Anda di halaman 1dari 53

Apotek, Buah Karya Peradaban Islam

By Republika Newsroom
(heri ruslan)
Rabu, 06 Mei 2009 pukul 12:40:00

Peradaban Islam dikenal sebagai perintis dalam


bidang farmasi. Para ilmuwan Muslim di era
kejayaan Islam sudah berhasil menguasai riset
ilimiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan,
dan efek dari obat-obatan sederhana dan
campuran. Selain menguasai bidang farmasi,
masyarakat Muslim pun tercatat sebagai
peradaban pertama yang memiliki apotek atau
toko obat.
Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk
The valuable contributions of Al-Razi (Rhazes) in
the history of pharmacy during the Middle Ages,
mengungkapkan, apotek pertama di dunia berdiri di kota Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu,
Baghdad sudah menjadi ibukota Kekhalifahan Abbasiyah. ''Apotek pertama di Baghdad didirikan
oleh para apoteker Muslim,'' ungkap al-Ghazal.
Jauh sebelum peradaban Barat mengenal apotek, masyarakat Islam lebih dulu menguasainya. Sejarah
mencatat, apoteker pertama di Eropa baru muncul pada akhir abad ke-14, bernama Geoffrey Chaucer
(1342-1400). Ia dikenal sebagai apoteker asal Inggris. Apotek mulai menyebar di Eropa setelah pada
abad ke-15 hingga ke-19 M, praktisi apoteker mulai berkembang di benua itu.
''Umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama,'' papar Howard R Turner dalam
bukunya bertajuk Science in Medievel Islam . Philip K Hitti dalam bukunya yang terkenal bertajuk
History of Arab, juga mengakui bahawa peradaban Islamlah yang pertama kali mendirikan apotek.
''Selain itu, peradaban Islam juga merupakan pendiri sekolah farmasi pertama,'' ungkap K Hitti. Ia
juga membuktikan bahwa umat Muslim di era kekhalifahan sebagai pencipta pharmacopoeia yang
pertama. Perkembangan ilmu farmasi yang begitu cepat, membuat apotek atau toko-toko obat tumbuh
menjamur di kota-kota Islam.
Hampir di setiap rumah sakit besar di kota-kota Islam dilengkapi dengan apotek atau instalasi
farmakologi. Apotek-apotek itu dikelola oleh apoteker yang menguasai ilmu peracikan obat. ''Kaum
Muslimin menyumbang begitu banyak hal terhadap perkembangan apotek atau obat,'' ungkap
Howard R Turner dalam bukunya bertajuk Science in Medievel Islam .
Di era kejayaan Islam, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang
banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad - kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah
- namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek
sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga
aneka obat-obatan.
Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik
pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga
mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala
besar.Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara
periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib - semacam badan pengawas obat-obatan -
mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti
mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.
Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya
dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya
obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan
teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam.
Perkembangan ilmu botani dan kimia telah mendorong umat Muslim untuk mengembangkan
farmasi. Pada masa itu, ilmuwan Muslim seperti Muhammad ibnu Zakariya al-Razi (865-915 M)
alias Razes turut mengembangkan pengobatan dengan menggunakan obat-obatan. Selain itu, dokter
dan ahli farmasi Muslim lainnya Abu al-Qasim al-Zahrawi alias Abulcasis (936-1013 M) juga tercatat
sebagai saintis perintis dalam bidang distiliasi dan sublimasi.
Tak cuma itu, Sabur ibnu Sahl (wafat 869 M), juga tercatat sebagai dokter pertama yang mencetuskan
pharmacopoedia. Ia telah menjelaskan beragam jenis obat-obatan untuk mengobati penyakit. Saintis
Muslim lainnya yang turut menopang tumbuhnya aoptek di era Islam adalah al-Biruni (973-1050 M).
Sang ilmuwan legendaris Islam itu telah menulis buku farmakologi yang sangat berharga bertajuk
Kitab al-Saydalah ( Buku tentang Obat-obatan).
Dalam kitabnya itu, al-Biruni menjelaskan secara detail pengetahuan mengenai peralatan untuk
pembuatan oba-obatan, peran farmasi, fungsi serta tugas apoteker. Ia juga menjelaskan tentang apotek.
Ilmuwan Muslim lainnya, Ibnu Sina alias Avicenna juga menulis tak kurang dari 700 persiapan
pembuatan obat, peralatannya, kegunaan dan khasiat obat -obatan tersebut. Kontribusi Ibnu Sina
dalam bidang farmasi itu dituliskannya dalam bukunya yang sangat monumental Canon of Medicine.
Ilmuwan Muslim lainnya yang turut menopang berdiri serta berkembangnya apotek di dunia Islam
adalah al-Maridini dan Ibnu al-Wafid (1008-1074). Kedua karya ilmuwan Muslim itu telah dicetak
dalam bahasa Latin lebih dari 50 kali. Kitab yang ditulis keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin berjudul De Medicinis universalibus et particularibus dan Medicamentis simplicibus.
”Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar
biasa terhadap Barat,” papar Turner. Menurut Turner, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah
memperkenalkan sederet obat herbal yang terbukti berkhasiat untuk kesehatan, seperti, adas manis,
kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan.
Menurut K Hitti, kemajuan peradaban Islam dalam farmasi dan apotek ditopang oleh banyaknya buku
dalam bidang farmakologi yang ditulis ilmuwan Muslim. K Hitti mencatat, buku farmakologi pertama
di dunia Islam ditulis oleh Jabir bin Hayyan. Selain itu, ada pula karya al-Razi, Ibnu Sina, Tabari
dan d Majusi. ''al-Razi dan Ibnu Sina adalah dua dokter yang paling terkemuka di zamannya,'' ujar K
Hitti.
Sejak dulu, apotek yang dikelola apoteker merupakan bagian yang tak terpisahkan dari institusi
rumah sakit. Hal itu sama halnya dengan farmasi dan farmakologi yang juga merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu
kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah.
Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang
independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Menurut Howard R Turner, praktisi
seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat
sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker merupakan profesi yang menopang geliat farmasi di
dunia Islam.

Ilmuwan Muslim Penopang Apotek

* Abu Ja’far Al-Ghafiqi (wafat 1165 M)


Ilmuwan Muslim yang satu ini juga turut memberi kontribusi dalam pengembangan farmakologi dan
farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan
menyimpan obat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-Jami’ Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Risalah itu
memaparkan tentang pendekatan dalam metodelogi, eksperimen, serta observasi dalam farmakologi
dan farmasi.

* Sabur Ibnu Sahl (wafat 869 M)


Ibnu Sahal adalah dokter pertama yang mempelopori pharmacopoeia. Kontribusinya dalam bidang
farmakologi dan farmasi juga terbilang mata besar. Dia menjelaskan beragam jenis obat-obatan.
Sumbangannya untuk pengembangan farmakologi dan farmasi dituangkannya dalam kitab Al-
Aqrabadhin.
* Yuhanna Ibnu Masawayh (777 M - 857 M)
Orang Barat menyebutnya Mesue. Ibnu Masawayh merupakan anak seorang apoteker. Kontribusinya
juga terbilang penting dalam pengembangan farmasi dan farmakologi. Dalam kitab yang ditulisnya,
Ibnu Masawayh membuat daftar sekitar 30 macam aromatik.Salah satu karya Ibnu Masawayh yang
terkenal adalah kitab Al-Mushajjar Al-Kabir. Kitab ini merupakan semacam ensiklopedia yang berisi
daftar penyakit berikut pengobatannya melalui obat-obatan serta diet.

* Abu Hasan ‘Ali bin Sahl Rabban at- Tabari


At-Tabari lahir pada tahun 808 M. Pada usia 30 tahun, dia dipanggil oleh Khalifah Al-Mu’tasim ke
Samarra untuk menjadi dokter istana. Salah satu sumbangan At-Tabari dalam bidang farmakologi
adalah dengan menulis sejumlah kitab. Salah satunya yang terkenal adalah Paradise of Wisdom.
Dalam kitab ini dibahas mengenai pengobatan menggunakan binatang dan organ-organ burung. Dia
juga memperkenalkan sejumlah obat serta cara pembuatannya.
Kamera Obscura yang Mengubah Dunia
By Republika Newsroom
(she/desy susilawati/heri ruslan)
Kamis, 07 Mei 2009 pukul 10:35:00

Surat kabar terkemuka di Inggris, The


Independent pada edisi 11 Maret 2006 sempat
menurunkan sebuah artikel yang sangat
menarik bertajuk ''Bagaimana para inventor
muslim mengubah dunia.'' The Independent
menyebut sekitar 20 penemuan penting para
ilmuwan Muslim yang mampu mengubah
peradaban umat manusia, salah satunya adalah
penciptaan kamera obscura.
Kamera merupakan salah satu penemuan
penting yang dicapai umat manusia. Lewat
jepretan dan bidikan kamera, manusia bisa
merekam dan mengabadikan beragam bentuk gambar mulai dari sel manusia hingga galaksi di luar
angkasa. Teknologi pembuatan kamera, kini dikuasai peradaban Barat serta Jepang. Sehingga,
banyak umat Muslim yang meyakini kamera berasal dari peradaban Barat.
Jauh sebelum masyarakat Barat menemukannya, prinsip-prinsip dasar pembuatan kamera telah
dicetuskan seorang sarjana Muslim sekitar 1.000 tahun silam. Peletak prinsip kerja kamera itu
adalah seorang saintis legendaris Muslim bernama Ibnu al-Haitham. Pada akhir abad ke-10 M, al-
Haitham berhasil menemukan sebuah kamera obscura.
Itulah salah satu karya al-Haitham yang paling menumental. Penemuan yang sangat inspiratif itu
berhasil dilakukan al-Haithan bersama Kamaluddin al-Farisi. Keduanya berhasil meneliti dan
merekam fenomena kamera obscura. Penemuan itu berawal ketika keduanya mempelajari gerhana
matahari. Untuk mempelajari fenomena gerhana, Al-Haitham membuat lubang kecil pada dinding
yang memungkinkan citra matahari semi nyata diproyeksikan melalui permukaan datar.
Kajian ilmu optik berupa kamera obscura itulah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini
digunakan umat manusia. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai
''ruang gelap''. Biasanya bentuknya berupa kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya
cahaya. Teori yang dipecahkan Al-Haitham itu telah mengilhami penemuan film yang kemudiannya
disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton.
"Kamera obscura pertama kali dibuat ilmuwan Muslim, Abu Ali Al-Hasan Ibnu al-Haitham, yang
lahir di Basra (965-1039 M),'' ungkap Nicholas J Wade dan Stanley Finger dalam karyanya
berjudul The eye as an optical instrument: from camera obscura to Helmholtz's perspective.
Dunia mengenal al-Haitham sebagai perintis di bidang optik yang terkenal lewat bukunya bertajuk
Kitab al-Manazir (Buku optik). Untuk membuktikan teori-teori dalam bukunya itu, sang fisikawan
Muslim legendaris itu lalu menyusun Al-Bayt Al-Muzlim atau lebih dikenal dengan sebutan kamera
obscura, atau kamar gelap.
Bradley Steffens dalam karyanya berjudul Ibn al-Haytham:First Scientist mengungkapkan bahwa
Kitab al-Manazir merupakan buku pertama yang menjelaskan prinsip kerja kamera obscura. "Dia
merupakan ilmuwan pertama yang berhasil memproyeksikan seluruh gambar dari luar rumah ke
dalam gambar dengan kamera obscura," papar Bradley.
Istilah kamera obscura yang ditemukan al-Haitham pun diperkenalkan di Barat sekitar abad ke-16
M. Lima abad setelah penemuan kamera obscura, Cardano Geronimo (1501 -1576), yang
terpengaruh pemikiran al-Haitham mulai mengganti lobang bidik lensa dengan lensa (camera).
Setelah itu, penggunaan lensa pada kamera onscura juga dilakukan Giovanni Batista della Porta
(1535–1615 M). Ada pula yang menyebutkan bahwa istilah kamera obscura yang ditemukan al-
Haitham pertama kali diperkenalkan di Barat oleh Joseph Kepler (1571 - 1630 M). Kepler
meningkatkan fungsi kamera itu dengan menggunakan lensa negatif di belakang lensa positif,
sehingga dapat memperbesar proyeksi gambar (prinsip digunakan dalam dunia lensa foto jarak jauh
modern).
Setelah itu, Robert Boyle (1627-1691 M), mulai menyusun kamera yang berbentuk kecil, tanpa
kabel, jenisnya kotak kamera obscura pada 1665 M. Setelah 900 tahun dari penemuan al-Haitham
pelat-pelat foto pertama kali digunakan secara permanen untuk menangkap gambar yang dihasilkan
oleh kamera obscura. Foto permanen pertama diambil oleh Joseph Nicephore Niepce di Prancis
pada 1827.
Tahun 1855, Roger Fenton menggunakan plat kaca negatif untuk mengambil gambar dari tentara
Inggris selama Perang Crimean. Dia mengembangkan plat-plat dalam perjalanan kamar gelapnya -
yang dikonversi gerbong. Tahun 1888, George Eastman mengembangkan prinsip kerja kamera
obscura ciptaan al-Hitham dengan baik sekali. Eastman menciptakan kamera kodak. Sejak itulah,
kamera terus berubah mengikuti perkembangan teknologi.
Sebuah versi kamera obscura digunakan dalam Perang Dunia I untuk melihat pesawat terbang dan
pengukuran kinerja. Pada Perang Dunia II kamera obscura juga digunakan untuk memeriksa
keakuratan navigasi perangkat radio. Begitulah penciptaan kamera obscura yang dicapai al-Haitham
mampu mengubah peradaban dunia.
Peradaban dunia modern tentu sangat berutang budi kepada ahli fisika Muslim yang lahir di Kota
Basrah, Irak. Al-Haitham selama hidupnya telah menulis lebih dari 200 karya ilmiah. Semua
didedikasikannya untuk kemajuan peradaban manusia. Sayangnya, umat Muslim lebih terpesona
pada pencapaian teknologi Barat, sehingga kurang menghargai dan mengapresiasi pencapaian
ilmuwan Muslim di era kejayaan Islam.

Sejarah Sang Penemu Kamera Obscura


Tahukah Anda, kata kamera yang digunakan saat ini berasal dari bahasa Arab, yakni qamara ?
Istilah itu muncul berkat kerja keras al-Hatham. Bapak fisika modern itu terlahir dengan nama Abu
Ali al-Hasan Ibnu al-Hasan Ibnu al-Haitham di Kota Basrah, Persia, saat Dinasti Buwaih dari Persia
menguasai Kekhalifahan Abbasiyah.
Sejak kecil al-Haitham ydikenal berotak encer. Ia menempuh pendidikan pertamanya di tanah
kelahirannya. Beranjak dewasa ia merintis kariernya sebagai pegawai pemerintah di Basrah.
Namun, Al-Haitham lebih tertarik untuk menimba ilmu dari pada menjadi pegawai pemerintah.
Setelah itu, ia merantau ke Ahwaz dan metropolis intelektual dunia saat itu yakni kota Baghdad. Di
kedua kota itu ia menimba beragam ilmu. Ghirah keilmuannya yang tinggi membawanya terdampar
hingga ke Mesir.
Al-Haitham pun sempat mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar yang didirikan
Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah itu, secara otodidak, ia mempelajari hingga menguasai beragam
disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika, geometri,
pengobatan, fisika, dan filsafat.
Secara serius dia mengkaji dan mempelajari seluk-beluk
ilmu optik. Beragam teori tentang ilmu optik telah
dilahirkan dan dicetuskannya. Dialah orang pertama yang
menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai
cahaya. Konon, dia telah menulis tak kurang dari 200 judul
buku.
Dalam salah satu kitab yang ditulisnya, Alhazen - begitu
dunia Barat menyebutnya - juga menjelaskan tentang
ragam cahaya yang muncul saat matahari terbenam. Ia pun
mencetuskan teori tentang berbagai macam fenomena fisik
seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi.
Keberhasilan lainnya yang terbilang fenomenal adalah
kemampuannya menggambarkan indra penglihatan
manusia secara detail. Tak heran, jika 'Bapak Optik' dunia
itu mampu memecahkan rekor sebagai orang pertama yang menggambarkan seluruh detil bagian
indra pengelihatan manusia. Hebatnya lagi, ia mampu menjelaskan secara ilmiah proses bagaimana
manusia bisa melihat.
Teori yang dilahirkannya juga mampu mematahkan teori penglihatan yang diajukan dua ilmuwan
Yunani, Ptolemy dan Euclid. Kedua ilmuwan ini menyatakan bahwa manusia bisa melihat karena
ada cahaya keluar dari mata yang mengenai objek. Berbeda dengan keduanya, Ibnu Haytham
mengoreksi teori ini dengan menyatakan bahwa justru objek yang dilihatlah yang mengeluarkan
cahaya yang kemudian ditangkap mata sehingga bisa terlihat.
Secara detail, Al-Haitham pun menjelaskan sistem penglihatan mulai dari kinerja syaraf di otak
hingga kinerja mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan secara detil bagian dan fungsi mata seperti
konjungtiva, iris, kornea, lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing terhadap penglihatan
manusia. Hasil penelitian Al-Haitham itu lalu dikembangkan Ibnu Firnas di Spanyol dengan
membuat kaca mata.
Dalam buku lainnya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Light On Twilight
Phenomena, al-Haitham membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan
matahari serta bayang-bayang dan gerhana.
Menurut Al-Haitham, cahaya fajar bermula apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk timur.
Warna merah pada senja akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Ia pun
menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Al-Haitham juga mencetuskan teori lensa pembesar. Teori itu digunakan para saintis di Italia untuk
menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Sayangnya, hanya sedikit yang terisa. Bahkan karya
monumentalnya, Kitab al-Manazhir , tidak diketahui lagi keberadaannya. Orang hanya bisa
mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin.
Abu Nasr Mansur, Sang Penemu Hukum Sinus
By Republika Newsroom
(hri/ des/she)
Rabu, 13 Mei 2009 pukul 16:24:00

Saat masih sekolah di bangku sekolah


menengah, tentu Anda pernah mempelajari
istilah sinus dalam mata pelajara matematika.
Sinus adalah perbandingan sisi segitiga yang
ada di depan sudut dengan sisi miring. Hukum
sinus itu ternyata dicetuskan seorang
matematikus Muslim pada awal abad ke-11 M.
Ahli matematika itu bernama Abu Nasr Mansur
ibnu Ali ibnu Iraq atau akrab disapa Abu Nasr
Mansur (960 M - 1036 M). Bill Scheppler
dalam karyanya bertajuk al-Biruni: Master
Astronomer and Muslim Scholar of the
Eleventh Century, mengungkapkan, bahwa Abu Nasr Mansur merupakan seorang ahli matematika
Muslim dari Persia.
"Dia dikenal sebagai penemuan hukum sinus," ungkap Scheppler. Ahli sejarah Matematika John
Joseph O'Connor dan Edmund Frederick Robertson menjelaskan bahwa Abu Nasr Mansur terlahir
di kawasan Gilan, Persia pada tahun 960 M. Hal itu tercatat dalam The Regions of the World,
sebuah buku geografi Persia bertarikh 982 M.
Keluarganya "Banu Iraq" menguasai wilayah Khawarizm (sekarang, Kara-Kalpakskaya,
Uzbekistan). Khawarizm merupakan wilayah yang berdampingan dengan Laut Aral. "Dia menjadi
seorang pangeran dalam bidang politik," tutur O'Cornor dan Robertson.
Di Khawarizm itu pula, Abu Nasr Mansur menuntut ilmu dan berguru pada seorang astronom dan
ahli matematika Muslim terkenal Abu'l-Wafa (940 M - 998 M). Otaknya yang encer membuat Abu
Nasr dengan mudah menguasai matematika dan astronomi. Kehebatannya itu pun menurun pada
muridnya, yakni Al-Biruni (973 M - 1048 M).
Kala itu, Al-Biruni tak hanya menjadi muridnya saja, tapi juga menjadi koleganya yang sangat
penting dalam bidang matematika. Mereka bekerja sama menemukan rumus-rumus serta hukum-
hukum yang sangat luar biasa dalam matematika. Kolaborasi kedua ilmuwan itu telah melahirkan
sederet penemuan yang sangat hebat dan bermanfaat bagi peradaban manusia.
Perjalanan kehidupan Abu Nasr dipengaruhi oleh situasi politik yang kurang stabil. Akhir abad ke-
10 M hingga awal abad ke-11 M merupakan periode kerusuhan hebat di dunia Islam. Saat itu,
terjadi perang saudara di kota sang ilmuwan menetap. Pada era itu, Khawarizm menjadi bagian dari
wilayah kekuasaan Dinasti Samaniyah.
Perebutan kekuasaan di antara dinasti-dinasti kecil di wilayah Asia Tengah itu membuat situasi
politik menjadi kurang menentu. Pada 995 M, kekuasaan Banu Iraq digulingkan. Saat itu, Abu Nasr
Mansur menjadi pangeran. Tidak jelas apa yang terjadi pada Abu Nasr Mansur di negara itu, namun
yang pasti muridnya al-Biruni berhasil melarikan diri dari ancaman perang saudara itu.
Setelah peristiwa itu, Abu Nasr Mansur bekerja di istana Ali ibnu Ma'mun dan menjadi penasihat
Abu'l Abbas Ma'mun. Kehadiran Abu Nasr membuat kedua penguasa itu menjadi sukses.
Ali ibnu Ma'mun dan Abu'l Abbas Ma'mun merupakan pendukung ilmu pengetahuan. Keduanya
mendorong dan mendukung Abu Nasr mengembangkan ilmu pengetahuan. Tak heran jika ia
menjadi ilmuwan paling top di istana itu. Karya-karyanya sangat dihormati dan dikagumi.
Abu Nasr Mansur menghabiskan sisa hidupnya di istana Mahmud di Ghazna. Ia wafat pada 1036 M
di Ghazni, sekarang Afghanistan. Meski begitu, karya dan kontribusianya bagi pengembangan
sains tetap dikenang sepanjang masa. Dunia Islam modern tak boleh melupakan sosok ilmuwan
Muslim yang satu ini.
Kontribusi Sang Ilmuwan
Abu Nasr Mansur telah memberikan kontribusi yang penting dalam dunia ilmu pengetahuan.
Sebagian Karya Abu Nasr fokus pada bidang matematika, tapi beberapa tulisannya juga membahas
masalah astronomi.
Dalam bidang matematika, dia memiliki begitu banyak karya yang sangat penting dalam
trigonometri. Abu Nasr berhasil mengembangkan karya-karya ahli matematika, astronomi, geografi
dan astrologi Romawi bernama Claudius Ptolemaeus (90 SM – 168 SM).
Dia juga mempelajari karya ahli matematika dan astronom Yunani, Menelaus of Alexandria (70 SM
– 140 SM). Abu Nasr mengkritisi dan mengembangkan teori-teori serta hukum-hukum yang telah
dikembangkan ilmuwan Yunani itu.
Kolaborasi Abu Nasr dengan al-Biruni begitu terkenal. Abu Nasr berhasil menyelesaikan sekitar 25
karya besar bersama al-Biruni. " Sekitar 17 karyanya hingga kini masih bertahan. Ini
menunjukkan bahwa Abu Nasr Mansur adalah seorang astronom dan ahli matematika yang luar
biasa," papar ahli sejarah Matematika John Joseph O'Connor dan Edmund Frederick Robertson
Dalam bidang Matematika, Abu Nasr memiliki tujuh karya, sedangkan sisanya dalam bidang
astronomi. Semua karya yang masih bertahan telah dipublikaskan, telah dialihbahasakan kedalam
bahasa Eropa, dan ini memberikan beberapa indikasi betapa sangat pentingnya karya sang ilmuwan
Muslim itu.
Secara khusus Abu Nasr mempersembahkan sebanyak 20 karya kepada muridnya al-Biruni. Salah
satu adikarya sang saintis Muslim ini adalah komentarnya dalam The Spherics of Menelaus.
Perannya sungguh besar dalam pengembangan trigonometri dari perhitungan Ptolemy dengan
penghubung dua titik fungsi trigonometri yang hingga kini masih tetap digunakan. Selain itu, dia
juga berjasa dalam mengembangkan dan mengumpulkan tabel yang mampu memberi solusi angka
yang mudah untuk masalah khas spherical astronomy (bentuk astronomi).
Abu Nasr juga mengembangkan The Spherics of Menelaus yang merupakan bagian penting, sejak
karya asli Menelaus Yunani punah. Karya Menelaus berasal dari dasar solusi angka Ptolemy dalam
masalah bentuk astronomi yang tercantum dalam risalah Ptolemy bertajuk Almagest.
"Karyanya di dalam tiga buku: buku pertama mempelajari kandungan/kekayaan bentuk segitiga,
buku kedua meneliti kandungan sistem paralel lingkaran dalam sebuah bola/bentuk mereka
memotong lingkaran besar, buku ketiga memberikan bukti dalil Menelaus," jelas O'Cornor dan
Robertson.
Pada karya trigonometrinya, Abu Nasr Mansur menemukan hukum sinus sebagai berikut:

a/sin A = b/sin B = c/sin C

"Abu'l-Wafa mungkin menemukan hukum ini pertama dan Abu Nasr Mansur mungkin belajar dari
dia. Pastinya keduanya memiliki prioritas kuat untuk menentukan dan akan hampir pasti tidak
pernah diketahui dengan kepastian," ungkap O'Cornor dan Robertson.
O'Cornor dan Robertson juga menyebutkan satu nama lain, yang disebut sebagai orang ketiga yang
kadang-kadang disebut sebagai penemu hukum yang sama, seorang astronom dan ahli matematika
Muslim dari Persia, al-Khujandi (940 M - 1000 M).
Namun, kurang beralasan jika al-Khujandi dsebut sebagai penemu hukum sinus, seperti yang ditulis
Samso dalam bukunya Biography in Dictionary of Scientific Biography (New York 1970-1990).
"Dia adalah seorang ahli astronomi praktis yang paling utama, yang tidak peduli dengan masalah
teoritis," katanya.
Risalah Abu Nasr membahas lima fungsi trigonometri yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah dalam bentuk astronomi. Artikel menunjukkan perbaikan yang diperoleh Abu Nasr Mansur
dalam penggunan pertama sebagai nilai radius. Karya lain Abu Nasr Mansur dalam bidang
astronomi meliputi empat karya dalam menyusun dan mengaplikasi astrolab.
Al-Biruni, Saksi Kehebatan Abu Nasr
Sejatinya, dia adalah murid sekaligus kawan bagi Abu Nasr Mansur. Namun, dia lebih terkenal
dibandingkan sang guru.
Meski begitu, al-Biruni tak pernah melupakan jasa Abu Nasr dalam mendidiknya. Kolaborasi kedua
ilmuwan dari abad ke-11 M itu sangat dihormati dan dikagumi.
Abu Nasr telah 'melahirkan' seorang ilmuwan yang sangat hebat. Sejarawan Sains Barat, George
Sarton begitu mengagumi kiprah dan pencapaian al-Biruni dalam beragam disiplin ilmu. ”Semua
pasti sepakat bahwa Al-Biruni adalah salah seorang ilmuwan yang sangat hebat sepanjang
zaman,” cetus Sarton.
Bukan tanpa alasan bila Sarton dan Sabra mendapuknya sebagai seorang ilmuwan yang agung.
Sejatinya, al-Biruni memang seorang saintis yang sangat fenomenal. Sejarah mencatat, al-Biruni
sebagai sarjana Muslim pertama yang mengkaji dan mempelajari tentang seluk beluk India dan
tradisi Brahminical. Dia sangat intens mempelajari bahasa, teks, sejarah, dan kebudayaan India.
Kerja keras dan keseriusannya dalam mengkaji dan mengeksplorasi beragam aspek tentang India,
al-Biruni pun dinobatkan sebagai ‘Bapak Indologi’ — studi tentang India. Tak cuma itu, ilmuwan
dari Khawarizm, Persia itu juga dinobatkan sebagai ‘Bapak Geodesi’.
Di era keemasan Islam, al-Biruni ternyata telah meletakkan dasar-dasar satu cabang keilmuan tertua
yang berhubungan dengan lingkungan fisik bumi. Selain itu, al-Biruni juga dinobatkan sebagai
‘antropolog pertama’ di seantero jagad. Sebagai ilmuwan yang menguasai beragam ilmu, al-Biruni
juga menjadi pelopor dalam berbagai metode pengembangan sains.
Sejarah sains mencatat, ilmuwan yang hidup di era kekuasaan Dinasti Samaniyah itu merupakan
salah satu pencetus metode saintifik eksperimental. Al-Biruni pun tak hanya menguasai beragam
ilmu seperti; fisika, antropologi, psikologi, kimia, astrologi, sejarah, geografi, geodesi, matematika,
farmasi, kedokteran, serta filsafat. Dia juga turun memberikan kontrbusi yang begitu besar bagi
setiap ilmu yang dikuasainya itu.
Peralatan Laboratorium Warisan Peradaban Islam
By Republika Newsroom
(hri/des)
Kamis, 14 Mei 2009 pukul 13:59:00

Peradaban Islam di era keemasan menguasai


beragam ilmu pengetahuan, salah satunya
adalah kimia. Para sejarawan sains mengakui
bahwa ilmu kimia merupakan anak kandung
dari peradaban Islam. ''Ahli kimia Muslim
adalah pendiri ilmu kimia," tutur Will Durant
dalam The Story of Civilization IV: The Age of
Faith.
Ilmuwan berkebangsaan Jerman di abad ke-18
M itu mengakui bahwa ilmu kimia hampir
sepenuhnya diciptakan peradaban Islam.
"Dalam bidang ini (kimia), peradaban Yunani
(seperti kita ketahui) hanya sebatas melahirkan hipotesis yang samar-samar," ungkap Durant.
Para kimiawan Muslim di era kekhalifahan telah meletakan dasar-dasar kimia modern yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Betapa tidak, para kimiawan Muslim telah berhasil
menemukan sederet zat atau senyawa kimia yang sangat penting, sepertil asam klorida, asam nitrat,
asam sitrat, asam asetat, alkohol, larutan aqua regia (dengan menggabungkan asam klorida dan
asam nitrat) untuk melarutkan emas.
Selain itu, para ahli kimia Muslim juga telah memperkenalkan proses dasar sublimasi, penguapan,
pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan (fixation),
amalgamasi, dan oksidasi-reduksi. Semua penemuan itu tentunya didukung dengan peralatan
laboratorium yang canggih, pada zamannya.
Para ahli kimia Muslim pada golden age juga telah mewariskan sederet peralatan laboratorium yang
hingga kini masih tetap digunakan. Saintis Muslim seperti; Jabir Ibnu Hayyan alias Geber, al-
Khazini, al-Biruni, Ibnu Sina, dan Muhammad ibnu Zakariya al-Razi telah menciptakan beragam
peralatan laboratorium yang sangat penting bagi pengembangan ilmu kimia.
Sejumlah peralatan laboratorium yang diwariskan para ilmuwan Muslim itu antara lain, alembic,
conical measure, hidrostatic balanca, teelyard, laboratory flask, pycnometer, refrigerated coil,
refrigerated tubing, termometer, air termometer, peralatan untuk mengolah obat-obatan dan
peralatan untuk melelehkan zat-zat atau bahan-bahan kimia.

Alembic
Merupakan alat penyulingan yang terdiri dari dua tabung yang terhubung. Tabung kimia ini
pertama kali ditemukan Jabir Ibnu Hayyan (721 M - 815 M). Sejarawan sains memperkirakan,
Jabir menemukan alat iitu pada abad ke-8 M. "Ini merupakan alat penyulingan pertama," papar
Durant. Ensiklopedia Hutchinson, menyebut alembic sebagai alat penyulingan pertama yang
digunakan untuk memurnikan seluruh zat kimia.

Conical Measure (Tabung Ukur)


Marshall Clagett dalam karyanya The Science of Mechanics in the Middle Ages, mengatakan,
conical measure merupakan peralatan laboratorium yang ditemukan Abu Raihan al-Birunii( 973
M- 1048 M) pada abad ke- 11 M. M Rozhanskaya and IS Levinova dalam tulisannya bertajuk
Statics juga menyatakan bahwa conical measure pertama kali ditemukan al-Biruni.
Dalam Wikipedia dijelaskan bahwa conical measure adalah salah satu peralatan laboratorium yang
terbuat dari bahan kaca berupa sebuah cangkir berbentuk kerucut dengan torehan di atasnya yang
berfungsi untuk memudahkan penuangan cairan. Di bagian samping terdapat tanda-tanda ukuran
untuk mengukur isi cairan.
Hydrostatic Balance dan Steelyard
Robert E Hall dalam karyanya berjudul Al-Khazini: Dictionary of Scientific Biography,
mengungkapkan, bahwa hydrostatic balance (keseimbangan hidrostatis) dan Steelyard (timbangan
gantung) ditemukan Al-Khazini yang memiliki nama lengkap Abd al-Rahman al-Khazini (1115 M –
1130 M) pada 1121 M.

Laboratory Flask
Menurut Robert E Hall Laboratory Flask atau Botol Laboratorium pertama kali diperkenalkan al-
Biruni. Botol atau termos laboratorium itu biasanya terbuat dari kaca bening. Botol itu digunakan
untuk menampung cairan yang akan digunakan atau diuji di laboratorium. Selain itu, alat ini juga
digunakan untuk mengukur isi bahan kimia, mencampur, memanaskan, mendinginkan,
menghancurkan, mengendapkan, serta mendidihkan (dalam penyulingan) zat-zat kimia.

Pycnometer
Pycnometer merupakan peralatan laboratorium yang digunakan untuk mengukur berat jenis atau
volume caiaran secara akurat. Alat ini juga ditemukan al-Biruni. Hingga kini, peralatan
laboratorium yang diwariskan peradaban Islam itu masih digunakan.

Refrigerated coil and Refrigerated Tubing


Menurut Vicki Pitman dalam karyanya bertajuk Aromatherapy: A Practical Approach, Nelson
Thornes, pada abad ke-11 M, Ibnu Sina telah menemukan refrigerated coil atau lingkaran
pendingin yang berfungsi untuk, yang memadatkan uap wangi. Richard Myers, dalam bukunya The
Basics of Chemistry, Greenwood Publishing Group juga mengakui bahwa lingkaran atau tabung
pendingin itu pertama kali diperkenalkan Ibnu Sina .
"Ini merupakan sebuah terobosan dalam teknologi penyulingan dan Ibnu Sina menggunakannya
dalam proses penyulingan dengan uap air panas, yang membutuhkan tabung pendingin untuk
memproduksi minyak esensial," papar Marlene Ericksen dalam karyanya Healing with
Aromatherapy.

Termometer
Robert Briffault dalam bukunya The Making of Humanity, menjelaskan bahwa termometer
ditemukan oleh Ibn Sina (980 M - 1037 M) pada abad ke-11 M.. Termometer adalah sebuah alat
untuk mengukur temperatur/suhu dengan berbagai jenis prinsip yang berbeda.

Peralatan untuk Pengolahan Obat-obatan


Georges C Anawati, dalam karyanya Arabic alchemy, mengungkapkan, al-Razi) merupakan penemu
pertama peralatan untuk pengolahan obat-obatan. "Muhammad ibnu Zakariya Razi (Rhazes) adalah
orang pertama yang menjelaskan peralatan untuk pengolahan obat-obatan,'' tuturnya.

Peralatan untuk Melelehkan Bahan


Al-Razi dalam Secretum secretorumnya, menjelaskan beberapa peralatan yang dibuatnya untuk
melelehkan zat kimia (li-tadhwib). Itulah beberapa peralatan laboratorium yang diwariskan para
ilmuwan Muslim bagi pengembangan sains modern. Kontribusi ilmuwan Muslim sungguh begitu
besar bagi kemajuan peradaban manusia.

Karya-karya yang mereka ciptakan mampu mengubah dunia. Tanpa kontribusi dan jasa mereka,
barangkali dunia tak akan maju seperti sekarang ini. Berkat peralatan laboratorium itu, peradaban
manusia mampu melakukan revolusi di bidang kimia, fisika dan farmasi.
Sang Penemu Peralatan Laboratorium

* Jabir Ibnu Hayyan


Jabir Ibnu Hayyan ditabalkan sebagai ''Bapak Kimia Modern''. Dalam bidang kimia, prestasi dan
pencapaiannya terekam dengan baik lewat buku-buku yang ditulisnya. Tak kurang dari 200 buku
berhasil ditulisnya.
Sebanyak 80 judul buku di antaranya mengupas hasil-hasil eksperimen kimia yang dilakukannya.
Buku-buku itu sungguh amat berpengaruh hingga sekarang. Secara khusus, ia mendedikasikan
sekitar 112 buku lainnya bagi Barmakid, sang guru, yang juga pembantu atau wazir Khalifah Harun
ar-Rasyid.
Buku-buku itu ditulis dalam bahasa Arab. Pada abad pertengahan, orang-orang Barat mulai
menerjemahkan karya-karya Jabir itu ke dalam bahasa Latin, sehingga menjadi rujukan para ahli
kimia di Eropa. Tak kurang dari 70 buku karya Jabir telah ialihbahasakan ke dalam bahasa Latin
pada abad pertengahan.
Salah satu yang terkenal adalah Kitab al-Zuhra yang diterjemakan menjadi Book of Venus, serta
Kitab al-Ahjar yang dialihbahasakan menjadi Book of Stones.

* Al-Razi
Terlahir di Rayy, Provinsi Khurasan dekat Teheran tahun 864 M, al-Razi dikenal sebagai seorang
dokter dan ahli kimia yang hebat. Sejatinya, ilmuwan Muslim yang dikenal Barat sebagai Rhazes
itu bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibnu Zakariya. Al-Razi muda yang dikenal amat gemar
memainkan harpa sudah mulai jatuh hati pada ilmu kimia.
Ia menimba ilmu dari Ali ibnu Rabban al-Tabari (808 M) — seorang dokter sekaligus filosof. Sang
gurulah yang telah melecut minat Rhazes untuk menekuni dua bidang ilmu yakni kedokteran dan
filsafat. Hingga kelak, dia menjadi seorang filosof, dokter dan ahli kimia yang amat populer di
zamannya.
Al-Razi merupakan ilmuwan yang sangat produktif. Tak kurang dari 200 buku berhasil
dituliskannya. Kitabnya yang paling terkenal dan fenomenal adalah Kitab Al Mansur, Kitab Al
Hawi, Kitab Al Asrar atau ‘Kitab Rahasia’.
Misteri Lokasi Thursina
By Republika Newsroom
(sya/taq)
Senin, 04 Mei 2009 pukul 10:41:00

Palestina negeri yang diberkahi Allah dengan


zaitun yang senantiasa menghasilkan minyak

''Demi buah tin dan zaitun. Demi (Bukit)


Thursina. Dan, demi negeri yang aman ini.''
(Attin ayat 1-3).

Tiga ayat di atas merupakan sumpah Allah


SWT. Kalimat atau kata-kata sumpah Allah
juga terdapat pada beberapa surah dan ayat lain
dalam Alquran.
Memahami ayat tersebut, ternyata tidaklah
mudah. Berbagai pertanyaan muncul mengenai sumpah Allah tersebut. Apa keistimewaan buah tin
dan buah zaitun, di mana sesungguhnya keberadaan Thursina, dan di mana negeri yang aman itu.
Sejumlah ahli tafsir pun berbeda pendapat dalam menafsirkan ketiga ayat di atas, misalnya
Thursina. Hampir semua ahli tafsir menyepakati bahwa Bukit Thursina adalah bukit saat Musa
menerima wahyu dari Allah. Namun, mereka berbeda pendapat dalam memutuskan letak Bukit
Thursina tersebut. Setidaknya, ada tiga versi tentang Bukit Thursina.

Versi Pertama
Sejumlah ahli tafsir meyakini bahwa Bukit Thursina sebagaimana
disebutkan dalam surah Attin berada di wilayah Mesir yang
lokasinya berada di Gunung Munajah, di sisi Gunung Musa.
Lokasi ini dikaitkan dengan keberadaan Semenanjung Sinai.
Pendapat ini didukung oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi
Zhilal al-Qur'an. Menurut Quthb, Thursina atau Sinai itu adalah
gunung tempat Musa dipanggil berdialog dengan Allah SWT.
Dalam versi ini pula, banyak pihak yang meyakini bahwa daerah
Mesir adalah tempat yang disebutkan sebagai Thursina. Sebab, di daerah ini, terdapat sebuah patung
anak lembu. Peristiwa ini dikaitkan dengan perbuatan Samiri, salah seorang pengikut Nabi Musa
yang berkhianat.
Dalam surah Al-A'raf ayat 148, disebutkan bahwa ''Kaum Musa, setelah kepergian (Musa ke
Gunung Sinai), mereka membuat patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh (bersuara)
dari perhiasan (emas). Apakah mereka tidak mengetahui bahwa (patung) anak sapi itu tidak dapat
berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka
menjadikannya (sebagai sembahan). Mereka adalah orang-orang yang zalim.''
Ketika kaum Bani Israil keluar dari tanah Mesir, mereka banyak membawa perhiasan masyarakat
Mesir (berupa emas dan perak). Para wanita Bani Israil telah meminjamnya dari mereka untuk
dipakai sebagai hiasan. Perhiasan tersebut dibawa ketika Allah memerintahkan mereka keluar dari
Mesir. Mereka kemudian melepaskan perhiasan tersebut karena diharamkan. Setelah Musa pergi ke
tempat perjumpaan dengan Rabb-nya, Samiri mengambil perhiasan itu dan menjadikannya sebagai
patung anak lembu yang bisa mengeluarkan suara melenguh jika angin masuk ke dalamnya.
Mungkin, segenggam tanah yang dia ambil dari jejak utusan (Jibril) membuat patung anak lembu
tersebut dapat melenguh.
Sementara itu, dalam Kitab Perjanjian Lama, disebutkan bahwa ''Ketika bangsa itu melihat Musa
sangat lambat saat turun dari gunung, mereka lalu berkumpul mengelilingi Harun dan berkata,
'Buatkanlah tuhan yang dapat berjalan di hadapan kami. Sebab, Musa ini orang yang telah
memimpin kami keluar dari Mesir. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengannya.' Harun kemudian
berkata kepada mereka, 'Lepaskan dan serahkanlah kepadaku anting-anting emas yang ada pada
istri, putra, dan putri kalian.' Seluruh bangsa itu pun menanggalkan anting-anting emas dan
menyerahkannya kepada Harun. Harun menerima perhiasan-perhiasan itu. Dia lalu melelehkan dan
menuangkannya ke patung yang bergambar anak lembu. Mereka kemudian berkata, 'Hai Israil,
inilah tuhan-tuhanmu yang telah mengeluarkan kalian dari negeri Mesir.'' (Kitab Keluaran ayat 2-5).
Dalam kisah yang disebutkan pada Kitab Perjanjian Lama, tampak Harun telah berbuat salah.
Sebaliknya, Alquran justru membebaskan Harun dari perbuatan yang dituduhkan tersebut.
Karena itu, menurut sebagian ahli tafsir, Thursina terletak di Sinai. Inilah versi pertama. Menurut
Sami bin Abdullah al-Maghluts, dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, pendapat pertama
yang mengatakan Thursina berada di wilayah Mesir sangat lemah. Sebab, perkataan itu hanya
mengandung kekeliruan pemahaman yang diidentikkan dengan kata 'Sinai'.
''Siapa yang bisa memastikan bahwa yang dimaksud Allah SWT dengan Thursina itu adalah Sinai,
Mesir? Sekiranya memang benar demikian, tentunya Allah SWT tidak mengatakan Siniin jika
maksudnya Sinai.

Versi Kedua
Mengutip pendapat Muhammad bin Abdul Mun'im al-Himyari, dalam bukunya Al-Raudh al-
Mi'thar fi Khabari al-Aqthar, Syauqi Abu Khalil dalam Atlas
Hadis, menyatakan bahwa Thursina adalah bukit yang terletak di
barat daya negeri Syam. Di sini, Allah SWT berbicara secara
langsung dengan Nabi Musa AS.
Sementara itu, dalam al-Qamus al-Islam, kata 'Thursina' adalah
gunung yang tandus atau gersang.
Nama bukit ThurSina disebutkan dalam Alquran sebagaimana
surah Attin ayat 1 dan surah Almu'minun ayat 20.
Ar-Razi dalam tafsirnya menyebutkan, banyak dalil yang menguatkan pendapat bahwa yang
dimaksud Thuur Siniin adalah bukit di Baitul Maqdis.
Di antara pendapat yang disebutkan Ar-Razi adalah mufassir seperti Qatadah dan al-Kalibi yang
menyatakan kata Thuur Siniin (Sinai) adalah bukit yang berpepohonan dan berbuah-buahan.
Apakah ini adalah Sinai, Mesir? ''Kalau memang ya, tentu tak seorang pun yang membantahnya,''
kata Sami.
Menurut Sami, justru yang dimaksud dalam ayat itu adalah Thur Sina, bukit di Baitul Maqdis dan
Balad al-Amin adalah Makkah. Berikut argumentasinya.
Allah berfirman, ''Dan, pohon kayu yang keluar dari Thursina (pohon zaitun) yang menghasilkan
minyak dan menjadi makanan bagi orang-orang yang makan.'' (Almu'minun ayat 20).
Ayat ini, kata Sami, mengikat dan menghimpun dengan kuat antara 'Thursina' dan hasil bumi serta
tumbuh-tumbuhan penghasil minyak bagi orang yang makan. Sementara itu, lanjutnya, di Sinai
(Mesir) tidak ada pohon zaitun yang mampu menghasilkan buah, apalagi mengeluarkan minyak.
Menurut dia, ayat 20 surah Almu'minun dan ayat 1-3 surah Attin itu justru merujuk pada tanah suci
di Palestina. Di Palestina, jelas Sami, terdapat banyak pohon zaitun yang terus berproduksi di
sepanjang tahun sehingga penduduk di sekitar Baitul Maqdis menamakannya dengan ''Bukit Zaitun''
dan Allah SWT telah berseru kepada Musa di tempat yang diberkahi di sisi bukit.
''Maka, tatkala Musa sampai ke (tempat) api, diserulah Dia (arah) pinggir lembah yang sebelah
kanan(nya) pada tempat yang diberkahi dari sebatang pohon kayu." (Alqashash ayat 30).
Hal yang sama juga diungkapkan Ustaz Shalahuddin Ibrahim Abu 'Arafah, seorang ulama asal
Palestina. Menurutnya, Bukit Thursina adalah tempat yang diberkahi. Dan, tempat yang diberkahi
itu adalah Palestina sebagaimana surah Al-Isra ayat 1 yang menceritakan peristiwa Isra dan Mi'raj
Nabi Muhammad SAW.
Keterangan ini makin diperkuat lagi dengan ayat 6 surah Annaziat dan ayat 21 surah Almaidah.
''Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci, yaitu Lembah Thuwa.'' (Annaziat: 6). ''Hai
kaumku, masuklah ke tanah Suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu.'' (Almaidah: 21).
Lembah suci itu, jelas Sami, hanya ada dua, yaitu Makkah dan Palestina. ''Karena itu, kita tidak
boleh memalingkan maknanya kepada yang lain tanpa bukti dan keterangan,'' jelasnya.
Merujuk pada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan fitnah Dajjal dan Isa bin Maryam bahwa
Allah SWT akan memberi wahyu kepada Isa bin Maryam sesudah dia membunuh Dajjal di gerbang
Lod di Baitul Maqdis, ''Bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke bukit.''
Para ulama menyepakati bahwa konteks hadis itu adalah Baitul Maqdis, bukan Sinai, Mesir.
Apalagi, terdapat peristiwa Nabi Musa AS menerima wahyu saat keluar dari Mesir akibat kejaran
Firaun. Karena itu, pendapat ini menegaskan bahwa yang dimaksud Thursina itu sudah berada di
luar Mesir.
Seperti diketahui, Semenanjung Sinai merupakan wilayah
yang sangat luas, yaitu mencapai 9.400 km persegi dengan
panjang sekitar 130 km. Dan, sisi pertamanya adalah Teluk
Aqabah dengan panjang 100 km. Di sisi keduanya adalah
Teluk Suez dengan panjang 150 km. Sedangkan, gunung
tertinggi di semenanjung Sinai adalah Gunung Katrina (2.637
m).

Versi Ketiga
Selain kedua versi di atas, terdapat satu lagi tempat yang
diduga sebagai Bukit Thursina. Tempat itu adalah bukit sebelah selatan Nablus (Palestina) atau
yang dinamakan Jurzayem.
Pendapat ini merujuk pada Bangsa Kan'an yang membangun Kota Nablus dan menamakannya
Syukaim, yaitu nama yang diubah bangsa Ibrani pertama menjadi Syukhaim, tempat tersebarnya
kaum Yahudi dari sekte Samiri. Dan, mereka adalah sekte yang meyakini lima kitab dari Perjanjian
Lama serta memercayai bahwa tempat suci Yahudi terletak Bukit Thur, yaitu sebelah selatan
Nablus.
Dari ketiga versi tersebut, tampaknya ada dua pendapat yang sangat kuat, yaitu Sinai di Mesir dan
Baitul Maqdis di Palestina. Manakah Bukit Thursina yang sesungguhnya? Wa Allahu A'lam. sya

Buah Tin, Zaitun, Thursina, dan Negeri yang Aman


Nama-nama di atas merupakan ayat 1-3 dari surah Attin. Nama-nama itu di antaranya masih
diperdebatkan. Di antara yang diperdebatkan itu adalah buah tin, zaitun, dan Thursina. Sementara
itu, mengenai kata al-Balad al-Amin (negeri yang aman), para ulama sepakat bahwa negeri itu
adalah Makkah. Adapun negeri yang diberkahi adalah Makkah dan Palestina.
Sejumlah pendapat, sebagaimana dikemukakan di atas, sebagian besar menyatakan bahwa Thursina
mengarah kepada sekitar Baitul Maqdis di Palestina. Namun, sebagaimana diterangkan di atas,
ternyata ada pula yang mengaitkan surah Attin ayat 1-3 itu menunjukkan tiga tempat berbeda.
Kata Wa at-Tin wa az-Zaitun dirujuk pada Palestina yang daerah ini dikenal dengan pohon tin dan
zaitun yang sangat banyak. Tempat ini merupakan tempat Nabi Isa AS ditugaskan sebagai rasul
dalam menyebarkan agama tauhid (Nasrani).
Sedangkan, mengenai kata wa Thuuri Siniin (demi Bukit Thursina), sebagian penafsir merujuk pada
Nabi Musa AS yang menyebarkan agama Yahudi di Mesir untuk melawan Firaun dan membela
Bani Israil.
Dan, mengenai kalimat wa haadza al-Balad al-Amiin (dan demi kota/negeri yang aman ini), para
ulama menyepakati bahwa negeri tersebut adalah Makkah.
Dari ketiga daerah dan kota yang disebutkan para mufassir itu,
mereka memaknai bahwa yang dimaksud dalam surah Attin (ayat
1-3) itu adalah tiga negeri (kota) tempat tersebarnya agama
Samawi, yaitu agama Yahudi (di Mesir), Islam (Makkah), dan
Nasrani (Palestina).
Jadi, para mufassir dalam memaknai surah Attin ayat 1-3 itu
terkait dengan penciptaan Allah SWT atas diri manusia
sebagaimana ayat berikutnya. ''Allah bersumpah dengan menyebut tiga tempat lahirnya agama-
agama Samawi dalam rangka menguraikan fitrah kesucian manusia,'' jelas Sayyid Quthb.
Namun demikian, pendapat lain menyatakan, Attin adalah nama Masjid Ashabul Kahfi. Menurut
Ibnu Abbas, seorang penafsir besar, Attin adalah masjid yang letaknya berada di Damsyiq
(Dimasyq).
Berbeda dengan Ibnu Abbas, Al-Qusimi memahami Attin dalam surah ini adalah tempat Buddha
memperoleh jalan keabadian di bawah pohon Attin. Para penganut agama Buddha menamakan
pohon tersebut dengan pohon bodhi atau fices religiosa (pohon ara suci) yang terdapat di Bihar.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Attin adalah bukit tempat berlabuhnya perahu yang
membawa Nabi Nuh AS bersama orang-orang yang beriman atau tempat Nabi Ibrahim AS
mendapat wahyu Ilahi.
Seperti diketahui, Nabi Ibrahim AS adalah bapak nabi-nabi (Abul Anbiya') serta pengumandang
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengisyaratkan bahwa keyakinan akan keesaan Allah
haruslah menjadi pangkalan tempat bertolak dan pelabuhan tempat berlayar.Wa Allahu A'lam.
Ahmad Ibnu Majid: Singa Lautan di Abad ke-15 M
By Republika Newsroom
(she/desy/taq)
Selasa, 05 Mei 2009 pukul 15:05:00

Singa Lautan. Begitulah dunia maritim Islam


dan Barat menjuluki Ahmad Ibnu Majid. Navi
gator Muslim di abad ke-15 itu sungguh sangat
disegani para pelaut pada zamannya.
Keberanian nya menantang ganasnya
gelombang lautan menjadikannya seorang
legendaris. Kemampuan dan keandalannya
dalam seni navigasi dicatat dalam sejarah
dengan tinta emas.
Ibnu Majid yang terlahir di Julphar, sekarang
dikenal Ras Al Khaimah, yang berada di salah
satu dari tujuh kota Uni Emirat Arab pada 1421 M itu juga dikenal sebagai ahli pembuat peta atau
kartografer. Muhammad Razi dalam karyanya bertajuk 50 Ilmuwan Muslim Populer
mengungkapkan, masa hidup Ibnu Majid pada akhir abad ke-15 M, bertepatan dengan upaya
penjelajah Eropa mencari jalur baru ke Asia.
Pada era itu pula, Portugis memiliki seorang pelaut terkemuka bernama Vasco Da Gama. Pelaut
kenamaan dari Eropa itu memimpin sebuah ekspedisi bahari untuk menemukan Tanjung Harapan di
selatan Afrika pada tahun1498 M. Penemuan itu membuat bangsa Eropa menemukan jalur baru ke
benua Asia, yang sebelumnya harus melewati tanah Islam di Timur Tengah.
Keberhasilan Vasco da Gama itu tak ada artinya bila tak dibantu seorang navigator Mus lim yang
pemberani. Dialah Ahmad Ibnu Majid ini. “Ia pernah diangkat sebagai naviga tor Vasco Da Gama,
walau ternyata penelitian masa kini membuktikan bahwa bukannya dia, melainkan seorang Muslim
dari Gujarat yang melakukannya,” ungkap Muhammad Razi.
Meski penelitian terbaru tak membuktikan nya, sejarah tetap mencatat Ibnu Majid sebagai seorang
pelaut, navigator dan pembuat peta yang sangat masyhur. Tak cuma itu, ia pun berhasil menuliskan
sebuah buku yang sangat diakui dan dikagumi. Pada saat hidup nya, Ibnu Majid pun telah mampu
membuat kompas.
Dunia maritim bukanlah hal yang aneh bagi Ibnu Majid. Sejak kecil lautan telah men jadi bagian
hidupnya, karena ia memang tumbuh dari keluarga pelaut. Tak aneh bila pada usia 17 tahun, Ibnu
Majid sudah sangat jago mengemudikan kapal laut.
“Keluarga Ahmad Ibnu Majid berasal dari Najd di Semenanjung Arabi. Darah pelaut mengalir
ditubuhnya. Hal ini karena kakek dan ayahnya juga merupakan seorang pelaut. Ayahnya bahkan
pernah menulis buku tentang navigasi di lautan sekitar Hijaz,” tutur Muhammad Razi.
Lantaran terbiasa mengikuti pelayaran di Laut Merah bersama ayahnya, sang navigator bersama
teman-temannya juga memiliki ide melakukan pelayaran di sejumlah daerah. Ber bekal keberanian
dan tekad baja, ia bersa ma sekelompok pelaut melakukan penjela jahan yang lebih luas. Ibnu Majid
pun meng arungi Samudera Hindia.
Penjelajahannya yang begitu lama di Samu dera Hindia membuat Ibnu Majid sangat memahami
seluk beluk daerah itu. Malah, ia menulis sejumlah pandangannya yang sangat penting bagi dunia
kelautan pada masa itu. Berkat keberaniannya menyusuri daerah baru yang jarang dikunjungi, Ibnu
Majid pun kian dikenal. Setiap penjelajahannya didukung alat canggih seperti kompas yang
dibuatnya sendiri, tentu saja kompas ini jauh lebih detail dari kompas modern.

“Dengan bantuan kompasnya, ia juga berhasil menjelajahi daerah pantai Benua Afrika, mulai dari
Luat Merah ke arah selatanlalu ke Barat hingga Maroko dan Laut Tengah. Tak diragukan lagi,
ilmu kelautan adalah sesuatau hal yang sangat dikuasai dan dipahaminya, papar Muhammad Razi.
Seringnya ia melakukan penjelajahan di berbagai daerah, tentu saja membuatnya memiliki banyak
kenalan dan teman. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Vasco Da Gama, pelaut asal Purtugis itu.
Mungkin karena Vas co Da Gama sangat mengagumi kompas yang dibuatnya serta pengetahuan
yang dikuasai nya, Ibnu Majid pun diajakVasco da Gama untuk
turut serta dalam ekspedisi pelayaran yang akan dipimpinnya.
Saat itulah, namanya semakin terkenal, tak hanya di dunia Muslim,
tapi juga di dunia Barat. Pada saat membantu Vasco da Gama, ia
mengendalikan perjalanan laut dari benua Afrika ke India. "Untuk
mencapai Afrika Timur, orang Portugis mencari informasi secara
terus menerus (menyeberangi) Laut Arab sampai seorang pelaut
berbakat bernama Ahmad Ibnu Majid ikut terlibat dalam
pekerjaan mereka," papar Qutb al-Din al-Nah ra wali (1511-1582),
dalam karyanya bertajuk al-Barq al-yamani fil-fath al-Uthmani,
yang dipublikasikan tahun 1892.
Ibnu Majid yang tutup usia pada tahun 1500 M telah mewariskan
sederet karya yang sangat penting bagi dunia pelayaran dan kelautan. GR Tibbetts dalam bukunya
berjudul Arab Navigation in the Indian Ocean Before the Co ming of the Portuguese,
mengungkapkan, karya terpenting dari Ibnu Majid adalah Kitab al-Fawaid fi Usul Ilm al-Bahr wal-
Qawaid atau (Buku Pedoman tentang Prinsip dan Per aturan Navigasi), yang ditulisnya pada 1490
M. Buku ini tentu saja sangat bermanfaat, terutama untuk membantu orang teluk Persia menjangkau
pantai In dia, Afrika Timur, dan tujuan lainnnya.
Kitab itu merupakan salah satu rujukan terpen ting dalam bidang kelautan pada zamannya. Buku itu
merupakan ensiklopedia navigasi yang menjelaskan sejarah dan prinsip da sar navigasi, letak bulan,
macam-macam kom pas, perbedaan cara berlayar di berbagai per air an, posisi bintang, jumlah
angin musim, dan angin musim laut lainnya, topan, dan be be rapa topik lainya untuk navigator
profesional.
Ibnu Majid menulis buku itu berdasarkan pengalaman pribadinya dan juga pengalaman ayahnya
yang juga merupakan keluarga navigator terkenal, dan merupakan pengetahuan bagi generasi
pelayaran Sa mu dra India. Selain dida sar kan pada pengalamannya, se mua karya Ibnu Majid juga
di padukan dengan teori-teori navigasi yang diperoleh dari buku-buku yang ditulis pendahulunya.
Salah satu ilmuwan Muslim yang menjadi rujukan pemikir annya adalah Yaqut Al Hamawi. "Saya
memposisikan Ahmad Ibnu Majid diatas Yaqut, karena penyebaran pandangan Ahmad Ibnu Majid
begitu meluas dari dari dunia Islam hingga ke Barat, dan turut serta memajukan dasar-dasar ilmu
kelautan yang mendukung munculnya pelayaran besar-besaran yang dilakukan Eropa ke seluruh
penjuru dunia pada saat itu," tutur GR Tibbetts.
Sedangkan, kata dia, pengaruh karya Yaqut sangat kuat dalam pengkajian daerahdae rah Islam pada
masa itu. Namun pada saat yang sama pandangannya relatif tidak berpengaruh secara langsung
terhadap dunia Barat. Begitulah peran dan jasa Ibnu Majid dalam mengembangkan ilmu navigasi
dan pelayaran.
Ibnu Majid dan Keunggulan Dunia Islam
Kita menguasai 32 arah mata angin, tirfa, zam, serta pengukuran
tinggi bintang, yang tak mereka miliki (Eropa). Mereka tidak
menge tahui cara kita melakukan navigasi, tapi kita bisa
mengetahui apa yang mereka lakukan dalam navigasi. Kita dapat
menggunakan sistem navigasi mereka dan pelayaran de ngan
kapal mereka, tutur Ibnu Majid dalam kitab yang ditu lisnya.
Ibnu Majid juga mengungkapkan keunggulan dunia pelayar an
Islam lainnya. Menurut dia, Pelaut Muslim telah mengetahui
bahwa Samudera Hindia terhubung dengan semua Samudera, dan
kita bisa menguasai buku-buku ilmu pengetahuan yang
memberikan penjelasan cara mengukur ketinggian bintang, tapi
mereka tidak memiliki pengetahuan keting gian bintang.
Mereka tidak punya ilmu pengetahuan dan juga tidak punya buku-
buku, hanya kompas dan perhitungan mati. Kita dapat dengan mudah berlayar di kapal mereka dan
di atas laut mereka, sehingga mereka menghormati kita. Mereka mengakui kita memiliki ilmu
pengetahuan yang lebih baik tentang laut dan navigasi dan hikmah bintang-bintang, tuturnya.
Karya-karya Ibnu Majid memberi pengaruh luas dalam dunia pelayaran baik di dunia Islam maupun
dunia Barat. Karyanya telah memberi inspirasi dan semangat bagi para pelaut di zamannya untuk
mela kukan penjelajahan. Padahal, sebelumnya sangat sedikit pelaut Arab yang berani mengarungi
wilayah yang lebih jauh dari kawasan Laut Merah, Pantai Timur Afrika, hingga Pantai Tenggara
Afrika atau Sofala, wilayah dekat Madagaskar.
Sebelum Ibnu Majid menulis buku tentang navigasi dan pelayaran, para pelaut pernah mencoba
jalur berdasarkan peta yang dibuat Claudius Ptolemaeus. Dalam peta itu dijelaskan, di selatan
Sofala terdapat daratan yang membentang hingga ke Cina di sebelah timur. Hanya celah sempit
yang menghu bungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Peta itu lalu dikoreksi Abu Raihan al-Biruni. Ilmuwan Muslim itu menjelaskan ada lautan, bukan
hanya selat, yang menghubungkan dua samudra besar tersebut. Ibnu Majid pun membenarkan teori
al-Biruni. Ia membenarkan terori al-Biruni berdasarkan pengalamannya menjelajahi lautan.
Menurut Ibnu Majid, di selatan Sofala terdapat selat yang menghubungkan Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Ia telah mengoreksi kesalahan peta yang dibuat Ptolemaeus. Semua itu berkat rasa
keingintahuannya yang begitu besar tentang wilayah pantai Afrika secara keseluruhan. Saat itu, ia
melakukan ekspedisi keliling benua Afrika mulai dari Laut Merah ke arah selatan lalu ke barat
hingga Maroko dan Laut Tengah. Inilah yang mengantarkannya pada suatu kebenaran.
Ibnu Majid pun dikenal sebagai pembuat kompas dengan 32 arah mata angin. Tentu saja kompas ini
jauh lebih detil dengan kompas buatan ahli masa itu, terutama orang Mesir dan Maroko. Kreasi itu
akhirnya dikenal sebagai bentuk awal kompas modern.
Ketika Ibnu Majid bertemu dengan para pelaut Portugis yang terkenal dalam penjelajahannya,
termasuk Vasco Da Gama, ia menunjukkan kompas buatannya itu. Kala itu, para pelaut Portugis
sangat terkesima melihat kompas dengan 32 arah mata angin itu. Mereka juga mengaku belum
pernah melihat kompas seperti itu sebelumnya.
Sejarah Penanggalan Islam
By Republika Newsroom
(dia/taq/berbagai sumber)
Selasa, 05 Mei 2009 pukul 10:07:00

Jumlah hari dalam satu bulan dalam kalender


hijriah bergantung pada posisi bulan, bumi,
dan matahari.

Hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia


mengenal sistem kalender masehi (M).
Bahkan, ketika diminta untuk menyebutkan
nama-nama bulan masehi, mereka dengan
mudah mengucapkannya.
Sebaliknya, ketika dimintai pendapatnya
tentang kalender Islam atau hijriyah,
kebanyakan mereka akan menggelengkan
kepala, tanda tak tahu. Sungguh, itu sangat memprihatinkan sebab mereka tidak mengetahui
kalendernya sendiri. Bahkan, mereka tak tahu bulan apa yang pertama dari kalender hijriyah.
''Ini disebabkan minimnya sosialisasi keberadaan kalender hijriyah pada umat Islam,'' jelas dosen
Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, Muhammad Izzudin MAg, kepada Republika.
Izzuddin menjelaskan, sistem penanggalan Islam dimulai pada saat Rasulullah SAW berhijrah dari
Makkah ke Madinah. Perpindahan (hijrahnya) Rasulullah ini, kata dia, menunjukkan adanya tujuan
dalam menggapai kedamaian bagi umat Islam. ''Meninggalkan keburukan menuju kebaikan,''
tegasnya.
Seperti diketahui, peristiwa hijrah Rasulullah itu terjadi pada hari Kamis, bertepatan dengan 15 Juli
622 M. Mulai tahun itulah dihitung sebagai tahun hijriyah. Berbeda dengan tahun masehi yang
dimulai pada 1 Januari, sistem penanggalan Islam diawali pada 1 Muharram. Dan, dalam setahun,
sama-sama berisi 12 bulan.
Kendati penerapan kalender hijriyah merujuk pada tahun hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke
Madinah, penanggalan tersebut resmi digunakan setelah 17 tahun kemudian saat sistem
pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Penetapan awal tahun hijriyah yang dilakukan Khalifah Umar ini merupakan upaya dalam
merasionalisasikan berbagai sistem penanggalan yang digunakan pada masa pemerintahannya.
Kadang, sistem penanggalan yang satu tidak sesuai dengan sistem penanggalan yang lain sehingga
sering menimbulkan persoalan dalam kehidupan umat.
Bila menilik sejarahnya, sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah menggunakan kalender
tersendiri. Mereka belum menetapkan tahun, namun sudah mengenal nama-nama bulan dan hari.
Kalaupun harus menggunakan tahun, itu hanya berkaitan dengan peristiwa yang terjadi, seperti
Tahun Gajah yang dinisbatkan pada masa penyerbuan Abrahah ketika akan menghancurkan Ka'bah.
Karena kesulitan dalam menetapkan tahun tersebut dan seiring dengan makin banyaknya persoalan
yang ada terkait dengan sistem kalender yang baku, Khalifah Umar pun berinisiatif menetapkan
awal hijrah sebagai permulaan tahun masehi setelah melakukan musyawarah dengan sejumlah
sahabat.
Dari sini, disepakati bahwa tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari
Makkah ke Madinah adalah tahun pertama dalam kalender Islam. Sedangkan, nama-nama bulan
tetap digunakan sebagaimana sebelumnya, yakni diawali pada bulan Muharram dan diakhiri pada
bulan Dzulhijjah.
Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad beserta para pengikutnya dari Makkah ke Madinah yang
dipilih sebagai titik awal perhitungan tahun tentunya mempunyai makna yang amat dalam bagi
umat Islam.
Peritiwa hijrah dari Makkah ke Madinah, kata Izzudin, merupakan peristiwa besar dalam sejarah
awal perkembangan Islam. Peristiwa hijrah adalah pengorbanan besar pertama yang dilakukan nabi
dan umatnya untuk keyakinan Islam, terutama dalam masa awal perkembangannya. Peristiwa hijrah
ini juga melatarbelakangi pendirian kota Muslim pertama.
Tahun baru dalam Islam mengingatkan umat Islam pada kemenangan atau kejayaan Islam serta
pengorbanan dan perjuangan tanpa akhir di dunia ini.

Rotasi bulan
Bila tahun masehi terdapat sekitar 365-366 hari dalam setahun, tahun hijriyah hanya berjumlah
sekitar 354-355 hari. Menurut Izzudin, perbedaan ini disebabkan adanya konsistensi penghitungan
hari dalam kalender hijriyah.
''Rata-rata, jumlah hari dalam tahun hijriyah antara 29-30 hari. Sedangkan, tahun masehi berjumlah
28-31 hari. Inilah yang membedakan jumlah hari antara tahun masehi dan tahun hijriyah,'' jelas
anggota Badan Hisab dan Rukyah PWNU Jawa Tengah ini.
Pada sistem kalender hijriyah, sebuah hari atau tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di
tempat tersebut. Kalender hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan yang
memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam
satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan hitungan
satu tahun kalender hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan penghitungan satu tahun
dalam kalender masehi.
Faktanya, siklus sinodik bulan bervariasi. Jumlah hari dalam satu bulan dalam kalender hijriyah
bergantung pada posisi bulan, bumi, dan matahari. Usia bulan yang mencapai 30 hari bersesuaian
dengan terjadinya bulan baru (new moon) di titik apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi;
kemudian pada saat yang bersamaan, bumi berada pada jarak terdekatnya dengan matahari
(perihelion).
Sementara itu, satu bulan yang berlangsung 29 hari bertepatan dengan saat terjadinya bulan baru di
perige (jarak terdekat bulan dengan bumi) dan bumi berada di titik terjauhnya dari matahari
(aphelion). Dari sini, terlihat bahwa usia bulan tidak tetap, melainkan berubah-ubah (antara 29
hingga 30 hari) sesuai dengan kedudukan ketiga benda langit tersebut (bulan, bumi, dan matahari).
Penentuan awal bulan ditandai dengan munculnya penampakan bulan sabit pertama kali (hilal)
setelah bulan baru (konjungsi atau ijtimak). Pada fase ini, bulan terbenam sesaat setelah
terbenamnya matahari sehingga posisi hilal berada di ufuk barat.
Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30
hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari dan mana yang
memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal. sya/dia/berbagai sumber

Percampuran Islam-Jawa dalam Penanggalan Hijriyah


Kedatangan agama Islam di tanah Jawa membawa bermacam-macam produk budaya dari pusat
penyebaran Islam. Di antara produk budaya yang dibawa Islam ketika itu adalah sistem
penanggalan berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi (qomariah), yang dikenal dengan
penanggalan hijriyah. Sesungguhnya, masyarakat Jawa sendiri sudah punya sistem penanggalan
yang mapan, yaitu penanggalan saka.
Ada beberapa perbedaan antara kalender saka dengan kalender hijriyah, seperti perbedaan nama-
nama bulan dan penetapan permulaan hari. Namun kemudian, terjadi percampuran kedua kalender--
kalender Jawa-Islam--yang masih digunakan hingga saat ini. Percampuran ini memunculkan
sejumlah pertanyaan. Apakah telah terjadi Jawanisasi Islam atau Islamisasi Jawa?
Lalu, jika memang telah terjadi percampuran, bagaimana proses itu berjalan sehingga tidak
menimbulkan penolakan terhadap ajaran Islam yang ketika itu masih relatif baru? Tema
perbincangan seputar percampuran Jawa-Islam ini sangat menarik. Karena, di satu sisi, itu
menunjukkan sikap terbuka masyarakat Jawa. Di sisi lain, hal itu membuktikan Islam sebagai
agama rahmatan li al-alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Menurut sejarah, munculnya kalender Jawa-Islam tidak lepas dari peran Sultan Agung (1613-1645),
sultan Mataram Islam ketiga yang bergelar Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah.
Beliau mengakulturasikan (menggabungkan) penanggalan Jawa (saka) yang berdasarkan sistem
kalender matahari dan bulan (kalender lunisolar) dengan penanggalan hijriyah. Menurut Prof Dr
MC Ricklefs, dalam artikelnya "Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa Terutama pada Abad ke
XIX", upaya percampuran itu terjadi pada tahun 1633 M.
Ricklefs mengisahkan, pada tahun 1633 M, Sultan Agung berziarah ke pesarean (kuburan) Sunan
Bayat di Tembayat. Disebutkan dalam Babad Nitik, Sultan Agung diterima oleh arwah Sunan Bayat.
Sultan Agung yang masih berada di pesarean Tembayat diperintahkan untuk mengganti kalender
Jawa. Sebelum itu, kalender saka (yang berasal dari kebudayaan Hindu) adalah kalender yang
masih dipakai dalam lingkungan keraton. Kemudian, kalender itu diganti dengan kalender
qamariah yang berisi bulan-bulan Islam. Maka, terciptalah kalender baru yang unik, yaitu kalender
Jawa-Islam.
Bulan-bulan dalam kalender Jawa-Islam adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal,
Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, dan Besar. Ada bulan yang masih menggunakan
istilah Arab, yaitu Jumadilawal dan Jumadilakir. Warna Jawa pada kalender Jawa-Islam lebih
kentara pada lima hari pasar atau Pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi).
Menurut Dr Purwadi, peneliti budaya Jawa asal Yogyakarta, lima hari pasar sangat penting bagi
aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Jawa, terutama bagi mereka yang hidup di pedesaan atau
yang masih memegang kepercayaan tradisional. ''Coba, kita lihat bagaimana masyarakat Jawa
mendasarkan aktivitasnya pada lima hari pasar itu. Kalau mau bepergian, mereka terlebih dahulu
menghitung hari baik, apakah Pon, Wage, Kliwon, atau hari lainnya,'' ungkapnya kepada Republika.
Menurut Purwadi, dari kalangan umat Islam sendiri, umat nahdliyin adalah umat yang masih kuat
menggunakan penanggalan Jawa-Islam. ''Pada papan pengumuman di masjid-masjid NU, biasanya
terdapat jadwal khatib Jumat berdasarkan hari-hari pasaran. Misalnya, pada Jumat Pon yang khatib
adalah kiai A, Jumat Wage kiai B, Jumat Kliwon kiai C dan seterusnya,'' lanjutnya.
Lima hari pasar, jelasnya, juga sangat penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat Jawa
sehingga seseorang akan melakukan aktivitas ekonomi pada hari tertentu dan tidak melakukannya
pada hari lain. Hal itu tercermin pada nama-nama pasar di daerah-daerah Jawa. Ada Pasar Legi,
Pasar Kliwon, dan Pasar Wage. Ini berbeda dengan masyarakat Melayu yang menamakan pasar
dengan nama-nama hari biasa, seperti Pasar Jumat, Pasar Rabu, atau Pasar Minggu.
Menurut Purwadi, sistem penanggalan Jawa-Islam akan tetap dipakai oleh umat Islam Jawa karena
di dalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan mistis. Teknologi informasi saat ini malah semakin
menguatkan fungsi klasifikasi Pancawara itu. Contohnya, iklan yang ditayangkan di televisi lebih
banyak iklan tentang kepercayaan Jawa, seperti Primbon, Ramal, Manjur, dan lainnya.
Fenomena ini diakui Purwadi sebagai desakralisasi sistem Pancawara. Di sisi lain, itu
menunjukkan kepercayaan masyarakat pada hal-hal mistis tetap kuat. rid/berbagai sumber

Sistem Penanggalan yang Digunakan di Dunia


Masyarakat dunia mengenal beberapa macam sistem penanggalan dan kalender. Sedikitnya, ada
empat sistem penanggalan, yaitu kalender hijriyah, masehi, saka, dan Cina. Masing-masing
kalender tersebut dibangun dengan menggunakan mekanisme penghitungan yang berbeda satu sama
lain.
Kalender hijriyah atau kalender Islam, misalnya, menggunakan sistem kalender lunar (qomariyah)
yang mengacu kepada siklus perputaran bulan. Kalender masehi menggunakan basis penghitungan
kalender solar (syamsiyah) yang mengacu kepada siklus peredaran matahari.
Sementara itu, kalender saka dan kalender Cina menggunakan sistem penanggalan syamsiyah dan
qomariyah atau sering disebut dengan istilah kalender luni-solar.
Penanggalan hijriyah
Dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan
ibadah atau hari-hari penting lainnya, umat Islam berpatokan pada
sistem penanggalan hijriyah. Bahkan, di banyak negara yang
berpenduduk mayoritas Islam, kalender hijriyah digunakan sebagai
sistem penanggalan sehari-hari.

Kalender ini dinamakan kalender hijriyah karena pada tahun


pertama kalender ini adalah tahun di mana terjadi peristiwa
hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni
pada tahun 622 Masehi (M). Namun, penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriyah baru dilakukan
enam tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW atau 17 tahun setelah hijrah, yakni semasa
pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Namun demikian, sistem yang mendasari penghitungan kalender hijriyah telah ada sejak zaman pra-
Islam. Sistem ini direvisi pada tahun ke-9 setelah hijrahnya Nabi SAW. Revisi sistem ini dilakukan
setelah turunnya wahyu Allah, ayat 36-37 surah Attaubah, yang melarang penambahan hari
(interkalasi) pada sistem penanggalan.

Kalender masehi
Kata 'masehi' (disingkat M) dan sebelum masehi (disingkat SM)
biasanya merujuk kepada tarikh atau tahun menurut kalender
gregorian. Awal tahun masehi merujuk pada tahun yang dianggap
sebagai tahun kelahiran Nabi Isa al-Masih. Karena itu, kalender
ini dinamakan masihiyah. Sebaliknya, istilah sebelum masehi
(SM) merujuk pada masa sebelum tahun tersebut.
Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan
singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen
tersebut. Sementara itu, penggunaan istilah masehi secara
internasional dalam bahasa Inggris menggunakan bahasa Latin,
yaitu anno domini (AD) yang berarti Tahun Tuhan kita dan
sebelum masehi disebut sebagai before Christ (BC) yang bermakna Sebelum Kristus.
Selain itu, dalam bahasa Inggris juga dikenal sebutan common era (CE) yang berarti 'Era Umum'
dan before common era (BCE) yang bermakna 'Sebelum Era Umum.' Kedua istilah ini biasanya
digunakan ketika ada penulis yang tidak ingin menggunakan nama tahun Kristen.
Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat pada
abad ke-8. Sistem ini mulai dirancang tahun 525. Namun, pada abad ke-11 hingga ke-14, sistem ini
tidak begitu luas digunakan. Tahun 1422, Portugis menjadi negara Eropa terakhir yang menerapkan
sistem penanggalan ini. Setelah itu, seluruh negara di dunia mengakui dan menggunakan konvensi
ini untuk mempermudah komunikasi.
Meskipun tahun 1 M dianggap sebagai tahun kelahiran Yesus, bukti-bukti historis terlalu sedikit
untuk mendukung hal tersebut. Para ahli menanggali kelahiran Yesus secara bermacam-macam, dari
18 SM hingga 7 SM.
Sejarawan tidak mengenal tahun 0-1 M adalah tahun pertama sistem masehi dan tepat setahun
sebelumnya adalah tahun 1 SM. Dalam perhitungan sains, khususnya dalam penanggalan tahun
astronomis, hal ini menimbulkan masalah karena tahun sebelum masehi dihitung dengan
menggunakan angka 0. Maka dari itu, terdapat selisih satu tahun di antara kedua sistem.
Tahun saka
Kalender saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India.
Kalender ini merupakan sebuah penanggalan syamsiyah
qomariyah (candra surya) atau kalender luni solar. Tidak hanya
digunakan oleh masyarakat Hindu di India, kalender saka juga
masih digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali, Indonesia,
terutama untuk menentukan hari-hari besar keagamaan mereka.
Sistem penanggalan saka sering juga disebut sebagai penanggalan
Saliwahana. Sebutan ini mengacu kepada nama seorang ternama
dari India bagian selatan, Saliwahana, yang berhasil mengalahkan
kaum Saka. Tetapi, sumber lain menyebutkan bahwa justru kaum Saka di bawah pimpinan Raja
Kaniskha I yang memenangkan pertempuran tersebut. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Maret
tahun 78 M.
Sejak tahun 78 M itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun saka, yang satu tahunnya
juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut caitramasa, bersamaan dengan
bulan Maret tahun masehi. Sejak itu pula, kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama di
India ditata ulang. Oleh karena itu, peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan,
hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, dan hari kedamaian
sekaligus hari kerukunan nasional.
Mengenai kaum Saka, ada yang menyebut bahwa mereka termasuk suku bangsa Turki atau Tatar.
Namun, ada pula yang menyebut bahwa mereka termasuk kaum Arya dari suku Scythia. Sumber
lain lagi menyebutkan bahwa mereka sebenarnya orang Yunani (dalam bahasa Sansekerta disebut
Yavana) yang berkuasa di Baktria (sekarang Afghanistan).

Kalender Cina
Seperti halnya kalender saka, kalendar Cina juga menggunakan
sistem penanggalan luni solar. Menurut legenda, kalendar Cina
berkembang sejak tahun ketiga sebelum masehi. Para ahli
menyepakati bahwa kalendar Cina sebagai patokan penanggalan
yang paling lama digunakan di dunia. Kalendar ini adalah ciptaan
pemerintah Huang Di atau Maharaja Kuning yang memerintah
sekitar 2698-2599 SM.
Bukti arkeologi terawal mengenai kalendar Cina ditemukan pada
selembar naskah kuno yang diyakini berasal dari tahun kedua sebelum masehi atau pada masa
Dinasti Shang berkuasa. Pada masanya, dipaparkan tahun luni solar yang lazimnya 12 bulan,
namun kadang-kadang ada pula bulan ke-13, bahkan bulan ke-14. Penambahan bilangan bulan
dalam tahun kalendar memastikan peristiwa tahun baru tetap dilangsungkan dalam satu musim saja,
sebagaimana kalender masehi meletakkan satu hari tambahan pada bulan Februari setiap empat
tahun.
Di negara Cina sekarang, kalendar Cina hanya digunakan untuk menandai perayaan orang Cina,
seperti Tahun Baru Cina, perayaan Duan Wu, dan Perayaan Kuih Bulan. Begitu juga dalam bidang
astrologi, seperti memilih tahun yang sesuai untuk melangsungkan perkawinan atau meresmikan
pembukaan bangunan baru. Sementara itu, untuk kegiatan harian, masyarakat Cina mengacu kepada
hitungan kalender masehi.
Rahasia di Balik Penemuan Kacamata
By Republika Newsroom
(she/taq)
Kamis, 30 April 2009 pukul 11:43:00

Kacamata merupakan salah satu penemuan


terpenting dalam sejarah kehidupan umat
manusia. Setiap peradaban mengklaim sebagai
penemu kacamata. Akibatnya, asal-usul
kacamata pun cenderung tak jelas dari mana
dan kapan ditemukan.
Lutfallah Gari, seorang peneliti sejarah sains
dan teknologi Islam dari Arab Saudi mencoba
menelusuri rahasia penemuan kacamata secara
mendalam. Ia mencoba membedah sejumlah
sumber asli dan meneliti literatur tambahan.
Investigasi yang dilakukannya itu
membuahkan sebuah titik terang. Ia menemukan fakta bahwa peradaban Muslim di era keemasan
memiliki peran penting dalam menemukan alat bantu baca dan lihat itu.
Lewat tulisannya bertajuk The Invention of Spectacles between the East and the West, Lutfallah
mengungkapkan, peradaban Barat kerap mengklaim sebegai penemu kacamata. Padahal, jauh
sebelum masyarakat Barat mengenal kacamata, peradaban Islam telah menemukannya. Menurut
dia, dunia Barat telah membuat sejarah penemuan kacamata yang kenyataannya hanyalah sebuah
mitos dan kebohongan belaka.
''Mereka sengaja membuat sejarah bahwa kacamata itu muncul saat Etnosentrisme,'' papar
Lutfallah. Menurut dia, sebelum peradaban manusia mengenal kacamata, para ilmuwan tdari
berbagai peradaban telah menemukan lensa. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya kaca.
Lensa juga dikenal pada beberapa peradaban seperti Romawi, Yunani, Hellenistik dan Islam.
Berdasarkan bukti yang ada, lensa-lensa pada saat itu tidak digunakan untuk magnification
(perbesaran), tapi untuk pembakaran. Caranya dengan memusatkan cahaya matahari pada fokus
lensa/titik api lensa.
Oleh karena itu, mereka menyebutnya dengan nama umum "pembakaran kaca/burning mirrors".
''Hal ini juga tercantum dalam beberapa literatur yang dikarang sarjana Muslim pada era
peradaban Islam,'' tutur Lutfallah. Menurut dia, fisikawan Muslim legendaris, Ibnu al-Haitham
(965 M-1039 M), dalam karyanya bertajuk Kitab al-Manazir (tentang optik) telah mempelajarai
masalah perbesaran benda dan pembiasan cahaya.
Ibnu al-Haitam mempelajari pembiasan cahaya melewati sebuah permukaan tanpa warna seperti
kaca, udara dan air. "Bentuk-bentuk benda yang terlihat tampak menyimpang ketika terus melihat
benda tanpa warna". Ini merupakan bentuk permukaan seharusnya benda tanpa warna," tutur al-
Haitham seperti dikutip Lutfallah.
Inilah salah satu fakta yang menunjukkan betapa ilmuwan Muslim Arab pada abadke-11 itu telah
mengenali kekayaan perbesaran gambar melalui permukaan tanpa warna. Namun, al-Haitham
belum mengetahui aplikasi yang penting dalam fenomena ini. Buah pikir yang dicetuskan Ibnu al-
Haitham itu merupakan hal yang paling pertama dalam bidang lensa.
Paling tidak, peradaban Islam telah mengenal dan menemukan lensa lebih awal tiga ratus tahun
dibandingkan Masyarakat Eropa. Menurut Lutfallah, penemuan kacamata dalam peradaban Islam
terungkap dalam puisi-puisi karya Ibnu al-Hamdis (1055 M- 1133 M). Dia menulis sebuah syair
yang menggambarkan tentang kacamata. Syair itu ditulis sekitar200 tahun, sebelum masyarakat
Barat menemukan kacamata. Ibnu al-Hamdis menggambarkan kacamata lewat syairnya antara lain
sebagai berikut:

''Benda bening menunjukkan tulisan dalam sebuah buku untuk mata, benda bening seperti air, tapi
benda ini merupakan batu. Benda itu meninggalkan bekas kebasahan di pipi, basah seperti sebuah
gambar sungai yang terbentuk dari keringatnya,'' tutur al-Hamdis.
Al-Hamdis melanjutkan, ''Ini seperti seorang yang manusia yang pintar, yang menerjemahkan
sebuah sandi-sandi kamera yang sulit diterjemahkan. Ini juga sebuah pengobatan yang baik bagi
orang tua yang lemah penglihatannya, dan orang tua menulis kecil dalam mata mereka.''
Syair al-Hamids itu telah mematahkan klaim peradaban Barat sebagai penemu kacamata pertama.
Pada puisi ketiga, penyair Muslim legendaris itu mengatakan, "Benda ini tembus cahaya (kaca)
untuk mata dan menunjukkan tulisan dalam buku, tapi ini batang tubuhnya terbuat dari batu
(rock)".
Selanjutnya dalam dua puisi, al-Hamids menyebutkan bahwa kacamata merupakan alat pengobatan
yang terbaik bagi orang tua yang menderita cacat/memiliki penglihatan yang lemah. Dengan
menggunakan kacamata, papar al-Hamdis, seseorang akan melihat garis pembesaran.
Dalam puisi keempatnya, al-Hamdis mencoba menjelaskan dan menggambarkan kacamata sebagai
berikut: "Ini akan meninggalkan tanda di pipi, seperti sebuah sungai". Menurut penelitian
Lutfallah, penggunaan kacamata mulai meluas di dunia Islam pada abad ke-13 M. Fakta itu
terungkap dalam lukisan, buku sejarah, kaligrafi dan syair.
Dalam salah satu syairnya, Ahmad al-Attar al-Masri telah menyebutkan kacamata. "Usia tua
datang setelah muda, saya pernah mempunyai penglihatan yang kuat, dan sekarang mata saya
terbuat dari kaca." Sementara itu,sSejarawan al-Sakhawi, mengungkapkan, tentang seorang
kaligrafer Sharaf Ibnu Amir al-Mardini (wafat tahun 1447 M). "Dia meninggal pada usia melewati
100 tahun; dia pernah memiliki pikiran sehat dan dia melanjutkan menulis tanpa cermin/kaca.
"Sebuah cermin disini rupanya seperti lensa,'' papar al-Sakhawi.
Fakta lain yang mampu membuktikan bahwa peradaban Islam telah lebih dulu menemukan
kacamata adalah pencapaian dokter Muslim dalam ophtalmologi, ilmu tentang mata. Dalam
karanya tentang ophtalmologi, Julius Hirschberg , menyebutkan, dokter spesialis mata Muslim tak
menyebutkan kacamata. ''Namun itu tak berarti bahwa peradaban Islam tak mengenal kacamata,''
tegas Lutfallah. desy susilawati

Eropa dan Penemuan Kacamata


Pada abad ke-13 M, sarjana Inggris, Roger Bacon
(1214 M - 1294 M), menulis tentang kaca
pembesar dan menjelaskan bagaimana
membesarkan benda menggunakan sepotong kaca.
"Untuk alasan ini, alat-alat ini sangat bermanfaat
untuk orang-orang tua dan orang-orang yang
memiliki kelamahan pada penglihatan, alat ini
disediakan untuk mereka agar bisa melihat benda
yang kecil, jika itu cukup diperbesar," jelas Roger
Bacon.
Beberapa sejarawan ilmu pengetahuan menyebutkan Bacon telah mengadopsi ilmu pengetahuannya
dari ilmuwan Muslim, Ibnu al-Haitam. Bacon terpengaruh dengan kitab yang ditulis al-Haitham
berjudul Ktab al-Manazir Kitab tentang Optik. Kitab karya al-Haitham itu ternyata telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Ide pembesaran dengan bentuk kaca telah dicetuskan jauh sebelumnya oleh al-Haitham. Namun,
sayangnya dari beberapa bukti yang ada, penggunaan kaca pembesar untuk membaca pertama
disebutkan dalam bukunya Bacon.
Julius Hirschberg, sejarawan ophthalmologi (ilmu pengobatan mata), menyebutkan dalam bukunya,
bahwa perbesaran batu diawali dengan penemuan kaca pembesar dan barulah kacamata tahun 1300
atau abad ke-13 M. "Ibnu al-Haitham hanya melakukan penelitian mengenai pembesaran pada
abad ke - 11 M," cetusnya Hirschberg.
Kacamata pertama disebutkan dalam buku pengobatan di Eropa pada abad ke-14 M. Bernard
Gordon, Profesor pengobatan di Universitas Montpellier di selatan Perancis, mengatakan di tahun
1305 M tentang tetes mata (obat mata) sebagai alternatif bagi orang-orang tua yang tidak
menggunakan kacamata.
Tahun 1353 M, Guy de Chauliac menyebutkan jenis obat mata lain untuk menyembuhkan mata, dia
mengatakan lebih baik menggunakan kacamata jika obat mata tidak berfungsi.
Selain para ilmuwan di atas, adapula tiga cerita yang berbeda disebutkan oleh sarjana Italia, Redi
(wafat tahun 1697).
Cerita pertama, disebutkan dalam manuskrip Redi tahun 1299 M. Disebutkan dalam pembukaan
bahwa pengarang adalah orang yang sudah tua dan tidak bisa membaca tanpa kacamata, yang
ditemukan pada zamannya.
Cerita kedua, juga diceritakan oleh Redi, menunjukkan bahwa kacamata disebutkan dalam sebuah
pidato yang jelas tahun 1305 M, dimana pembicara mengatakan bahwa perlatan ini ditemukan tidak
lebih cepat dari 20 tahun sebelum pidato tersebut diungkapkan.
Cerita ketiga, menyebutkan bahwa biarawan (the monk) Alexander dari Spina (sebelah timur Itali)
belajar bagaimana menggunakan kacamata. Dia wafat tahun 1313 M.
Akhirnya tiga versi cerita berbeda tersebut menyebarluas, karena banyak buku lain yang
mengadopsi cerita-cerita yang disebutkan Redi setelah dia wafat. Namun, beberapa sejarahwan ilmu
pengetahuan mengatakan bahwa Redi telah membuat cerita bohong dan mereka tidak percaya.
Bahkan, dalam buku Julius Hirschberg, juga disebutkan tentang cerita Redi itu, ditulis antara tahun
1899 dan 1918 di Jerman dan banyak informasi yang sudah tua dan banyak yang diperbaharui.
Buku tersebut kemudian diterjemahkan (tanpa revisi) ke dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan
tahun 1985. Hasilnya, cerita Redi menyebar di Inggris, artikel penelitian itu ditolak kebenaran
ceritanya dan ini ditolak Julius Hirschberg.
Beberapa cerita bohong lain juga ditulis oleh seorang jurnalis di pertengahan abad ke 19 M. Dia
mengklaim Roger Bacon merupakan penemu kacamata seperti. Bahkan ia juga menyebutkan bahwa
biarawan (the Monk) Alexander juga telah diajarkan Roger Bacon bagaimana menggunakan
kacamata. Kabar ini tentu saja dengan cepat menyebar.
Kebohongan lain juga terlihat pada sebuah nisan. Seorang pengarang menunjukkan bahwa sebuah
nisan di kuburan Nasrani yang berada di gereja, tertulis sebuah kalimat, "disini beristirahat
Florence, penemu kacamata, Tuhan mengampuni dosanya, tahun 1317". Masih banyak cerita atau
mitos lainnya tentang penemu dan pembuatan kacamata di Eropa. Semua mengklaim sebagai
penemu pertama alat bantu baca dan melihat itu.
Al-Tabari Psikolog Legendaris
By Republika Newsroom
(dessy susilawati/kem)
Selasa, 28 April 2009 pukul 14:21:00

Dunia psikologi Islam


mengenalnya sebagai pencetus
terapi penyakit jiwa. Psikolog
legendaris Muslim dari abad
ke-9 M itu bernama lengkap
Abu al-Hasan Ali ibnu Sahl
Rabban al-Tabari. Selain
dikenal sebagai seorang
psikolog, al-Tabari juga
menguasai ilmu lain yakni,
fisika dan kedokteran.
Namanya tetap dikenang
berkat karya-karya tulisnya
yang sangat berpengaruh.
Lewat kitab Firdous al-
Hikmah yang di tulisnya pada
abad ke-9 M, dia telah
mengembangkan psikoterapi
untuk menyembuhkan pasien
yang mengalami gangguan jiwa. Al-Tabari menekankan kuatnya hu bungan antara psikologi dengan
kedokteran. Ia berpendapat, untuk mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling dan
dan psikoterapi.
Al-Tabari menjelaskan, pasien kerap kali mengalami sakit karena imajinasi atau keyakinan yang
sesat. Un tuk mengobatinya, kata al-Tabari, dapat dilakukan me lalui ‘’konseling bijak’‘. Terapi ini
bisa dilakukan oleh seorang dokter yang cerdas dan punya hu mor yang tinggi. Caranya de ngan
membangkitkan kembali ke percayaan diri pasiennya. Pemi kir annya di abad ke-9 M ternyata
masih relevan hingga sekarang.
Psikolog kenamaan itu terlahir pa da 838 M. Ia merupakan keturunan Yahudi Persia yang menganut
Zoroas ter. Menurut SN Nasr, dalam karyanya bertajuk Life Sciences, Alchemy and Medi cine al-
Tabari semasa hidupnya telah ber pin dah keyakinan menjadi seorang Muslim. Awalnya, dia berasal
dari keluarga Yahudi dari Merv di Tabaristan. Karena itu nama belakangnya di tambahkan al-Tabari
sesuai dengan nama daerah asalnya. Ia lalu memutuskan hijrah ke dunia Is lam pada saat Khalifah
Abbasiyah, Al-Mu’tasim (833-842) berkuasa.
Al-Tabari lalu mengabdi di istana khalifah Dinasti Abbasi yah hingga kepemimpinan al-Mutawakkil
(847-861). Al-Tabari berasal dari keluarga ilmuwan. Ayahnya, Sahl Ibnu Bishr merupakan seorang
ahli pengobatan, astrolog dan ahli matematika yang terkenal. Dia tergolong keluarga bangsawan
dan banyak orang-orang di sekitarnya memanggilnya Raban yang artinya ‘pemimpin kami’.
Sang ayah adalah guru pertama bagi al-Tabari. Dari ayahnya, ia mempelajari ilmu pengobat an dan
ka ligrafi. Sebagai seorang pemuda berotak encer, Ali juga sangat mahir berbahasa Suriah dan
Yunani. Nama besarnya dicacat dan diabadikan dalam dalam karya muridnya Muhammad Ibnu
Zakariya al-Razi alias Rhazes, fisikawan agung.
Al-Tabari dinilai muridnya sebagai seorang guru yang berdedikasi tinggi. Tak heran, jika murid-
muridnya juga meraih ke suksesan seperti dirinya, salah satunya al-Razi. Ia mengajari al-Razi ilmu
pengobatan saat menetap di wilayah Rai. Lalu dia hijrah ke Samarra dan menjadi sek reta ris nya
Mazyar ibnu Marin. Meski begitu, ia kalah pamor dibanding, muridnya al-Razi.
Kitab Firdous al-Hikmah atau (Paradise of Wisdom) merupakan adikarya sang psi kolog. “Ia
menghasilkan karya pertamanya dalam bidang pengobatan. Dia merupakan orang pertama yang
mengusung ilmu kesehatan anak-anak dan bidang pertumbuhan anak,” ujar Amber Haque dalam
bukunya berjudul Psychology from Islamic Perspec tive: Contributions of Early Muslim Scholars
and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists
Kitabnya yang monumental itu juga diterjemahkannya ke dalam bahasa Suriah. Al-Tabari memiliki
dua kompilasi untuk karya nya yang dinamakan Deen-al-Doulat dan Hifdh al-Sehhat. Adikarya
sang ilmuwan itu bisa ditemukan di perpustakaan Universitas Oxford, Inggris. Al-Tabari tutup usia
pada tahun 870 M, namun namanya hingga kini tetap abadi.
Kitab Firdous al-Hikmah berisi tentang sistem pengobatan yang dibuat dalam tujuh bagian. Buku
pertama itu dikategorikan se ba gai ensiklopedia kedokteran dan dibuat da lam tujuh volume dan 30
bagian, dengan total 360 bab.
Dalam kitabnya itu, al-Tabari membagi ilmu pengobatan dalam beberapa bagian, antara lain: ilmu
kesehatan anak dan pertumbuhan anak serta psi ko logi dan psikoterapi. Di bagian peng obatan dan
psikoterapi, al-Tabari me ne kankan kekuatan antara psikologi dan peng obatan, dan kebutuhan
psikoterapi dan kon seling pada pelayanan pengobatan pasien.
Menurut Amber Haque, al-Tabari menuliskan dalam risalahnya, untuk mengobati pasien gangguan
jiwa membutuhkan konseling dan dan psikoterapi. Ia melakukan pendekatan terhadap pasien
dengan bantuan konseling, atau mencoba pasiennya meng ung kapkan isi hati serta perasaan yang
meng gangu.
Ia juga mengajarkan agar para dokter, mem berikan perhatian, tidak hanya dalam bentuk
pengobatan, namun juga dalam ben tuk berdialog. Inilah upaya yang diyakini Ali akan membantu
suksesnya sebuah pengobatan.
Pemikirannya dalam bidang psikologi banyak mempengaruhi al-Razi. Melalui kitab yang ditulisnya
yakni El-Mansuri dan Al-Hawi, al-Razi juga telah berhasil mengungkapkan definisi symptoms
(gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit men tal dan masalahmasalah yang berhubungan
dengan kesehatan mental.
Al-Razi juga tercatat sebagai dokter atau psikolog pertama yang membuka ruang psi kiatri di
sebuah rumah sakit di Kota Baghdad. Pemikir Muslim lainnya di masa ke emas an Islam yang turut
menyumbangkan pe mikirannya untuk pengobatan penyakit ke jiwaan adalah Al-Farabi. Ilmuwan
termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi
kesadaran.
Hingga kini, sebanyak lima karya al-Tabari masih tetap tersimpan di perpustakaan. Dr Mohammed
Zubair Siddiqui telah membandingkan dan mengedit manuskrip karya al-Tabari. Dalam kata
pengantarnya, Siddiqui mengaku sangat kagum dengan karya sang ilmuwan dari abad ke-9 M itu.
Menurut dia, buah pikir al-Tabari sungguh sangat berguna.

Alquran di Mata Al-Tabari


Ali bin Rabban al-Tabari awalnya adalah penganut Zoroaster. Ia lalu memutuskan untuk masuk
Islam, karena begitu kagum dengan Alquran. Sang psikolog terkemuka itu mengaku tidak pernah
menemukan tulisan maupun bahasa yang lebih hebat dan sempurna dari Alquran.
Pengakuan al-Tabari terhadap kehebatan Alquran itu dikutip MSM Saifullah dalam karyanya
bertajuk Topics Relating to The Qur’an: I’jaz, Grammarians & Jews. “Apa yang dikatakan Quran
itu adalah benar. Kenyataannya adalah saya tidak menemukan satu bukupun, dalam bahasa Arab
dan Persia serta dalam bahasa India atau Yunani yang sempurna seperti Alquran,’‘ tuturnya.

ADIKARYA KARYA SANG PSIKOLOG


1. Firdous al-Hikmah (“Paradise of Wisdom”)
2. Tuhfat al-Muluk (“The King’s Present”)
3. Hafzh al-Sihhah (“The Proper Care of Health”), mengikuti pengarang Yunani dan Indian.
4. Kitab al-Ruqa (“Book of Magic or Amulets”)
5. Kitab fi al-hijamah (“Treatise on Cupping”)
6. Kitab fi Tartib al-‘Ardhiyah (“Treatise on the Preparation of Food”).
Ilmuan Islam Perintis Pengobatan Penyakit Jiwa
By Republika Newsroom
(hri/ta)
Kamis, 23 April 2009 pukul 11:37:00

Peradaban Barat kerap mengklaim bahwa


Philipe Pinel (1793) merupakan orang pertama
yang memperkenalkan metode penyembuhan
penyakit jiwa. Tak cuma itu, Barat juga
menyatakan rumah sakit jiwa (RSJ) pertama di
dunia adalah Vienna's Narrenturm yang
dibangun pada tahun 1784. Benarkah klaim
peradaban Barat itu?
Klaim itu tentu sangat tak berdasar. Sebab,
jauh sebelum Barat mengenal metode
penyembuhan penyakit jiwa berikut tempat
perawatannya, pada abad ke-8 M di Kota
Baghdad. Menurut Syed Ibrahim B PhD dalam bukunya berjudul "Islamic Medicine: 1000 years
ahead of its times", mengatakan, rumah sakit jiwa atau insane asylums telah didirikan para dokter
dan psikolog Islam beberapa abad sebelum peradaban Barat menemukannya.
Hampir semua kota besar di dunia Islam pada era keemasan telah memiliki rumah sakit jiwa. Selain
di Baghdad ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah insane asylum juga terdapat di kota Fes, Maroko.
Selain itu, rumah sakit jiwa juga sudah berdiri di Kairo, Mesir pada tahun 800 M. Pada abad ke-13
M, kota Damaskus dan Aleppo juga telah memiliki rumah sakit jiwa.
Mari kita bandingkan dengan Inggris. Negara terkemuka di Eropa itu baru membuka rumah sakit
jiwa pada t1831 M. Rumah sakit jiwa pertama di negeri Ratu Elizabeth itu adalah Middlesex
County Asylum yang terletak di Hanwell sebelah barat London. Pemerintah Inggris membuka
rumah sakit jiwa setelah mendapat desakan dari Middlesex County Court Judges. Setelah itu Inggris
mengeluarkan Madhouse Act 1828 M.
Lalu bagaimana peradaban Islam mulai mengembangkan pengobatan kesehatan jiwa? Menurut
Syed Ibrahim, berbeda dengan para dokter Kristen di abad pertengahan yang mendasarkan sakit
jiwa pada penjelasan yang takhayul, dokter Muslim justru lebih bersifat rasional.
Para dokter Muslim mengkaji justru melakukan kajian klinis terhadap pasien-pasien yang menderita
sakit jiwa. Tak heran jika para dokter Muslim berhasil mencapai kemajuan yang signifikan dalam
bidang ini. Mereka berhasil menemukan psikiatri dan pengobatannya berupa psikoterapi dan
pembinaa moral bagi penderita sakit jiwa.
''Selain itu, para dokter dan psikolog Muslim juga mampu menemukan bentuk pengobatan modern
bagi penderita sakit jiwa seperti, mandi pengbatan dengan obat, musik terapi dan terapi jabatan,''
papar Syed Ibrahim.
Konsep kesehatan mental atau al-tibb al-ruhani pertama kali diperkenalkan dunia kedokteran Islam
oleh seorang dokter dari Persia bernama Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Balkhi (850-934). Dalam
kitabnya berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Makanan untuk Tubuh dan Jiwa), al-Balkhi
berhasil menghubungkan penyakit antara tubuh dan jiwa. Ia biasa menggunakan istilah al-Tibb al-
Ruhani untuk menjelaskan keseharan spritual dan kesehatan psikologi.
Sedangkan untuk kesehatan mental dia kerap menggunakan istilah Tibb al-Qalb . Ia pun sangat
terkenal dengan teori yang dicetuskannya tentang kesehatan jiwa yang berhubungan dengan tubuh.
Menurut dia, gangguan atau penyakit pikiran sangat berhubungan dengan kesehatan badan. Jika
jiwa sakit, maka tubuh pun tak akan bisa menikmati hidup dan itu bisa menimbulkan penyakit
kejiwaan, tutur al-Balkhi.
Menurut al-Balkhi, badan dan jiwa bisa sehat dan bisa pula sakit. Inilah yang disebut keseimbangan
dan ketidakseimbangan. Dia menulis bahwa ketidakseimbangan dalam tubuh dapat menyebabkan
demam, sakit kepala, dan rasa sakit di badan. Sedangkan, ketidakseimbangan dalam jiwa dapat
mencipatakan kemarahan, kegelisahan, kesedihan, dan gejala-gejala yang berhubungan dengan
kejiwaan lainnya.
Dia juga mengungkapkan dua macam penyebab depresi. Menurut
dia, depresi bisa disebabkan alasan yang diketahui, seperti
mengalami kegagalan atau kehilangan. Ini bisa disembuhkan
secara psikologis. Kedua, depresi bisa terjadi oleh alasan-alasan
yang tak diketahui, kemukinan disebabkan alasan psikologis. Tipe
kedua ini bisa disembuhkan melalui pemeriksaan ilmu kedokteran.
Selain al-Balkhi, peradaban Islam juga memiliki dokter kejiwaan
bernama Ali ibnu Sahl Rabban al-Tabari. Lewat kitab Firdous al-
Hikmah yang ditulisnya pada abad ke-9 M, dia telah
mengembangkan psikoterapi untuk menyembuhkan pasien yang
mengalami gangguan jiwa. Al-Tabari menekankan kuatnya
hubungan antara psikologi dengan kedokteran.
Menurut dia, untuk mengobati pasien gangguan jiwa
membutuhkan konseling dan dan psikoterapi. Al-Tabari
menjelaskan, pasien kerap kali mengalami sakit karena imajinasi
atau keyakinan yang sesat. Untuk mengobatinya, kata al-Tabari,
dapat dilakukan melalui ''konseling bijak''. Terapi ini bisa dilakukan oleh seorang dokter yang
cerdas dan punya humor yang tinggi. Caranya dengan membangkitkan kembali kepercayaan diri
pasiennya.
Melalui kitab yang ditulisnya yakni El-Mansuri dan Al-
Hawi , dokter Muslim legendaris al-Razi juga telah
berhasil mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan
perawatannya untuk menangani sakit mental dan masalah-
masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.
Al-Razi juga tercatat sebagai dokter atau psikolog pertama
yang membuka ruang psikiatri di sebuah rumah sakit di
Kota Baghdad. Pemikir Muslim lainnya di masa keemasan
Islam yang turut menyumbangkan pemikirannya untuk
pengobatan penyakit kejiwaan adalah Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis
risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran.
Selain itu, Ibnu Zuhr, alias Avenzoar juga telah berhasil mengungkap penyakit syaraf secara
akurat. Ibnu Zuhr juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology modern.
Yang tak kalah penting lagi, Ibnu Rusyd atau Averroes ilmuwan Muslim termasyhur - telah
mencetuskan adanya penyakit Parkinson’s.
Sejarawan Francis Bacon menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar
psychophysics dan psikologi eksperimental. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukannya,
Bacon merasa yakin bahwa Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil menggabungkan
fisika dengan psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis Elements of Psychophysics pada
tahun 1860 M. Begitulah, kedokteran dan psikologi Islam mengembangkan pengobatan penyakit
jiwa. (heri ruslan)

Utang Budi Kedokteran Modern


Kontribusi umat Islam bagi peradaban manusia adalah fakta yang tak terbantahkan. Para sejarawan
sains Barat dalam sebuah konferensi mengakui bahwa dunia kedokteran modern berutang begitu
banyak terhadap para ilmuwan Muslim di era keemasan Islam. Betapa tidak, dokter Muslim di era
kekhalifahan merupakan perintis diagnosis dan penyembuhan beragam penyakit.
Dr Emilie Savage-Smith dari St Cross College di Oxford mengungkapkan, Islam adalah peradaban
pertama yang memiliki rumah sakit. Menurut dia, rumah sakit pertama di dunia dibangun
Kekhalifahan Abbasiyah di kota Baghdad, Irak sekitar tahun 800 M. ''Rumah sakit yang berdiri di
Baghdad itu lebih mutakhir dibandingkan rumah sakit di Eropa Barat yang dibangun beberapa
abad setelahnya,'' papar Savage-Smith seperti dikutip Independent.
Savage-Smith mengungkapkan, rumah sakit (RS) Islam terbesar di zaman keemasan dibangun di
Mesir dan Suriah pada abad ke-12 dan 13 M. Pada masa itu, RS Islam sudah menerapkan sistem
perawatan pasien berdasarkan penyakitnya. Menurut Savage-Smith, pembangunan sebuah sistem
rumah sakit yang begitu luas merupakan salah satu pencapaian terbesar dalam peradaban Islam
pada abad pertengahan.
''Peradaban Islam pada abad ke-10 M untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem pendidikan
kedokteran secara langsung di rumah sakit,'' papar Savage-Smith. Ia pun mengagumi Islam yang
mengajarkan umatnya untuk merawat seluruh jenis penyakit tanpa memandang status ekonomi
pasiennya.
Menurut dia, rumah sakit Islam pada era kejayaannya terbuka bagi semua; laki-laki, perempuan,
warga sipil, militer, kaya, miskin, Muslim dan non-Muslim. Pada masa itu, kata Savage-Smith,
rumah sakit memiliki beragam fungsi yakni sebagai; pusat perawatan kesehatan, rumah
penyembuhan bagi pasien yang sedang dalam tahap pemulihan dari sakit atau kecelakaan.
Selain itu, ungkap Savage-Smith, peradaban Islam juga sudah memiliki rumah sakit jiwa atau
insane asylum. Menurut dia, masyarakat Muslim juga tercacat sebagai yang pertama mendirikan
dan memiliki rumah sakit jiwa. Rumah sakit pada era keemasan Islam juga berfungsi sebagai
tempat perawatan para manusia lanjut usia (manula) yang keluarganya kurang beruntung.
Smith-Savage menuturkan, para dokter Muslim menguasai dunia kedokteran berkat upaya
penerjemahan terhadap karya-karya kedokteran Yunani klasik. Tak cuma menerjemahkan, namun
para dokter Muslim pun mengembangkan, menemukan serta menulis buku-buku kedokteran.
Para dokter Muslim pun berhasil menemukan sejumlah penyakit, cara pengobatan hingga
penyembuhannya. Menurut Smith-Savage, dokter Muslim telah mampu menjelaskan beragam jenis
penyakit infeksi seperti cacar air. Selain itu, kedokteran Islam juga menemukan penyakit yang
sebelumnya tak diketahui manusia, seperti kataraks. Bahkan, kedokteran Islam juga telah berhasil
melakukan operasi atau bedah.
Peradaban Barat pun belajar dan mengembangkan hasil penemuan dan penelitian di bidang
kedokteran. Tanpa kontribusi kedokteran Islam, boleh jadi dunia Barat tak akan menguasai ilmu
kedokteran seperti saat ini.
Perkembangan Penggunaan Aksara Pegon dan Melayu
By Republika Newsroom
( rid/berbagai sumber)
Senin, 20 April 2009 pukul 17:28:00

Membedakan huruf Arab pegon dengan huruf


Arab asli sangat mudah. M Irfan Shofwani dalam
bukunya Mengenal Tulisan Arab Melayu
menerangkan bahwa penulisan Arab pegon
menggunakan semua aksara Arab Hijaiyah
dilengkapi dengan konsonan abjad Indonesia
yang ditulis dengan aksara Arab yang telah
dimodifikasi.
Modifikasi huruf Arab ini dikenal sebagai huruf
jati Arab Melayu yang berwujud aksara Arab
serapan yang tak lazim. Misalnya, untuk
konsonan ‘nga’, Arab pegon menggunakan huruf
‘ain’ atau ‘ghain’ dengan tiga titik di atasnya. Sedangkan, untuk konsonan ‘p’ diambil dari huruf ‘fa’
dengan tiga titik di atasnya dan sebagainya. Selain itu, huruf Arab pegon meniadakan syakal (tanda
baca) layaknya huruf Arab gundul.
Namun, sumber lain menyebutkan, huruf Arab pegon hampir selalu dibubuhi tanda baca vokal. Ini
berbeda dengan huruf Jawi yang ditulis gundul (tanpa tanda baca). Bahasa Jawa memang memiliki
kosakata vokal yang lebih banyak daripada bahasa Melayu. Sehingga, vokal perlu ditulis untuk
menghindari kerancuan.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Syamsul Hadi
menjelaskan, kata ‘pegon’ berasal dari bahasa Jawa ‘pego’ yang artinya tidak lazim dalam
mengucapkan bahasa Jawa. Hal ini, menurutnya, disebabkan banyaknya kata Jawa yang ditulis dengan
tulisan Arab dan menjadi aneh ketika diucapkan. Penjelasan itu diperkuat oleh Titik Pudji astuti dalam
tulisan ‘Aksara pegon: Sarana Dakwah dan Sastra dalam Budaya Jawa’. Menurutnya, teks Jawa yang
ditulis dengan aksara Arab disebut teks pegon yang artinya sesuatu yang berkesan menyimpang.
Lebih lanjut, ia mengatakan, penamaan ini mungkin disebabkan jumlah aksara yang diparalelkan
dengan aksara Jawa lebih sedikit dari aksara Arab yang mejadi dasarnya. Ada pertanyaan yang muncul,
mengapa dikatakan aneh, pego, dan menyimpang? Tentu saja karena bahasa Jawa lebih tepat jika
ditulis dengan aksaranya sendiri, yakni aksara Jawa.
Menurut Prof Syamsul Hadi, hampir semua khazanah keagamaan Jawa, yakni sastra suluk, kitab
kuning, terjemahan nadhoman, terjemahan jenggotan, ataupun jenis sastra berbentuk syi’iran, ditulis
dengan Arab pegon. Namun, penulisan bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon tidak terbatas saja pada
khazanah naskah keagamaan. Tetapi, huruf Arab pegon juga dipakai untuk penulisan pada umumnya,
terutama di kalangan pesantren.
Seperti halnya yang terjadi di tanah Melayu, penulisan bahasa Jawa dengan huruf pegon tidak terbatas
pada khazanah naskah keagamaan, tetapi juga dipakai untuk penulisan pada umum nya, terutama di
kalangan pesantren. Dalam tulisan pegon juga dikenal jenisjenis naskhi, riq’i, dan tsulutsi. Selain
ketiga jenis tulisan itu, pegon mengenal dua macam variasi, yakni pegon berharakat dan pegon
gondhul (tak berharakat).

Huruf Arab Melayu


Drs UU Hamidy MA, staf pengajar pada Universitas Riau, dalam tulisannya mengenai naskah Arab
Melayu mengungkapkan bahwa para cendekiawan Riau sudah menggunakan huruf Arab Melayu untuk
kegiatan penulisan mereka sejak abad ke-19, yaitu tahun 1800-an. Huruf Arab Melayu dipakai secara
penuh, seperti dalam karya-karya Raja Ali Haji. Naskah-naskah yang mempergunakan huruf Arab
Melayu dan angka-angka Arab orisinal antara lain adalah Kanun Kerajaan Riau Lingga, Bustan Al Kati
-bin, serta Salasilah Melayu dan Bugis karya Raja Ali Haji. Begitu juga dengan Syair Abdul Muluk
yang diperkirakan merupakan karya Raja Zaleha dan Raja Ali Haji, Bughyat al-Ani Fi Huruf Al Maani
karya Raja Ali Kelana.
Naskah-naskah kuno Riau yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu memiliki
halamanhalaman kitab atau naskah yang tidak lagi menggunakan angka Arab orisinal (seperti angka-
angka untuk halaman Alquran), namun telah dimodifikasi menjadi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 0.
Naskah-naskah tersebut antara lain adalah Babal Qawaid, Syair Sahimsah terjemahan Raja Haji
Abdullah, Undang-Undang Polisi Kerajaan Riau-Lingga, dan Kisah Iblis Menghadap Nabi
Muhammad karya Muhammad bin Haji Muhammad Said.
Menurut Hamidy, ciri atau tandatanda huruf Arab Melayu yang dipergunakan pada masa itu agak
berbeda dengan huruf Arab Melayu yang dikenal sekarang. Dalam naskah Riau, sistem huruf Arab
Melayu boleh dikatakan sebagian besar memberi tanda saksi untuk tiap bunyi vokal, seperti bunyi a, i,
u, (alif, waw, dan ya). Sistem ini mempermudah cara membacanya dan kemungkinan salah baca
menjadi lebih kecil.
Berbeda dengan sistem penulisan Arab Melayu sekarang yang hanya memberi saksi pada bunyi vokal
pada suku kata kedua dan suku terakhir pada setiap kata. Oleh karena banyak bunyi vokal yang
dihilangkan, sebuah kata bisa dibaca dalam beberapa kemung kinan bunyi vokal. Dalam sistem ini,
bunyi (ucapan) kata harus diperhitungkan dalam konteks kalimat.
Sistem penulisan Arab Melayu seperti dalam naskah-naskah lama Riau terus digunakan oleh para
pengguna bahasa Melayu di Semenanjung Malaka (sekarang bernama Malaysia), Singapura, dan
Brunei Darussalam. Suku tertutup diberi tanda dengan alif, wau, dan ya sehingga naskah lebih mudah
dibaca. Meskipun demikian, tambah Hamidy, beberapa pengarang Riau, seperti Haji Abdurrahman
Siddiq dan Haji Abdurrahman Yakub, tetap mempergunakan huruf Arab Melayu dengan angka Arab
tanpa perubahan bentuk sama sekali. Hanya Syair Hari Kiamat karya Tuan Guru Abdurrahman Siddiq
yang memakai angka Arab model Latin pada nomor halaman kitabnya.
Syamsul Hadi, dalam makalahnya yang berjudul ‘Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di
Indo ne sia’ menerangkan, pada naskah tulis an tangan, biasanya terdapat perbedaan penggunaan jenis-
jenis huruf Arab, yakni tulisan naskhi, riq’i, dan tsulutsi.
Jenis naskhi biasanya dipergunakan untuk tulisan pada umumnya. Tulisan riq’i digunakan untuk
penulisan cepat. Adapun jenis tsulutsi yang indah dipergunakan untuk judul-judul naskah. Mes -kipun
kaidah baru dengan penambahan tanda diakritik berkaitan dengan adanya perbedaan vokal ataupun
konsonan pada bahasa Arab dan Melayu, jenis tulisan yang dipakai masih juga sama, tidak ada jenis
tulisan baru model Melayu. dia/rid/sya/berbagai sumber

Disiplin Ilmu dalam Naskah Melayu


Disiplin ilmu yang ditulis para ulama Nusantara tidak terbatas pada pengetahuan agama, tetapi juga
disiplin ilmu lainnya. Dr Kun Zachrun Istanti SU dalam ‘Teks Melayu: Warisan Intelek Masa Lampau
Indonesia-Malaysia’ mengklasifikasi bidang-bidang pengetahuan yang ditulis dalam naskahnaskah
Melayu kuno di antaranya adalah sejarah, sastra, ilmu tradisional, obat-obatan, dan
perundangundangan.

Sejarah
Karya sastra sejarah Melayu ada berbagai macam, di antaranya Misa Melayu, Salasilah Melayu dan
Bugis, Hikayat Patanu, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Banjar, Silsilan Kutai,
Tambo Minangkabau, dan Hikayat Merong Mahawangsa. Karya-karya ini kaya akan pengetahuan
tentang pikiran dan keadaan susunan masyarakat Melayu pada zaman itu. Dalam Sejarah Melayu,
tergambarkan adat raja-raja, pantang larang, dan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang untuk rakyat.
Dalam Sejarah Melayu, juga digambarkan adanya penaklukan oleh Malaka dan hubungan negeri
Malaka dengan Majapahit, Siam, dan Cina.

Sastra kitab
Sastra kitab pada zaman kegemilangan Islam di Nusantara umumnya berisi ajaran agama Islam. Sastra
kitab dapat menjadi rujukan mengenai Islam bagi orangorang Melayu. Karena, pada waktu itu,
masyarakat Melayu masih sedikit yang memahami bahasa Arab. Kebanyakan sastra kitab ini
merupakan terjemahan atau hasil transformasi karya-karya Arab. Bidang pengetahuan yang terdapat
dalam sastra kitab adalah ilmu tauhid, fikih, hadis, dan tasawuf. Contoh sastra kitab adalah Shifa’ al-
Qulubkarya Nuruddin Arraniri bertanggal 2 Ramadhan 1225 H (Senin, 1 Oktober 1810 M). Karya ini
menerangkan pengertian kalimat syahadat dan kepercayaan kepada Allah.

Ilmu tradisional
Karya sastra Melayu juga berisi ilmu tradisional yang berupa pengajaran, pemahaman, dan amalan
secara formal, misalnya ilmu bintang, ilmu ramal, tabir mimpi, dan firasat. Pembahasannya berkisar
tentang kedudukan bintang dan pengaruhnya terhadap kejadian alam dan kehidupan manusia,
kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan benda-benda lain yang dihubungkan dengan penyakit dan
amalan hidup, kepercayaan terha dap tabir mimpi, dan firasat. Kepercayaan-kepercayaan ini diamalkan
oleh masyarakat Melayu masa lampau da lam kehidupan sehari-hari dan memengaruhi hidup mereka.
Contoh karya sastra Melayu yang berisi ilmu tradisional adalah Tabir Mimpi. Isinya tentang tafsir
mimpi dan fatwa orang Melayu masa lampau tentang alamat pergerakan bagian tubuh tertentu, waktu
yang sesuai untuk bepergian, dan tanda apabila ada binatang masuk ke rumah atau kampung pada hari
tertentu.

Obat-obatan
Selain disiplin ilmu di atas, karya Melayu juga ada yang membahas masalah obat-obatan Melayu
tradisonal. Naskah seperti ini dikenal dengan nama Kitab Tib(obat, penyembuh), yang biasa digunakan
sebagai panduan untuk mengobati berbagai penyakit. Bahan dasar obat-obatan itu berasal dari sumber
daya alam, seperti flora dan fauna. Karya sastra dalam Kitab Tibtersebut antara lain tentang obat
masuk angin, demam, pilek, sakit kepala, sakit perut, sakit gigi, dan sebagainya.

Kitab undang-undang
Kitab undang-undang dalam karya sastra Melayu ini berupa tata tertib dan adat istiadat Melayu yang
diwariskan secara turun-temurun. Karena itu, tak heran bila ada daerah-daerah tertentu yang
mengedapan hukum daerah (adat) dibandingkan hukum positif. Dan, bagi sekelompok masyarakat,
bila sudah mematuhi (menjalankan) hukum adat, tak perlu lagi menjalani hukum lainnya. rid

Persebaran Naskah Melayu Dari Indonesia ke Afrika hingga Eropa


Masuknya Islam ke Nusantara menandai peralihan dari tradisi lisan menjadi tulisan. Namun, sampai
dengan tahun 1500 M, tradisi penulisan dalam wujud teks belum dilakukan. Ide atau gagasan dan nilai-
nilai masih disampaikan secara lisan. Beberapa karya sastra yang kental dengan corak kelisanannya
adalah tekateki, peribahasa, pantun, dan mantra.
Setelah huruf Arab dikenal oleh masyarakat Melayu, barulah dimulai penulisan ilmu pengetahuan
dengan huruf Arab, terutama Arab Jawi. Hal ini mengindikasikan bahwa huruf Jawi ini berperan besar
dalam mengomunikasikan khazanah intelektual Muslim di Nusantara.
Naskah-naskah Melayu kuno menyebar ke berbagai kawasan di Nusantara, seperti di Aceh,
Minangkabau, Riau, Siak, Bengkulu, Sambas, Kutai, Ternate, Ambon, Bima, Palembang, Banjarmasin,
dan daerah-daerah yang kini masuk kawasan Malaysia dan Singapura. Naskah-naskah tersebut saat ini
disimpan di lembaga-lembaga di dalam dan luar negeri. Di Indonesia, naskah-naskah itu disimpan di
museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga
atau pemilik naskah.
Ketika itu, aktivitas penulisan berkembang sangat marak, karena didukung dengan hadirnya beberapa
percetakan di sejumlah kawasan, seperti Rumah Cap Kerajaan di Lingga; Mathba’at al-Riauwiyah di
Penyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Munculnya ketiga percetakan itu memungkinkan
karya para intelektual Muslim dapat dicetak dengan baik. Akhirnya, beberapa karya pun menyebar
hingga ke berbagai daerah.
Hingga saat ini, belum dapat dipastikan berapa jumlah karya Melayu yang sudah dicetak. Apalagi,
hampir setiap saat, karya itu semakin banyak ditemukan. Namun, ada beberapa penelitian yang
mencoba mendatanya. Chambert-Loir (1980), ahli perpustakaan dari Prancis, memperkirakan ada
sekitar 4.000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 28 negara.
Ismail Husain (1974) memperkirakan ada sekitar 5.000 naskah Melayu dan lebih kurang
seperempatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta. Sedangkan, Russel Jones
memperkirakan jumlahnya sampai pada angka 10 ribu.
Adapun 28 negara tempat penyebaran naskah-naskah Melayu yang diutarakan Chambert-Loir (1999)
adalah Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark,
Hongaria, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia,
Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.

Intelektual perempuan
Yang menarik di antara karya-karya tersebut terdapat sejumlah penulis dari kaum perempuan. Raja
Safiah mengarang Syair Kumbang Menginderadan saudaranya Raja Kalsum menulis Syair Saudagar
Bo doh. Kedua penulis perempuan itu adalah putri Raja Ali Haji, seorang intelektual Melayu tersohor
yang kita kenal dengan karya besarnya Gurindam Dua Belas.
Pengarang perempuan yang juga sangat terkenal waktu itu adalah Aisyah Sulaiman. Cucu Raja Ali
Haji itu menulis Syair khadamuddin, Syair Seligi Tajam Bertimbal, Syamsul Anwar, dan Hikayat
Shariful Akhtar.
Selain nama-nama tersebut, masih terdapat beberapa nama intelektual perempuan yang memiliki
kepedulian dalam pengembangan kesusastraan Melayu. Di antaranya adalah Salamah binti Ambar
yang menulis dua buku dengan judul Nilam Permatadan Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota
Tubuh. Ada pula Khadijah Terung yang menulis buku Perhimpunan Gunawan bagi Laki-laki dan
Perempuan.
Kebudayaan Islam dalam Tradisi Kepenulisan Melayu
By Republika Newsroom
(sya/rid)
Senin, 20 April 2009 pukul 17:20:00

Karya sastra Arab-Melayu telah menyebar ke


berbagai belahan dunia. Jumlahnya diperkirakan
mencapai 10 ribu judul.

Masuknya Islam ke Indonesia--yang menurut


sebagian orang diperkirakan pada abad ke-13 M--
telah menandai perubahan besar dalam khazanah
kebudayaan di bumi Nusantara. Agama Islam
yang dibawa para imigran (pedagang, ulama, dan
intelektual Muslim) Arab juga turut memengaruhi
penggunaan bahasa (baik secara lisan maupun
tulisan) dalam pergaulan sehari-hari.
Kebiasaan tulis-menulis pun mulai dilakukan. Menurut Syamsul Hadi, guru besar Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bahasa Arab merupakan awal mula masyarakat
Indonesia menggunakan kebiasaan tulis-menulis.
Hal yang sama juga diungkapkan guru besar Fakultas Falsafah dan Agama, Universitas Paramdina
Mulya, Jakarta, Abdul Hadi WM. Menurut Abdul Hadi, tulisan Arab dalam bahasa Melayu yang
digunakan masyarakat di Nusantara bisa dikenali melalui penemuan prasasti atau batu bertulis yang
terdapat di Kuala Berang, Terengganu, pada abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Ia menambahkan, jauh
sebelum masyarakat mengenal huruf Latin, masyarakat Indonesia telah mengenal huruf Arab.
Karena itulah, tak heran bila pada sekitar abad ke 14-19 M, banyak karya-karya ulama di Nusantara
yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Seperti diungkapkan Abdul Hadi, seorang ulama di Nusantara
baru diakui keulamaannya apabila menguasai tiga bahasa sekaligus, yaitu Arab, Melayu, dan daerah
(Jawi, Sunda, Bugis, Banjar, dan lainnya). Ketiga bahasa tersebut dibuktikan dengan dituliskannya
dalam sebuah karya (kitab).
Hingga saat ini, sebagian masyarakat Muslim, utamanya yang tinggal di Pesantren Salafiyah
(tradisional), mengenal dengan baik penulisan huruf Arab dalam bahasa Melayu.
Huruf-huruf hijaiyah dalam huruf Arab yang telah ditulis ke dalam bahasa Melayu disebut sebagai
huruf Jawi. Sementara itu, huruf Arab yang ditulis dalam bahasa Jawa dikenal dengan huruf Pegon,
yang berarti menyimpang. Penulisan atau penerjemahan karya-karya klasik atau kitab-kitab kuno
dilakukan dengan menggunakan huruf Jawi atau Pegon. Huruf Jawi itu sendiri masih kental dengan
nuansa Hindu. Hal ini disebabkan adanya pengaruh bahasa Sansekerta.
Sayangnya, hingga kini, cara penulisan huruf Jawi atau Pegon sudah tidak begitu dikenali lagi di
sebagian masyarakat Indonesia. Misalnya, sebagian generasi Muslim Jawa yang kini berusia 35 tahun
ke atas masih mengenal huruf Pegon yang ditulis dengan bahasa Hanacaraka. Sementara itu, generasi
atau masyarakat Jawa sekarang (berusia 30 tahun ke bawah) sudah tidak begitu mengenal lagi huruf-
huruf ini.
Tak hanya di Jawa, masyarakat lain pun, seperti Bugis, Banjar, dan lainnya, sudah tidak begitu
mengenal bahasa daerahnya, termasuk bentuk hurufnya. ''Padahal, bangsa kita sangat kaya dengan
kebudayaan. Kondisi ini disebabkan kesalahan kebijakan dalam sistem pendidikan kita,'' tegas Abdul
Hadi.

Tersebar luas
Sampai sekarang, penulisan naskah dalam teks Arab-Melayu telah menyebar di Nusantara hingga ke
berbagai penjuru dunia. Naskah-naskah itu tersebar hingga ke Afrika dan Eropa.
Di Nusantara, naskah-naskah Melayu kuno itu menyebar ke berbagai daerah, seperti Aceh,
Minangkabau, Riau, Siak, Bengkulu, Sambas, Kutai, Ternate, Ambon, Bima, Palembang, Banjarmasin,
dan daerah-daerah yang kini masuk kawasan Malaysia dan Singapura.
Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga dalam dan luar negeri. Di Indonesia,
naskah-naskah itu disimpan di museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren,
masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.
Ketika itu, aktivitas penulisan berkembang sangat marak. Hal ini didukung dengan hadirnya beberapa
percetakan di sejumlah kawasan, seperti Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba'at al-Riauwiyah di
Panyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Munculnya ketiga percetakan itu memungkinkan
karya para intelektual Muslim dapat dicetak dengan baik. Akhirnya, beberapa karya itu pun menyebar
hingga ke berbagai daerah.
Hingga saat ini, belum dapat dipastikan berapa jumlah karya sastra yang berhasil dicetak. Apalagi,
hampir setiap saat, karya itu semakin bertambah. Namun demikian, ada beberapa penelitian yang
mencoba mendatanya. Chambert-Loir (1980), ahli perpustakaan dari Prancis, memperkirakan sekitar
4.000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 28 negara.
Ismail Husain (1974) memperkirakan ada sekitar 5.000 naskah Melayu dan lebih kurang
seperempatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta. Sedangkan, Russel Jones
memperkirakan jumlahnya sampai pada angka 10 ribu.
Adapun 28 negara tempat penyebaran naskah-naskah Melayu yang diutarakan Chambert-Loir (1999)
adalah Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark,
Hongaria, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia,
Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.
Seluk-beluk Hadis Nabi, Dari Penulisan Hingga Pemalsuan Hadis
By Republika Newsroom
(sya/taq)
Selasa, 07 April 2009 pukul 12:16:00

Kelompok yang paling dominan dalam membuat hadis-hadis palsu adalah kalangan politisi dan ahli
sufi.

Alquran, selain berisi ayat-ayat yang qath'i (jelas), juga berisi ayat-ayat yang zhanni (samar). Ayat-ayat
yang samar dan bersifat umum memerlukan penjelasan dan keterangan lebih lanjut. Biasanya,
penjelasan dan keterangan itu didapatkan dari hadis Nabi Muhammad SAW. Apa yang tidak dijelaskan
secara terperinci dalam Alquran maka hal itu akan diuraikan dengan gamblang dalam sebuah hadis.
Karena fungsinya itu, hadis merupakan sumber hukum Islam setelah Alquran.
Berbeda dengan Alquran yang telah ditulis sejak Rasulullah menerima wahyu meski pada daun lontar,
pelepah kurma, dan kulit binatang; hadis atau perkataan-perkataan Nabi Muhammad SAW lebih
banyak dihafal oleh para sahabat daripada ditulis. Sebab, Rasulullah pernah melarang para sahabat
untuk mencatat hadis-hadis, sebagaimana riwayat yang diterima dari Abu Sa'id al-Khudri, Abu
Hurairah, dan Zaid bin Tsabit yang tercantum dalam Taqyid al-Ilm karya Ibnu Abdul Barr. Larangan ini
dimaksudkan agar sahabat fokus pada Alquran.
Namun, larangan ini, menurut sebagian ulama, tidak ditujukan kepada semua sahabat, tetapi khusus
kepada para penulis wahyu karena kekhawatiran bercampurnya ayat-ayat Alquran dan hadis. Karena
itu, pada keterangan lain, disebutkan bahwa Nabi SAW mengizinkan menulis hadis, sebagaimana
riwayat dari Abdullah bin Amr, Abu Syah, dan Ali bin Abi Thalib.
Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat,
penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-2 H saat Umar bin Abdul Aziz dari Bani
Umayyah menduduki jabatan khalifah (717-720 M).
Sebab, menurut Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bila tidak dikumpulkan dan dibukukan secara sendiri,
hadis itu berangsur-angsur akan hilang. Apalagi, Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat banyak
sahabat dan para penghafal hadis semakin berkurang, baik karena meninggal dunia maupun berpindah
tempat sesuai dengan perkembangan wilayah kekuasaan Islam. Dan, hal ini juga dimaksudkan untuk
terpeliharanya hadis dari ungkapan-ungkapan orang lain yang dikira bersumber dari Rasulullah (hadis
palsu).
Sebab, setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan, timbul pergolakan politik antara pendukung Ali
bin Abi Thalib dan lainnya. Akibatnya, di masa itu, banyak muncul hadis-hadis palsu. Hadis-hadis
palsu ini dilontarkan oleh pihak-pihak yang bertikai untuk menguatkan pendapatnya yang seolah-olah
pendapat itu sesuai dengan pendapat Rasulullah.
Menurut guru besar Ilmu Hadis dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah SAW, Prof
DR KH Ali Mustafa Ya'kub MA, kelompok yang paling dominan dalam membuat hadis-hadis palsu
adalah kalangan politisi dan ahli sufi. Bila kalangan politisi banyak membuat hadis palsu untuk
mendukung pendapatnya, kalangan ahli sufi membuat hadis palsu karena melihat bobroknya akhlak
umat yang mulai enggan beramal saleh. Karena itu, hadis palsu dibuat oleh kalangan ahli sufi untuk
merangsang umat beramal saleh.

