginya, setiap hal yang berwujud dapat dilihat oleh manusia, karena Tuhan niscaya memiliki wujud, maka Tuhan pun dapat dilihat oleh manusia. Baginya, setiap umat Islam wajib mengimani masalah ruyatullah(melihat Tuhan) ini. Demikianlah, ajaran al-Asyari tentang ruyatullah didukung oleh generasi penerusnya.Namun tak dapat disangkal, para generasi penerus al-Asyari tersebut terus mengembangan konsep ini, terutama penambahan dan penguatan argumentasi-argumentasi tentang kemungkinan melihat Allah SWT di akhirat kelak. b. Aliran Maturidiyah Menurut pendiri aliran ini, Abu Mansur al-Maturidi bahwa Tuhan itu dapat dilihat.Uniknya, meskipun Dia dapat dilihat oleh manusia, namun Tuhan itu bersifat immateri.Dia tidak bersifat dengan sifat-sifat materil (jasmaniah).Karena itu, jika ada ayat-ayat menggambarkan bahwa Tuhan itu bersifat dengan sifat-sifat materi, maka seseorang harus mengartikan ayat-ayat itu secara metaforis (takwil). Jelasnya, Tuhan tidak berbadan.Karena badan itu suatu

17

yang tersusun dari substansi dan aksiden. Bagi Maturidi, bahwa Tuhan itu tidak merupakan materi karena materi itu sesuatu yang mempunyai arah, mempunyai akhir, dan mempunyai tiga dimensi (ruang, waktu, dan tempat). Karenanya, jisim mutlak tidak boleh dinisbatkan kepada Tuhan.Dengan demikian, jelas bahwa Tuhan itu immateri, tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat, dan tidak terbatas.Meskipun begitu, menurut Maturidi, Tuhan dapat dilihat karena Dia diyakini ada-Nya (wujud-Nya). Pendeknya, Tuhan itu dapat dilihat oleh manusia. Ruyah kepada Tuhan itu sesuatu hal yang dapat terjadi. Dalam konteks ini, Abu Mansur Maturidi mendukung ayat-ayat yang secara tegas menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, misalnya Q.S. al-Qiyamah: 22-23. Namun begitu, manusia hanya dapat melihat Allah di akhirat kelak saja, sebagaimana tergambar dalam ayat itu.Abu Mansur Maturidi mengajukan sejumlah argumen tentang mengapa Allah dapat dilihat di akhirat kelak.Pertama, Tuhan itu memiliki wujud.Kendati pun Dia tidak memiliki bentuk dan tidak mengambil tempat, serta tidak memerlukan ruang (tidak

terbatas).Jika Tuhan itu terbatas, maka Tuhan bersifat materi.Karena jika sesuatu terbatas, maka sesuatu itu berjisim. Padahal Tuhan itu adalah Syai, sesuatu yang pasti adanya dan bukan yang lain. Karena Dia itu ada wujud-Nya, maka sesuatu yang ada pasti bisa dilihat. Selanjutnya, menurut Abu Mansur Maturidi, bahwa ruyah kepada Tuhan itu merupakan bagian dari peristiwa hari kiamat.Sedangkan peristiwa hari kiamat itu hanya diketahui oleh Ilmu Allah SWT.Sedangkan manusia hanya mengetahui ungkapanungkapan tentang adanya peristiwa hari kiamat itu, dan manusia tidak mengetahui tentang bagaimana peristiwa hari kiamat itu.Dari sini, Abu Mansur menolak pandangan Mutazilah ketika aliran ini menganalogikan melihat Tuhan dengan melihat benda materi, yang berarti menjisimkan Tuhan. Bagi Abu Mansur, analogi itu tidak

