Anda di halaman 1dari 8

Etika Bisnis Dalam Islam

Pengertian Etika dalam Islam


Dalam bahasa Arab, istilah etika sering disebut sebagai akhlaq ( ,) dengan bentuk
mufradnya )), yang berarti budi pekerti )Munawir, 1984). Menurut al-Ghazali
dalam Ihya Ulum ad-Din (t.t) akhlaq dimaknai sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa,
yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak
membutuhkan kepada pikiran. Sementara budi pekerti merupakan kata majemuk yang
terdiri dari dua kata budi dan pekerti. Perkataan budi berasal dari bahasa Sansakerta,
sedangkan 'pekerti' berasal dari bahasa Indonesia, yang berarti kelakuan. Secara
terminologis kata budi pekerti yang terdiri dari kata budi dan pekerti; 'budi' ialah yang
ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran,
rasio, yang disebut character. Pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, karena
didorong oleh perasaan hati, yang disebut behavior. Jadi, budi pekerti merupakan
perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku
manusia (Mujiono. dkk, 2002)
Tidak banyak buku atau tulisan yang dapat menjelaskan definisi secara jelas tentang etika
bisnis dalam Islam. Menurut Beekun (1996) etika bisnis dalam Islam tidak terlepas dari
etika individual yang terkait dengan prinsip moral yang dapat membedakan antara yang
baik atau buruk dan benar atau salah, hanya saja Beekun menyatakan bahwa etika bisnis
lebih merujuk pada ranah yang lebih luas terkait dengan manajemen organisasional. Etika
bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis.

Menurut Dimyati (2007) setidaknya ada dua kelompok besar pendapat terkait dengan
standar moral atau etika yang dijadikan dasar pijakan bangunan ekonomi dan bisnis
Islam. Pertama, kelompok yang langsung merujuk kepada etika al-Qur an )plus hadis)
sebagai dasar ekonomi Islam.
Kedua, kelompok yang menjadikan aturan-aturan interpretasi langsung terhadap ayat-
ayat al-Quran danas-Sunnah untuk menghasilkan beberapa prinsip dasar bagi ekonomi
Islam. Prinsip-prinsip dasar yang dihasilkan biasanya bersifat umum dan tidak langsung
dikaitkan dengan praktek ekonomi atau transaksi tertentu. Misalnya saja prinsip
adalah (keadilan, justice), tauhid (keesaan), nubuwah (kenabian), attawasuth (keseimba
ngan,equilibrium), ukhuwah (persaudaraan, brotherhood) dan seterusnya. Selain itu, hasil
dari interpretasi tersebut bisa juga berupa seruan-seruan moral yang dianggap sebagai
dasar ekonomi Islam, seperti anti kemiskinan, anti monopoli, anti penimbunan (ihtikar),
anti pemborosan (tabdzir), anti riba dan sebagainya. Sedangkan kelompok kedua
menggunakan cara-cara yang lebih praktis dengan mengambil langsung model-model
praktek ekonomi dan transaksi yang sudah dirumuskan oleh para fuqaha dalam literatur-
literatur fikh klasik. Mereka mencoba mengaplikasikan model-model transaksi tersebut
ke dalam praktek transaksi dalam ekonomi modern. Misalnya bai (jual
beli), ijarah (sewa-menyewa), rahn (gadai), mudharabah (bagi hasil dan rugi, profit and
loss sharing), wadiah (titipan, simpanan), musyarakah (kerjasama) dan lain sebagainya.

Pengertian Bisnis
Kata bisnis berakar dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti
"sibuk" dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk
mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan. Secara etimologi,
bisnis berarti keadaan di mana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan
pekerjaan yang menghasilkan keuntungan.
Bisnis juga didefiniskan sebagai usaha individu atau kolektif yang diorganisir secara
sistematis yang terdiri dari jual beli barang dan jasa dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan dan memenuhi kebutuhan sosial, atau dapat juga institusi yang memproduksi
barang dan jasa yang diminta oleh masyarakat (Alma, 1997; Arifin, 2008).

Pengertian Etika Bisnis
Bertens (2000), menjelaskan bahwa etika bisnis merupakan moralitas dalam ekonomi.
Moralitas berarti baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau
tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan
manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan satu bidang perilaku manusia yang penting.
Tidak mengherankan jika sejak dahulu etika juga menyoroti ekonomi dan bisnis.
Sementara menurut Haryani dan Subhan (2007) etika bisnis mengacu pada nilai-nilai etis
yang diterapkan dan dioperasionalisasikan dalam seluruh aktifitas bisnis baik pada level
kebijakan, institusi maupun prilaku bisnis.

Prinsip Dasar Etika Bisnis
Dalam Deklarasi Antar-Agama tentang Kode Etik Bisnis Internasional untuk Kaum
Kristiani, Muslim dan Yahudi yang diselenggarakan di Amman Yordania tahun 1993
disepakati ada empat prinsip dasar dalam etika bisnis: pertama, Keadilan
(justice/fairness). Keadilan dapat dimaknai sebagai prilaku yang pantas, jujur,
menggunakan kewenangannya dengan baik dan tepat. Semua ajaran agama sepakat
bahwa Tuhan menyerukan keadilan yang harus menjadi landasan bagi hubungan antar
manusia. Anjuran akan hubungan yang adil di antara masyarakat kaum beriman dan yang
lainnya secara konstan tersurat dalam ajaran kitab suci sebagai wujud sifat adil dan
rahmat Tuhan bagi semesta alam.
Kedua, Saling menghormati (mutual respect). Prinsip saling menghormati atau cinta
kasih dan memperhatikan orang lain inherent dalam ajaran moral tiap agama. Kata cinta
kasih memiliki banyak makna dalam banyak bahasa. Tetapi yang jelas bahwa dalam kitab
suci Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Rahmat adalah Tuhan Yang Maha Kasih. Ajaran
agama menganjurkan saling kasih sayang, saling menghormati dan resiprokal cintailah
tetanggamu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri. Aplikasi dari ajaran ini adalah
bahwa kepentingan pribadi hanyalah satu hal dalam masyarakat yang tidak boleh
menafikkan kepentingan orang lain. Tetangga dalam konteks bisnis bisa di artikan
sebagai setiap orang (individu atau perusahaan) yang berhubungan dengan kehidupan
bisnis haruslah menghormati setiap stakeholders yang ada seperti buruh atau
pekerja. Ketiga, keterwakilan atau amanah (stewardship/trusteeship) Prinsip ini
dijelaskan oleh tiga ajaran agama bahwa manusia merupakan wakil Tuhan di dunia ini.
Bahwa tugas atau amanah ini dibebankan untuk menjaga atau memelihara ciptaan Tuhan
dengan berbagai bentuk dan keindahannya sebagai bagian dari kebaikan Tuhan.
Keempat, Kejujuran (honesty). Prinsip ini melekat sebagai bagian dari sistem nilai dari
setiap ajaran agama. Kejujuran merupakan kombinasi dari konsep kebenaran dan
realibilitas serta menggabungkan semua aspek baik perkataan, tindakan maupun
pemikiran kehidupan manusia. Kejujuran tidak hanya sekedar ketepatan atau akurasi
tetapi juga sikap yang bermartabat atau sering disebut dengan integritas. Ajaran agama
menganjurkan kebenaran dan kejujuran dalam setiap hubungan antar manusia. Ini berarti
bahwa ketidakjujuran merupakan pelanggaran atas hukum Tuhan. Dalam urusan bisnis,
ada istilah yang harus diingat benar timbangannya, benar beratnya benar pula
ukurannya. Berbicara kebenaran adalah syarat untuk semua orang.

Dalam Islam sendiri, prinsip etika bisnis tidak bisa terlepas dari ajaran etika Islam itu
sendiri. Menurut Santoso dalam Maryadi dan Syamsudin (2001) paling tidak ada lima
prinsip yang melandasi etika bisnis dalam Islam, yaitu: Pertama, Tauhid (oneness and
unity of God) yang bermakna kesatuan dan integrasi yakni integrasi antar semua bidang
kehidupan, agama, ekonomi, sosial, politik dan budaya. Kesatuan antara kegiatan bisnis
dengan moralitas dan pencarian ridha Allah. Kesatuan pemilikan manusia dengan
pemilikan Tuhan. Kekayaan (sebagai hasil bisnis) merupakan amanah Allah, oleh
karenanya di dalam kekayaan terkandung kewajiban sosial. Konsep tauhid juga
bermakna kesamaan yakni tidak ada diskriminasi di antara pelaku bisnis atas dasar
pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin ataupun agama.

Kedua, Khilafah. Prinsip ini mengandung makna intelektualitas (intellectuality),
kehendak bebas (free will) serta tanggungjawab dan akuntabilitas (responsibility and
accountability). Intelektualitas bermakna kemampuan kreatif dan konseptual pelaku
bisnis yang berfungsi membentuk, mengubah dan mengembangkan semua potensi
kehidupan alam semesta yang konkrit dan bermanfaat. Free will bermakna kemampuan
bertindak pelaku bisnis tanpa paksaan dari luar, sesuai dengan parameter ciptaan
Allah. Responsibility and accountability bermakna kesediaan pelaku bisnis untuk
bertanggungjawab atas dan mempertanggungjawabkan tindakannya.

Ketiga, Ibadah (worship). Prinsip ini bermakna penyerahan total yakni kemampuan
pelaku bisnis untuk membebaskan diri dari segala ikatan penghambaan manusia kepada
ciptaannya sendiri (seperti kekuasaan dan kekayaan) dan kemampuan pelaku bisnis untuk
menjadikan penghambaan manusia kepada Tuhan sebagai wawasan batin sekaligus
komitmen moral yang berfungsi memberikan arah, tujuan dan pemaknaan terhadap
aktualisasi kegiatan bisnisnya.
Keempat, Tazkiyah. Prinsip tazkiyah diwujudkan dalam bentuk kejujuran (honesty),
keadilan (adl, justice and fairness) dan keterbukaan (transparency). Kejujuran bermakna
kejujuran pelaku bisnis untuk tidak mengambil keuntungan hanya untuk dirinya sendiri
dengan cara menyuap (riswah, bribery), menimbun barang (ihtikar, hoarding), tidak
memanipulasi barang dari segi kualitas dan kuantitasnya
(manipulation, tadlis/ghabn). Keadilan bermakna kemampuan pelaku bisnis untuk
menciptakan keseimbangan/moderasi (equilibrium) dalam transaksi dan membebaskan
penindasan, misalnya riba (interest) dan monopoli usaha. Sementara keterbukaan
bermakna kesediaan pelaku bisnis untuk menerima pendapat orang lain yang lebih baik
dan lebih benar, serta menghidupkan potensi dan inisiatif yang konstruktif, kreatif dan
positif.
Kelima, Ihsan (kindness par excellence). Prinsip ini mengandung pengertian kebaikan
bagi orang lain(benevolence) dan kebersamaan (togetherness). Kebaikan bagi orang lain
yakni kesediaan pelaku bisnis untuk memberikan kebaikan kepada orang lain, misalnya
penjadwalan ulang (rescheduling), menerima pengembalian barang yang telah dibeli,
pembayaran hutang sebelum jatuh tempo. Kebersamaan bermakna kebersamaan pelaku
bisnis dalam membagi dan memikul beban sesuai dengan kemampuan masing-masing,
kebersamaan dalam memikul tanggungjawab sesuai beban tugas dan kebersamaan dalam
menikmati hasil bisnis secara proposional.
Kelima prinsip tersebut berakar dari sumber utama Islam yakni al-Quran dan Hadis yang
banyak menjelaskan tentang bagaimana bisnis beretika semestinya dan bagaimana
Rasullullah SAW memberikan suri tauladan melalui berbagai sunnahnya baik yang
bersifat qauliyah, filiyah maupun taqririyah.

Apa itu Etika berbisnis dalam Islam?
Etika Islam dalam berbisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi
Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya,
serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan
istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini
maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran
"pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian
integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak
semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas.

Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang
bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan simbol dari urusan duniawi juga dianggap
sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika orientasi
bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas
kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-
kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam,
pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh
kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih
keuntungan atau pahala akhirat. Pernyataan ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat
Al-Qur'an.

Memang dalam kehidupan ini setiap manusia seringkali mengalami ketegangan atau
dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata
sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi
SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis
maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.

Bagaimana etika islam dapat di implementasikan dalam praktek bisnis modern
yang disifati oleh kapitalisme dan materialisme?
Kapitalisme menekankan prinsip persamaan bagi setiap individu masyarakat dalam
kegiatan ekonomi secara bebas untuk meraih kekayaan. Realitasnya, konsep kebebasan
tersehut menimbulkan kerancuan bagi proses distribusi income (pendapatan) dan
kekayaan. Selain itu, sistem tersebut secara otomatis mengklasifikasikan masyarakat
menjadi dua bagian, yaitu pemilik modal dan para pekerja.

Sistem kapitalisme memisahkan intervensi agama dari perbagai kegiatan dan kebijakan
ekonomi, padahal pelaku ekonomi merupakan penggerak utama bagi perkembangan
peradaban dan perekonomian masyarakat. Akhirnya, kehidupan ekonomi masyarakat
terbebas dan koridor agama, sehingga kebijakan individualah yang berperan dalam
pengembangan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, Dengan demikian, terbentuklah
individu-individu yang bersifat individualistik dan materialistik.

Dalam konsep Karl Marx, agama merupakan faktor penghambat bagi terciptanya
kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat (an obstacle to economic growth).
Etika Islam diimplementasikan dalam praktik bisnis modern yang disifati dengan
kapitalisme dan materialisme yaitu dapat kita temukan dalam rukun Islam. Di samping
kita diperintahkan untuk mengakui ke-Esaan Allah Swt, membenarkan risalah
Muhammmad Saw dan mengerjakan shalat, kita juga diperintahkan untuk membayar
zakat atas harta kekayaan yang telah mencapai nisbah (ketentuan). Karena dalam konsep
zakat, terdapat nilai-nilai spiritualisme dan materialisme, yaitu zakat merupakan ibadah
yang berdimensi sosial.
Dalam konsep zakat kita temukan suatu proses pensucian diri dan nilai-nilai kekikiran
dan individualistik, di samping mengandung nilai ibadah. Selain itu, zakat merupakan
salah satu instrumen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta merupakan
sumber dana jaminan sosial. Dengan zakat, kebutuhan pokok masyarakat akan terpenuhi.
Sehingga, melalui konsep zakat, dapat dirasakan adanya harmonisasi nilai spiritual dan
material bagi kesuksesan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Dalam ekonomi Islam, tidak menafikan intervensi pemerintah, Kebijakan pemerintah
merupakan sebuah keniscayaan ketika perekonomian dalam kondisi darurat, selama hal
itu dibenarkan secara syari. Intervensi harus dilakukan ketika suatu kegiatan ekonomi
berdampak pada kemudharatan bagi kemaslahatan masyarakat. Intervensi juga harus
diterapkan ketika pasar tidak beroperasi secara normal akibat penyimpangan mekanisme
pasar, seperti halnya kebijakan pemerintah dalam memberantas monopoli (false demand
and supply) dan mekanisme pasar. Maka dan itu, tetap dibenarkan kepemilikan individu
dan kebebasan bertransaksi sepanjang tetap dalam koridor syaniah. Kebebasan tersebut
akan mendorong masyarakat untuk beramal dan berproduksi demi tercapainya
kemaslahatan hidup bermasyarakat.

Anda mungkin juga menyukai