Anda di halaman 1dari 31

MODUL FIELD LAB

EDISI REVISI II

KIE: PEMBINAAN POSYANDU LANSIA
GUNA PELAYANAN KESEHATAN LANSIA








Tim Revisi:
Prof. Dr. HAA. Subijanto, dr., MS
Dhani Redhono H., dr., Sp.PD
Yoni Frista Vendarani

FIELD LAB
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2011

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA:
Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si
Vitri Widyaningsih, dr.
Anik Lestari, dr., M.Kes
Bagus Wicaksono, Drs., M.Si

















1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Tim Penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas tersusunnya modul Field Lab dengan topik Kie: Pembinaan
Posyandu Lansia Guna Pelayanan Kesehatan Lansia. Topik Field Lab ini
dikembangkan sebagai tuntutan kebutuhan materi pendidikan kedokteran
komunitas yang akhir-akhir muncul fenomena meningkatnya jumlah
kelompok Lansia baik yang potensial maupun yang sudah menderita
berbagai penyakit. Berdasarkan hal tersebut maka perlu bentuk modul
pembelajaran yang mendukung tercapainya kompetensi mahasiswa
kedokteran dalam hal penyuluhan kesehatan komunitas khususnya pada
penyakit degeneratif pada Lansia.
Akhir kata tim revisi modul Field Lab ini menghaturkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berkenan
membantu dalam penyusunan, penyempurnaan dan penerbitan modul
ini.

Surakarta, September 2011

Tim Penyusun


DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN....................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................ ii
KATA PENGANTAR...................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN......................................................... 1
BAB II. KAJIAN TEORI............................................................ 5
BAB III. PENCEGAHAN PENYAKIT
PADA KELOMPOK LANJUT USIA......................... 22
BAB IV. KAJIAN ILMIAH PEMBINAAN POSYANDU
LANSIA DAN PELAYANAN KESEHATAN
LANSIA....................................................................... 24
BAB V. STRATEGI PEMBELAJARAN.................................. 45
BAB VI. PROSEDUR KERJA................................................... 50
BAB VII. SKALA PENILAIAN................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA..................................................................... 53
LAMPIRAN






2
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penduduk usia lanjut ( yang kemudian disingkat lansia ) merupakan
bagian masyarakat yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kita.
Siapapun pasti akan mengalami masa fase lansia tersebut. Menurut data
Pusat Statistik, jumlah lansia di Indonesia pada tahun 1980 adalah sebanyak
7,7 juta jiwa atau hanya 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Pada
tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang
atau 8,9 persen. Dan data terbaru menunjukkan bahwa jumlah lansia di
Indonesia diperkirakan akan mencapai 9,77 % atau sejumlah 23,9 juta jiwa
pada tahun 2010 dan meningkat lagi secara signifikan sebesar 11,4 % atau
sebanyak 28,8 juta jiwa pada tahun 2020. Hal ini berkorelasi positif dengan
peningkatan kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat Indonesia
khususnya di bidang kesehatan yang ditunjukkan dengan semakin tingginya
angka harapan hidup masyarakat Indonesia. Pada tahun 1980, angka
harapan hidup masyarakat Indonesia hanya sebesar 52,2 tahun, Sepuluh
tahun kemudian meningkat menjadi 59,8 tahun pada tahun 1990 dan satu
dasa warsa berikutnya naik lagi menjadi 64,5 tahun. Diperkirakan pada
tahun 2010 usia harapan hidup penduduk Indonesia akan mencapai 67,4
tahun. Bahkan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 71,1 tahun.
Dengan data data tersebut, maka diperkirakan 10 tahun ke depan struktur
penduduk Indonesia akan berada pada struktur usia tua.
Isu sentral masalah kependudukan yaitu masih rendahnya kualitas
sumberdaya manusia usia lanjut (LANSIA) yang dipengaruhi langsung oleh
beberapa faktor, antara lain konsumsi makanan dan gizi, tingkat kesehatan,
tingkat pendidikan serta pengakuan masyarakat bahwa mereka masih
mempunyai kemampuan kerja dan pendapatan dari pensiunan yang masih
rendah. Konsumsi makanan dan gizi kurang (malnutrisi) masih dialami
oleh beberapa Lansia di Indonesia yang tersebar pada beberapa desa dan
daerah pinggiran kota. Kondisi yang demikian mengakibatkan masih
rendahnya derajat kesehatan masyarakat Lansia.
Pertambahan penduduk di Jawa Tengah telah berhasil diturunkan
dari 1,47 % pada tahun 1990 menjadi 0,91 % tahun 1995. Namun secara
absolut pertumbuhan penduduk tersebut masih relatif tinggi yaitu sebesar
196.758 jiwa per tahun. Dampak lebih jauh dari permasalahan
kependudukan adalah bertambahnya penduduk berusia lanjut dengan
kriteria :
rendahnya kualitas kesehatan Lansia yang disebabkan oleh rendahnya
pendapatan, disamping pendapatan itu sendiri belum merata diterima
setiap Lansia.
adanya tuntutan persediaan pangan disesuaikan dengan tingkat
kebutuhan kalori yang makin berkualitas bagi Lansia.

3
Permasalahan penduduk Lansia perlu ditangani dengan strategi
antara lain melalui pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi bersama-sama
dengan peningkatan prasarana dan pelayanan kesehatan yang di pusatkan
pada Posyandu. Strategi peningkatan kesehatan Lansia ini ditempuh
melalui penurunan angka kesakitan dan jumlah jenis keluhan Lansia.
Penurunan Angka Kesakitan Lansia (AKL) tidak hanya merupakan
tanggung jawab sektor kesehatan tapi merupakan tanggung jawab semua
sektor terkait.
Agar program penurunan AKL dapat dicapai secara efektif dan
efisien perlu didukung adanya data. POSYANDU LANSIA merupakan
sarana pelayanan kesehatan dasar untuk meningkatkan kesehatan para
Lansia. Gerakan Sadar Pangan dan Gizi (GSPG) juga merupakan wadah
lintas sektoral untuk melaksanakan keterpaduan unsur terkait dalam rangka
mendukung kesehatan para Lansia.
Berbagai kemitraan antara Pemda Kabupaten sebagai pelaksana
pembangunan daerah dengan pihak swasta maupun universitas telah ikut
berpartisipasi secara aktif dan bekerja sama dalam gerakan sadar pangan
dan gizi yang di khususkan bagi Lansia. Cita-cita pembangunan untuk
Lansia supaya tetap sehat, aktif dan produktif dapat terwujud di setiap
wilayah baik desa maupun kota. Untuk itu perlu keterlibatan mahasiswa
FK dalam upaya menyusun strategi pemberdayaan kaum Lansia khususnya
pada tingkat pelayanan kesehatan dasar berbasis masyarakat. Oleh karena
itu modul ini dimaksudkan untuk mengantarkan mahasiswa di lapangan
khususnya di Posyandu Lansia agar gambaran pemberdayaan kaum Lansia
yang tepat guna menjamin kelangsungan hidup sehat, aktif dan produktif di
masyarakat dapat terpenuhi.
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan diharapkan
mahasiswa dapat memiliki kemampuan:
a. Mampu memahami peran dan fungsi posyandu lansia.
b. Mampu menjelaskan cara pengisian dan penggunaan KMS lansia.
c. Mampu menjelaskan kelainan-kelainan yang sering terjadi pada
lansia beserta pencegahan dan pengobatannya.
d. Memahami tatalaksana Diet Lansia dan pola hidup sehat Lansia.
e. Melakukan penyuluhan kesehatan komunitas tentang manfaat
Posyandu Lansia dalam meningkatkan kesehatan Lansia.
f. Melakukan pengumpulan data tentang program posyandu,
prevalensi penyakit yang diderita lansia, serta upaya kuratif dan
rehabilitatif.
g. Melakukan penilaian status depresi lansia dengan menggunakan
Geriatric Depression Scale dan MMSE (mini mental state
examination).
h. Mampu melakukan pengamatan dan penilaian pada posyandu lansia
setempat dengan standar program posyandu lansia.

4
BAB II. KAJIAN TEORI

A. Etiologi
Proses menua (aging) adalah suatu keadaan alami selalu berjalan
dengan disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial
yang saling berinteraksi. Hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.
Masalah kesehatan jiwa lansia adalah salah satu problem kesehatan yang
sangat penting pada penatalaksanaan seorang geriatri dan psikogeriatri,
yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari
segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis,
sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6).
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah
kesehatan pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif
dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia.
Sementara Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang
mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek
promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang
menyertai kehidupan lansia.
Istilah Golongan usia lanjut (Lansia) diperuntukkan bagi mereka
yang telah berusia 60 tahun atau lebih. Sedangkan geriatri adalah orang usia
lanjut yang disertai dengan pelbagai penyakit kronik. Biasanya pada
golongan ini disertai dengan pelbagai masalah psikososial. Dengan
demikian tidak semua orang usia lanjut bisa digolongkan sebagai pasien
geriatri. Ciri Pasien geriatri adalah :
Memiliki tiga atau lebih penyakit kronis
Gejala penyakit yang tidak khas
Menurunnya beberapa fungsi organ tubuh.
Tingkat kemandiriannya berkurang.
Sering disertai adanya masalah nutrisi.
Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan
Psikogeriatri, yaitu:
Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin
meningkatnya usia.
Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif.
Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : a)
Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan
orang lain), b) Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan
kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya setelah
menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama,
setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain.
Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
(homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan /
kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek

5
psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif,
apatis dsb. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor
psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup,
kematian sanak keluarga dekat terpaksa berurusan dengan penegak
hukum, atau trauma psikis.
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan
jiwa lansia, yang hendaknya disikapi secara bijak sehingga para lansia
dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor
yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa
mereka adalah sebagai berikut :
Penurunan Kondisi Fisik
Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Perubahan Aspek Psikososial
Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat

Penurunan Kondisi Fisik
Pada saat seseorang memasuki masa lansia umumnya mulai
dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis ganda (multiple
pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi
fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia banyak mengalami
penurunan fungsi organ. Hal ini dapat menimbulkan gangguan atau
kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan selalu bergantung kepada orang lain. Agar
dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan
kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial.
Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik,
misalnya keseimbangan makan, tidur, istirahat dan bekerja.

Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti :
Gangguan jantung
Gangguan metabolisme, misal diabetes millitus
Vaginitis
Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu
makan sangat kurang
Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan
steroid, tranquilizer
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :

6
Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya
Pasangan hidup telah meninggal

Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses
belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara
fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang berakibat
bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua
fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang
berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya
tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai
sangat tua.
Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini
ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika
pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat
memberikan otonomi pada dirinya.
Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe
ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila
kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak
bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan
yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera
bangkit dari kedukaannya.
Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini
setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan
kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi
ekonominya menjadi morat-marit.
Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia
tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit
dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.

Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari

7
tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan
sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan,
kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah
orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari tipe kepribadiannya
seperti yang telah diuraikan.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental
setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu
dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada
yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua
dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-
masing sikap tersebut sebenarnya mempunyai dampak bagi masing-masing
individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan
diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup
lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan
pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk
mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau
tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara
berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan
pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya
agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan
kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan
pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing.
Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat
banyak jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis
dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada
lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada
alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua,
sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka
menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan
sebagainya.

Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak
fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan
kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran
sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering
menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu
mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih
sanggup agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika
keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan
orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta
merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga
perilakunya seperti anak kecil.

8
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya
lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran)
masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit,
sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care)
dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak
punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya
pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi
terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk
pemeliharaan dan perawatan bagi lansia disamping sebagai long stay
rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain
perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan
dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup
sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lain.
Studi epidemiologi kondisi dan keluhan rematik di pedesaan dan
kota menunjukkan bahwa di desa Kematren (Ambarawa) terdapat 27 %
menderita rematik dan di kota Semarang sebanyak 24.8 %. Organ yang
nyeri umumnya pada pinggang dan lutut. Semua keluhan rematik
meningkat dengan bertambahnya umur. Penyakit degeneratif sendi
(osteoartritis) merupakan jenis rematik yang paling sering diderita Lansia di
RSU Cipto Mangunkusumo (Jakarta), Karyadi (Semarang), Sutomo
(Surabaya) dan Moewardi (Surakarta). Hubungan rematik dengan gizi lain
terlihat pada korelasi positif dengan obesitas, konsumsi lemak dan garam
yang berlebihan (Darmojo, 1994).
Karakteristik Lansia merupakan data yang diperoleh melalui
wawancara, yang meliputi keterangan sosio-ekonomi dan pendidikan
Lansia pada saat mahasiswa melakukan Field Lab. Tingkat pendapatan
Lansia merupakan pendapatan keluarga dimana Lansia/responden
bertempat tinggal. Jika mempunyai pendapatan dari pensiunan, maka siapa
saja yang memanfaatkan uang pensiunan tersebut kemudian dikurangi
untuk hal tersebut, baru dihitung sebagai pendapatan Lansia.
Status gizi Lansia merupakan hasil pengukuran antropometri:
berat badan (kg)
tinggi badan kuadrat (m)
Ada lima kategori status gizi lansia, yaitu:
- Buruk
- Kurang
- Cukup
- Baik
- lebih
Status kesehatan lansia merupakan hasil pemantauan medical record
lansia yang ada pada buku kesehatan lansia di Posyandu.
Susunan menu makanan Lansia merupakan susunan hidangan yang
terdiri dari olahan berbagai macam resep masakan yang dipadukan dan

9
disajikan dalam waktu tertentu. Menu dapat terdiri dari dua macam
hidangan atau lebih misalnya makanan selingan beserta minumannya,
makanan lengkap (pagi, siang, malam), ataupun sebagai hidangan makanan
sehari-hari secara keseluruhan (Depkes, 1992). Pola konsumsi pangan
Lansia merupakan kebiasaan tentang makan dan jenis makanan yang
dikonsumsi oleh ibu Lansia sebagai refleksi dari keadaan lingkungan sosial
dan budaya setempat.
Materi penyuluhan Pembinaan Posyandu Lansia sampai saat ini
masih sedikit apalagi sekarang pembinaan harus bervariasi dan dapat
menjawab masalah yang dihadapi khalayak sasaran, serta masyarakat
mampu menerapkan informasi yang diterima. Hal ini ada kaitannya dengan
yang diungkapkan oleh Burger tentang mitos pemusatan. Mitos pemusatan
adalah kecenderungan untuk merencanakan segala sesuatu dari atas karena
menganggap orang atas adalah orang terdidik, dan karena pendidikannya
dapat lebih tepat menilai kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi.
Akibatnya paket penyuluhan Pembinaan Posyandu Lansia menjadi sesuatu
yang asing bagi masyarakat. Masyarakat lalu enggan menerapkan inovasi-
inovasi penyuluhan karena tidak sesuai dengan kebutuhan mereka (Hanim,
2004).
Penanganan lansia bisa dibedakan menjadi institusional dan non
institusional yang terdiri atas home care dan community care. Pada tataran
institusional peran pemerintah daerah sangat penting khususnya pada
pembuatan peraturan daerah dan kebijakan lain yang mendukung
peningkatan kesejahteraan lansia.
Salah satu propinsi yang sangat tanggap terhadap kesejahteraan
lansia adalah propinsi Jawa Timur yang sudah membuat Perda No. 5 Tahun
2007 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Perda ini kemudian ditindaklanjuti
dengan melakukan sosialisasi ke berbagai kabupaten/ kota di Jawa Timur.
Selain itu, dilakukan pendukungan anggaran dengan beberapa kegiatan
antara lain dengan pertama melakukan uji petik home care yakni pelayanan
lansia dalam keluarga sendiri. Kedua, jaminan sosial Lansia berupa bantuan
tunai bagi Lansia yang tidak produktif dan terlantar. Ketiga, pendampingan
Lansia. Keempat, sosialisasi Perda. Kelima, membentuk puskesmas santun
Lansia yakni dengan memberikan kemudahan bagi pasien Lansia. Salah
satu peran pentiung lain adalah penyediaan fasilitasi umum yang ramah
lansia, misalnya dengan tangga yang lump sum sehingga memudahkan
lansia yang dengan bantuan tongkat atau kursi roda untuk berjalan,
pegangan pada setiap sisi atau sudut tembok, trotoar khusus dan
sebagainya. Dukungan pemerintah daerah semacam ini akan memberikan
angin segar bagi penanganan lansia khususnya yang terlantar.
Peran masyarakat dalam penanganan lansia saat ini sangat penting,
terlebih karena struktur usia yang menua, menyebabkan jumlah lansia yang
tinggal dalam suatu komunitas meningkat dengan cepat, mencapai hampir
11%. Peran masyarakat yang terpenting adalah dalam pelayanan dan

10
pendampingan terhadap lansia baik yang produktif maupun non produktif
khususnya yang tinggal di luar panti.
Namun saat ini, dengan semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat
akan perlunya memberikan perhatian bagi lansia yang terlantar, banyak
kelompokkelompok atau yayasanyayasan tertentu yang mengkhususkan
diri untuk bergerak memberikan penyantunan bagi lansia yang terlantar.
Salah satunya adalah dengan mendirikan panti panti penyantun lansia.
Banyak panti yang memang bersifat sosial dan nir laba, hanya dengan
mengandalkan harapan pada donatur, namun tidak sedikit pula panti yang
lebih mirip dengan penitipan lansia dengan fasilitas yang sangat ideal.


































LANSIA
LANSIA TDK
POTENSIAL
LANSIA
POTENSIAL
Penguatan
Usaha Ekonomi
Produktif
Pelayanan
Kesehatan
P
E
M
E
R
I
N
T
A
H
Pelibatan dalam
masyarakat
Posyandu
Lansia
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
Di
dalam
Panti
Di luar
Panti
Jaminan
Kebutuh
an dasar
Jaminan
Kesehat
an
P
E
M
E
R
I
N
T
A
H
Jaminan
sosial
Jaminan
Kesehat
an
Pelayana
n &
pendam
Masyara
kat
Keluarg

11
B. Kebutuhan Hidup Minimal Penduduk Lanjut Usia
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak
terhadap sosial ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat maupun dalam
pemerintah. Implikasi ekonomis yang penting dari peningkatan jumlah
penduduk adalah peningkatan dalam ratio ketergantungan usia lanjut (old
age ratio dependency). Setiap penduduk usia produktif akan menanggung
semakin banyak penduduk usia lanjut. Lansia dibedakan menjadi menjadi
Pra Lansia ( usia 45 59 th ) , Lansia / eldery ( 60 69 tahun ) , Lansia/
Old ( 70 - 79 tahun ), Lansia / very old ( 80 90 tahun ). Pada masa Pra
lansia, secara fisik mereka masih aktif melakukan pekerjaan, namun dari
waktu ke waktu kondisi fisik dan psikisnya mulai menurun. Sedangkan
pada masa eldery mereka sudah mulai memasuki masa pensiun dan secara
psikis mulai merasakan kesepian karena semakin berkurangnya kegiatan
kegiatan yang bisa dia lakukan. Masa ini sangat berpengaruh terhadap
harapan hidup yang dimiliki oleh seorang lansia. Namun pada masa eldery
ini seorang lansia masih bisa secara mandiri melakukan kegiatan kegiatan
sehari harinya. Sedangkan pada masa old dan very old, seorang lansia
akan menjadi sangat tergantung pada orang lain khususnya keluarga
intinya. Secara lebih detail, kebutuhan lansia terbagi atas :
1. Kebutuhan fisik meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan.
2. Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati dan
mendapatkan perhatian lebih dari sekelilingnya.
3. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk berinteraksi dengan
masyarakat sekitar.
4. Kebutuhan Ekonomi, secara ekonomi, meskipun tidak potensial
lansia juga mempunyai kebutuhan secara ekonomi sehingga harus
terdapat beberapa sumber pendanaan dati luar, sementara untuk
lansia yang potensial membutuhkan adanya tambahan ketrampilan,
UEP (Usaha Ekonomi Produktif), bantuan modal dan penguatan
kelembagaan.
5. Kebutuhan spiritual
Selain itu, lansia mempunyai sifat psikis yang sangat khas yang
memberikan pengaruh terhadap perlakuan atau pelayanan seperti apa yang
seharusnya diberikan kepada lansia. Sifat psikis tersebut adalah :
a. Tipe kepribadian Konstruktif, pada tipe ini tidak banyak
mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
b. Tipe Kepribadian Mandiri , pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power syndrom, apabila pada masa lanjut usia
tidak diisi dengan kegiatan yang memberikan otonomi pada
dirinya.
c. Tipe Kepribadian Tergantung , pada tipe ini sangat dipengaruhi
kehidupan keluarga . Apabila kehidupan keluarga harmonis
maka pada masa lanjut usia tidak akan timbul gejolak. Akan
tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang

12
ditinggalkan akan menjadi merana apalagi jika terus terbawa
arus kedukaan.
d. Tipe Kepribadian Bermusuhan, pada tipe ini setelah memasuki
masa lanjut usia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya.
Banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan
secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonomi rusak.
e. Tipe Kepribadian Kritik Diri, tipe ini umumnya terlihat
sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau
cenderung membuat susah dirinya.













BAB III. PENCEGAHAN PENYAKIT DEGENERATIF
PADA LANSIA

Pemahanan terhadap jenis kondisi psikis Lansia akan membantu
menentukan bagaimana pelayanan yang dilakukan baik oleh keluarga,
masyarakat, maupun panti. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa
dengan semakin lanjutnya usia maka mengalami berbagai penurunan baik
secara fisik maupun psikis, mulai dari semakin lemahnya badan, semakin
berkurangnya fungsi fungsi panca indera. Secara psikis dengan semkin
lanjutnya usia maka sifat kekanakan dan ingin diperhatikan juga mulai
muncul sehingga apabila tidak dilayani dengan sabar dan telaten, maka
akan sering menimbulkan konflik antara lansia dengan sekelilingnya, baik
dari masyarakat dan keluarga. Sehingga menjadi hal yang sangat penting
untuk mengetahui bagaimana keinginan dan harapan yang ingin diperoleh
lansia.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Gati Setiti ( 2006 )
terhadap lansia di lima wilayah di Indonesia, menunjukkan beberapa
harapan yang ingin diperoleh lansia antara lain :
1. Harapan Lansia terhadap Kerabat/ keluarganya, pelayanan terhadap
lansia harus dilakukan dengan ikhlas dan wajar. Kerabat mau
mendengarkan dan menerima keinginan lansia dan menyikapinya

13
MASALAH
KESEHATAN
LANSIA
(Diagnosis
Penyakit
Degeneratif)

DATA
(Internet)
DATA
(Buku)
DATA
Hasil Lab
Bukti
KEPUTUSAN
MEDIS
DOKTER

dengan baik, bila terdapat perbedaan maka harus menyikapinya
dengan cara yang tidak menyinggung perasaan.
2. Harapan Lansia terhadap masyarakat, lansia tetap menjadi bagian
dari masyarakat dan dilibatkan dalam setiap kegiatan termasuk
memberikan pengalaman serta ilmu yang dimilikinya. Perasaan
dihargai menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga kondisi
psikis seorang lansia
3. Harapan Lansia terhadap pemerintah, agar mengembangkan
program ekonomi bagi lanjut usia potensial, memberi jaminan hidup
bagi lansia tidak potensial yang berasal dari keluarga tidak mampu,
jaminan kesehatan bagi lansia yang murah / gratis. Menyediakan
fasilitasi umum bagi lansia, membentuk wadah untuk bersosialisasi
bagi lansia misalnya dengan Posyandu Lansia, menyediakan panti
panti yang layak bagi lansia yang terlantar.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lansia masih mempunyai
harapan yang sangat besar untuk aktualisasi diri.






BAB IV. KAJIAN ILMIAH KESEHATAN LANSIA

Konsep Map







A. Permasalahan Kesehatan Lansia
Permasalahan yang sering timbul pada usia lanjut. Salah satunya
adalah depresi yang merupakan perasaan terasing (ter-isolasi atau kesepian)
adalah perasaan tersisihkan, terpencil dari orang lain, karena merasa
berbeda dengan orang lain. Yang dapat disebabkan karena:
1. Tersisih dari kelompoknya,
2. Tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya,
3. Terisolasi dari lingkungan,
4.Tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman,
5. Seseorang harus sendiri tanpa ada pilihan.

14
Hal-hal tersebut menimbulkan perasaan tidak berdayaan, kurang
percaya diri, ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lansia miskin,
post power syndrome, perasaan tersiksa, perasaan kehilangan, mati rasa dan
sebagainya. Seseorang yang menyatakan dirinya kesepian cenderung
menilai dirinya sebagai orang yang tidak berharga, tidak diperhatikan dan
tidak dicintai (Rasa kesepian akan semakin dirasakan oleh lansia yang
sebelumnya adalah seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan yang
menghadirkan atau berhubungan dengan orang banyak. Hilangnya
perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial yang terkait dengan
hilangnya kedudukan atau perannya dapat menimbulkan konflik atau
keguncangan. Masalah ini terkait dengan sikap masyarakat sebagai orang
Timur yang menghormati lansia sebagai sesepuh sehingga kurang bisa
menerima bila seorang lansia masih aktif dalam berbagai kegiatan
produktif), lebih jauh dinyatakan bahwa penyebab menurunnya kontak
sosial pada lanjut usia:
1. Ditinggalkan oleh semua anaknya karena masing-masing sudah
membentuk keluarga dan tinggal di rumah atau kota yang terpisah.
2. Berhenti dari pekerjaan (pensiun sehingga kontak dengan teman
sekerja terputus atau berkurang).
3. Mundurnya dari berbagai kegiatan (akibatnya jarang bertemu
dengan banyak orang).
4. Kurang dilibatkannya lanjut usia dalam berbagai kegiatan.
5. Ditinggalkan oleh orang yang dicintai: pasangan hidup, anak,
saudara, sahabat, dll.
Kesepian akan sangat dirasakan oleh lanjut usia yang hidup
sendirian, tanpa anak, kondisi kesehatannya rendah, tingkat pendidikannya
rendah, introvert, rasa percaya diri rendah, kondisi sosial ekonomi sebagai
akibat pensiun menimbulkan perasaan kehilangan prestise, hubungan sosial,
kewibawaan dsb. Jika lebih parah dapat berlanjut menjadi depresi.
Penelitian sosiologis pada tahun 2002 yang mengungkapkan bahwa
sebagian besar lansia mengaku merasa minder dan tidak pantas lagi untuk
aktif di masyarakat. Dalam hal ini, sebagai anggota masyarakat lansia telah
bertingkah laku sesuai dengan tuntutan dan opini masyarakat yang
mengalinasi mereka, walaupun konsekuensinya merasa kesepian dan
depresi.
Depresi adalah suatu bentuk gangguan emosi yang menunjukkan
perasaan tertekan, sedih, tidak bahagia, tidak berharga, tidak berarti, serta
tidak mempunyai semangat dan pesimis menghadapi masa depan. Depresi
adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (afektif,
mood) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah
hidup, perasaan tidak berguna dan putus asa. Untuk menduga seseorang
depresi adalah menanyakan adakah perubahan perasaan, perubahan
tingkahlaku dan keluhan yang bersifat fisik ? Misalnya adakah: perasaan
sedih atau putus harapan; pesimis; tingkat aktivitas rendah; kesulitan yang

15
bersifat motivasi; kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain; tidak
puas dalam berhubungan dengan orang lain; kecemasan sosial; tidak terlibat
dalam keluarga atau teman ; seperti biasanya; kesepian; merasa berdosa;
kehilangan kontrol kemampuan kontrol rendah; kelelahan fisik; gangguan
tidur; gangguan nafsu makan; gangguan konsentrasi, gangguan membuat
keputusan; keluhan fisik lainnya seperti: insomnia, kehilangan nafsu
makan, masalah pencernaan, dan sakit kepala.
Depresi merupakan kondisi yang mudah membuat lanjut usia putus
asa, kenyataan yang menyedihkan karena kehidupan kelihatan suram dan
diliputi banyak tantangan. Lansia dengan depresi biasanya lebih
menunjukkan keluhan fisik daripada keluhan emosi. Keluhan fisik sebagai
akibat depresi kurang mudah untuk dikenali, yang sering menyebabkan
keterlambatan dalam penanganannya. Sepertiga (33%) dari para janda/duda
akan mengalami depresi pada bulan pertama sepeninggal pasangannya, dan
separo dari mereka tetap depresi sesudah satu tahun. Janda/duda memiliki
tingkat depresi yang lebih tinggi daripada mereka yang masih berpasangan.
Banyak ahli dan peneliti yang menyatakan bahwa orang yang
menderita kesepian lebih sering mendatangi layanan gawat darurat 60%
lebih banyak bila dibandingkan dengan mereka yang tidak menderitanya,
dua kali lebih banyak membutuhkan perawatan di rumah, resiko terserang
influensa sebanyak dua kali, berisiko empat kali mengalami serangan
jantung dan mengalami kematian akibat serangan jantung tersebut, juga
berisiko meningkatkan mortalitas dan kejadian stroke dibanding yang tidak
kesepian.
Kriteria penilaian yang digunakan dalam menilai status depresi
lansia adalah Geriatric Depression Scale dan MMSE ( mini mental state
examination). Bila hasil skor lebih dari 5 dinyatakan depresi.
Tabel 1 Depression Scale dalam menilai depresi



















16
Tabel 2. Penilaian MMSE ( Mini Mental State Examination )

DAFTAR PERTANYAAN PENILAIAN
1. Tanggal berapakah hari ini?
(bulan, tahun)
0 2 kesalahan = baik
3 4 kesalahan = gangguan
intelek ringan
5 7 kesalahan = gangguan
intelek sedang
8 10 kesalahan = gangguan
intelek berat
Bila penderita tak pernah
sekolah , nilai kesalahan
diperbolehkan + 1 dari nilai di
atas
Bila penderita sekolah lebih
dari SMA, kesalahan yang
diperbolehkan 1 dari atas
2. Hari apakah hari ini?
3. Apakah nama tempat ini?
4. Berapa nomor telepon
Bapak/Ibu? (bila tidak ada
telepon, dijalan apakah rumah
Bapak/Ibu?)
5. Berapa umur Bapak/Ibu?
6. Kapan Bapak/Ibu lahir? (tanggal,
bulan, tahun)
7. Siapakah nama Gubernur kita?
(Walikota/lurah/camat)
8. Siapakah nama gubernur sebelum
ini? (Walikota/lurah/camat)
9. Siapakah nama gadis Ibu anda?
10. Hitung mundur 3-3, mulai dari
20!
Dari: Folstein and Folstein, 1990

Post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana penderita
hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (entah jabatannya atau
karirnya, kecerdasannya, kepemimpinannya atau hal yang lain), dan
seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Dalam
mailing list konseling, sebetulnya, secara umum syndrome ini bisa sebagai
masa krisis perkembangan. Gejala post power syndrome khususnya adalah
krisis yang menyangkut satu jabatan atau kekuasaan, terutama akan terjadi
pada orang yang mendasarkan harga dirinya pada kekuasaan.
Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang
sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang
yang berhasil melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan
dengan hati yang lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana
seseorang tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan
tuntutan hidup yang terus mendesak, dan dirinya adalah satu-satunya
penopang hidup keluarga, resiko terjadinya post-power syndrome yang
berat semakin besar.
Permasalahan lain adalah ada beberapa penyakit yang sering muncul
pada usia lanjut, yang disebut Geriatric Giant, yang terdiri dari:
1. Imobilisasi
2. Instabilitas dan jatuh
3. Inkontinensia urin dan alvi
4. Gangguan Intelektual (demensia)

17
5. Infeksi
6. Gangguan penglihatan & pendengaran
7. Impaksi (konstipasi)
8. Isolasi (depresi)
9. Inanisi (malnutrisi)
10. Impecunity (kemiskinan)
11. Latrogenesis (sering karena terlalu banyak obat)
12. Insomnia
13. Defisiensi imunitas
14. Impotensi

B. Perkembangan Penduduk Lansia dan Penyakit Degeneratif
Jumlah penduduk lanjut usia (usia 60 tahun keatas) di Indonesia
terus menerus meningkat. Pada tahun 1970 jumlah penduduk yang
mencapai umur 60 tahun ke atas (lansia) berjumlah sekitar 5,31 juta orang
atau 4,48% dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 1990 jumlah tersebut
meningkat hampir dua kali lipat yaitu menjadi 9,9 juta jiwa. Pada tahun
2020 jumlah lansia diperkirakan meningkat sekitar tiga kali lipat dari
jumlah lansia pada tahun 1990. Kantor Menteri Kependudukan/BKKBN,
1999 menyatakan bahwa pada tahun 1995 beberapa propinsi di Indonesia
proporsi lansianya jauh berada diatas patokan penduduk berstruktur tua
(yakni 7 %), yaitu antara lain : Daerah Istimewa Yogyakarta (12,5%), Jawa
Timur (9,46%), Bali (8,93%), Jawa Tengah (8,8%) dan Sumatera Barat
(7,98%). Data statistik menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia Indonesia
pada awal abad ke 21 ini diperkirakan adalah sekitar 15 juta orang dan pada
tahun 2020 jumlah lanjut usia tersebut akan meningkat sekitar 30 - 40 juta
orang.
Pembangunan telah meningkatkan usia harapan hidup penduduk
Indonesia, yang diiringi dengan meningkatnya jumlah dan persentase
penduduk Lanjut Usia. Hal ini sebagai prestasi sekaligus tantangan/beban.
Berbagai kebijakan dan pelayanan dilakukan oleh pemerintah maupun
masyarakat. Baik melalui sistem panti. maupun sistem non panti atau
berbasis masyarakat. Seperti PUSAKA (Pusat Santunan Keluarga), Day
Care Service maupun Day Care Centre. Sebagian pelayanan cukup
memadai, mulai kebutuhan dasar sampai penguburan. Walau demikian
masih banyak yang hanya memberi pelayanan permakanan dan
kerochanian. disampaing kendala dana dan petugas (Sri Gati Setiti , 2006)
Kondisi lanjut usia mengalami berbagai penurunan atau
kemunduran baik fungsi biologis maupun psikis, yang anantinya dapat
mempengaruhi mobilitas dan juga kontak sosial, salah satunya adalah
ISOLATION atau rasa kesepian (loneliness), atau terkucil atau merasa tidak
diperhatikan lagi atau yang lebih serius adalah depresi. Bersamaan dengan
peningkatan jumlah penduduk lanjut usia terjadi peningkatan hampir
mencapai 50% dari penduduk lanjut usia yang mengalami kesepian/

18
loneliness. Syukurlah kini perhatian masyarakat dan pemerintah sudah lebih
baik untuk mengusahakan bagaimana agar lansia tetap mandiri dan berguna
(Probosuseno. 2007).

C. Bentuk Strategi Pembinaan Posyandu Lansia
Dewasa ini Lanjut Usia yang tertangani melaui sistem panti hanya
15.000, sistem non panti 20.000. Secara keseluruhan yang tertangani hanya
2 % dari 2,3 juta Lanjut Usia. Gambaran diatas menegaskan bahwa
pelayanan belum maksimal. Mereka mengalami keterlantaran, ada yang
menjadi mengemis. Diantaranya terkena tindak kekerasan, oleh orang lain
maupun oleh kerabat sendiri.
Tuntunan agama dan nilai luhur menempatkan Lanjut Usia
dihormati, dihargai dan dibahagiakan dalam kehidupan keluarga. Dalam
berbagai budaya yang kita miliki, penanganan lanjut usia juga masalah
lainnya, diatur dalam tradisi masyarakat. Penanganan masalah sosial
merupakan bagian dari dan berakar pada nilai tolong menolong yang
dikenal hampir semua suku bangsa di Indonesia. Peran kerabat dalam
masyarakat di seluruh Indonesia mempunyai keterikatan yang sangat kuat,
sekaligus merupakan potensi masyarakat yang luar biasa, sebagai sumber
kesetiakawanan sosial yang mampu memecahkan permasalahan sosial yang
ada didaerahnya. Hal inilah yang perlu diangkat dan dikembangkan.
Pada tataran home care, peran keluarga sangat penting. Home care
pada dasarnya adalah bagaimana peranan keluarga dalam melakukan
perawatan dan pendampingan terhadap lansia. Indonesia sebagai Negara
dengan budaya timur yang kental memberikan perhatian dan penghargaan
lebih kepada orag tua yang sudah lanjut usia, dengan tetap mengajak
mereka tinggal di rumah keluarga sehingga dalam pemikiran timur bangsa
kita, sebenarnya anak merupakan bentuk asuransi non formal dari orang
tua. Dengan melakukan investasi berupa pengasuhan dan pendidikan,
orang tua berharap akan bisa mendapat imbal balik pengasuhan ketika
sudah memasuki usia tua. Bahkan sekarang ini masyarakat Eropa justru
ingin mencontoh Indonesia yang sangat memperhatikan para orangtuanya,
sehingga pola panti sudah mulai ditinggalkan dan membiarkan orangtuanya
tinggal di rumah sang anak. Home care ini mempunyai kelebihan dari sisi
psikis di mana orang tua akan merasa lebih nyaman dan enak tinggal dalam
rumah yang ditunggui oleh anak cucunya. Perasaan dihargai dan masih
dibutuhkan ini membuat usia harapan hidup meningkat secara signifikan.
Pola pelayanan home care ini juga mulai diterapkan oleh berbagai rumah
sakit, khususnya bagi pasien lansia yang sudah pada stadium lanjut
sehingga sulit untuk disembuhkan. Model pelayanan home care ini akan
meringankan pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh keluarga namun
kondisi kesehatan lansia tetap bisa dikontrol dengan baik.

19
Menurut Sri Gati Setiti (2006) dalam penelitiannya mengenai peran kerabat
dalam pelayanan lansia, diperoleh salat satu kesimpulan bahwa Pelayanan
Lanjut Usia oleh kekerabatan memiliki nilai budaya sebagai berikut:
a) Lanjut usia sebaiknya dirawat oleh anaknya/keluarga/kerabat, hal ini
pula yang ada dalam berbagai agama yaitu Birrul Walidain (Berbakti
pada orang tua ), karena pada dasarnya apa yang kita lakukan pada
orang tua kita, maka itulah yang akan kita terima dari anak anak kita.
b) Lanjut Usia yang tidak punya anak, sebaiknya dirawat oleh kerabat:
adik kandung/ sepupu, keponakan, cucu, dan lain lain;
c) Bilamana tidak memiliki kerabat, sebaiknya dirawat tetangga.
d) Bilamana tetangga tidak ada yang merawatnya, alternatif terakhir
dirawat di Panti Sosial Lanjut Usia
Hasil penelitian tersebut menunjukkan memang pelayanan terbaik
yang diberikan kepada lansia adalah pada keluarga dan kerabatnya. Namun
yang menjadi masalah/ kendala utama di sini adalah apabila anak / keluarga
lansia tersebut termasuk dalam keluarga kurang mampu, yang bahkan untuk
menghidupi dirinya sendiri saja tidak sanggup. Pada tataran ini yang lah
maka diperlukan adanya jaminan sosial bagi lansia.



Dalam kegiatan Posyandu lansia dibagi menjadi 10 tahap pelayanan,
yaitu:
1. Pemeriksaan aktifitas kegiatan sehari-hari / activity of daily living,
meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti makan / minum,
berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur dan buang air.
2. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan
mental emosional, dengan menggunakan pedoman metode 2 menit.
3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan
pengukuran tinggi badan dan dicatat pada grafik indek massa tubuh.
4. Pengukuran tekanan darah dengan menggunakan tensimeter dan
stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit.
5. Pemeriksaan hemoglobin.
6. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal
adannya penyakit gula.
7. Pemeriksaan adanya zat putih telur / protein dalam air seni sebagai
deteksi awal adanya penyakit ginjal.
8. Pelaksaan rujukan ke puskemas bila mana ada keluhan dan atau
ditemukan kelainan pada pemeriksaan pada nomor 1 hingga 7.
9. Penyuluhan bisa dilakukan didalam atau diluar kelompok dalam
rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai
dengan masalah kesehatan yang dihadapi oleh individu dan atau
kelompok usia lanjut.

20
10. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok usia
lanjut yang tidak datang, dalam rangka kegiatan perawatan
kesehatan masyarakat.
Pada saat pelaksanaan kegiatan Posyandu lansia, sering digunakan sistem
5 meja, yaitu :
Meja 1: Pendaftaran
Mendaftarkan lansia, kader mencatat lansia tersebut, kemudian
peserta yang sudah terdaftar di buku register langsung menuju meja
selanjutnya.
Meja 2 : Pengukuran tinggi, berat dan tekanan darah
Kader melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan
tekanan darah.
Meja 3 : Pencatatan (Pengisian Kartu Menuju Sehat)
Kader melakukan pencatatan di KMS lansia meliputi: Indeks Massa
Tubuh, tekanan darah, berat badan, tinggi badan.
Meja 4 : Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan perorangan berdasarkan KMS dan pemberian
makanan tambahan.
Meja 5: Pelayanan medis
Pelayanan oleh tenaga professional yaitu petugas dari
Puskesmas/kesehatan meliputi kegiatan: pemeriksaan dan
pengobatan ringan.
Ini adalah skema sistem 5 meja di Posyandu lansia:


















21
Bentuk KMS Lansia














22







23



















24
BAB V. STRATEGI PEMBELAJARAN

Strategi pembelajaran yang harus dilakukan mahasiswa:
1. Tahap persiapan:
Tiap Kelompok dipandu satu instruktur lapangan (dokter
Puskesmas/petugas).
Lokasi: 6 DKK yang mempunyai kerjasama dengan FK UNS
(Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Boyolali).
Pembagian kelompok dilakukan oleh pengelola Field Lab,
konfirmasi dengan DKK dan Puskesmas terkait.
Pembekalan materi dan teknis pelaksanaan diberikan pada kuliah
pengantar Field Lab, jadwal menyesuaikan dari pengelola KBK dan
Pengelola Field Lab FK UNS.
Pada saat kuliah pengantar dilakukan pretest untuk mahasiswa.
Sebelum pelaksanaan, diharap mahasiswa melakukan konfirmasi
terlebih dulu dengan instruktur lapangan (nomor telepon instruktur
lapangan tersedia di Field Lab).
Tiap mahasiswa membuat cara kerja, ditulis di buku tulis, singkat
dan jelas, sebelum pelaksanaan diserahkan pada instruktur lapangan
untuk diperiksa. Adapun isi lembar kerja:


I. Tujuan Pembelajaran
II. Alat/Bahan yang diperlukan
III. Cara Kerja (singkat)

2. Tahap Pelaksanaan:
Pelaksanaan di lapangan 2-3 hari, sesuai jadwal dari tim pengelola
Field Lab FK UNS dan kesepakatan dengan Puskesmas.
Pertemuan I : Perencanaan dan persiapan KIE
Pertemuan II : Pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan
Pertemuan III : Pengumpulan laporan dan evaluasi
Peraturan yang harus dipenuhi mahasiswa:
- Mahasiswa harus memakai jas laboratorium di lapangan,
jas lab dikancingkan dengan rapi.
- Mahasiswa datang sesuai jam kerja Puskesmas,yaitu pukul
07.30 menemui instruktur dan mengikuti kegiatan sesuai
arahan instruktur.
- Melaksanakan/mengikuti kegiatan KIE Posyandu Lansia
yang ada di wilayah kerja Puskesmas yang bersangkutan
dengan didampingi instruktur atau petugas puskesmas.
- Mahasiswa tidak diperkenankan melakukan Konseling
langsung pada sasaran/ pasien.

25
- Apabila pada hari tersebut tidak ada jadwal kegiatan KIE
Posyandu Lansia di Puskesmas yang bersangkutan,
mahasiswa mengikuti demonstrasi pelayanan kesehatan
Lansia di Puskesmas.
- Kelompok diperbolehkan mengganti hari untuk mengikuti
hari Posyandu Lansia dengan catatan tidak mengganggu
kegiatan pembelajaran lain di FK dan LAPOR pada
pengelola Field Lab/ Dosen pengampu/pembimbing topik.