18

sempurna dan tertolak. Karena menganalogikan sesuatu bersifat materi dengan sesuatu bersifat immateri.Padahal, semua peristiwa itu bersifat immateri, bukan bersifat materi, maka tidak relevan menganalogikan materi untuk segala hal kejadian di akhirat kelak. Seterusnya, Abu Mansur menyimpulkan bahwa manusia dapat melihat Tuhan di akhirat kelak, dan peristiwa ini merupakan bagian dari peristiwa hari kiamat, sehingga cara melihat Tuhan hanya diketahui oleh Tuhan saja. Abu Mansur al-Maturidi menafsirkan sedemikian rupa ayatayat yang sepintas menafikan kemungkinan manusia melihat Tuhan, sebagaimana terlihat pada Q.S. al-Anam: 103. Banyak pihak menyatakan bahwa ayat ini menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah dapat melihat Tuhannya. Kata idrak dalam ayat tersebut dimaknai sebagai ruyah, sehingga kata idrak dalam ini bermakna bahwa Tuhan tidak dapat dilihat.Namun Abu Mansur menandaskan bahwa kata idrak itu bermakna menguasai (melihat) yang

terbatas.Sementara Tuhan itu Mahasuci dari sifat terbatas, karena sifat terbatas itu berarti titik maksimum dan membatasi yang lebih tinggi.Tuhan menjadikan segala sesuatu dengan batas yang bisa dijangkau.Jadi, baginya kata idrak tidak bisa diartikan sebagai ruyah. Dengan begitu, maka kataidrak dalam ayat ini hanya berarti melihat pada batas sesuatu sehingga dengan batas itulah sesuatu itu dapat diketahui.Sementara ruyah tidak menghendaki jika objek penglihatan itu terbatas, bahkan ruyah dapat terjadi atas sejumlah hal yang tidak dapat diketahui hakikatnya, kecuali dengan mengerti tentangnya. Kemudian, Abu Mansur menyatakan bahwa jika Tuhan tidak dapat dilihat oleh manusia, maka permintaan Musa untuk melihat Tuhannya adalah sia-sia.Seandainya manusia itu mustahil melihat Tuhan, maka niscaya seorang nabi seperti nabi Musa as.tidak akan mengharapkannya, sebagaimana tertera pada Q.S. al-Araf: 143.

19

Dalam ayat ini, Tuhan menjawab lan tarani (kamu takkan melihatKu), bukan lan ura (Aku tak bisa dilihat). Ini menjadi dalil kuat bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia. Terakhir, bagi Abu Mansur al-Maturidi, bahwa ruyatullah itu merupakan tambahan anugrah dan pahala dari sisi Tuhan.Adalah melihat Tuhan itu sebagai anugerah terbesar bagi insan beriman di akhirat kelak.Tuhan menjanjikan balasan terbaik bagi manusia, dan manusia beriman tidak hanya mendapatkan surga, namun mereka mendapatkan akhirnya, Abu anugrah Mansur terbesar, menandaskan yakni ruyatullah. Pada

bahwa ruyah itu hanya melalui pengetahuan hati. 3. Aliran Mutazilah Aliran Mutazilah memiliki pandangan berbeda tentang ruyatullah dengan aliran lainnya. Mereka menegaskan bahwa manusia tidak akan mampu melihat Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat. Semua pemuka Mutazilah meyakini bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat melalui mata fisik.Namun sejumlah kecil pemuka Mutazilah seperti Abu Huzail meyakini bahwa manusia dapat melihat Tuhan melalui hatinya.Akan tetapi tidak sedikit pula pemuka kaum Mutazilah berpandangan bahwa Allah SWT tidak bisa diketahui dengan penglihatan mata atau pun hati, baik di dunia maupun di akhirat kelak.Pandangan terakhir diyakini para pemuka Mutazilah seperti al-Fuwathi, Abbad ibn Sulaiman, dan lainnya. Aliran Mutazilah menolak keyakinan antropomorfisme.Mereka tidak meyakini bahwa Allah memiliki wujud materil.Allah SWT bukan wujud materil.Karena itu, Allah tidak membutuhkan tempat.Karena itu, Allah SWT tidak serupa dengan makhluq. Oleh karena Allah seperti itu, maka mereka meyakini bahwa manusia tidak akan dapat melihat Allah SWT di di dunia dan di akhirat kelak. Sejumlah pemuka Mutazilah memang meyakini bahwa Allah dapat dilihat oleh manusia melalui hati

