Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Setiap organisasi, baik profit maupun nonprofit, mempunyai keinginan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan manfaat bagi semua orang yang membutuhkan produk maupun jasanya. Selain itu, organisasi/perusahaan juga bertujuan untuk. Dapat memberikan kepuasan yang terbaik kepada publiknya dengan budget yang dimiliki. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sebuah organisasi atau perusahaan dapat melakukan berbagai upaya agar semuanya dapat berjalan dengan lancar. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh sebuah organisasi atau perusahaan untuk mencapai keuntungan yang diinginkan, salah satunya dengan bekerja sama atau berkolaborasi dengan pihak lain. Dengan berkolaborasi akan banyak manfaat yang didapat oleh organisasi atau perusahaan. Selain itu organisasi atau perusahaan juga dapat melakukan jejaring atau networking agar usaha untuk mendapatkan keuntungan dapat dijalankan dengan maksimal. Untuk pembahasan mengenai kolaborasi dan jejaring kerja, akan dikupas lebih dalam lagi dalam makalah ini. Seperti apa kolaborasi itu dan bagaimana kolaborasi dapat dijalankan dengan baik agar profit yang diperoleh dapat maksimal. Selain itu juga dalam makalah ini akan merinci lebih dalam lagi mengenai jejaring kerja. Apa manfaatnya bagi perusahaan dan keuntungan seperti apa yang akan didapat oleh perusahaan jika melakukan jejaring kerja atau networking.

1.2. Tujuan penulisan Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai kolaborasi dan jejaring kerja, serta diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

1.3

Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu deskripsi,

dengan menggunakan beberapa kajian teori, data dan sumber yang di dapat penulis melalui proses membaca, dan informasi dari berbagai media informasi khususnya internet. 1.4 Sistematika Penulisan Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 1.2 Latar Belakang Tujuan Penulisan

1.3 Metode Penulisan 1.4 Sistematika Penulisan BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Lobi, Negosiasi dan Diplomasi 2.1.1. Lobi 2.1.2. Negosiasi 2.1.3. Diplomasi 2.2. Cara Membedakan Lobi, Negosiasi dan Diplomasi 2.3 Kaitan Lobi, Negosiasi, dan Diplomasi 2.4 Model hubungan antara lobi, negosiasi dan diplomasi 2.5. Hubungan antara lobi, negosiasi dan diplomasi terhadap komunikasi BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kolaborasi Definisi kolaborasi menurut Edward M marshal, PhD dalam bukunya Transforming The Way We Work: The Power of the Collaborative Work Place, ia mengatakan bahwa: Kolaborasi adalah proses yang mendasar dari bentuk kerjasama yang melahirkan kepercayaan, integritas dan terobosan melalui pencapaian konsensus, kepemilikan dan keterpaduan pada semua aspek organisasi. It is a principle based process of working together, wich produces integrity and breakthought result by building true concensus, ownership, and aligment in all aspects of the organization. Kolaborasi adalah pendekatan utama yang akan menggantikan pendekatan hirarki pada prinsip-prinsip pengorganisasian untuk memimpin dan mengelola lingkungan kerja pada abad 21. Collaboration is the premier candidate to replace hierarchy as the organizing principle for leading and managing the 21st century workplace.

2.1.1

Lima Komponen Utama Dalam Kolaborasi

Berikut adalah komponen-komponen yang harus diperhatikan dalam kolaborasi: 1. Collaborative Culture. Seperangkat nilai-nilai dasar yang membentuk tingkah laku dan sikap bisnis. Di sini yang dimaksudkan adalah budaya dari orang-orang yang akan berkolaborasi. 2. Collaborative Leadership. Suatu kebersamaan yang merupakan fungsi situasional dan bukan sekedar hirarki dari setiap posisi yang melibatkan setiap orang dalam organisasi.

3. Strategic Vision. Prinsip-prinsip pemandu dan tujuan keseluruhan dari organisasi yang bertumpu pada pelajaran yang berdasarkan kerjasama intern dan terfokus secara strategis pada kekhasan dan peran nilai tambah di pasar. 4. Collaborative Team Process. Sekumpulan proses kerja non birokrasi dikelola oleh tim-tim kolaborasi dari kerjasama profesional yang bertanggung jawab penuh bagi keberhasilannya dan mempelajari keterampilan-keterampilan yang memungkinkan mereka menjadi mandiri. 5. Collaborative Structure. Pembenahan diri dari sistem-sistem pendukung bisnis (terutama sistem informasi dan sumberdaya manusia), memastikan keberhasilan tempat kerja yang kolaboratif. Para anggotanya merupakan kelompok intern yang melihat organisasi sebagai pelanggan dan terfokus pada kualitas di segala aspek kerjanya. (Endang Lestari dan Maliki, 2001) Dengan demikian, kolaborasi sebenarnya merupakan salah satu karakteristik dalam strategi negosiasi yang utamanya untuk mencapai kesepakatan bersama dari adanya kepentingan yang berbeda-beda dari pihak-pihak yang sesungguhnya mempunyai kepentingan yang sama atas suatu tujuan. Kunci dari keberhasilan kolaborasi adalah: "Jalan terbaik manakah yang akan kita tempuh untuk mencapai tujuan bersama". Organisasi secara keseluruhan harus saling mengisi kerangka budaya kerja, sehingga cukup kuat untuk menggantikan hirarki. Kerangka kerja tidak harus sebuah program atau teknik atau cara yang canggih untuk memanipulasi masa depan akan tetapi harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar, peningkatan hubungan kerja yang stabil, menolong menetapkan ketentuan-ketentuan baru, dan memampukan para manajer menggunakan nilai-nilai kebersamaan dalam pengambilan keputusan.

