--
- :
- ;
---......
------....-.... -..:-h:..o::::: :1
-..-- r ,//;'y,-.-'
''.1'11/11',.
J/ti'/,;Vi
/.
.\' 4 f J I II "i
1
'
I I " I I I I i c
I I / I '
- -
e.u-... ....
Kondisi menuju pasang
-- - u 1.0- D..$
l a!ll - 0 .1
---
- 4.1
- .,
ffi
iiit:,,
......... , ...
- !U
.C3 - ...n
ru
Gambar 5.13. Hasil Simulasi Model Pola Arus yang dibangkitkan oleh Pasang
Surut dan Angin pada saat kondisi Pasang Perbani (Neap)
67
5.4.2. Hasil Pengukuran Lapangan
Dari hasil pengukuran lapangan diperoleh data Tabel 5.6 sebagai berikut:
Tabel 5.6. Data dan Perhitungan hasil
pengukuran kecepatan arus in situ
(Juli 201 0)
Arus total
I
No Jam Kecepatan
arahl
Stat. (m/det) (der)
1 9 0.26857654 290
2 10 0.07092199 300
3 14 0.1610306 300
4 15 0.36855037 280
5 16 0.30769231 300
6 17 0.0524109 160
7 18 0.33898305 120
8 19 0.23382697 140
9 20 0.27548209 160
10 21 0.0872093 150
11 22 0.10043522 160
1.2 23 0.14584346 230
13 24 0.08264463 220
14 1 0.16750419 280
I
15 2 0.14520813 230
16 3 0.03648304 300
Pengukuran di Ia pang an secara langsung ( ' rl s1tu) mencakup:
1. Waktu pengukuran
2. Kecepatan arus (m/de
3. Arah (derajat)
Dari hasil perhitungan in situ ya!'1g paria Ju6 2010, diperoleh
hasil bahwa kecepatan arus ma-cs ...... :!m p.a::ia h-!'2.::i terse'but sebesar 0.368
68
det. Arus bergerak ke arah barat laut (sekitar 300). Kondisi angin pada saat
:>engukuran sangat kencang. Bulan Juli merupaka musim timur, umumnya di
:andai dengan musim kemarau dan gerakan angin cenderung ke arah barat.
5.5. Menyebandingkan Hasil Simulasi Lapangan dengan Peneliti Terdahulu
Hasil simulasi model hidrodinakima 20 yang telah dilakukan oleh Kumia.A,
2004 dipilih sebagai model verifikasi karena mencakup kajian dan daerah model
.rang sama. Pola Arus yang di bangkitkan oleh pasut dan angin memberikan
asil bahwa dengan adanya input kecepatan angin rata-rata bulanan 2.5 m/det
e arah barat sekitar -70dan arat utara pada model Teluk Banten maka secara
eoritis akan menambah kecepatan arus disekitar perairan. Jika tanpa adanya
angin kecepatan arus maksimum yang terjadi dibatas timur mencapai 0.26 m/det
aka ketika adanya input angin kecepatan arus maksimum mencapai 0.3 m/det.
5.6. Verifikasi
Simulasi model dengan menggunakan dua skenario, yaitu:
Model arus yang dibangkitkan oleh pasang surut
2. Model arus yang di bangkitkan oleh pasang surut dan angin
Telah disimulasikan pada bulan Juli 2010 sesuai dengan waktu
.
::>elaksanaan survei pengukuran serta perhitungan data lapangan, maka hasil
simulasi menunjukan kesamaan nilai kecepatan dan pola pergerakan arus di
::>erairan Teluk Banten dengan hasil perhitungan lapangan. Begitu juga jika di
::>andingkan dengan hasil simulasi model hidrodinamika 20 yang sudah dilakukan
oleh Kumia. A,2004, maka secara umum hasil simulasi model juga menunjukan
ilai kecepatan arus di perairan Teluk Banten mendekati sama yaitu maksimum
ecepatan berkisar 0.3 m/det.
69
7. Karbon
BoJoneg8ra
/
,;:.
C-16
0
C6
0 .
PETASTASIU
C- H
C-12 0
C-7
0
\) 0
c- .
a
0 . ..
0
C3
0
C-9
0
. , . . . . e-e
0
;y . . . . . ( .. . . Kosemen
. ! j
( ! _!
I
I \=
o o.a 1.8 2.Tl<m
C-13
0
-"
Tlrtavas;i
. ) .. .
\
, , 0 C-3 : Tit S.."lll'l'el
Gambar 5.14. Peta Stasiun pengukuran karbon Juli 2010
Teluk Banten terletak di ujung Barat Pulau Jawa, di sisi pantai Utaranya dan
ermasuk dalam wilayah administrasi Propinsi Banten. Luas Teluk Banten kurang
bih 120 km2 dengan beberapa pulau tersebar di dalamnya. Pulau terbesar
.
.(ang berpenghuni adalalah Pulau Panjang yang posisinya kurang lebih di
sebelah Barat mulut teluk (Gambar 5.14.). Beberapa sungai besar dan kecil
bermuara di Teluk Banten, diantaranya Sungai Domas, Soge, Cikemayungan,
Banten, Pelabuhan, Wadas, Baros, Ciujung, Anyar, Cilid, Kesuban, Baru,
Serdang, Suban, Kedungingus dan Candi (Peta Lingkungan Pantai Indonesia,
em bar LPI 1110-09 Teluk Banten, 1999). Sungai terbesar adalah Ciujung dan
nyar (Peta Lingkungan Pantai Indonesia, Lembar LPI 1110-09 Teluk Banten,
1999). Lamun (seagrass) dapat ditemukan di beberapa tempat, antara lain
sepanjang pantai bagian Barat teluk (stasiun 6), paparan terumbu beberapa
pulau karang (Pulau Panjang, Tarahan, Lima, Kambing, Pamujan Besar dan
epuh ) yaitu di stasiun 5 dan 15 pada daerah terumbu karang intertidal hingga
edalaman 6 meter.
70
Kedalaman teluk berkisar antara 1 - 10 meter dari muara hingga mendekati
:jung teluk. Sedimen teluk Banten terdiri dari lumpur dan pasir (Green and Short,
nilai salinitas bervariasi antara 28.23 - 35,34 psu (Green and Short,
2003). Musim penghujan berlangsung antara November hingga Maret dan
'Tlusim kemarau antara April - Oktober. Bakau (mangrove) dapat ditemukan di
sepanjang Grenyang, bag ian Timur teluk, _hingga ke Tanjung Pontang di sebelah
3arat Teluk, dan juga di sebelah Selatan pulau Panjang (stasiun 1, 8 dan 9).
Nilai pengukuran parameter system karbon di perairan Teluk Banten dapat
ilihat pada Gambar 5.15. Bahwa berdasarkan hasil perhitungan dengan
C02SYS diseluruh lokasi penelitian nilai yang di dapat yang merupakan
pengurangan dari pC02 air dikurangi pC02 udara menghasiklan nilai minus pada
saat pengukuran yang mengindikasikan bahwa pada kondisi saat itu perairan
Teluk Banten dalam keadaan sink atau menyerap karbon. Nilai rata-rata dari
parameter karbon di Teluk Banten yang di ukur dapat dilihat pada Tabel 5.7 di
bawah ini.
Tabel 5.7. Nilai rata-rat dan kisaran parameter system karbon di Teluk
Ban ten Juli 2010
0.023326 I 21 .596 0.0873 7.7781 0.085 98.19267 I 139.8305 I 43.13585
1
.. ' t<:' l ,.
Klorofil-a (ug/L)
NOO (mg/L)
P04 (umollkg)
Si (umollkg)
DIC (umollkg)
pC02 (air)
dpC02
0,83
0,001
0,267
14,16
1634,46 !!--"..::..,<---,
PET A SEBARAN SISTEM KARBONAT
PERAIRAN TELUK BANTEN
0 0.9 1.8 2.7l<m .
TA
Bojonegara
13J,7
-239,3
2204,1
(ug/L) 1,103
N03 (mgll) 0,026
P04 (umollkg) 0,215
Si (umollk g) 19,853
DIC (umollkg) 1498,77
pC02 (air) 163
dpC02 -207
'TA 1938,5
Klorofil-a (ug/L) : 0,615
C-h5
C-7
C-4
0
C-12
C-14
0
N03 (mg/L)
P04 (umollkg)
O,D24
0,154
25,56
1670,46
139,324
-246
2256,8
G-6 G-5 c;3
o ' 9>()
0
' - - o
(ug/L)
N03 (mg/L)
P04 (umollkg)
Si (umollkg)
DIC (umollkg)
pC02 (air)
dpC02
pC02 (air)
dpC02
TA
/
. /
. .... . ,,... ...... . -.
I
Kramatwatu
.---
(ug/L) 0,356
N03 (mg/L) 0,047
(umol/kg) 0,102
Si (umoVkg) 26,959
'-..
1
DIC (umollkg) 1605,16
'\. pC02 (air) 206,7
dpC02 -163,3
TA 2017,5
0 TA
c-1
(ug/L) 2,13
0,02
P04 (umollkg) 0,37
Si (umollkg) 23,64
OIC (umollkg) 1329,87
pC02 (air) 139,3
dpC02 -230,7
TA 1767,5
\:
\
C-13
0
(ug/L) 1 ,358
N03 (mgll) 0,039
.. P04 (umol/kg) 0,174
Si (umollkg) 18,357
'6
9
I DIC (umollkg) 1626,11
pC02 (air) 215
dpC02 -155
TA 2031,2
. . ) .
(
1
l<elelolii(Jilll:
OC-1 : Tltlk
:Jtlltlill
: B.llolS l<ec
Li!UIJ..lW.l
Gambar 5.15. Peta Sebaran Sistem Karbonat Perairan Teluk Banten Juli 2010
!o
'&
IJ.
72
5.7.1. Variabilitas Parameter C02 (DIC, pH, Salinitas dan TA) di Teluk
Banten Pada Bulan Juli 2010
Distribusi spasial konsentrasi DIC pad a bulan Juli 2010 ditampilkan pad a
\.:lambar 5.16, yang secara umum menunjukkan konsentrasi yang tinggi di
daerah pesisir yang dekat dengan daratan dan berangsur menurun pada
perairan taut.
1800
1700
1600
DIC
1500
1400
1300
1200
'\'\ QQ
1000
2500
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 CB C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15
Stasiun
Total Alkalinitas
2000 1
7
z::-.-..._._.__ ...
1000 1---------------------------------------------------
500 +-------------------------------------------------------
0 +---,---.--,---.---,---,---,---,---,--,---.---.---,---.---
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 CB C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15
Sta&iun
Gambar 5.16: Sebaran DIC dan Total Alkalinitas Teluk Banten Juli 2010
Variabilitas DIC (Dissolved Inorganic Carbon) dan TA (Total Alkalinitas) di
perairan Teluk Banten pada ..
