Anda di halaman 1dari 5

Edukasi

Yaya Dhammayatri
Jika kita melakukan pekerjaan/profesi kita dari hati dan ikhlas, maka kita skan mempunyai
kekuatan dlm selengkapnya
4+4+4+4+4+4 = 46 atau 64 Siapa yang
Disalahkan?
OPINI | 24 September 2014 | 01:38 Dibaca: 54 Komentar: 3 1
Saya sebagai guru bimbel yang khusus mengajar Matematika untuk SD merasa tergelitik
dengan maraknya berita anak kelas 2 SD yang mendapat nilai 20 karena mengerjakan soal
tidak sesuai dengan yang diajarkan guru sekolahnya.
Di sini saya akan memberi padangan dari 3 aspek, yaitu guru, siswa dan orang tua.
1. GURU
Banyak guru terbelenggu dengan apa yang tertulis di buku, sehingga jika siswa mengisi soal-
soal latihan/ulangan tidak sesuai dengan yg di buku disalahkan. Kasus 46 atau 64 adalah
salah satu contoh yang mencuat ke permukaan. Sebenarnya banyak kasus yang lebih dari itu.
Seperti salah seorang anak dari teman saya mengerjakan soal Bahasa Indonesia: Jika mau
pergi ke sekolah kita harus .. kepada orang tua. Anak teman saya menjawab
berpamitan, tapi si guru mentah-mentah menyalahkan. Ia maunya diisi dengan minta
izin, karena jawaban si anak tidak sesuai dengan apa yang sudah diberikan gurunya. Lalu
siapa yang bisa disalahkan di sini? Yang pasti guru tidak mau disalahkan. Yang pasti murid
selalu salah.
Salah satu murid saya bilang, guru punya 2 pasal.:
Pasal 1: Guru tidak pernah salah.
Pasal 2: Jika guru salah kembali ke pasal 1.
Dari pengalaman anak-anak didik saya, saya melihat banyak guru sekolah yang tidak kreatif
dalam mengajar. Tidak melihat cara berpikir anak yang jelas tidak sama dengan cara berpikir
guru. Selayaknya dalam mengajar, guru mengikuti pola pikir anak. Tidak mentah-mentah
menyalahkannya. Jika memang salah, beri alasan. Atau jika ingin membenarkan tapi tidak
100% benar, beri catatan.
Dari begitu banyak guru yang mengajar di sekolah anak saya, saya hanya setuju dengan 1
orang guru. Beliau dapat menguasai kelas dengan baik sehingga para siswa dapat belajar
dengan baik. Waktu beliau menjadi wali kelas anak saya, Kelasnya mendapat nilai rata-rata
tertinggi dibanding kelas lain. Beliau mengajar mengikuti pola pikir anak dan selalu rajin
belajar dan terus belajar. Saya sangat salut dengan beliau. Beliau tidak pernah mentah-mentah
menyalahi pekerjaan siswa. Jika jawaban meragukan, beliau tak segan bertanya dengan
siswanya alasan dari jawabannya. Beliau juga tak segan-segan/malu bertanya pada siswanya
jika mempunyai cara lain dalam mengerjakan soal-soal Matematika. Tidak malu jika
mengakui dirinya salah, dan tidak pernah marah jika siswanya memmrotes jika memang
beliau salah, beliau akan mengakuinya. Beliau selalu berkata pada para siswanya, beliau juga
masih belajar.
Guru bukan semata-mata mengajar, tapi juga mendidik. Walau para siswa masih anak-anak,
mereka butuh penghargaan. Jika seorang guru menghargai siswanya, maka siswa pun akan
menghargai gurunya.
Kasus lain
Jika anda seorang guru, apakah anda senang jika hampir semua siswa anda dikelas mendapai
nilai 1 - 50 bahkan 0? Jika saya yang menjadi guru, saya akan malu, karena berarti saya telah
gagal menyampaikan materi. Apakah anda percaya, ada guru yang seperti ini. Setiap
membuat soal, banyak yang belum diajarkannya di kelas. Guru yang baik, tentu saja akan
memberi soal-soal yang dipahami siswanya. Berikanlah soal yang paling tidak di atas 50%
siswa akan mendapat hasil di atas 70.
Yang lebih parah lagi ada anak dari teman saya yang tahun ini lulus SMP, nilai
Matematikanya di raport 90, tapi pemahaman matematikanya hanya 30%. Si ibu baru tahu
kalau anaknya tidak mengerti Matematika setelah lulus SMP, ketika ingin masuk SMU.
Karuan saja ia mencak-mencak. Mengapa nilai Matematika anaknya di raport selalu bagus?
Setelah tanya sana tanya sini, ternyata gurunya tidak punya kemampuan dalam mengajar, jadi
memberi nilai asal-asalan saja.
2. SISWA
Siswa-siswa sekarang rata-rata tidak fokus. Saya mengalami sendiri bagaimana sulitnya
mengajar. Sebagai guru bimbel, saya kadang kesal. Saya merasa sayalah guru mereka yang
sesungguhnya, karena sepulang sekolah mereka sama sekali tidak tahu apa yang sudah
diajarkan gurunya di sekolah. Saya harus menerangkan berulang-ulang hanya untuk 1 materi.
Jika saya ditanya oleh teman-teman saya, Lebih enak ngajar siapa, anak sendiri atau orang
lain? Dengan pasti saya menjawab, Anak sendiri! karena memang anak saya lebih mudah
dan fokus kalau sedang belajar.
Anak-anak sekarang tidak mandiri. Dari 10 soal yang saya berikan kesepuluhnya selalu
bertanya dan minta dijelaskan, padahal tipe soalnya sama persis, hanya berbeda angka. Jika
guru mengeluarkan soal berbeda dari yang pernah saya ajarkan saat ulangan dan nilai
ulangannya kecil, selalu bilang belum diajarkan. Saya yang disalahkan. Padahal sudah saya
ajarkan, tapi yang pasti angkanya tidak mungkin sama dengan apa yang saya ajarkan, dan lagi
saya hanya guru bimbel yang seharusnya mengajar untuk materi yang belum mereka pahami.
Tapi kenyataannya semua materi yang diajarkan di sekolah tidak mereka mengerti sama
sekali.
Anak-anak sekarang malas. Setiap kali mengajar, mereka selalu mengulur-ngulur dan buang-
buang waktu. 10 soal dikerjakan dengan waktu hampir 1 1/2 jam. Pulang sekolah hanya
bermain dan bermain tanpa mau belajar sama sekali jika tidak dipaksa.
3. ORANG TUA
Orang tua sekarang kebanyakan sibuk bekerja atau sibuk ngerumpi, hingga tidak mau turun
tangan langsung mengajari anaknya sendiri. Untuk melepas tanggung jawab, mereka
menyerahkan pada guru bimbel, sehingga kalau nilai anak mereka jelek kebanyakan akan
menyalahkan guru bimbelnya. Padahal guru yang terbaik bagi seorang anak adalah ibunya
sendiri. Jika seorang ibu mau belajar, lalu mengajari anak-anak mereka, maka hasilnya akan
lebih luar biasa dibandingkan jika mereka mengikuti bimbel sana-sini.
Saya mempunyai 3 orang anak, mereka semua sama sekali tidak pernah mengikuti
bimbel/kursus apapun. Saya hanya mengarahkan mereka dan mereka semua belajar secara
mandiri. Hanya pada saat SD saya mengajari mereka, itupun hanya untuk materi yang mereka
tidak mengerti. Semua anak saya selalu pulang dari sekolah dengan pemahaman 70-80%
materi yang diajarkan gurunya. Mengapa mereka bisa seperti itu? Karena mereka tahu, tidak
ada yang akan mengajari mereka selain guru sekolah dan ibunya di rumah.
Jangan takut anak-anak kita tidak naik kelas. Karena seorang guru tidak hanya menilai dari
otak saja, tapi sikap dan kerajinan mereka.
Tapi yang saya tahu, orang tua (walau tidak semua) sekarang bukannya takut anaknya tidak
naik kelas, tapi selalu ingin agar anaknya dapat ranking, akhirnya dimasukkan ke berbagai
bimbel hingga tidak ada waktu lagi untuk bermain dan mengembangkan minat dan bakat
mereka yang sesungguhnya.
Lalu apa hubungannya dengan soal di atas?
Ada 2 aspek yang ingin saya sampaikan di sini.
1. GURU
Mengajar itu tidak semudah membalik telapak tangan. Saya berkali-kali mengajar
Matematika dengan metode yang ada di buku, kebanyakan anak-anak malah menjadi terpaku
dengan cara itu dan jika ada cara lain yang muncul di buku, mereka langsung bingung.
Pengajaran Matematika yang setengah-setengah, sehingga anak terpaku hanya itu-itu saja
yang akan membuat anak malas berpikir dan tidak kreatif. Saya lebih setuju dengan cara
mengajar perkalian pada contoh video pada artikel di bawah ini:
http://sains.kompas.com/read/2014/09/23/22065131/Penting.untuk.Orang.Tua.dan.Guru.Vide
o.Memahami.Masalah.4.x.6.atau.6.x.4.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaig
n=Kknwp
Guru seharusnya lebih kreatif. Pada dasarnya bahasan Materi untuk judul di atas adalah
belajar pengenalan perkalian dengan metode penjumlahan berulang. Jadi harus menjelaskan
keduannya secara bersamaan. 23 dan 32, 34 dan 43 54 dan 45 agar siswa mengerti
bedanya.
2. SISWA dan ORANG TUA
Sudah seharusnya sebagai orang tua memberikan semangat pada anak-anak mereka agar
sekolah dengan baik dan memperhatikan guru mereka ketika sedang mengajar. Seperti uraian
saya di atas, banyak sekali siswa di kelas tidak memperhatikan guru mereka. Anak saya yang
kelas 5 SD setiap pulang selalu tahu apa yang dijelaskan gurunya, pesan gurunya dan dapat
tugas apa dari gurunya. Ia selalu mengerjakan sendiri tugas/PRnya dan jarang sekali bertanya
pada saya. Tapi yang saya heran, banyak sekali temannya yang sama sekali tidak tahu apa-
apa. Dalam hal ini siapa yang disalahkan? Guru?
Kita sebagai orang tua tidak bisa semata-mata menyalahkan guru. Kitapun sebagai orang tua
ikut berperan dalam perndidikan anak-anak kita. Sebagai orang tua jangan biarkan saja
anaknya seperti itu, atau malah kita sebagai orang tua yang sibuk mencari tahu apa yang tadi
dipelajari dan tugas apa yang diberikan guru kepada anak kita di sekolah. Karena tidak mau
pusing, akhirnya semua tugas anaknya dikerjakan orang tua. Pembiaran inilah yang
menyebabkan anak tidak memmperhatikan guru karena mereka menganggap ada yang akan
membantunya.
Jika kita selalu membantu, anak-anak tidak akan tahu tanggung jawabnya dan tidak tahu
seperti apa hukuman yang diberikan gurunya. Biarkan si anak sekali-sekali mendapat
hukuman dari gurunya. Pelajaran yang sangat mahal akan membuat anak jera dan menjadi
lebih bertanggung jawab juga mandiri. Kadang sebagai orang tua, kita kasihan pada anak
kita, sehingga rasa itu mengorbankan mental anak kita sendiri.
Saya walaupun hanya guru bimbel, selalu berpesan pada siswa saya jika saya berikan PR.
Jangan tanya pada siapapun, kerjakan sendiri, berpikir sendiri! Nilai tidak penting, yang
penting adalah kemauan, usaha dan pemahaman terhadap materi. Tapi orang tua mereka tetap
saja secara diam-diam membantu, bahkan mengerjakannya. Namanya juga anak-anak, pasti
berkata jujur pada saya. Kalau kerjaannya salah, mereka bilang, Itu mama yang ngerjain!
Hehehe Nah lho! Kalau sudah begini bagaimana?
KESIMPULAN.
Kita sudah tahu bagaimana sistem pendidikan kita dan bagaimana guru di sekolah. Tidak
semua guru bagus dalam mengajar, tidak semua ilmu yang diajarkan di sekolah dapat
menjadi bekal untuk masa depan anak kita. Kitalah sebagai orang tua yang harus lebih peka.
Ajarkan anak kita sendiri, ajarkan anak-anak kita menjadi mandiri dan berkembang sesuai
dengan kepribadiannya. Kita arahkan terus anak-anak kita, tapi jangan terlalu mendikte
mereka. Jangan takut anak kita melakukan kesalahan dan mendapat nilai jelek. Biarkan saja,
kalau mereka salah, mereka akan tahu yang benar, dan itu akan menjadi pelajaran yang selalu
diingatnya.
Sebagai guru, kita seharusnya introspeksi, apakah kita sudah mengajar dengan benar?
Apakah kita sudah menjadi guru yang baik? Cara menilai keberhasilan kita sebagai guru
adalah, apakah kehadiran kita selalu dinantikan oleh para siswa kita? Jika ya, kita sudah
berhasil menjadi guru, tapi jika tidak, kita belum menjadi guru yang baik dan masih harus
terus belajar. Sebagai guru bukan hanya mengajar, tapi juga belajar.
Marilah kita bersama-sama saling introspeksi dan memperbaiki diri. Kesalahan yang sudah
pernah kita lakukan jangan sampai terulang lagi. Semoga kasus ini akan membuat sistem
pendidikan negara kita dan orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat berkembang ke arah
yang lebih baik.
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2014/09/24/444444-4x6-atau-6x4-siapa-yang-
disalahkan-676066.html

Anda mungkin juga menyukai