Anda di halaman 1dari 4

MSG (Monosodium Glutamate) yang sehari-hari dikenal dengan nama vetsin.

Nama
iupac: Sodium 2-Aminopentanedioate. Rumus molekul: C
5
H
8
NNaO
4.
kelarutan dalam

air:
74g/100mL. bahayanya pada LD
50
: 16600 mg/kg (oral, rat). Monosodium Glutamat
(vetsin), dibuat dari hasil fermentasi gula tetes tebu (gula yang tidak dapat dikristalkan) oleh
bakteri Nitrococcus glutammicus dan menggunakan HCl pekat. MSG telah diproduksi dengan
tiga metode: (1) hidrolisis protein nabati dengan asam hidroklorida untuk memutuskan ikatan
peptida (1909 -1962), (2) sintesis kimia langsung dengan akrilonitril (1962 1973), dan (3)
fermentasi bakteri; metode yang digunakan saat ini. Pada awalnya, untuk hidrolisis digunakan
gluten gandum karena mengandung lebih dari 30 g glutamat dan glutamin dalam 100 g protein.
Tetapi seiring dengan meningkatnya produksi untuk memenuhi permintaan MSG yang terus
bertambah, dipelajarilah proses-proses produksi baru: sintesis kimia dan fermentasi. Industri
fiber poliakrilik dimulai di Jepang pada pertengahan 1950-an dan akrilonitrilkemudian diadopsi
sebagai bahan awal untuk menyintesis MSG. Saat ini, sebagian besar produksi MSG dunia
dilakukan dengan fermentasi bakteri dalam proses yang mirip dengan produksi anggur, cuka,
yoghurt, dan bahkan cokelat. Natrium (sodium) ditambahkan pada tahap netralisasi. Selama
fermentasi, bakteri terpilih (coryneform bacteria) yang dikultur dengan amonia dan karbohidrat
dari bit gula, tebu gula, tapioka, atau molase, mengeluarkan asam amino ke dalam kultur kaldu,
yang daripadanya L-glutamat kemudian diisolasi. Kyowa Hakko Kogyo Co Ltd mengembangkan
fermentasi industri yang pertama untuk memproduksi L-glutamat. Dewasa ini, tingkat hasil
konversi dan tingkat produksi dari gula menjadi glutamat terus meningkat dalam industri MSG,
hal ini memampukan industri untuk terus memenuhi permintaan MSG. Produk akhir setelah
filtrasi, konsentrasi, pengasaman, dan kristalisasi adalah glutamat murni, natrium, dan air.
Wujudnya adalah serbuk kristal berwarna putih dan tidak berbau yang dalam larutan terdisosiasi
menjadi glutamat dan natrium. Bahan ini sangat mudah larut dalam air, tetapi tidak bersifat
higroskopis dan praktis tidak larut dalam pelarut organik umum seperti eter. Secara umum,
MSG stabil dalam kondisi pemrosesan makanan biasa. Selama pemasakan, MSG tidak terurai,
tetapi seperti asam amino lainnya, perubahan menjadi kecokelatan atau reaksi Maillard akan
terjadi bila ada gula pada suhu yang sangat tinggi. MSG, merupakan garam natrium dari asam
glutamat yang merupakan salah satu asam amino non-esensial paling berlimpah yang terbentuk
secara alami. Garam natrium dari asam glutamate tersebutdiproses melalui proses fermentasi
yang menggunakan molasses dan tebu. Glutamat dalam MSG memberi rasa umami yang sama
seperti glutamat dari makanan lain. Keduanya secara kimia identik. Produsen makanan industri
memasarkan dan menggunakan MSG sebagai penguat cita rasa karena zat ini mampu
menyeimbangkan, menyatukan, dan menyempurnakan persepsi total rasa lainnya. Penyedap rasa
monosodium glutamat (MSG), Zat ini tidak berasa, tetapi jika sudah ditambahkan pada makanan
maka akan menghasilkan rasa yang sedap. MSG dapat digunakan untuk mengurangi asupan
garam (sodium), yang ikut menyebabkan timbulnya hipertensi, penyakit jantung, dan stroke.
Rasa makanan rendah-garam akan menjadi lebih baik dengan penambahan MSG, bahkan dengan
pengurangan garam hingga 30%. Kandungan sodium (dalam persen massa) dalam MSG adalah
sekitar 3 kali lebih rendah (12%) daripada dalam natrium klorida (39%). Penggunaan MSG yang
berlebihan telah menyebabkan Chinese restaurant syndrome yaitu suatu gangguan kesehatan di
mana kepala terasa pusing dan berdenyut. Mengkonsumsi MSG secara berlebihan dapat
menimbulkan Chinese Restaurant Syndrome (kesemutan pada punggung, leher, rahang bawah,
sesak nafas, dan kepala pusing). Percobaan pada anak tiku menunjukkan bahwa MSG dosis
tinggi menyebabkan menderita gangguan syaraf, kerusakan retina mata, dan pertumbuhan kerdil.
Bagi yang menyukai zat penyedap ini tak perlu khawatir dulu. Kecurigaan ini masih bersifat pro
dan kontra. Bagaimana sampai MSG bisa menimbulkan gejala di atas, masih dugaan sampai saat
ini. Tetapi diperkirakan penyebabnya adalah terjadinya defisiensi vitamin B6 karena
pembentukan alanin dari glutamat mengalami hambatan ketika diserap. Konon menyantap 2 12
gram MSG sekali makan sudah bisa menimbulkan gejala ini. Akibatnya memang tidak fatal betul
karena dalam 2 jam Cinese Restaurant Syndrome sudah hilang. Hasil penelitan Olney di St.
Louis. Tahun 1969 ia mengadakan penelitian pada tikus putih muda. Tikus-tikus ini diberikan
MSG sebanyak 0,5 4 mg per gram berat tubuhnya. Hasilnya tikus-tikus malang ini menderita
kerusakan jaringan otak. Namun penelitian selanjutnya menunjukkan pemberian MSG yang
dicampur dalam makanan tidak menunjukkan gejala kerusakan otak. Asam glutamat
meningkatkan transmisi signal dalam otak, gamma-asam aminobutrat menurunkannya. Oleh
karenanya, mengkonsumsi MSG berlebihan pada beberapa individu dapat merusak
kesetimbangan antara peningkatan dan penurunan transmisi signal dalam otak. MSG
menimbulkan kanker betul adanya kalau kita melihatnya dari sudut pandang berikut. Glutamat
dapat membentuk pirolisis akibat pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu lama. pirolisis
ini sangat karsinogenik. Padahal masakan protein lain yang tidak ditambah MSG pun, bisa juga
membentuk senyawa karsinogenik bila dipanaskan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang
lama. Karena asam amino penyusun protein, seperti triptopan, penilalanin, lisin, dan metionin
juga dapat mengalami pirolisis dari penelitian tadi jelas cara memasak amat berpengaruh. Rasa
enak yang ditimbulkan oleh MSG dianggap sebagai penyebab penggunaan MSG yang
berlebihan. Sama seperti pemakaian garam, pemakaian MSG memiliki dosis optimum yaitu 0.2-
0.8% dari volume makanan. Penggunaan MSG lebih tinggi dari dosis optimum ini dapat
mengurangi rasa enak makanan dimana kita umumnya tidak menginginkannya. Tentu saja pabrik
maupun penjaja makanan tidak akan pernah membuat makanannya tidak enak dengan
menambahkan MSG diluar batas karena ini sama artinya mereka membunuh usaha mereka
sendiri. MSG menyebabkan kerusakan otak didasarkan pada penelitian dimana mencit (bayi
tikus) diberikan MSG dosis sangat tinggi yaitu 0.5-4.0g/kg berat badan atau setara dengan 30-
240g pada manusia berberat badan 60kg. MSG dosis sangat tinggi ini disuntikan ke mencit. Kita
menikmati makanan yang ditambahkan MSG, misalnya bakso, dalam dosis rendah (0.2-0.8%
dari volume makanan) dan melalui saluran pencernaan, bukan dengan dosis dan cara yang tidak
wajar seperti pada penelitian tersebut. MSG disimpulkan menyebabkan kanker dari hasil
penelitian-penelitian pada tikus. Padahal pada penelitian-penelitian tersebut daging dan MSG
yang diberikan pada tikus dibakar pada temperatur sangat tinggi hingga 600 derajat celcius.
Makanan yang dimasak pada temperatur ekstrim tinggi ini dengan mudah berubah menjadi
arang. Kita umumnya tidak suka makan arang. Pada salah satu penelitian tersebut, tikus-tikus
menderita kanker pada usia mereka yang lanjut. Padahal pada manusia, prevalensi kanker jauh
lebih tinggi pada usia lanjut dari pada usia muda, sehingga usia tua adalah sangat nyata
hubungannya dengan kanker bukan MSG. jika MSG dipanaskan akan pecah menjadi 2 zat baru
yakni Glutamic Pyrolised -1 (Glu-P-1) dan Glu-P-2. Kedua zat ini bersifat mutagenik dan
karsinogenik. Seperti diketahui, secara epidemiologis 30 % penduduk dunia itu peka terhadap
keracunan garam dapur (natrium/sodium) dan menyebabkan tekanan darah tinggi (hipertensi).
Dan golongan penduduk dengan kelebihan berat badan (kekegemukan atau obes) maka risikonya
naik menjadi 50%. Hipertensi memang bukan penyakit pembunuh sejati, tetapi ia digolongkan
sebagai The Silent Killer (pembunuh diam diam). Penyakit ini gejalanya tidak nyata dan harus
diwaspadai serta perlu diobati sedini mungkin. Karena hipertensi yang kronis dan diabaikan
dapat secara tiba tiba membawa malapetaka seperti serangan jantung atau stroke. Hal lain juga
bisa menyebabkan lemah jantung, penyakit jantung koroner dan gangguan ginjal.



Dinatrium Guanilat struktur kimianya:

Nama IUPAC: dinatrium [(2R,3S,4R,5R)-5-(2-amino-6-okso-3H-purin-9-yl)-3,4-
dihidroksi-2-tetrahidrofuranil]metil fosfat.
Rumus kimianya: C10H12N5Na2O8P. Dinatrium guanilat, juga dikenal sebagai natrium 5'-
guanilat dan dinatrium 5'-guanilat. Dinatrium guanilat adalah garam dinatrium penyedap
rasaguanosin monofosfat (GMP) alami. Dinatrium guanilat adalah aditif makanan dengan Nomor
E E627. asam glutamat sudah tersedia dalam bahan makanan lain seperti kecap, tomat,keju dan
bahan lain yang memiliki kandungan asam glutamat yang tinggi. Dinatrium guanilat diproduksi
dari ikan atau rumput laut kering. Dinatrium guanilat tidak aman dikonsumsi untuk bayi berumur
di bawah 12 minggu, dan umumnya harus dihindari oleh penderita penyakit asma dan pirai,
karena guanilat dimetabolisme menjadi purin. Namun, jumlah tertentu dalam makanan pada
umumnya tidak cukup besar untuk menimbulkan efek samping yang signifikan.[2] Karena
biasanya diproduksi dari ikan,[2] para vegan and vegetarian kerap menghindarinya, kecuali bila
produk makanan diberi label secara khusus dapat dikonsumsi oleh vegan atau vegetarian.
Makanan dengan label demikian memerlukan penggunaan sumber bahan yang berasal dari non-
hewani seperti rumput laut atau ragi. Konsumsi inosinat dengan jumlah rata-rata 4 mg per hari,
tidak mengakibatkan inosinat menjadi zat karsinogenik, teratogenisitas, atau efek yang
merugikan pada reproduksi.
Kecap : Asam benzoat, natrium benzoat dan kalium benzoat, untuk minuman ringan,
kecap, acar ketimun dalam botol dan caos. Tingginya kadar gula dan viskositas yang tinggi pada
kecap manis ini disebabkan adanya penambahan gula dalam proses pembuatannya. Komponen
terbesar kecap manis adalah karbohidrat, terutama sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Kecap manis
memiliki kandungan asam amino cukup tinggi, karena kecap manis terbuat dari kacang kedelai
yang memiliki kandungan protein yang tinggi (Santoso, 1994). Asam amino bebas dalam kecap
terbanyak adalah asam glutamat. Senyawa organik dalam kecap tidak hanya berasal dari
kedelai, tetapi juga berasal dari gula merah yang digunakan. Kecap manis mengandung gula
yang tinggi akibat adanya penambahan gula pada saat pembuatannya. Senyawa organik tersebut
adalah sitrat, tartarat, suksinat, laktat, format, piroglutamat, propionat, dan butirat. kecap yang
bermutu tinggi berkadar garam 18%, gula minimal 40% dan pH-nya berkisar antara 4,7-4,8.
Kecap mengandung energi sebesar 46 kilokalori, protein 5,7 gram, karbohidrat 9 gram, lemak
1,3 gram, kalsium 123 miligram, fosfor 96 miligram, dan zat besi 6 miligram. Selain itu di
dalam Kecap juga terkandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1 0 miligram dan vitamin C 0
miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram Kecap, dengan
jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 %. Kecap yang berbahan baku kedelai hitam. Survei
Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPB-LIPI) pada tahun 1998
mengungkapkan 35 persen kecap di Pulau Jawa mengandung zat aflatoksin. Toksisitas aflatoksin
dapat mengakibatkan kanker, penghambatan imunitas, dan berbagai gangguan gizi. Oleh karena
itu, risk assessment pada produk kecap perlu dilakukan untuk menjadi dasar dalam
penetapanfood standard pada peraturan perundangan pangan Indonesia. Bahaya aflatoksin terdiri
dari akut dan subkronik letal; Bahaya akut meliputi sirosis hati dan kematian, sedangkan bahaya
subkronik letal meliputi kanker, peningkatan toksisitas pada HBV positif, penghambatan
imunitas, dan berbagai gangguan gizi. Respon dosis aflatoksin antara lain: bahaya akut terjadi
apabila terpapar aflatoksin dosis tinggi (minimal 1 ppm); bahaya kronik kanker terjadi apabila
terpapar aflatoksin dengan dosis berapa pun; peningkatan toksisitas pada HBV positif tidak
diketahui dosis spesifiknya; penghambatan imunitas dan berbagai gangguan gizi pada manusia
terjadi apabila paparan aflatoksin dengan dosis rendah (minimal 0,2 ppm). Paparan pada tubuh
akibat mengkonsumsi kecap produksi nasional adalah < 0,2 ppm. Risiko toksisitas akut
konsumen kecap produksi nasional adalah rendah, sedangkan risiko subkronik letalnya adalah
sedang. Penderita HBV dan HCV dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi kecap. Konsumsi rata-
rata dalam sehari penduduk Indonesia adalah 20 ml kecap (BPS, 2005). Kandungan aflatoksin
pada seluruh sampel adalah <1,509 ppb. Batas deteksi aflatoksin B1 = 1,509 ppb.

Anda mungkin juga menyukai