Anda di halaman 1dari 29

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA















BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : tbtlkm@bi.go.id

1
DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ................................ ................................ ............... 2
2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan ................................ ............... 4
a. Profil Usaha ................................ ................................ ............... 4
b. Pola Pembiayaan ................................ ................................ ........ 6
3. Aspek Pemasaran ................................ ................................ ........ 7
a. Permintaan dan Penawaran ................................ .......................... 7
b. Persaingan dan Peluang Pasar ................................ ....................... 8
c. Harga ................................ ................................ ........................ 8
d. Jalur Pemasaran Produk ................................ ............................... 9
e. Kendala Pemasaran ................................ ................................ ..... 9
4. Aspek Produksi ................................ ................................ .......... 11
a. Lokasi Usaha ................................ ................................ ............ 11
b. Fasilitas Produksi dan Peralatan ................................ .................. 11
c. Bahan Baku ................................ ................................ ............. 12
d. Tenaga Kerja ................................ ................................ ........... 12
e. Teknologi................................ ................................ ................. 12
f. Proses Produksi ................................ ................................ ......... 12
g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi ................................ ................. 15
h. Produksi Optimum ................................ ................................ .... 15
i. Kendala Produksi ................................ ................................ ....... 16
5. Aspek Keuangan ................................ ................................ ........ 17
a. Pemilihan Usaha ................................ ................................ ....... 17
b. Asumsi ................................ ................................ .................... 17
c. Komponen Biaya Investasi dan Biaya Operasional .......................... 18
d. Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja .......................... 20
e. Produksi dan Pendapatan ................................ ........................... 21
f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point ................................ ...... 21
g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek ................................ ...... 21
i. Analisis Sensitivitas Kelayakan Proyek ................................ ........... 22
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan .......................... 25
a. Aspek Sosial Ekonomi ................................ ................................ 25
b. Dampak Lingkungan ................................ ................................ .. 25
7. Penutup ................................ ................................ ..................... 26
a. Kesimpulan ................................ ................................ .............. 26
b. Saran ................................ ................................ ..................... 27
LAMPIRAN ................................ ................................ ..................... 28
2
1. Pendahuluan
Singkong (manihot utilissima) disebut juga ubi kayu atau ketela pohon.
Singkong merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri
makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari singkong
cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik,
gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih
lanjut. Dalam industri makanan, pengolahan singkong, dapat digolongkan
menjadi tiga yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang
dikeringkan (gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka
Foto 1.1: Singkong

Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/images
Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu: pertama; tradisional yaitu industri pengolahan tapioka
yang masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya sangat
tergantung pada musim, kedua; semi modern yaitu industri pengolahan
tapioka yang menggunakan mesin pengering (oven) dalam melakukan
proses pengeringan dan yang ketiga; full otomate yaitu industri pengolahan
tapioka yang menggunakan mesin dari proses awal sampai produk jadi.
Industri tapioka yang menggunakan peralatan full otomate ini memiliki
efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan tenaga kerja yang
sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas.
Selain menghasilkan tepung, pengolahan tapioka juga menghasilkan limbah,
baik limbah padat maupun limbah cair. Limbah padat seperti kulit singkong
dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk, sedangkan onggok
(ampas) dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pada industri
pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk bakar dan pakan ternak.
Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain
itu limbah cair pengolahan tapioka dapat diolah menjadi minuman nata de
cassava.
3
Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri
maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah
Pulau Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan
pasar luar negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.
Di Indonesia, industri tepung tapioka memiliki asosiasi yaitu Assosiasi
Tepung Tapioka Indonesia (ATTI) yang berpusat di Jakarta. Keberadaan
asosiasi ini belum begitu dirasakan oleh pihak-pihak terkait terutama petani
yang tidak dapat menikmati harga singkong sesuai dengan kesepakatan
antara pemda, petani dan pengusaha. Sementara pengusaha tidak dapat
memperoleh bahan baku secara langsung dari petani. Asosiasi ini diharapkan
dapat berperan dalam pengendalian harga pasar tepung tapioka, harga
bahan baku serta akses permodalan bagi pengusaha, sehingga industri
tapioka dapat berkembang dalam rangka memenuhi permintaan pasar dalam
negeri dan pasar luar negeri.
Industri tapioka mulai marak tahun 1980-an. Dalam melakukan usaha
selama ini, industri pengolahan tapioka menggunakan modal sendiri dan
sebagian menggunakan modal dari perbankan dan bantuan dari BUMN serta
kemitraan. Di kabupaten Lampung Timur usaha ini cukup berkembang dan
pemerintah telah mempermudah perizinan dan aktif melakukan pembinaan,
disamping itu hampir seluruh perbankan di Lampung Timur membiayai usaha
ini.
Industri tapioka yang terdapat di Propinsi Lampung, terutama yang berada di
Kabupaten Lampung Timur yang menjadi daerah survei dalam penyusunan
buku ini, pada tahun 2003 memiliki 38.964 hektar lahan untuk penanaman
singkong yang menghasilkan 592.358 ton singkong dan memiliki 31
perusahaan menengah besar yang terdaftar di Dinas Pertanian, disamping
puluhan perusahaan menengah kecil yang merupakan industri tapioka rakyat
(Dinas Pertanian Lampung Timur, 2004).
4
2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan
a. Profil Usaha
Ubi kayu atau singkong merupakan bahan baku utama industri tapioka. Di
Propinsi Lampung, pabrik tapioka dapat mengolah sekitar 4000-5000 ton
perhari. Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu wilayah penghasil
utama singkong. Tabel berikut ini menyajikan perkembangan luas areal dan
jumlah produksi pada tahun 2003.
Tabel 2.1.
Luas Areal dan Jumlah Produksi Singkong
Kecamatan
Luas
(hektar)
Produksi
(ton)
Metro Kibang 512 9,417
Batanghari 344 11,325
Sekampung 710 9,375
Marga Tiga 2,755 30,488
Sekampung Udik 1,468 28,207
Jabung 1,433 13,978
Pasir Sakti 98 1,140
Waway Karya 919 11,450
Labuhan Maringgai 563 5,003
Mataram baru 325 4,973
Bandar SriBawono 616 10,792
Melinting 578 9,042
Gunung Pelindung 55 1,838
Way Jepara 485 6,350
Braja Selebah 515 8,025
Labuhan Ratu 3,789 54,145
Sukadana 9,810 147,838
Bumi Agung 1,740 31,924
Batanghari Nuban 8,269 135,992
Pekalongan 936 8,858
Raman Utara 2,261 37,745
Purbolinggo 144 3,310
Way Bungur 639 11,183
Jumlah 38,964 592,398
Sumber: Dinas Pertanian Lampung Timur
Jumlah perusahaan tepung tapioka yang tercatat pada Dinas Pertanian
Lampung Timur saat ini sebanyak 31 perusahaan dengan kapasitas
56.927,08 ton. Tabel 2.2. menyajikan perusahaan tapioka di Kabupaten
Lampung Timur dengan kapasitas produksinya.
5
Tabel 2.2.
Perusahaan, Kapasitas Produksi, dan Sumber Dana
Kecamatan Nama Perusahaan Kapasitas(ton)
Sumber
Dana
Batanghari PT Wira Kencana Adi Perdana 6.500,00 Swasta
PT Eka Inti Tapioka 6.000,00 Swasta
PT Sumber Agung 1.600,00 Swasta
Hendra Sumardi 1.350,00 Swasta
Sumber Maju 547,20 Swasta
Anugrah Jaya 547,20 Swasta
Sejahtera Mandiri 820,80 Swasta
Tohalo 410,40 Swasta
Kopastara n.a n.a
Pekalongan Ngudi Makmur 820,00 Swasta
Wahyu Utama 382,04 Swasta
Surya Perdana 383,04 Swasta
Warga Sehati I 339,00 Swasta
Warga Sukabumi n.a Swasta
Warga Sehati II 665,00 Swasta
Sinar Metro 1,440,00 Swasta
Wonosari 630,00 Swasta
Mini Surya Pudana 1,200,00 Pembangunan
Sukadana Muara jaya n.a Swasta
Sido Rukun 638,40 Swasta
Rukun Santosa 912,00 Swasta
Sido Rukun 1.200,00 Pembangunan
Bumi Agung Harapan Sejahtera 684,00 Swasta
Labuhan Ratu Surya Perdana 450,00 Swasta
Lestari Jaya n.a- Pembangunan
Way Jepara PT Bumi Acid 12.500,00 Swasta
Sekampung
Udik PT Umas Jaya 15.084,00 Swasta
Raman Utara Sentral Intan n.a Swasta
Way Raman n.a Swasta
Waliyem 912,00 Swasta
Way Bungur Subur Jaya 912,00 Swasta
Jumlah 31 perusahaan 56.927,08
Sumber: Dinas Pertanian Lampung Timur
6
Dari tabel tersebut diketahui sebagian besar sumber pendanaan usaha
berasal dari swasta. Sumber pendanaan yang berasal dari pembangunan
merupakan dana pemerintah yang disalurkan melalui dinas pertanian.
Sementara industri tapioka yang disurvei belum tercatat di Dinas Pertanian
Lampung Timur. Industri tapioka tersebut tergabung pada asosiasi industri
tapioka rakyat yaitu Industri Tapioka Rakyat atau ITTARA Mandiri. Sumber
pendanaan industri tapioka yang tergabung pada ITTARA Mandiri dari
perbankan yaitu BRI, Bank Mandiri, kemitraan dan Pertamina.
b. Pola Pembiayaan
Dalam menjalankan usaha pengolahan tapioka, sumber modal pengusaha
terdiri dari modal sendiri, kredit perbankan dan Pertamina. Pembiayaan yang