20

sanubari, namun pada umumnya pemuka-pemuka aliran ini menolak hal tersebut. Alasan-alasan yang mereka ajukan adalah sebagai berikut: a. Dalam Q.S. al-Qiyamah: 22-23, menjelaskan bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat oleh manusia. Menurut mereka, kata nazhara tidak berarti raa(melihat), karena kata ini jika dikaitkan dengan kata ain (mata) berarti usaha untuk melihat, sebagaimana jika dikaitkan dengan hati (qalb) berarti usaha untuk tahu.

Hakikat nazhara adalah mengarahkan mata ke arah sesuatu untuk melihatnya. Jika demikian, mestilah Tuhan yang dilihat itu berada pada satu arah. Jika pendapat ini benar, maka Allah itu berjisim, karena berada pada arah tertentu. Karena itu tidak dapat diterima, maka mestilah katarabbiha (Tuhannya) ditakwilkan dengan pahala yang diberikan Tuhan. b. Kata nazhara biasanya dipakai untuk pengertian menanti (alintizhar). Terkadang pula dipakai untuk pengertian mengarahkan mata ke suatu objek untuk melihatnya. Bahkan dipakai pula untuk pengertian berfikir dengan hati untuk memperoleh pengetahuan. c. Pendapat bahwa kata nazhara jika dikaitkan dengan wajah berarti melihat tidak dapat diterima. Karena pengertian melihat dengan wajah tidak dikenal dalam bahasa Arab. Yang biasa dikenal adalah pengaitan mata dengan penglihatan. d. Dalam Q.S. al-Anam ayat 103 dijelaskan secara tegas bahwa Allah tidak akan dapat dilihat. Bagi kaum Mutazilah, Tuhan tidak dapat dilihat karena kata al-idrak disertai penyebutan kata al-bashar, yang dimaksudkan adalah melihat dengan penglihatan mata. Ayat ini bersifat umum tanpa ada pengecualian. Karena itulah, Tuhan tidak akan dilihat oleh manusia. e. Kaum Mutazilah menolak penafsiran kaum Asyariyah terhadap Q.S. al-Araf ayat 143 bahwa Allah SWT dapat dilihat. Bagi mereka, permintaan Musa kepada Tuhan tidak menunjukkan apakah yang diminta boleh terjadi atau tidak. Terkadang, ada seseorang

21

mengajukan permintaan guna membuktikan bahwa orang tersebut sudah mencurahkan tenaga agar orang tempat ia meminta melakukan sesuatu, walaupun ia tahu orang itu tidak akan melakukannya. Terkadang pula, seseorang mengajukan permintaan untuk

meyakinkan orang lain yang mendengarnya bahwa yang diminta itu tidak mungkin dilakukan. Ayat ini dijadikan kaum Mutazilah sebagai alasan penolakan melihat Tuhan. Karena jawaban Allah terhadap permintaan nabi Musa adalah bahwa Musa tidak akan melihat-Nya. Musa disuruh-Nya untuk melihat gunung, jika gunung itu masih tetap pada tempatnya, barulah Musa dapat melihat-Nya. Kenyataannya, gunung itu hancur setelah Allah menampakkan diriNya kepadanya. Jadi, nabi Musa tidak akan dapat melihat-Nya. Dalam ayat ini pun, kata yang dipakai untuk menafikan adalah kata lan, yang memberikan penafian di masa mendatang. Karena itu, Tuhan tidak akan pernah dilihat selamanya. Pendeknya, Musa mengetahui bahwa melihat Allah itu suatu hal yang mustahil. Namun Musa tetap memohon kepada Allah ketika kaumnya memaksa untuk dapat melihat Allah, agar mereka dapat membuktikan Musa sebagai seorang Nabi. Musa meminta untuk dapat melihat Tuhan dengan maksud meredam tuntutan kaumnya yang ingin melihat Tuhan. f. Dalam Q.S. 4: 152; Q.S. 2: 52; dan Q.S. 7: 155 dijelaskan bagaimana kaum nabi Musa disambar petir karena mereka ingin melihat Tuhan. Karena mereka memaksa Musa agar Musa memperlihatkan Tuhan kepada mereka, maka mereka disambar petir. Hal ini terjadi karena kaum nabi Musa meminta sesuatu yang tidak dibenarkan, yakni ingin melihat Tuhan dengan mata kepala. g. Q.S. 42: 51 menjelaskan pula tentang ketidakmungkinan manusia melihat Tuhan. Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa hubungan Allah dengan para hambanya yang terpilih melalui dialog terbagi tiga macam. Namun akal dapat menerima adanya bentuk dialog lain. Bentuk lain adalah Allah berdialog kepada hamba-Nya yang

