Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENELITIAN

PARASIT CACING PADA SALURAN PENCERNAAN UNGGAS


( Gallus domesticus & Columba livia )
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fisiologi Hewan
Dosen Pengmapu : Dra. Aditya Marianti, M.Si., Drh. Wulan Christijanti, M. Si.
Disusun Oleh
Islakhul Huda ( 4401405582 )
Lutfia Nur Hadiyanti ( 4401407075 )
Trias Muamala ( 4401407081 )
Putri Intan Sari ( 4401407099 )
Nurida Fitriyah ( 4401407093 )
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009
ABSTRAK
Islakhul Huda, dkk*. 2009. Parasit Cacing pada Saluran Penceernaan
Unggas ( Gallus domesticus & Columba livia )
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis parasit cacing yang
banyak terdapat di dalam saluran pencernaan unggas, mekanisme infeksi cacing
ke dalam tubuh unggas, dan mekanisme kerja cacing dalam organ pencernaan
unggas. Penelitian ini menggunakan ayam kampung ( Gallus domesticus ) dan
merpati ( Columba livia ) sebagai sampel yang diteliti saluran pencernaannya.
Hasil penelitian ini menemukan spesies Raillietina echinobthrida dalam saluran
pencernaan ayam kampung ( Gallus domesticus ), sedangkan pada saluran
pencernaan merpati ( Columba livia ) tidak ditemukan spesies cacing apapun.
Mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas berkaitan erat dengan siklus
hidup jenis cacing dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berupa
habitat, pH, suhu, kelembaban, dan curah hujan.t Serangan Raillietina
echinobothrida menimbulkan nodul nodul pada usus ayam.
Kata Kunci : Parasit, Raellietina echinobothrida, unggas
* Mahasiswa Biologi FMIPA Unnes, yang terdiri dari :
1. Islakhul Huda ( 4401405582 )
2. Lutfia Nur Hadiyanti ( 4401407075 )
3. Trias Muamala ( 4401407081 )
4. Putri Intan Sari ( 4401407099 )
5. Nur Ida Fitriyah ( 4401407093 )
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan YME, sehingga atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Fisiologi Hewan. Proses penulisan laporan ini
tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dra. Aditya Marianti, M.Si, selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unnes, dan
juga selaku salah satu dosen mata kuliah Fisiologi Hewan.
2. Drh. Wulan Christijanti, M.Si. selaku dosen mata kuliah Fisiologi Hewan dan
dosen pembimbing dalam pelaksanaan penelitian ini.
3. Mbak Tika, selaku penanggungjawab Laboratorium Fisiologi Hewan, terima
kasih atas waktu, tenaga, dan bimbingan yang telah diberikan.
4. Teman teman seperjuangan, tetap semangat teman! Ilmu yang kita dapatkan
tidak akan pernah sia sia di hari nanti.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan.
Semarang, 13 Mei 2009
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komoditas ternak unggas memegang peranan yang sangat penting dalam
penyediaan protein hewani di Indonesia. Pada tahun 2004 produksi daging
unggas diperkirakan mencapai 1.164,40 ribu ton akan memberi kontribusi
sebanyak 60,29 persen terhadap produksi daging secara nasional. Ayam
pedaging merupakan produsen utama daging unggas yaitu mencapai 67,04
persen disusul berturut - turut ayam kampung, ayam petelur yang sudah
diafkir dan itik sebesar 27,01; 4,04 dan 1,91 persen. Selain itu unggas juga
memberi kontribusi yang sangat berguna dalam bentuk telur. Produksi telur
pada tahun 2004 diperkirakan mencapai 666,40 ribu ton akan memberi
kontribusi sebanyak 63,38 persen dari total produksi telur secara nasional
yaitu mencapai 1051,40 ribu ton (DEPTAN, 2004).
Perkembangan dunia perunggasan di negara kita, sudah banyak
menciptakan peluang bisnis. Hal ini disebabkan karena bisnis perunggasan
bisa dijangkau masyarakat kalangan bawah, dapat dipelihara oleh masyarakat
atau peternak dengan lahan yang cukup kecil, kapital demand power yang
cukup kuat, menyebabkan ternak ini lebih cepat perkembangannya
dibandingkan dengan perkembangan ternak lain. Namun para peternak tidak
sedikit mengalami hambatan dan rintangan selain harga pakan yang terus naik,
obat-obatan yang cukup mahal juga adanya berbagai macam penyakit yang
sering menyerang ternak. Parasit diketahui dapat mengakibatkan menurunnya
produksi telur sebesar 15% 30 %, bahkan dapat menghentikannya sama
sekali. Selain itu parasit dapat menghambat pertumbuhan ayam, terutama
ayam ayam muda, menurunkan berat badan, dan bahkan menyebabkan
kematian jika serangan parasit itu hebat.