berasal dari perbankan meliputi kredit modal kerja dan investasi. Untuk
modal investasi, pengusaha wajib memiliki 30% modal investasi dan pihak
bank membiayai 70% modal investasi. Tingkat bunga kredit yang disalurkan
perbankan di Wilayah Lampung Timur adalah 13% (Bank Mandiri) dan 22%
(BRI) per tahun dengan sistem angsuran bulanan, dengan jangka waktu 12
bulan dengan pembayaran efektif menurun. Tingkat bunga kredit yang
diperoleh dari BUMN sebesar 6% per tahun dengan jangka waktu 12 bulan,
angsuran per bulan dengan pinjaman maksimal 50 juta.
Usaha pengolahan singkong di wilayah Lampung Timur telah banyak
dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut, Dinas Pertanian Lampung Timur
telah mengeluarkan kebijakan tentang harga beli bahan baku di tingkat
petani, namun Dinas Industri dan Perdagangan Lampung Timur belum
memiliki peraturan khusus yang mengatur perdagangan tapioka terutama
kebijakan mengenai harga jual, standar produk serta pemasaran tepung
tapioka.
7
3. Aspek Pemasaran
a. Permintaan dan Penawaran
Permintaan tepung tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena
peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku
tapioka. Selama ini, sebagian besar hasil produksi tapioka hanya mampu
memenuhi kebutuhan beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Surabaya,
Bogor, Indramayu dan Tasikmalaya.
Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia menghasilkan rata-rata 15 sampai
16 juta ton tapioka dari industri tapioka yang berlokasi di Sumatra, Jawa,
dan Sulawesi. Jumlah produksi tapioka yang terserap pasar dalam negeri
sebanyak 13 juta ton dan permintaan dalam negeri mengalami peningkatan
10% per tahun. Saat ini, produksi tapioka Indonesia belum dapat memenuhi
pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta
ton pertahun. Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau Sumatra,
sedangkan 30% merupakan produksi Pulau Jawa dan Sulawesi.
(foodmarketexchange.com). Hal tersebut mengindikasikan masih luasnya
potensi usaha dan permintaan tapioka di Indonesia.
Tepung tapioka Indonesia sangat berpeluang untuk meraih pasar Asia dan
Eropa. Ketersediaan lahan dan bahan baku serta tenaga yang murah
menyebabkan produk Indonesia mampu bersaing dalam harga.
(1). Pasar Ekspor
Ekspor tapioka Indonesia telah menjangkau berbagai negara di Asia dan
Eropa, dengan ekspor terbesar ke Korea (54%) dan Cina (30%) dari total
ekspor (Tabel 3.1). Luasnya negara tujuan ekspor di beberapa negara Asia
dan Eropa menunjukkan bahwa ekspor komoditi ini sangat potensial.
Tabel 3.1.
Ekspor Tapioka Indonesia Tahun 1997
Negara Tujuan
Total Ekspor (Dari
Berbagai Bentuk)
(kg)
Nilai Ekspor
(FOB) (US$)
Korea 120.797.083 12.125.792
Cina 67.502.292 5.473.891
Belanda 20.400.000 1.371.550
Malaysia 2.342.962 436.884
Jerman 4.500.000 328.000
Swiss 3.000.000 165.000
Jepang 762.000 154.570
Pilipina 558.000 107.884
Taiwan 570.000 85.500
8
Inggris 26.600 57.399
Singapura 247.000 53.106
Vietnam 697.920 41.875
Sumber: Biro Pusat Statistik 1997
(2). Penawaran
Seperti dikemukakan pada bab sebelumnya, produksi tepung tapioka di
Lampung Timur pada tahun 2003 mencapai 56 927,08 ton (yang tercatat
pada Dinas Pertanian) di mana produksi tersebut belum mampu memenuhi
pasar dalam negeri.
Selain Kabupaten Lampung Timur terdapat beberapa daerah produksi tapioka
lainnya seperti Lampung Tengah, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur
maupun Sulawesi. Wilayah nusantara yang subur dan tanaman singkong
yang mudah tumbuh menyebabkan potensi pengolahan tepung tapioka
semakin terbuka lebar.
b. Persaingan dan Peluang Pasar
Indonesia adalah produsen nomor dua di Asia setelah Thailand. Produksi
rata-rata tapioka Indonesia mencapai 15-16 ton, sedangkan Thailand 30 juta
ton tapioka pertahun dan Vietnam berada pada urutan ketiga yaitu 2-3 juta
ton tapioka per tahun.
Perdagangan bebas yang akan dilaksanakan di masa mendatang akan
memberikan dampak positif terhadap produk pertanian Indonesia, termasuk
industri tapioka. Ditinjau dari segi harga dan kualitas, tapioka Indonesia
dapat bersaing dengan Thailand. Sebagaimana diungkapkan
foodmarketexchange.com, bahwa tapioka Indonesia merupakan salah satu
ancaman bagi pasar tapioka Thailand.
Peluang pasar tapioka Indonesia masih sangat terbuka terutama pasar Eropa
seperti Spanyol, Belanda, Jerman, Prancis dan Portugal. Disamping itu pasar
dalam negeri yang sampai saat ini belum dapat terpenuhi
c. Harga
Harga tepung tapioka ditentukan oleh kualitas tepung tapioka dan harga
bahan baku, yakni singkong. Kualitas tepung yang baik adalah tepung
tapioka yang berwarna putih dan empuk. Di Kabupaten Lampung Timur yang
menjadi daerah survei regulasi yang mengatur perdagangan singkong dan
tepung tapioka belum ada sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan
harga yang lebar pada tingkat produsen dan petani.
Harga singkong di tingkat petani Rp 80,- per kilogram, sementara industri
tepung tapioka mampu membeli singkong dengan harga antara Rp 165
9
hingga Rp 225 per kilogram. Regulasi tersebut dimaksudkan agar petani
sebagai produsen bahan baku dapat membiayai dan tetap melangsungkan
usahanya. Sementara regulasi perdagangan tapioka dimaksudkan agar
terjadi kestabilan harga. Penurunan harga tapioka ditingkat produsen di
Kabupaten Lampung Timur tersebut disebabkan oleh tidak adanya regulasi
perdagangan tapioka. Pedagang perantara memiliki peran yang signifikan
terhadap penentuan harga tersebut.
Tabel 3.2. menunjukkan perkembangan harga tepung tapioka ditingkat
produsen dengan kualitas baik mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir
ini.
Tabel 3.2.
Perkembangan Harga Tapioka
Tahun Harga (Rp/kg)
2004 525 - 1.300
2003 800 - 1.600
2002 1.350 - 1.700
2001 1.700 - 1.800
Sumber: Data primer, diolah
Harga tepung tapioka Rp 525 sampai Rp 1.300 per kilogram di tingkat
pengusaha, sedangkan harga rata-rata Rp 800 sampai Rp 900 per kg, dan
harga pada tingkat konsumen akhir mencapai Rp 2.300,- per kilogram.
d. Jalur Pemasaran Produk
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil survei, jalur pemasaran
produk tapioka di Lampung Timur masih sederhana. Alur pemasaran tapioka
tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Bagan 3.1. Alur Pemasaran Produk