Terdapat tujuh nilai dasar (The seven core values) yang digunakan untuk mengembangkan hubungan kerja yaitu : 1. Menghormati orang lain (Respect for people). Landasan utama dari setiap organisasi adalah kepuasan masing-masing individu. Setiap orang yang akan berkolaborasi menginginkan posisi yang kuat dan adanya kesamaan.Mereka menginginkan kepuasan pribadi yang tinggi dan atau lingkungan kerja yang mendukung dan mendorong kepuasan Dirinya. 2. Penghargaan dan integritas rnemberikan pengakuan, etos kerja (Honor and integrity). Dalam banyak budaya, kehormatan integritas membentuk perilaku individu. Misalnya: budaya hara-kiri di Jepang sebagai akibat kurangnya rasa kehormatan diri dan integritas. 3. Rasa memiliki dan bersekutu (Ownership and alignment). Ketika semua pegawai merasa memiliki tempat kerjanya, pekerjaan dan perusahaannya maka mereka akan memeliharanya dengan baik. 4. Konsensus (Consensus). Ini adalah kesepakatan umum bahwa kegunaan yang amat besar adalah hubungan kerja yang dilandasi oleh keinginan untuk menang-menang (win-win amounts to). Dalam tempat kerja yang kolaboratif keputusan 100% harus fully agreed untuk mencapai win-win. Ini artinya mereka harus melalui ketidaksetujuannya sebagai usaha kuat dalam mencapai tujuan. 5. Penuh rasa tanggungjawab dan tanggunggugat (Full responsibility and Accountability). Dalam paradigma hirarki, orang menjadi tertutup satu dengan lainnya, karena uraian pekerjaannya, tugas-tugasnya dan karena unit organisasinya. Setiap orang kenyataannya hanya bertanggung jawab pada daftar tugas pekerjaannya.

Di tempat kerja yang kolaboratif, ditempatkan kembali konteks dari akuntabilitas. Ada beberapa tingkat akuntabilitas : a. Accountability as personal integrity-Akuntabilitas sebagai integritas seseorang b. Accountability as direct dealings-Akuntabilitas sebagai penawaran langsung c. Accountability as coaching and counseling-Akuntabilitas sebagai bukti kegiatan administratif, yaitu bahwa pertanggungjawaban penuh dan akuntabilitas itu sejajar yang merupakan integritas dari masingmasing individu dan integritas kolektif sebagai orang dewasa dan professional. 6. Hubungan saling mempercayai (Trust-based Relationship). Semua orang menginginkan adanya kepercayaan dan keterbukaan dalam bekerja, mereka juga ingin dipercaya. Akan tetapi kepercayaan tidak datang dengan mudahnya. Kenyataannya, banyak di antara mereka kurang saling mempercayai. Inilah yang menyulitkan dalam suatu organisasi. 7. Pengakuan dan pertumbuhan (Recognition and Growth) Hal terpenting dalam tempat kerja yang kolaboratif adalah mendorong orang untuk mau bekerja, dan segera memberi pengakuan terhadap hasil kerja seseorang bagi semua anggota tim atau kelompok, (Noorsyamsa Djumara, 2008).

2.1.2

Beberapa Pemikiran Tentang Kolaborasi

a. Perubahan total. Kolaborasi bukanlah sebuah program yang secara teknis untuk memecahkan masalah, tetapi merupakan perubahan total cara bekerja bersama. Artinya bersama-sama memikirkan, dan saling berperilaku baik terhadap satu sama lain.

b. Etos kerja baru. Kolaborasi merupakan etos kerja yang menghargai pemikiran, bahwa pekerjaan dapat diselesaikan bersama dengan orang lain secara bahu membahu. c. Sikap kebersamaan. Kolaborasi memiliki nilai-nilai dasar untuk membangun hubungan yang saling mempercayai. d. Pengambilan keputusan. Kolaborasi memberikan nuansa kerangka kerja kedekatan selalu keputusan bisnis atau keputusan organisasi baik itu keputusan mengenai strategi, pelanggan, masyarakat, atau sistem kerja melalui keikutsertaan pekerja dalam pelaksanaan. e. Suatu metode dan alat. Kolaborasi juga menghasilkan suatu metode dan alat yang membantu angkatan kerja untuk bersatu, memiliki rasa tanggung jawab mensukseskan usaha dan membantu suatu sistem organisasi yang menghasilkan kinerja yang baik.

2.1.3

Menciptakan Budaya Kolaboratif

Saling menghormati, percaya, dan jujur merupakan tiga unsur yang sangat penting untuk meraih keuntungan dari persaingan di tempat kerja yang semakin kacau. Bentuk manajemen commont and control yang menggunakan kekuasaan menciptakan budaya takut dan menghasilkan perilaku yang sudah dapat diduga. Karyawan dituntut untuk menerapkan peraturan yang tetap atau tidak tetap, akan tetapi produktifitas, energi dan loyalitas pada perusahaan akan berkurang atau bahkan menderita. Dalam melaksanakan pekerjaan orang-orang dapat mendiskusikan dan menyetujui menciptakan satu persetujuan baru yang akan diikuti oleh mereka untuk