4
fluktuasi dengan pola yang sama. Paaa
ter terlihat adanya
"lai DIC dan TA tinggi berada
73
pada stasiun yang terletak di pinggir teluk yaitu stasiun C2 (tertinggi 1724,95
IJmollkg), C9, C15 (stasiun kecuali di stasiun C1). Tingginya nilai DIC di pinggir
eluk lebih disebabkan adanya pengaruh antropogenik dari daratan (sungai) yang
masuk ke teluk. Walaupun demikian perlu diperhatikan juga bahwa kondisi pola
arus lokal di dalam teluk serta pengaruh laut dari Selat Sunda serta Laut Jawa
dapat mempengaruhi distribusi DIC di Teluk Banten.
penurunan I rendahnya DIC di perairan estuari pada studi ini
stasiun C1) diduga karena faktor biologi dan proses fotosintesis di daerah
estuari lebih dominan mengingat di stasiun C1 terdapat juga ekosistem
'11angrove, dalam menurunkan jumlah DIC dibandingkan faktor antropogenik
ataupun input dari atmosfir (udara), sehingga dapat dikatakan DIC yang terlarut
dalam air yang berasal dari faktor antropogenik (sungai/daratan) maupun
atmosfir dapat dimanfaatkan oleh produser perairan dan pesisir terutama oleh
egetasi mangrove. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rajesh,
et.al, 2001, terhadap vegetasi bentik yang terdapat di daerah estuari Pantai
Baratdaya India hasil yang didapatkan bahwa nilai produktivitas primer dari
vegetasi bentik sebesar 33,59 gC/m
2
sedangkan perairan hanya 10,51 gC/m
2
. lni
mengindikasikan bahwa adanya pemanfaatan karbon in organik yang lebih besar
erjadi di daerah pesisir yang memiliki vegetasi (mangrove) sehingga
meningkatkan produktivitas primer perairan yang akhirnya menjadikan daerah
ersebut sebagai daerah penghasil makanan dan berlanjut sebagai daerah
nursery ground dan feeding ground untuk berbagai jenis ikan dan biota laut
lainnya yang ekonomis penting (kerang, udang). Dengan demikian daerah
tersebut dan sekitamya merupakan daerah fishing ground yang baik.
Selain faktor-faktor tersebut perbedaan pasang surut diduga menyumbang
variabilitas lokal konsentrasi DIC dikarenakan pengambilan sampel pada stasiun-
stasiun penelitian tidak selalu tepat pada jam yang sama (karena variabilitas
cuaca). Pada tahap lanjut dari penelitian ini faktor pasang surut akan disertakan
baik dengan memplotkan data parameter karbon dengan data pasang surut (dari
model ataupun observasi) maupun dengan mengambil sampling air pada 1 siklus
pasang surut dengan interval jam.
74
Aspek tambahan yang juga perlu disertakan untuk mengetahui distribusi
... arameter C02 adalah faktor oseanografi, khususnya pola arus lokal yang dapat
:erperan mendistribusikan parameter C02. Hal ini terlihat adanya anomali pada
s:asiun C1 dimana DIC paling rendah dibandingkan stasiun lainnya, diketahui
:anwa posisi stasiun C1 berada dipinggir mulut teluk di muara sungai
arangantu yang terdapat vegetasi mangrove. Selain faktor biologi yang
konsentrasi DIC rendah dapat pula disebabkan oleh adanya faktor
--eanografi seperti pola arus lokal dan pasang surut. Konsentrasi DIC pada
asi dan bulan yang sama pada tahun lalu menunjukkan nilai yang lebih tinggi
u 1782,41 IJmoVkg sedangkan pada bulan Juli 2010 1329,87 IJmol/kg.
:;;endahnya nilai DIC pada tahun ini di muara sungai Karangantu stasiun C1
:apat juga dikaitkan pada saat pengambilan sampel yang dilakukan siang hari
-ehingga proses biologi yang terjadi lebih tinggi. Selain itu juga dilakukan
:-engukuran arus secara insitu maupun dengan pemodelan arus selama bulan
.... ii 2010. Hasil yang didapat dari pengukuran arus bahwa pada saat sampling
arus bergerak dengan kecepatan 0,269 m/det ke arah baratlaut (sekitar 300),
sehingga menjelaskan rendahnya nilai DIC distasiun C1 dapat disebabkan
arena adanya arus yang membawa DIC ke arah baratlaut dan tengah teluk. Hal
i menjelaskan juga tingginya DIC di stasiun C2 bahwa input DIC dari sungai di
stasiun C1 sudah terbawa ke posisi C2.
Selain itu rendahnya DIC di stasiun C1 yang terletak di muara dan dapat
dikatakan masih dalam pengaruh estuari. Perairan estuari sangat dipengaruhi
oleh pasang surut dan mempunyai waktu tinggal (residence time) cukup lama
oagi massa air tawar yang dapat menstimulasi aktivitas kimia dan biologi materi
ang terbawa oleh sungai. Hal ini berarti bahwa perairan estuari dapat
erupakan perairan dengan aktivitas biologi yang tinggi dan dapat menurunkan
onsentrasi DIC. Subumya perairan esruan Juga terbukti pada data klorofil yang
diukur pada studi ini (Gambar 5 17), yan;; secara umum tinggi pada perairan
estuari dan berangsur rendah paaa pera::.. -a.:il csea.r.K. <dimana yang tertinggi pada
stasiun 9 yaitu 10,787 IJQ/L.
.,-
12
Klorofil dan Silikat
-
-
-
5
4 I
2 I 2
,....... l
0 -...
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15
Stasiun
Kl orofil -a Si mgl' ...
Gambar 5.17. Variabilitas klorofil dan Silikat di Teluk Banten Juli 2010
Tingginya klorofil di stasiun C9 pada saat penelttian hal 1111 aapa
- - ebabkan bahwa di daerah tersebut daerah estuari dimana terdapat sunga
g cukup besar sehingga masukan nutrien dari daratan menyebabKa
gginya produktivitas perairan terutama dari fitoplankton yang dapat dilihat dari
--gginya nilai silikat dibandingkan stasiunnya lainnya yaitu 2,603 mg/L dimana
: Ketahui bahwa silikat merupakan salah satu unsur penyusun dari fitoplankton
_ diatom (Gambar 5.17). Nilai nutrien di stasiun C9 untuk nilai phosphat
an nitrat adalah sebagai berikut 0,023 mg/L dan 0,062 mg/L (Gambar 5.18) .
.
Stasiun yang terdapat ekosistem lamun dan terdapat pabrik gula yang
menyebabkan terjadinya eutrofikasi pada penelitian ini terlihat cukup
rendah, hal ini diperkuat dengan nilai posfat, nitrat dan silikat di stasiun C11 yang
- ... up rendah dibandingkan stasiun yang sama memiliki ekosistem lamun yaitu
s:asiun C5 (0,023 mg/L; 0,062 mg/L dan 2,603 mg/L). Tetapi nilai DIC pada
s:asiun ini tidak tinggi dapat disebabkan bahwa zat karbon dimanfaatkan oleh
(lamun, alga dan fitoplankton) dalam memproduksi makanan
tosintesis) sehingga nilai karbon yang masuk tinggi (dari atmosfir atau dari
: aratan melalui sungai) akan selalu dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang ada
::11 perairan laut. Disini terlihat bahwa adanya pemanfaatan aktivitas biologi
&otosintesis) yang lebih baik pada stasiun C1 (estuari dan mangrove)
oibandingkan pada stasiun CS dan C11, sehingga dapat dikatakan juga bahwa
6
antropogenik Jebih besar t e ~ d i pada stasiun C1 dimana karbon dan fosfat
Gambar 5.18) masuk melalui sungai Karangantu lebih banyak dibandingkan
jengan stasiun Jamun dimana juga terdapat sungai. Semua faktor sebagai
oenentu proses biologi (fotosintesis) seperti DIC, nitrat dan fosfat pada stasiun
.rang memiliki vegetasi terlihat dapat dimanfaatkan dengan baik oleh produser
,.ang ada seperti mangrove (C1) maupun lamun (C5 dan C11).
Nitrat- Phosphat
0.09
0.08
0.07
0.06
=, 0.05
E 0.04
0.03
0.02
0.01
0
Stasiun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stc: -+- P04 mg/L N03 (Nitrat) mg/L
Gambar 5.18. Variabilitas Nitrat -Phosphat bulan Juli 2010 di Teluk Banten
pH perairan (Gambar'5.19) juga menunjukkan variabilitas yang kurang Jebih
erkebalikan dengan DIC dan total alkalinitas yaitu nilai pH rendah pada salinitas
endah dan sedikit meningkat pada perairan oseanik. Variabilitas pH di wilayah
studi diduga disebabkan oleh pengaruh pasang surut yang mendistribusikan
assa air tawar ke arah Jaut dimana di daratan pada saat penelitian seri ng
e ~ d i hujan. Pola arus lokal juga dapat menyebabkan adanya perpindahan
sejumlah massa air tawar yang dapat menurunkan pH, walaupun secara
eseluruhan kisaran pH di Teluk Banten (7 ,85 - 8,31) merupakan pH air Jaut.
::>entingnya pH dalam pengukuran sistem karbon di taut terkait erat dengan
ekanisme sistem karbonat itu sendiri dimana pergeseran pH yang sangat kecil
akan menyebabkan pergeseran jumlah spesies (C0
2
, HC0
3
- atau C03
2
-) dari
sistem karbonat itu sendiri.
77
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
II
I
pH
8.45 - --
8.4
,.__
/""'
l
8.35
........__
I
.........
\ I
8.3
....
_A
\ I
8.25
....
8.2 ""'-
/
\ I
8.15
v \ I
8.1
\1
8.05
8
'
7.95
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C151
Gambar 5.19. Variabilitas pH dan salinitas di Teluk Banten pada bulan Juli 2010
Nilai dan pola DIC, TA dan pH yang didapatkan dan pada studi awal ini
berkesesuaian dengan yang didapatkan oleh Frankigenoule et.al (1996) yang
mengukur parameter C02 di sungai Scheidt yang merupakan salah satu sungai
tercemar di Eropa. Salah satu kesimpulan yang didapatkan pada penelitian
tersebut adalah bahwa faktor antropogenik lebih berperan pada konsentrasi DIC
dan alkalinitas dibandingkan faktor biologi.
Satu hal yang perlu ditambahkan pada pembahasan mengenai DIC ini
adalah bahwa lokasi mangrove (C1) dan lamun (seagrass), yaitu pada stasiun
C5 dan C11 mempunyai konsentrasi DIC yang relatif rendah (1329,87; 1605,19
dan 1522,24 1J moVkg). Hal ini memunculkan dugaan bahwa ekosistem
mangrove dan lamun dapat menyerap DIC walaupun kesimpulan final baru dapat
dihasilkan setelah dilakukan lebih banyak pengukuran dan pengujian lebih lanjut.