Sumber: Data Primer
Dalam memasarkan tapioka, pengusaha menjual ke pedagang perantara
yang kemudian dijual ke pengepul. Dari pengepul tersebut, tapioka
didistribusikan ke pasar di Jawa, industri pengolahan yang menggunakan
bahan baku tapioka dan pedagang pengecer di pasar.
e. Kendala Pemasaran
Salah satu kendala pemasaran tapioka terletak pada minimnya informasi
mengenai harga dan jumlah permintaan pasar yang dapat diperoleh
pengusaha. Selain tidak memiliki informasi pasar yang sempurna, belum
10
adanya regulasi mengenai perdagangan seperti standar produk dan
pemasaran juga menjadi kendala usaha ini.
Disamping itu, mutu bahan baku juga menentukan kualitas tapioka. Kualitas
bahan baku sering tidak selalu baik, karena masih banyak petani yang
menerapkan pola panen singkong yang tidak optimal, di mana petani sering
kali memanen singkong lebih dini dari usia panen yang seharusnya yakni
singkong belum berumur 7 bulan. Padahal singkong yang menghasilkan
mutu tapioka yang baik berumur lebih dari 7 bulan. Menurunnya kualitas
tapioka tersebut menyebabkan rendahnya harga jual tapioka dan tepung
tidak bertahan lama.
Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan pembinaan dari peyediaan
bahan baku sampai pada pemasaran produk. Dalam peyediaan bahan baku
diperlukan kemitraan antara petani dan pengusaha agar ketersediaan dan
kualitas bahan baku tetap terjaga. Dalam hal pemasaran produk diperlukan
regulasi dan pembinaan akses pasar bagi pengusaha industri tapioka.
11
4. Aspek Produksi
a. Lokasi Usaha
Lokasi pengolahan tapioka sebaiknya dipilih wilayah yang memiliki sumber
air dan akses yang baik terhadap panas matahari. Panas matahari
merupakan faktor produksi yang penting bagi industri pengolahan tapioka,
dengan demikian, lokasi usaha yang memiliki akses yang baik terhadap
panas matahari akan mendukung keberhasilan usaha pengolahan tapioka,
karena umumnya pengusaha kecil pada bidang pengolahan tapioka belum
mampu menyediakan teknologi pengeringan tapioka. Ketersediaan air juga
sangat penting, terutama untuk pencucian dan penyaringan tepung.
b. Fasilitas Produksi dan Peralatan
Untuk memproduksi tapioka, dengan kapasitas 30 ton singkong per hari
dibutuhkan fasilitas dan peralatan produksi sebagaimana disajikan pada
Tabel 4.1.
Tabel. 4.1.
Fasilitas dan Peralatan Produksi
No Asumsi Satuan Jumlah/nilai
1
Mesin
Penggerak/Generator buah 2
2 Mesin Parut buah 2
3 Mesin Pompa buah 2
4 Mesin Ayakan buah 10
5 Bak Kaca M
2
25
6 Bak Penampung buah 4
7 Alat Semprot buah 1
8 Saringan buah 10
9 Bambu buah 1000
10 Pipa set 1
11 Rak M
2
16
12 Tambir buah 10.000
13 Mesin Induk buah 1
14 Timbangan buah 2
Sumber: Data Primer, diolah

Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas fasilitas dan peralatan produksi
yang digunakan. Masing-masing peralatan memiliki fungsi yang bebeda.
Mesin induk merupakan mesin yang menjadi pusat dari seluruh proses
produksi.
12
c. Bahan Baku
Bahan baku tepung tapioka adalah singkong yang diperoleh melalui
pemasok. Singkong yang dipanen setelah berumur 7 sampai 10 bulan akan
menghasilkan tapioka berkualitas baik.
d. Tenaga Kerja
Tenaga kerja pada industri tapioka tidak memerlukan keahlian khusus.
Jumlah tenaga kerja ditentukan oleh kapasitas produksi dan teknologi yang
digunakan. Besarnya penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan
tapioka ditentukan oleh volume produksi. Semakin tinggi volume produksi
semakin besar jumlah tenaga kerja yang diserap. Tenaga kerja yang
dibutuhkan meliputi seluruh proses produksi dari pengupasan sampai pada
pengeringan produk.
e. Teknologi
Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan
teknologi tersebut adalah tradisional atau mekanik sederhana, semi modern,
dan full otomate. Perbedaan teknologi pengolahan tapioka dapat dilihat pada
tabel 4.2 berikut ini
Tabel 4.2.
Perbedaan Tekonologi Pengolahan Tapioka
Proses Tradisional Semi Modern Full Otomate
Pengupasan Manual Manual Mesin
Pencucian Manual Manual Mesin
Pemarutan Mesin Mesin Mesin
Pemerasan Mesin Mesin Mesin
Pengendapan Manual Manual Mesin
Pengeringan Sinar Matahari Oven Mesin
Sumber: Data Primer
Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi
mekanik sederhana. Pada teknologi ini, sebagian proses produksi
menggunakan mesin penggerak untuk melakukan pemarutan dan
pengepresan, sedangkan pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar
matahari.
f. Proses Produksi
1. Pengupasan
Pengupasan dilakukan dengan cara manual yang bertujuan untuk
memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama pengupasan,
sortasi juga dilakukan untuk memilih singkong berkualitas tinggi dari
13
singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses
menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak.
2. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan meremas-
remas singkong di dalam bak yang berisi air, yang bertujuan
memisahkan kotoran pada singkong.
Foto 4.1 : Pencucian Singkong

3. Pemarutan
Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu :
a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan
memanfaatkan tenaga manusia sepenuhnya.
b. Parut semi mekanis, digerakkan dengan generator
4. Pemerasan/Ekstraksi
Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:
a. Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual
menggunakan kain saring, kemudian diremas dengan
menambahkan air di mana cairan yang diperoleh adalah pati
yang ditampung di dalam ember.
b. Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (sintrik).
Bubur singkong diletakkan di atas saringan yang digerakkan
dengan mesin. Pada saat saringan tersebut bergoyang,
kemudian ditambahkan air melalui pipa berlubang. Pati yang
dihasilkan ditampung dalam bak pengendapan.
14
Foto 4.2: Pemerasan/Pengepresan

5. Pengendapan
Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam.
Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan
diambil dan dikeringkan.
Foto 4.3: Tepung hasil endapan yang siap dikeringkan