menghasilkan rasa saling menghormati, percaya dan jujur dalam hubungan kerja diantara mereka. Beberapa hal yang diperlukan untuk menciptakan budaya kerja baru antara lain: 1. Principle based agreement (kesepakatan yang berdasarkan prinsip) Banyak organisasi yang kesepakatan dasarnya dilandasi oleh kekuasaan atau keputusan seseorang. 2. An explicit governance process (proses pengaturan yang tegas) Proses penciptaan budaya kerja harus terbuka. Tidak boleh ada rahasia, ada peraturan dalam lingkungan kerja yang biasanya tidak disebutkan, misal: kalau anda tidak menginjak saya, saya tidak akan menginjak anda, tidak mengherankan, jangan memandang saya sebagai pesuruh. Dalam menciptakan budaya kolaborasi, peraturan yang tidak ditulis, ditegaskan dan disetujui oleh setiap pihak. Dalam budaya kolaborasi tidak ada agenda rahasia dan tersembunyi. Dengan demikian orang tahu apa yang menjadi harapanya, dan mereka jadikan persetujuan dalam kesepakatan serta tanggung jawab secara penuh dalam pelaksanaanya. 3. A behavioral shift (perubahan perilaku) Setiap orang diikut sertakan dalam perubahan perilaku mereka secara bersama-sama baik sebagai individu maupun sebagai tim, kelompok, dan organisasi. Hal ini tidak mudah untuk mencoba dan percaya pada proses yang selama ini kita gunakan sebagai dasar dari budaya kekuasaan. Pada saat dalam keadaan posisi saling bersaing, nilai dan cara-cara tersebut sangat merugikan dan kita akan mendapat tantangan untuk merubah perilaku. 4. Operating agreement (kesepakatan operasi) Menetapkan peraturan perilaku sebagai ketentuan bagaimana kita akan bekerja bersama-sama, peraturan ini kita sebut sebagai operating agreement. Operating agreement akan menjadi budaya kolaborasi karena ia merupakan nilai dan kepercayaan anggota tim kelompok atau perusahaan. Cara penciptaan kesepakatan ini akan menjadi kunci dari nilai kunci peserta dalam

segala hal dan mengikat mereka sebagai nilai utama dari etika berkolaborasi, juga mendefinisikan kembali budaya kerja yang dapat merubah organisasi dengan hasil sebagaimana yang diinginkan dari perubahan perilaku yang diperlukan. Bilamana setiap anggota ikut bertanggung jawab atas perilakunya, maka sesungguhnya mereka dapat bertanggung jawab atas suksesnya organisasi.

2.1.4

Tahapan Proses Kolaborasi Proses kolaborasi meliputi tiga tahap yaitu:

1. Tahap I; Problem Setting; menentukan permasalahan, mengidentifikasikan sumber-sumber, dan sepakat untuk kolaborasi dengan pengguna jasa. 2. Tahap II: Direction Setting: menentukan aturan dasar, menyusun agenda dan mengorganisasikan sub-sub kelompok. Menyatukan informasi yang ada, meneliti pilihan, dan memperbanyak persetujuan yang diinginkan. 3. Tahap III; Implementation: ketentuan yang telah disepakati dan didorong oleh pihak dari luar telah dibangun, pelaksanaan persetujuan harus selalu dimonitor.

2.1.5

Kepemimpinan dan menciptakan tim kolaboratif a. Kepemimpinan Kepemimpinan kolaboratif adalah kepemimpinan yang efektif dalam

menetapkan

visi,

menyiapkan

energi,

menanamkan

rasa

kebersamaan,

mengoptimalkan potensi, serta menyadarkan setiap orang untuk bersatupadu dan saling bekerjasama untuk menghasilkan kinerja terbaik. Kolaborasi yang sempurna akan membuat organisasi mengorganisir dirinya sendiri melalui interaksi dan kreatifitas dalam perbedaan dan keragaman kepentingan kerja. Kejeniusan kepemimpinan untuk menjalankan organisasi atas dasar kekuasaan bersama dalam manajemen dua arah akan menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan minim konflik.

Kepemimpinan yang bekerja dalam budaya kolaboratif akan menciptakan jaringan kolaboratif organisasi yang menyatukan setiap individu dan kelompok untuk memenuhi kebutuhan daya tahan organisasi. Model organisasi yang kolaboratif akan menghasilkan lingkungan kerja yang saling percaya antara satu otoritas dengan otoritas lain di internal organisasi, dan yang saling memunculkan nilai-nilai kerja positif untuk keunggulan organisasi. Di tempat kerja yang kolaboratif, pimpinan lebih menonjol sebagai fungsi dari pada sebagai struktur yang hirarkis. Hal ini mengingat sifat kolaborasi itu sendiri yang lebih mementingkan rasa saling menghormati, keterbukaan, dan kepercayaan. Sepuluh langkah menuju kepemimpin yang kolaboratif: 1. Analisa nilai-nilai inti pada diri. Temukan apa yang membuat anda tergerak dengan cara menulis nilai-nilai apa saja yang anda miliki dan mengapa demikian. 2. Menilai keterampilan anda. Ketahui atau nilai kelebihan anda dalam bidang apa yang paling baik (pendidikan, kerja, keluarga, kepercayaan, interaksi sosial, politik, dll) 3. Merumuskan visi dan misi anda. Tentukan apa yang menjadi visi dan misi anda yang akan mengatur siapa kita dan apa yang akan anda kerjakan untuk beberapa tahun mendatang dari hidup anda. 4. Menetapkan kembali filosofi anda dalam memimpin dan mengatur hasil dari langkah ini adalah penetapan ulang mengenai pendekatan anda untuk bekerja dengan orang lain. Buanglah paradigma lama dan gunakan paradigma baru. Bersedialah untuk menerima feedback baik dari atasan maupun bawahan atau rekan sejawat. 5. Menilai perilaku anda. Datalah hasil penilaian perilaku anda. Mulailah untk mengenali hasil tertentu tentang perilaku anda di tempat kerja. 6. Menganalisa peran-peran anda 7. Menentukan pilihan.