B. Rumusan Masalah
1. Parasit cacing apa sajakah yang banyak terdapat dalam saluran pencernaan
unggas ?
2. Bagaimana mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas?
3. Bagaimana mekanisme kerja cacing dalam saluran pencernaan unggas ?
C. Tujuan
1. Mengetahui jenis jenis parasit cacing yang banyak terdapat di dalam
saluran pencernaan unggas.
2. Mengetahui mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas.
3. Mengetahui mekanisme kerja cacing dalam saluran pencernaan unggas
D. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi masyarakat luas
mengenai macam macam parasit cacing yang sering muncul di dalam
saluran cerna, mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas, dan
mekanisme kerja cacing dalam organ pencernaan unggas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Parasit parasit di daerah tropika seperti di Indonesia, banyak macam dan
jumlahnya. Dengan mengenal parasit cacing dan dimana tempat ditenukan, serta
cara penularannya dan beberapa keterangan lainnya, maka dapat dilakukan
pertolongan pertama sebelum ada ahli yang membantu. Berikut ini adalah
berbagai macam parasit yang sering menyerang saluran pencernaan unggas :
Nematoda
1. Heterakis gallinarum
Ciri ciri : Panjang cacing jantan 7 13 mm. Panjang cacing betina 10
15 mm. Telur berdinding licin dan tebal, berukuran 65 80 x
35 46 mikron.
Lokasi : Cecum
Penularan : Secara langsung yaitu dengan makan telur cacing yang
infektif. Menyebabkan penyakit diare pada burung pegar (
Pheasant).
Postmortem : Ceca meradang dan dindingnya menebal. Pendarahan pada
mukosa cecum (typhlytis) noduler.
Gambar 1. Siklus hidup Heterakis gallinarum
2. Ascaridia galli
Ciri ciri : Panjang cacing jantan 50 76 mm. Panjang cacing betina 76
116 mm. Cacing ini mempunyai 3 bibir. Telurnya tak
bersegmen waktu keluar bersama tinja dan dindingnya licin,
berukuran 73 92 x 45 -57 mikron.
Lokasi : Usus halus bagian tengah.
Penularan : Secara langsung yaitu dengan makan telur cacing yang
infektif. Menyebabkan penyakit Ascariosis.
Postmortem : Radang usus yang bersifat haemorrhagic ( terdapat
pendarahan ) dan larva cacing berukuran kira kira 7 mm.
Dapat ditemukan dalam selaput lendir usus. Bangkai kurus,
kurang darah atau anemia dan cacing dewasa ditemukan
dalam usus. Parasit dapat juga ditemukan dalam albumin
telur ayam.
Gambar 2. Ascaridia galli dilihat dari mikroskop elektron
3. Trichostrongylus tenuis
Ciri ciri : Panjang cacing jantan 5,5-9 mm. lebar pertengahan 48
mikron. Panjang cacing betina 6,5-11 mm. lebar didaerah
vulva 77-100 mm. telur berdinding tipis.
Lokasi : Cecum dan usus halus
Penularan : secara langsung yaitu melalui telur cacing yang infektif.
Menyebabkan penyakit Trichostrongylosis
Postmortem : kelihatan radang cecum yang jelas disertai anemia. Bangkai
kurus.
Gambar 3. Telur Trichostrongylus tenuis
4. Tetrameres americana
Ciri ciri : Panjang cacing jantan 5,0 5,5 mm, lebar 116 133 mikron.
Pada cacing betina 3,5 4,5 mm, lebar 3 mm. Keterangan
tenatang ukuran telurnya belum ada.
Lokasi : Proventriculus
Penularan : Secara tidak lanngsung. Memerlukan induk semang-antara
yaitu serangga serangga orthoptera yaitu Melanoplus
femurrubrum,M. differentialis, dan Blatela germanica. Ayam
kena infeksi jika makan induk semang antara yang
terinfeksi.
Postmortem : Proventriculus meradang. Dari luar proventriculus dapat
dilihat benda benda berwarna gelap di dalam jaringannya.
Gambar 4. Tetrameres americana
5. Strongyloides avium
Ciri ciri : Cacing ini panjangnya 2,2 mm. Panjang oesophagus 0,7 mm.
telur berukuran 52 56 x 36 40 mikron.
Lokasi : Usus halus dan cecum.
Penularan : Generasi yang bersifat parasitik dapat menembus kulit induik
semang, menuju trakea, lalu ke pharinx dan selanjutnya ke
usus. Infeksi melalui paruh ( per os ) juga dapat terjadi.
Postmortem : Vulva cacing betina terletak di pertengahan badannya dan
oesophagusnya panjang (seperti silinder, filariform)
Cestoda
1. Raillietina tetragona
Ciri ciri : Panjang cacing ini sampai 25 cm. Alat penghisap cacing
berbentuk bulat panjang dan dilengkapi dengan ikat ikat
yang kecil.