22

dikehendakinya seraya dapat melihat Allah. Namun bentuk keempat ini disanggah oleh al-Quran, tersebut meskipun disusun akal dalam mampu bentuk

membayangkannya.

Ayat

pengecualian secara tegas.

G. Tokoh-Tokoh dan Berbagai Macam Pemikirannya Tentang Sifat-Sifat Allah SWT, Dzat Allah SWT, Perbuatan Allah SWT, keadilan, Janji, dan Ancaman Allah SWT Perpecahan umat Islam di berbagai bidang terutama teologi semakin terlihat ketika khalifah Ali bin Ali Thalib menduduki jabatan khalifah. Ketika sepupu dan menantu nabi Muhammad SAW, yakni Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah, pemimpin umat Islam, beliau dihadapkan kepada sejumlah persoalan, terutama pemberontakan sejumlah sahabat kepadanya. Tak pelak, sejumlah peperangan antar sesama umat Islam pun terjadi, antara lain adalah perang Shiffin. Perang ini terjadi antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan gubernur Damaskus, yakni Muawiyah bin Abi Sofyan. Sejumlah persoalan internal menjadi faktor pemicu lahirnya perang ini. Namun yang jelas, setelah perang ini berakhir, kondisi umat Islam ditandai oleh lahirnya banyak aliran. Dalam perkembangannya, aliran-aliran teologi dalam Islam antara lain adalah Khawarij, Syiah, Murjiah, Qadariyah, Jabbariyah, Mutazilah, Asyariyah, Maturidiyah, dan lain sebagainya. Tak hanya sebatas itu, masing-masing aliran tersebut terpecah pula menjadi sejumlah sekte-sekte yang jumlahnya bisa sangat banyak. Salah satu masalah ilmu kalam sebagai bahan kajian para Mutakallim adalah masalah Ruyatullah. Sebagaimana diketahui bahwa umat Islam terpecah menjadi sejumlah aliran teologi.Dalam kasus ruyatullah, masingmasing aliran teologi ini memiliki pandangan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan bahwa pandangan aliran-aliran Kalam tentang Ruyatullah terbagi atas dua kelompok:

23

1. Pertama. Sekelompok aliran yang berpendapat bahwa Allah SWT dapat dilihat. Mengenai alat yang digunakan, sebagian pendapat menyatakan bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata. Sementara sebagian lain mengungkapkan bahwa Allah SWT hanya bisa dilihat dengan hati. Mengenai tempatnya, sebagian menyatakan bahwa Allah SWT dapat dilihat di dunia dan di akhirat sekaligus. Sementara sebagian lain berpendapat bahwa Allah SWT hanya dapat di lihat di akhirat saja. Kelompok-kelompok ini adalah sebagai berikut: a. Kaum Syiah Rafidhah. Pandangan mereka tentang ruyatullah berkaitan erat dengan pandangan mereka tentang apakah Allah SWT boleh menampakkan diri-Nya. Sebagian mereka menyatakan bahwa Allah SWT tidak boleh menampakkan diri-Nya ketika Dia menghendaki sesuatu, kecuali jika Dia menghendaki sesuatu yang kemudian tidak menjadikannya, maka Dia boleh menampak-kan diri-Nya. Sebagian lain menyatakan bahwa Allah SWT boleh menampakkan diri-Nya dalam sesuatu yang diketahui-Nya, baik yang akan terjadi atau pun tidak. Begitu pun Allah SWT boleh menampakkan diri-Nya dalam sesuatu, baik yang diperlihatkan kepada hamba-Nya atau pun tidak. Sementara sebagian lagi menyatakan bahwa Allah SWT tidak boleh menampakkan diri-Nya. Mereka pun menolak anggapan-anggapan seperti di atas, karena Allah SWT itu Mahatinggi dab Mahasuci dari anggapan begitu. Berdasarkan ketiga pernyataan mereka tersebut, tampak bahwa sebagian kalangan Syiah Rafidhah meyakini bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh Allah SWT, sementara sebagian lagi berpandangan sebaliknya. Kesimpulan ini diperoleh karena sebagian mereka meyakini bahwa Allah SWT boleh menampakkan diri-Nya kepada hambanya. Karena Allah SWT boleh menampakkan diri-Nya kepada para hamba-Nya, maka jelas bahwa manusia dapat melihat-Nya sebagai konsekuensi dari penampakan-Nya kepada para hambanya tersebut.

24

b. Sebagian pemuka Murjiah. Mereka menyatakan bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh manusia melalui penglihatan matanya di akhirat kelak. c. Sebagian pemuka Mutazilah. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh manusia, tetapi tidak melalui penglihatan matanya, melainkan melalui hati sanubarinya. Dengan kata lain, mereka meyakini bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan hati manusia sehingga manusia dapat mengetahui-Nya. Pandangan terakhir dianut sebagian besar pengikut aliran Mutazilah, terutama Abu al-Hudzail. Sementara itu, Ahmad bin Khabith dan al-Fadhal al-Hadtsi, keduanya pendiri al-Khabithiyyah dan al-Haditsiyah (masih aliran Mutazilah), menyatakan bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh manusia di hari kiamat. Namun manusia melihat Tuhan melalui akal aktif, sebuah akal yang menangkap semua gambaran yang ada. Pada hari kiamat, akal ini mampu membuka hijab akal sehingga akal ini dapat melihat Tuhan. Namun penglihatan akal terhadap Tuhan tidak serupa dengan sesuatu yang diciptakan Tuhan. d. Aliran Dhirariyah. Bagi pengikut aliran ini, manusia dapat melihat Allah SWT di akhirat kelak. Karena pada saat itu, Allah SWT akan menciptakan indera keenam bagi orang-orang beriman (baca: mukmin) agar mereka dapat melihat-Nya. e. Sekelompok ahli ibadah. Pada masa Klasik, sekelompok ahli ibadah berpandangan bahwa manusia dapat melihat Allah SWT di dunia ini, sesuai dengan kadar perbuatan seseorang. Jika seseorang memiliki banyak perbuatan baik, maka orang tersebut bisa melihatNya dengan baik. Sebaliknya, jika orang tersebut memiliki perbuatan tidak baik, maka orang tersebut tidak akan dapat melihat Allah SWT dengan baik pula. f. Kalangan ahli hadits tentang ruyatullah ini. Bagi kalangan ahli hadits, seorang mukmin niscaya dapat melihat Allah SWT dengan penglihatannya di hari kiamat kelak, sebagaimana melihat bulan di

25

malam purnama. Sebaliknya, orang-orang kafir tidak akan dapat melihat-Nya karena terhalang oleh kekafirannya. Hal ini sebagaimana firman-Nya: Sekali-kali tidaklah begitu, bahkan sebenarnya mereka pada hari kiamat itu terhalang dari melihat Tuhannya. (Q.S. AlMuthaffifin: 15). Selain itu, mereka beralasan bahwa menurut kisah alQuran bahwa Nabi Musa as pun meminta kepada Allah SWT agar menampakkan diri-Nya, kemudian Dia mengabulkan permintaannya tersebut, sehingga menampaklah diri-Nya di atas gunung dan seketika itu nabi Musa as pun pingsang. Berdasarkan cerita ini, para ahli hadits menganggap bahwa Allah SWT tidak bisa dilihat dengan penglihatan di dunia ini, tetapi hanya bisa dilihat di hari akhirat semata. g. Aliran Mujassimah. Kelompok Mujassimah meyakini bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh manusia melalui indera matanya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. h. Aliran Musyabbihah. Menurut aliran ini, manusia dapat melihat Tuhan di dunia ini. Tuhan pun dapat ditemui oleh manusia, dan Tuhan dapat menemui manusia di dunia ini. i. Aliran Bakriyyah. Kelompok Bakriyyah meyakini bahwa Allah SWT akan menciptakan suatu bentuk tertentu atas diri-Nya, sehingga dengan bentuk itu Dia pun akan dapat terlihat, bahkan Dia dapat berbicara langsung dengan manusia. j. Husein al-Najar. Al-Najar berpandangan bahwa Allah SWT akan menjadikan mata pada hati, sehingga terciptalah daya kekuatan ilmu padanya, di mana dengan daya kekuatan ilmu tersebut, seseorang bisa melihat-Nya atau pun mengetahui-Nya. k. Dharar dan Hafs al-Fard. Keduanya beranggapan bahwa Allah SWT tidak bisa dilihat dengan penglihatan mata, tetapi Dia akan menciptakan indera keenam kepada mereka, sehingga dengan indera keenam itu mereka pun akan bisa melihat Allah SWT.

Sebagian Mutakallimin lain menganggap bahwa manusia dapat melihat Allah SWT di dunia ini, sehingga mereka tidak mengingkari jika

26

seseorang

melihat

Allah

SWT

di

jalan

raya.

Sebagian Mutakallimin menyebutkan bahwa seorang manusia dapat melihat Allah SWT, bahkan orang tersebut dapat menjumpai-Nya, menyentuh-Nya, dan mendekatkan diri dengan-Nya. Tidak hanya itu, mereka meyakini bahwa seseorang yang berbuat baik dapat pula seiring sejalan dengan-Nya, jika Dia menghendaki hal itu. Pandangan ini dianut oleh seorang Mutakallimin yang bernama Mudhar dan Kahmas. Di pihak lain, Mutakallimin lain semacam Abdul Wahid menyatakan bahwa Allah SWT itu sebenarnya bisa dilihat oleh para hamba-Nya, sesuai dengan amal perbuatan yang ada pada hamba-Nya tersebut. Karena itu, jika amal perbuatan hamba-Nya tersebut baik, maka niscaya hamba-Nya itu akan dapat melihat-Nya.

Pandangan Mutakallimin lain menyatakan bahwa manusia dapat melihat Allah SWT ketika tidur, sementara ketika manusia tersebut sadar, maka manusia itu tidak dapat melihat-Nya. Pandangan ini dianut oleh Sulaiman al-Tamimi. l. Zuhair al-Atsari dan pengikutnya. Mereka menyatakan bahwa karena Allah SWT itu bersemayang di setiap tempat, maka Allah SWT dapat dilihat dengan penglihatan mata. Namun bagi mereka, seseorang tidak boleh memikirkan tentang cara melihat Allah tersebut. Kendati demikian, Allah SWT bukanlah jisim. Dia tidak terbatas, sehingga Dia tidak bisa dirasa dan diraba. Mereka pun meyakini bahwa Allah akan mendatangi manusia di hari kiamat kelak. Kendati begitu, mereka menyatakan bahwa seseorang tidak boleh mempersoalkan bagaimana Allah SWT mendatangi manusia tersebut. m. Syiah Imamiyah. Madzhab Syiah Imamiyah meyakini bahwa Allah SWT tidak akan pernah dapat dilihat oleh mata fisik manusia baik di dunia maupun akhirat kelak. Bagi mereka meyakini bahwa keyakinan akal (ilmu al-yaqin) bukan sebagai tingkat keyakinan tertinggi manusia, melainkan hati (ain al-yaqin). Ain al-Yaqin (yakin karena melihat) mengandung makna menyaksikan Tuhan dengan hati, bukan