6. Pengeringan
Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan
cara menjemur tapioka dalam nampan atau widig atau tambir yang
diletakkan di atas rak-rak bambu selama 1-2 hari (tergantung dari
cuaca). Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar
air 15-19%.
15
Foto 4.4: Pengeringan tapioka dengan sinar matahari


g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi
Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong
yang memiliki kadar tepung tinggi yaitu singkong yang dipanen setelah
berusia lebih dari 7 bulan.
Foto 4.5: Tepung Tapioka


h. Produksi Optimum
Produksi optimal tepung tapioka ditentukan oleh kualitas bahan baku.
Dengan kualitas bahan baku yang baik, satu ton singkong dapat
menghasilkan 400 kilogram tapioka dan 160 kilogram onggok.
16
i. Kendala Produksi
Kendala dalam industri pengolahan singkong ini adalah ketersediaan bahan
baku. Ketersediaan bahan baku sangat penting karena apabila terjadi
kelangkaan bahan baku maka produksi akan macet. Untuk itu, kemitraan
dengan petani sebagai pemasok bahan baku sangat diperlukan. Disamping
untuk menjamin ketersediaan bahan baku, kemitraan ini juga untuk
menjamin kualitas bahan baku.
17
5. Aspek Keuangan
a. Pemilihan Usaha
Usaha pengolahan tapioka harus memperhatikan ketersediaan bahan baku,
musim dan modal. Untuk usaha yang menggunakan mesin pengering, faktor
alam seperti sinar matahari dan musim tidak menjadi kendala yang berarti,
namun baik teknologi sederhana, semi modern maupun full otomate faktor
ketersediaan air harus tetap diperhatikan. Usaha pengolahan tepung tapioka
di Indonesia masih potensial untuk dilaksanakan karena Indonesia masih
memiliki lahan yang potensial untuk penanaman singkong, sehingga
ketersediaan bahan baku untuk industri tapioka dapat terjamin. Disamping
itu, industri pengolahan tapioka dapat dilakukan dengan teknologi yang
sederhana dan tidak membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keahlian
khusus.
b. Asumsi
Analisis keuangan suatu proyek terdiri dari proyeksi penerimaan dan
pengeluaran selama periode proyek. Analisis keuangan perlu dilakukan untuk
mengetahui gambaran mengenai pendapatan dan biaya, kemampuan
melunasi kredit dan kelayakan proyek.
Penyusunan analisa keuangan dalam buku ini menggunakan beberapa
asumsi yang didasarkan pada hasil pengamatan lapangan serta masukan dari
instansi terkait seperti Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan serta
referensi yang mendukung dalam penentuan parameter yang digunakan.
Tabel 5.1. menyajikan asumsi dan parameter yang digunakan dalam analisis
keuangan.
Tenaga kerja tetap, termasuk di dalamnya tenaga kerja manajerial,
berjumlah 6 orang dengan upah Rp 750.000 per orang per bulan. Dari hasil
survai, pemilik usaha kecil pengolahan tapioka sekaligus bertindak sebagai
tenaga manajerial yang gajinya sama dengan tenaga kerja tetap.
Tabel 5.1.
Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan

No Asumsi Satuan Jumlah/Nilai
1 Periode proyek tahun 5
2 Luas tanah hektar 3
3 Hari kerja per bulan hari 25
- Bulan kerja per tahun bulan 12
- Hari kerja tenaga borongan hari 300
4 Produksi dan Harga
- Kapasitas maksimum per ton 30
18
hari
- Produksi per bulan ton 195
- Produksi per tahun ton 2.340
- Harga tapioka per ton Rp 900.000
- Produksi Onggok per bulan ton 62
- Harga onggok Rp/ton 300.000
5
Rendemen per ton bahan
baku
- Tapioka % 25%
- Onggok % 8%
6 Penggunaan tenaga kerja
- Tenaga Manajerial orang
- Tenaga kerja tetap orang 6
- Tenaga kerja borongan orang 20
7 Upah tenaga kerja per hari
- Tenaga Manajerial Rp/org
- Tenaga kerja tetap Rp/org 25.000
- Tenaga kerja borongan Rp/org 15.000
8 Bahan baku per bulan ton 780
9 Harga bahan baku Rp/ton 195.000
10 Discount factor/suku bunga % 13%
Sumber : Lampiran 1
c. Komponen Biaya Investasi dan Biaya Operasional
1. Biaya Investasi
Biaya investasi merupakan biaya tetap (fixed cost) untuk melakukan
pengolahan tepung tapioka. Biaya investasi industri pengolahan tapioka
meliputi perizinan, sewa tanah dan bangunan, mesin dan peralatan.
Jumlah biaya investasi yang dibutuhkan pada tahun ke-0 sebesar Rp
265.000.000. Selama periode proyek, terdapat beberapa komponen biaya
investasi yang harus melakukan reinvestasi pada tahun-tahun berikutnya,
antara lain sewa tanah dan bangunan serta peralatan lain seperti kain
saringan, bambu, dan tambir.
19
Tabel 5.2.
Komponen Biaya Investasi Pengolahan Tapioka
No Jenis Biaya Nilai Penyusutan
1 Perijinan - 0
2 Sewa tanah dan bangunan 30.000.000 0
3 Mesin/Peralatan 235.000.000 40.369.048
Jumlah 265.000.000 40.369.048
4 Sumber dana investasi dari % Rp
Kredit 70% 185.500.000
Dana sendiri 30% 79.500.000
Sumber : Lampiran 2

2. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang besarnya
tergantung pada jumlah produk. Komponen biaya operasional dalam
pengolahan tapioka ini meliputi biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya
overhead. Tabel 5.3. menunjukkan biaya operasional yang dibutuhkan untuk
industri pengolahan tapioka ini.
Tabel 5.3.
Biaya Operasional Pengolahan Tapioka
No Input Satuan Jumlah
Harga
(per
satuan)
Nilai
per bulan
Nilai
per th
1 Tenaga Kerja
a. tetap orang/bln 6 750.000 4.500.000 54.000.000
b. tidak tetap orang/bln 20 15.000 7.500.000 90.000.000
Sub Jumlah 12.000.000 144.000.000
2 Bahan Baku
a. Singkong ton 780 195.000 152.100.000 1.825.200.000
Sub Jumlah 152.100.000 1.825.200.000
3 Biaya Overhead
a. solar liter/hari 25 1.850 1.156.250 13.875.000
b. Listrik bulan 1 400.000 400.000 4.800.000
c. Telpon Bulan 1 2.000.000 2.000.000 24.000.000
Sub Jumlah 3.556.250 42.675.000
4 Transportasi
5 Penjualan output ton/bulan 195 10.000 1.950.000 23.400.000

Perbaikan dan
Pemeliharaan
alat bulan 1 250.000 250.000 3.000.000
Jumlah Total Biaya 169.856.250 2.038.275.000
Sumber : Lampiran 3
20
Total biaya operasional yang dibutuhkan pada tahun pertama sejumlah Rp
2.038.275.000. Biaya variabel pada tahun selanjutnya diasumsikan konstan
karena kapasitas mesin yang tetap, biaya bahan baku merupakan harga
yang telah disepakati antara petani, Pemerintah Daerah dan pengusaha.
Jumlah tenaga kerja tidak tetap yang terlibat dalam usaha ini tergantung
pada kapasitas mesin dan jumlah produksi sedangkan upah tenaga kerja
tetap tidak mengalami kenaikan karena menyesuaikan dengan upah
minimum propinsi.
d. Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja
Dana yang dibutuhkan untuk usaha pengolahan tapioka terdiri dari modal
investasi dan modal kerja, komposisi dana tersebut seperti disajikan pada
Tabel 5.4.
Tabel 5.4.
Kebutuhan Modal Kerja dan Investasi
No Rincian Biaya Proyek Total Biaya
1 Dana investasi yang bersumber dari
a. Kredit 185.500.000
b. Dana sendiri 79.500.000
Jumlah dana investasi 265.000.000
2 Dana modal kerja yang bersumber dari
a. Kredit 76.435.313
b. Dana sendiri 178.349.063
Jumlah dana modal kerja 254.784.375
3 Total dana proyek yang bersumber dari
a. Kredit 261.935.313
b. Dana sendiri 257.849.063
Jumlah dana proyek 519.784.375
Sumber : Lampiran 5
Pada Tabel 5.4 menunjukkan rincian kebutuhan dana untuk investasi dan
modal kerja dalam setahun. Untuk investasi dibutuhkan dana sebesar Rp
265.000.000. Untuk kredit investasi bank mensyaratkan perbandingan: 70%
persen kredit bank dan 30% persen dana sendiri. Dengan perbandingan
tersebut, kredit investasi yang dibutuhkan adalah Rp 185.500.000
sedangkan dana sendiri untuk investasi sebesar Rp 79.500.000.
Untuk modal kerja dibutuhkan dana sebesar Rp 254.784.375 dengan
perbandingan 30% kredit bank dan 70% dana sendiri. Dengan perbandingan
tersebut, kredit modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 76.435.313
sedangkan dana sendiri untuk modal kerja sebesar Rp 178.349.063.
Berikut ini adalah asumsi yang digunakan untuk penghitungan angsuran
kredit untuk usaha ini, baik angsuran pokok maupun angsuran bunga.
21
Jangka waktu pinjaman selama 4 tahun
Bunga 13%, per tahun dengan sistem perhitungan efektif menurun
Angsuran pokok dan bunga dibayarkan setiap bulan
Tabel 5.5.
Angsuran Pokok dan Angsuran Bunga
Tahun Kredit
Angsuran Angsuran Total Saldo Saldo
Pokok Bunga Angsuran Awal Akhir
0 261.935.313 261.935.313 261.935.313
1 122.810.313 26.734.143 149.544.455 261.935.313 139.125.000
2 46.375.000 15.323.073 61.698.073 139.125.000 92.750.000
3 46.375.000 9.294.323 55.669.323 92.750.000 46.375.000
4 46.375.000 3.265.573 49.640.573 46.375.000 0
Sumber : Lampiran 6
e. Produksi dan Pendapatan
Output usaha pengolahan tapioka adalah onggok dan tepung tapioka. Dari
penjualan output tersebut diperoleh pendapatan sebesar Rp 2.330.640.000
yang diperoleh dari produksi tepung tapioka sebanyak 2.340 ton per tahun
dengan harga jual Rp 900/kg dan 749 ton per tahun onggok dengan harga
jual Rp 300/kg. Proyeksi pendapatan dan biaya selengkapnya bisa dilihat di
Lampiran 4 and Lampiran 7.
f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point
Proyeksi laba rugi menunjukkan bahwa pada tahun pertama usaha
pengolahan tapioka mampu memperoleh laba sebesar Rp 87.083.772 dengan
rata-rata profit margin tiap tahun sebesar 6,88% per tahun dan BEP rata-
rata Rp 826.499.976 atau BEP produksi rata-rata 918 ton. Lampiran 8
menyajikan proyeksi laba/rugi per tahun dari usaha pengolahan tapioka.
g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek
Arus kas usaha pengolahan tapioka ini dapat dilihat pada lampiran 9. Dalam
analisis kas dilakukan perhitungan Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C Ratio),
Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Pay Back Period
(PBP).
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengolahan tapioka merupakan usaha
yang menguntungkan karena pada tingkat bunga 13% per tahun, net B/C
ratio 1,81 dan NPV Rp 373.307.965,- dan IRR sebesar 39,63% artinya
proyek ini layak dilaksanakan sampai tingkat bunga pinjaman sebesar
39,63%.
22
Tabel 5.7.
Kelayakan Pengolahan Tapioka
No Kriteria Kelayakan Nilai
1 Net B/C ratio pada DF 13% 1,72
2 NPV pada DF 13% (Rp) 373.307.965
3 IRR (%) 39,63
4 PBP (usaha) 3 tahun 3 bulan
5 PBP (kredit) 1 tahun 9 bulan
Sumber : Lampiran 9
Dari hasil analisis kelayakan keuangan tersebut dapat disimpulkan bahwa
semua biaya investasi yang ditanamkan pada usaha ini akan kembali pada
tahun ke-3, pendapatan tahun ke-4 dan selanjutnya merupakan pendapatan
bersih. Sementara, berdasarkan jumlah kredit usaha tersebut, investasi yang
ditanam akan kembali pada tahun kedua
i. Analisis Sensitivitas Kelayakan Proyek
Proyeksi penerimaan dan biaya didasarkan pada asumsi dan proyeksi yang
memiliki ketidakpastian. Untuk itu diperlukan analisis sensitivitas untuk
menguji seberapa jauh proyek yang dilaksanakan sensitif terhadap
perubahan harga input maupun output, kesalahan dalam pembangunan
sarana fisik dan operasional ataupun kelemahan estimasi produksi.
Analisis sensitivitas yang dilakukan dengan menggunakan 3 skenario yaitu:
1. Skenario I
Pendapatan mengalami penurunan sebesar 3% dan 4%, sedangkan
biaya investasi dan biaya operasional tetap. Penurunan pendapatan
dapat terjadi karena harga jual tepung tapioka mengalami penurunan
atau jumlah produksi tidak tercapai.
2. Skenario II
Biaya operasional mengalami kenaikan sebesar 4% dan 5%,
sedangkan biaya investasi dan pendapatan dianggap tetap. Kenaikan
biaya operasional dapat terjadi apabila harga input meningkat. Dalam
hal ini komponen terbesar adalah bahan baku, maka biaya operasional
sensitif terhadap kenaikan bahan baku singkong.
3. Skenario III
Skenario ini merupakan gabungan dari skenario I dan II yaitu
diasumsikan pendapatan menurun sebesar 2% dan 3% dan pada saat
yang sama biaya operasional mengalami kenaikan sebesar 2% dan
3%, sedangkan biaya investasi dianggap tetap.
Hasil analisis terhadap ketiga skenario di atas diringkas pada tabel berikut
ini.
23
Tabel 5.8.
Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario I
No Kriteria Kelayakan
Penerimaan Turun
3% 4%
1 Net B/C ratio pada DF
13% 1,25 1,09
2 NPV pada DF 13% (Rp) 127.385.969 45.411.971
3 IRR (%) 22,56 16,48
4 PBP (usaha) 4 tahun 3 bulan 6 tahun 1 bulan
5 PBP (kredit) 2 tahun 11
bulan
3 tahun 11
bulan
Sumber : Lampiran 10 dan Lampiran 11

