Anda di halaman 1dari 58

STUDI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN


LINGKUNGAN RIWAYAT ALAMIAH






Abstrak

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae
(M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis
kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik,
namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi
cacat, khususnya pada tangan dan kaki.
Kata kunci: lepra, morbushansen, kusta

Abstract
Leprosy is a chronic disease caused by infection by the Mycobacterium leprae (M. leprae)
were the first to attack the peripheral nerves, can then attack the skin, oral mucosa, upper
airway, reticuloendothelial system, eyes, muscles, bones and testes except the central nervous
system. In most people who are infected may be asymptomatic, but a small portion showing
symptoms and have a tendency to become disabled, especially in the hands and feet.
Keywords: leprosy, morbushansen


Alamat Korespondensi:
Mohd Nur Haziq Bin Noor Hamizam Shah, 102011431
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana,
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510.
mohdnurhaziq@icloud.com
2
PENDAHULUAN
Penyakit lepra masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena dapat
menyebabkan kecacatan, morbiditas dan stigma sosial penyakit kusta. Dalam
pelaksanaan Program Pembanterasan Penyakit Kusta di Indonesia, terdapat suatu
masalah yang belum terpecahkan hingga kini yaitu masalah Lepra.
Penyakit lepra ditularkan melalui luka pada kulit yang terkontaminasi dan
mukosa nasal. Karyawan rumah sakit menjadi kelompok yang mempunyai risiko
untuk tertular sehingga perlu dilakukan pemeriksaan untuk deteksi dini untuk
mengetahui apakah mereka sudah tertular dan mengambil langkah untuk menentukan
tindakan selanjutnya.
Dilakukan pemeriksaan serologi uji MLPA pada karyawan Rumah Sakit
Umum karena sebagian besar karyawan rumah sakit pernah kontak dengan penderita
lepra. Selain itu mengingat riwayat sebelumnya adalah Rumah Sakit Kusta sehingga
pada umumnya karyawan telah kontak lama dan erat dengan penderita lepra.
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT-PENYAKIT MENULAR
1,2

Suatu penyakit timbul akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari segi agen,
induk semang atau lingkungan. Pendapat ini tergambar di dalam istilah yang dikenal
luas dewasa ini, yaitu penyebab majemuk (multiple causation of disease) sebagai
lawan dari penyebab tunggal (single causation). Di dalam usaha para ahli untuk
mengumpulkan pengetahuan mengenai timbulnya penyakit, mereka telah membuat
model-model tersebut dilakukanlah eksperimen terkendali untuk menguji sampai di
mana kebenaran dari model-model tersebut.
Tiga model yang dikenal dewasa ini ialah (1) segitiga epidemiologi (the epidemiology
triangle), (2) jaring-jaring sebab akibat (the web of causation), (3) roda (the wheel).




3
a. Segitiga Epidemiologi








b. Jaring-jaring Sebab-Akibat
Menurut model ini, perubahan dari salah satu faktor akan mengubah keseimbangan
antara mereka, yang berakibatkan bertambahnya atau berkurangnya penyakit yang
bersangkutan. Suatu penyakit tidak bergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri
melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab dan akibat. Dengan
demikian maka timbulnya penyakit yang dapat dicegah atau dihentikan dengan
memotong rantai pada berbagai titik.
c. Roda







4

Seperti halnya dengan model jaring-jaring sebab akibat, model roda memerlukan
identifikasi dari berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan
tidak begitu menekankan pentingnya agen. Di sini dipentingkan hubungan antara
manusia dengan lingkungannya hidupnya. Besarnya peranan dari masing-masing
lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan. Sebagai contoh, peranan
lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya pada stres mental, peranan lingkungan
fisik lebih besar dari yang lainnya pada sunburn peranan lingkungan biologis
melalui vektor (vektor borne diseases) dan peranan inti genetik lebih besar dari yang
lainnya pada penyakit keturunan.
Dengan model-model tersebut di atas hendaknya ditunjukkan bahwa
pengetahuan yang lengkap mengenai mekanisme-mekanisme terjadinya penyakit
tidaklah diperlukan bagi usaha-usaha pembanterasan penyakit yang efektif. Oleh
karena banyaknya interaksi-interaksi ekologis maka seringkali kita dapat mengubah
penyebaran penyakit dengan mengubah aspek-aspek tertentu dari interaksu manusia
dengan lingkungan hidupnya, tanpa intervensi langsung pada penyebab penyakit.
Penyakit Menular
Penyakit menular adalah adalah penyakit yang dapat berpindah dari satu orang ke satu
orang yang lain, baik secara langsung atau melalui perantara. Penyakit menular ini
ditandai dengan adanya agen atau penyebab penyakit yang hidup an dapat berpindah.
Suatu penyakit dapat menular dari satu orang ke orang yang lain ditentukan oleh 3
faktor yaitu
a. Agent (penyebab penyakit)
b. Host (induk semang)
c. Route of transmission (jalannya penularan)
Apabila diumpamakan berkembangnya suatu tanaman, dapat diumpamakan sebagai
biji ) agen, tanah (host) dan iklim (route of transmission).
a. Agen-agen infeksi (penyebab infeksi)
Makhluk hidup sebagai pemegang peranan penting di dalam epidemiologi
yang merupakan penyebab penyakit dapat dikelompokkan menjadi:
5

Golongan virus : influenza, trachoma, cacar dan sebagainya.
Golongan riketsia: tifus
Golongan bakteri: disentri
Golongan protozoa: malaria, filaria, schistosoma dan sebagainya.
Golongan jamur: panu, kurap dan sebagainya.
Golongan cacing: ascaris, cacing kremi, cacing pita, cacing tambang
Agar agen atau penyebab penyakit menular ini tetap hidup, maka perlu
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
Berkembang biak
Bergerak atau berpindah dari induk semang
Mencapai induk semang baru
Menginfeksi induk semang baru tersebut
Kemampuan agen penyakit ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia
adalah suatu faktor penting di dalam epidemiologi infeksi menular. Setiap
bibit penyakit (penyebab penyakit) mempunyai habitat sendiri-sendiri,
sehingga ia dapat tetap hidup. Dari sini timbul istilah reservoir, yang diartikan
sebagai berikut (1) Habitat, dimana bibit penyakit tersebut hidup dan
berkembang. (2) Survival, dimana bibit penyakit tersebut sangat bergantung
pada habitat, sehingga ia dapat tetap hidup.
Reservoir tersebut dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati.
Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoir di dalam tubuh manusia antara
lain, campak (measles), cacar air (small pox), tifus (typhoid), meningitis,
gonorrhea dan sifilis. Manusia sebagai reservoir dapat menjadi kasus aktif dan
carrier.
Carrier
Carrier adalah orang yang mempunyai bibit penyakit di dalam tubuhnya, tanpa
menunjukkan adanya gejala penyakit, tetapi orang tersebut dapat menularkan
penyakitnya kepada orang lain. Convalescant Carriers adalah orang yang
masih mengandung bibit penyakit setelah sembuh dari suatu penyakit.
6
Carriers adalah sangat penting dalam epidemiologi penyakit-penyakit
polio, tifus, meningococal meningitis dan amoebiasis. Hal ini disebabkan
karena:
Jumlah carriers lebih banyak dari orang yang sakitnya sendiri.
Carriers maupun orang yang ditulari sama sekali tidak tahu bahwa
mereka menderita/kena penyakit.
Carriers tidak menurunkan kesehatannya karena masih dapat
melakukan pekerjaan sehari-sehari.
Carriers mungkin sebagai sumber infeksi untuk jangka waktu yang
relatif lama.
Reservoir pada binatang
Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoir pada binatang umumnya adalah
penyakit zoonosis. Zoonosis merupakan penyakit pada binatang vertebrae
yang dapat menular pada manusia. Penularan penyakit-penyakit pada binatang
ini melalui berbagai cara. yakni:
o Orang makan daging binatang yang menderita penyakit misalnya
cacing pita.
o Melalui gigitan binatang sebagai vektornya misalnya pes melalui pinjal
tikus, malaria, filariasis, demam berdarah melalui gigitan nyamuk.
o Binatang penderita penyakit langsung menggigit orang misalnya
rabies.
Benda-benda mati sebagai reservoir
Penyakit- penyakit yang mempunyai reservoir pada benda-benda mati pada
dasarnya adalah saprofit hidup dalam tanah. Pada umumnya bibit penyakit ini
berkembang biak pada lingkungan yang cocok untuknya. Oleh karena itu, bila
terjadi perubahan suhu atau kelembapan dari kondisi di mana ia dapat hidup,
maka ia berkembang biak dan siap infektif. Contoh clostridium tetani
penyebab tetanus, C.botulinum penyebab keracunan makanan dan sebagainya.
b. Sumber infeksi dan penyebaran penyakit
7
Yang dimaksud dengan sumber infeksi adalah semua benda, termasuk orang
atau binatang yang dapat melewatkan/ menyebabkan penyakit pada orang.
Sumber penyakit ini mencakup juga reservoir seperti telah dijelaskan
sebelumnya.
Macam-macam penularan (mode of transmission)
Mode penularan adalah suatu mekanisme di mana agen/penyebab penyakit
tersebut ditularkan dari orang ke orang lain, atau dari reservoir kepada induk
semang baru. Penularan ini melalui berbagai cara antara lain:

(a) Kontak (contact)
Kontak di sini dapat terjadi kontak langsung maupun kontak tidak
langsung melalui benda-benda yang terkontaminasi. Penyakit-penyakit
yang ditularkan melalui kontak langsung ini pada umumnya terjadi pada
masyarakat yang hidup berjubel. Oleh karena itu, lebih cenderung terjadi
di kota daripada desa yang penduduknya masih jarang.

(b) Inhalasi (inhaltion)
Yaitu penularan melalui udara/ pernapasan. Oleh karena itu, ventilasi
rumah yang kurang, berjejalan (over crowding) dan tempat-tempat umum
adalah faktor yang sangat penting di dalam epidemiologi penyakit ini.
Penyakit yang ditularkan melalui udara ini sering disebut air bourne
infection.

(c) Infeksi
Penularan melalui tangan, makanan atau minuman

(d) Penetrasi pada kulit
Hal ini dapat langsung oleh organisme itu sendiri. Penetrasi pada kulit
misalnya cacing tambang, melalui gigitan vektor misalnya malaria atau
luka, misalnya tetanus.

(e) Infeksi melalui plasenta
Yakni infeksi yang diperoleh melalui plasenta dari ibu penderita penyakit
pada waktu mengandung, misalnya sifilis dan toxoplasmosis.
8

c. Faktor host
Terjadinya suatu penyakit (infeksi) pada seseorang ditentukan pula oleh
faktor-faktor yang ada pada induk semang itu sendiri. Dengan perkataan lain,
penyakit-penyakit dapat terjadi pada seseorang tergantung/ ditentukan oleh
kekebalan/ resistensi orang yang bersangkutab.

d. Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
Untuk pencegahan dan penanggulangan ini ada 3 pendekatan atau cara yang
dapat dilakukan
Eliminasi reservoir (sumber penyakit)
Eliminasi reservoir manusia sebagai sumber penyebaran penyakit
dapat dilakukan dengan:
o Mengisolasi penderita (pasien), yaitu menempatkan pasien di
tempat yang khusus untuk mengurangi kontak dengan orang
lain.
o Karantina adalah membatasi ruang gerak penderita dan
menempatkannya bersama-sama penderita lain yang sejenis
pada tempat yang khusus didesain untuk itu. Biasanya dalam
waktu yang lama, misalnya karantina untuk penderita kusta.

Memutus mata rantai penularan
Menigkatkan sanitasi lingkungan dan kebersihan per orang adalah
usaha yang penting untuk memutuskan hubungan atau mata rantai
penularan penyakit menular.

Melindungi orang-orang (kelompok) yang rentan.
Bayi dan anak balita adalah merupakan kelompok usia yang rentan
terhadap penyakit menular. Kelompok usia yang rentan ini perlu
perlindungan yang khusus (specific protection) dengan imunisasi, baik
imunisasi aktif maupun pasif. Obat-obat profilaksis tertentu juga dapat
mencegah penyakit malaria, meningitis dan disentri basiler. Pada anak
usia muda, gizi kurang akan menyebabkan kerentanan pada anak
9
tersebut. Oleh sebab itu, meningkatkan gizi anak adalah juga
merupakan usaha pencegahan penyakit infeksi pada anak.
Distribusi Menurut Orang
Perbedaan distribusi kejadian penyakit lepra dapat dilihat karena faktor geografi.
Namun, jika diamati dalam satu Negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di
Myanmar kejadian lepra lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan
etnik India. Kejadian lepra di Malaysia juga lebih banyak pada etnik China
dibandingkan etnik Melayu atau India. Situasi yang sama di Indonesia, etnik Madura
dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu.
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Insiden rate penyakit ini meningkat sesuai
umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya
juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak antara umur 30-50 tahun dan
kemudian secara perlahan-lahan menurun. Insiden maupun prevalensi pada laki-laki
lebih banyak dari pada wanita kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada
laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor
infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
Distribusi Menurut Tempat dan Waktu
Penyakit lepra tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. 6
negara yang masih belum mencapai eliminasi di tahun 2005 di antara 122 negara yang
endemis pada tahun 1985 dengan prevalensi >1/10.000 penduduk yaitu ; India, Brazil,
Indonesia, Bangladesh, Congo, dan Nepal Antara tahun 1985 hingga 2005 lebih dari
15 juta penderita telah sembuh sementara 222.367 kasus masih dalam pengobatan
pada awal tahun 2006. Indonesia menempati posisi ke-3 dari 10 negara dengan jumlah
kasus baru terbesar di dunia setelah India dan Brazil. Berdasarkan data kusta awal
2005 Indonesia menempati posisi ke-2 dengan angka prevalensi 0,9 per 10.000
penduduk. Di Indonesia, kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan prevalensi
rate 1,76 per 10.000 penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah Bengkulu dengan
prevalensi rate 0,17 per 10.000 jumlah penduduk. Sedangkan prevalensi Lepra di
Sumatera adalah sebesar 0,23 per 10.000 jumlah penduduk. Penemuan kasus baru
selama bulan Januari-Desember 2005 paling banyak ditemukan di Jawa Timur.
10
Determinan
Antara faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta dipengaruhi oleh host, agent,
dan environment antara lain ;
a) Faktor Daya Tahan Tubuh (host)
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit lepra (95%). Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3
orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum
memperhitungkan pengaruh pengobatan. Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini
dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman lepra dapat hidup pada
Armadillo, Simpanse dan pada telapak kaki tikus yang mempunyai kelenjar Thymus
(Athymic nude mouse).
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh host sampai saat ini belum dapat
dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan bagian
atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Suatu kerokan hidung dari penderita
tipe Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104-107.
Dan telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe Lepromatosa
merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan. Sebagian besar
manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2M &
PL) (1996) menunjukkan gambaran sebagai berikut; dari 100 orang yang terpapar: 95
orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa diobati, 2 orang menjadi
sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga kelompok
berikut ini, yaitu :
Host yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi yang merupakan kelompok
terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.
Host yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila
menderita penyakit kusta bisanya tipe PB.
Host yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan
kelompok terkecil dan bila menderita kusta biasanya tipe MB.
11
b. Faktor Kuman (agent)
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang pertama kali ditemukan
oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup
intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel
dari sistem retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di
luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman lepra dapat hidup di luar tubuh
manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan hanya kuman lepra
yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan bertahan sampai 9 hari.
Pertumbuhan optimal dari kuman lepra adalah pada suhu 270-300
o
C.
c. Faktor Sumber Penularan (environment)
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Baciler (MB). Penderita MB ini
pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur. Penyakit ini dapat ditularkan
melalui pernafasan (droplet) dan kulit.13 Kemungkinan ada sumber penularan di luar
manusia, yaitu dari lingkungan mengingat banyaknya kasus baru yang ditemukan
tanpa adanya riwayat kontak langsung dengan penderita lepra. Secara tidak langsung,
sumber penularan kusta dapat juga melalui lingkungan. M.leprae mampu hidup di luar
tubuh manusia dan dapat ditemukan pada air untuk mandi dan mencuci.
1. Lingkungan fisik
Antara faktor yang dapat mempengaruhi kejadian lepra adalah lingkungan tempat
tinggal pasien terlalu padat serta jarak antar rumah terlalu dekat, tidak memiliki
ventilasi, pencahayaan, dan sanitasi yang baik.
2. Lingkungan non-fisik
Tingkat pendidikan juga mempengaruhi karena pentingnya kesadaran untuk menjaga
kebersihan dan sosioekonomi serta peran serta perilaku masyarakat; apakah mereka
berperan aktif dan saling mendukung dalam pemberantasan penyakit kusta.




12
SYARAT RUMAH SEHAT
2
Menurut UU RI No. 4 Tahun 1992 rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan,
halaman dan area sekitarnya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sarana
pembinaan keluarga. Sedangkan menurut Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan
Lingkungan, 2001, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat
berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta
keadaan sosialnya baik demi kesehatan keluarga dan individu. Antara syarat-syarat
rumah sehat adalah;
1. Jendela berfungsi dengan baik dengan ukuran yang memadai. Jendela ada dua
sisi yang berbeda, sehingga bisa menjadi jalannya udara yang baru. Pada
setiap ruangan sebaiknya dibuatkan jendela kaca yang berhubungan dengan
ruang luar. Dalam menentukan letak jendela, harus diperhatikan untuk
mengarah ke matahari. Cahaya matahari yang terlalu panas, gunakan kanopi
jendela untuk menaungi jendela dari cahaya matahari langsung.
2. Ventilasi udara adalah lubang penghawaan pada ruangan agar sirkulasi udara
dalam ruangan menjadi baik. Minimal ventilasi udara berukuran lebih 10
persen dari luas lantai.
3. Pencahayaan ruangan dengan standar mata normal bisa membaca tanpa sinar
lampu tambahan.
4. Lubang asap dapur lebih besar 10 persen dari luas tanah lantai.
5. Lingkungan tidak padat penghuni luas lantai rumah per penghuni lebih besar
10 m
2
.
6. Kandang hewan harus terpisah dengan rumah. Misalkan anda mempunyai
ternak maka kandangnya harus terpisah dari rumah.
7. Konstruksi rumah, bangunan permanen dengan tembok, bata plesteran, serta
papan kedap air.
8. Sanitasi yang benar. Antara sarana Sanitasi yang benar adalah;
a. Sarana air milik sendiri, memenuhi syarat kesehatan (MS).
13
b. Jamban leher angsa atau septic tank.
c. Terdapat sarana pembuangan air limbah yakni dapat diserap dan tidak
mencemari sumber air (jarak dengan sumber air lebih dari 10 m) dialirkan ke
selokan tertutup (saluran kota) untuk diolah lebih lanjut.
d. Tempat sampah yang kedap air dan tertutup.
Rumah sehat juga dipengaruhi oleh kebiasaan penghuninya. Kebiasaan yang
dilakukan sehari-hari dapat mempengaruhi terjadinya penularan berbagai penyakit.
Agar tidak terjadi, maka seharusnya perilaku penghuni memperhatikan beberapa hal
yaitu;
1. Membersihkan tempat jentik berkembang agar rumah bebas jentik. Indeks jentik
nyamuk tidak lebih dari 5 persen.
2. Bersihkan dari hal-hal yang mempengaruhi tikus datang ke rumah anda. Pastikan
rumah anda bebas tikus.
3. Membersihkan rumah dan halaman rumah setiap hari.
4. Memanfaatkan pekarangan, misalnya dengan menanami bunga, atau Toga,
sehingga adau paya penghijauan.
5. Membuang tinja bayi atau Balita ke jamban, jangan meremehkan tinja bayi dan
dibuang sembarangan. Karena tinja bayi sama halnya dengan tinja orang dewasa.
6. Membuang sampah pada tempat sampah, sampah hendaknya dibuang setiap hari
pada sampah besar yang akan dibawa oleh petugas sampah.
Promosi Kesehatan
3
Dalam konteks kesehatan, promosi berarti upaya memperbaiki kesehatan dengan cara
memajukan, mendukung dan menempatkan kesehatan lebih tinggi dari agenda, baik
secara perorangan maupun secara kelompok. Determinan pokok kesehatan adalah
aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sering kali berada di luar kontrol
perorangan atau masyarakat secara kolektif.
7
14
Health promotion mempunyai dua definisi yaitu yang pertama adalah sebagai bagian
daripada tingkat pencegahan penyakit. Menurut Level dan Clark terdapat 5 tingkat
pencegahan penyakit dalam perspektif kesehatan masyarakat yaitu:
Health promotion
Specific protection
Early diagnosis and prompt treatment
Disability limitation
Rehabilitation
Pengertian yang kedua, promosi kesehatan diartikan sebagai upaya memasarkan,
menyebarluaskan atau mengenalkan kesehatan, sehingga masyarakat menerima
pesan-pesan kesehatan tersebut yang akhirnya masyarakat mahu berperilaku hidup
sehat.Tujuan promosi kesehatan adalah:
1. Kemauan (willingness) memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
2. Memelihara kesehatan berarti mau dan mampu mencegah penyakit, melingdungi
diri dari gangguan-gangguan kesehatan dan mencari pertolongan perubatan yang
professional bila sakit.
3. Meningkatkan kesehatan, berarti mau dan mampu meningkatkan kesehatannya.
Untuk memcapai tujuan diatas, diperlukan upaya-upaya yang disebut misi promosi
kesehatan yaitu perkara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara
umum upaya ini sekurang-kurangnya terdapat 3 hal yaitu :
Penyuluhan :
Pengertian penyuluhan kesehatan sama dengan pendidikan kesehatan masyarakat
yaitu suatu kegiatan atau usaha untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada
masyarakat, kelompok atau individu sehingga masyarakat tidak sahaja sedar, tahu
dan mengerti tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan. Tujuan penyuluhan menurut Effendy :
a. Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam
membina dan memelihara perilaku hidup sehat dan lingkungan sehat serta
berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
15
b. Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan
social sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.
c. Menurut WHO tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk merubah perilaku
perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan.
Terdapat pelbagai metode penyuluhan yang dapat digunakan.Pemilihan metode
bergantung kepada tingkat pendidikan, sosial ekonomi, kepercayaan masyarakat
dan ketersediaan waktu di masyarakat. Antara metode yang dapat digunakan
ialah:
1. Ceramah: Adalah suatu cara dalam menerangkan dan menjelaskan suatu ide,
pengertian atau pesan secara lisan kepada sekelompok sasaran sehingga
memperoleh informasi tentang kesehatan.
2. Diskusi kelompok: Adalah pembicaraan yang direncanakan dan telah
dipersiapkan tentang suatu topik pembicaraan diantara 5 20 peserta (sasaran)
dengan seorang pemimpin diskusi yang telah ditunjuk.
3. Demostrasi: Adalah suatu cara untuk menunjukkan pengertian, ide dan
prosedur tentang sesuatu hal yang telah dipersiapkan dengan teliti untuk
memperlihatkan bagaimana cara melaksanakan suatu tindakan, adegan dengan
menggunakan alat peraga. Metode ini digunakan terhadap kelompok yang
tidak terlalu besar jumlahnya.
4. Seminar: Adalah suatu cara di mana sekelompok orang berkumpul untuk
membahas suatu masalah dibawah bimbingan seorang ahli yang menguasai
bidangnya.
Dukungan sosial :
Strategi dukungan sosial adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan sosial
melalui tokoh-tokoh masyarakat (toma), baik tokoh masyarakat formal maupun
informal. Tujuan utama kegiatan ini adalah agar para tokoh masyarakat, sebagai
jembatan antara sektor kesehatan sebagai pelaksana program kesehatan dengan
masyarakat (penerima program) kesehatan. Dengan kegiatan mencari dukungan
sosial melalui toma pada dasarnya adalah mensosialisasikan program-program
kesehatan, agar masyarakat mau menerima dan mau berpartisipasi terhadap
program kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, strategi ini juga dapat dikatakan
sebagai upaya bina suasana, atau membina suasana yang kondusif terhadap
16
kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan sosial ini antaralain: pelatihan para toma,
seminar, lokakarya, bimbingan kepada toma, dan sebagainya. Dengan demikian
maka sasaran utama dukungan sosial atau bina suasana adalah para tokoh
masyarakat di berbagai tingkat. (sasaran sekunder).
Agar kegiatan promosi kesehatan mendapat dukungan dari tokoh masyarakat.
Dukungan sosial adalah ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan
fisik dan psikologis sehingga kita dapat melaksanakan kehidupan dengan baik,
dukungan sosial ini adalah orang lain yang berinteraksi dengan petugas. Contoh
nyata adalah dukungan sarana dan prasarana ketika kita akan melakukan promosi
kesehatan atau informasi yang memudahkan kita, atau dukungan emosional dari
masyarakat sehingga promosi yang diberikan lebih diterima.

Advokasi :
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain agar orang lain tersebut
membantu atau mendukung terhadap apa yang diinginkan. Dalam konteks
promosi kesehatan, advokasi adalah pendekatan kepada para pembuat keputusan
atau penentu kebijakan di berbagai sektor, dan di berbagai tingkat, sehingga para
penjabat tersebut mau mendukung program kesehatan yang kita inginkan.
Dukungan dari para pejabat pembuat keputusan tersebut dapat berupa kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah,
surat keputusan, surat instruksi, dan sebagainya.
Kegiatan advokasi ini ada bermacam-macam bentuk, baik secara formal
maupun informal.Secara formal misalnya, penyajian atau presentasi dan seminar
tentang isu atau usulan program yang ingin dimintakan dukungan dari para
pejabat yang terkait. Kegiatan advokasi secara informal misalnya bertemu kepada
para pejabat yang relevan dengan program yang diusulkan, untuk secara informal
meminta dukungan, baik dalam bentuk kebijakan, atau mungkin dalam bentuk
dana atau fasilitas lain. Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa sasaran
advokasi adalah para pejabat baik eksekutif maupun legislatif, di berbagai tingkat
dan sektor, yang terkait dengan masalah kesehatan (sasaran tersier).




17

Sasaran promosi kesehatan ini dapat dibagi kepada 3 yaitu :
a. Sasaran primer: sesuai misi pemberdayaan seperti kepala keluarga, ibu hamil/
menyusui, anak sekolah.
b. Sasaran sekunder: sesuai misi dukungan sosial atau bina suasana seperti tokoh
masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat.
c. Sasaran tersier: sesuai misi advokasi seperti pembuat kebajikan mulai dari pusat
sampai ke daerah.
Kedokteran Keluarga
4,5
Secara ringkas, yang dimaksud dengan dokter keluarga ialah dokter yang memberikan
pelayanan kesehatan dengan ciri-ciri utama sebagai berikut:
1. Pelayanan kesehatan lini pertama
Pelayanan ini dilaksakan dengan memberikan pelayanan pada strata primer, yaitu
ditengah-tengah pemukiman masyarakat sehingga mudah dicapai. Setiap keluarga
sebaiknya mempunyai dokter keluarga yang dapat mereka hubungi bila memerlukan
pertolongan kesehatan.
2. Pelayanan kesehatan/medis yang bersifat umum
Dokter memberikan pelayanan untuk masalah kesehatan atau penyakit yang tergolong
umum dan bukan spesialistik. Pelayanan dokter yang bersifat umum juga dikenal
dengan istilah berobat jalan walaupun kadang-kadang dapat pula diberikan di rumah
untuk kasus tertentu misalnya pasien yang sulit berjalan.
3. Bersifat holistik dan komprehensif
Holistik artinya tidak dibatasi pada masalah biomedis pasien saja, tetapi juga dengan
melihat latar belakang sosial-budaya pasien yang mungkin berkaitan dengan
penyakitnya. Misalnya, banyak penyakit didapat dari pekerjaannya seperti nyeri otot
dan tulang, radang saluran napas, radang kulit atau kelelahan. Jika penyakit tersebut
tidak ditangani secara holistik dan hanya terfokus pada gejala atau penyakitnya saja,
maka tidak akan benar-benar berhasil disembuhkan.
18
Komprehensif bermaksud tidak hanya terbatas pada pelayanan pengobatan atau
kuratif saja, tetapi meliputi aspek lainnya mulai dari promotif-preventif hingga
rehabilitatif. Misalnya, konseling, edukasi kesehatan, imunisasi, KB, medical check-
up, perawatan pasca RS dan rehabilitasi medik.
4. Pemeliharaan kesehatan yang berkesinambungan
Pelayanan kesehatan dilakukan terus menerus kepada pasien maupun keluarganya
guna memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka. Dengan kata lain, hubungan
dokter-pasien yang lebih kontinu atau sebagai dokter langganan. Hubungan yang
berkesinambungan itu menguntungkan karena menjadi lebih saling kenal dan lebih
akrab sehingga memudahkan dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan
pasien/keluarga tersebut.
5. Pendekatan Keluarga
Dokter lebih menekankan keluarga sebagai unit sasaran pelayanan kesehatan daripada
perorangan. Pasien umumnya merupakan anggota sebuah keluarga yaitu sebagai
suami, isteri atau anak. Pendekatan keluarga mempunyai berbagai keuntungan
terutama untuk dukungan yang diperlukan guna mengatasi masalah kesehatan.
Misalnya seorang anak akan banyak memerlukan pengertian dan dukungan orang
tuanya. Contohnya suami yang menderita hipertensi perlu dukungan isteri dan
anaknya. Isteri yang sedang hamil, perlu dukungan suaminya dan banyak lagi contoh
lain.
Definisi kedokteran keluarga (IKK FK-UI 1996) adalah disiplin ilmu
kedokteran yang mempelajari dinamika kehidupan keluarga, pengaruh penyakit
terhadap fungsi keluarga, pengaruh fungsi keluarga terhadap timbul dan
berkembangnya penyakit, cara pendekatan kesehatan untuk mengembalikan fungsi
tubuh sekaligus fungsi keluarga agar dalam keadaan normal. Setiap dokter yang
mengabdikan dirinya dalam bidang profesi dokter maupun kesehatan yang memiliki
pengetahuan, keterampilan melalui pendidikan khusus di bidang kedokteran keluarga
yang mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek dokter keluarga.
Definisi kedokteran keluarga (PB IDI 1983) adalah ilmu kedokteran yang
mencakup seluruh spektrum ilmu kedokteran yang orientasinya untuk memberikan
pelayanan kesehatan tingkat pertama yang berkesinambungan dan menyeluruh kepada
19
kesatuan individu, keluarga, masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor
lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Pelayanan kesehatan tingkat pertama dikenal
sebagai primary health care, yang mencangkup tujuh pelayanan (Muhyidin, 1996) :
1. Promosi kesehatan
2. KIA
3. KB
4. Gizi
5. Kesehatan lingkungan
6. Pengendalian penyakit menular
7. Pengobatan dasar
1,2


Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga
Tujuan pelayanan dokter keluarga mencakup bidang yang amat luas sekali. Jika
disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam (Azwar, 1995) :

1. Tujuan Umum
Tujuan umum pelayanan dokter keluarga adalah sama dengan tujuan pelayanan
kedokteran dan atau pelayanan kesehatan pada umumnya, yakni terwujudnya keadaan
sehat bagi setiap anggota keluarga.
2

2. Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus pelayanan dokter keluarga dapat dibedakan atas dua
macam:
a. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih
efektif. Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter
keluarga memang lebih efektif. Ini disebabkan karena dalam menangani suatu
masalah kesehatan, perhatian tidak hanya ditujukan pada keluhan yang disampaikan
saja, tetapi pada pasien sebagai manusia seutuhnya, dan bahkan sebagai bagian dari
anggota keluarga dengan lingkungannya masing-masing. Dengan diperhatikannya
berbagai faktor yang seperti ini, maka pengelolaan suatu masalah kesehatan akan
dapat dilakukan secara sempurna dan karena itu penyelesaian suatu masalah
kesehatan akan dapat pula diharapkan lebih memuaskan.
b. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih
efisien. Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter
keluarga juga lebih mengutamakan pelayanan pencegahan penyakit serta
20
diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Dengan
diutamakannya pelayanan pencegahan penyakit, maka berarti angka jatuh sakit akan
menurun, yang apabila dapat dipertahankan, pada gilirannya akan berperan besar
dalam menurunkan biaya kesehatan. Hal yang sama juga ditemukan pada pelayanan
yang menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Karena salah satu keuntungan dari
pelayanan yang seperti ini ialah dapat dihindarkannya tindakan dan atau pemeriksaan
kedokteran yang berulang-ulang, yang besar peranannya dalam mencegah
penghamburan dana kesehatan yang jumlahnya telah diketahui selalu bersifat
terbatas.
2


Manfaat Pelayanan Dokter Keluarga
Apabila pelayanan dokter keluarga dapat diselenggarakan dengan baik, akan banyak
manfaat yang diperoleh. Manfaat yang dimaksud antara lain adalah (Cambridge
Research Institute, 1976)
1. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit sebagai manusia
seutuhnya, bukan hanya terhadap keluhan yang disampaikan.
2. Akan dapat diselenggarakan pelayanan pencegahan penyakit dan dijamin
kesinambungan pelayanan kesehatan.
3. Apabila dibutuhkan pelayanan spesialis, pengaturannya akan lebih baik dan
terarah, terutama ditengah-tengah kompleksitas pelayanan kesehatan saat
ini.
4. Akan dapat diselenggarakan pelayanan kesehatan yang terpadu sehingga
penanganan suatu masalah kesehatan tidak menimbulkan berbagai masalah
lainnya.
5. Jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayanan, maka segala
keterangan tentang keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan dan
ataupun keterangan keadaan sosial dapat dimanfaatkan dalam menangani
masalah kesehatan yang sedang dihadapi.
6. Akan dapat diperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit, termasuk faktor sosial dan psikologis.
7. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit dengan tata cara
yang lebih sederhana dan tidak begitu mahal dan karena itu akan
meringankan biaya kesehatan.
21
8. Akan dapat dicegah pemakaian berbagai peralatan kedokteran canggih yang
memberatkan biaya kesehatan.
2,3


Fungsi, Tugas dan Kompetensi Dokter Keluarga
Dokter keluarga memiliki 5 fungsi yang dimiliki, yaitu (Azrul Azwar, dkk. 2004) :
a. Care Provider (Penyelenggara Pelayanan Kesehatan)
Yang mempertimbangkan pasien secara holistik sebagai seorang individu
dan sebagai bagian integral (tak terpisahkan) dari keluarga, komunitas,
lingkungannya, dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
berkualitas tinggi, komprehensif, kontinu, dan personal dalam jangka waktu
panjang dalam wujud hubungan profesional dokter-pasien yang saling
menghargai dan mempercayai. Juga sebagai pelayanan komprehensif yang
manusiawi namun tetap dapat dapat diaudit dan dipertangungjawabkan
b. Comunicator (Penghubung atau Penyampai Pesan)
Yang mampu memperkenalkan pola hidup sehat melalui penjelasan yang
efektif sehingga memberdayakan pasien dan keluarganya untuk
meningkatkan dan memelihara kesehatannya sendiri serta memicu
perubahan cara berpikir menuju sehat dan mandiri kepada pasien dan
komunitasnya
c. Decision Maker (Pembuat Keputusan)
Yang melakukan pemeriksaan pasien, pengobatan, dan pemanfaatan
teknologi kedokteran berdasarkan kaidah ilmiah yang mapan dengan
mempertimbangkan harapan pasien, nilai etika, cost effectiveness untuk
kepentingan pasien sepenuhnya dan membuat keputusan klinis yang ilmiah
dan empatik
d. Manager
Yang dapat berkerja secara harmonis dengan individu dan organisasi di
dalam maupun di luar sistem kesehatan agar dapat memenuhi kebutuhan
pasien dan komunitasnya berdasarkan data kesehatan yang ada. Menjadi
dokter yang cakap memimpin klinik, sehat, sejahtera, dan bijaksana
e. Community Leader (Pemimpin Masyarakat)
Yang memperoleh kepercayaan dari komunitas pasien yang dilayaninya,
menyearahkan kebutuhan kesehatan individu dan komunitasnya,
22
memberikan nasihat kepada kelompok penduduk dan melakukan kegaiatan
atas nama masyarakat dan menjadi panutan masyarakat
2


Selain fungsi, ada pula tugas dokter keluarga, yaitu :
a. Mendiagnosis dan memberikan pelayanan aktif saat sehat dan sakit
b. Melayani individu dan keluarganya
c. Membina dan mengikut sertakan keluarga dalam upaya penanganan penyakit
d. Menangani penyakit akut dan kronik
e. Merujuk ke dokter spesialis

Kewajiban dokter keluarga :
a. Menjunjung tinggi profesionalisme
b. Menerapkan prinsip kedokteran keluarga dalam praktek
c. Bekerja dalam tim kesehatan
d. Menjadi sumber daya kesehatan
e. Melakukan riset untuk pengembangan layanan primer

Kompetensi dokter keluarga yang tercantum dalam Standar Kompetensi
Dokter Keluarga yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia
tahun 2006 adalah (Danasari, 2008) :
a. Keterampilan komunikasi efektif
b. Keterampilan klinik dasar
c. Keterampilan menerapkan dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku
dan epidemiologi dalam praktek kedokteran keluarga
d. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada individu, keluarga
ataupun masyarakat dengan cara yang komprehensif, holistik,
berkesinambungan, terkoordinir dan bekerja sama dalam konteks Pelayanan
Kesehatan Primer
e. Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi
f. Mawas diri dan pengembangan diri atau belajar sepanjang hayat
g. Etika moral dan profesionalisme dalam praktek
2




23
Organisasi Pada Dokter Keluarga
Pada dokter keluarga, memiliki 2 organisasi yang akan dibahas sebagai berikut :
a. Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI)
Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) yang saat ini seluruh anggotanya
adalah Dokter Praktik Umum (DPU) yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Jumlah anggota yang telah mendaftar sekitar 3000 orang. Semua anggota PDKI
adalah anggota IDI. PDKI merupakan organisasi profesi dokter penyelenggara
pelayanan kesehatan tingkat primer yang utama.
2,3

Ciri dokter layanan primer adalah (Danasari, 2008) :
1. Menjadi kontak pertama dengan pasien dan memberi pembinaan
berkelanjutan (continuing care)
2. Membuat diagnosis medis dan penangannnya
3. Membuat diagnosis psikologis dan penangannya
4. Memberi dukungan personal bagi setiap pasien dengan berbagai latar
belakang dan berbagai stadium penyakit
5. Mengkomunikasikan informasi tentang pencegahan, diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
6. Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit kronik dan kecacatan
melalui penilaian risiko, pendidikan kesehatan, deteksi dini penyakit,
terapi preventif, dan perubahan perilaku.
Setiap dokter yang menyelenggarakan pelayanan seperti di atas dapat
menjadi anggota PDKI. Anggota PDKI adalah semua dokter penyelenggara
pelayanan kesehatan tingkat primer baik yang baru lulus maupun yang telah
lama berpraktik sebagai Dokter Praktik Umum.
Dokter penyelenggara tingkat primer, yaitu :
1. Dokter praktik umum yang praktik pribadi
2. Dokter keluarga yang praktik pribadi
3. Dokter layanan primer lainnya seperti :
a. Dokter praktik umum yang bersama
b. Dokter perusahaan
c. Dokter bandara
d. Dokter pelabuhan
e. Dokter kampus
f. Dokter pesantren
24
g. Dokter haji
h. Dokter puskesmas
i. Dokter yang bekerja di unit gawat darurat
j. Dokter yang bekerja di poliklinik umum RS
k. Dokter praktik umum yang bekerja di bagian pelayanan khusus
Sejarah PDKI
PDKI pada awalnya merupakan sebuah kelompok studi yang bernama
Kelompok Studi Dokter Keluarga (KSDK, 1983), sebuah organisasi dokter seminat di
bawah IDI. Anggotanya beragam, terdiri atas dokter praktik umum dan dokter
spesialis. Pada tahun 1986, menjadi anggota organisasi dokter keluarga sedunia
(WONCA). Pada tahun 1990, setelah Kongres Nasional di Bogor, yang bersamaan
dengan Kongres Dokter Keluarga Asia-Pasifik di Bali, namanya diubah menjadi
Kolese Dokter Keluarga Indonesia (KDKI), namun tetap sebagai organisasi dokter
seminat. Pada tahun 2003, dalam Kongres Nasional di Surabaya, ditasbihkan sebagai
perhimpunan profesi, yang anggotanya terdiri atas dokter praktik umum, dengan
nama Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), namun saat itu belum
mempunyai kolegium yang berfungsi.

Dalam Kongres Nasional di Makassar 2006 didirikan Kolegium Ilmu
Kedokteran Keluarga (KIKK) dan telah dilaporkan ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
dan Masyarakat Kestabilan dan Kendali Indonesia (MKKI).
Continuing Professional Development (CPD) yang dilakukan oleh
Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) adalah :
1. Pelatihan Paket A : Pengenalan Konsep Dokter Keluarga
2. Pelatihan Paket B : Manajemen Pelayanan Dokter Keluarga
3. Pelatihan Paket C : Pengetahuan Medis Dasar dan Keterampilan Teknis
Medis
4. Pelatihan Paket D : Pengetahuan Mutakhir Kedokteran
5. Konversi DPU menjadi DK bagi dokter yang telah praktek 5 tahun atau
lebih dan masih punya izin praktek dengan mengisi borang yang telah
disediakan sampai tahun 2012, setelah itu bila ingin jadi dokter keluarga
harus mengikuti pendidikan formal baik S2 atau spesialis DK
6. Pengisian modul DK
7. Kerja sama dengan Australia dengan mengisi modul online
25

b. Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia ( KIKKI )
Dipilih dalam Kongres Nasional VII di Makassar 30 Agustus 2006 2
September 2006, dan telah dilaporkan ke PB IDI Pusat dan MKKI. Kolegium
memang harus ada dalam sebuah organisasi profesi. Jadi PDKI harus
mempunyai kolegium yang akan memberikan pengakuan kompetensi
keprofesian kepada setiap anggotanya. Dalam PDKI lembaga ini yang diangkat
oleh kongres dan bertugas sebagai berikut :
2

1. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua
keputusan yang ditetapkan kongres
2. Mempunyai kewenangan menetapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pendidikan profesi
bidang kedokteran keluarga
3. Mengkoordinasikan kegiatan kolegium kedokteran
4. Mewakili PDKI dalam pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga
5. Menetapkan program studi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga
beserta kurikulumnya
6. Menetapkan kebijakan dan pengendalian uji kompetensi nasional pendidikan
profesi kedokteran keluarga
7. Menetapkan pengakuan keahlian (sertfikasi dan resertifikasi)
8. Menetapkan kebijakan akreditasi pusat pendidikan dan rumah sakit
pendidikan untuk pendidikan dokter keluarga
9. Mengembangkan sistem informasi pendidikan profesi bidang kedokteran
keluarga
Angota KIKK terdiri atas anggota PDKI yang dinilai mempunyai tingkat
integritas dan kepakaran yang tinggi untuk menilai kompetensi keprofesian
anggotanya. Atas anjuran dan himbauan IDI sebaiknya KIKK digabung dengan
KDI karena keduanya menerbitan sertifikat kompetensi untuk Dokter Pelayanan
Primer (DPP). Setelah melalui diskusi yang berkepanjangan akhirnya
bergabung dengan nama Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga (KDDKI) yang
untuk sementara melanjutkan tugas masing-masing, unsur KDI memberikan
sertifikat kepada dokter yang baru lulus sedangkan unsur KIKK memberikan
sertifikat kompetensi (resertifikasi) kepada DPP yang akan mendaftar kembali
ke KKI (Qomariah, 2000).
2
26
Perbedaan Dokter Praktek Umum dan Dokter Keluarga
Tabel ini menjelaskan tentang perbedaan antara dokter praktek umum dengan
dokter keluarga (Qomariah, 2000) :
2


DOKTER PRAKTEK
UMUM
DOKTER
KELUARGA
Cakupan Pelayanan Terbatas Lebih Luas
Sifat Pelayanan Sesuai Keluhan
Menyeluruh, Paripurna,
bukan sekedar yang
dikeluhkan
Cara Pelayanan
Kasus per kasus dengan
pengamatan sesaat
Kasus per kasus dengan
berkesinambungan
sepanjang hayat
Jenis Pelayanan
Lebih kuratif hanya
untuk penyakit tertentu
Lebih kearah
pencegahan, tanpa
mengabaikan pengobatan
dan rehabilitasi
Peran keluarga Kurang dipertimbangkan
Lebih diperhatikan dan
dilibatkan
Promotif dan
pencegahan
Tidak jadi perhatian Jadi perhatian utama
Hubungan dokter-pasien Dokter pasien
Dokter pasien teman
sejawat dan konsultan
Awal pelayanan Secara individual
Secara individual sebagai
bagian dari keluarga
komunitas dan
lingkungan

Lepra

Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada ma
nusiayang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer. Istilah
27
kusta berasal dari bahasa sansekerta yakni kushta berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874
sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah
yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi
meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang
berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam memberi
pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Peyakit kusta
sampai sekarang masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas
kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/ pengertian,
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya.

Etiologi
Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini
berbentuk batang tahan asam yang termasuk
familia Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiri
pan genetik dengan mikobakterium lainnya. Bentuk bentuk kusta yang dapat dilihat
dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah pecah (fragmented), bentuk
granular (granulated), bentuk globus dan bentuk clumps.
Bentuk utuh, dimana dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna
merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah-pecah,
dimana dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna
tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik titik tersusun seperti
garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau
fragment atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok- kelompok.
Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 -
60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200
300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau
pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA .





28

Tipe Lepra
Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley dan
Jopling
TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Puskesmas PB MB
Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan
pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa
perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini
Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)
Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline Lepromatosa
(BL)
Mid Borderline (BB)
Lesi:
- Bentuk
- Jumlah

- Distribusi

- Permukaan

Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung, praktis
tidak ada kulit sehat

Simetris
Halus berkilat
Makula
Plakat
Papul

Sukar dihitung, masih
ada kulit sehat

Hampir simetris
Halus berkilat
Plakat
Dome-shaped (kubah)
Punched-out

Dapat dihitung, kulit sehat
jelas ada

Asimetris
Agak kasar, agak berkilat
29
- Batas
- Anestesia
Tidak jelas
Tidak ada sampai tidak
jelas
Agak jelas
Tak jelas
Agak jelas
Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit
- Sekret hidung

Banyak (ada globus)
Banyak (ada globus)

Banyak
Biasanya negatif

Agak banyak
Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)
Sifat Tuberkuloid (TT) Bordeline
Tuberculoid (BT)
Indeterminate
(I)
Lesi
- Bentuk

- Jumlah
- Distribusi
- Permukaan

- Batas

- Anestesia

Makula saja, makula
dibatasi infiltrat

Satu, dapat beberapa

Asimetris
Kering bersisik
Jelas

Jelas

Makula dibatasi
infiltrat: infiltrat saja

Beberapa atau satu
dengan satelit

Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas

Jelas

Hanya makula

Satu atau beberapa
Variasi

Halus, agak berkilat

Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Tak ada sampai
tidak jelas
30
BTA
- Lesi kulit
Hampir selalu
negatif
Negatif atau hanya
1+
Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negative


Pemeriksaan
a.Anamnesis
1). Keluhan yang ada/kapan timbul bercak .
2). Apakah ada riwayat kontak .
3). Riwayat pengobatan sebelumnya.
b.Pemeriksaan kulit / rasa raba.
Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian
disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita
duduk pada waktu pemeriksaan .Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana
merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh
dengan jari telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari
tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka
bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya.Kelainan-kelainan
dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada tidaknya anestesi . pada
telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat ini kulit lebih tebal.

c.Pemeriksaan saraf (nervus )
Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada
saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti
kerusakan pada saraf-saraf utama.

Tehnik Pemeriksaan Saraf .
a.Saraf Ulnaris.
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi
siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari
tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus
nervi Ulnaris yaitu lekuken diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian
31
medial (epicondilus medialis ). Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris
sambil digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi
penderita adakah tampak kesakitan atau tidak .

b.Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis).
1).Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam
keadaan rilek.
2).Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki
kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan .
3).Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis
bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan
benjolan tulang (caput fibula )setelah menemukan tulang tersebut jari
pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm kearah belakang
4).Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan
dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita .
c.Saraf Tibialis Posterior .
1).Penderita masih duduk dalam posisi rileks .
2).Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior
dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam(maleolus
medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri
dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien )
3).Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik /
reaksi dari penderita.
3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf
Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah
Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat
yang diperlukan : ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita.

Cara pemeriksaan Fungsi Saraf .
Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai
kaki .
a. Mata
Fungsi Motorik (Saraf Facialis )
1).Penderita diminta memejamkan mata.
32
2).Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak
, apakah ada celah.
3).Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat,
missal lagofthalmus 3 mm, mata kiri atau kanan.
Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf
Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan .

b.Tangan
1).Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )
a).Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha
penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga
semua ujung jari tersangga .
b).Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil
memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu
atau dua titik pada telapak tangan
c).Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan
tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain .
d).Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif .
e).Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan
yang diperiksa.
f).Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh .
g).Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
h).Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm .

2). Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris ,Medianus dan Radialis .
a).Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).
(1).Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan
penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi
ektensi (jari kelingking /5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan
pemeriksa .
(2).Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari
lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan kelingkingnya
pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari pemeriksa
mendorong pada bagian pangkal kelingking.
33
Penilaian :
(a).Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari jari
lainnya berarti lumpuh.
(b).Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti
lemah .
(c).Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa maju
dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat.
(d).Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan
diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas
tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan terhadap kertas tesebut .

Penilaian :
(e).Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah .
(f).Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat
b).Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )
(1).Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking
tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap keatas,dan
dalam posisi ekstensi .
(2).Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak
tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita
diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.
(3).Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas
antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan .
Penilaian :
(a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
(b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah .
(c).Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh .

c).Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ).
(1).Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan
penderita .
(2).Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal keatas
(ektensi ).
34
(3).Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu dengan tangan
kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi .
Penilaian :
(a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
(b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
(c).Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan tangan tidak bisa
digerakkan keatas)
.
c. Kaki
1).Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior )
a).Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki
menghadap keatas .
b).Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita .
c).Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.
d).Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1
cm.
e).Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.

2).Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis ).
a).Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan
tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit).
b).Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa
dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah /lantai .
Keterangan:
c).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
d).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
e).Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan
keatas).

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
Pemeriksaan Bakterioskopik
Pewarnaan Ziehl Neelsen
Bahan dari 6 lokasi: lesi kulit (2), cuping telinga (2), kulit distal
telunjuk/tengah (2)
35
Bahan biopsi kulit atu saraf
Indeks Bakteri (IB) : untuk menentukan klasifikasi penyait lepra dengan
melihat kepadatan BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati
(fragmented/granular)
Indek Bakteri (IB):
0 BTA (-)
1 - 10/ 100 LP +1
1 - 10/ 10 LP +2
1 10/ 1 LP +3
10 100/ 1 LP +4
100 1000/ 1 LP +5
>1000/ 1 LP +6

Indeks Morfologi : Untuk menentukan persentase BTA hidup atau mati
Rumus : Jumlah BTA solid x 100 % = x %
Jumlah BTA solid + non solid
Guna : untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, melihat
infeksisitas penyakit.
o Pemeriksaan histopatologik (untuk membedakan tipe TT & LL)
Pada tipe TT : ditemukan tuberkel (giant cell, limfosit)
Pada tipe LL : ditemukan sel busa (Virchow cell/sel lepra)
Pemeriksaan tes lepromin : digunakan untuk mleihat daya imunitas penderita
terhadap penyakit kusta.

o Pemeriksaan serologic
Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
ML dipstick ( Mycobacterium Leprae dipstick)





36
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit kusta
1. Faktor Internal.
a.Umur.
Umur dimana kejadian penyakit kusta sering terkait dengan umur pada saat
diketemukan dari pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah pada umur
muda dan produktif. Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi, angka kejadian
(Insidence Rate ) meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan
kemudian menurun Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan
puncakumur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.
b.Jenis kelamin.
Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan
sebagian besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika
menunjukkanbahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif
rendahnya kejadiankusta pada wanita kemungkinan karena faktor lingkungan atau
biologi sepertikebanyakan pada penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak
terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.

c.Daya tahan tubuh seseorang.
Daya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah
akan rentan terjangkit bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun
penularannya lama bila seseorang terpapar kuman penyakit sedangkan
imunitasnyamenurun bisa terinfeksi, misalnya: kurang gizi/malnutrisi berat, infeksi,
habis sakit lama dan sebagainya.
d. Etnik/suku.
Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat
dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah
yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena
perbedaan etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada
etnik Burma dibandingkan etnik India, situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal
yang sama, kejadian lepromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik
Melayu atau India, demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis
lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.


37
2. Faktor Ekternal.
a.Kepadatan hunian
Penularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara,
dengan penghuni yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga
bila ada anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan
rentan tertular namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari,
sinar ultra violet yang dapat merusak dan mematikan kuman kusta. Kepadatan
hunian yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh
ruangan di bagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur
minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam
satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

Kondisi rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh
terhadap status kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah
harus memperhatikan persyaratan sebagai berikut :

1). Bahan bangunan memenuhi syarat :
a).Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim
hujan, karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit.
b).Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi
kurang lebih baik dari papan .
c).Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidak
cocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu
panas di dalam rumah.

2).Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas
Lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan
rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum . Kelembaban
yang optimal (sehat ) adalah sekitar 40 70 % kelembaban yang lebih dari 70
% akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara
didalam ruangan naik terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan . Kelembaban yang tinggi akan merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri patogen(bakteri penyebab penyakit).

38
3).Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya
Matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu
udara yang ideal didalam rumah adalah 1830C.Suhu optimal pertumbuhan
bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada
suhu37C.Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh
Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup pada tempat gelap, sehingga
perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.

4).Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup
sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding
dengan penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah
yang terlalu padat penghuninya tidak sehat , sebab disamping menyebabkan
kurangnya konsumsi O juga bila salah satu anggota keluarganya ada yang
sakit infeksi akanmudah menular kepada anggota keluarga yang
lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan
jumlah penghuni ( sleeping density) dinyatakan baik bila kepadatan lebih atau
sama dengan 0,7; cukup bila kepadatan antara 0,50,7; dan kurang bila
kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura kabupaten Pekalongan tingkat
kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan sehingga angka
prevalensi lebih besar.

b. Perilaku
Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi
seseorang tehadap stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku
terjadi melalui proses :
Stimulus Organisme - Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori _
SO- R _Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health behavior ) menurut
Skiner adalah Respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan
dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit
( kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan minuman yang tidak sehat, dan
pelayanan kesehatan . Secara garis besar perilaku kesehatan dibagi dua, yakni
:


39
1).Perilaku sehat (healty behavior )
Yang mencakup perilaku-perilaku(overt dan covert behavior )dalam mencegah
penyakit ( perilaku preventif ) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan
kesehatan ( perilaku promotif ), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur,
mandi pakai sabun mandi, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak memakai
handuk atau pakaian secara bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti panu atau
bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas
atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih
mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat datang, karena kebanyakan
pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan resiko cacat
lebih besar.

2).Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup
tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh
kesembuhan, misalnya pelayanan kesehatan tradisional seperti : dukun, sinshe, atau
paranormal, maupun pelayanan modern atau professional seperti : RS, Puskesmas,
Dokter dan sebagainya( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 ). Becker ( 1979 ) membuat
klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membagi menjadi tiga, yakni :
1. Perilaku Sehat (healhty behavior)
Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan, misalnya :
a.Menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun mandi.
b. tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, karena akan
menyebabkan bermacam-macam kelainan kulit termasuk kusta.
c.Bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak
gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan
barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan.
d.Makan makanan bergizi, teratur berolahraga serta cukup istirahat.
e.Perilaku dan gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan.
2. Perilaku Sakit(illness behavior)
Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang untuk
mencari penyembuhan , misal ke Puskesmas, RS dan sebagainya.
3. Perilaku peran orang sakit(the sick role behavior)
40
Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran(roles), yang mencakup
hak-haknya(rights), dan kewajiban sebagai seorang sakit(obligation).

Menurut Becker Perilaku peran orang sakit ini antara lain :
a.Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b.Tindakan untuk mengenal dan atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk
memperoleh kesembuhan.
c.Melakukan kewajiban sebagai pasien untuk mematuhi nasihat dokter/perawat .
d.Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhan ( Soekidjo
Notoatmodjo, 2010 )
c. Sosial Ekonomi
Menurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan
menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu
masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya
rendah. Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi
kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan
mempunyai daya beli yang dapat di gunakan untuk menjamin ketahanan pangan
keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat
tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli
kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akanterganggu.

Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka
penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta
orang diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003
menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti
oleh Brasil dan Myanmar. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan
640.000, pada2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi
di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta.
70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus
41
ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta
dunia terdapat.
6



b. Epidemiologi Kusta di I ndonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang,
penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan
kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini
dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia
diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang
datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia
sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia
menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target
yang ditetapkan oleh WHO yaitu tahun 2000.
6

Tabel 1: Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa
6

Daerah
Prevalensi
terdaftar
(rate/10,000 pop.)
Kasus baru yang ditemukan pada tahun
Awal 2006 2001 2002 2003 2004 2005
Afrika 40.830 (0.56) 39.612 48.248 47.006 46.918 42.814
Amerika 32.904 (0.39) 42.830 39.939 52.435 52.662 41.780
Asia Tenggara 133.422 (0.81) 668.658 520.632 405.147 298.603 201.635
Mediterania
Timur
4.024 (0.09) 4.758 4.665 3.940 3.392 3.133
Pasifik Barat 8.646 (0.05) 7.404 7.154 6.190 6.216 7.137
Total 219.826 763.262 620.638 514.718 407.791 296.499
42
Prevalensi Penderita Kusta
Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus yang
mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137 kasus pada
desember 2001, akan tetapi terjadi peningkatan pada tahun 2002 menjadi 19.100
kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk menurun dari 0,99 menjadi 0,86
dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi menjadi 0,92.
Pada tahun 2001, PR di tingkat propinsi mempunyai variasi yang sangat lebar DI
Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di Propinsi Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002
PR terendah di propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72).
Dari gambaran prevalendi di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang
belum dapat mencapai eliminasi terletak di Kawasan Indonesia Timur dan daerah
yang sering terjadi konflik.
6

Angka Penemuan Penderita Baru
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe
MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002
ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132
penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak
1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per 100.000
penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002
yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat propinsi pada tahun 2001 angka
penemuan tertinggi terdapat di Propinsi Papua (49,65) dan terendah di propinsi
Lampung (0,50), sedangkan pada tahun 2002 tertinggi dopropinsi papua (39,55) dan
terendah di Propinsi Bengkulu (0,250. Cakupan penderita dengan MDT 100%,
sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta sebanyak 4900 dengan angka
kesembuhan lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru
yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling
sedikit menemukan kasusu baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada
tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. Indonesia memiliki 14 provinsi yang
menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim
menyandang beban sebagai daerah rawan ini bersama Irian Jaya bagian barat, Papua,
Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara,
Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Jakarta.
6
43
c. Epidemiologi Kusta Di Sulawesi Tenggara
Penderita penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi Tenggara sebanyak 267
penderita sedangkan pada tahun 2006 sebanuyak 264 penderita tersebar di semua
kabupaten yaitu kabupaten konawe 21, kabupaten muna 26 penderita, kabupaten
kolaka sebanyak 41 penderita, kabupaten buton sebanyak 48 penderita, kota kendari
sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau sebanyak 45 penderita, kabupaten Konawe
Selatan sebanyak 5 penderita, Kab.Bombana sebanyak 19 penderita. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
No Kabupaten/Kota Penderita Jml
Penduduk
Prevalensi/10.000
pnddk
PB MB Total
1. Konawe 1 20 21 255.283 1
2. Muna 2 24 26 296.003 1
3. Kolaka 2 40 41 264.149 2
4. Buton 11 37 48 270.100 2
5. Kota Kendari 2 30 32 227.190 1
6. Kota Bau-bau 4 41 45 121.416 4
7. Konawe Selatan 1 4 5 226.734 0
8. Bombana 5 14 19 106.181 2
9. Kolaka Utara 4 9 13 96.784 1
10 Wakatobi 0 14 14 95.574 1
Jumlah 31 233 264 1.959.414 1,3
Sumber :seksi Penyakit Menular Langsung (PML) subdin P2 Dink
6
Cara Penularan Lepra
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multy basillary (MB) ke
orang lain dengan cara penularan langsung(droplet), namun demikian belum diketahui
pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Timbulnya penyakit kusta pada
seseorang membutuhkan waktu yang relatif lama, tergantung dari beberapa faktor
antara lain :
Faktor penyebab
44
Kuman kusta dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sekitar 1-9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca hanya kuman yang masih utuh atau solid yang dapat
menimbulkan penularan, selain itu kuman kusta juga mempunyai waktu pembelahan
yang lama yaitu 2-3 minggu;
Faktor sumber penularan
Penderita kusta tipe MB di anggap sebagai satu-satunya sumber penularan
penyakit kusta meskipun kuman kusta dapat hidup di hewan armadillo, simpanse dan
telapak kaki tikus putih. Penderita tipe MB ini apabila sudah minum obat sesuai
dengan regimen WHO secara teratur tidak menjadi sumber penularan lagi;
Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Seseorang dalam
lingkungan tertentu termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok berikut, yaitu :
1). Manusia (host) yang mempunyai kekebalan tubuh yang tinggi merupakan
kelompok terbesar yang telah atau menjadi resisten terhadap kuman kusta;
2). Manusia (host) yang mempunyai kekebalan tubuh rendah terhadap kuman kusta
mungkin akan menderita penyakit kusta yang ringan (PB);
3). Manusia (host) yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta
merupakan kelompok kecil dan mudah menderita kusta yang stabil dan progresif.

Faktor yang berperan dalam penularan
Pada usia anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dijangkiti
Ras bang sa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
Kesadaran sosial: umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
Lingkungan: fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

Faktor Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada
orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui,
tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan
melalui saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak
mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
a. Faktor sumber penularan
Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler ini pun tidak akan
menularkan kusta apabila berobat teratur.
b. Faktor kuman kusta
45
Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu
dan cuaca dan diketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkan penularan.
c. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian
menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum
lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh
kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan,
setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga
tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada
setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
4


Manifestasi Klinik dan Diagnosis
Manifestasi klinik biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang
lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja .Penderita kusta
adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa
peemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan.
Untuk mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan yang berhubungan
dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.Untuk itu
dalam menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu mencari tanda-tanda utama atau
Cardinal Sign, yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa .
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi
)atau kemerah-merahan (Eritemtous ) yang mati rasa (anestesi ).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.ganggguan fungsi
saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer).gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :

a.Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa.
b.Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise).
c.Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak.
3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan
ini hanya dilakukan pada kasus yang meragukan.
5


46
Klasifikasi kusta
Setelah seseorang didiagnosa kusta, maka tahap selanjutnya menentukan
type/klasifikasi penyakit kusta yang diderita, penentuan type penyakit kusta pada
seseorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Dalam klasifikasi menurut
WHO (1982) seluruh penderita hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu
5
:
Tipe Paucibacillary (PB) dan tipe Multibacillary (MB).
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO
adalah sebagai berikut :
Tanda Utama Tipe PB Tipe MB
Bercak kusta Jumlah 1-5 Jumlah <5
Penebalan saraf yang disertai
gangguan Fungsi (mati/kurang rasa
/
kelemahan otot yang dipersarafi).
Hanya 1 saja Lebih dari 1 saraf
Sedian hapus BTA negatif BTA positif


Untuk melakukan survei khusus disekolah yang yang ingin dilakukan
pemeriksaan, perlu dibina kerja sama dengan UKS dan guru-guru sekolah. Perlu
diberikan penyuluhan kesehatan terlebih dahulu kepada murid-murid bertempat
dilapangan upacara atau didalam suatu ruangan besar bila memungkinkan. Pertemuan
atau penyuluhan kesehatan yang dilaksanakan disekolah hendaknya dilaksanakan
dengan menggunakan media yang mudah dipahami oleh anak-anak sekolah, misalnya
dengan menggunakan alat bantu audio visual, yang dilengkapi dengan gambar-
gambar. Gambar yang perlu ditampilkan mulai dari orang yang terpapar dengan
penyakit kusta, dengan tanda-tanda bercak-bercak dipermukaan kulit penderita
sampai dengan kelainan yang ditimbulan akibat penyakit kusta yang dapat
menimbulkan kecacatan pada anggota tubuh. Selain penyuluhan disekolah-sekolah
juga perlu diberikan penyuluhan pada masyarakat karena penyakit ini dewasa ini
masih banyak dijumpai dimasyarakat, misalnya penyuluhan yang diberikan melalui
kelurahan yang dikoordinir oleh petugas kesehatan, dimana materi yang disampaikan
47
mulai dari gambaran penyakit kusta dan tanda-tanda khas yang diperlihatkan akibat
penyakit ini.

Cara Penemuan Penderita Lepra
6
Penemuan penderita secara dini sangat penting dalam program pemberantasan
penyakit lepra untuk mencegah penularan dan timbulnya cacat pada penderita.
Cara penemuan penderita kusta ada 2 (dua) yaitu :
a. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)
Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang belum pernah
berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang lain ke sarana kesehatan. Hal ini
tergantung dari pengertian dan kesadaran penderita itu sendiri untuk mendapatkan
pengobatan. Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke
Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :
a) Tidak mengerti tanda dini kusta
b) Malu datang ke Puskesmas
c) Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di Puskesmas
d) Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.
b. Penemuan secara aktif
Kegiatan yang dilakukan dalam penemuan penderita secara aktif adalah :
a)Pemeriksaan kontak serumah (Survei Kontak)
Cara ini dilakukan dengan membuat pemeriksaan kepada semua anggota keluarga
yang tinggal serumah dengan penderita. Pemeriksaan ini dilakukan minimal 1 tahun
sekali, terutama ditujukan pada kontak tipe MB.
b) Pemeriksaan anak sekolah
Penderita pada usia dibawah 14 tahun atau anak Sekolah Dasar dan Taman Kanak-
kanak cukup banyak. Pemeriksaan ini adalah untuk mengantisipasi kemungkinan
48
adanya penderita kusta pada anak dan mencegah terjadinya penularan di lingkungan
sekolah.
c) Chase Survey
Mencari penderita baru sambil membina partisipasi masyarakat untuk mengetahui
tanda-tanda kusta dini secara benar.
d) Survei Khusus
Survei ini dilakukan apabila suatu daerah dimana proporsi penderita MB minimal
60% dan dijumpai penderita pada usia muda cukup tinggi sesuai dengan perencanaan
dan petunjuk dari Depkes yang sudah diadakan Set Up secara statistik oleh ahli
statistik dari WHO.

Program Lepra di Puskesmas
7
Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu
eliminasi kusta pada tahun 2000. Indonesia sebagai anggota Organisasi Kesehatan
Sedunia (WHO) harus memenuhi resolusi tersebut. Suatu kenyataan bahwa lepra
tersebar di Indonesia secara tidak merata dan prevalensi rate (PR) sangat bervariasi
menurut propinsi, Kabupaten/Kota/Kecamatan. Penderita terdaftar di Indonesia
sampai dengan desember 2003 sebanyak 18.312 penderita. Eliminasi kusta di
Indonesia yang ditargetkan tahun 2000 sudah dicapai secara nasional pada
pertengahan tahun 2000, namun demikian pada tingkat propinsi dan kabupaten masih
banyak yang belum mencapai eliminasi. Sampai akhir desember 2003,
baru 18 dari 30 propinsi dan 325 dari 440 Kabupaten yang dapat mencapai eliminasi.
Tujuan Jangka Panjang
1. Menurunkan transmisi panyakit kusta pada tingkat tertentu sehingga kusta tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat.
2. mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui
pengobatan dan perawatan yang benar.
49
3. Memberikan perawatan dan pelayanan rehabilitasi yang tepat pada orang yang
terkena penyakit kusta.
Tujuan Jangka Pendek
1. Menetapkan sistim penemuan dan diagnosa penderita kusta secara intensif di
daerah endemik tinggi dan di kantong-kantong kusta di daerah endemic rendah
sehingga proporsi anak dan kecacatan tingkat 2 kurang dari 5%.
2. Memberikan pengobatan yang adekuat sehingga tercapai angka kesembuhan (RFT
Rate) lebih dari 90%.
3. menurunkan proporsi penderita yang cacat pada mata tangan dan kaki setelah RFT
kurang dari 5%.
4. Mengembangkan puskesmas dengan perawatan cacat yang adekuat dengan
dukungan sistem rujukan ke rumah sakit umum dan rumah sakit khusus untuk kasus
yang mengalami komplikasi dan membutuhkan rehabilitasi medis.
5. Melaksanakan pengelolaan program pemberantasan kusta dengan strategi sesuai
endemisitas daerah dan di dukung dengan kegiatan-kegiatan penunjangnya.
Target
1. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat propinsi pada tahun 2008.
2. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat kabupaten pada tahun 2010.
3. Tercapainya Indonesia bebas kusta pada tahun 2020.
Kebijakan
1. Pelaksanaan program pemberantasan kusta diintegrasikan dalam kegiatan
pelayananan kesehatan dasar di puskesmas.
2. Pengobatan penderita kusta dengan MDT sesuai rekomendasi WHO diberikan
cuma-cuma.
3. Penderita kusta tidak boleh diisolasi.
50
Cara mendiagnosa Lepra adalah dengan melihat tanda utama atau cardinal sign
yaitu ;
i) Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi)
yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.
ii) Penebalan syaraf tepi.
iii) Gejala pada kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol kecil
berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok
dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga
menyebabkan perdarahan.
iv) Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian
tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri.
Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat
serangan penyakit ini. Penderita merasa demam akibat reaksi penyakit
tersebut.
v) Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk. Bentuk leproma
mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Bentuk ini
menular karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman.
vi) Ada juga bentuk tuberkuloid yang mempunyai kelainan pada jaringan syaraf
yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular karena
kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Di antara bentuk leproma dan
tuberkuloid ada bentuk peralihan yang bersifat stabil dan mudah berubah-
ubah.
vii) Penyakit ini ditularkan melalui kontak erat dari kulit ke kulit dalam waktu
yang cukup lama. Namun ada dugaan bahwa penyakit ini juga dapat
ditularkan melalui udara pernapasan dari penderita yang selaput hidungnya.
Klasifikasi Kusta menurut WHO untuk memudahkan pengobatan di lapangan :
1) PB (Pauci Bacillery)
2) MB (Multi Bacillary)
51


Prinsip Multi Drug Treatment (pengobatan kombinasi Regimen MDT-Standar
WHO)
a. Regimen MDT-Pausibasiler
i) Rifampisin
Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi
Berat badan < 35 kg : 450 mg/bulan
Anak 10 14 th : 450 mg/bulan (12 15 mg/kg BB/hari)
Rifampisin : diminum di depan petugas ( Hari pertama )
Dewasa : 600 mg/bulan
Anak 10 14 tahun : 450 mg/bulan
Anak 5 9 tahun : 300 mg/bulan
ii) Dapson :
Dewasa : 100 mg/hari
Anak 10 14 tahun : 50 mg/hari
52
Anak 5 9 tahun : 25 mg/hari
Diberikan dalam jangka waktu 6 9 bulan.
- Dapson
Dewasa : 100 mg/hari
Berat badan < 35 kg : 50 mg/hari
Anak 10 14 th : 50 mg/hari (1 2 mg/kg BB/hari)
Lama pengobatan : diberikan sebanyak 6 regimen dengan jangka waktu maksimal 9
bulan.

b) Regimen MDT-Multibasiler
i) Rifampisin
Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
Anak 10 14 th : 450 bulan (12 15 mg/kg BB/bulan)
Rifampisin : diminum di depan petugas ( Hari pertama )
Dewasa : 600 mg/bulan
Anak 10 14 tahun : 450 mg/bulan
Anak 5 9 tahun : 300 mg/bulan
ii) Lampren :
Dewasa : 300 mg/bulan
Anak 10 14 tahun : 150 mg/bulan
Anak 5 9 tahun : 100 mg/bulan
iii) Dapson :
53
Dewasa : 100 mg/hari
Anak 10 14 tahun : 50 mg/hari
Anak 5 9 tahun : 25 mg/hari
Diberikan sebanyak 12 blister dengan jangka waktu 12 18 bulan.
- Lampren
Dewasa : 300 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
Anak 10 14 th : 200 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari.
- Dapson
Dewasa : 100 mg/hari.
Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari
Anak 10-14 tahun : 50 mg/hari(1 2 mg/hari/Kg BB/hari)
Lama pengobatan : diberikan sebanyak 24 regimen dengan jangka waktu maksimal 36
bulan sedapat mungkin sampai apusan kulit menjadi negatif.
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan
maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri,
produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode
pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi
medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang
merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur
sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu
sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program
pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit kustra
menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang dilakukan untuk
pemberantasan penyakit kusta melalui :
1. Penemuan penderita secara dini.
54
2. Pengobatan penderita.
3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.
5. Rehabilitasi penderita kusta.
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan
untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan
mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi
pokok yang dilakukan masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan penderita,
yang tampaknya masih merupakan dua hal yang penting meskipun nantinya vaksin
kusta yang efektif telah tersedia. Dilihat dari sejarahnya pengobatan kusta telah
melalui beberapa fase perkembangan yaitu dari era pre sulfon sampai ditemukannya
obat-obat baru yang bersifat mikobakterisidal yang lebih efektif.
Sampai tahun 1950 belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhkan
penyakit kusta, satu-satunya cara untuk menangani penderita kusta adalah dengan
mengisolasi penderita ketempat penawatan khusus. Kemudian ditemukan dapson,
yaitu obat anti penyakit kusta yang pertama. Namun dalam dua dekade berikutnya,
ternyata dapson menjadi kurang efektif karena bakteri penyebab kusta
yaitu Mycobacterium leprae menjadi resisten, sehingga pengobatan gagal dan
penyakit akan kambuh lagi. Di-samping itu pengobatan yang berlangsung lama sering
meng-akibatkan penderita menjadi putus asa dan malas berobat. Pada tahun 1981
WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI), yaitu pengobatan
baku terhadappasien dengan kusta multibasil dan pasien dengan kusta paucibasil.
Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua
pasien; sampai saat ini telah diterima se-bagai pengobatan standar untuk penyakit
kusta.
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak
ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal
(pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson
menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan
lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya
menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an. Kemudian,
Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin
dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri.Terapi multiobat dan kombinasi tiga
55
obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini
menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat
tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri
4,5

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah pengobatan
selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson.
Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin
dan dapson..
Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan/kutukan.Tipe MB
lama pengobatan : 12 - 18 bulan.Tipe PB lama pengobatan : 6 - 9 bulanPengobatan
Kusta dapat dilakukan pada Puskesmas/Rumah Sakit/ UPK yang melakukan
pengobatan kusta. Semua pengobatan kusta di Puskesmas/UPK/Rumah Sakit di dapat
secara gratis.
Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi
dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun
sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun
1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia.
Meskipun obat-obat baru ditemukan tampaknya memberi harapan yang lebih cerah,
namun karena masih dalam evaluasi uji klinis maka regimen MDT masih dianjurkan
dalam program pemberantasan kusta di seluruh dunia termasuk di indonesia

Pencegahan
8
1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah
memiliki faktor resiko agar tidak sakit. Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk
mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab
penyakit dan faktor-faktor resikonya. Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta,
upaya yang dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan
tempat tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan
peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-
orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.
56
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan
menghindari komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati
penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui
diagnosis dini dan pemberian pengobatan. Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan
dengan melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi
kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah.
3. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk
memulihkan seseorang yang sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya
guna, produktif, mengikuti gaya hidup yang memuaskan dan untuk memberikan
kualitas hidup yang sebaik mungkin, sesuai tingkatan penyakit dan
ketidakmampuannya.
Pencegahan tertier meliputi:
a. Pencegahan Kecacatan
Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada
penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh
petugas kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
a. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :
1) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
2) Pengobatan secara teratur dan adekuat
3) Deteksi dini adanya reaksi kusta
4) Penatalaksanaan reaksi kusta
b. Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :
57
1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur.
3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
4) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.
5) Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami
kelumpuhan otot. 2,17
Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu :
a) Cacat pada tangan dan kaki :
Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis
Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
b) Cacat pada mata :
Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang
Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu

b. Rehabilitasi
Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan
rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat
tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak
sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain
itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).


58
Penutup
Dengan mengetahui penyebab, penyebaran penyakit, dan pengobatannya maka
tidaklah perlu timbul lepraphobia. Hal ini dapat dilihat dengan penting peranan
penyuluhan kesehatan kepada penderita dan keluarga serta masyarakat dimana dengan
penyuluhan ini diharapkan penderita dapat berobat secara teratur, dan tidak perlu
dijauhi oleh keluarga malahan keluarga sebagai pendukung proses penyembuhan serta
masyarakat tidak perlu mempunyai rasa takut yang berlebihan. Penderita kusta
sebagai manusia yang juga mendapat perlakuan secara manusia, jadi keluarga dan
masyarakat tidak perlu mendorong untuk mengasingkan penderita kusta tersebut.

Daftar Pustaka
1. Kosasih, A,Ditjen PPM dan PLP, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta,
Jakarta 1996
2. Haryoto, Kusnoputra. Pengantar kesehatan lingkungan. FKUI Jakarta 1984
3. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Edisi 1. Penerbit buku
kedokteran EGC:Jakarta;2009.h.145-93
4. Azrul A. Pengantar pelayanan dokter keluarga. Jakarta: Yayasan Penerbit IDI;
2000
5. Notoadmojo S. Ilmu kesehatan masyarakat, prinsip-prinsip dasar. Edisi ke-2. PT
Rineka Cipta:Jakarta;2003.h.74-94
6. Kandun IN. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Departemen
Kesehatan RI. Direktorak Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2007.h.4-13.
7. Depertemen Kesehatan RI. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta.
Depertemen Kesehatan: 2007.h42-6
8. Depkes RI. Diagnosis, Klasifikasi dan Pengobatan Penyakit Kusta. Dep.Kes. RI.
Jakarta.2003

Anda mungkin juga menyukai