27

dengan mata. Karena itu kaum Syiah Imamiyah meyakinmi bahwa kendati Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata fisik, namun Tuhan dapat dilihat dengan hati yang suci dan bersih. n. Aliran Thahawiyah. Aliran ini menyatakan bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh manusia. Mereka menekankan bahwa masalah melihat tuhan merupakan rukun iman. Masalah ini mesti diterima oleh umat Islam tanpa keraguan, tanpa interpretasi personal, dan tanpa fikiran anthropomorfis. Setiap upaya umat Islam untuk menginterpretasikan masalah ini melalui fikiran, maka mereka berarti mengingkari rukun iman yang satu ini. 2. Kedua, sekelompok aliran yang berpendapat bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat. Mereka menyatakan bahwa Allah SWT tidak bisa dilihat baik di dunia maupun di akhirat. Mata dan hati manusia tidak akan pernah mampu melihat Allah SWT. a. Sebagian kaum Murjiah. Mereka meyakini bahwa Allah SWT tidak akan dapat dilihat oleh manusia melalui indera matanya. Bahkan sekelompok pemuka aliran Murjiah meyakini bahwa Allah SWT tidak akan dapat dilihat oleh manusia baik melalui indera mata maupun hati. Tidak hanya itu, manusia tersebut bukan hanya tidak bisa melihat-Nya di dunia saja, bahkan manusia tidak akan pernah melihat-Nya di akhirat kelak. b. Aliran Mutazilah. Mayoritas kaum Mutazilah berpandangan bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat dengan penglihatan mata. Bahkan mereka meyakini bahwa Allah SWT tidak bisa diketahui dengan penglihatan mata atau pun hati, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam konteks ini, al-Jubai dan Abu Hasyim Abd Salam, dua orang pemuka Mutazilah meyakini bahwa manusia tidak akan pernah melihat zat Allah di akhirat kelak, apalagi di dunia.

28

c. Aliran Jabbariyah. Menurut Jaham bin Shafwan, tokoh aliran Jabbariyah menyatakan bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat manusia di akhirat, apalagi di dunia. d. Aliran Khawarij dan Syiah Zaidiyah. Para pemuka aliran Khawarij dan Syiah Zaidiyah meyakini bahwa Allah SWT tidak akan dapat dilihat oleh manusia baik melalui indera mata maupun hati. Tidak hanya itu, manusia tersebut bukan hanya tidak bisa melihat-Nya di dunia saja, bahkan manusia tidak akan pernah melihat-Nya di akhirat kelak. H. Konsep Iman Jika dilihat dari asal bahasa kata iman berasal dari bahasa arab yang berarti membenarkan, dan dalam bahasa Indonesia kata iman berarti percaya yaitu sebuah kepercayaan dalam hati dan membenarkan bahwa adanya Allah SWT itu benar-benar a d a semua serta yang di membenarkan ajarkan oleh dan Nabi

mengamalkan

Muhammad SAW dan mempercayai Rasul-Rasul sebelumnya. Iman merupakan inti dasar dari sebuah peribadatan, tanpa adanya keimanan sangat mustahil seseorang dapat membenarkan adanya Tuhan. Menurut Hasan Hanafi, setidaknya ada empat istilah kunci biasanya dipergunakan oleh para theology Muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu : 1. Marifah bi al-aql; mengetahui dengan akal 2. Amal; perbuatan baik atau patuh 3. Iqrar; pengakuan secara lisan dan 4. Tasdiq; membenarkan dalam hati Keempat istilah kunci tersebut terdapat dalam hadits Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Said Al-Khudri, yang artinya: Barang siapa di antaramu yang melihat (marifah) kemungkaran, maka

29

hendaklah kamu mengambil tindakkan fisik, jika engkau tidak kuasa, maka rubahlah dengan ucapanmu, jika dengan itupun engkau tidak mampu melakukannya, maka lakukanlah dengan kalbumu (akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah. I. Konsep Kufur Pengertian kufur diambil dari Ensiklopedi Islam, yaitu : Al-Kufr (tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi ingkar atau tidak percaya, ketidakpercayaan kepada Tuhan. Kata kafir

mengisyaratkan usaha keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Tuhan, yakni sebuah kehendak untuk mengingkari Tuhan, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu. Kufur dalam bahasa agama ada dua macam. Pertama, kufur akbar, iaitu kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari agama. Kedua, kufur ashghar, iaitu kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari agama.Kufur macam ini terkadang disebut juga dengan kufur 'amali. J. Aqidah dalam Kehidupan Sehari-hari Jika konsep ruyatullah ini dipahami secara benar, maka hal ini dipandang ampuh dalam menumbuhkan sifat-sifat terpuji dan menghilangkan sifat-sifat tercela. Seseorang yang meyakini bahwa Tuhan dapat melihatnya, atau pun kelak orang tersebut dapat melihat-Nya, maka orang tersebut pasti akan cenderung berbuat kebaikan dan tidak melakukan keburukan, sehingga orang tersebut akan selalu berbuat baik. Hal ini lumrah karena orang tersebut pasti takut berbuat buruk karena Tuhan melihatnya; dan orang tersebut akan cenderung berbuat baik agar dapat melihat Tuhannya kelak. Jika hal ini terus dilakukan, maka konsekuensinya, akan lahir sifat-sifat mulia dalam dirinya sementara sifat-sifat buruk akan segera terkikis dari dalam dirinya. Jika ini terlaksana dengan baik, maka masalah krisis moral manusia modern dapat segera diatasi.

30

Selain kedua nilai guna di atas, sebenarnya pemahaman atas masalah ruyatullah ini akan menumbuhkan pola hidup idealis bagi seorang Muslim. Pola hidup idealis antara lain sikap militan, optimis, progresif, disiplin, bertanggung jawab, mawas diri, telaten, waspada, dan lainnya. Ketika seseorang meyakini bahwa kelak ia akan melihat Tuhannya, sementara hal ini merupakan anugerah terbesar dari Tuhan, maka orang tersebut akan dapat memiliki sikap militan. Orang tersebut akan rela mengorbankan jiwa dan raganya demi sebuah kebaikan, agama, dan bangsanya. Karena orang itu yakin, jika ia mati, maka ia akan segera melihat Tuhannya sebagai suatu kenikmatan terbesar. Orang tersebut pun akan lebih optimis dalam menjalani hidupnya, karena ia yakini bahwa hidup ini sebagai sarana utama bagi perjumpaan dirinya dengan Tuhannya. Orang tersebut akan menjadi lebih progresif, karena ia yakin bahwa segala usahanya dapat menjadi sarana meraih kenikmatan terbesar, yakni melihat Tuhannya. Orang itu akan menjadi lebih disiplin dalam melaksanakan perintah-perintah agama dan pekerjaan-pekerjaan duniawi, karena jika tidak demikian, maka ia akan berdosa sehingga ia tidak akan pernah mendapatkan kenikmatan terbesar itu. Orang itu pun akan menjadi lebih bertanggung jawab, mawas diri, telaten, dan waspada dalam melakukan sebuah perbuatan dan pekerjaan, karena jika demikian, maka ia tidak telah melanggar amanah, baik dari Tuhannya maupun orang lain. Hal ini akan membuatnya berdosa, sehingga ia pun tidak akan memperoleh kenikmatan terbesar di akhirat kelak. Jika semua hal ini telah tercapai, maka segala masalah kehidupan manusia Modern, terutama krisis moral dan nilai akan dapat diselesaikan.

31

Anda mungkin juga menyukai