3. Tahap Pembuatan Laporan
Tiap kelompok membuat laporan 2 eksemplar, 2-5 halaman (tidak
termasuk cover dan halaman pengesahan), hari ketiga kegiatan harus
diserahkan instruktur lapangan untuk disetujui/disahkan, ditunjukkan
dengan lembar tanda tangan persetujuan instruktur lapangan Puskesmas dan
Fakultas. Jumlah laporan yang dikumpulkan untuk Puskesmas sesuai
kesepakatan dengan instruktur, sedangkan untuk FK UNS selain laporan
buku juga diwajibkan menyerahkan laporan berupa:
- Laporan bentuk CD dibuat dengan isi kelompok.
- CD dikumpulkan dengan diberi Label : Nama Kelompok, Lokasi
Field Labdan tahun pelaksanaan.


Format Laporan :
Halaman cover
Lembar pengesahan instruktur lapangan Puskesmas dan Fakultas
Daftar isi
I. Pendahuluan dan Tujuan pembelajaran
Uraikan secara singkat tentang KIE Posyandu Lansia dan tujuan
pembelajaran.
II. Kegiatan yang dilakukan:
- Pemeriksaan berat, tinggi badan dan tekanan darah
- Pengisian KMS
- Penyuluhan KIE
- Konsultasi dan terapi
- Pendataan prevalensi penyakit
- Senam lansia
III. Pembahasan
Berisi analisis SWOT (keberhasilan dan kendala program
pelaksanaan KIE Posyandu Lansia di Puskesmas setempat, peluang
pengembangan program, target posyandu, dll).
IV. Penutup
V. Daftar Pustaka



26
Tata Cara Penilaian :
Instruktur memberi penilaian kepada mahasiswa sesuai dengan cek list
yang ditetapkan dalam buku panduan.
Postest dilaksanakan di Fakultas Kedokteran sesuai jadwal pengelola
Field Lab.
Apabila mahasiswa tidak mengikuti salah satu dari 3 kegiatan Field
Lab (pretest, lapangan, postest) maka dinyatakan tidak memenuhi
syarat dan nilai akhir tidak bisa diolah.
Pretest dan postest susulan dapat diberikan pada mahasiswa yang tidak
dapat mengikuti karena sakit, ditunjukkan dengan bukti surat
keterangan sakit dari dokter atau rumah sakit. Mahasiswa ybs dapat
menghubungi pengelola Field Lab per topik secepatnya.
NILAI AKHIR MAHASISWA :
1 pretest + 1 postest + 3 pelaksanaan (daftar penilaian)
5
Batas nilai yang dinyatakan lulus adalah 70 %.
Bila ada mahasiswa mendapat nilai kurang dari 70 %, akan
dilakukan remidi yang akan dijadwalkan oleh Field Lab. Bila remidi
tidak lulus maka mengulang semester depan.
Nilai remidiasi maksimal 70.


BAB VI. PROSEDUR KERJA

Menghubungi pihak Puskesmas masing-masing untuk melakukan
kesepakatan pelaksanaan tugas Field Lab per topik dengan dokter
Puskesmas / Instruktur yang ditunjuk.
Menghitung jumlah sasaran Posyandu Lansia dan menentukan
target pelaksanaan KIE Posyandu Lansia. Target cakupan 80 - 100
%.
Menyiapkan kebutuhan peralatan peraga KIE Posyandu Lansia
untuk menyusun model pemberdayaan Lansia setempat.
Model Pemberdayaan Lansia yang dimaksud adalah meningkatkan
kemampuan deteksi dini penyakit pada Lansia di setiap Posyandu
Lansia.









SELAMAT MELAKSANAKAN KIE: POSYANDU LANSIA

NAMA PUSKESMAS: .................................................
NAMA DESA : .................................................
NAMA POSYANDU LANSIA: ...................................
JUMLAH TARGET : .....................................Orang Lansia/Posyandu
Jumlah Lansia sehat : ..................................... Orang
Jumlah Lansia sakit : ..................................... Orang

Alternatif Model Pemberdayaan Lansia : ................................................

..................................................................................................................



27

BAB VII. SKALA PENILAIAN KIE POSYANDU LANSIA
No. Keterangan 0 1 2 3 4
1. Persiapan
Membuat rencana kerja KIE
Mengikuti kegiatan bimbingan dari
instruktur di Puskesmas

2. Sikap dan tingkah laku
Menunjukkan kedisplinan (datang
tepat waktu)

Menunjukkan kesiapan dan sikap
bersungguh-sungguh dalam
mengikuti setiap kegiatan

Menunjukkan penampilan rapi dan
sikap sopan kepada staf Puskesmas
dan masyarakat

3. Pelaksanaan
Menghitung jumlah sasaran dan
target cakupan posyandu

Menyiapkan materi penyuluhan dan
kegiatan posyandu

Presentasi KIE Lansia
Memberi penjelasan terhadap
pertanyaan yang diajukan peserta
posyandu

Mengikuti kegiatan pemeriksaan
tekanan darah dan berat badan

Melengkapi pengisian Geriatric
Depression Scale dan MMSE

Mengikuti kegiatan: senam lansia
Mengikuti konsultasi dan pemberian
obat pada lansia

4. Laporan
Hasil laporan kegiatan
Menganalisis kesesuaian program
posyandu lansia di puskesma
setempat

JUMLAH NILAI

Keterangan
Tatacara penilaian dengan grading 0-4
0 : tidak melakukan
1 : melakukan kurang dari 40%
2 : melakukan 40-60 %
3 : melakukan 60-80 %
4 : melakukan dengan sempurna 80-100%


Jumlah Nilai
NILAI : -------------------- X 100 % = ........................%
60






28
DAFTAR PUSTAKA

Depsos RI. 2009. Dukungan Kelembagaan Dalam Kerangka Peningkatan
Kesejahteraan Lansia. Kantor Urusan Pemberdayaan Lansia,
Depsos. RI. Jakarta. www.depsos.go.id.

Folstein, M.F., Folstein, S.E., and McHugh, P.R. 1975. Mini Mental
State: A practical method for grading the cognitive state of patient
for the clinician. J. Of Psychiatris Research, 12: 189-198.

Hanim, D. 2004. Pemberdayaan Perempuan Lansia Untuk Peningkatan
Status Gizi. Laporan Penelitian. Surakarta: LPPM UNS.

Probosuseno. 2007. Mengatasi Isolation pada Lanjut Usia.
www.Geriatric&InternalMedicineConsultation.Medicalzone.

Sri Gati Setiti. 2006. Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan ( Studi
Kasus Pada Lima Wilayah Di Indonesia). www.depsos.go.id.




Foto Kegiatan





















Pengarahan dari instruktur Memberi penyuluhan kepada warga
Peserta penyuluhan Instruktur dari Puskesmas

29













































30

Anda mungkin juga menyukai