Tingkatan hadis
Sepanjang hidup Rasulullah SAW, ratusan ribu hadis, baik berupa perkataan maupun perbuatan beliau,
telah diriwayatkan para sahabat dan ahli hadis. Awalnya, dari satu sumber (Rasulullah), namun
akhirnya disampaikan secara berbeda-beda. Karena itulah kemudian muncul berbagai istilah hadis
Nabi. Ada yang hadisnya mutawatir, ahad, sahih, hasan, dan daif.
Bila dilihat dari kuantitas (jumlah) perawinya, dikenal dengan hadis mutawatir dan ahad. Mutawatir
artinya hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi yang kedudukannya diakui banyak ulama dan
ahli hadis lainnya. Sedangkan, hadis ahad diriwayatkan oleh sedikit perawi.
Begitu pula bila dilihat dari kualitas para perawinya, hadis terbagi bermacam-macam. Ada hadis yang
sahih (benar), hasan (baik), dan daif (lemah). Namun, ada pula hadis yang diterima (maqbul) dan
tertolak (mardud). Karena itu, ada hadis yang diakui sebagai hadis dan ada pula yang tidak diakui
sebagai hadis (palsu). Wa Allahu A'lam.
Imam Bukhari: Pemimpin dalam Ilmu Hadis
By Republika Newsroom
(dia/berbagai sumber)
Senin, 06 April 2009 pukul 09:41:00

USNA.EDU
Sebelum menetapkan sebuah hadis menjadi
sahih, Bukhari senantiasa menelitinya, mulai dari
kualitas hadis, jumlah periwayat (perawi),
keadilan dan tingkat hafalan periwayat, hingga
mutawatir (bersambung) ke Rasulullah.
Imam Bukhari dikenal sebagai seorang ulama dan
ahli dalam ilmu hadis. Ketelitian dan
kecermatannya untuk mengumpulkan hadis-hadis
sahih telah diakui para ulama. Bahkan, kitab
hadis yang disusunnya (Sahih Bukhari) menjadi
rujukan hampir semua ulama di dunia. Nama besarnya sejajar dengan para ahli hadis yang pernah ada
sepanjang zaman. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-
Mugirah bin Bardizbah al-Bukhari.
Dilahirkan di Bukhara, Samarkand (sekarang), Uzbekistan, Asia Tengah, pada 13 Syawal 194 H atau
bertepatan pada 21 Juli 810 M. Tak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya. Kemudian,
dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa pada suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi melihat
Nabi Ibrahim AS yang mengatakan, ''Hai Fulanah, sesungguhnya Allah telah mengembalikan
penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa.'' Ternyata, pada pagi harinya sang
ibu menyaksikan bahwa kedua mata putranya telah bisa melihat kembali.
Iman Bukhari kecil dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab Ast-Tsiqat, Ibnu
Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati-hati terhadap hal-
hal yang bersifat syubhat (samar) hukumnya, terlebih lagi terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah
seorang ulama bermazhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, yaitu seorang ulama besar
dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Sejak kecil, Imam Bukhari memang telah menunjukkan bakatnya yang cemerlang dan luar biasa. Dia
mempunyai ketajaman ingatan dan hafalan yang melebihi orang lain. Ketika berusia 10 tahun, Bukhari
selalu datang dan mempelajari ilmu hadis kepada ad-Dakhili, salah seorang ulama yang ahli dalam
bidang tersebut. Setahun kemudian, ia mulai menghafal hadis Nabi SAW dan sudah mulai berani
mengoreksi kesalahan dari guru yang keliru menyebutkan periwayatan hadis. Pada usia 16 tahun, dia
telah menghafal hadis-hadis yang terdapat dalam kitab karangan Ibnu Mubarak dan karangan Waki' al-
Jarrah.

Penelitian hadis
Guru-guru Imam Bukhari dalam bidang hadis sangat banyak. Ada yang
menyebutkannya hingga mencapai lebih dari seribu orang. Imam
Bukhari sendiri pernah mengatakan bahwa kitab al-Jami' as-Sahih atau
yang terkenal dengan nama Sahih al-Bukhari disusun sebagai hasil dari
menemui 1.080 orang guru ahli (sarjana) dalam bidang ilmu hadis.
Dalam mengambil sebuah hadis, Bukhari sangat hati-hati. Ia tidak mau
asal mengambil sebuah hadis sebelum diteliti tingkat kesahihannya.
Bagaimana kualitasnya, siapa perawinya, adil atau tidak perawi
tersebut, dan apakah hadis itu bersambung ke Rasulullah SAW atau
tidak? Jika hadis-hadis yang diterimanya tidak sampai bersambung
(mutawatir), ia akan meninggalkannya walaupun dalam periwayatannya
terdapat imam atau sahabat terkenal.
Karena itulah, ketelitiannya dalam menempatkan sebuah hadis
menjadikan dirinya sebagai orang yang hati-hati. Hadis yang diakui oleh imam hadis lainnya, seperti
Imam Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, dan Ahmad, belum tentu sahih menurut Bukhari. Dan,
karena itu pula, kitab Sahih Bukhari yang ditulisnya menjadi rujukan pertama banyak ulama sebelum
mengambil hadis sahih dari imam yang lain.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadis sahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun
lamanya. Ia mengunjungi berbagai kota guna mendapatkan keterangan yang lengkap tentang suatu
hadis, baik mengenai hadis itu sendiri maupun mengenai orang yang meriwayatkannya. Di antaranya,
ia melawat dua kali ke daerah Syam (Suriah), Mesir, hingga Aljazair. Kemudian, ia melawat ke Basra
empat kali. Lalu, menetap di Hijaz (Makkah dan Madinah) selama enam tahun dan berulang kali ke
Kufah dan Baghdad.
Dari pertemuannya dengan para ahli hadis tersebut, Bukhari berhasil memperoleh hadis sebanyak 600
ribu buah. Dan, 300 ribu di antaranya telah dihafal oleh Bukhari. Hadis-hadis yang dihafalnya itu
terdiri atas 200 ribu hadis yang tidak sahih dan 100 ribu hadis yang sahih. Karena itu, dalam kitab-
kitab fikih dan hadis, hadis-hadis beliau memiliki derajat yang tinggi.
Maka, tak mengherankan jika Imam Bukhari menjadi ahli hadis yang termasyhur di antara para ahli
hadis sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan
Ibnu Majah. Bahkan, sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fi al-Hadits (pemimpin
kaum Mukmin dalam ilmu hadis). Banyak ahli hadis yang berguru kepadanya, seperti Syekh Abu
Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr, dan Imam Muslim.

Sering difitnah
Kebesaran akan keilmuan beliau diakui dan dikagumi sampai ke seluruh dunia Islam. Di Naisabur,
tempat asal Imam Muslim--seorang ahli hadis yang juga murid Imam Bukhari--kedatangan Bukhari
pada tahun 250 H disambut meriah. Bahkan, juga oleh guru Imam Bukhari sendiri, Muhammad bin
Yahya Az-Zihli.
Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim menggambarkan, ketika Imam Bukhari datang ke
Naisabur, dirinya tidak melihat kepala daerah, para ulama, dan warga kota memberikan sambutan luar
biasa seperti yang mereka berikan kepada Imam Bukhari. Kemudian, terjadi fitnah yang menyebabkan
Imam Bukhari meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya di Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur, di Bukhara beliau disambut secara meriah. Namun, ternyata, fitnah
kembali melanda. Kali ini, datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli, yang
akhirnya gubernur ini menerima hukuman dari Sultan Samarkand (Uzbekistan) yang memerintah saat
itu, yaitu Ibn Tahir.
Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand, Imam Bukhari akhirnya menetap di
Samarkand. Sebelum ke Samarkand, ia singgah di sebuah desa kecil bernama Khartand untuk
mengunjungi beberapa familinya. Namun, di sana, beliau jatuh sakit hingga akhirnya wafat pada 30
Ramadhan 256 H atau bertepatan dengan 31 Agustus 870 M. dia/sya/berbagai sumber

Tokoh Utama Penghimpun Hadis Sahih


Di samping terkenal sebagai penghafal hadis, Imam Bukhari juga terkenal sebagai pengarang yang
produktif. Kitab al-Jami' as-Sahih atau Sahih al-Bukhari merupakan karangannya yang terpenting dan
terbesar dalam bidang hadis. Para ulama menilai bahwa kitab Sahih al-Bukhari ini merupakan kitab
hadis yang paling sahih. Karena kesahihan hadis-hadis yang dikumpulkannya, kitabnya senantiasa
menjadi rujukan para ulama hadis. Bahkan, setiap hadis yang diriwayatkannya sudah tidak diragukan
lagi kualitasnya.
Sesuai dengan namanya, kitab ini khusus memuat hadis-hadis sahih. Dari 100 ribu hadis yang
diakuinya sahih, hanya 7.275 buah hadis yang dimuatnya dalam kitab tersebut. Jumlah inilah yang
betul-betul diyakininya sebagai hadis-hadis sahih dan diakui pula oleh sebagian besar ahli hadis
kenamaan.
Ketelitiannya yang begitu tinggi dalam periwayatan hadis tersebut menyebabkan para ulama hadis
yang hidup sesudahnya menempatkan kitab Sahih al-Bukhari pada peringkat pertama dalam urutan
kitab-kitab hadis yang muktabar (terkenal). Mengenai ini, seorang ulama besar ahli fikih, yaitu Abu
Zaid Al Marwazi, menuturkan, ''Suatu ketika, saya tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka'bah) di
antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Di dalam tidur, saya bermimpi melihat Nabi SAW. Beliau
berkata kepada saya, 'Hai Abu Zaid, sampai kapan engkau mempelajari kitab as-Syafi'i, sementara
engkau tidak mempelajari kitabku?' Saya berkata, 'Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa yang Baginda
maksud?' Rasulullah menjawab, 'Kitab Jami' karya Muhammad bin Isma'il'.''
Beberapa orang ulama hadis berikutnya juga telah memberikan komentar (syarah) mengenai kitab
Sahih al-Bukhari ini. Kitab-kitab yang memuat syarah itu berjumlah 82 judul. Di antaranya yang
terkenal adalah kitab Fath al-Bari karangan Ibnu Hajar al-Asqalani yang terdiri atas 13 jilid besar.
Karya Imam Bukhari lain yang terkenal di antaranya adalah al-Jami' as-Sahih, at-Tarikh as-Sagir, at-
Tarikh al-Ausat, at-Tarikh al-Kabir, Tafsir al-Musnad al-Kabir, Kitab al-'Ilal, Kitab al-Du'afa, Asami
as-Sahabah, dan Kitab al-Kuna. Semuanya mengenai hadis. Tidak hanya mengenai hadis, ia juga
mengarang kitab mengenai akhlak, Kitab al-Adab al-Mufrad. Selain itu, ia menyusun kitab mengenai
akidah, Kitab Khalq Af'al al-Ibad.
Makanan Sebagai Obat di Era Peradaban Islam
By Republika Newsroom
(she/taq)
Kamis, 16 April 2009 pukul 11:26:00

Mengatur pola makan merupakan hal yang


sangat penting dalam ilmu pengobatan.

''Setiap penyakit ada obatnya,'' begitu bunyi


salah satu hadis Rasulullah SAW. Para dokter dan
ilmuwan Muslim di era keemasan telah berupaya
mencari dan menemukan beragam bentuk
pengobatan. Yang menarik, dokter-dokter Muslim
di zaman kejayaan peradaban Islam mampu
menjadikan makanan sebagai obat.
Menurut Prof Nil Sari dalam tulisannya bertajuk
Food as Medicine in Islamic Civilization, dokter
Muslim seperti Ibnu Sina (980-1037 M) dan Ibnu al-Baitar telah berhasil menjadikan makanan sebagai
obat. Avicena – begitu masyarakat Barat biasa menyubutnya -- pada abad ke-11 M sudah menulis
manuskrip tentang diet dan makanan sebagai obat.
Sang dokter memasukan resep makanan yang berkhasiat sebagai obat itu dalam ilmu kedpkteran.
"Dalam salah satu risalahnya, Ibnu Sina menetapkan enam aturan hidup sehat, salah satunya
menyatakan bahwa makanan berfungsi obat , melalui diet seimbang," ungkap Prof Nil Sari, keepala
Departemen Sejarah dan Etika Pengobatan dari Universitas Istanbul, Turki.
Para dokter Muslim di era keemasan telah menerapkan diet kepada para pasiennya. Makanan telah
menjadi bagian terpenting dalam pengobatan, bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi. "Mengatur pola makan merupakan hal yang sangat penting dalam ilmu pengobatan," papar
Prof Nil Sari.
Ilmuwan dan dokter Muslim al-Razi juga menekankan pentingnya penyembuhan penyakit melalui pola
makan. "Jika kamu dapat menyembuhkan seseorang dengan diet (mengatur pola makan), maka
jangan menyarankan pengobatan," ujar Prof Nil Sari mengutip pernyataan al-Razi.
Pemikiran dan gagasan dari para dokter Muslim terdahulu mengenai fungsi makanan sebagai obat
telah diterapkan masyarakat Muslim di era kekuasaan Kekhalifahan Usmani Turki. Menurut Prof Nil
Sari, prinsip kesehatan dan nutrisi seimbang dalam pengobatan Turki Usmani didasarkan pada teori
"unsur" dan "humours".
Prof Nil Sari mengungkapkan, tubuh manusia memiliki empat unsuratau sifat, yakni; panas, dingin,
basah, dan kering. Selain itu, dalam tubuh manusia juga terdapati empat zat cair atau humours, yakni
darah, dahak/lendir, cairan empedu kuning dan cairan empedu hitam.
Berdasarkan teori unsur dan humoural yang ada dalam tubuh manusia, makanan diklasifikan dalam
empat jenis. Menurut Prof Nil Sari, makanan dan minuman dapat mempengaruhi keseimbangan
humoural. "Makanan dan minuman secara alami membangkitkan darah. Karena penyakit juga terdiri
dari panas, dingin, kering dan basah, penyakit bisa dirawat dengan makanan atau pengobatan,"
ujarnya.
Makanan dan minuman yang berpengaruh dalam keseimbangan humoral juga diklasifikasikan
berdasarkan teori elemen seperti panas, dingin, kering, serta basah. Menurut Prof Nil Sari, penyakit
pun terdiri dari empat jenis, yakni panas, dingin, kering dan basah. ''Setiap penyakit ditangani dengan
makanan dan obat yang memiliki kualitas yang berlawanan,'' paparnya.
Menurut Prof Nil Sari, makanan dingin bisa membentuk dahak, conrohnya, ketimun, labu, serta selada.
Makanan dingin menyebabkan kelemahan. Makanan panas, lanjut dia, secara alami membentuk cairan
empedu kuning. Makanan panas adalah makanan yang mengandung rempah-rempah dan bumbu,
seperti jahe, lada, ketumbar kering, kayu manis, bawang serta bawang putih.
''Sedangkan makanan kering akan membentuk empedu hitam, itu karena sifatnya melankolis,''
paparnya. Makanan jenis ini, kata dia, bisa membuat seseorang yang kehilangan nafsu makan dan
sembelit. Makanan yang termasuk jenis itu antara lain; padi, kacang-kacangan dan daging kering.
Jenis makanan lainnya adalah makanan basah. Makanan jenis ini memiliki ciri tak terlalu berasa asin,
manis, asam atau pahit. Makanan ini dapat mengurangi efek. Mie dan bayam yang dimasak dengan
nasi dan daging merupakan contoh makanan basah.
Menurut Prof Nil Sari, makanan juga diklasifikasikan berdasarkan pencernaan, yakni makanan lembut
dan makanan Makanan lembut bisa membantu membantu mengusir residu dalam makanan.
Mengkonsumsi makanan lembut berfungsi untuk memanaskan darah serta memproduksi cairan
empedu kuning.
Makanan seperti ini, lebih banyak terkandung dalam sayuran (terutama lobak dan sawi), kaldu daging,
kuning telur, hati, daging domba dan kacang dan sup buncis, burung merpati muda, burung pipit, acarn
bawang, bawang putih, acar lobak dengan cuka, acar gula bit dengan sawi.
Prof Nil Sari menambahkan, makanan seperti roti gandum murni, buah yang masak di pohon, serta
buah ara matang bisa memberikan kekuatan penuh. Prof Nil juga memaparkan sayuran dan buahan
merupakan makanan yang menyembuhkan. Contohnya, buah ara, anggur yang masak penuh dan biji
merupakan makanan yang menyembuhkan dalam masalah ilmiah dan bisa dimakan dengan hemat.
dessy susilawati

Hidangan Ikan dan Burung Sebagai Obat


Pada abad 17 M, seorang penulis asal Turki, Evliya Celebi
mengungkapkan ada beberapa jenis daging burung dan ikan yang
biasa diberikan kepada pasien di Rumah sakit Fatih Sultan Mehmet
Han Mental dan di rumah sakit Bayezid di Edirne. Daging burung
dan ikan itu disajikan sebagai obat.
"Makanan lezat dari daging burung disediakan kepada pasien setiap
dua kali sehari,'' papar Prof Nil sari mengutip pernyataan Evliya
Celebi. Beragam jenis daging burung berkhasiat obat yang biasa
dihidangkan untuk para pasien itu antara lain; ayam hutan, burung
bulbul, burung pipit dan burung dara.
Daging burung itu dimasak dan dihidangkan untuk penderita cacat
dan merawat orang sakit. Menurut Prof Nil Sari, daging atau lemak
bisa diterapkan untuk obat luka luar dan dalam.Selain itu, daging
burung juga bisa digunakan untuk merawat penyakit otot dan sistem
kegelisahan serta meningkatkan kejantanan. Masing-masing spesies
burung memiliki efek yang berbeda-beda .
Contohnya, daging bebek bisa mengobati suara serak,
menghilangkan gas dalam perut, meningkatkan kejantanan, dan
menggemukkan dan memperkuat badan, ini juga baik untuk
membebaskan perasaan sakit berasal dari lemak. Lemak bebek
membersihkan dan mempercantik kulit.
Burung atau unggas kadang dimasak dengan rempah-rempah dan tumbuhan obat. Kaldunya dapat
dibuat dari ayam muda, ayam betina atau ayam jantan nutrisi keduanya dalam substansi dan sebuah
pengobatan, saat otak, testicles dan kotoran badan sedang diobati. Ayam jantan paling baik ayam yang
belum bisa kukuruyuk dan ayam betina paling baik itu yang belum menghasilkan telur.
Tak hanya itu, jenis ikan, seperti goby, turbot, belut, gurame, bass laut, tombak, mullet merah, ikan laut
plaice, ikan biru, ikan air tawar, picarel, mullet abu-abu, ikan lidah, two-banded air tawar, bonito, ikan
mackerel dan trout, dan juga ikan lumba-lumba bisa digunakan sebagai obat.
Jenis ikan yang paling baik untuk pengobatan adalah mullet merah, goby dan ikan kalajengking. "Ini
semua tertuang dalam buku medis dalam era Peradaban Islam. Yakni tentang ikan merupakan
makanan yang paling baik, di mana mereka menangkap, bagaimana memasak mereka, dan dengan
makanan apa ikan harus dimakan atau tidak," jelas Nil Sari.
Nil Sari menambahkan sejak ikan memiliki sifat dingin secara alami maka memiliki sifat tenang
dengan humours panas dan dengan demikian memiliki efek bermanfaat dalam kasus penyakit alami
panas. "Contoh, ikan baik untuk batuk kering, penyakit kuning, kelemahan, disentri dan fissurations.
Telur ikan memperbaiki kejantanan dan baik untuk batuk dan disentri," ujar Prof Nil Sari.
Teknologi Pembuatan Kulit Abad Petengahan
By Republika Newsroom
(she/taq)
Rabu, 15 April 2009 pukul 15:07:00

Perdagangan barang-barang terbuat dari kulit


begitu meluas di pertengahan abad ke-13M

Selain dikenal sebagai produsen tekstil ter-


kemuka, peradaban Islam di kekhalifahan juga
sangat masyhur dengan aneka produk kulit. Sejat-
inya, manusia telah mengenal dan menggunakan
kulit jauh sebelum industri tekstil berkembang.
Tak heran jika proses pengubahan kulit mentah
(skin) menjadi kulit (leather) pun berkembang di
setiap peradaban.
''Sejak abad ke-5 H atau 11 M, para perajin
Muslim telah berhasil meningkatkan teknik pabrikasi atau pembuatan kulit,'' ungkap Ahmad Y al-
Hassan dan Donarld R Hill dalam bukunya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated. Bahkan dari
merekalah muncul sejumlah kumpulan praktik-praktik pengerjaan kulit yang sudah terbukti kean-
dalannya.
Menurut al-Hassan dan Hill, teknologi pembuatan kulit yang dikuasai para perajin di kota-kota besar
Islam telah ditransfer kepada peradaban Barat. Sejak abad ke-11 hingga 19 M, prinsip dasar produksi
kulit masih menerapkan teknik-teknik yang dikembangkan masyarakat Muslim di era keemasan.
Industri kulit tumbuh sangat pesat di beberapa negeri Islam. ''Bahkan ada negeri Islam yang mampu
mengekspor aneka produk kulit dalam jumlah yang sangat besar,'' tutur al-Hassan dan Hill. Menurut
al-Hassan, sentra produksi pembuatan kulit yang paling penting di dunia Islam adalah Yaman. Selain
itu, ada beberapa kota lainnya seperti al-Tha'if di Hijaz serta Kordoba dan Maroko.
Kairo juga tercatat sebagai sentra perdagangan dan pabrikasi kulit. Sebenarnya, kata al-Hassan, hampir
seluruh kota di dunia Islam memiliki industri kulit. ''Sungguh perdagangan barang-barang terbuat
dari kulit begitu meluas di pertengahan abad ke-13 M,'' imbuh al-Hassan, seorang sejarawan sains
Arab pada Universitas Toronto.
Industri kulit menjadi sumber pendapatan bagi kota-kota Islam. Pada abad ke-13 M, pajak yang ditarik
dari industri penyamakan kulit di kota Aleppo tercatat melebihi jumlah total pajak dari industri-industri
yang lain. Menurut al-Hassan, dunia Islam di era kejayaannya telah mampu memproduksi aneka
produk dari kulot seperti; garmen, sandal, sepatu dan boot, tas, kantung, wadah air, emper, saringan,
instrumen musik serta banyak lagi.
Al-Hassan mengungkapkan, sebagian besar keahlian dan keterampilan membuat produk-produk kulit
itu telah diklasifikasikan dalam manual para muhtasib yang mengontrol mutunya. Dalam kitab
Ma'alim Al-Qurba (Tugas Muhtasib), dicontohkan, seorang muhtasib bertugas untuk memberi instruk-
si serta mengontrol kualitas alas kaki, dan spesifikasinya. Bahan kulit yang digunakan pun dipilih se-
cara ketat, yakni kulit yang telah disamak dengan baik.
"Mereka akan memberi peringatan bila penyamakan kulit dilakukan secara tak sempurna. Selain itu,
muhtasib juga akan menetapkan kualitas dan jenis benang hingga jarum yang akan dipakai,'' papar
al-Hassan dan Hill. Tak heran, jika kulitas aneka produk kulib buatan peradaban Islam dikenal sangat
berkualitas. Itu karena pembuatannya dilakukan secara profesional.
Menurut al-Hassan, salah satu produk penyamakan Arab yang paling terkenal adalah selempang kulit
dari Cordoba, Andalusia. Menurut al-Hassan, popularitas selempang dari Cordoba sangat dikagumi
dan dikenal di seluruh benua Eropa. Selempang itu sudah mulai diproduksi sejak abad ke-5 H atau ke-
11 M. Pengrajin kulit Muslim menggunakan kulit mouflon sebagai bahan dasarnya.
Al-Hassan dan Hill mengungkapkan, mouflon adalah kulit sejenis domba berbulu dengan tanduk sep-
erti biri-biri dan kulit seperti rusa jantan -- kini hidup di Korsika dan Sardinia. Menurutnya, orang-or-
ang Spanyol menggunakan prosedur yang berbeda untuk membuat barang-barang kulit.
Ada yang memproses penyamakan nabati dengan menggunakan sumac dan ada pula penyamakan
mineral menggunakan tawas. Saat itu, produk kulit yang sangat berharga berwarna merah tua.
Prosesnya didapat dari penyamakan dengan tawas, kemudian menyelupnya dengan bahan yang berasal
dari genus Kermes.
Selain itu, industri alas kaki seperti sepatu dan sandal juga merupakan industri termasyhur saat itu.
Misalnya dari Kordoba, teknik-teknik khusus yang mencakup penyamakan mineral, penyamakan
dengan sumac atau kombinasi keduanya, dan proses akhir menggunakan minyak. Industri itu kemudi-
an menyebar ke Maroko.
Dari kedua kota Islam itu, rahasia kerajinan kulit itu mulai tekuak dan menyebar hingga Eropa. "Tata-
han 'cordovan' dan 'morocco' yang digunakan pada sebagian barang kulit Eropa menyimbolkan alih
teknologi itu. Teknik itu masih tetap dipakai hingga abad ke-19," kata al-Hassan dan Hill. dessy susil-
awati
Proses Pembuatan Kulit
Mengolah kulit mentah menjadi kulit yang dikembangkan peradaban
Islam memerlukan beberapa tahapan. Dalam manuskrip-manuskrip
Arab tercatat ada tiga tahapan yang harus dilalui. Ketiga tahap pem-
buatan kulit itu antara lain, persiapan kulit mentah untuk disamak,
setelah itu dilakukan penyamakan, terakhir proses finishing kulit
yang telah disamak.
Persiapan Kulit
Kulit mentah atau jangat yang akan dibuat kulit harus dibusukkan.
Namun proses pembusukan ini harus ditunda dulu dengan menggun-
akan garam yang kita kenal sebagai bahan pengawet. Garam ini
kemudian ditaburi di atas jangat, setelah itu dijemur di bawah terik
matahari. Setelah jangat tersebut kering lalu dibawa ke penyamak.
Se telah itu, jangat direndam dengan air untuk menghilangkan kotor-
an hewan, tanah dan zat albumin.
"Lalu jangat tersebut direaksikan dengan kapur untuk membuka tek-
sturnya dan melunakkan rambut-rambut yang menempel, kemudian
rambut ini dihilangkan dengan kerokan khusus berbentuk cekung
berujung tumpul," jelas al-Hassan dan Hill.
Sisa daging yang mungkin masih melekat pada jangat tersebut, harus
dibersihkan dengan pisau daging bergagang dua yang dirancang khusus. "Penghilangan daging ini
ada kalanya memerlukan aplikasi perlakukan khusus yang disebut 'swelling' (pembengkakan),'' un-
gkap al-Hassan dan Hill.
Seperti dijelaskan di atas, teknik persiapan ini sangat bervariasi tergantung tipe jangat yang digunakan.
Persiapan yang dilakukan akan berbeda dan ada ciri khas dari masing-masing bahan yang digunakan.
Penyamakan
Setelah jangat dikeringkan dan bersih dari kotoran, rambut maupun daging sisa, barulah dilakukan
proses penyamakan. Proses ini bertujuan untuk mengubah jangat menjadi kulit. Penyamakan ini akan
mengubah zat-zat kimia yang ada pada jangat. Tentu saja ini bertujuan untuk mencegah penguraian
dan membuatnya tahan air, namun tetap mempertahankan strukturnya yang berserat.
"Proses penyamakan dibagi menjadi tiga bagian, pertama proses
minyak atau 'chamoising', kedua proses mineral atau 'tawing', dan
terakhir penyamakan nabati," papar Al-Hassan dan Hill. Menurut al-
Hassanl, metode ini telah digunakan para penyamak Muslim sejak
abad pertengahan. Biasanya mereka menggunakan secara terpisah
ataupun mengkombinasi tiga metode tersebut.
Proses minyak atau 'chamoising'. Pada proses ini jangat dilunakkan
menggunakan bahan-bahan berlemak. Hasil dari pelunakan tersebut
disebut 'chamoising'. Kata 'chamoising' ini berasal dari bahasa Prancis 'chamois' yang berarti kambing
gunung dari pegunungan Alpen. "Jenis kambing bisa jadi sangat tidak dikenal atau sukar diperoleh,"
jelas al-Hassan dan Hill.
Al-Hassan memperkirakan asal kata 'chamois' itu dari bahasa Arab yakni shahm, yang berarti lemak.
Penyamakan mineral atau 'tawing', dilakukan dengan tawas. Penyamakan mineral merupakan tahapan
penting dalam teknologi pembuatan kulit di dunia Islam. Teknik-tekniknya telah tertuang dalam
manuskrip-manuskrip Arab.
Dalam manuskrip Arab itu dijelaskan cara penggunaan tawas dan garam. Selain itu juga dipaparkan
berbagai penambahan bahan-bahan lain seperti barley atau gerst (jenis gandum yang dipakai untuk
membuat bir), tepung dan yoghurt. "Beberapa sumber Arab juga menjelaskan penyamakan menggun-
akan tawas yang diikuti pembaceman (impregnation) dengan lemak," kata al-Hassan dan Hill.
Namun, manuskrip-manuskrip Arab tersebut menyebutkan proses penyamakan yang terpenting adalah
penyamakan nabati. Dalam beberapa manual untuk para muhtasib -- pengawas perdagangan era abad
pertengahan -- dijelaskan bahwa untuk penyamakan kulit kambing, masyarakat pada era itu lebih
menyukai menggunakan tanaman qanat (Mimosa Nilotica) yang berasal dari Yaman dibanding berba-
gai jenis biji-bijian. Namun, sejumlah bahan nabati lain juga digunakan untuk penyamkan nabati, sep-
erti tanaman sumac (genus Rhus dari suku Anarcadiaceae).
Proses Akhir
Agar kulit tampak cantik dan menarik dilakukanlah tahap finshing (tahap akhir). Selain untuk mem-
perbaki penampilan, proses akhir ini juga berfungsi untuk memberikan sifat khusus. "Metode yang di-
pilih bergantung pada produk akhir dan termasuk juga penyelupan, sehingga didapatkan barang-
barang dalam rentang warna yang luas, meliputi merah, coklat, biru, hijau zaitun, kuning, dan hitam"
ungkap al-Hassan dan Hill.
Makna 'Permata' Alhambra
By Republika Newsroom
(yus/iol)
Jumat, 10 April 2009 pukul 07:33:00

DAYLIFE.COM
Tidak ada pemenang selain Allah . Demikian
frase dalam bahasa Arab yang kerap ditemui pada
ukiran dinding bangunan bersejarah peninggalan
Islam di Andalusia atau Spanyol.
Setidaknya, lebih dari 100 kali tulisan tersebut ter-
cantum sebagai hiasan dinding berbagai bangunan
yang ada. Ini bukan tanpa sebab, mengingat frase
tadi adalah motto dari Dinasti Nasrid yang pernah
berkuasa di Granada, Andalusia, sejak tahun 1238
hingga pengambilalihan oleh Spanyol pada 1492.
Selain itu, tulisan kebahagiaan abadi , juga turut mendominasi corak ukiran dinding. Ini adalah
semacam ungkapan harapan kepada Allah SWT bagi segenap penguasa Granada ketika itu.
Lainnya yakni pesan atau kalimat bijak mengenai esensi kehidupan dan hubungan dengan Sang Pen-
cipta. Semisal, Berhematlah dalam berkata-kala maka engkau akan menemukan kedamaian atau ber-
sukacitalah dalam kesenangan karena Allah akan menolongmu.
Demikian sekelumit gambaran keindahan kata, ukiran dan kaligrafi yang terdapat pada bangunan-ban-
gunan Islam di Spanyol. Sayangnya, sebagian besar belum sepenuhnya didalami maknanya, lantaran
masih sedikit dilakukan kajian.
Memang, hal tersebutlah yang selama berabad-abad lamanya, membuat para ilmuwan dan peneliti dari
seluruh dunia takjub. Kedalaman makna di balik ukiran-ukiran (kaligrafi) di dinding dan di langit-
langit Istana Alhambra, benar-benar memesona.
Oleh karenanya, sejumlah peneliti pun berinisiatif untuk membuat katalog sekaligus berusaha men-
guraikan maksud dari ukiran-ukiran tadi. Dari penjelasan seorang penyidik kajian Arab di Dewan
Peneliti Ilmiah di Spanyol, Juan Castilla, amatlah janggal bila di abad 21 ini, belum ada katalog yang
komprehensif yang menguak makna di balik ukiran maupun kaligrafi Islam itu.
Para peneliti lantas memakai berbagai perangkat teknologi canggih, antara lain kamera digital serta pe-
mindai laser tiga dimensi. Dengan teknologi ini, memungkinkan para peneliti membaca ukiran itu
tanpa perlu menyentuhnya.
Upaya itu tak lepas dari kendala. Banyak kaligrafi di Istana Alhambra yang terdapat di pilar tiang
penyangga sehingga menyulitkan untuk dapat dibaca dari bawah. Selain itu, banyak tulisan yang tak
sulit dibaca karena para pengukir masa lalu memakai huruf kursif.
Diharapkan, paling tidak katalog nanti dapat merangkum sekitar 65 persen dari ukiran dan tulisan kali-
grafi ini. Kemudian, para peneliti akan mencoba menerjemahkannya ke dalam bahasa Spanyol pada
akhir tahun ini, untuk kemudian dialihbahasakan ke bahasa Prancis dan Inggris.
Proyek tersebut direncanakan rampung tahun 2011, setelah mulai dikerjakan sejak tahun 2002 lalu.
Selama kurun waktu itu, sudah sebanyak 3.116 dari 10 ribu tulisan dan ukiran kaligrafi yang diketahui
maknanya.
Istana Alhambra dibangun pada abad ke-13 dan berada di wilayah selatan Granada. Istana tersebut
merupakan 'permata bagi Eropa' dari arsitektur Islam. Kini, istana tersebut dijadikan pusat pariwisata
yang paling menyedot perhatian dengan jumlah pengunjung 3,1 juta per tahun.
Sejak tahun 1236 M, kekuasaan Islam di Spanyol kian melemah. Wilayah Muslim yang semula meli-
puti hampir seluruh semenanjung Iberia, hanya tersisa wilayah Granada yang dipimpin Muhammad
ibn Alhamar.
Pada tahun 1497 Kerajaan Islam Granada jatuh ke tangan tentara gabungan kerajaan Aragon dan
Castilla (Isabella-Ferdinand). Mereka lantas mengusir orang-orang Islam untuk keluar dari tanah
Spanyol.
Al-Zarqali: Astronom Legendaris dari Andalusia
By Republika Newsroom
(hri)
Selasa, 07 April 2009 pukul 16:22:00
MUSLIMHERITAGE.COM
Arzachel. Begitulah masyarakat Barat biasa
menyebut al-Zarqali, seorang astronom Muslim
legendaris dari Andalusia. Kontribusinya bagi
pengembangan astronomi modern sungguh sangat
besar. Ia tak hanya menciptakan peralatan astro-
nomi berteknologi, namun juga sederet terori
penting.
Tak heran jika kemudian, masyarakat astronomi
modern mengabadikan namanya di salah satu
kawah bulan. Ia tercatat sebagai satu dari 24
ilmuwan Muslim yang diakui dunia sains mod-
ern. Al-Zarqali merupakan salah satu ilmuwan
yang lahir dari era kejayaan Islam di Spanyol Muslim alias Andalusia.
Sejatinya, ia bernama lengkap Abu Ishaq Ibrahim Ibnu Yahya al-Zarqali. Di dunia Islam, ia juga diken-
al dengan nama al-Zarqalluh atau al-Zarqallah. Dia terlahir di Toledo, Andalusia pada tahun 1029 M.
Al-Zarqali tumbuh besar ketika kejayaam peradaban Islam di Andalusia berada di tubir kehancuran.
Saat itu, Andalusia diserang pasukan Kristen dari berbagai penjuru. Pada akhir abad ke-11 M, pusat
peradaban Islam di Eropa itu nyaris jatuh dikuasai pasukan Kristen. Untunglah, pasukan tentara
Dinasti Murabbitun dari Maroko berhasil mematahkan serangan pasukan musuh.
Setelah kekuasaan Dinasti Murabbitun berakhir, peradaban Islam di Andalusia masih sempat bersinar
selama dua abad hingga pertengahan abad ke-13 M. Jauh sebelum al-Zarqali menjelma menjadi seor-
ang ilmuwan terpandang di Andalusia, peradaban Islam di wilayah itu telah memiliki sederet saintis
fenomenal seperti: Ibnu Firnas (wafat 887), penemu presawat terbang; al-Zahrawi (936-1013 M), seor-
ang dokter bedah; al-Dinawari seorang ahli botani; serta al-Majriti (wafat 1007 M) yang juga seorang
ilmuwan serbabisa.
Ilmu pengetahuan berkembang pesat di Andalusia, karena mendapat dukungan dari para penguasa.
Pada masa kekuasaan Khalifah al-Hakam II, Andalusia memiliki sekitar 70 perpustakaan umum. Tak
hanya sains yang berkembang, kota-kota di Andalusia pun menjelma menjadi metropolitan terkemuka.
''Saat itu, Andalusia merupakan kota yang paling berperadaban di Eropa.'' ujar T Burckhardt (1972)
dalam bukunya Moorish Culture in Spain. Perkembangan ilmu astronomi di era Kekhalifahan
Umayyah Spanyol mencapai puncaknya pada abad ke-11 dan 12 M. Ibnu Haitham menjadi salah seor-
ang astronom asal Andalusia yang pertama kali mengubah konfigurasi Ptolemeus.
Pada akhir abad ke-11 M, al-Zarqali alias Arzachel menjadi astronom kebanggaan peradaban Muslim
di Andalusia. Ia menemukan bahwa orbit planet itu adalah edaran eliptik bukan edaran sirkular. Selain
itu, ada pula astronom lainnya seperti Ibnu Bajjah serta Nur Ed-Din Al Betrugi alias Alpetragius yang
mengusulkan model-model planet baru.
Kehidupan al-Zarqali
Barron Carra de Vaux (1921) dalam bukunya bertajuk Les Penseurs de l'Islam menyebut al-Zarqali
dengan panggilan 'al-Nekkach' – pemahat logam. Sebelum dikenal sebagai seorang astronom, al-Zar-
qali memulai karirnya sebagai seorang mekanik dan pembuat kerajinan dari logam. Kemahirannya se-
bagai seorang mekanik membuatnya dipercaya untuk menjadi pegawai Ibnu Said di Toledo.
Pada 1060 M, al-Zarqali membuat peralatan observatorium astronomi yang didedikasikan untuk Yahya
Ibnu Abi Mansur. Awalnya, al-Zarqali memang menciptakan peralatan untuk para ilmuwan lain. Karya
ciptanya yang luar biasa akhirnya mengundang ketertarikan dari ilmuwan lain.
''Para ilmuwan lain akhirnya mengakui kehebatan intelektualitas al-Zarqali,'' papar Barron carra de
Vaux. Al-Zarqali terbilang unik. Dia adalah seorang saintis Muslim legendaris yang tak pernah belajar
secara formal. Bahkan, pada awalnya, al-Zarqali nyaris tak pernah membaca bahkan memegang buku
sekalipun.
Kalangan ilmuwan yang kagum dengan karya-karya al-Zarqali kemudian mendorongnya untuk belajar.
Mereka memberinya banyak buku. Al-Zarqali pun kemudian belajar secara otodidak. '' Dua tahun
kemudian, tepatnya pada 1062 M, dia menjadi anggota kumpulan para ilmuwan di Andalusia,'' Juan
Vernet dalam “Dictionary of Scientific Biography”
Setelah mensejajarkan dirinya dengan para ilmuwan lainnya, al-Zarqali tak lagi menciptakan peralatan
untuk saintis lain. Sang saintis mulai menciptakan penemuannya sendiri. Bahkan, al-Zarqali pun
mengajarkan ilmu otoddak yang dikuasainya. Sejak saat itulah, dia dikenal sebagai ilmuwan ter-
kemuka di Andalusia.
Salah satu penemuan al-Zarqali yang paling fenomenal adalah pembuatan jam di Toledo. Jam yang di-
ciptakannya itu masih bisa digunakan hingga tahun 1135 M. Penemuannya itu menarik perhatian Raja
Alphonso IV. Secara khusus Raja Alphonso mencari tahu bagaiama jam yang diciptakan al-Zarqali itu
bekerja.
Selain berhasil menciptakan jam air yang sangat mengagumkan, al-
Zarqali juga mampu membuat astrolab paling canggih dan akurat.
Atrolab yang ciptakannya tergolong paling bagus di antara astrolab
lain yang dibuat sebelumnya serta pada masa itu. Astrolab itu bisa di-
gunakan untuk beragam keperluan.
Astrolab ciptaannya bisa digunakan untuk mengamati siklus zodiak.
Selain itu juga bisa didesain secara khusus untuk mengukur garis
lintang dan memproyeksikan letak ekuator. Teknologi astrolab yang
dibuatnya juga bisa menentukan jam atau waktu.
Al-Zarqali begitu populer di dunia Barat. Selama berabad-abad, kary-
anya yang fenomenal, yakni Tabel Toledo begitu dikagumi
Masyarakat Kristen Barat. Hasil buha pikirnya itu begitu berpengaruh
bagi masyarakat Barat. Karyanya itu kemudian diterjemhakan ke
dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona. Karyanya al-Zarqali
itu mampu bertahan selama lebih dari dua abad.
Pengaruh al-Zarqali yang begitu kuat itu membuat table-table astronomi lainnya di Eropa didasarkan
pada hasil pengukuran al-Zarqali. Tabel Marseilles yang didasarkan pada Tabel Toledan buatan al-Zar-
qali juga diadaptasi ke meridian London, Paris dan Pisa.
Raymond dari Marseilles merupakan salah seorang yang pertama kali mengadaptasi tabel al-Zarqali di
Eropa yakni kota Marseilles. Leopold dari Austria, juga tercatat sebagai astronom Austria yang juga
terpengaruh dengan pemikiran al-Zarqali. Tak cuma itu, Tablas Alfonsinas yang dibuat Alfonso juga
didasarkan pada hasil kerja al-Zarqali.
Al-Zarqali tutup usia pada tahun 1087 M. Meski begitu, buah pikir dan karya-karyanya telah memberi
inspirasi bagi ilmuwan lain terutama di Eropa. Peradaban Islam masa kini sudah seharusnya menum-
buhkan kembali semangat dan perjuangan hidup seorang al-Zarqali. N heri ruslan

Kontribusi Sang Astronom


Selain berhasil menemukan fakta bahawa orbit planet itu adalah edaran eliptik bukan edaran sirkular,
al-Zarqali juga mampu mengoreksi data geografis yang dibuat Ptolemeus. Secara khusus, dia men-
goreksi panjang Laut Mediterania. Al-Zarqali juga mampu menemukan sejumlah fakta penting terkait
rahasia langit, seperti planet, bintang, bulan dan matahari.
Penemuan-penemuan yang diciptakannya ditulis dalam kitab berjudul “al-Safiha al-Zarqaliya” alias
Azafea. Dalam risalah itu tercatat sejumlah penemuannya seperti, astrolab universal, tabel 29 bintang
serta yang lainnya. Al-Zarqali dikenal sebagai seorang ilmuwan yang mampu menggabungkan kemam-
puan teknik dengan teoritik.
Dalam catatannya, al-Zarqali mengungkapkan adanya observatorium juga dibangun peradaban Islam
di Toledo serta Cordoba. Observatorium yang dibangun di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah
Spanyol itu diyakini keduanya telah menggunakan peralatan astronomi yang tercanggih di zamannya.
Beberapa diantaranya merupakan ciptaan al-Zarqali.
Ia juga tercatat telah menemukan salah satu peralatan komputer analog di era kejayaan Islam. Arz-
achel, demikian orang Barat biasa menyebut Al-Zarqali, berhasil menemukan Equatorium alat penghi-
tung bintang. Peralatan komputer analog lainnya yang dikembangkan A-Zarqali bernama Saphaea. Ini-
lah astrolabe pertama universal latitude-independent. Astrolabe itu tak bergantung pada garis lintang
pengamatnya dan bisa digunakan di manapun di seluruh dunia.

Anda mungkin juga menyukai