Walaupun demikian keberadaan ekosistem mangrove dan lamun merupakan
daerah ekologi yang sangat penting terkait dengan perikanan. Dimana ekosistem
mangrove dan lamun merupakan daerah spawning ground dan nursery ground
bagi banyak ikan dan biota ekonomis penting seperti Peperek, Teri, Lemuru,
Tongkol, Tembang, Tenggiri, Pari, Manyung, Kuwe, Ekor kuning, Tembang, Teri,
Kembung, Selar dan Cumi.
78
pC02
300
250
200
E
-; 150
:I
100
50
0
C1 C2 C3 C4 cs C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15
Stasiun
Gambar 5.20. Variabilitas pC02 bulan Juli 2010 di Teluk Banten
Seperti yang telah diduga dari rendahnya nilai DIC di perairan Teluk Banten
dengan cukup tingginya nutrien (fosfat dan silikat), salinitas dan pH akan
mempengaruhi nilai pC02 (Gambar 5.20). Dimana pada Gambar 5.20 terlihat
bahwa ada yang mempunyai pola relatif sama, dengan adanya pergeseran nilai
tertinggi DIC dan pC02 yaitu nilai pC02 tinggi pada perairan stasiun C3 (salinitas
cukup rendah 31,02 %o) terletak di pesisir dekat dengan mangrove dan sungai
.
dan rendah pada perairan oseanik (salinitas tinggi) stasiun C15 yang terletak di
bagian mulut teluk Banten yang berhadapan dengan Laut Jawa dan sebelah
barat Selat Sunda.
79
-
II)
CIS
....
...
c:
CD
II)
c:
0
1000
pC02
900
800
700
600
500
400
300
200
cs cs cs cs
"
cs
cs
" "
I---.-.illy
Stasiun - - August
Gambar 5.21. Konsentrasi pC02 bulan Juli dan Agustus 2009. Satuan yang
digunakan = 1-1atm (Sumber: Adi dan Rustam, 2010)
Seperti telah disebutkan pada bagian metode, pC0
2
pada studi ini dihitung
dari nilai DIC dan pH dan tambahan faktor nutrien yaitu fosfat dan silikat dengan
software COzSYS, sehingga hasil akhir akan terpengaruh oleh keempat variabel
tadi. Perbedaan nilai pCOz pada perairan estuari antara bulan Juli 2009 (Adi dan
.
Rustam, 201 0) pada Gambar 5.21 dan Juli 2010 pad a tiga stasiun yang sa rna
diduga dipengaruhi oleh perbedaan pasang surut saat pengambilan sampel.
Aliran massa air dari sungai akan membawa lebih banyak DIC yang dapat
meningkatkan nilai pCOz. Pola dari nilai pC0
2
pada studi ini juga seperti yang
didapatkan oleh Frankigenoule et.al (1996) di sungai Scheidt.
5.7.2. Analisa 'Sink dan Source' C02 di Teluk Banten bulan Juli 2010
0
Differential pC02
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15
- -100 I
E ' A
ca
-150
(.)
c. -2oo 1 / \ 7 \ I \/ \ I
I \ .
-300
[-+- b.pC02 b.pC02 Juli 2009 ]
Gambar 5.22. Perbedaan konsentrasi pC02water - pC0
2
atm bulan Juli 2009 (Adi dan
Rustam, 2010) dan bulan Juli 2010 di Teluk Banten. Satuan yang
digunakan = 1-1atm.
Gambar 5.22 menampilkan hasil selisih antara nilai pC02water - pC02atm
(formula 4.15). Hasil analisis menunjukkan perairan pesisir merupakan penyerap
(sink) C02 ke atmosfer yang ditunjukkan oleh nilai pC02 negatif. Hal ini
menunjukkan hasil yang sama dengan hasil penelitian sebelumnya (Adi dan
Rustam, 2010) yang me'nunjukkan bahwa perairan Teluk Banten yang memiliki
vegetasi cenderung menjadi penyerap C0
2
dari atmosfer. Namun menurut hasil
penelitian dari Frankigenoule et.al, 1996; Cai et.al, 2006; Borges et.al , 2006;
Borges, 2005, perairan estuari cenderung sebagai source C02 ke atmosfir
dikarenakan tingginya pengaruh darat termasuk input bahan-bahan anorganik
terlarut. Tetapi kemungkinan hal ini tidak berlaku pada daerah estuari yang
bervegetasi mangrove (Rajesh, et.al, 2001 ), mung kin perbedaan ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal terutama waktu pengambilan sampel yang
dilakukan siang hari yang merupakan waktunya produser perairan melakukan
fotosintesis sehingga C02 dapat dimanfaatkan secara maksimal diperairan yang
menyebabkan adanya perbedaan tekanan parsial posistif sehingga C02 di
atmosfir masuk ke dalam perairan. Tetapi jika dilakukan penelitian yang
menyeluruh bisa saja mendapatkan hasil yang berbeda. Oleh karena itu
diperlukan penelitian yang menyeluruh dan komprehensif terkait dengan sistem
karbonat seperti pengukuran yang detail melibatkan waktu pasang surut, arus
lokal dan kondisi atmosfir itu sendiri.
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab variabilitas pC02 di wilayah
studi maka dilakukan analisis regresi linier sederhana antara pC02 dengan DIC,
Alkalinitas, pH, suhu dan klorofil (Tabel 5.7). Namun demikian pembahasan lebih
dikhususkan kepada faktor suhu dan klorofil yang mewakili aspek fisik dan
biologi. Pembahasan ini juga dilakukan karena dimungkinkan memprediksi atau
menduga pC02 dari suhu dan atau klorofil yang merupakan produk satelit
penginderaan jauh (Lohrenz dan Cai, 2006; Lefevre et.al, 2002; Chierici et.al,
2009). Secara ideal analisis statistik yang diterapkan adalah menggunakan PCA
(principal component analysis) (Lohrenz dan Cai, 2006) atau regresi linier
berganda menggunakan prinsip Marquadt-Levenberg (Chierici et.al, 2009). Pada
studi ini baru dilakukan analisa regresi linier sederhana tunggal dan
mendasarkan pembahasan pada nilai R
2
yang didapatkan.
Tabel 5.8. Kompilasi nilai R
2
dari hasil analisa regresi linear tunggal antara pC02 dengan
masing-masing DIG, Alk, pH, suhu dan klorofil bulan Juli 2009 (Adi dan
Rustam, 2010) dan Juli 2010
DIC 'Alk
2009 I 2010 2009
0.0508 I 0.0285 I 0.0249 0.1063
Hasil kompilasi nilai R
2
(Tabe
2009 nilai pC02 lebih dipenga
(R
2
=0 .1725). Lefevre et. al (2
antara pC02 dengan suhu di
kemudian Chen et.al (2007) me
kepulauan di Hawai sedangkan
untuk wilayah perairan Atlanti
mempunyai dominan karakterisnl< pes
pH Suhu Klorofil
2010 2009 I 2010
0.014 I 0.1725 I 0.082
a ,pada b Juti
::>eberapa titik terluar. Karena cukup kompleksnya materi dan proses yang ada
pada perairan pesisir diduga tidak hanya suhu yang menyumbang kepada n\\ai
pC0
2
dan hal ini mempunyai efek 'menurunkan' nilai R
2
. Hasil ini dapat
disepadankan dengan perairan upwelling (Levefre et.al, 2002) karena perairan
upwelling menerima variabilitas suhu dan nutrien yang cukup kompleks dari
massa air bawah permukaan. Hal ini berbeda dengan perairan oseanik yang
tidak mendapat input materi kompleks dari daratan sebagaimana perairan pesisir
(Adi dan Rustam, 201 0).
Hasil nilai R
2
pada bulan Juli 2010 menunjukkan bahwa pC02 lebih
dipengaruhi oleh klorofil (R
2
=0.082) dibandingkan suhu (R
2
=). 0.014. Pada bulan
Juli 2010 ini lebih dipengaruhi faktor kimia yaitu pH dan nitrat dengan nilai R
2
yang cukup tinggi (0,9321 dan 0, 1755) sedangkan faktor kimia lainnya seperti
fosfat sebesar 0,0163 dan silikat 0,0124. R
2
untuk pH yang tinggi ini ini perlu
mendapatkan pengujian dan penelitian lebih lanjut karena nilai yang didapatkan
oleh Chierici et. al (2009) cukup rendah untuk regresi antara pC02 dengan
klorofil, yaitu R
2
= 0.68 atau sama dengan yang didapatkan pada suhu pada
penelitian mereka. Walaupun nilai klorofil di perairan oseanik lebih rendah
dibandingkan perairan estuari I sungai, pengaruh klorofil pada perairan oseanik
diduga lebih 'murni' karena tidak tercampur dengan pengaruh materi anorganik
seperti pada perairan estuari (runoff dari daratan). Hal ini mungkin yang dapat
menjelaskan bahwa pC02 pada bulan Juli 2010 lebih dipengaruhi oleh pH
dibandingkan parameter lainnya. Untuk mendapatkan kesimpulan final mengenai
hubungan antara pC02 dengan parameter suhu dan klorofil maka diperlukan
pengukuran dan pengujian lebih lanjut menggunakan data yang lebih banyak
yang mencakup variabilitas
8..,
5.8. Pengamatan Fisik Perairan Menggunakan Penginderaan Jauh
Pengamatan kesuburan perairan Teluk Banten dilakukan pula pengamatan
dengan menggunakan penginderaan jauh jenis Aqua-Modis untuk suhu
permukaan laut (sea surface temperature), klorofil-a, dan anomali ketinggian
rnuka air laut (sea level anomaly)
5.8.1 Suhu Permukaan Laut Daerah penelitian
Dari hasil pengolahan data satelit modis-aqua, didapatkan gambaran
engenai distribusi spatial dan distribusi temporal dari suhu permukaan laut dari
:)Ulan Januari 2009 sampai dengan Juni 2010 tertera pad a Gambar 5.23 sebagai
::>erikut :
Jan 2009
'1:
..................,
..... ~
Pada bulan Januari 2009, suhu
permukaan laut di teluk Banten
berkisar antara 28 C- 29 oc
Feb2009 Mar2009 Apr2009
,...._
~ \ ~
\ ~
~
'
'/
Pada bulan Maret 2009, suhu Pada bulan April 2009, suhu Pada bulan Februari 2009,
suhu permukaan laut di teluk
Banten berkisar antara 27 C-
28 0C
permukaan laut di teluk Banten permukaan laut di teluk Banten
berkisar antara 30 C- 31 oc berkisar antara 30 C- 31.5
oc
Gambar 5.23. Suhu Permukaan Laut dari Bulan Januari 2009
sampai Juli 2010
85
Mei2009
I '11dn hul.tll Mul ~ 0 0 0 1111 h11
fiUIIllllklllltl 111111 cfll111!1k llllllltHl
hnr klruu r.ntru 11 .1 1 "I: J
Jun 2009
Pada bulan Juni 2009, suhu
permukaan laut di teluk Banten
berkisar antara 30 C- 31
"C
Juli 2009
"- -
-"'-'. A
) ~ 1 1 ~ l l - -i ~ - ~
;
,__r 1.- I I --'-----'
Pada bulan Juli 2009, suhu Pada bulan Agustus 2009, suhu
permukaan laut di teluk Banten permukaan taut di teluk Banten
berkisar antara 29 oc- 30 C. berkisar antara 29 C- 30 oc
Gambar 5.23. Suhu Permukaan Laut dari Bulan Januari 2009
sampai Bulan Juli 2010
86
Sep2009
Okt2009
,.
~
Pada bulan Oktober 2009,
suhu permukaan laut di teluk
Banten berkisar antara 30 oc-
31 oc
Nov2009
Pada bulan November 2009,
suhu permukaan laut di teluk
Banten berkisar antara 31 oc-
32 oc
Gambar 5.23. Suhu Permukaan Laut dari Bulan Januari 2009
sampai Bulan Juli 2010
Oes2009
rj--,\
"'..)
~ ;
',,/.....-/
Pada bulan Desember 2009,
suhu permukaan laut di teluk
Banten berkisar antara 30 oc-
31 oc
87
Jan 2010
J
( //\."-.
' ,, _J "".,_
--,,/_ )
Pada bulan Januari 2010, suhu
permukaan laut di teluk Banten
berkisar antara 29 C- 30 C.
)'
'-._ -0
_"' _j /
/ ~
Pada bulan Februari 2010,
suhu permukaan taut di teluk
Banten berkisar antara 30 oc-
31 oc
\
"' ,.--....,_
) \. .... "'
( -
Apr2010
Pada bulan Maret 2010, suhu Pada bulan April2010, suhu
pennukaan taut di teluk Banten pennukaan taut di teluk Banten
berkisar antara 31 C-12 oc berkisar antara 31 C- 32.5 oc
Gambar 5.23. Suhu Permukaan Laut dari Bulan Januari 2009
sampai Bulan Juli 2010
88
Podo bulan Mol 2010, suhu
fH)IIlllrkaan taut dl teluk Banten
l.lorklsar antara 31 C- 32 oc
Jun 2010
Jul2010
Pada bulan Juni 2010, suhu Pada bulan Juli 2010, suhu
permukaan laut di teluk Banten permukaan laut di teluk Banten
berkisar antara 30 C- 31 oc berkisar antara 30 C- 31 oc
Gambar 5.23. Suhu Permukaan Laut dari Bulan Januari 2009
sampai Bulan Juli 2010
89
5.8.2. Variabilitas Bulanan Suhu Permukaan Laut
Secara umum suhu permukaan laut di teluk banten dapat digambarkan
sebagaimana pada grafik berikut ini, suhu permukaan laut di Teluk Banten
mengalami dua kali suhu tinggi dan dua kali suhu rendah dimana suhu tinggi
didapati pada bulan Mei dan November dengan kisaran antara 31 C hingga 32C
sedangkan suhu rendah didapati pada bulan Februari dan Agustus. Suhu
permukaan laut pada bulan Februari mengalami penurunan hingga berada
dibawah 29C.
33
32
31
30
...J 29
0.. 28
Cl) 27
26
25
_......_,
I
I
'-.../
Suhu Permukaan Laut
L"""-., ..-- --.......
/
..........__
-
"'-./
'?" h.;:> :;Q '?"
0
00" <:)0 ...
Bulan
Gambar 5.24: Grafik Suhu Permukaan Laut Bulan Januari
2009 sampai dengan Juli 2010
5.8.3. Konsentrasi Klorofil-a Daerah penelitian
Dari hasil pengolahan data satelit modis-aqua, didapatkan gambaran
mengenai distribusi spatial dan distribusi temporal dari konsentrasi klorofil-a di
teluk Banten tertera Gambar 5.24. sebagai berikut :
Pada bulan Januari 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1.1
hingga 1.5 mg/m
3
Pada bulan Februari 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 2.0
hingga 3.2 mg/m
3
Pada bulan Maret 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1.5
hingga 3.3 mg/m
3
Gambar 5.25. Klorofii-A dari Bulan Januari 2009 sampai
Bulan Juli 2010
Pada bulan April 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1.6
hingga 2.2 mg/m
3
91
Pada bulan Mei 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1. 7
hingga 2.3 mg/m
3
Pada bulan Juni 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1. 7
hingga 2.4 mg/m
3
,.,
-
Pada bulan Juli 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 11.8
hingga 2.5 mg/m
3
Pada bulan Agustus 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 2.0
hingga 2.8 mg/m
3
Gambar 5.25. Klorofii-A dari Bulan Januari 2009 sampai
Bulan Juli 2010
92
l'rulu IHtlnrt ~ ;uptnrnhur JOO!I,
komwnlrunl klnrnfilu dl tnhrk
I lmrh'n IHJ! kltuu aurturo 1 ~
lllrHJIJI1 ~ fl IIHJIIII'
bulan Oktober 2009,
ntrasi klorofil a di teluk
HHnton berkisar antara 1.2
hingga 1.4 mg/m
3
Pada bulan November 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1.5
hingga 1.7 mg/m
3
Gambar 5.25. Klorofii-A dari Bulan Januari 2009 sampai
Bulan Juli 2010
Pada bulan Desember 2009,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1.5
hingga 1.9 mg/m
3
93
Pada bulan Januari 2010,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1.5
hingga 1.6 mg/m
3
,.
-
Pada bulan Februari 201 0,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 2.4
hingga 3.9 mg/m
3
Pada bulan Maret 201 0,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1.0
hingga 1.3 mg/m
3
Gambar 5.25. Klorofii-A dari Bulan Januari 2009 sampai
Bulan Juli 2010
Pada bulan April 2010,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1.7
hingga 2.6 mg/m
3
94
Pada bulan Mei 2010,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 2.1
hingga 3.5 mg/m
3
Pada bulan Juni 2010,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1 .4
hingga 1.6 mg/m
3
Pada bulan Juli 2010,
konsentrasi klorofil a di teluk
Banten berkisar antara 1.5
hingga 2.4 mg/m
3
Gambar 5.25. Klorofii-A dari Bulan Januari 2009 sampai
Bulan Juli 2010
95
5.8.4. Variabilitas Bulanan Konsentrasi Klorofil a
Secara umum konsentrasi klorofil a di Teluk Banten dapat digambarkan
sebagaimana pada Graflk 5.26, konsentrasi klorofil a di Teluk Banten mengalami
dua kali puncak dan dua kali rendah dimana konsentrasi tinggi didapati pada
bulan Februari dan Agustus dengan kisaran antara 2.0 mg/m
3
hingga 3.2 mg/m
3
sedangkan konsentrasi rendah didapati pada bulan Maret dan Oktober.
Konsentrasi klorofil a pada bulan oktober mengalami penurunan hingga
mendekati 1 mg/m
3
.
8
7
6
<( 5
= 4 ....
3
2
1
0
Konsentrasi Klorofii-A
1\
I \
I \
I \
/ I
"--._
/'\_
/
.....___
&'>'lj ')..::> ')..::>
')'lj "?'-<$ "&lli ')'lj
' <:>0 '
Bulan
Gambar 5.26. Grafik Konsentrasi Klorofii-A Bulan Januari
2009 sampai dengan Juli 2010
5.8.5. Sea Level Anomaly (SLA)
Dari hasil pengolahan data satelit, didapatkan gambaran mengenai
distribusi spatial dan distribusi temporal dari SLA di teluk Banten tertera pada
Gambar 5.27 sebagai berikut :
96
~ \
? ~ ~
(
\
Jan 2009
Pada bulan Januari 2009, SLA
di teluk Banten berkisar antara
10.4 hingga 10.6 em
,._,
1.., I. ~
) ~ - ~ ..)
\ -
'-,
..._ ......... / ---
--
Feb 2009
, / ~ .... \......
_)_.,
Pada bulan Februari 2009,
SLA di teluk Banten berkisar
antara 2.5 hingga 3.1 em
!-.....-
"
".
' '-'
f
)
I
'
...._
Mar2009
Pada bulan Maret 2009, SLA
di teluk Banten berkisar antara
8.2 hingga 9.7 em
Apr2009
Pada bulan April 2009, SLA di
teluk Banten berkisar antara
14.3 hingga 14.5 em
Gam bar 5.27. SLA dari Bulan Januari 2009 sampai Bulan
Juli 2010
97
Mei 2009
Pada bulan Mei 2009, SLA di
teluk Banten berkisar antara
12.8 hingga 12.9 em
Pada bulan Juni 2009, SLA di
teluk Banten berkisar antara
12.1 hingga 12.2 em
Pada bulan Juli 2009, SLA di
teluk Banten berkisar antara
19.0 hingga 19.2 em
r-
- \
...
Ags 2009
Pada bulan Agustus 2009, SLA
di teluk Banten berkisar antara
3.0 hingga 3.3 em
Gambar 5.27. SLA dari Bulan Januari 2009 sampai Bulan
Juli 2010
98
-
Sep 2009
t, -,
.,
1.,
( \ _/
(
J
/""'
\, j '-,
.... ....._ ' -.
- . , _ . . . ~
Pada bulan September 2009,
SLA di teluk Banten berkisar
antara 1.8 hingga 2.4 em
Okt 2009
Nov2009
__ r, --
I'
\., r-
,,
( \,_ ... '
i
\
\
,/ \,
)
'
'-..
Pada bulan Oktober 2009, SLA Pada bulan November 2009,
di teluk Banten berkisar antara SLA di teluk Banten berkisar
3.7 hingga 4.1 em antara 12.4 hingga 13.3 em
Gam bar 5.27. SLA dari Bulan Januari 2009 sampai Bulan
Juli 2010
Des2009
Pada bulan Desember 2009,
SLA di teluk Banten berkisar
antara 9.3 hingga 9.7 em
99
Pada bulan Januari 2010, SLA
dl teluk Banten berkisar antara
19.8 hingga 20.1 em
,-"--"
I '
~
'; ~ - ,
\ '"""'
I
<
'
'-,
......._ ......