Tabel 5.9.
Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario II
No Kriteria Kelayakan
Biaya Operasional Naik
4% 5%
1 Net B/C ratio pada DF
13% 1,17 1,03
2 NPV pada DF 13% (Rp) 86.544.583 14.853.738
3 IRR (%) 19,56 14,15
4 PBP (usaha) 4 tahun 9 bulan 6 tahun 2 bulan
5 PBP (kredit) 3 tahun 4 bulan 3 tahun 8 bulan
Sumber : Lampiran 12 dan Lampiran 13

Tabel 5.10.
Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario III
No Kriteria Kelayakan
Penerimaan Turun dan biaya
naik
2% 3%
1 Net B/C ratio pada DF
13% 1,13 0,83
2 NPV pada DF 13% (Rp) 65.978.277 (87.686.567)
3 IRR (%) 18,03 5,99
4 PBP (usaha) 4 tahun 11
bulan
6 tahun 9
bulan
5 PBP (kredit)
3 tahun 7 bulan
5 tahun 3
bulan
Sumber : Lampiran 14 dan Lampiran 15
Pada skenario I, pada saat pendapatan turun sebesar 3% dengan tingkat
bunga 13%, diperoleh Net B/C Ratio lebih besar dari satu, NPV positif dan
IRR mencapai 22,56%. Dapat disimpulkan bahwa pada penurunan
24
pendapatan sebesar 3% proyek tersebut layak dilaksanakan. Pada
penurunan pendapatan sebesar 4%, diperoleh Net B/C Ratio sebesar 1,09,
NPV Rp 45.411.971,-, IRR 16,48%. Jika dilihat dari kriteria investasi,
penurunan pendapatan sebesar 4% ini usaha pengolahan tapioka masih
layak dilaksanakan. Tetapi jika dilihat dari jangka waktu pengembalian
investasi, usaha ini tidak layak dilaksanakan karena payback periodnya
melebihi periode proyek yang hanya 5 tahun.
Pada skenario II, biaya operasional mengalami kenaikan dengan asumsi
biaya investasi dan pendapatan tetap. Pada kenaikan biaya operasional
sebesar 4%, diperoleh Net B/C Ratio lebih besar dari satu, NPV positif dan
IRR mencapai 19,56%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan
suku bunga 13%, pada kenaikan biaya operasional sebesar 4% proyek ini
masih layak dilaksanakan. Pada kenaikan biaya mencapai 5% proyek ini
tidak layak dilaksanakan karena Payback period melebihi umur proyek
dengan jangka waktu pengembalian investasi selama 6 tahun 2 bulan.
Pada skenario III, diasumsikan terjadi penurunan pendapatan dan kenaikan
biaya operasional. Pada penurunan dan kenaikan biaya operasional masing-
masing sebesar 2%, proyek tersebut masih layak dilaksanakan, karena pada
saat suku bunga 13% Net B/C ratio lebih dari satu dan NPV positif serta IRR
mencapai 18,03%. Namun bila penerimaan dan biaya naik sebesar 3%,
maka proyek ini tidak layak dilaksanakan karena IRR lebih kecil dari suku
bunga yaitu 5,99% dan PBP melebihi umur proyek.
Hasil analisis keuangan tersebut menunjukkan bahwa pengolahan tapioka
merupakan proyek yang menguntungkan, karena banyak pihak yang
mendapatkan manfaat dari proyek ini, antara lain petani, masyarakat dan
pengusaha. Di samping memiliki manfaat sosial, usaha pengolahan tapioka
ini juga memiliki manfaat ekonomi yang cerah di masa mendatang sehingga
usaha ini layak mendapatkan pembiayaan dari perbankan.
25
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan
a. Aspek Sosial Ekonomi
Dilihat dari aspek ekonomi dan sosial, usaha pengolahan tapioka memiliki
dampak yang positif. Banyak pihak yang memperoleh manfaat dari usaha ini,
diantaranya adalah petani singkong, masyarakat, dan pengusaha itu sendiri.
Pihak-pihak yang terkait tersebut dapat memperoleh kenaikan penghasilan
dari usaha tersebut. Dampak lain selain kenaikan pendapatan adalah bahwa
usaha pengolahan tapioka mampu menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja
pengolahan tapioka diperoleh dari masyarakat sekitar sehingga secara tidak
langsung mengurangi jumlah pengangguran.
b. Dampak Lingkungan
Usaha pengolahan tepung tapioka ini menghasilkan limbah padat, cair dan
udara. Sebagian limbah ini ada yang dapat dimanfaatkan lagi secara
ekonomis. Limbah padat atau sering disebut onggok merupakan bahan baku
pembuat saus dan obat nyamuk bakar. Limbah padat yang lain adalah kulit
singkong yang banyak dimanfaat untuk pupuk dan pakan ternak. Limbah cair
dari usaha ini digunakan untuk mengairi sawah sekitar lokasi pabrik sehingga
keberadaan industri tepung tapioka ini sangat bermanfaat bagi petani. Polusi
udara yang dihasilkan tidak mengganggu masyarakat karena terletak jauh
dari pemukiman masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tidak ada limbah dari usaha pengolahan tapioka ini yang merugikan baik
makhluk hidup maupun lingkungan yang tinggal di sekitarnya.
26
7. Penutup
a. Kesimpulan
1. Peluang pasar komoditi tepung tapioka baik untuk ekspor maupun
pemenuhan dalam negeri masih terbuka dan berpotensi memberikan
peluang bagi pengembangan dan peningkatan produksi tapioka di
Indonesia. Dilihat dari potensinya, sumber daya lahan dan sumber
daya manusia untuk pengembangan produksi tapioka di Indonesia
masih banyak tersedia di berbagai daerah.
2. Kendala yang dihadapi oleh pengusaha dalam pengembangan usaha
tapioka antara lain masalah bahan baku dan pemasaran tapioka.
Masalah bahan baku disebabkan oleh harga jual singkong dari petani
yang rendah sehingga petani tidak dapat membiayai usaha
penanaman singkong, sedangkan masalah pemasaran tapioka
disebabkan oleh minimnya informasi yang diperoleh pengusaha
mengenai harga dan jumlah permintaan pasar.
3. Kredit usaha yang dibutuhkan meliputi kredit modal kerja dan kredit
investasi. Jumlah kredit modal kerja sebesar Rp 76.435.313, dan
kredit investasi sebesar Rp 185.500.000.
4. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan menunjukkan
bahwa proyek ini sensitif terhadap penurunan penerimaan sampai
dengan 4%, dengan asumsi biaya investasi dan operasional adalah
tetap. Pada tingkat penurunan penerimaan tersebut proyek ini tidak
layak untuk dilaksanakan.
5. Analisis sensitivitas terhadap perubahan biaya operasional
menunjukkan bahwa proyek ini sensitif terhadap kenaikan biaya
operasional sampai dengan 5%, dengan asumsi biaya investasi dan
penerimaan adalah tetap. Pada tingkat kenaikan biaya operasional
tersebut proyek ini tidak layak untuk dilaksanakan.
6. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan sekaligus
kenaikan biaya operasional menunjukkan bahwa proyek ini sensitif
terhadap penurunan penerimaan dan kenaikan biaya operasional
sampai dengan 3%, dengan asumsi biaya investasi tetap. Pada tingkat
penurunan penerimaan sekaligus kenaikan biaya operasional sebesar
3%, proyek tidak layak untuk dilaksanakan.
7. Hasil analisis keuangan tersebut menunjukkan bahwa pengolahan
tapioka merupakan proyek yang menguntungkan, karena banyak
pihak yang mendapatkan manfaat dari proyek ini, antara lain petani,
masyarakat dan pengusaha. Disamping secara sosial memiliki
manfaat, secara ekonomi usaha ini juga memiliki masa depan yang
cerah dan layak dibiayai perbankan.
27
b. Saran
1. Untuk menjaga kestabilan harga baik harga bahan baku dan harga
tapioka pengusaha harus mengoptimalkan fungsi asosiasi atau
perkumpulan pengusaha tepung tapioka.
2. Untuk menjaga ketersediaan bahan baku dan keberlangsungan usaha,
setiap pengusaha diharapkan bermitra dengan petani, dengan
memberikan perhatian terhadap masalah penanaman ubi yang
menentukan kualitas tapioka dengan menyertakan pemberian pupuk
organik di samping pupuk anorganik (seperti urea) dan
mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah serta
memperhatikan umur tanam ubi.
3. Meskipun usaha ini layak dibiayai oleh bank, namun bank perlu untuk
melakukan analisis kredit yang lebih komprehensif berdasarkan prinsip
kehati-hatian bank.
28












LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai