Anda di halaman 1dari 9

Leukemia Mielositik Kronik

Dipublikasi pada Mei 30, 2010 oleh banunendro


Pendahuluan
1. Definisi
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik kronik adalah
suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu penyakit
mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006). Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk
pluripoten dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCR-ABL (Vardiman,
2007). Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit
tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan
diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006).
Leukemia mielositik kronik yang paling umum adalah disertai dengan kromosom
Philadelphia (Ph) (Hoffbrand et al, 2005).
1. Prevalensi
Leukemia mielositik kronik sering terjadi pada usia pertengahan dewasa dan pada anak-
anak. Penyakit ini menyerang 1-2 orang per 100.000 dan membuat 7-20% kasus leukemia
(Dugdale, 2010). Leukemia mielositik kronik terjadi pada kedua jenis kelamin dengan rasio
pria : wanita sebesar 1,4:1 dan paling sering terjadi pada usia antara 40-60 tahun.
(Hoffbrand et al, 2005). Kejadian leukemia mielositik kronik meningkat pada orang yang
terpapar bom atom Hiroshima dan Nagasaki (Besa, 2010).
Isi
1. Etiologi
Menurut Markman (2009), Leukemia mielositik kronik adalah salah satu dari kanker yang
diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih dari 90% kasus.
Transformasi leukemia mielositik kronik disebabkan oleh sebuah translokasi respirokal dari
gen BCR pada kromosom 22 dan gen ABL pada kromosom 9, menghasilkan gabungan gen
BCR-ABL yang dijuluki kromosom Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari gabungan gen
tersebut, meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis dari sel ganas.
1. Patogenesis
Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom
22, yaitu kromosom Philadelphia (Ph) (Fadjari, 2006). Kromosom ini dihasilkan dari
translokasi t(9;22)(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari
protoonkogen Abelson ABL dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian
kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Pada translokasi Ph, ekson 5 BCR berfusi dengan
ekson 3 ABL menghasilkan gen khimerik untuk mengkode suatu protein fusi berukuran
210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin kinase melebihi produk ABL 145 kDa yang
normal (Hoffbrand et al, 2005). Dengan kemajuan teknologi dibidang biologi molecular,
didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada dilengan panjang kromosom 9 (9q34),
yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster region). Yang terletak di lengan
panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-
ABL(Fadjari, 2006).
Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada sistem
hematopoiesis. Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis sehingga
menyebabkan gen ini dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal. Dampaknya
adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang mendesak sistem hematopoiesis
(Fadjari,2006).
Menurut Fadjari (2006), Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat
besarnya peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, dan prognostik, serta
implikasi teraupetiknya, sehingga perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat
molekular.
Sitogenetik
Para ahli berpendapat terbentuknya kromosom Ph diduga terjadi akibat pengaruh radiasi
seperti kejadian Hiroshima dan Nagasaki dan akibat mutasi spontan. Saat ini diketahui
terdapat beberapa varian dari kromosom Ph yang terbentuk karena translokasi kromosom
22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya (Fadjari,2006).
Menurut Fadjari (2006), bahwa Gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat
pada semua pasien leukemia mielositik kronik, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya
terdapat pada 70% pasien leukemia mielositik kronik. Dalam perjalanan penyakitnya,
pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini
terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan adanya
trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i (17)q. Dengan kata
lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam patofisiologi
leukemia mielositik kronik atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen
p53, p16 dan gen Rb.
Biologi molekular
Menurut Fadjari (2006), Ada 3 variasi letak patahan pada gen BCR-ABL yaitu :
1. Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau daerah
e13-e14 pada ekson 2 yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa protein dengan berat
molekul 210 kD. Gambaran klinis : trombositopeni.
2. Minor bcr (m-bcr), patahan yang ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang gen BCR-
ABL nya akan mensintesa p190. Gambaran klinis : monositosis yang prominent.
3. Micro bcr (mikro-bcr), patahan pada 3 gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan
terbentuk p230. Gambaran klinis : netrofilia dan atau trombositosis.
Menurut Fadjari (2006), p210(BCR-ABL) mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara
:
gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin
kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan
mengaktivasi beberapa protein dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1
(SH1), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat adheren sel-
sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Fusi gen BCR-
ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah
transduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga
represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses
proliferasi sel dan juga proses apoptosis.
1. Klasifikasi
Menurut Hoffbrand et al, (2005), klasifikasi leukemia mieloid kronik adalah :
1. Leukemia mielositik kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik kronik, CGL).
2. Leukemia mielositik kronik, Ph negatif (CML, Ph-).
Pada penyakit ini tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR-ABL dengan
prognosis yang tampaknya lebih buruk daripada leukemia mielositik kronik Ph positif
(Hoffbrand et al, 2005).
1. Leukemia mielositik kronik juvenilis.
Menurut Hoffbrand et al (2005), Penyakit ini mengenai anak kecil dan gambaran klinis yang
khas antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatospleenomegali, dan infeksi rekuren. Pada
pemeriksaan apusan darah terlihat adanya monositosis. Kadar HbF tinggi, kadar fosfatase
alkali netrofil normal, dan kromosom Philadelphia negative. Prognosis buruk dan SCT
adalah pengobatan yang terpilih.
1. Leukemia netrofilik kronik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative
murni, disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik
(Hoffbrand et al, 2005).
1. Leukemia eosinofilik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative
murni, disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik
(Hoffbrand et al, 2005).
1. Leukemia mielomonisitik kronik (CMML).
2. Manifestasi Klinis
Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :
1. Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat
badan, kelelahan, anoreksia, keringat malam.
2. Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien,
perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.
3. Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
4. Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi
trombosit yang abnormal.
5. Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin
yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
6. Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapismus.
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan
sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan
darah perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis
akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan
penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar leukosit
meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat
seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.
1. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi
yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama
beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
Panas tanpa penyebab yang jelas.
Spleenomegali progresif.
Trombositosis.
Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau
mononuclear yang besar.
Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
1. Fase Krisis Blas
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel
blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan
limfoblas. Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena
sindrom hiperleukositosis.
1. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk.
Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya
meningkat 500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun.
(Fadjari, 2006).
Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi
eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri
granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga
presentasi eosinofil dan basofil. (Fadjari, 2006).
Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio
mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin,
tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).
Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom
yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17).
(Fadjari, 2006).
Laboratorium lain.
Sering ditemukan hiperurikemia.
1. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:
Polisitemia Rubra Vera (PRV).
Trombositemia.
Myelofibrosis.
Reaksi leukemoid tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan
tumor padat.
1. Terapi
Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik
remisi hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik,
maupun remisi biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi
interferondan atau cangkok sumsum tulang (Fadjari, 2006).
Hidroksiurea
Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim ribonukleotida
reduktanse sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat dengan
akibat terhentinya sintesis DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan
bioavailabilitas yang mendekati 100% (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis.
Apabila leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari.
Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit <100.000/mmk
(Fadjari,2006).
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi,
dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis
rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih
tinggi terlihat depresi eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang
sehingga pemeriksaan darah harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak 2-
6mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai
hitung leukosit mencapai <10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai
kembali setelah hitung leukosit mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia, hopotensi,
mual, muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan katarak,
fibrosis, amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang
jarang terjadi tetapi bersifat fatal (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Imatinib
Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan mencegah
fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik
yaitu suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom
Philadelphia dengan translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib
diberikan per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada
protein plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses
(Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit terhadap
penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan
dasatinib 140mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai
600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau
pernah membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit
meningkat dengan tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi
neutropeni (<500/mmk) atau trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT
dan bilirubin. Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk
mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta
IU/mk/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi.
Sedangkan berdasar hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3
juta IU/mk/hari (Fadjari, 2006).
Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi
sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum
tulang tidak dilakukan pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).
Penutup
Leukemia mielositik kronik biasanya memperlihatkan respon yang sangat baik terhadap
kemoterapi pada fase kronik. Ketahanan hidup rata-rata adalah 5-6 tahun dan kematian
biasanya disebabkan transformasi akut terminal atau pendarahan atau infeksi yang
menyelingi (Hematologi). 20% pasien dapat hdup hingga 10 tahun atau lebih.
Menurut Fadjari (2006), Faktor-faktor yang memperburuk keadaan pasien antara lain :
1. Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan
berat badan, demam, keringat malam.
2. Laboratorium : anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia,
kromosom Ph negative, BCR-ABL negative.
3. Terapi : memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi
dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.
Leukemia mielositik kronik adalah penyakit yang jarang terjadi, tetapi memiliki angka
kematian yang tinggi. Dunia kedokteran kini sudah sangat maju dan telah ditemukan
berbagai metode untuk menekan leukemia mielositik kronik. Diharapkan dengan diagnosis
dan penanganan yang baik tersebut, kualitas dan harapan hidup penderita leukemia
mielositik kronik dapat ditingkatkan. Harapan untuk bertahan hidup itu menjadi semangat
para penderita kanker dalam menjalani hidupnya.
Daftar Pustaka
Besa, E., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, Emedicine.
Dugdale, D., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, MedLine.
Fadjari, H., 2006. Ilmu Penyakit Dalam (4
th
ed), Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi, (4
th
ed),
EGC, Jakarta.
Kantarjian H., Pasquini R.,Hamerschlak N.,Rousselot P.,Holowiecki J., Jootar S., et al.
Dasatinib or high-dose imatinib for chronic-phase chronic myeloid leukemia after failure of
first-line imatinib: a randomized phase 2 trial, Journal of The American Society of
Hematology 2007;12: 5143-5150
Markman, M., 2009. Chronic Myeloid Leukemia and BCR-ABL, Emedicine.
Nafrialdi, Gan, S., R., 2007. Farmakologi dan Terapi (5
th
ed),Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Price, S., A., Wilson, L., M., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (6
th
ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Vardiman, J., W., 2009. Chronic Myelogenous Leukemia, BCR-ABL1+, American Journal
Clinical Pathology, 132, 248-249.

Anda mungkin juga menyukai