Feb 2010
/ ~
\ \
I '
/-/
Pada bulan Februari 2010,
SLA di teluk Banten berkisar
antara -1 .3 hingga -0.9 em
Mar 2010
~ - - ~
/
'
' \
( v
Pada bulan Maret 2010, SLA
di teluk Banten berkisar antara
2.7 hingga 2.9 em
Gam bar 5.27. SLA dari Bulan Januari 2009 sampai Bulan
Juli 2010
Apr2010
Pada bulan April 2010, SLA di
teluk Banten berkisar antara
10.7 hingga 10.9 em
100
Mei2010
Pada bulan Mei 2010, SLA di
teluk Banten berkisar antara
15A hingga 15.7 em
Jun 2010
\
""'-
-........
Pada bulan Juni 2010, SLA di
teluk Banten berkisar antara
10.1 hingga 10.3 em
Jul2010
Pada bulan Juli 2010, SLA di
teluk Banten berkisar antara
9A hingga 9.6 em
Gambar 5.27. SLA dari Bulan Januari 2009 sampai Bulan
Juli 2010
101
5.8.6. Variabilitas Bulanan SLA
SLA di Teluk Banten mengalami fluktiasi yang tidak teratur sebagaimana
SST dan Klorofil a. Dari (Gambar 5.28) tampak grafik rata-rata SLA terlihat
adanya puneak SLA pada bulan Juli yang meneapai hampir 20 em, sementara
SLA yang rendah terdapat pada bulan Februari, Agustus, September dan
Oktober dengan ketinggian dibawah 5 em.
Rata-rata SLA Teluk Banten
25
..
1
20
I
E 15
u
I
10
I
5
I
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Gambar 5.28. Grafik rata-rata SLA, puneak Bulan Juli 20 em
102
5. 9. Analisis Optimalisasi Data Karbon dengan Citra SLA dan Klorofii-A
Tahun 2009 dan 2010 Kaitannya dengan Daerah Penangkapan lkan
...I
Q.
en
C")
E
-
C)
E
Suhu Pennukaan Laut
33
32
31
30
29
28
27
26
25
'l.-<:5 r '$ . '$ .)
.0> fX'0 040 t::J0 .0>
c::,0 <::)0
8
7
6
5
4
3
2
1
Konsentrasi Klorofii-A
.... '?> .,
r .
-"-t -"-0-
f.. f.. f.. 'S)q) 'S)q) (Q<.. .
x_'lJ l '::JV
<'\ .... '!S ..
e:,'lJ'< o'Oeo x_'lJ
BUiall)
Gambar 5.29: Variabilitas bulanan SPL dan Klorofil -a Januari 2009 - Juli 2010
(ekstraksi dari lndraja dari citra Aqua-Modis)
Optimalisasi pemanfaatan data karbon serta data fisik lainnya (suhu, TSS,
dll) yang diukur secara in-situ di taut seperti yang telah disebutkan di atas dapat
dimanfaatkan dalam memverifikasi dan memprediksi nilai pC0
2
dari keberadaan
suhu dan klorofil yang merupakan produk asli dan turunan dari citra. Hal ini
103
terlihat pada Gambar 5.29 dimana dari data citra terlihat pada bulan Juli 2009
nilai klorofil tinggi. Tingginya nilai klorofil dapat diverifikasi bahwa pada bulan Juli
2009 besamya pC02 (tekanan parsial gas C02) di air laut dipengaruhi oleh suhu
dengan nilai R
2
0,632 dimana nilai klorofil didapat dari menurunkan faktor suhu
permukaan laut dengan algoritma, Nilai rata-rata klorofil bulan Juli 2009 secara
in-situ dengan pengukuran alat WQC TOA DKK adalah 7,01 mg/m
3
(Adi dan
Rustam, 2010). Dimana diketahui nilai ini hampir sama dengan nilai yang
didapat dari turunan citra di atas yaitu sebesar 7 mg/m
3
.
Pengukuran bulan Juli 2010 nilai klorofil berdasarkan citra Aqua-Modis
ada kecenderungan menaik tetapi lebih rendah dibandingkan Juli 2009.
Berdasarkan regresi linear sederhana pC0
2
di Teluk Banten pengukuran bulan
Juli 2010 lebih dipengaruhi oleh faktor kimia yaitu pH sebesar 0,9321, sedangkan
pengaruh klorofil-a lebih besar dari suhu (0,082 dan 0,014).
Dari variabilitas data suhu dan klorofi-al yang diolah dari citra satelit Aqua-
Modis bisa dikaitkan dengan besarnya tekanan pC0
2
sehingga dapat dikaitkan
dalam suatu rantai makanan memerlukan terdiri dari produser dan konsumen.
Dimana tingginya klorofil-a mengindikasikan banyaknya produser serta
konsumen tingkat pertama yang mengkonsumsi makanan yang dihasilkan oleh
produser di periaran yang akhirnya akan naik ke konsumen berikutnya atau ikan
ekonomis penting. Semua ini dapat memprediksi dimana lokasi penangkapan
ikan dan bulan apa ikan dalam keadaan melimpah.
Data perikanan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten terlihat
bahwa puncak musim ikan tangkap untuk jenis
Tembang, Teri, Kembung, Selar, Cumi pada bula
di Teluk Banten (Kabubaten Serang dan CiJegonl ( 0
ikan Kuwe, Ekor kuning,
5.1 0. Ana lisa Optimalisasi Kontri busi
Keterkaitan Fungsional Ekosistem
Produktivitas Perikanan Pesisir
Ekosistem adalah jasad hidup dan lingkungan ta
terpisahkan dan berinteraksi satu dengan yang lain. Se
suatu organisme atau suatu komunitas dalam sua
dengan lingkungan fisiknya sehingga suatu aliran energi menciptakan bentuk
trofik yang jelas, keanekaragaman biotik dan daur material (yakni pertukaran
material-material antara bagian hayati dan nir-hayati) alam suatu sistem
(Romimohtarto dan Djuwana, 2009) .
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang memiliki
kekhasan dengan adanya tumbuhan mangrove yang berupa pohon ataupun
perdu yang tumbuh di daerah salinitas atau di tepi pantai ataupun estuaria.
Wilayah ekosistem mangrove merupakan wilayah ekoton (peralihan antara
darat dan laut), oleh karena itu masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti
pasang surut, angin laut, perembesan air asin, sedangkan bagian lainnya
masih dipengaruhi oleh sifat-sifat alami daratan seperti pengendapan lumpur
sungai, aliran air tawar dan aktivitas man usia di daratan (Kartawinata et.a/1979
dalam Rustam, 2003).
Ekosistem lamun adalah satu sistem (organisasi) ekologi padang lamun
yang di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik (air
dan sedimen) dan biotik (flora dan fauna) (Azkab, 2006).
Produktivitas adalah kemampuan dan kecepatan berproduksi yang
dinyatakan dalam gram/m2/hari atau laju potensi pemasukan bahan organik
atau pembangkitan energi oleh individu, populasi/satuan trofik persatuan waktu
.
untuk satuan area/volume atau kesuburan organik/kapasitas suatu
daerah/habitat untuk berproduksi biomassa (Rifai, 2002). Inti dari produktivitas
adalah kemampuan suatu mahluk hidup autotroph (membuat makanan sendiri)
yaitu tanaman mangrove dan lamun dalam menghasilkan biomassa (bahan
organik berat kering/karbon) yang dimanfaatkan mahluk hidup lainnya untuk
mendapatkan energi (sumber makanan) dalam suatu rantai makanan.
lkhtiofauna adalah keseluruhan jenis ikan/fauna yang dapat
dimanfaatkan manusia (ekonomis) yang ada di suatu daerah (Rifai, 2002).
lkhtofauna ini baik yang ada di dalam ekosistem mangrove dan padang lamun
atau yang datang dari luar ekosistem tersebut.
Keberadaan suatu ekosistem pesisir dalam pemanfaatannya secara
langsung untuk manusia terkait dengan keberadaan secara suitainable
105
sumberdaya alam (ikhtiofauna) dengan ekosistem itu sendiri yang dalam
kondisi baik atau tidak. Ekosistem yang berkondisi baik akan berfungsi dengan
sebaik-baiknya dalam menopang kehidupan biota lainnya baik di dalam
maupun di luar ekosistem.
5.11. Fungsi Ekosistem, lnteraksi dan Produktivitas lkhtiofauna
Fungsi ekosistem mangrove yang dapat disimpulkan dari berbagai
literatur (Nybakken, 1992, Bengen, 2002; Arief, 2003) adalah:
1. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari
abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen;
2. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan batang pohon
mangrove;
3. Sebagai habitat biota laut dan darat, baik sebagai daerah memijah,
asuhan, perlindungan maupun mencari makanan;
4. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku
arang dan bahan baku kertas (pulp);
5. Pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya;
6. Sebagai daerah wisata;
7. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi air laut atau sebagai
filter air asin menjadi air tawar;
8. Sebagai penyerap karbon terutama oleh bagian daun,
9. Penghasil oksigen, produk dari fotosintesis,
10. Penyerap limbah-limbah hasil pencemaran sampai batas daya
dukung ekosistem alami
Fungsi ekosistem lamun dari berbagai literatur (Nybakken, 1992; Dahuri,
2003; Azkab, 2006; Romimohtarto dan Djuwana, 2009; Bengen, 2009; Kiswara,
2009) dapat disimpulkan sebagai berikut
1. Sebagai produsen primer penghasil zat hara (nutrient) dari lamun
terutama daun dan sedikit alga epifit;
106
2. Sebagai habitat biota laut, baik sebagai daerah memijah, asuhan,
perlindungan maupun mencari makanan;
3. Sebagai penangkap sedimen dan peredam arus/gelombang;
4. Sebagai pendaur zat hara dan elemen-elemen yang langka di
perairan laut terutama yang dibutuhkan oleh alga epifit;
5. Memfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem
daur rantai makanan
6. Penghasil oksigen
7. Bioindikator bagi limbah-limbah logam berat
Mrmgruve 1 Ssagrass
I Snct so.J t:"t\trt11
I 1
1
f 0"o{Jd !!1 f(J()d !np,
ateit
I
1
nu'lrLnnts
{
Pfte"ont e ro'IIQ!t
Poc:a rur-,
...
Ptod lJCt"'IL
I
( . .,
Laooan
il"d i:IOM
I
oralteef
I Pro.,.., ptt,. IKI I Uutte
f P' ro v u::ca Y<lttes h tttt.n .,
s pe wnlnlJ s re
I
nut n nts df tc6QOU)
I
Coral fl>fiiWIIio
i f Oratnlo )o : ""roa --+I
,. 1 ' Fish erd
w .... .,... ..