Dengan adanya kelengkapan analisa, anda dapat menentukan cara untuk memperoleh keterampilan yang diperlukan. 8. Menetapkan tolok ukur dan mempelajari kembali umpan balik. Tetapkan patokan dan ukuran bagi diri anda. Mintalah kepada orang lain untuk memberikan feedback dengan alasan tepat. 9. Melaksanakan rencana tindakan anda Lakukan tindakan baru dengan bereksperimen. Kadang kala hal ini tampak menakutkan, namun harus dicoba, dan dilaksanakan dengan gigih.

10. Mengevaluasi dan merayakan kemajuan anda Setelah tiga bulan, Lakukan evaluasi atau peninjauan ulang atas kemajuan anda. Gunakan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan. Buat petanya dan rayakan kemenangan anda dengan rekan sekerja, keluarga, dan sahabat.

b. Menciptakan Tim Kolaboratif Ada delapan langkah pembentukan tim kolaboratif: Langkah 1. Menjelaskan tugas dan fungsi tim. Langkah 2. Menjelaskan peran dan tanggung jawab tim. Langkah 3. Membuat kesepakatan pelaksanaan. Langkah 4. Menciptakan anggaran dasar. Langkah 5. Mencari faktor penentu keberhasilan. Langkah 6. Mengembangkan rencana tindakan. Langkah 7. Memulai pengembangan keterampilan kolaboratif. Langkah 8. Membuat ukuran dan mengukur kemajuan. 2.1.6 Keuntungan Kolaborasi

1. Organisasi bekerja sama secara intern untuk bersaing secara ekstern. 2. Keputusan lebih cepat, kualitas lebih bagus dan terfokus pada pelanggan. 3. Keputusan dibuat berdasarkan prinsip pribadi, bukan kekuasaan pribadi. 4. Energi tenaga kerja terfokus pada pelanggan bukan pada konflik intern.

5. Siklus waktu berkurang secara subtansial, karena tidak ada nilai tambah yang dihilangkan. 6. Produktifitas tenaga kerja menjadi dua kali lipat. 7. Persejajaran stratejik yang mungkin gagal, namun berhasil memperoleh kepercayaan dan membuahkan hasil yang luar biasa. 8. Perputaran investasi meningkat tajam, dalam satu proses perubahan berskala penuh. 9. Waktu kontrol meningkat tajam. Misalnya beranjak dari perbandingan 1:5 menjadi 1:50. 10. Tenaga kerja memikul tanggung jawab penuh dan bisa

dipertanggungjawabkan demi sukses mencapai sasaran perusahaan. 11. Konflik berkurang karena hubungan kerja terbuka dan kepercayaan telah terbangun. 12. Perpaduan antara kolaboratif dengan kemitraan membuat setiap anggota menuju kearah yang sama. 13. Organisasi berswasembada dalam menunjang kemampuan perusahaan.

2.2. Jejaring Kerja (Networking)

Dalam jejaring kerja terdapat bermacam-macam model prilaku yang bermaksud mengembangkan dan memelihara hubungan dengan orang-orang penting yang dapat memberi informasi dan bantuan, baik dari dalam maupun luar organisasi. Pada umumnya, perilaku networking melibatkan bawahan langsung, pimpinan menengah maupun pimpinan puncak. Selain itu ada juga networking yang melibatkan orang-orang dalam organisasi manajer, seperti kawan sebaya, orang-orang muda sebagai bawahan, atau orang-orang yang lebih berpengalaman sebagai pimpinan. Ada juga networking yang mengikutsertakan orang luar organisasi (external networking). Misalnya dengan klien, pelanggan, dan penyalur.

Ada berbagai bentuk perilaku networking. Misalnya sosial networking termasuk di dalamnya diskusi/pembicaraan informasi yang tidak ada hubunganya dengan pekerjaan (misalnya olah raga, liburan keluarga dan hobi), sosialisasi, pertemuan atau kegiatan sosial, saling mengirim kartu atau surat, ikut serta dalam rekreasi dan aktifitas yang menyenangkan dengan orang lain (misalnya olah raga handsball, bowling, tenis atau golf, bahkan mungkin dansa), atau ikut dalam asosiasi profesional dan saling mengunjungi atau rapat sambil makan siang. Alat yang dapat dipergunakan untuk jejaring kerja adalah perilaku yang diharapkan dapat mengembangkan dan saling tukar menukar hubungan dengan manajer lain, sepertimemberikan bantuan dan bekerja dengan baik sehingga dapat menghasilkan penghargaan, serta membantu menyediakan informasi. Wayne E. Baker mengatakan jejaring adalah proses aktif membangun dan mengelola hubungan-hubungan yang produktif. Jejaring merupakan hubungan yang luas dan kokoh baik personal maupun organisasi. Sedangkan pengertian jejaring dalam organisasi adalah sesuatu proses pemeliharaan, penumbuhan serta pengintegrasian kemampuan-kemampuan terpilih, bakat-bakat, hubungan dan partner dengan cara mengembangkan kemitraan yang kreatif dan strategis bagi peningkatan kinerja organisasi.

2.2.1. Tujuan Pokok Membangun Jejaring

Craig Hickman dalam buku the fourth dimension, mengatakan bahwa tujuan pokok jejaring kerja adalah: 1. Menyatukan bakat, potensi, kemampuan, baik individu, kelompok, maupun seluruh jajaran organisasi sedemikian rupa sehingga tercipta kemampuan bersama yang makin besar. 2. Fokus yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan pokok, yaitu: Mempersatukan bakat, kecakapan, ketrampilan serta kemampuan lainya yang masih diperlukan organisasi. Bagaimana membina dan mengembangkan

hubungan untuk meningkatkan kemampuan bersama guna memcapai tujuan yang disepakati termasuk meningkatkan kesatuan dan persatuan organisasi. 3. Unsur pokok yang dapat membantu tujuan membangun jejaring ialah: a. Membina dan mengembangkan sumber daya manusia. b. Mengembangkan kemampuan organisasi. c. Mewujudkan pencapaian tujuan bersama. 4. Membantu mengembangkan berbagai ragam kemampuan anggota organisasi sehingga dapat mewujudkan peningkatan kemampuan di setiap jenjang organisasi secara menyeluruh. Untuk melakukan networking perlu

diperhatikan beberapa prinsip, yaitu: Hubungan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa berhubungan satu sama lain. Hidup manusia selalu tergantung kepada manusia lainya. Dengan demikian, hubungan merupakan kebutuhan dasar. a. Manusia cenderung berbuat sebagaimana yang diharapkan. b. Manusia cenderung berkumpul dengan orang yang mempunyai kesamaan. c. Interaksi yang berulang-ulang mendorong orang untuk bekerja sama. d. Dunia ini kecil. Sering dalam pergaulan manusia ditemui kata-kata atau istilah dunia ini kecil. Maksudnya manusia ini akan mudah mengadakan hubungan dan menjalin kerjasama. Untuk melakukan networking diperlukan prasyarat nilai-nilai pokok bagi keberhasilan networking (Prequisite core values for the success of networking), yang dapat digambarkan sebagai berikut: Individu (Individual) Antar Pribadi (Inter-personal) Manajerial (Managerial) Organisasi (Organizational) Kejujuran (Honesty) Kepercayaan (Trust) Pemberdayaan (Empowerment) Kemitraan (Alignment)

2.2.2

Pelajaran-pelajaran yang Dapat Diperoleh dari Jejaring

Pelaku jejaring adalah pengembang-pengembang yang mau belajar sepanjang hayatnya serta membangun hubungan-hubungan yang baik. Jejaring menggunakan kemampuan memelihara dan menyatukan untuk memilih kemampuan-kemampuan yang diperlukan, menemukan bakat-bakat dengan membina hubungan-hubungan serta kemitraan yang memberikan tambahan kemampuan. Secara konsisten mengembangkan bakat dan hubungan-hubungan menuju pada tercapainya kemampuan yang lebih tinggi baik individu maupun kolektif. Jejaring memdorong terciptanya kemampuan yang besar sebagai jalan terbaik untuk mencapai lebih keuntungan yang kompetitif dan keberhasilan ekonomi baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Networking smart dapat diciptakan dengan: 1. Membangun dan mengelola jejaring yang produktif, luas, kokoh, cerdas, cerdik, dan etis. 2. Mengembangkan hubungan yang baik bagi anda , bagi karir anda, bagi orang yang bekerja dengan anda, bagai organisasi anda dan bagi rekan anda. Namun demikian, sering terjadi jejaring karena ketidak sengajaan atau karena kekeliruan. Jejaring seperti ini disebut serendipity. Dalam melakukan kegiatan networking tidak terlepas dari adanya feedback dari orang lain atau dari networker. Hal ini demi berhasilnya networking yang akan dilaksanakan atau yang sedang dilaksanakan. Umpan balik ini penting terutama bagi orang-orang yang ikut serta dalam networking itu, agar yang bersangkutan lebih mengetahui apa kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Selain itu, dari feedback dapat diketahui tentang perilaku apa yang harus diubah dan perilaku apa yang dapat mempengaruhi networking atau perilaku orang lain terhadap diri kita.

Ada beberapa prinsip dalam memberikan dan menerima umpan balik yaitu: 1. Bagaimana memberikan umpan balik a. Perhatikan apakah orang bersangkutan bersedia menerima umpan balik atau tidak. b. Hanya mengenai perlaku yang dapat diubah. c. Gambarkan perilakunya yang dapat diubah. d. Jelaskan pengaruh perilakunya itu terhadap anda. e. Pastikan bahwa apa yang didengar orang sesuai dengan apa yang dimaksudkan. f. Dorong yang bersangkutan untuk mencek balikan terssebut kepada orang lain. 2. Bagaimana menerima umpan balik. Bila anda menerima umpan balik, jelaskan perilaku yang dimaksud. Tidak perlu bertahan atau menilai. Berikan pemahaman pokok anda mengenai balikan tersebut. Berbagi pikiran dan perasaan anda mengenai balikan tersebut. Umpan balik erat kaitanya dengan Johari Window, yang dikembangkan oleh Joe Luft dan Harry Ingham. Diagramnya merupakan sebuah jendela, oleh karena itu dinamakan Jendela Johari yang mencerminkan Jendela Komunikasi. Jendela johari dapat digunkan untuk mempelajari jenis kepibadian seseorang berdasarkan kemauan untuk memberi dan menerima baik informasi, maupun kritik. Jendela Johari merupakan hubungan dari: Saya tahu (ST) Saya tidak tahu (STT) Orang lain tahu (OT) Orang lain tidak tahu (OTT)

Gambar Jendela Johari

Jendela I Daerah ST-OT, daerah umum terbuka, daearah ideal. Jendela II Daerah STT-OT, daerah buta (mau mengkritik tetapi tidak mau menerima kritik) Jendela III Daerah STT-OTT, daerah tersembunyi (mau menerima kritik tetapi tidak mau memberi) Jendela IV Daerah STT-OTT, daerah gelap atau misteri (tidak mau menerima dan tidak mau memberi kritik, seolah-olah membentengi diri, tertutup, dan sangat misterius. Dalam proses memberikan dan meminta umpan balik, beberapa orang cenderung berbuat banyak dibanding yang lainya, dengan demikian menimbulkan ketidakseimbangan dari dua perilaku yang berbeda itu. Ketidakseimbangan itu mungkin sebagai konsekuensi dari keefektifan perorangan dalam kelompoknya dan angota-anggota kelompok memberikan reaksi terhadapnya. Keluasaan dan bentuk dari arena, menunjukkan adanya jumlah dari seluruh umpan balik dan rasio memberikan umpan balik versus permintaan umpan balik.