Lokasi : Usus halus ayam, ayam mutiara dan burung merpati
Penularan : Lalat rumah, Musca dometica dan semut sebagai induk
semang antara. Menyebabkan penyakit Cestodosis pada
ayam.
Postmortem : Terdapat radang usus halus.
2. R. echinobothrida
Ciri ciri : Panjangnya kira kira sampai dengan 25 cm. Bentuk dan
ukurannya mirip dengan R. tetragona.
Lokasi : Usus halus ayam
Penularan : Semut sebagai induk semang antara. Menyebabkan
penyakit cestodosis pada ayam.
Postmortem : Terdapat bungkul bungkul pada usus halus dan jelas terlihat
bila kita lihat ususnya dari luar. Bungkul itu terdiri dari
jaringan nekrotik dan darah putih.
Gammbar 5. Bagian Kepala, Ruas yang masak, dan Kait pada Raillietina
echinobothrida
BAB III
METODE
A. Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah :
Penelitian
Studi Pustaka
B. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilakukan pada :
Tempat : Laboratorium Biologi Lantai 2 FMIPA Unnes
Waktu Pelaksanaan : 25 April 2009
C. Alat dan Bahan
Penelitian yang kami lakukan menggunakan alat dan bahan sebagai berikut :
1. Unggas ( merpati & ayam kampung )
2. Alat alat bedah ( Pisau, gunting, pinset, dst )
3. Tempat preparat
4. Mikroskop
5. Object glass + penutup
6. Kapas
7. Obat bius
8. Sarung tangan
9. kamera
10. alkohol ( 70%, 80%, 90%,96%)
11. formalin 4%
12. aquades
13. hematoxylin
14. xylol
15. canada balsam
16. botol flakon
D. Cara Kerja
Pembedahan
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Mengamati ciri ciri fisik unggas sebelum melakukan pembedahan.
3. Melakukan pembedahan terhadap unggas.
4. Mengambil organ saluran pencernaan unggas dan memisahkannya dengan
organ organ lain.
5. Membedah dan mengamati adanya parasit cacing dalam saluran
pencernaan. Menggunakan mikroskop jika parasit cacing bersifat
mikroskopis.
6. Mengamati hal hal yang terjadi pada organ saluran pencernaan yang
diserang.
7. Menganalisis jenis parasit cacing yang ditemukan.
8. Mencatat hasil pengamatan pada tabel hasil pengamatan.
Menghisap dengan tissue
Menghisap dengan tissue
Menghisap dengan tissue
Menghisap dengan tissue
Menghisap dengan tissue
Menghisap dengan tissue
Menghisap dengan tissue
Menghisap dengan tissue, dan pastikan kering
Menghisap dengan tissue
Preparasi
* masing masing tahap 3 menit
Labelling
Menetesi dengan Canada Balsam
Mengamati dalam mikroskop
Merendam dalam campuran xilol alkohol secara bertahap dengan perbandingan ( 1:3, 1:1, 3:1 )*
Merendam dalam larutan xilol murni
Mencelupkan ke dalam aquades ( 3 5 celupan )
Merendam dalam alkohol 70 % ( 3 menit )
Merendam dalam alkohol 70% + eosin ( 3 menit )
Merendam dalam larutan alkohol secara bertahap ( 70%, 80%, 90%, 96% )*
Mengumpulkan cacing
Meletakkan cacing di antara 2 dua gelas benda kemudian mengikatnya dengan karet
Memasukkan ke dalam larutan FAA ( Formalin, Alkohol, Asam Asetat ) untuk proses fiksasi
selama 1 jam
Mencelupkan ke dalam aquades ( 3 5 celupan )
Merendam dalam larutan hematoxylin ( 3 menit )
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Tabel 1. Hasil Pengamatan
No Spesies Unggas Ciri ciri
Parasit cacing
Organ yang
diserang
Jenis Cacing
1 Ayam kampung
( Gallus domesticus )
Panjang
mencapai 25 cm
Tubuh pipih
bersegmen
Berwarna putih
Mempunyai
succker yang
bulat pada
scolexnya.