Uttvr ng ftlft 1"41 I
c:rust.te-;ans ): Matu nt fi fil
I
I
Gambar 5.30. Fungsi dan peran tiga ekosistem pesisir tropis (Sumber: .... . ... """'"' '
Gambar 5.30 memperlihatkan beberapa keterkaitan fungsional dan
peranan dari tiga ekosistem laut tropis. Fungsi dari ekosistem mangrove
sebagai pencegah erosi pantai, daerah asuhan dan penghasil zat hara.
Ekosistem lamun sebagai pengikat sedimen, daerah asuhan, mencari makan
dan perkembangbiakkan serta penghasil zat hara/nutrien. Ekosistem terumbu
karang berfungsi sebagai penyangga proses-proses fisik dari laut,
menyediakan berbagai habitat untuk biota laut dalam mencari makan dan
perkembangbiakkan dan memanfaatkan nutrien yang didapat dalam
membentuk terumbu karang antara zooxanthallae dengan hewan karang
(Coelenterata).
Gambar 5.30 juga menjelaskan bahwa ekosistem mangrove dan lamun
merupakan daerah penghasil nutrient akan diekspor ke perairan laut. Zat
hara/nutrient yang dihasilkan di ekosistem mangrove umumnya masih berupa
serasah baik dari daun, buah maupun batang mangrove yang kemudian di
ekosistem lamun yang memiliki metabolisme yang khas akan mendaur ulang
zat hara tersebut selain yang terdapat dari ekosistemnya sendiri (daun dan
rimpang) menjadi zat-zat nutrien yang lebih sederhana seperti karbon dan
nitrogen. Nutrient ini akan bereaksi dengan air sehingga akan dapat
dimanfaatkan langsung nutrien tersebut oleh lamun, alga epifit dan fitoplankton
yang ada dalam kolom air dalam proses pertumbuhannya.
Ekosistem mangrove dan ekosistem lamun merupakan daerah asuhan
bagi larva-larva biota laut sampai dewasa, setelah dewasa akan migrasi ke
ekosistem di depannya untuk spawning di ekosistem lamun atau terumbu
karang. Sebagai daerah asuhan larva di ekosistem terumbu karang akan
mencari makan dan membesarkan diri di ekosistem lamun ataupun mangrove
ataupun biota dewasa yang bergerak seperti ikan-ikan nekton pelagis pergi
mencari makan di ekosistem lamun.
Lebih jelasnya lagi 'keterkaitan fungsional dari ekosistem mangrove dan
lamun yang merupakan bagian dari ekosistem pesisir memiliki lima maca
interaksi (Dahuri, 2003; Bengen, 2009) yaitu: 1) interaksi tiSIK :.! )
bahan organik terlarut; 3) interaksi bahan organik partil<el; 4 ) intera.ks1 !"110rasi
fauna dan 5) interaksi dampak manusia (Gambar 5.29).
Lima interaksi yang terjadi di pesisir pada akhimya adalah pemanfaatan
yang ada di dalam ekosistem maupun di luar ekosistem dalam bentuk benda itu
sendiri (ikhtiofauna maupun mangrove dan lamun) ataupun jasa-jasa yang
dapat dimanfaatkan (wisata bahari) oleh manusia, terutama pemanfaatan
sebagai sumber makanan yaitu berbagai jenis ikan.
108
1. r 1S1K
2 O.:>han org<'Hl;k te:.rHut
3 G<ll3f\
11 M 11.11ass
"
0.;
,.
E:kosistem
Eko:si ::.tem
Teru-rbt
..
Martnrcve
Gambar 5.31. lnteraksi antara ketiga ekosistem taut tropis (modifikasi Ogden
dan Gladfelter dalam Bengen 2009)
Gambar 5.31 memperlihatkan dengan jelas interaksi yang pada
tiga ekosistem taut tropis yang sating terkait satu dengan yang lain yang
berhubungan dengan fungsional dari ekosistem tersebut. Salah satu interaksi
yang terganggu/terjadi pada satu ekosistem akan berdampak pada ekosistem
lainnya. Contoh pada interaksi fisik yaitu masuknya sedimen dari daratan akan
tertahan pertama kali oleh mangrove dengan sistem perakaran yang khas.
rapat dan menjalar kemana-mana, sehingga sed
dalamnya hal ini akan berpengaruh pada
5.31) yang membutuhkan perairan lebih je
bagi lamun agar dapat melakukan fotos
dalam kolom air yang jemih selain itu lam
a1us aK.an tertana
yang masih lotos dari mangrove dengan menempei paaa daun ata
terperangkap di rimpang. Akhimya air yang masuk ke ekosistem terumbu
karang merupakan air yang jemih sehingga terumbu karang terhindar dari
sedimentasi yang mengakibatkan bleaching serta zooxanthallae tetap dapat
berfotosintesis. lnteraksi ini juga berlaku bagi perairan yang ada di bagian taut
dimana terumbu karang yang memiliki struktur yang kokoh lebih dahulu
melindungi ekosistem di belakangnya dan pecahan karang yang terjadi dengan
109
bantuan biota laut lainnya akan menjadi kerikiVpasir dan pasir halus yang
terbawa ke arah darat untuk partikel yang lebih kasar akan tertahan oleh lamun
sedangkan yang lebih halus akan terbawa sampai ke mangrove. Diketahui
bahwa mangrove membutuhkan substrat halus/lumpur agar dapat berkembang
biak dengan baik walaupun terutama berasal dari daratan .
lnteraksi fisik ini juga akan mengakibatkan banyaknya biota laut
terutama nekton seperti ikan pelagis yang berada di ekosistem mangrove
maupun ekosistem lamun terkait dengan perairan yang lebih terlindung dan
tenang. Diketahui bahwa ada empat pengelompokkan ikan yang ada di
ekosistem mangrove maupun padang lamun yaitu: 1) penghuni tetap, yaitu ikan
yang selama hidupnya ada di ekosistem; 2) penghuni sementara, ikan yang
ada di ekosistem mulai fase larva sampai dewasa; 3) penghuni sementara
yang hidup hanya pada fase larva saja dan 4) penghuni pengunjung hanya
mencari makan saja (Kiswara, 2009; Kuriandewa, 2009).
lnteraksi lainnya seperti interaksi bahan organik terlarut dan bahan
organik partikel terkait dengan fungsi ekosistem mangrove dan lamun sebagai
penghasil zat hara/nutrient. Proses pembusukkan dari daun, akar dan batang
tanaman mangrove dan lamun lebih banyak dibantu oleh organisme bentos
baik itu mollusca, polychaeta, maupun bakteri di dasar perairan. Umumnya
.
daun-daun yang jatuh untuk tanaman mangrove akan membusuk oleh
dekomposer membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan tanaman lamun.
Lamanya proses pembusukkan tiap jenis tanaman juga berbeda. Nutrien yang
dihasilkan dari serasah daun akan berpindah berdasarkan pergerakan arus
terutama pasang surut. Pengiriman nutrient ke ekosistem laut lepas
dimanfaatkan oleh organisme autotrof lainnya seperti fitoplankton untuk
perkembangbiakkan dan zooxanthallae yang bersimbiosis dengan hewan
karang menghasilkan produktivitas primer perairan yang tinggi. Ketika kembali
ke arah daratan nutrient akan dimanfaatkan oleh tanaman lamun/mangrove
dalam pertumbuhannya. Pemanfaa:a- n:.-::E:.: de:: ta:.;a::-...an li"ilangrove lebih
banyak memanfaatkan yang ada
perakaran yang lebih baik masu
SIStem
atau akar yang terendam di air melalui lentisel. Lamun lebih banyak
memanfaatkan nutrien melalui sistem perakaran menjalar rimpang sehingga
lebih banyak menyerap dari kolom air dekat dasar ataupun pada bagian
daunnya.
lnteraksi nutrient baik itu yang terlarut maupun partikel akan
mengundang banyaknya biota laut pemakan detritus dan suspensi untuk hidup
menetap ataupun berkunjung pada ekosistem mangrove maupun lamun.
Keanekaragaman yang tinggi dari biota pemakan detritus maupun suspensi
yang umumnya biota bentos akan mengundang biota - biota lain yang lebih
tinggi untuk memakannya seperti berbagai jenis ikan (interaksi migrasi fauna).
Gambar 5.32. Rantai makanan pada padang lamun (Edgar, 2001 dalam CE
2005)
Gambar 5.32. merupakan rantai makanan yang t e ~ d i di ekosistem
lamun, terlihat bahwa ikan yang ada di ekosistem ini merupakan ikan herbivora
dengan merumput (grazing), ikan karnivora baik pemakan hewan yang
suspensi filter maupun detrivor atau biota lainnya. Biota- biota yang ada di
ekosistem lamun selain mencari makan juga berlindung di bawah kanopi
lebatnya daun lamun dari sengatan matahari atau dari predator.
111
Nilai ekonomi dan ekologis ekosistem lamun ter1<ait dengan keberadaan
biota yang hidupnya tergantung pada padang lamun adalah ada 360 spesies
ikan, 117 makro alga, 24 jenis moluska seperti kima pasir (Hyppopus
hyppopus), 70 jenis krustase dan 45 jenis ekhinodermata seperti teripang
(Holothuria sp) dan bulu babi (Trineuptes gratil/a) (Kiswara, 2009). Selain itu
ada satu spesies mamalia Dugong dugan atau ikan duyung yang sudah mulai
jarang ditemukan dan dilindungi oleh undang-undang karena habitat tempat
hidupnya mulai hilang yaitu padang lamun. Satu jenis reptil yaitu penyu hijau
(Chelonia mydas) yang juga mulai langka di temukan. Penyu ini mempunyai
pola makan yang berubah dimana pola makan karnivora pada masa anakan
ketika mulai dewasa berubah menjadi herbivora dengan memakan daun lamun
terutama Thalassia hemprichii.
Jenis ikan yang ekonomis penting yang berasosiasi dengan padang
lamun adalah dari jenis siganid (beronang), lethrinid, carangid dan lutjanid. Di
Teluk Banten ditemukan 180 jenis ikan dengan 12 jenis ikan ekonomis penting
terutama siganid (Dahuri, 2003). Selain itu ikan-ikan di ekosistem terumbu
karang akan mencari makan di daerah padang lamun yang terdekat dengan
habitatnya yaitu terumbu karang.