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Kolaborasi merupakan satu budaya baru di tempat kerja di mana setiap orang yang berada di tempat kerja tersebut memiliki sifat terbuka dan saling mau memberi serta menerima saran dan pendapat orang lain. Kolaborasi adalah proses mendasar dari bentuk bekerjasama yang menghasilkan kepercayaaan, integritas, dan terobosan, melalui pencapaian

konsensus, kepemilikan dan keterpaduan pada setiap aspek organisasi. Kolaborasi merupakan pendekatan utama yang menggantikan pendekatan hirarkis yang ada dalam prinsipprinsip pengorganisasian untuk memimpin dan mengelola lingkungan kerja abad 21 sekarang ini ada lima komponen utama dalam kolaborasi yaitu: collaborative culture, collaborative leadership, collaborative vision, collaborative team process, dan collaborative structure. Dalam mengembangkan kolaborasi perlu diingat adanya tuju nilai dasar yaitu: 1. Respect for people (saling menghormati) 2. Honor and integrity (penghargaan dan integritas) 3. Ownership and aligment (rasa memiliki dan bersatu) 4. Consensus (kesepakatan) 5. Trust best relationship (hubungan yang berdasarkan kepercayaan) 6. Full responsibility and accountability (tanggung jawab penuh dan tanggung gugat) 7. Recognition and growth (pengakuan dan pertumbuhan). Networking melibatkan bermacam-macam model perilaku yang bermaksud mengembangkan dan memelihara hubugan dengan orang penting yang dapat memberikan informasi dan bantuan. Apakah ia orang dalam maupun dari luar organisasi. Networking pada umumnya mengikutsertakan orang-orang yang langsung menjadi bawahan atau bos menengah, bahkan dapat juga bos yang paling atas. Pengertian networking sebagaimana diungkapkan oleh Wayne E. Barker adalah proses aktif membangun dan mengelola hubungan-hubunngan yang produktif, jejaring hubungan yang luas, kokoh, baik personal maupun organisasi. Pengertian nerworking dalam

organisasi

adalah

proses

pemeliharaan,

penumbuhan

serta

pengintegrasian

kemampuankemampuan terpilih, bakat-bakat, hubungan dan partner dengan mengembangkan kemitraan yang kreatif dan strategis bagi peningkatan kinerja organisasi DAFTAR PUSTAKA - Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Modul Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III Negosiasi Kolaborasi dan Jejaring Kerja, Jakarta: LAN. 2008. - Lestari Endang dan Maliki. Negosiasi Kolaborasi, Jejaring Kerja, 2001. - Djumara Noorsyamsa. Negosiasi, Kolaborasi, Jejaring Kerja, 2008. KOLABORASI Dunia sadar bahwa saat ini diperlukan adanya kerangka kerja baru yang menuntut manusia dalam perancangan dan penciptaan suasana kerja. Para pekerja itu adalah pekerja di bisnis murni atau yang dikenal dengan pekerja swasta maupun yang bekerja di bidang pemerintah atau dikenal sebagai pegawai negeri. Mereka ini harus bersatu dan memiliki arah yang strategis dalam bisnis, mempunyai hubungan kerja yang saling mempercayai, dan dapat membangun nilai-nilai yang sama antara para pekerja tersebut dengan pelanggannya. Kerangka kerja baru sebagaimana yang dimaksud dikenal dengan nama kolaborasi, yang beberapa tahun lalu terkesan atau berkonotasi sebagai tindakan yang negatif, mengarah pada kerjasama yang negatif dari sudut pandang apa yang dihasilkan dari kerjasama yang kolaboratif. Perkembangan jaman tidak lagi mengatakan sebagai hal yang negatif akan tetapi kolaborasi sebagai bentuk kerjasama yang sangat baik yang dapat menciptakan hasil kerjasama maksimal dalam suasana yang kondusif, menyenangkan, saling rnenghargai dan terbuka. Di dalam budaya kerja yang kolaboratif posisi tawar menawar atau negosiasi menempati kedudukan yang utama, sebab orang-orang yang terlibat dalam kerja kolaboratif harus dapat menyampaikan apa yang dikehendaki dan menerima umpan balik dari apa yang ia kehendaki. Di sini posisi negosiasi menduduki peran utama. Hal ini akan terlihat dari apa yang dirumuskan oleh Edward M marshal, PhD dalam bukunya Transforming The way We Work: The Power of the Collaborative Work Place, ia mengatakan bahwa: Kolaborasi adalah proses yang mendasar dari bentuk kerjasama yang melahirkan kepercayaan, integritas dan terobosan melalui pencapaian konsensus, kepemilikan dan keterpaduan pada semua aspek organisasi. (It is a principle-based process of working together, which produces integrity, and breakthrough result by building true consensus, ownership, and alignment in all aspects of the organization). Kolaborasi adalah pendekatan utama yang akan menggantikan pendekatan hirarki pada prinsip-prinsip pengorganisasian untuk