Usus halus Raillietina
echinobothrida
2 Merpati
( Columba livia )
- -
Tidak
ditemukan
cacing pada
saluran
pencernaannya
Gambar Hasil Pengamatan
Gambar 6. Kondisi organ ( Gallus domesticus ) yang terserang cacing
Gambar 7. Cacing yang ditemukan ( makroskopis )
Gambar 8. Cacing yang ditemukan ( mikroskopis )
nodul
Scoleks
Sucker
rostelum
BAB V
PEMBAHASAN
A. Cacing yang ditemukan
Dalam penelitian yang telah dilakukan, hanya ditemukan satu
spesies parasit cacing pada usus ayam kampung ( Gallus domesticus ), yaitu
Raillietina echinobothrida dengan ciri ciri panjang tubuhnya kira kira 25
cm. Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis diketahui cacing ini
mempunyai alat penghisap yang bulat disertai kait kait yang kecil. Referensi
lain menyebutkan bahwa famili cacing ini juga mempunyai sebuah rostellum
berbentuk bantal. Raillietina echinobothrida adalah salah satu spesis dari
phylum platyhelminthes ( cacing pipih ) yang secara umum mempunyai ciri
ciri bentuknya yang seperti pita memanjang dan memiliki segmen segmen
serta merupakan parasit dalam saluran pencernaan ( Soulsby; 1982 ). Cacing
ini bersifat hermafrodit dengan bagian bagian tubuh yang terdiri dari
skoleks, leher dan strobila. Skoleks dilengkapi dengan empat batil isap dan
rostelum yang digunakan sebagai alat untuk menempel pada mukosa usus
inangnya. Pada batil isap dan rostelum dilengkapi juga dengan kait kait
tetapi tergantung pada spesiesnya. Bagian leher adalah bagian yang paling
aktif dalam pembentukan segmen baru. Strobila adalah bagian tubuh cacing
pita yang paling besar yang terdiri dari segmen segmen. Strobila terdiri dari
segmen muda, segmen dewasa dan segmen gravid. Pertumbuhan normal
cacing pita dewasa memiliki tiga stadium perkembangan segmen yaitu muda (
immature ), dewasa ( mature ), dan gravid. Segmen muda memiliki ciri
morfologi yaitu adanya perkembangan awal dari organ reproduksi, sedangkan
segemen dewasa perkembangannya sudah sempurna dan lengkap. Morfologi
segmen dewasa sering digunakan sebagai salah satu kriteria untuk
mengidentifikasikan cacing pita. Segmen gravid membentuk kantung
kantung yang penuh berisi telur. Segmen gravid akan mengalami proses
destrobilisasi dan keluar bersama sama tinja inang definitif. Tinja inang
Daerah penemuan cacing
inilah yang menjadi pembawa sumber infeksi yang sangat potensial ( Retnani
& Hadi, 2007 ).
Cacing ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak sepanjang
usus. Ciri ciri organ yang terifeksi yaitu ditemukan adanya bungkul
bungkul berwarna putih dan jelas terlihat di luar ususnya. Menurut referensi
yang diperoleh, diketahui bahwa bungkul bungkul tersebut terdiri dari
jaringan nekrotik dan darah putih.
Klasifikasi Spesies
Phylum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Davaneidea
Famili : Davaineidae
Genus : Raillietina
Spesies : Raillietina echinobothrida
Sementara itu, dalam penelitian ini tidak ditemukan cacing dalam
saluran pencernaan burung merpati ( Columba livia ).
http://www.msstate.edu/dept/poultry/pics/anatomy.jpg
B. Mekanisme Infeksi Cacing ke Dalam Tubuh Unggas
Mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas berkaitan erat
dengan siklus hidup cacing tersebut. Berbagai faktor yang mempengaruhi pola
infeksi tersebut adalah populasi cacing stadium efektif di dalam inang antara,
dan pola penyebarannya, kekhasan inang / habitat serta pola makannya (
Lawson & Gemmel, 1983 ). Sedangkan kelangsungan hidup cacing stadium
efektif di alam sangat ditentukan oleh interaksi antara kondisi alam yaitu suhu,
kelembaban, dan curah hujan yang setiap jenis cacing mempunyai tingkat
ketahanan yang berbeda ( Charmichael, 1993; Ridwan et all., 1996 )
Cacing biasanya menginfestasi ke dalam tubuh ayam melalui
beberapa cara, diantaranya melalui telur cacing atau larva cacing yang
termakan oleh ayam, memakan induk semang antara ( semut ) yang
mengandung telur atau larva cacing, telur atau larva cacing yang terbawa oleh
petugas kandang / peternak melalui sepatu dan pakaian kandangnya, atau bisa
juga karena ransum atau air minum yang tercemar telur cacing. Cacing pita
merupakan cacing yang menginfeksi ayam dan memerlukan serangga sebagai
inang antaranya (Soulsby 1982). Peluang kontak ayam terhadap inang antara
yang paling potensial adalah keberadaan dan volume tinja, sedangkan kondisi
lingkungan dan manejemen peternakan merupakan faktor pendukung.
Cacing pita mempunyai bermacam macam kisaran spesifisitas
hospes, tetapi cacing pita dewasa lebih spesifik daripada kebanyakan cacing
dewasa kelompok lain. Tiap tiap ordo burung mempunyai cestoda sendiri
yang karakteristik. Spesifitas hospes di antara cacing cacing ini mencapai
derajat kesempurnaan yang tinggi selama hospesnya mengalami
pengkhususan. Spesifisitas hospes di antara cestoda mencapai derajat tertinggi
pada burung ( aves ). Siklus hidup cacing pita yang juga dikenal dengan
cestoda pada unggas umumnya melewati inang perantara/vektor seperti
kepiting, kutu air, crustacea dan katak (unggas air), sedang pada unggas darat
(ayam) lebih sering menggunakan inang perantara insekta terbang (lalat,
kumbang) dan cacing tanah. Karena vektor yang berupa insekta terbang
inilah yang menjadikan cacing pita mudah tersebar secara luas. Selain itu,
telur-telur cacing pita pada umumnya mempunyai kemampuan yang hebat
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Infeksi cacing pita di dalam
tubuh unggas menyebabkan penyakit cestodosis.
Infeksi cacing saluran pencernaan pada umumnya mudah
didiagnosis melalui pemeriksaan tinja hewan yang dicurigai terinfeksi. Telur
cacing yang keluar bersama feses berkembang menjadi stadium infektif
kemudian termakan induk semang antara atau langsung masuk tubuh ayam
yang kemudian akan menuju ke tempat yang disukainya (tembolok, usus,
sekum atau organ lain) untuk berkembang sampai dewasa. Tidak demikian
dengan Cestodosis yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri untuk
didiagnosis karena cacing pita tidak mengeluarkan telur bersama tinja.
Nekropsi merupakan cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
Cestodosis. Kendala ini mengakibatkan angka prevalensi Cestodosis akan
semakin tinggi serta menyulitkan dalam menentukan strategi pengobatan
(Retnani & Hadi 2007).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian
cestodosis pada ayam kampung yaitu menejemen pemberian pakan,
kebersihan dan sanitasi lingkungan di sekitar kandang, waktu pembuangan
feses dan pembersihan kandang, cuaca dan iklim, pemberian antibiotik, atau
vaksinasi ayam secara rutin.
Faktor pendukung perkembangan populasi cacing adalah suhu
lingkungan, pH lingkungan, kelembaban, curah hujan serta radiasi sinar
matahari baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempertahankan
siklus hidupnya. Untuk pertumbuhan larva cestoda dalam telur diperlukan
tanah yang lembab dan tidak membutuhkan adanya genangan air.
Mpoame & Agbede (1995) mengatakan bahwa infeksi cacing pita
secara umum sangat tinggi pada daerah dengan kondisi yang basah. Daerah
basah merupakan kondisi iklim yang baik untuk ketahanan parasit stadium
infektif dan untuk pertumbuhan populasi inang antaranya. Begitu pula dengan
Terrigino et al. (1997) mengatakan bahwa infeksi parasit pada wilayah dengan
kondisi pertanian dan iklim yang buruk akan menguntungkan untuk ketahanan
dan pertumbuhan parasit. Perbedaan yang signifikan terhadap tingginya
prevalensi parasit pada ayam terjadi antara peternakan tradisional dan
peternakan modern. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam penanganan
higienis dan sanitasi lingkungan serta manejemen peternakan (tradisional dan
modern).
Faktor-faktor lingkungan seperti di atas merupakan beberapa
penyebab yang mempengaruhi tidak ditemukannya parasit cacing pada
merpati yang digunakan dalam penelitian. Merpati ini berhabitat di lingkungan
yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah (dilapisi paving blok) dan
kebersihannya lebih terjaga. Makanan yang diperoleh berasal dari peternak
sehingga kemungkinan untuk terkena infeksi cacing sangat kecil. Habitat
merpati tidak mendukung untuk berkembangnya induk semang antara yang
menyalurkan telur cacing yang khas pada merpati, sehingga telur tidak
menemukan induk semang antara yang tepat dan tidak akan berkembang
menjadi sistiserkoid, daur hidup cacing-pun akan terputus, dan akhirnya
infeksi cacing tidak akan terjadi karena tidak ada proses infestasi. Cacing yang
spesifik pada merpati antar lain Tetrameres americana yang memerlukan
induk semang antara berupa serangga orthoptera, dan Raillietina bonini yang
memerlukan induk semang antara berupa siput. Lain halnya dengan ayam
kampung yang berhabitat di lingkungan peternakan tradisional yang kurang
terjaga kebersihannya. Meskipun makanan yang diperoleh berasal dari
peternak tetapi ayam masih mempunyai peluang besar memperoleh makanan
sendiri dari lingkungan sekitarnya. Adanya infeksi cacing Raillietina
echinobothrida dalam tubuh ayam menunjukkan bahwa lingkungan / habitat
ayam mendukung kehidupan induk semang antaranya, yaitu semut.
Kejadian infeksi alami cacing pita yang cukup tinggi, berkaitan
dengan tersedianya inang antara spesifik seperti lalat rumah, semut dan
kumbang yang berperan dalam penyebaran cacing pita. Menurut Angraeny
(2007), jumlah lalat rumah yang tinggi di area peternakan dapat menyebabkan
semakin meningkatnya kejadian Cestodosis. Gaina (2007) juga
mengungkapkan bahwa semakin tinggi jumlah inang antara spesifik cacing
pita dalam hal ini kumbang dapat menyebabkan semakin meningkatnya
kejadian Cestodosis. Untuk kasus infeksi Raillietina echinobothrida, berarti
semakin tinggi jumlah semut sebagai induk semang antara, maka kejadian
cestodosis oleh cacing pita jenis ini juga akan meningkat.
Menurut F.X Suwarta ( 1990 ) ada beberapa spesies cacing pita
yang biasa menyerang unggas dan sering ditemukan di daerah tropis, yaitu :
Davainea proglotina, Raillietina tetragona, Raillietina echionobothrida,
Raillietina cesticillus, Amoebotaenia sphenoides, dan Choanotaenia
infundibulum Menurut Herwintarti prevalensi cestodosis pada ayam kampung
di berbagai wilayah di Indonesia masih relatif tinggi hingga tahun 2001. Jenis
cacing pita yang paling tinggi menginfeksi saluran pencernaan yaitu
Raillietina echinobothrida ( 52,8 % ). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang kami lakukan, yang juga menemukan spesies Raillietina echinobothrida
dalam saluran pencernaan unggas yang dipilih (usus ayam kampung ).
Tidak semua cacing pita unggas bersifat patogen. Gejala klinis
dapat terlihat pada ayam muda yang menderita infeksi berat (Suwarti 1990).
Ayam muda lebih peka terhadap infeksi cacing pita dibandingkan ayam
dewasa. Akibat infeksi cacing pita pada usus akan terlihat adanya enteritis
baik akut maupun kronis yang tergantung dari derajat infeksinya. Terjadinya
peradangan pada bagian serosa disebabkan tertanamnya skoleks cacing
menempal pada mukosa usus. Raillietina paling sering ditemukan dan
merupakan cacing pita yang dominan menginfeksi ternak ayam (Retnani &
Hadi 2007). Jenis cacing Choanotaenia infundibulum, Amoebotaenia cuneata,
Metroliasthes lucida dan Fimbriaria fasciolaris kurang patogen.
Davainea proglottina adalah cacing pita dengan patogenitas yang
sangat berbahaya pada ayam (Kusumamihardja 1992). Cacing jenis ini paling
patogen karena bagian skoleksnya melakukan penetrasi ke dalam mukosa
duodenum dan menyebabkan terjadinya enteritis hemoragis yang berat. Selain
itu, cacing ini juga dapat menimbulkan gejala klinis kekurusan, berat badan
menurun, bulu kering dan rontok serta nafas menjadi sesak pada ayam.
Raillietina echinobothrida dan Raillietina tetragona tingkat
patogenitasnya berada di bawah Davainea proglottina. Dua jenis cacing ini
menancapkan skoleksnya tidak terlalu dalam pada mukosa usus seperti cacing
Davainea proglottina (Kusumamihardja 1992).
Setiap spesies cacing pita memiliki inang antara yang spesifik dan
berbeda-beda. Keberadaan inang antara yang beraneka ragam dengan populasi
yang tinggi di lingkungan peternakan akan menyebabkan semakin
meningkatnya kejadian Cestodosis pada peternakan ayam baik ayam kampung
maupun ayam ras. Manfaat pengetahuan jenis-jenis cacing pita adalah untuk
mengetahui apakah cacing pita yang ditemukan dalam saluran pencernaan
ayam bersifat patogen atau tidak. Hal tersebut bertujuan sebagai petunjuk
dalam tindakan pengendalian terhadap induk semang antara sebagai sumber
infeksi.
Gambar Daur Hidup Raillietiena echinobothrida
Proglotid gravid
Semut
Skolek
Sisterkoid
C. Mekanisme kerja cacing dalam saluran pencernaan unggas.
Raillietina echinobothrida bersifat sangat patogen. Cacing ini
dapat membuat liang pada dinding duodenum, sehingga membentuk nodul
nodul, serupa dengan nodul nodul pada penyakit TBC unggas. Cacing pita
dewasa hidup di dalam lumen usus halus degan skoleksnya melekat pada
mukosa usus. Habitat cacing ini biasanya pada usus halus bagian illium, tetapi
dapat pula ditemukan di dalam jejunum dan duodenum bahkan kadang
kadang berada di dalam kolon. Segmen gravid yang mengandung telur
dikeluarkan bersama tinja dari tubuh ayam yang terinfeksi cacing pita ke
lingkungan bebas.
Inang antara yang cocok akan memakan segmen gravid. Telur
cacing tersebut akan menetas dalam saluran pencernaan inang antara dan
membebaskan embrio (onkosfer), kemudian akan penetrasi pada dinding usus
dan masuk ke dalam rongga tubuh yang membutuhkan waktu selama 12 jam.
Dalam jangka waktu tiga minggu embrio tersebut akan berkembang menjadi
sistiserkoid. Sistiserkoid merupakan stadium infektif yang akan tinggal tetap
di dalam tubuh inang antara sampai inang antara tersebut dimakan oleh inang
definitif dalam hal ini adalah ayam.
Ayam akan terinfeksi cacing pita apabila memakan inang antara
yang mengandung sistiserkoid. Selanjutnya proses pertumbuhan cacing
diawali dengan penempelan (attachment) bahkan penancapan bagian skoleks
pada mukosa usus. Hal itu dilakukan agar cacing tetap dapat tumbuh dan
berkembang dengan memakan nutrisi makanan yang ada di dalam usus.
Setelah penancapan skoleks maka cacing akan berkembang melalui proses
proglotidisasi dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing pita dewasa di dalam
usus (Retnani & Hadi 2007).
Jumlah cacing yang tinggi dalam usus dapat menyebabkan
terjadinya penebalan mukosa usus. Pada kasus yang berat dapat memacu
terjadinya enteritis kataral atau hemoragis pada kasus yang berat, dimana
mukosa usus tertutup oleh lendir yang tebal (Kusumamiharja 1992).
Unggas yang terinfeksi Raillietina echinobothrida memiliki ciri
ciri nafsu makan berkurang, pucat, kurus, lesu, mencret dan adanya bintil
bintil / nodul pada ususnya ( Soekardono, 1986 ). Akan tetapi berdasarkan
hasil pengamatan dalam penelitian ini, ayam yang terinfeksi tidak sepenuhnya
menunjukkan seluruh gejala gejala yang telah disebutkan sebelumnya. Hal
ini berkaitan dengan tingkat infeksi oleh cacing tersebut dalam tubuh ayam.
Ayam yang digunakan dalam penelitian tampak sehat, hanya bulu yang
dimilikinya kusam dan tidak berwarna cerah.
BAB VI
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan yaitu :
1. Pada saluran pencernaan ayam kampung ( Gallus domesticus )
ditemukan cacing Raillietina echinobothrida sedangkan pada saluran
pencernaan merpati ( Columba livia ) tidak ditemukan parasit cacing
apapun.
2. Raillietina echinobothrida memerlukan induk semang antara, yaitu
semut untuk masuk ke dalam tubuh hospes definitif ( Gallus
domesticus).
3. Raillietiena echinobothrida dapat ditemukan pada usus ( illium,
jejunum, duodenum dan bahkan kolon ) serta mempunyai kait untuk
menempel pada mukosa usus.
B. SARAN
1. Pengetahuan mengenai berbagai macam parasit cacing pada saluran
pencernaan unggas sangat diperlukan untuk mengetahui jenis cacing
yang patogen, sehingga dapat diketahui cara pencegahannya sebelum
terjadi infeksi.
2. Dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan parasit
sebaiknya praktikan menggunakan pelindung tangan ( sarung tangan )
karena setiap segmen / proglotida pada parasit tersebut ( dalam hal ini
cacing ) bisa saja merupakan proglotida gravid dan dikhawatirkan akan
masuk ke dalam tubuh praktikan melalui telur yang menempel pada
kuku / tangan yang tidak terjaga kebersihannya.
GLOSARIUM
Antara hospes umumnya hospes yang di dalamnya hanya terdapat stadium
muda atau aseksual,
Definitif, hospes hospes yang di dalamnya terdapat parasit yang mengalami
perkembangbiakan seksual.
Enteritis radang usus, organ tubuh yang sering terserang bakteri
Gravid hamil
Haemoragic pendarahan
Hospes hewan atau tumbuh tumbuhan hidup yang membawa atau
memberi penghidupan kepada parasit, juga satu sel yang di
dalamnya terdapat parasit ( sel hospes )
Hospes,spesirisitas pembatasan suatu parasit terhadap satu atau lebih macam
hospes
Infeksi adanya parasit di dalam hospes, di dalam ilmu kedokteran
serangan parasit kepada sel atau jaringan yang enyebabkan
luka dan reaksi terhadap luka.
Infestasi serangan parasit ( pada umumnya terbatas pada ektoparasit
) , beberapa dari parasit tersebut dapat menyerang jaringan
permukaan, misalnya oleh tangan.
Larva stadium yang jelas berbeda dengan yang dewasa,
memerlukan metamorfosis untuk perkembangan
selanjutnya.
Nodule 1) bintul terbentuk oleh bakteri N yang melakukan fiksasi
N dalam tanah, sering terbentuk pada akar, sesewaktu juga
bisa pada batang, 2) simpul, nodul, 3) benjolan kecil, misal
pada kelenjar gondok.
Orthoptera ordo belalang, jangkrik, dan lipas. Sayap lurus, sayap depan
mengkilap sepertis kertas permanen, sayap belakang tipis,
bervena banyak dan ketika istirahat berada di bawah sayap
depan.
Patogen menyebabkan penyakit
Prevalensi jumlah individu atau persentasi populasi yang terinfeksi
pada sesuatu waktu tertentu.
Sistiserkoid sista, struktur tubuh ( telur, larva ) yang bersalut keras dan
tebal. Individu bentuk sista biasanya dalam suasana
lingkungan yang buruk. Pada protozoa dan platyhelminthes
bentuk sista mengalami pembiakan aseksual, yakni
pembelahan diri berulang ulang, dan ketika sista pecah
akan keluar banyak larva dari satu sista.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2007. Askaridiasis pada Ayam. Diakses 1 Mei 2009. http://www.vet-
indo.com/Kasus-Medis/Askaridiasis-pada-Ayam.html
.Anonimus. 2007. Waspada Cacing Pita pada Unggas. diakses tanggal 7 Mei
2009. www.poultryindonesia.com
Anonimus. 2008. Cacingan dan Pengobatannya. Diakses 9 Mei 2009.
http://infovet.blogspot.com/2008/07/cacingan-dan-pengobatannya.html
Beriajaya, dkk. 2009. Masalah Ascariasis Pada Ayam ( Lokakarya Nasional
Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing).
Bogor : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius
J,Sauvani. 2009. Cacingan, Worm Disease. http://www.glory-
farm.com/psv/infeksi_parasit.htm
Noble, Elmer R dan Glenn A Noble. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Retnani, Elok Budi, dkk. 1998. Abstrak Penelitian : Studi terhadap Fluktuasi
Populasi Cacing Parasit pada Saluran Pencernaan Ayam Buras.
http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.php?view=penelitian/hasilcari&status=
buka&id_haslit=636.6+RET+s
____ , Elok Budi, dkk. 1997. Dinamika Populasi Cacing Slauran Pencernaan
Ayam Kampung : Pengaruh Tipe Iklim Terhadap Fluktuasi Populasi Cacing.
Bogor : Laboratorium Helmintologi, Jurusan Parasitologi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, IPB
Soekardono, Soeprapto & Soetijono Partoedjono. 1986. Parasit Parasit Ayam.
Jakarta : Gramedia
Sujana, Arman. 2007. Kamus Lengkap Biologi. Jakarta : Mega Aksara.
Suprijatna, Edjeng, dkk. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Bandung : Penebar
Swadaya.
Sutarno. 2000. Cacing Trematoda Hidup Parasit pada Saluran Pencernaan Ayam
Kampung( Article from Journal - ilmiah nasional - terakreditasi DIKTI ).
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&id=48219 &src=a
Tabba, Charles R. 2007. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya ( Penyakit Asal
Parasit, Noninfeksius dan Etiologi Kompleks). Yogyakarta : Kanisius.
Bon Penggunaan Tempat, Alat dan Bahan
Sehubungan dengan adanya tugas mata kuliah Fisiologi Hewan, untuk
melakukan penelitian mengenai Parasit ( Cacing ) pada Saluran Pencernaan
Unggas, maka kami bermaksud menggunakan tempat serta alat dan bahan yang
dibutuhkan sebagai berikut :
Tempat : Laboratorium Fisiologi Hewan, Jurusan Biologi, FMIPA
UNNES.
Waktu : 25 April 2009
Alat : Alat alat bedah ( Pisau, gunting, pinset, dst ), Tempat preparat,
Mikroskop ,Object glass + deckglass, Kapas, botol flakon.
Bahan : Obat bius, Formalin 4%, aquades, hematoxylin, alkohol ( 70%,
80%, 90%, 96% ), Xylol, Canada balsam
Demikian permohonan kami, atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan
terimakasih.

Dosen Pengampu a.n Kelompok*
Drh. Wulan Christijanti, M.Si. Lutfia Nur Hadiyanti
NIP. 132149437 NIM. 4401407075
* Kelompok terdiri dari :
1. Islakhul Huda ( 4401405582 )
2. Lutfia Nur Hadiyanti ( 4401407075 )
3. Trias Muamala ( 4401407081 )
4. Putri Intan Sari ( 4401407099 )
5. Nur Ida Fitriyah ( 4401407093 )
Kondisi Fisik Unggas
Unggas Setelah dibedah
merpati
Ayam
Keadaan organ unggas

Anda mungkin juga menyukai