Penelitian de Ia Moniere et.al, 2002 pola migrasi ikan-ikan karang di laut
Karibia ke ekosistem lamu'n ataupun mangrove ter1ihat berdasar1<an ukurannya.
dimana umumnya ikan dalam fase larva akan bermigrasi untuk nlencari maka
pad a ekosistem yang terdekat dengan habitatnya ya
Setelah berukuran agak besar atau dewasa akan mencari rna
jauh ke dalam teluk yaitu ekosistem mangrove.
lkan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove juga merupaKan tkan
- ikan yang berasosiasi dengan estuaria ataupun padang lamun yang
umumnya bermigrasi dalam rangka mencari makan. Keanekaragaman biota
yang tinggi pada ekosistem lamun terutama invertebrata seperti polychaeta,
bivalvia dan gastropoda, mengundang biota lebih tinggi untuk datang ke
ekosistem mangrove seperti berbagai jenis decapoda (kepiting) maupun udang-
udangan (krustase) serta berbagai jenis ikan.
lkan yang menetap di ekosistem mangrove dikenal dengan ikan gelodog
(Periophthalmus spp) yang telah mengembangkan siripnya agar dapat
meluncur diatas lumpur dan air. Mata yang dapat beradaptasi untuk melihat di
atas dan di dalam air. Kulit digunakan sebagai alat pernapasan tambahan
(Nybakken, 1992; Dahuri, 2003).
Komposisi sejumlah jenis ikan di sekitar kawasan mangrove terdiri atas
59,7 % ikan karnivora, 16,6 % omnivora dan 29,6 % detrivora (Arief, 2003).
Selain ikan, biota laut yang ekonomis penting di ekosistem mangrove adalah
kepiting bakau (Scylla serrata), pemanfaatan biota ini sudah dalam tahap
budidaya oleh masyarakat. Tiram (Crasosstrea sp) yang merupakan salah satu
bivalvia ekonomis penting berasosiasi dengan ekosistem mangrove menempel
pada akar-akar mangrove. Krustase yang ekonomis penting adalah udang
jerbung (Penaeus merguensis) dan udang windu (Penaeus monodon).
Produktivitas ikhtiofauna pesisir terkait dengan struktur komunitas
ekosistem mangrove dan padang lamun sangat erat dari berbagai penelitian
yang ada terlihat bahwa produktivitas ikan meningkat seiring dengan rapatnya
tanaman mangrove dan lamun (Dahuri, 2003).
lkan - ikan pesisir keberadaannya tergantung dari fungsi dan interaksi
ekosistem pesisir yang merupakan sumber penghasil nutrient dan daerah yang
.
kaya akan makanan dan terlindung. Di perairan Indonesia, 80 % dari ikan-ikan
komersial yang tertangkap di daerah pesisir ternyata berhubungan erat dengan
rantai makanan yang terdapat di ekosistem mangrove dan sekitar 70% dari
siklus udang dan dan ikan-ikan yang tertangkap di daerah estuari berada di
daerah mangrove (Soenoyo, 1989 dalam Arief, 2003). lkan-ikan ekonomis
penting seperti siganid (beronang) yang tertangkap 60 % di perairan pesisir
terkait erat dengan kelimpahan padang lamun di pesisir (Dahuri, 2009).
Ekosistem mangrove merupaKa
dengan ekosistem darat dan e
1992), walaupun demikian dala
sudah banyak penelitian
manfaat dari ekosistem e
yang rumit karena terkait
pas pantai diluamya (Nybakken,
em mangrove saat ini
anlkeunikan dan
::::ca'liami dan dirasakan
113
masyarakat (sy/vofisheries). Berbeda dengan ekosistem lamun masih kurang
pemahaman ekologis secara detail, dimana peranan yang sudah pasti sebagai
penghasil zat hara dari biomassa terutama daun tetapi fungsi ekologis yang
lebih detail masih kurang.
Keberadaan ekosistem padang lamun masih belum banyak dikenal baik
pada kalangan akademisi maupun masyarakat umum, jika dibandingkan
dengan ekosistem lain seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem
mangrove. Ketiga ekosistem tersebut merupakan satu kesatuan sistem dalam
menjalankan fungsi ekologisnya bukan bagian yang terpisah.
Kaitan fungsi ekologis dan interaksi ketiganya berpengaruh dalam
meningkatkan produktivitas ikhtiofauna pesisir. Oleh karena itu perlu adanya
pemahaman oleh masyarakat besamya manfaat ekosistem bagi kesejahteraan
masyarakat sendiri. Pemahaman masyarakat dapat dilakukan dengan
penyuluhan dan praktek langsung dari program - program yang ada seperti
konservasi daerah atau daerah perlindungan laut berbasis masyarakat (DPL-
BM). DPL-BM adalah upaya masyarakat untuk mempertahankan dan
memperbaiki kualitas ekosistem pesisir (lamun, dan terumbu karang) dan
sekaligus mempertahankan kualitas sumberdaya lainnya yang ada di lamun
dan terumbu karang (Bengen, 2009a). Program ini berbasis konservasi mulai
dari daratan sampai ke laut yang meliputi zona inti dan zona penyangga dari
sebagian daerah yang tidak berpenduduk. Penangkapan hanya boleh
dilakukan di luar zona penyangga karena otomatis ikan yang sudah besar akan
keluar dari ekosistem lamun maupun mangrove (daerah asuhan dan mencari
makan). Diharapkan program ini merupakan inisiatif dan partisipasi langsung
masyarakat setempat.
ll4
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil dari pengamatan di lapangan dan pengolahan data di laboratorium maka
diperoleh beberapa kesimpulan:
1. Kualitas air di perairan Teluk Banten mempunyai nilai rata-rata yang
sesuai dengan nilai baku KLH untuk perikanan tangkap.
2. Material-material sedimen dasar laut terdiri dari pasir dan lanau. Material
sedimen pasir yang mempunyai besar butir kasar diendapkan di muara
sungai sedangkan material sedimen lanau yang mempunyai besar butir
halus diendapkan ke arah laut lepas. Endapan material sedimen
dipengaruhui oleh arus sejajar pantai (long shore current)
3. Nilai konsentrasi Total Suspended Sediment (TSS) perairan Teluk Banten
berkisar antara 48 - 156 mg/L, jika disebandingkan dengan baku mutu
KLH untuk perikanan tangkap maka berada pada kategori sangat buruk.
Nilai TSS dipengaruhi oleh endapan alluvial berupa pasir, lempung dan
kerikil.
4. Hasil pengamatan bulan Juli 2010, diperoleh hasil bahwa kecepatan arus
maksimum pada bulan tersebut sebesar 0.368 mfdet. Arus bergeraK Ke
arah barat laut (sekitar 300).
5. Nilai pengukuran system karbon di perairan Teluk Banten menggunakan
C02SYS maenghasilkan nilai minus pada saat pengukuran
mengindikasikan bahwa kondisi perairan Teluk Banten dalam keadaan
sink atau menyerap karbon.
6. Konsentrasi DIC (Dissolved Inorganic Carbon) menunjukkan konsentrasi
yang tinggi di daerah pesisir yang dekat dengan daratan dan berangsur
115
menurun pada perairan laut, diduga karena faktor biologi dan proses
fotosintesis.
7. Faktor penyebab variabilitas pC0
2
di wilayah Teluk Banten maka
dilakukan analisis regresi liniear sederhana antara pC02 dengan DIC nilai
0,0285, pC02 dengan Alkalinitas nilai 0,1063, pC02 dengan pH nilai
0,9321, pC02 dengan suhu nilai 0,014 dan pC02 dengan Klorofil 0,082.
8. Suhu tinggi permukaan laut didapati pada bulan Mei dan November
dengan kisaran antara 31 oe hingga 32oe sedangkan suhu rendah
permukaan laut didapati pada bulan Februari dan Agustus. Suhu
permukaan laut pada bulan Februari mengalami penurunan hingga
berada dibawah 29C.
9. Konsentrasi klorofil a di Teluk Banten mengalami dua kali puneak dan
dua kali rendah. Konsentrasi tinggi didapati pada bulan Februari dan
Agustus dengan kisaran antara 2.0 mg/m
3
hingga 3.2 mg/m
3
sedangkan
konsentrasi rendah didapati pada bulan Maret dan Oktober. Konsentrasi
klorofil a pada bulan oktober mengalami penurunan hingga mendekati 1
mg/m
3
.
10.SLA di Teluk Banten mengalami fluktiasi yang tidak teratur terlihat adanya
puneak SLA pada bulan Juli yang meneapai hampir 20 em, sementara
SLA yang rendah terdapat pada bulan Februari, Agustus, September dan
Oktober dengan ketinggian dibawah 5 em.
11. Pengukuran nilai klorofil-a eenderung naik karena dipengaruhi oleh faktor
kimia yaitu pH sebesar 0,9321 mengindikasikan bahwa produser dan
konsumen tingkat pertama mengkonsumsi makanan yang dihasilkan oleh
produser di perairan yang akhirnya akan naik ke prod user berikutnya atau
ikan ekonomis penting.
116
Saran
Diperlukan pengamatan dalam empat musim yaitu: musim barat, peralihan1,
musim timur dan peralihan 2 untuk pengamatan Kualitas Air, Total Suspended
Sediment (TSS), Oseanografi dan Karbon sehingga dapat diketahui sebaran
TSS, pola arus dan pengukuran system Karbon. Data empat musim berperan
besar dalam mengetahui tingkat kesuburan perairan.
117
DAFTAR PUSTAKA
Anderson and Robinson. 1946. Industrial and Engineering Chemistry, Analytical
Edition, 18, p767.
Arief, A., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta
Azkab, M.H., 2006. Ada Apa dengan Lamun. Oseana 31 (3): 45 -55
Achiruddin, 1., T. Hariyanto, dan C. Nurdjati, 2005. "Pemantauan Perubahan
Garis Pantai di Pantai Timur Surabaya dengan Teknologi
Penginderaan Jauh". Geoid Vol. 1, No. 1, Surabaya. ISSN : 1858-2281.
Hal24- 29.
Ambarwulan, W dan T.W. Hobma, 2004. "Bio-optical Model for Mapping
Spatial Distribution of Total Suspended Matter from Satellite Imagery".
3rd FIG Regional Conference. Jakarta, Indonesia, Oktober 3-7. Hal 1 -
10.
Anderson JR., ...... , Sand Sieve Analysis, Laboratory 6, Department of Geology,
Georgia Perimeter College
<http: //facstaff. g pc. edu/-janderso/h istoric/labma n/sievean. htm >
banten.go.id, 2010, Profil Provinsi Banten, www.banten.go.id (diunduh tanggal 2
Oktober 201 0).
Budiman, S. 2004. Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite
Image in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta, Indonesia.
Disertasi. lTC. Netherlands
.
Baum, A., T. Rixen, and J. Samiaji .2007. Relevance of peat draining rivers i
central Sumatra for the riverine input of dissolved organic carbon into the
ocean, Estuarine Coastal Shelf Sci. , 73, 563-570.
Bengen, D.G., 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan penge!olaan ::
Mangrove. PKSPL-IPB. Bogar
Bengen, D.G., 2009. Perspektif Lamun dalam Mitigasi dan Adaptasi Pe
lklim. dalam Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem La
Jakarta
Bengen, D.G., 2009a. Struktur dan Dinamika Lamun. Kuliah Dinamika dan
Proses-Proses Ekosistem Laut ITK 712. Bogar
Blatt SJ., 2008, GRAD/STAT V.6 - A Grain Size Distribution and Statistics
Package for the Analysis of Unconsolidated Sediments by Sieving or
Laser Granulometer, Kenneth Pye Associates Ltd. Crowthorne
Enterprise Centre, Old Wokingham Road, Crowthorne Berkshire RG45
6AWUK.
118
Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. New
York: Elsevier Scientific Publishing Company.
Budiman, S., 2004. "Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite
Images in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta, Indonesia
". Master Thesis, Gee-Information Science and Earth Observation, lTC,
Enschede the Netherland.
Budiman, S., 2005. "Pemetaan Sebaran Total Suspended Matter (TSM)
Menggunakan Data ASTER dengan Pendekatan Bio-Optical Model".
Presiding PIT MAPIN XIV 'Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh
untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa'. Jilid Ill, Teknologi lnformasi
Spasial, Surabaya. Hal1 - 6.
Budiman, S. 2004. Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite
Image in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta, Indonesia.
Disertasi. lTC. Netherlands
Borges, A.V. 2005. Do We Have Enough Pieces of the Jigsaw to Integrate C02
Fluxes in the Coastal Ocean?. Estuaries Vol. 28, No. 1, p. 3-27.
Borges, A.V., L.S. Schiettecatte , G. Abril , B. Delille and, F. Gazeau. 2006.
Carbon Dioxide In European Coastal Waters. Estuarine, Coastal and
Shelf Science, 70, 375-387
Cai, W.J., Dai, M., and Wang, Y. 2006. Air-Sea Exchange of Carbon Dioxide in
Ocean Margins : A Province Based Synthesis. Geophysical Research
Letters, Vol.33. L 12603, doi:1 0.1 029/2006GL026219.
Cai, W.-J., Wang, Y., 1998. The chemistry, fluxes and sources of carbon dioxide
in the estuarine waters of the Satilla and Altamaha Rivers. Georgia.
Limnology and Oceanography 43, 6 5 7 ~ 6 8
Chen.F, W.J, Cai, C.B, Nelson, and Y.Wang. Sea Surface =>co.,...ss-
Relationships Across A Cold-Core Cyclonic Eddy: lmp1
Understanding Regional Variability And Air-Sea Gas
Geophysical Research Letters, Vol. 34.
Doi: 10.1 029/2006gl028058.
Chipman, J. W., Leale, J. E., Lillesand, T. M., Nordheim, M. J. , Schamaltz, J. E.,
2004. Mapping Lake Water Clarity with Landsat Image in Winconsin,
USA.
Chierici, M, A.Oisen, T. Johannessen, J. Trinanes and R. Wanninkof. 2009.
Algorithms to Estimate the Carbon Dioxide Uptake in the Northern
North Atlantic Using Shipboard Observations, Satellite and Ocean
Analysis Data. Deep Sea Research II, 56,630-639.
119
Carolita, 1., E. Parwati., B. Trisakti, T. Kartika, dan G. Nugroho, 2005.
"Model Prediksi Perubahan Lingkungan Di Kawasan Perairan
Segara Anakan". Prosiding PIT MAP IN XIV 'Pemanfaatan Efektif
Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa'. Jilid
Ill, Teknologi lnformasi Spasial, Surabaya. Hal173 -178.
Community Environment Network (CEN). 2005. Watching the Seagrass Grow- a
Guide for Community Seagrass Monitoring in NSW. 2nd edition. The
Community Environment Network. Ourimbah
Chipman, J. W., Leale, J. E., Lillesand, T. M., Nordheim, M. J., Schamaltz, J. E.,
2004. Mapping Lake Water Clarity with Landsat Image in Winconsin,
USA.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia. Jakarta
De Ia Moriniere, E.C; B.J.A. Pollux; I. Nagelkerken dan G. VanderVelde., 2002.
Post-settlement Life Cycle Migration Patterns and Habitat Preference of
Coral Reef Fish that use Seagrass and Mangrove Habitats as
Nurseries. Estuarine, Coastal and Shelf Scince (2002) 55, 309-321.
www.elsevier.com [25 November 2009]
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya
dan Lingkungan Perairan. PT. Kanisius. 257 hal.
Folk, R.L., 1980. Petrology of Sedimentary Rocks. Hemphill Publishing, Austin,
TX, 184p
Fletcher, S.E.M, et. al. 2006. Inverse Estimates of Anthropogenic C02 Uptake,
Transport and Storage by the Ocean. Global Biogeochemical Cycles,
Vol. 20. doi:10.1029/2005GB002530.
Frankigenoule. M, I. Bourge and R. Wollast.1996. Atmospheric C0
2
Fluxes in a
Highly Polluted Estuary (the Scheidt). Limnology and Oceanography.
41 (2), 365-369.
Green, E.P and F.T. Short. 2003. World Atlas of Seagrass. UNEP & WCMC
gsfc.nasa.gov/IAS/handbooklhandbook_toc.html, 2008, (diunduh tanggal 2
februari 2008)
Hardjojo B dan Djokosetiyanto. 2005. Pengukuran dan Analisis Kualitas
Air. Edisi Kesatu, Modul 1 - 6. Universitas Terbuka. Jakarta.
Helfinalis, 2002, Sebaran Sedimen dan Suspensi di Perairan Teluk Banten,
Jurnal Oseanografi, Biologi dan Lingkungan, P20 LIPI, p.133-145.
Hoitink, A.J.F. ; Hoekstra. P. , 2003, Hydrodynamic control of the supply of
reworked terrigenous sediment to coral reefs in the Bay of Banten (NW
Java, Indonesia) Estuarine, Coastal and Shelf Sciences, Volume 58,
Issue 4, p.743-755.
120
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). 2004. Keputusan Menteri KLH No.
51/2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. KLH, Jakarta.
Kiswara, W., 2009. Perspektif Lamun dalam Produktivitas Hayati Pesisir. dalam
Lokakarya Nasionall Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta
Kuriandewa, T.E., 2009. Tinjauan tentang Lamun Indonesia. dalam Lokakarya
Nasionall Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta
Lewis, E and D.Wallace. 1997. C02SYS. Program Developed for C02 System
Calculations. Department of Applied Science, Brookhaven National
Laboratory, Upton, New York
Lefevre et.al. 2002. Observations Of Pco2 In The Coastal Upwelling Off Chile:
Spatial And Temporal Extrapolation Using Satellite Data. Journal Of
Geophysical Research, Vol. 107, No. C6, 3055,
10.1 029/2000jc000395.
Lohrenz, S.E. and W.J. Cai. 2006. Satellite Ocean Color Assessment Of Air-Sea
Fluxes Of C02 In A River-Dominated Coastal Margin. Geophysical
Research Letters, Vol. 33, L01601, Doi:10.1029/2005gl023942.
Milliman, J.D., and R. H. Meade. 1983. World-wide delivery of river sediment to
the oceans, J. Geol., 91, 1 - 21.
Milliman, J. D., K. L. Farnsworth, and C. S. Albertin. 1999. Flux and fate of fluvial
sediments leaving large islands in the East Indies, J. Sea Res., 41, 97-
107.
Milliman, J. D., and J. P. M. Syvitski (1992), Geomorphic/tectonic control of
sediment discharge to the ocean: The importance of small
mountainous rivers, J. Geol., 100, 525-544.
Moore, J.K., M.R. Abbottt, J.G. Richman and D.M. Nelson. 2000. The Southern
Ocean at the Last Glacial Maximum: A Strong Sink for Atmospheric
Carbon Dioxide. Global Biogeochemical Cycles, Vol.14, No.1, 455-
475.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia,
Jakarta.
ourlake.org/html/turbidity.html , 2010, (diunduh tanggal 15 Oktober 201 0).
Peta Lingkungan Pantai Indonesia, Lembar LPI 1110-09, Teluk Banten, 1999.
Bakosurtanal dan Dishidros.
Rifai, M.A., 2002. Kamus Biologi. Balai Pustaka. Jakarta
Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2009. Biologi Laut, llmu Pengetahuan tentang
Biota Laut edisi 4. Djambatan. Jakarta
Rustam, A. 2003. Struktur Komunitas Bivalvia dan Gastropoda Keterkaitannya
dengan Karakteristik Ekosistem Mangrove di Kaliori, Rembang, Jawa
121
Tengah. Tesis. Program pasca a ~ a n a IPB. Bogar. Tidak
dipublikasikan
Raven, J.A and Falkowski, P.J. 1999. Oceanic Sinks for Atmospheric C02. Plant,
Cell and Environment, 22, 741-755.
Sabine, C.L., et al., 2004. The oceanic sink for anthropogenic C02. Science 305,
367-371.
Setyawan, W.B. dkk. 2003. Studi Karakteristik Garis Pantai Propinsi Banten.
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta.
Soedharma, D. 2009. lnteraksi Fisik.
http://web. ipb.ac. id/-dedi s/index. php?option=com content&task=vie
w&id=30&1temid=60 [22 November 2009]
Sabine, C.L., et al., 2004. The oceanic sink for anthropogenic C02. Science 305,
367-371.
Sasanti R. Suharti, 1996, Keanekaragaman Jenis Dan Kelimpahan
Pomacentridae di Terumbu Karang Perairan Selat Sunda, Oseanologi
Dan Limnologi Di Indonesia, ISSN 0125- 9830:No. 29:29- 39
Schlunz, B., and R. R. Schneider. 2000. Transport of terrestrial organic carbon to
the oceans by rivers: Re-estimating flux and burial rates, Int. J. Earth
Sci., 88, 599-606.
Setyawan, W.B. dkk. 2003. Studi Karakteristik Garis Pantai Propinsi Banten.
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta.
Takahashi, T., R. T. Williams, and D. L. Bos. 1982. Carbonate chemistry. pp. 77-
83. In W. S. Broecker, D. W. Spencer, and H. Craig, GEOSECS Pacific
Expedition, Volume 3, Hydrographic Data 1973-1974. National Science
Foundation, Washington, D.C.
Takahashi, T., R. T. Williams, and D. L. Bos. 1982. Carbonate chemistry. pp. 77-
83. In W. S. Broecker, D. W. Spencer, and H. Craig, GEOSECS Pacific
Expedition, Volume 3, Hydrographic Data 1973-1974. National Science
Foundation, Washington, D.C.
Takahashi, T., R. T. Williams, and D. L. Bos. 1982. Carbonate chemistry. pp. 77-
83. In W. S. Broecker, D. W. Spencer, and H. Craig, GEOSECS Pacific
Expedition, Volume 3, Hydrographic Data 1973-1974. National Science
Foundation, Washington, D.C.
122
--