memimpin dan mengelola lingkungan kerja pada abad 21. (Collaboration is the premier candidate to replace hierarchy as the organizing principle for leading and managing the 21st-century workplace). A. Lima Komponen Utama Dalam Kolaborasi
Kepemimpinan kolaboratif adalah kepemimpinan yang efektif dalam menetapkan visi, menyiapkan energi, menanamkan rasa kebersamaan, mengoptimalkan potensi, serta menyadarkan setiap orang untuk bersatupadu dan saling bekerjasama untuk menghasilkan kinerja terbaik. Kolaborasi yang sempurna akan membuat organisasi mengorganisir dirinya sendiri melalui interaksi dan kreatifitas dalam perbedaan dan keragaman kepentingan kerja. Kejeniusan kepemimpinan untuk menjalankan organisasi atas dasar kekuasaan bersama dalam manajemen dua arah akan menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan minim konflik. Kepemimpinan yang bekerja dalam budaya kolaboratif akan menciptakan jaringan kolaboratif organisasi yang menyatukan setiap individu dan kelompok untuk memenuhi kebutuhan daya tahan organisasi. Model organisasi yang kolaboratif akan menghasilkan lingkungan kerja yang saling percaya antara satu otoritas dengan otoritas lain di internal organisasi, dan yang saling memunculkan nilai-nilai kerja positif untuk keunggulan organisasi.

Deputi Perlindungan Buka Temu Wicara Penguatan Jejaring Kolaborasi Keuangan TKI
http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/ Selasa, 30 Oktober 2012 06:18

inShare

Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI DR Lisna Yoeliani Poeloengan membuka temu wicara penguatan jejaring kolaborasi aspek keuangan TKI 2012 di Denpasar, Senin (29/10) malam. Denpasar, BNP2TKI, Selasa (30/10) -- Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI Lisna Yoeliani Poeloengan membuka temu wicara penguatan jejaring kolaborasi aspek keuangan TKI 2012 di Denpasar, Senin (29/10) malam. Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan BNP2TKI itu berlangsung dua hari, dihadiri 19 Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) dan 19 Kasi Perlindungan BP3TKI/UPTP3TKI Surabaya serta dihadiri pihak perbankan dari BRI, BNI, Bank Mandiri, Bank Indonesia, dan Bank Dunia.

Lisna mengatakan pemberdayaan dan penguatan keuangan TKI berupa remitansi yang dikirim kepada keluarganya di tanah air ada tiga hal penting yaitu menabung, meminjam, dan mengelolanya. "TKI dan keluarganya penting untuk memahami mengenai manfaat menabung, meminjam dan mengelola keuangan TKI. Jangan sampai pinjaman yang dilakukan TKI maupun keluarganya menjadi beban. Intinya dari remitansi keuangan TKI yang disampaikan kepada keluarganya di tanah air, bisa dikelola untuk membayar pinjaman dan disisihkan untuk menabung, sehingga nampak hasilnya," katanya. Edukasi perbankan dan pengelolaan remitansi keuangan TKI untuk kegiatan produktif tahun 2012 yang dilakukan di 19 BP3TKI sejak 23 Maret di BP3TKI Yogyakarta hingga 4 Juli di BP3TKI Manado telah diikuti sebanyak 1.800 peserta dari TKI dan keluarganya. Untuk kegiatan pada 2013 targetnya ditingkatkan menjadi 2.150 peserta dan pada 2014 ditingkatkan lagi menjadi 2.500 peserta. Pemberdayaan keuangan TKI dan Keluarganya ini sudah berlangsung sejak 2010. Kegiatan ini masuk dalam Rancangan Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 - 2014. Temu wicara penguatan jejaring kolaborasi aspek keuangan 2012 merupakan evaluasi dari kegiatan yang telah dilakukan selama ini guna meningkatkan kegiatan pada 2013 mendatang AAA Opini - Sabtu, 15 Des 2012 00:02 WIB Berharap dari Kolaborasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Melalui Forum DAS Oleh: Sukardi, S.Hut. Tidak dapat dipungkiri bencana banjir dan tanah longsor akhirakhir ini tidak terlepas dari belum optimalnya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) di berbagai Daerah. Suatu kondisi yang sebenarnya telah diprediksi dan diketahui bersama melalui perkembangan informasi dan ilmu pengetahuan. Artinya manusia sebenarnya menyadari sepenuhnya akibat dari kerusakan hutan yang jadi penyangga DAS. Berbagai usaha telah dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi DAS dimulai sejak tahun 1970-an melalui Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (PPHTA) melalui Inpres Penghijauan dan Reboisasi, kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), Gerakan Nasional kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Tujuan dari upaya-upaya tersebut pada dasarnya adalah untuk mewujudkan perbaikan lingkungan seperti penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat sosial ekonomi yang nyata bagi masyarakat. Namun, kenyataan membuktikan sebagian besar program-program tersebut belum bisa mengimbangi laju kerusakan hutan di catchment area maupun daerah kritis lain

yang mencapai 2,8 juta hektar per tahun atau sekitar 3,6 kali lebih cepat daripada laju rehabilitasi. Harapan untuk melihat hutan lebih baik yang berdampak pada tata kelola air di Daerah Aliran Sungai (DAS) secara normal jadi sulit untuk diwujudkan. Lalu, apakah kita akan pasrah pada kenyataan ini - Ataukah kita mesti berpikir lagi dengan belajar pada kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada program-program sebelumnya ? Situasi seperti ini memang sulit terutama bagi pengambil kebijakan, apalagi berbicara tentang DAS akan berbenturan langsung dengan wilayah administrasi yang "memisahkan" DAS itu sendiri. Padahal DAS merupakan satu kesatuan yang dipisahkan oleh wilayah topografi dan bisa saja melewati beberapa wilayah administrasi berbeda, sehingga berbagai kepentingan akan muncul di dalam pengelolaan DAS. Semua masalah kemudian menjadi kompleks di era otononomi saat ini. Banyak yang memperkirakan kerusakan DAS akibat eksploitasi berlebihan tiap daerah otonom akan bertambah banyak seiring tuntutan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) yang harus mereka penuhi sendiri. Untuk itu segala potensi sumber daya alam dijadikan aset berharga bagi PemdaPemda otonom dalam mencari pemasukan PAD dimaksud. Namun, pemanfaatan yang berlebihan dan salah kaprah membuat kondisi sumber daya alam terutama hutan sebagai penyangga utama DAS terbengkalai. DAS dan Multi Stakholdernya

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa suatu wilayah DAS bisa saja melewati beberapa wilayah administrasi. Hal ini berarti ada beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) dalam satu wilayah daerah, dimana antara satu Pemda dengan Pemda lainnya belum tentu memiliki kebijakan yang sama mengenai pengelolaan DAS dimasing-masing daerah. Dipihak Pemda pun banyak stakeholder yang terlibat dibidang DAS seperti Dinas Kehutatanan, Pengairan, Pertanian, Tata Ruang, dll. Selain itu pengusaha dan masyarakat disekitar DAS adalah stakeholder yang berada diluar Pemda. Mencermati hal tersebut, maka di suatu DAS terdapat multi stakeholder dimana antara satu stakeholder dengan stakeholder lainnya memiliki masing-masing kepentingan. Antara satu stakeholder dengan stakeholder lain di suatu Pemda saja masih sering terjadi tumpang tindih kepentingan dalam mengelola DAS, lalu bagaimana dengan stakeholder di luar Pemda atau dengan Pemda lainnya? Tentunya akan menjadi rumit

apabila masing-masing pihak punya persepsi sendiri tentang bagaimana mengelola suatu DAS. Forum DAS, Suatu Solusi?

Banyaknya pemangku kepentingan (stakeholder) suatu wilayah DAS seharusnya tidak dilihat sebagai kelemahan tetapi sebuah kekuatan apabila disatukan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu wadah bagi mereka sebagai tempat berkumpul mendiskusikan dan mencari jalan keluar mengenai permasalahan seputar DAS di daerah masing-masing. Keberadaan para stakeholder dalam suatu wadah diharapkan bisa menjadi solusi untuk menjembatani berbagai kepentingan di suatu wilayah DAS dan mempersempit ruang ego sektoral yang selama ini jadi penghalang. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi beberapa pihak untuk membentuk Forum DAS. Forum DAS adalah wadah para pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS untuk komunikasi, konsultasi dan koordinasi dalam rangka memberikan rekomendasi atau masukan kepada pembuat keputusan tentang kebijakan, implementasi kegiatan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu di Daerah Aliran Sungai. Keberadaan Forum DAS telah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/ Menhut-II/2006. Namun demikian, beberapa Forum DAS telah terbentuk sebelum peraturan tersebut ditetapkan. Sekitar 26 Forum DAS telah terbentuk di 17 Propinsi dan bersifat independen, sehingga memiliki posisi kuat dalam mengontrol berbagai aktivitas dan kebijakan Pengelolaan DAS. Selain itu, eksistensi Forum DAS sebelum keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan tersebut membuktikan bahwa lembaga ini lahir secara bottom - up dan telah melalui proses diskusi panjang antara stakeholder di dalamnya. Saat ini, kinerja Forum DAS yang telah ada patut ditunggu. Apakah akan berpengaruh nyata terhadap membaiknya kondisi DAS atau tidak? Mengingat tantangan ke depan seperti membangun kesepahaman antar anggota, kesepakatan tentang pengelolaan DAS harus diselesaikan secara intern sebelum melakukan monitoring/evaluasi kinerja DAS, melakukan sosialisasi, membentuk jejaring kerja dan melakukan kajian terhadap peraturan seputar pengelolaan DAS. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/12/15/ http://repository.mb.ipb.ac.id/1565/
Kinerja suatu tim kerja memiliki peran yang sangat besar di dalam kemajuan setiap perusahaan. Kinerja tim (team performance) merupakan faktor penentu utama dan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan suatu perusahaan (Stashevsky dan Koslowsky 2006). Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja tim, diantaranya budaya organisasi (Senior dan Swailes 2004) dan kepemimpinan (Miles dan Mangold 2002, Stashevsky dan Koslowsky 2006). Hersey dan Blanchard (1999) mengatakan bahwa tidak

ada kepemimpinan yang sesuai bagi semua kondisi dalam suatu organisasi tetapi kepemimpinan akan sangat efektif apabila dapat mengakomodasi lingkungannya. Salah satu kepemimpinan yang mengakomodasikan lingkungan tersebut adalah kepemimpinan kolaboratif. Budaya organisasi memberikan pengaruh terhadap kinerja tim melalui proses pembentukan kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu model pengaruh kepemimpinan dan budaya perusahaan terhadap kinerja tim. Pemodelan ini selanjutnya akan diujikan dengan suatu studi kasus pada perusahaan, yaitu PT. Jasa Marga, Tbk. Hal ini sejalan dengan program perusahaan yang memiliki program mengembangkan kepemimpinan dan budaya perusahaan ini dalam pemetaan rencana jangka panjangnya. Indikator pengaruh kedua faktor ini terhadap kinerja tim menjadi acuan dalam memberikan rekomendasi sub faktor kepemimpinan kolaboratif dan tipe budaya perusahaan yang seharusnya dikembangkan oleh perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai