Anda di halaman 1dari 127

BUKU AJAR

KIMIA FISIKA 2

TIM DOSEN KIMIA FISIKA


Nama
NIP

Oleh :
: Ir. Sri Wahyuni, M.Si
: 131931626

Universitas Negeri Semarang


2003

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahaesa, karena berkat bimbingan,
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan buku paparan kuliah Kimia Fisika II.
Dasar penulisan buku paparan perkuliahan Kimia Fisika II ini adalah surat tugas Rektor
Universitas Negeri Semarang nomor 3095/J40/PP/2003 dan dibiayai oleh Pimpinan Proyek
Peningkatan Universitas Negeri Semarang dengan kontrak tanggal 12 September 2003 dengan
nomor 411/J40.19/KU/2003.
Sasaran yang dituju untuk menggunakan buku paparan kuliah Kimia Kimia II ini adalah
mahasiswa kimia dan mahasiswa pendidikan kimia semester IV FMIPA Universitas Negeri
Semarang.
Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Rektor UNNES yang telah menugaskan kami untuk menulis buku paparan kuliah
Kimia Fisika II ini.
2. Bapak Pimpinan Proyek Peningkatan UNNES yang telah sudi membiayai penulisan
buku paparan kuliah ini.
3. Bapak Drs. Kasmui, M.Si yang telah membantu menyelesaikan penulisan buku paparan
kuliah ini.
Tiada gading yang tak retak, oleh sebab itu kami selalu menerima saran dan kritik untuk
menyempurnakan tulisan buku paparan kuliah ini. Semoga buku paparan kuliah ini dapat
bermanfaat untuk pengembangan kimia fisika.
Semarang,

November 2003

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
I

KESPONTANAN DAN KESETIMBANGAN .

1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
1.8

Kondisi Umum Kesetimbangan dan Kespontanan


Kondisi Kesetimbangan dan Kespontanan dalam Batasan .
Persamaan Fundamental Termodinamika .
Persamaan Keadaan Termodinamika ..
Sifat-sifat A .
Sifat-sifat G .
Energi Gibbs Gas Real.
Ketergantungan Temperatur Energi Gibbs ..
Soal-soal ..

1
1
2
3
5
6
7
8

II

SISTEM KOMPOSISI VARIABEL ..

10

2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
2.1
0

Persamaan Fundamental
Energi Bebas Campuran
Potensial Kimia Gas Ideal Murni
Potensial Kimia Campuran Gas Ideal
Kesetimbangan Kimia dalam Campuran
Kesetimbangan Kimia dalam Campuran gas ideal ..
Kesetimbangan Kimia dalam Campuran Gas Nyata.
Konstanta Kesetimbangan, Kx dan Kc
Ketergantungan Konstanta Kesetimbangan pada Temperatur .
Kesetimbangan antara Gas Ideal dan Fase Terkondensasi Murni

10
11
11
11
12
12
13
13
14
15

Soal-soal
III

KESETIMBANGAN FASE DALAM SISTEM SEDERHANA

17

3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8

Kondisi Kesetimbangan
Kestabilan Fase Zat Murni
Ketergantungan Tekanan dari Kurva terhadap T ..
Persamaan Clapeyron
Diagram Fase
Integrasi Persamaan Clapeyron
Efek Tekanan pada Tekanan Uap
Aturan Fase
Soal-soal

17
17
18
19
22
23
25
25

IV

LARUTAN IDEAL DAN SIFAT KOLIGATIF

27

4.1
4.2
4.3
4.4

Jenis-jenis Larutan
Definisi Larutan Ideal
Bentuk Analitik Potensial Kimia dalam Larutan Cair Ideal
Potensial Kimia Zat Terlarut dalam Larutan Ideal Biner

27
27
28
29
3

4.5
4.6
4.7
4.8
4.9

Sifat-sifat Koligatif
Penurunan Titik Beku
Kelarutan
Kenaikan Titik Didih
Tekanan Osmotik
Soal-soal

29
30
32
32
33

LARUTAN ENCER IDEAL

36

5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7

Karakteristik Umum Larutan Ideal


Potensial Kimia dalam Larutan Ideal
Larutan Biner
Azeotrop
Potensial Kimia Dalam Larutan Encer Ideal
Hukum Henry dan Kelarutan Gas
Distribusi Suatu Zat Terlarut antara Dua Pelarut
Soal-soal

36
36
37
38
39
40
41

VI

KESETIMBANGAN DIANTARA FASE TERKONDENSASI

43

6.1
6.2
6.3
6.4
6.5
6.6
6.7
6.8
6.9
6.1
0
6.1
1
6.1
2

Kesetimbangan Cair-Cair
Distilasi Cairan dapat Campur Sebagian dan Tidak dapat Campur
Kesetimbangan Padat-Cair, Diagram Eutektik Sederhana ..
Diagram Titik Beku dengan Pembentukan Senyawa
Senyawa yang Memiliki Titik Leleh tidak Sebangun
Kemampuan Bercampur dalam Keadaan Padat.
Kenaikan Titik Beku
Sistem Tiga Komponen
Kesetimbangan CairCair.
Kelarutan Garam;Efek Ion Sejenis ..

43
45
47
49
49
50
51
52
53
53

Pembentukan Garam Rangkap

54

Salting Out .

55

Soal-soal

56

VII

KESETIMBANGAN SISTEM NONIDEAL ..

57

7.1
7.2
7.3
7.4
7.5
7.6
7.7
7.8

Konsep Aktivitas
Sistem Rasional Aktivitas
Sifat-sifat Koligatif
Sistem Praktis
Aktivitas dan Kesetimbangan Reaksi
Aktivitas dalam Larutan Elektrolit
Teori Debye-Huckel Struktur Larutan Ionik Encer
Kesetimbangan dalam Larutan Ionik
Soal-soal

57
57
59
60
63
64
68
75
77

VIII KESETIMBANGAN SEL ELEKTROKIMIA ..

79

8.1
8.2
8.3
8.4
8.5
8.6
8.7
8.8
8.9
8.1
0
8.1
1
8.1
2
8.1
3
8.1
4
8.1
5
8.1
6
8.1
7
8.1
8
8.1
9
8.2
0
8.2
1

Pendahuluan .
Definisi ..
Potensial Kimia Spesies Bermuatan ..
Diagram Sel
Sel Daniel ..
Energi Gibbs dan Potensial Sel ..
Persamaan Nernst ..
Elektroda Hidrogen
Potensial Elektroda .
Ketergantungan Temperatur Potensial Sel .

79
79
80
82
83
84
85
85
87
90

Macammacam Elektroda .

91

Konstanta Kesetimbangan Potensial Setengah-Sel Standar

92

Makna Potensial Setengah-Sel

94

Pengukuran Potensial Sel

96

Reversibilitas ..

96

Penentuan o Setengah-Sel .

97

Penentuan Aktivitas dan Koefisien Aktivitas Potensial Sel .

98

Sel Konsentrasi .

98

Proses Elektrokimia Teknik

101

Sel Elektrokimia sebagai Sumber Daya .

102

Dua Sumber Energi Praktis

104

Soal-soal .

106

IX

FENOMENA PERMUKAAN

108

9.1
9.2
9.3
9.4
9.5
9.6
9.7
9.8
9.9
9.1
0

Energi Permukaan dan Tegangan Permukaan


Ukuran Tegangan Permukaan
Pengukuran Tegangan Permukaan
Termodinamika permukaan..
Kenaikan dan Penurunan Kapiler
Antarfase Cair-Cair dan Padat-Cair
Tegangan Permukaan dan Adsorpsi
Adsorpsi pada Padatan
Adsorpsi Fisik dan Kemisorpsi
Isoterm Brunauer, Emmet, dan Teller (BET)

108
109
110
110
112
112
114
116
117
118

9.1
1
9.1
2

Koloid ..

118

Zat aktif permukaan .

121

Soal-soal ..

122

DAFTAR PUSTAKA ...

123

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Gambar 3.7
Gambar 3.8
Gambar 3.9
Gambar 3.10
Gambar 3.11
Gambar 3.12
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 6.1
Gambar 6.2
Gambar 6.3
Gambar 6.4
Gambar 6.5
Gambar 6.6
Gambar 6.7
Gambar 6.8
Gambar 6.9
Gambar 6.10
Gambar 6.11
Gambar 6.12
Gambar 6.13
Gambar 6.14
Gambar 6.17
Gambar 6.18
Gambar 6.19
Gambar 6.20
Gambar 7.1
Gambar 7.2
Gambar 7.3
Gambar 7.4
Gambar 7.5
Gambar 8.1
Gambar 8.2

Energi Gibbs gas Ideal sebagai fungsi tekanan


versus T pada tekanan tetap.
versus T pada tekanan tetap.
Efek tekanan pada titik didih dan leleh..
versus T zat yang menyublim..
Garis kesetimbangan (a) padatcair, (b) cairuap..
Diagram fase untuk zat sederhana..
Diagram fase karbondioksida
Diagram Fase Air
Diagram Fase Air pada Tekanan Tinggi
Log p / mmHg versus 1/T untuk air.. .
Log p / mmHg versus 1/T untuk ai.
Tekananuap..
Tekanan uap sebagai fungsi x2
Hukum Raoult untuk pelarut
Sifat Koligatif
(ii0)versus xi ..
Tekanan uap sebagai fungsi komposisi.
Diagram tx dengan titik maksimum. ..
Diagram tx dengan titik minimum...
Potensial kimia dalam larutan nonideal.
Diagram tx phenol air.
Diagram titik konsolut ..
Distilasi parsial cairan tidak larut..
Cairan tidak larut dalam kesetimbangan dengan uap.
Kesetimbangan padatcair dalam sistem dua komponen...
Sistem Antimonilead..
Pembentukan senyawa
Titik beku dalam sistem H2OFe2Cl6.
Senyawa dengan titik didih tidak sebangun..
Senyawa dengan titik didih tidak sebangun..
Sistem CuNi... ..
Diagram segitiga.....
Sifat diagram segitiga..
Dua zat cair larut sebagian ..
Diagram NH4ClH2O(NH4)2SO4..
Senyawa jenuh sebangaun dan tidak sebangun.
Sistem K2CO3H2OCH3OH...
Aktivitas versus fraksi mol
Koefisien aktivitas versus fraksi mol
Koefisien aktivitas ionik ratarata sebagai fungsi m1/2 ..
Log versus Ic1/2
Plot fungsi f (r) terhadap r .
Sel Daniel
Elektroda Hidrogen

7
18
18
19
19
21
22
23
23
23
24
24
25
28
28
30
37
38
39
39
43
44
45
46
46
47
48
49
49
50
50
50
52
52
53
54
55
55
59
59
68
74
75
83
86
7

Gambar 8.3
Gambar 8.4
Gambar 8.5
Gambar 8.6
Gambar 8.7
Gambar 8.8
Gambar 8.9
Gambar 9.1
Gambar 9.2
Gambar 9.3
Gambar 9.4
Gambar 9.5
Gambar 9.6
Gambar 9.7
Gambar 9.8
Gambar 9.9
Gambar 9.10
Gambar 9.11
Gambar 9.12
Gambar 9.13
Gambar 9.14

Elektroda FeriFero 92
Sirkuit Potensiometer .
96
Ketergantungan ideal E pada m ..
97
Sel konsentrasi
99
Sel konsentrasi tanpa pemindahan . 100
Sirkuit terbuka potensial sel ..
103
Skema sel bahan bakar O2H2 105
Lapis tipis cairan 108
Alat DuNouy .
110
Pengukuran tegangan permukaan metode tetes . 110
Perpindahan antar muka
111
Tekanan di bawah surface datar dan lengkung .
112
Contact Angle ..
112
Tegangan antarmuka
113
Penyebaran cairan di atas padatan
114
Konsentrasi sebagai fungsi posisi .
115
Langmuir Isotherm
116
Multilayer adsorpsion 117
Lapisan rangkap pada dua partikel ..
120
Energi interaksi partikel koloid .
120
Diagram skematik misel
121

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 6.1
Tabel 6.2
Tabel 6.3
Tabel 7.1
Tabel 8.1
Tabel 8.2
Tabel 8.3
Tabel 9.1
Tabel 9.2

Aturan fase .
Jenis larutan
Temperatur Eutektik beberapa senyawa
Sistem varian .
Sistem tiga komponen
Koefisien aktivitas ionik ratarata elektrolit kuat ..
Potensial elektroda standar.
Potensial setengah sel golongan Ag ..
Sifat termodinamika reaksi sel bahan bakar yang mungkin ..
Tegangan permukaan cairan pada 20 oC
Tegangan antarmuka .

26
27
49
54
55
68
88
95
105
109
113

BAB I
KESPONTANAN DAN KESETIMBANGAN
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1.
memahami kondisi umum kesetimbangan dan kespontanan dalam termodinamika
2.
menggunakan fungsi termodinamika untuk menghitung energi Gibbs gas ideal dan gas
nyata
3.
menurunkan formulasi ketergantungan energi Gibbs pada temperatur
1.1 Kondisi Umum Kesetimbangan dan Kespontanan
Tujuan kita sekarang adalah mencari perbedaan karakteristik transformasi irreveresibel
dengan reversibel (ideal). Dimulai dengan melihat hubungan yang eksis antara perubahan entropi
dalam suatu transformasi dan aliran panas irreversibel, sistem hanya menyimpang sangat kecil
dari kesetimbangan. Sistem yang telah ditransformasi, masih tersisa secara efektif pada
kesetimbangan melalui perubahan keadaan reversibel. Karena itu kondisi reversibel adalah suatu
kondisi kesetimbangan; dari definisi persamaan dS, kondisi reversibel adalah
TdS = dQrev
(1.1)
Karena itu persamaan (1.1) adalah kondisi kesetimbangan.
Kondisi yang terletak pada suatu perubahan keadaan kesetimbangan adalah
ketidaksamaan Clausius, yang ditulis dalam bentuk
TdS >dQ
(1.2)
Perubahan irreversibel adalah perubahan nyata atau perubahan alamiah atau perubahan spontan.
Kita menghubungkan perubahan alamiah sebagai perubahan spontan, dan ketidaksamaan (1.2)
sebagai kondisi kespontanan. Dua hubungan persamaan (1.1) dan (1.2) dapat dikombinasikan
menjadi
TdS dQ
(1.3)
Dimana tanda samadengan menyatakan suatu harga reversibel dQ.
Dengan menggunakan hukum pertama termodinamika dalam bentuk dQ = dU + d W,
hubungan dalam (1.3) dapat ditulis
TdS dU + dW
atau
dU dW + TdS 0
(1.4)
Kerja memasukkan semua jenis; dW =PopdV + d Wa. Harga dW ini membawa hubungan (1.4)
menjadi
dU PopdV dWa + TdS 0
(1.5)
Kedua hubungan (1.4) dan (1.5) menyatakan kondisi kesetimbangan (=) dan kespontanan (>)
untuk suatu transformasi yang berkaitan dengan perubahan sifat sistem dU, dV, dS dan jumlah
kerja dW atau dWa.
1.2 Kondisi Kesetimbangan dan Kespontanan dalam Batasan
1.2.1 Transformasi dalam sistem terisolasi
Untuk sistem terisolasi, dU = 0, dW = 0, dQ = 0; jadi hubungan (1.4) menjadi
dS 0
(1.6)
Dari hubungan (1.6) sistem terisolasi pada kesetimbangan harus memiliki temperatur yang sama
dalam semua bagian. Diasumsikan sistem terisolasi dibagi menjadi 2 bagian, dan . Jika
jumlah positif panas, dQrev, berlangsung reversibel dari bagian ke , diperoleh
dQ rev
dQ rev
dS =
dan dS =
T
T
Perubahan total entropi adalah
10

1
1
dS = dS + dS = T T dQ rev

Jika aliran panas terjadi spontan, maka dengan hubungan (1.6) dS > 0. Karena dQrev positif, yang
berarti
1
1

T T > 0 atau T >T

yang berarti panas mengalir secara spontan dari daerah temperatur lebih tinggi, , ke temperatur
lebih rendah, . Lebih jauh pada kesetimbangan dS = 0, memerlukan
T =T
Ini adalah kondisi kesetimbangan termal; suatu sistem dalam kesetimbangan harus memiliki
temperatur yang sama dalam keseluruhan bagian.
1.2.2 Transformasi pada Temperatur Konstan
Jika suatu sistem berlaku perubahan isotermal, maka TdS = d(TS), dan hubungan (1.4)
dapat ditulis
dU + d(TS) dW ,
d(UTS) dW
(1.7)
Kombinasi variabel UTS sering muncul, karena itu diberi simbol khusus, A, jadi
A UTS
(1.8)
A adalah fungsi keadaan sistem yang disebut sebagai energi Helmholts. Dimana
dA dW
(1.9)
dengan integrasi
A W
(1.10)
1.2.3 Transformasi pada Temperatur dan Tekanan konstan
Sistem dibatasi pada tekanan konstan , Pop = p, tekanan kesetimbangan sistem. Karena p
konstan , pdV = d(pV). Temperatur konstan sehingga TdS = d(TS). Hubungan (1.5) menjadi
[dU + d (pV)d(TS)] dWa,
d(U + pVTS) dWa,
(1.11)
Kombinasi variabel U + pV TS sering muncul, karena itu diberi simbol G. Dengan definisi
G U + pV TS = H TS = A + pV
(1.12)
G disebut energi Gibbs sistem, biasa disebut energi bebas sistem.
Dengan menggunakan persamaan (1.12), hubungan (1.11) menjadi
dG dWa
(1.13)
dengan integrasi diperoleh
G Wa
(1.14)
Ada 3 kemungkinan harga G :
1. G < 0; transformasi dapat terjadi secara spontan, atau alamiah
2. G = 0; sistem dalam kesetimbangan
3. G > 0; transformasi tidak spontan
1.3 Persamaan Fundamental Termodinamika
Sebagai tambahan sifat mekanik p dan V, suatu sistem memiliki tiga sifat fundamental T,
U, dan S, didefinisikan oleh hukum termodinamika, dan tiga sifat gabungan yaitu H, A dan G.
Pada batasan kerja ekspansi, dimana dWa = 0, kondisi umum kesetimbangan
dU = TdS pdV
(1.15)
Kombinasi hukum termodinamika pertama dan kedua ini adalah persamaan fundamental
termodinamika. Dengan menggunakan definisi fungsi gabungan
H = U + pV, A = U TS, G = U + pV TS
11

Hasil diferensiasinya
dH= dU + pdV + Vdp,
dA= dU TdS SdT,
dG= dU + pdV + Vdp TdS SdT
Jika persamaan untuk dU dimasukkan maka diperoleh persamaan
dU = TdS pdV
dH= TdS + Vdp,
dA= pdV SdT,
dG= dU + pdV + Vdp TdS SdT
Empat persamaan ini sering disebut empat persamaan termodinamika fundamental.

(1.16)
(1.17)
(1.18)
(1.19)

1.4 Persamaan Keadaan Termodinamika


Persamaan keadaan yang dibahas sejauh ini, hukum gas ideal, persamaan vander Walls,
dan yang lain, adalah hubungan antara p, V dan T, diperoleh dari data empiris pada perilaku gas
atau dari spekulasi tentang efek ukuran molekular dan gaya tarik pada perilaku gas. Persamaan
keadaan untuk suatu cairan atau padat hanya dinyatakan dalam kaitan dengan sifat dapat
dimampatkan dan koefisien muai termal yang secara eksperimen ditentukan. Persamaan ini
berlaku untuk sistem pada keseimbangan, tetapi ada suatu syarat keseimbangan yang lebih
umum. Hukum termodinamika yang kedua memerlukan hubungan
dU = TdS pdV
sebagai suatu kondisi kesetimbangan. Dari persamaan ini kita harus bisa memperoleh suatu
persamaan keadaan untuk manapun sistem. Misalkan perubahan dalam U, S dan V persamaan
(1.16) diubah pada T konstan
(U)T = T(S)T pdV
pembagian dengan (V)T, didapat

( U
V )

=T

S
( V
)

(1.20)

di mana, dari penulisan derivative, U dan S dianggap sebagai fungsi T dan V. Oleh karena itu
derivative parsial persamaan (1.20) adalah fungsi T dan V. Persamaan ini menghubungkan
tekanan itu]untuk fungsi T dan V; adalah suatu persamaan keadaan. Dengan menggunakan
hargaharga persamaan termodinamika dan penyusunan kembali, persamaan (1.20) menjadi
p
U
p=T

(1.21)
T v
V T
yang barangkali suatu format lebih rapi untuk persamaan.
Dengan pembatasan persamaan dasar yang kedua, persamaan (1.20), ke temperatur tetap
dan pembagian oleh(p)T diperoleh
H
S
=T
+V
(1.22)
p T
p T
Dengan menggunakan persamaan (1.26) dan susun kembali persamaan ini menjadi
V
H
V=
+
(1.23)
T p
p T
Merupakan suatu persamaan keadaan umum yang menyatakan volume itu sebagai fungsi
temperatur dan tekanan. Persamaan keadaan termodinamika ini dapat digunakan untuk unsur
apapun juga.

( ) ( )

( )

( )

( ) ( )

12

1.4.1 Applikasi persamaan keadaan termodinamika


U
H
Jika diketahui lebih dulu harga
atau
untuk suatu zat, maka persamaan
V T
p T
keadaannya dapat cepat diketahui dari persamaan (1.21) atau (1.23). Biasanya kita tidak
mengetahui nilai-nilai dari derivative ini, maka kita menyusun persamaan (1.21) dalam format
U
p
=T
p
(1.24)
V T
T v
Dari persamaan keadaan empirik, sisi kanan persamaan (1.24) dapat dievaluasi untuk
U
menghasilkan harga derivativ
. Sebagai contoh, untuk gas ideal, p = nRT/V, sehingga
V T
p
U
= nR/V. Dengan menggunakan harga ini dalam persamaan (1.24), diperoleh
=
T v
V T
nRT/V p = pp= 0
p
Karena itu,
= / , persamaan (1.24) sering ditulis dalam bentuk
T v
U

. T . p
=T
p=
(1.25)

V T
dan persamaan (1.23) dalam bentuk
H
= V (1- T)
(1.26)
p T
Sekarang mungkin, menggunakan persamaan (1.25) dan (1.26) untuk menulis diferensial total
dari U dan H dalam suatu bentuk yang hanya mengandung besaran yang mudah diukur:
. T . p
dU = Cv dT +
dV
(1.27)

dH = CpdT + V (1- T) dp
(1.28)
Dengan menggunakan persamaan (1.26), dapat diperoleh ungkapan sederhana untuk Cp
Cv.
U
Cp Cv = p+
V
V T
U
Dengan menggunakan harga
dari persamaan (1.32) diperoleh
V T
TV 2
Cp Cv =
(1.29)

Yang membolehkan evaluasi Cp Cv dari besaran yang terukur untuk zat apapun. Karena T, V,
dan 2 harus semuanya positif, maka Cp selalu lebih besar daripada Cv.
Untuk koefisien JouleThomson,
H
Cp JT =
p T
Dengan menggunakan persamaan (1.26) diperoleh untuk JT
Cp JT = V( T 1)
(1.30)
Jadi jika diketahui harga Cp, V,dan untuk suatu gas, maka JT dapat dihitung

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

[ ( )]

( )

( )

1.5 Sifat A
Sifat energi Helmholts A diungkapkan dengan persamaan fundamental (1.18)
dA = SdT pdV
Persamaan ini memandang A sebagai suatu fungsi terhadap T dan V, diperoleh persamaan identik
13

dA =

( TA ) dT + ( VA )
v

dV

Dengan membandingkan dua persamaan ini didapat


A
=-S
(1.31)
T v
A
=-p
(1.32)
V T
Karena entropi suatu zat berharga positif, persamaan (1.31) menunjukkan bahwa energi
Helmholtz suatu zat berkurang (tanda minus) dengan bertambahnya temperatur. Laju
berkurangnya lebih besar dari daripada besarnya entropi zat. Untuk gas, yang memiliki entropi
besar, laju berkurangnya A terhadap temperatur lebih besar daripada untuk zat cair dan padatan,
yang memiliki entropi kecil.
Demikian pula, tanda minus dalam persamaan (1.32) menunjukkan bahwa dengan
bertambahnya volume akan mengurangi energi Helmholtz; laju pengurangannya adalah lebih
besar daripada tekanan yang lebih tinggi.

( )
( )

1.5.1 Kondisi kesetimbangan mekanik


Perhatikan suatu sistem pada temperatur dan volume total konstan yang dibagi menjadi 2
bagian daerah dan . Andaikan daerah mengembang reversibel dengan suatu jumlah, dV ,
sedangkan daerah mengkerut dengan sejumlah yang sama, dV = dV , karena volume total
harus konstan. Maka dengan persamaan (1.39) diperoleh
dA = p dV dan dA = p dV
perubahan total A adalah
dA = dA + dA = p dV p dV = (p p ) dV
karena tidak ada kerja yang dihasilkan, dW = 0, persamaan (1.9) menuntut dA < 0 jika
transformasi spontan. Karena dV positif berarti p > p . Daerah tekanan tinggi mengembang ke
daerah tekanan rendah. Persyaratan kesetimbangan dA = 0 yaitu
p = p
Ini adalah kondisi kesetimbangan mekanik, yaitu tekanan memiliki harga sama dalam seluruh
bagian sistem.
1.6 Sifat G
Persamaan fundamental (1.19)

dG = SdT + Vdp
memandang energi Gibbs sebagai suatu fungsi temperatur dan tekanan; ungkapan yang sama
G
G
dG =
dT +
dp
(1.33)
T p
p T
dengan membandingkan dua persamaan ini diperoleh
G
=S
(1.34)
T p
dan
G
=V
(1.35)
p T
karena pentingnya energi Gibbs persamaan (1.34) dan (1.35) mengandung 2 hal penting dalam
termodinamika. Karena entropi suatu zat positif, tanda minus dalam persamaan (1.34)
menunjukkan bahwa meningkatnya temperatur akan mengurangi energi Gibbs jika tekanan
konstan. Laju berkurangnya lebih besar untuk gas, yang mana memiliki entropi besar, daripada
untuk cairan atau padatan, yang memiliki entropi kecil. Karena V selalu positif, peningkatan

( )

( )

( )

( )

14

tekanan akan meningkatkan energi Gibbs pd temperatur konstan, seperti ditunjukkan oleh
persamaan (1.35). Semakin membesar Volume sistem yang lebih besar akan meningkatkan
energi gibbs untuk tekanan yang ditentukan. Volume [yang] besar suatu gas menyiratkan bahwa
energi Gibbs suatu gas meningkat jauh lebih cepat dengan tekanan dibanding untuk suatu cairan
atau suatu padatan.
Energi Gibbs suatu material murni sebaiknya diungkapkan dengan mengintegrasikan
persamaan (1.35) pada temperatur konstan dari tekanan standar, po = 1 atm, ke suatu tekanan p :
p

dG =

Vdp , G G o =

G = G o(T) +
o

Vdp ,

Vdp

(1.36)

Dimana G (T) adalah energi Gibbs suatu zat pada tekanan 1 atm Energi Gibbs standar yang
merupakan fungsi temperatur.
Jika zat adalah cairan atau padatan, volume hampir tidak terikat pada tekanan dan dapat
dihilangkan dari tanda integral, maka
G(T,p)= G o(T) + V (p po) (cairan dan padatan)
(1.37)
Karena volume cairan dan padatan kecil, kecuali jika tekanan adalah sangat besar, term
yang kedua pada sisi kanan persamaan (1.36) kecil dapat diabaikan; biasanya untuk fase yang
dipadatkan akan ditulis
G = G o(T)
(1.38)
dan mengabaikan ketergantungan G dari tekanan.
Volume gas itu sangat besar dibanding cairan atau padatan dan sangat tergantung pada
tekanan, dengan menerapkan persamaan (1.36) untuk gas ideal, didapat
o
p nRT
p . atm
dp , G = G (T ) + RT ln
G = G o(T) + p o
p
1 . atm
n
n
Suatu hal biasa untuk menggunakan lambang khusus, , untuk energi Gibbs per mol;
didefinisikan
G
=
(1.39)
n
Jadi untuk energi Gibbs molar gas ideal, diperoleh
= o (T) + RT ln p
(1.40)
simbol p dalam persamaan (1.40) menunjukkan jumlah murni, jumlah yang kemudian dikalikan
dengan 1 atm menghasilkan harga tekanan dalam atmosfir.
Istilah logaritmis dalam persamaan (1.40) adalah sangat besar dalam kebanyakan keadaan
dan tidak bisa diabaikan. Dari persamaan ini jelas bahw pada temperatur spesifik, tekanan
menggambarkan energi Gibbs gas ideal; semakin tinggi tekanan maka semakin besar energi
Gibbs (gambar 1.1).
Suatu hal berharga untuk ditekankan bahwa jika kita mengetahui format yang fungsional
dari G(T,p), maka dapat diperoleh keseluruhan fungsi termodinamika dengan diferensiasi,
menggunakan persamaan (1.34) dan (1.35), dan mengkombinasikan dengan definisi
o

15

Gambar 1.1 Energi Gibbs gas ideal sebagai fungsi tekanan


1.7 Energi Gibbs Gas Real
Bentuk fungsional persamaan (1.40) terutama sekali sesuai dan sederhana. Akan
sangat berguna jika energi Gibbs molar gas real dapat diungkapkan dalam bentuk matematika
yang sama. Sehingga ditemukan suatu fungsi keadaan yang akan mengungkapkan energi Gibbs
molar gas real dengan persamaan
= o (T) + RT ln f
(1.41)
Fungsi f disebut fugasitas gas. Fugasitas mengukur energi Gibbs gas nyata dengan jalan yang
sama sebagaimana tekanan mengukur energi Gibbs gas ideal
Suatu fungsi yang ditemukan seperti fugasitas memiliki sedikit kegunaan kecuali jika
dapat dihubungkan dengan sifat terukur gas. Pembagian persamaan dasar (1.19) dengan n, yaitu
jumlah mol gas, dan dibatasi temperatur konstan, dT = 0, diperoleh untuk gas nyata d = Vdp ,
sedangkan untuk gas ideal d id = Vid dp , dimana V dan Vid adalah volume molar gas real dan
ideal. Dengan pengurangan dua persamaan ini, diperoleh d( id) = (V Vid)dp.
Dengan integrasi antara batas p* dan p menghasilkan
d( id) ( * * id) =

p ( V V id )dp

Diasumsikan p 0. Sifat suatu gas real mendekati harga idealnya selagi tekanan gas mendekati
nol. Karena itu selagi p* 0, maka * * id. Persamaan menjadi
*

( * * id) =

p (V V id ) dp
o

(1.42)

tetapi dengan persamaan (1.40), = (T) + RT ln p, dan dengan definisi f, persamaan (1.41),
= o (T) + RT ln f. Dengan menggunakan harga ini untuk dan id, persamaan (1.42) menjadi
id

RT (ln f ln p) = p o (V V id ) dp
p
1
Ln f = ln p +
( V V id ) dp
(1.43)

po
RT
Integral dalam persamaan (1.43) dapat dievaluasi secara grafik; dengan mengetahui V
sebagai suatu fungsi tekanan, maka ploting besaran (V Vid)/RT sebagai suatu fungsi tekanan.
Daerah di bawah kurva dari p = 0 sampai p adalah harga kedua sisi kanan persamaan (1.43).
Atau jika V dapat diekspresikan sebagai suatu fungsi tekanan dengan suatu persamaan keadaan,
integral dapat dievaluasi secara analitik, karena Vid = RT/p. Integral dapat diekspresikan dengan
baik dalam ungkapan faktor kompresibilitas Z, dengan definisi V = ZVid. Dengan menggunakan
harga ini untuk V dan Vid = RT/p, dalam integral persamaan (1.43), maka menjadi
p ( Z 1 )
dp
Ln f = ln p + p o
(1.44)
p
Integral dalam persamaan (1.44) dievaluasi secara grafik dengan ploting (Z1)/p terhadap p dan
mengukur daerah di bawah kurva. Untuk gas di bawah temperatur Boyle, Z1 adalah negatif
16

pada tekanan cukupan, dan fugasitas, persamaan (1.44) akan lebih kecil dibanding tekanan.
Untuk gas di atas temperatur Boyle, fugasitas adalah lebih besar dibanding tekanan.
1.8 Ketergantungan Energi Gibbs pada Temperatur
Ketergantungan energi Gibbs pada temperatur diekspresikan dalam beberapa cara yang
berbeda. Dengan menulis kembali persamaan (1.34) didapat
G
=S
(1.45)
T p
Dari definisi G = H TS, diperoleh S = (GH)/T, dan persamaan (1.38) menjadi
G
G H
=
(1.46)
T
T p
Dengan aturan diferensiasi biasa, dapat dilihat bagaimana fungsi G/T tergantung pada
temperatur
1
1 G
(G /T )
=
2 G
T T p
T
T
p
Menggunakan persamaan (1.45) persamaan ini menjadi
TS+G
(G /T )
=
T
T2
p
kemudian
H
(G /T )
= 2
(1.47)
T
T
p
Suatu persamaan GibbsHelmholtz, persamaan yang sering digunakan.
Karena d(1/T) = (1/T2) dT , maka kita dapat menggantikan T dalam derivativ
persamaan (1.47) dengan T2 (1/T); sehingga diperoleh
(G /T )
=H
(1.48)
(1/T ) p
SOALSOAL:
1.
Terangkan makna istilah spontaneous dalam termodinamika
2.
Pada 25o C hitung harga A untuk ekspansi isotermal satu mol gas ideal dari 10 liter
menjadi 40 liter !
3.
Dengan diferensial eksak:
U
dU =C v dT +
dV ,
V T
tunjukkan bahwa jika (U/V)T adalah hanya fungsi volume, maka Cv adalah hanya fungsi
temperatur
4. Diketahui bahwa dS= (Cp/T)dT V dp, tunjukkan bahwa
a) (S/p)v = Cv/T
b) (S/p)p =Cp/TV
5. Dengan menggunakan persamaan diferensial dan definisi fungsi, tentukan bentuk fungsional
untuk S, V, H, U untuk
a) gas ideal, dimana = o(T) + RT ln p
b) van der Walls, diberikan = o(T) + RT ln p + (b a/RT)p

( )

( )

( )

( )

17

BAB II
SISTEM KOMPOSISI VARIABEL
KESETIMBANGAN KIMIA
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1.
menghitung energi bebas dalam campuran gas,
2.
menghitung potensial kimia gas ideal murni,
3.
menghitung potensial kimia gas ideal dalam campuran gas ideal,
4.
menghitung konstanta kesetimbangan tekanan dalam campuran gas ideal,
5.
menghitung konstanta kesetimbangan tekanan dalam campuran gas nyata,
6.
menghitung konstanta kesetimbangan suatu gas dalam terminologi fraksi mol atau
konsentrasi,
7.
menghitung konstanta kesetimbangan suatu gas karena perubahan temperatur,
8.
menghitung konstanta kesetimbangan antara gas dan fase terkondensasi,
2.1 Persamaan Fundamental
Secara mutlak sistem diasumsikan tersusun oleh suatu zat murni atau jika tersusun oleh
suatu campuran, maka komposisi campuran tidak berubah dalam perubahan keadaan. Selagi
rekasi kimia berlangsung komposisi sistem dan sifat termodinamika berubah. Karena itu
ketergantungan pada komposisi harus dimasukkan dalam persamaan termodinamika. Pertama
kali dimasukkan dalam Energi Gibbs G.
Untuk suatu zat murni atau campuran komposisi tertentu persamaan energi Gibbs adalah
dG = SdT + Vdp
(2.1)
Jika jumlah mol, n1,n2,, zat muncul bervariasi, maka G=G(T,p,n1,n2,), dan diferensial totalnya
adalah
G
G
G
G
dG =
dT +
dp + n
dn1 + n
dn2 + (2.2)
T p , ni
p T , ni
1 T , p , nj
2 T , p , nj
dimana ni pada derivatif parsial berarti semua jumlah mol konstan dalam diferensiasi dan nj pada
derivatif parsial berarti semua jumlah mol kecuali satu dalam derivatif adalah konstan dalam
diferensiasi.
Jika suatu sistem tidak mengalami suatu perubahan komposisi, maka
dn1 = 0, dn2 = 0,
sehingga
G
G
dG =
dT +
(2.3)
T p , ni
p T , ni
Pembandingan persamaan (2.3) dan (2.1) menunjukkan
G
G

= S dan
=V
(2.4a,b)
T p , ni
p T ,ni

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

Untuk penyederhanaan,

( )

G
i = n
(2.5)
i T , p , nj
dengan melihat persamaan (2.4) dan (2.5), diferensial total G dalam persamaan (2.2) menjadi
dG = SdT + Vdp + 1 dn1 + 2 dn2 +
(2.6)
Persamaan (2.6)menghubungkan perubahan energi Gibbs dengan perubahan temperatur, tekanan,
dan jumlah mol. Biasanya ditulis
dG = SdT + Vdp +

i dni

(2.7)
18

2.2 Energi Bebas Campuran


Jika campuran mengandung n1, n2, , mol, maka 1, 2 , adalah potensial kimia dari
komponen 1, 2, energi bebas campuran pada temperatur dan tekanan konstan adalah
G = n1 1 + n2 2 +
(2.8)
=

ni i

Dengan bantuan persamaan (2.7) dan (2.8), energi bebas dari campuran dpt diturunksn
sebagai
Gcamp = nRT

ln xi

(2.9)

dimana n adalah jumlah mol total, xi adalah fraksi mol komponen. Penjumlahan adalah pada
seluruh jumlah total komponen.
Karena persamaan (2.9) memberikan harga energi bebas dari campuran gas ideal yang
negatif, jelaslah bahwa proses pencampuran ini adalah spontan.
Dengan penggabungan persamaan fungsi termodinamika, panas pencampuran gas ideal
dapat dihitung
Gcamp = Hcamp T Scamp
yaitu
H camp

= nRT

xi ln xi + (T)(NR

xi ln xi )

=0
Dalam hal yang sama terlihat juga bahwa perubahan volume dalam pencampuran gas
ideal juga adalah nol, yaitu
G camp
V =
=0
p T , xi
karena Gcamp tidak tergantung pada tekanan.

2.3 Potensial Kimia Gas Ideal Murni


Potensial kimia dari setiap komponen ditetapkan sebagai perubahan dalam energi bebas
sistem jika satu mol komponen ditambahkan pada sistem dengan jumlah tidak terhingga,
sehingga tidak ada perubahan dalam komposisi yang terjadi dalam sistem. Secara matematik
didefinisikan sebagai
G
i = n
(2.10)
i T , p , nj

( )

Potensial kimia dari gas ideal murni adalah


= o(T) + RT ln p
o
(T) adalah potensial kimia standar.

(2.11)

2.4 Potensial Kimia Gas Ideal dalam Campuran Gas Ideal


Potensial kimia dari gas ideal murni dalam campuran gas adalah
i = i (murni) + RT ln xi
(2.12)
i (murni) adalah potensial kimia gas murni pada temperatur tekanan sama seperti dalam campuran,
dan xi adalah fraksi mol. Dari persamaan ini jelas bahwa potensial kimia dari setiap gas dalam
campuran lebih kecil daripada gas murni pada temperatur dan tekanan yang sama, karena xi lebih
kecil daripada satu dan ln xi akan negatif.
2.5 Kesetimbangan Kimia dalam Campuran
Dalam sistem tertutup, energi bebas dari reaksi umum tipe
Na A + nb B + nl L + nm M +
19

Pada temperatur dan tekanan konstan adalah

produk

G =

reak tan

ni i

njj

(2.13)

Pada kesetimbangan, G = 0 sehingga persamaan di atas disederhanakan menjadi


produk

reak tan

ni i

njj = 0

2.6 Kesetimbangan Kimia dalam Campuran Gas Ideal


Telah diperlihatkan dalam persamaan (2.12), bahwa gas ideal dalam suatu campuran
gas diberikan dengan
i = i o + RT ln pi
dimana pi adalah tekanan parsial gas dalam campuran. Harga i ini digunakan untuk
menghitung G reaksi
A + B C + D
dimana A, B, C dan D menunjukkan rumus kimia zat, sedangkan , , , menunjukkan
koefisien stoikiometrik. Kemudian
G = oC + RT ln pC + oD + RT ln pD oA RT ln pA oB RT ln pB,
= oC + oD ( oA + oB) + RT( ln pC + ln pada ( ln pA + ln pB)]
misal
G o = oC + oD ( oA + oB )
(2.14)
Go adalah energi Gibbs reaksi standar. Kemudian dengan mengkombinasikan term logaritma
diperoleh
( pC ) ( p D )
o
G = G + RT ln
(2.15)
( p A ) ( p B )
jika

( pC ) ( p D )
Qp =
(2.16)

( p A ) ( pB )
Maka
G = G o + RT ln Qp
(2.17)
Pada kesetimbangan G = 0 dan persamaan (2. 37) menjadi

( pC )e ( p D )e
o
0 = G + RT ln
(2.18)

( p A )e ( p B )e
dimana subskrip e menandai tekanan parsial kesetimbangan. Hasil bagi tekanan parsial
kesetimbangan adalah konstanta kesetimbangan tekanan Kp:

( pC )e ( p D )e
Kp =
(2.19)

( p A )e ( p B )e
Dengan menggunakan notasi yang lebih umum, harga i dapat diletakkan untuk
memperoleh persamaan
G
G =
=
i( oi + RT ln pi )
i
T ,p
dapat dituliskan

( )

G =

i oi + RT

i ln pi

Tetapi
20

i oi = G o

(2.20a)

Perubahan energi Gibbs standar , dan i ln pi = ln pii, sehingga persamaan menjadi


G = G o + RT

ln pii

(2.20b)

Tetapi ini merupakan logaritma produk sehingga


ln p11 + ln p22 + = ln(p11 p22.)
kemudian
p v i = p11 p22.
i

Disebut sebagai hasil bagi tekanan yang sesuai, Qp


Qp =

i p iv

(2.21)

catatan bahwa karena vi untuk komponen reaktan adalah negatif, kita mempunyai reaksi yang
dimasalahkan
1 = ,
2 = ,
3 = ,
4 =
dan
Qp = pA pB pC pD
(2.22)
Sehingga Kp dapat ditulis
Kp = ( p i ) v i
(2.23)
i

Persamaan (2. 18) menjadi

G o = RT ln Kp

2.7 Kesetimbangan Kimia dalam Campuran Gas Nyata


Untuk gas nyata maka persamaan (2. ) dapat ditulis sebagai berikut
( f C )e ( f D )e
Kf =
( f A )e ( f B )e
Sehingga
G o = RT ln Kf
Untuk gas nyata, Kf bukannya Kp yang sekedar fungsi temperatur

(2.24)

(2.25)
(2.26)

2.8 Konstanta Kesetimbangan Kx, dan Kc


Ada baiknya juga untuk mengungkapkan konstanta kesetimbangan suatu gas dalam
terminologi fraksi mol, xi, atau konsentrasi, ci daripada sekedar tekanan parsial. Tekanan parsial,
pi, fraksi mol, dan tekanan total, p, dihubungkan dengan pi = xi.p. Dengan menggunakan
hubungan ini untuk setiap tekanan parsial dalam konstanta kesetimbangan, dari persamaan (2. )
diperoleh

( pC )e ( p D )e
( p . x C )e ( p . x D )e
( x C )e ( x D )e +
Kp =
=
=
p
( p A )e ( p B )e
( p . x A )e( p . x B )e
( x A )e ( x B )e
Konstanta kesetimbangan fraksi mol didefinisikan dengan

( x C )e ( x D )e
Kx =
(2.27)

( x A )e ( x B )e
Kemudian
Kp = Kx.pv
(2.28)
Dimana v adalah jumlah koefisien stoikiometrik
Untuk term konsentrasi dipenuhi hubungan

Kp = Kc.RTv

(2.29)
21

Sehingga jika v = 0 maka Kp = Kc, dan harga perubahan energi Gibbs menjadi
G o = RT ln Kc

(2.30)

2.9 Ketergantungan Konstanta Kesetimbangan pada Temperatur


Konstanta kesetimbangan dapat ditulis sebagai berikut
Ln Kp =
Dengan diferensiasi
d ln K p
dT

Go

(2.31)

RT

1 d ( G o /T )
R
dT

(2.32)

Jika persamaan (2. 14) dibagi T


G o
= i i
T

oi
T

( )

dengan diferensiasi didapat


oi
o
d ( G /T )
d
= i i
(2.33)
T
dT
dT
dimana oi adalah energi Gibbs standar zat murni. Dengan menggunakan harga molar persamaan
GibbsHelmholtz persamaan (1.47)
oi
d
o 2
T = Hi /T
dT
sehingga
o
o
1
H
d ( G /T )
o
= 2

(2.34)
i Hi =
i
T
dT
T2
karena penjumlahan adalah entalpi standar meningkat untuk reaksi, H o . Persamaan (2. 34)
mengurangi persamaan (2. 33) menjadi
d ln K p
d log 10 K p
H o
H o
=
atau
=
(2.35)
dT
dT
RT 2
2, 303 RT 2
persamaan ini disebut juga persamaan GibbsHelmholtz . Jika diekspresikan untuk ploting
grafik
1
H o dT
H o
d ln Kp =
=

d
2
T
R
T
R
o
d ln K p
d log 10 K p
H
H o
=
,
=
(2.36)
d (1 /T )
d (1 /T )
R
2, 303 R
persamaan (2. 36) ini menunjukkan bahwa suatu plot/alur ln Kp terhadap 1/T memiliki slope
H o
sebesar
. Karena H o hampr konstan, paling tidak di atas atas cakupan temperatur
R
menengah, alur sering linier.
Konstanta kesetimbangan dapat ditulis sebagai suatu fungsi eksplisit temperatur dengan
integrasi persamaan (2.36). Misalkan pada suatu temperatur To, harga konstanta kesetimbangan
adalah Kp, dan pada suatu temperatur T:
o
ln K
T
dT
ln ( Kp p )o d (ln K p ) = T o H
RT 2

( )

( )

( )

22

H
ln Kp ln (Kp)o = T
dT
o
RT 2
T
H o
ln Kp = ln (Kp)o + T
dT
o
RT 2
Jika H o konstan, maka dengan integrasi didapat
o
1 1
H

ln Kp = ln (Kp)o
T To
R
Karena Go = H o T S o sehingga
H o
S o
ln Kp =
+
RT
R
T

(2.37)

(2.38)

(2.39)

2.10 Kesetimbangan antara Gas Ideal dan Fase Terkondensasi Murni


2.10.1 Dekomposisi Batu kapur
Bila zat padat murni (atau cairan murni yang tak dapat bercampur) terlibat dalam reaksi,
maka potensial kimianya tidak mengalami perubahan pada perubahan x selama zatnya masih
ada. Sebagai contoh adalah reaksi:
CaC03(s)
Ca0(s) + CO2(g)
pada kesetimbangan. Persamaan ini memberikan
CaCo3(s)0 = oCao(s) + oCO2(g) + RT ln pCO2
G0 = oCao(s) + o CO2 (g) o CaCO3(s) = RT ln pCO2 = -RT ln Kp
(2.40)
sehingga pada kesetimbangan
Kp = pCO2
Bila tekanan parsial CO2 dijaga lebih rendah dari Kp maka semua CaCO3 diubah menjadi CaO
dan CO2, dan jika dibuat lebih dari Kp maka CaO diubah menjadi CaCO3.
2.10.2 Kesetimbangan penguapan
Contoh penting kesetimbangan antara gas ideal dan fase terkonsensasi murni adalah
kesetimbangan antara suatu zat cair murni dan uapnya:
A (l)
A (g)
Misal p adalah tekanan uap kesetimbangan. Maka
Kp = p dan G o = o (g) o (l)
Dengan menggunakan persamaan GibbsHelmholtz, persamaan (2. 57) menjadi
H ovap
d ln p
=
(2.41)
dT
RT 2
yang merupakan persamaan ClausiusClapeyron, yang menghubungkan ketergantungan
temperatur dari tekanan uap zat cair terhadap panas penguapan. Untuk sublimasi perhatikan
reaksi
A (s)
A (g);
Kp = p dan G o = o (g) o (s)
Dimana p adalah tekanan uap kesetimbangan padatan. Sehingga
o
H sub
d ln p
=
(2.42)
2
dT
RT
dimana H o sub adalah panas sublimasi padatan. Suatu plot ln p terhadap 1/T memiliki suatu
H o
slope sebesar
dan mendekati linier.
R
23

SOALSOAL:
1.
Apa pentingnya potensial kimia ? Apa interpretasinya ?
2.
Apa perbedaan antara Kp dan Qp untuk reaksi fase gas ?
3.
Energi Gibbs standar konvensional ammonia pada 25 o C adalah 16,5 kJ/mol. Hitung
harga energi Gibbs molar pada , 2, 10, dan 100 atm
4.
Perhatikan kesetimbangan berikut pada 25o C:
PCl5(g)
PCl3(g) + Cl2(g)
o
a) Hitung G dan Ho pada 25o C
b) Hitung harga Kp pada 600 K
c) Pada 600 K hitung derajat disosiasi pada tekanan total 1 atm dan 5 atm
5. Untuk ozon pada 25o C, Gof = 163,2 kJ/mol
a) Pada 25o C, hitung konstanta kesetimbangan Kp untuk reaksi
3O2(g)
2O3(g)
b) Asumsikan bahwa kemajuan pada kesetimbangan, , sangat kecil kurang dari satu,
tunjukkan bahwa = 3/2. pK p
c) Hitung Kx pada 25 atm dan Kc.

24

BAB III
KESETIMBANGAN FASE DALAM SISTEM SEDERHANA
(ATURAN FASE)
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1.
memahami hubungan kestabilan fase dengan harga potensial kimia
2.
memahami pengaruh temperatur terhadap kestabilan suatu fase
3.
mengaplikasikan persamaan Clapeyron dalam kesetimbangan antar fase
4.
menerangkan diagram fase untuk suatu zat berkaitan dengan sifat zat
5.
menghitung harga tekanan karena pengaruh perubahan temperatur menggunakan
persamaan ClausiusClapeyron
6.
menghitung besarnya derajat kebebasan suatu zat
3.1 Kondisi Kesetimbangan
Untuk suatu sistem dalam kesetimbangan potensial kimia setiap komponen harus sama
dimana-mana dalam sistem. Jika ada beberapa fase, potensial kimia setiap zat harus memiliki
harga sama dalam setiap fase dimana zat itu muncul
Untuk suatu sistem satu komponen, = G/n; pembagian persamaan fundamental dengan
n didapat
d = SdT + Vdp
(3.1)
dimana S dan V adalah entropi dan volume molar. Kemudian

= S dan
=V
(3.2a,b)
T p
p T
derivatif dalam persamaan (3.2a,b) adalah slope kurva terhadap T dan terhadap p

( )

( )

3.2 Kestabilan Fase Zat Murni


Dengan hukum ketiga termodinamika, entropi suatu zat selalu positif. Fakta ini
dikombinasikan dengan persamaan (3.2a) menunjukkan bahwa (/T)p .selalu negatif.
Konsekuensinya, plot terhadap T pada tekanan konstan adalah suatu kurva dengan slope
negatif.
Untuk tiga fase suatu zat tunggal, diperoleh
solid
liq
gas
= Ssolid
= Sliq
= Sgas
(3.3)
T p
T p
T p
pada suatu temperatur Sgas >> Sliq >> Ssolid. Entropi padatan adalah kecil sehingga gambar 3.1
kurva terhadap T untuk padatan, kurva S, memiliki slope negatif lurus. Kurva terhadap T
untuk cairan memiliki suatu slope yang mana lurus lebih negatif daripada untuk padatan, kurva
L. Entropi gas adalah sangat lebih besar daripada cairan, sehingga slope kurva G lurus ke bawah.
Tetapi penghalusan ini tidak berpengaruh pada argumen
Kondisi termodinamika untuk kesetimbangan antar fase pada tekanan konstan muncul
dalam gambar 3.1. Padat dan cair koeksis dalam kesetimbangan ketika solid = liquid; yaitu pada
titik interseksi kurva S dan L. Temperatur yang sesuai adalah Tm, titik leleh. Begitu pulaliquid
dan gas koeksis dalam kesetimbangan pada temperatur Tb, titik interseksi kurva L dan G dimana
liquid = gas
Sumbu temperatur dibagi menjadi 3 interval, di bawah Tm padatan memiliki potensial
kimia terendah. Antara Tm dan Tb zat cair memiliki potensial kimia terendah. Di atas Tb gas
memiliki potensial kimia terendah. Fase dengan harga potensial kimia terendah adalah fase
stabil. Jika liquid ada dalam sistem pada temperatur di bawah Tm, gambar 3.2, potensial kimia
zat cair memiliki harga a sedangkan zat padat memiliki harga b, jadi zat cair dapat membeku

( )

25

secara spontan pada temperatur ini, karena membeku mengurangi energi Gibbs. Pada temperatur
di atas tn situasi akan berbalik. Harga zat padat lebih besar daripada zat cairdan zat padat
meleleh secara spontan untuk mengurangi energi Gibbs sistem. Pada Tm potensial kimia zat padat
dan zat cair sama, keduanya koeksis dalam kesetimbangan. Situasi sama mendekati Tb. Hanya di
bawah Tb zat cair stabil, sedangkan di atas Tb gas stabil.
Diagram mengilustrasikan sekuen fase yang terkenal terobservasi jika zat padat
dipanaskan di bawah tekanan konstan. Pada temperatur rendah sistem sepenuhnya zat padat.
Pada temperatur definit Tm zat cair terbentuk; zat cair stabil sampai menguap pada temperatur Tb.
Sekuen fase ini adalah konsekuen sekuen harga entropi, dan juga adalah konsekuensi cepat dari
fakta bahwa panas diserap dalam transformasi dari zat padat ke zat cair dan zat cair ke gas.

Gambar 3.1 versus T pada tekanan tetap

gambar 3.2 versus T pada tekanan tetap

3.3 Ketergantungan Tekanan dari Kurva terhadap T


Dari persamaan 3.2b dalam bentuk d = V dp , jika tekanan berkurang, dp negatif, V
positif, karena itu d negatif, dan potensial kimia berkurang dalam proporsi volume fase. Karena
volume molar zat cair dan zat padat sangat kecil, harga berkurang secara linier. Untuk zat
padat dari a ke a, untuk zat cair dari b ke b (gambar 3.3a). Volume gas secara kasar adalah
1000 kali lebih besar daripada zat padat atau zat cair, sehingga gas berkurang sangat banyak,
dari c ke c. Kurva pada tekanan lebih rendah ditunjukkan sebagai garis putus-putus paralel ke
garis asal dalam gambar 3.3(b). (gambar telah digambar untuk kasus Vliquid > Vsolid). Gambar
3.3(b) menunjukkan bahwa kedua temperatur kesetimbangan (kedua titik interseksi) telah
bergeser; pergeseran dalam titik leleh adalah kecil, sedangkan pergeseran dalam titik didih
adalah relatif besar. Titik leleh bergeser dilebihlebihkan untuk penekanan saja, kenyataannya
sangat kecil. Berkurangnya titik didih zat cair dengan berkurangnya tekanan digambarkan
dengan baik. Pada tekanan lebih rendah range kestabilan zat cair tercatat berkurang. Jika tekanan
berkurang cukup rendah, titik didih zat cair dapat terletak di bawah titi leleh zat padat. (Gambar
3.4). Kemudian tidak ada temperatur bagi zat cair untuk stabil; zat padat menyublim. Pada
Temperatur Ts, zat padat dan uap koeksis dalam kesetimbangan. Temperatur Ts adalah
temperatur sublimasi zat padat. Sangat tergantung pada tekanan.
Jelas ada beberapa tekanan yang mana 3 kurva interseksi pada temperatur sama.
Temperatur dan tekanan ini mendefinisikan titik tripel; Tiga fase ini koeksis dalam
kesetimbangan di titik tripel.
Ya atau tidaknya materi tertentu akan menyublim di bawah tekanan tertentu tergantung
pada sifat individual zat. Air, sebagai contoh, menyublim pada tekanan di bawah 611 Pa. Titik
leleh lebih tinggi, dan perbedaan lebih kecil antara titi leleh dan titi didih pada tekanan 1 atm,
semakin tinggi akan menjadikan tekanan semakin rendah yang mana sublimasi akan teramati.
26

Tekanan (dalam atm) di bawah sublimasi teramati dapat diestimasikan untuk zat dengan
mengikuti aturan Trouton dengan rumus
Ln p = 10 . 8

( TbTm
Tm )

(a)
Gambar 3.3 Efek tekanan pada titik didih dan leleh

(3.4)

(b)

Gambar 3.4 versus T zat yang menyublim


3.4 Persamaan Clapeyron
Kondisi untuk kesetimbangan antara dua fase, dan beta zat murni adalah
(T, p) = (T, p)
(3.5)
jika bentuk analitik fungsi , dan diketahui,mungkin persamaan (3.5) dapat diselesaikan
T = f (p)
atau p = g (T )
(3.6)
persamaan (3. 6a) mengungkapkan fakta, digambarkan dalam gambar 3.3(b), bahwa temperatur
kesetimbangan tergantung pada tekanan.
Perhatikan kesetimbangan antara dua fase dan di bawah tekanan p, temperatur
kesetimbangan adalah T. Maka pada T dan p didapat
(T, p) = (T, p)
(3.7)
Jika tekanan diubah menjadi harga p + dp, T kesetimbangan akan berubah menjadi T + dT ,
harga setiap akan berubah menjadi + d . Karena itu pada T + dT, p + dp kondisi
kesetimbangan adalah
(T, p) + d = (T, p) + d
(3.8)
sehingga
d = d
(3.9)
Dari persamaan dasar (3.1)
d = S dT + V dp
d = S dT + V dp
(3.10)
27

dengan menggunakan persamaan (3. 10) dalam persamaan (3.19) didapat


S dT + V dp = S dT + V dp
(S S) dT = (V V) dp
(3.11)
ika transformasi ditulis , maka S = S S dan V = V V dan persamaan (3. 11)
menjadi
dT V
dp S
=
=
atau
(3.12)
dp S
dT V
Persamaan (3.12) disebut persamaan Clapeyron
3.4.1 Kesetimbangan zat padat dan zat cair
Penerapan persamaan Clapeyron untuk transformasi zat padat zat cair didapat
S = S liq S solid = S fus
V = Vliq Vsolid = Vfus
Pada temperatur kesetimbangan, transformasi adalah reversibel; karena Sfus = Hfus/T,
transformasi dari zat padat ke zat cair selalu mengakibatkan absorpsi panas, (H fus adalah +),
karena itu
Sfus adalah +
(semua zat)
Besarnya V fus mungkin positif atau negatif, tergantung pada densitas zat padat apakah lebih
besar atau lebih kecil daripada untuk zat cair, karena itu
Vfus adalah + (kebanyakan zat)
Vfus adalah (beberapa zat, seperti H2O )
Harga umum adalah
Sfus = 8 sampai 25 J/(K mol)
Vfus = (1 sampai 10) cm3/mol
Untuk ilustrasi, jika dipilih S fus = 16 J/K mol dan V fus = 40 atm/K, maka untuk garis
kesetimbangan zat padat zat cair adalah
dp / dT = 16 J/(K mol)/ 4(10-6) m3/mol = 4 (106) Pa/K = 40 atm/K
jika dibalik dt/dp = 0,02 K/atm. Harga ini menunjukkan bahwa perubahan dalam tekanan 1 atm
akan meningkatkan titik leleh beberapa ratus kali kelvin. Dalam alur tekanan sebagai fungsi
temperatur, slop diberikan dengan persamaan (3. 12b) ; (40 atm/K sebagai contoh), slope ini
besar dan kurva hampir vertikal. Kasus dp/dt adalah + ditunjukkan gambar 3.5(a), dalam range
tekanan tengah, kurva adalah linier.
Garis dalam gambar 3.5(a) adalah lokus semua titik (T, p) dimana zat padat dan zat cair
dapat koeksis dalam kesetimbangan. Titik yang terletak sebelah kiri garis bersesuaian dengan
temperatur di bawah titik leleh; titik titik ini adalah kondisi (T, p) dimana hanya zat padat yang
stabil. Titik sebelah kanan garis bersesuaian dengan temperatur di atas titik leleh; karena itu titik
ini adalah kondisi (T, p) dimana zat cair stabil.

(a)
(b)
Gambar 3.5 Garis kesetimbangan (a) padatcair, (b) cairuap

28

3.4.2 Kesetimbangan zat cair gas


Aplikasi persamaan Clapeyron dalam transformasi zat cair gas menghasilkan
S = S gas S liq = H /T
adalah +
(semua zat)
V = V gas V liq
adalah +
(semua zat)
akibatnya
dp / dT = S / V
adalah +
(semua zat)
grs kesetimbangan zat cair gas selalu memiliki slope positif. Pada harga T dan p biasa besarnya
adalah
S + 90 J/K mol
V + 20000 cm3 = 0,02 m3
tetapi V dangat tergantung pada T dan p sebab Vgas sangat tergantung pada T dan p. Slope kurva
zat cair gas adalah kecil dibanding dengan kurva zat padat zat cair.
(dp /dT )liq,gas 90 J/K mol/0,02 m3/mol = 4000 Pa/K = 0,04 atm/K
Gambar 3.5(b) menunjukkan kurva l-g dan kurva s-l. Dalam gambar 3.5(b), kurva l-g adalah
lokus semua titik (T, p) dimana zat cair dan gas koeksis dalam kesetimbangan. Hanya titik
sebelah kiri kurva l-g di bawah titik didih dan merupakan kondisi dimana zat cair stabil. Titik
sebelah kanan l-g adalah kondisi dimana gas stabil.
Interseksi kurva s-l dan l-g bersesuaian dengan temperatur dan tekanan dimana zat padat,
zat cair, dan gas seluruhnya koeksis dalam kesetimbangan. Harga T dan p pada titik ditentukan
dengan kondisi
solid (T, p) = liq (T, p)
dan
liq (T, p) = gas (T, p)
(3.13)
persamaan (3.13 ) dapat dipecahkan untuk harga numerik T dan p definit, yaitu
T = Tt
p = pt
(3.14)
dimana T t dan p t adalah temperatur dan tekanan titik tripel. Hanya ada satu titik tripel untuk satu
set spesifik tiga fase ( contoh zat padat zat cair gas) dapat koeksis dalam kesetimbangan.
3.4.3 Kesetimbangan zat padat gas
Aplikasi persamaan Clapeyron dalam transformasi zat cair gas menghasilkan
S = S gas S solid = Hsub /T adalah +
(semua zat)
V = V gas V solid
adalah +
(semua zat)
akibatnya
(dp/dT)solid,gas = S / V
adalah +
(semua zat)
slope kurva s-g adalah steeper pada titik tripel daripada slope kurva l-g. Karena H sub = H fus +
H vap maka
(dp/dT)liq,gas = Hvap /(T V ) dan (dp/dT)solid,gas = Hsub /(T V )
harga V dalm kedua persamaan sangat mendekati sama. Karena Hsub lebih besar daripada
Hvap, slope kurva s-g dalam gambar 3.6 adalah steeper daripada kurva l-g.
Titik pada kurva s-g adalah set temperatur dan tekanan dimana zat padat koeksis dalam
kesetimbangan dengan uap. Titik sebelah kiri garis terletak di bawah temperatur sublimasi, dan
bersesuai dengan kondisi zat padat stabil. Titik sebelah kanan kurva s-g adalah titik di atas
temperatur sublimasi, sehingga merupakan kondisi dimanas fase gas stabil. Kurva s-g harus
interseksi satu saka lain pada titik tripel sebab kondisi yang diekspresikan dalam persamaan (3.
13) .

29

Gambar 3.6 Diagram fase untuk zat sederhana.


3.5 Diagram Fase
Amati gambar 3.6 pada tekanan konstan, ditandai dengan garis datar putus ,
menunjukkan titik leleh dan titik didih zat sebagai interseksi garis datar dengan kurva s-l dan l-g.
Titik interseksi ini bersesuaian dengan interseksi kurva T dalam gambar 3.1. Pada temperatur
di bawah Tm, zat padat stabil; pada titik diantara Tm dan Tb zat cair stabil, sedangkan di atas Tb
gas stabil. Gambar 3.6 disebut diagram fase atau diagram kesetimbangan.
Diagram fase menunjukkan secara sepintas sifat zat ; titik leleh, titik didih, titik transisi,
titik tripel. Setiap titik pada diagram fase menggambarkan keadaan sistem menggambrkan harga
T dan p.
Garis pada diagram fase membaginya menjadi daerah berlabel solid, liquid dan gas. Jika
titik yang menggambarkan sistem berada dalam daerah padatan, zat eksis sebagai padatan. Jika
titik berada dalam daerah liquid, maka zt eksis sebagai zat cair. Jika titik berada pada garis l-g,
zat eksis sebagai zat cair dan uap dalam kesetimbangan.
Kurva l-g memiliki batas atas pada tekanan dan temperatur kritis, karena itu tidak dapat
dibedakan antara zat cair dan gas di atas temperatur dan tekanan ini.
3.5.1 Diagram fase untuk Karbondioksida
Diagram fase untuk karbondioksida ditunjukkan secara skematik dalam gambar 3.7.
Slope garis solid-liquid lurus ke kanan, karena V liq > V solid. Cairan CO2 tidak stabil pada tekanan
di bawah 5 atm. Untuk alasan ini dry ice kering di bawah tekanan atmosfir biasa. Ketika
karbondioskida dimasukkan ke dalam silinder di bawah tekanan pada 25 o C, diagram
menunjukkan bahwa jika tekanan mencapai 67 atm, CO2 cair akan terbentuk. Silinder CO2
komersial umumnya mengandung cairan dan gas dalam kesetimbangan; tekanan dalam silinder
adalah sekitar 67 atm pada 25o C.
3.5.2 Diagram fase untuk air.
Gambar 3.8 adalah diagram fase untuk air di bawah tekanan moderat. Garis padat-cair
naik lurus ke kiri, karena V liq < V solid. Titik tripel ada pada 0,01o C dan 611 Pa. Titik beku normal
air ada pada 0,0002o C. Suatu kenaikan tekanan akan menurunkan titik leleh air.
Jika air diamati di bawah tekanan tinggi, beberapa kristal modifikasi teramati. Diagram
kesetimbangan ditunjukkan dalam gambar 3.9. Es I adalah Es biasa, Es II, III, V,VI,VII adalah
modifikasi yang stabil pada tekanan lebih tinggi . Rentang tekanan begitu besar dalam gambar
3.9 dimana kurva s-g dan l-g terletak lurus hanya di atas sb datar, tidak ditunjukkan dalam
gambar. Hal yang luar biasa bahwa di bawah tekanan tingggi, es meleleh adalah sangat panas. Es
VII meleleh pada sekitar 100o C di bawah tekanan 25000 atm.

30

Gambar 3.7 Diagram Fase Karbondioksida

Gambar 3.8 Diagram Fase Air

Gambar 3.9 Diagram Fase Air pada Tekanan Tinggi


Integrasi Persamaan Clapeyron
3.6.1 Kesetimbangan padatcair
Persamaan Clapeyron adalah

dp S fus
=
dT V fus

Kemudian

H fus dT
V fus T
Jika Hfus dan Vfus hampir bebas dari T dan p, integrasi persamaan menjadi
H fus
T 'm
p2 p1 =
ln
(3.15)
V fus
Tm
dimana Tm adalah titik leleh di bawah tekanan p2 ; Tm adalah titik leleh di bawah tekanan p1;
karena selisihnya biasanya sangat kecil, maka logaritma dapat diekspansi menjadi
T 'm
T m+T 'mT m
T 'mT m
T 'mT m
ln
= ln
= ln 1+

Tm
Tm
Tm
Tm
sehingga persamaan (4.15) menjadi
H fus T
p=
(3.16)
V fus T m
p1

p1 dp =

( ) (

T 'm

Tm

) (

) (

dimana T adalah kenaikan titik leleh yang sesuai dengan kenaikan tekanan p.
3.6.2 Kesetimbangan Fase Terkondensasi Gas
Untuk kesetimbangan fase terkondensasi, baik padat atau cair, dengan uap

31

H
dp S
=
= T V V
dT V
( g c)
dimana H adalah panas penguapan molar zat cair atau panas sublimasi molar padatan, dan Vc
adalah volume molar zat padat atau zat cair. Kebanyakan Vg Vc Vg, dan diasumsikan sebagai
gas ideal, sama dengan RT/p. Maka persamaan menjadi
H
d ln p
=
(3.17)
2
dT
RT
yang merupakan persamaan ClausiusClapeyron, menghubungkan tekanan uap zat cair (zat
padat) dengan panas penguapan (sublimasi) dan temperatur. Integrasi di bawah asumsi bahwa
H tidak tergantung temperatur menghasilkan
T H
p
po d ln p = To RT 2 dT
p
H 1 1
H
H

ln
=
=
+
(3.18)
po
RT
RTo
R T To
dimana po adalah tekanan uap pada To, dan p adalah tekanan uap pada T. Jika po = 1 atm, maka
To adalah titik didih normal zat cair (titik sublimasi normal zat padat). Maka
H H
H
H
ln p = RT RT , log p = 2, 303. RT 2, 303. RT
(3.19)
o
o
menurut persamaan ini jika ln p atau log p dialurkan terhadap 1/T, diperoleh kurva linier dengan
slope = H/2,303R. Intersep pada 1/T = 0 menghasilkan harga H/Rto. Jadi dari slope dan
intersep H dan To dapat dihitung. Panas penguapan dan sublimasi sering ditentukan melalui
pengukuran tekanan uap zat sebagai suatu fungsi temperatur. Gambar 3.11 menunjukkan suatu
aluran log p terhadap 1/T untuk air. Gambar 3.11 sama juga untuk padatan CO2 (es kering).

Gambar 3.11 log p /mmHg versus 1/T untuk air


Efek Tekanan pada Tekanan Uap
Keseimbangan zat cair uap air secara implisit diasumsikan bahwa kedua fase adalah di
bawah tekanan yang sama p. Jika oleh beberapa alat dimungkinkan untuk menyimpan cairan itu
di bawah suatu tekanan P dan uap di bawah tekanan uap p, kemudian tekanan uap tergantung
pada P. Andaikan cairan itu terkurung kontainer yang ditunjukkan Gambar 3.12. Dalam ruang di
atas cairan, uap air terkurung bersama-sama dengan suatu gas lain yang tidak dapat larut dalam
cairan. Tekanan uap p plus tekanan gas yang lain adalah P. Seperti biasanya, kondisi
kesetimbangan adalah
vap (T, p) = liq (T, p)
(3.20)
Pada temperatur tetap persamaan ini menyatakan bahwa p = f(P). Secara fungsional, persamaan
ini didiferensiasi terhadap P dengan menjaga T tetap
32

liq
p
=
p T P T
P T
dengan menggunakan persamaan fundamental didapat
V liq
p
p
V vap
= V liq atau
=
(3.21)
P T
P T
V vap
Persamaan Gibbs ini menunjukkan bahwa tekanan uap meningkat terhadap tekanan total pada
zat cair; laju kenaikan sangat kecil karena Vliq sangat kurang dibanding Vvap. Jika uap bersifat gas
ideal, maka persamaan ini dapat ditulis sebagai berikut
p dp
P
RT
dp = Vliq dP,
RT po
= Vliq Po dP
p
p
dimana p adalah tekanan uap pada tekanan P, po adalah tekanan uap ketika zat cair dan uap di
bawah tekanan yang sama, po, tekanan ortobarik. Jadi
p
RT ln
= Vliq (P po)
(3.22)
po

vap

) ( ) ( )

( )

( )

( )

Gambar 3. 12
3.8 Aturan Fase
Keberadaan dua fase dalam kesetimbangan menyatakan kondisi
(T, p) = (T, p)
(3.23)
yang berarti dua variabel intensif yang biasanya dibutuhkan untuk menggambarkan keadaan
suatu sistem tidak lagi terpisah, tetapi berkaitan. Karena hubungan ini, maka hanya satu variabel,
baik temperatur atau tekanan, dibutuhkan untuk emnggambarkan keadaan sistem. Sistem ini
memiliki satu derajat kebebasan atau univarian, jika hanya ada satu fase, maka dua variabel
dibutuhkan untuk menggambarkan keadaan, dan sistem memiliki dua derajat kebebasan atau
bivarian. Jika ada 3 fase, maka ada 2 hubungan antara T dan p
(T, p) = (T, p) (T, p) = (T, p)
(3.24)
Dua hubungan ini menentukan T dan p secara lengkap. Tidak ada informasi lain yang diperlukan
untuk mendeskripsi keadaan sistem. Untuk suatu sistem univarian, maka tidak memiliki derajat
kebebasan. Tabel 3.1 menunjukkan hubungan antara jumlah derajat kebebasan dan jumlah fase
yang ada untuk sistem satu komponen. Tabel ini menyarankan suatu aturan yang
menghubungkan jumlah derajat kebebasan, F, dengan jumlah fase, P, yang ada.
F=3P
(3.25)
yang merupakan aturan fase untuk sistem satu komponen.
Aturan fase yang sederhana sangat berguna untuk memutuskan berapa banyak variabel
bebas yang diperlukan untuk mendeskripsi sistem. Dirangkum dalam tabel (3.1), (3.2) dan (3.3).
Tabel 3.1
Jumlah fase
1
2
3
Derajat kebebasan
2
1
0

33

Tabel 3.2
Jenis Variabel
Temperatur dan Tekanan
Variabel Komponen (dalam setiap fase, fraksi mol setiap
komponen harus dispesifikasi; jadi, C fraksi mol
dibutuhkan untuk menggambarkan satu fase; PC
dibutuhkan untuk menggambarkan P fase)
Jumlah total variabel

Jumlah total variabel


2
PC

PC + 2

Jumlah variabel bebas, F, diperoleh dengan mengurangkan jumlah total persamaan dari
jumlah total variabel:
F = PC + 2 P C (P 1),
F=CP+2
Jika sistem satu komponen, C = 1, sehingga F = 3 P. Persamaan ini adalah aturan fase J.
Willard Gibbs.
SOALSOAL:
1.
Ilustrasikan dengan grafik versus T kenyataan bahwa Sfus dan Ssub dijamin selalu
positif dimana fase padat paling stabil pada temperatur rendah
2.
Tekanan uap bromium cair pada 9,3o C adalah 100 atm. Jika panas penguapan adalah
30910 J/mol, hitung titik didih bromium
3.
Naftalena, C10H8, meleleh pada 80o C. Jika tekanan uap zat cair adalah 10 atm pada
o
85,8 C dan 40 atm pada 119,3o C, dan untuk zat padat adalah 1 atm, hitung
a)
Huap zat cair, titik didih, dan S uap pada Tb
b)
tekanan uap pada titik leleh
4.
Untuk ammonia
t/oC
4,7
25,7 50,1 78,9
p/atm
5
10
20
40
Plot data ln p versus 1/T untuk menentukan Huap, dan titik didih normal
5.
Iodium mendidih pada 183o C; tekanan uap zat cair pada 116,5 oC adalah 100 atm.
Jika Hofus = 15,65 kJ/mol dan tekanan uap zat padat adalah 1 atm pada 38,7 oC, hitung
a)
Houap, dan Souap
b)
temperatur dan tekanan titik tripel

34

BAB IV
LARUTAN
(LARUTAN IDEAL DAN SIFAT KOLOGATIF)
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1.
menerangkan ciriciri larutan ideal
2.
menghitung besarnya potensial kimia larutan encer ideal
3.
memahami sifatsifat koligatif suatu zat
4.
menghitung penurunan titik beku suatu larutan
5.
menghitung kenaikan titik didih suatu larutan
6.
menghitung besarnya tekanan osmotik suatu larutan
4.1 Jenis Larutan
Larutan adalah suatu campuran homogen dari spesies kimia yang terdispersi pada skala
molekular. Dengan definisi ini, larutan adalah fase tunggal. Larutan mungkin berupa gas, cairan,
atau padat. Larutan biner terdiri atas dua unsur, larutan terner tiga unsur, kuarterner empat
unsur. Adanya konstituen dengan jumlah yang terbesar biasanya disebut pelarut, sedangkan
suatu konstituen satu atau lebih yang adanya relatif jumlah kecil disebut zat terlarut.
Pembedaan antara pelarut dan zat terlarut adalah suatu hal yang berubahubah. Jika sesuai,
kehadiran konstituen relatif jumlah kecil mungkin dipilih sebagai pelarut. Kita akan
menggunakan istilah pelarut dan zat terlarut dalam cara yang biasa. Contoh jenis larutan dapat
dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1
Larutan gas
Larutan cair

Campuran gas atau uap


Padatanm cairan, atau gas, terlarut dalam
cairan

Larutan padatan
Gas terlarut dalam padatan H2 dalam palladium, N2 dalam titanium
Zat cair terlarut dalam padatan Merkuri dalam emas
Zat padat terlarut dalam zat padat Tembaga dalam emas, seng dalam
tembaga, berbagai alloy
4.2 Definisi Larutan Ideal
Perhatikan suatu larutan yang tersusun atas pelarut volatil dan satu atau lebih zat terlarut
involatil, dan amati kesetimbangan antara larutan dan uap. Jika suatu cairan murni ditempatkan
dalam kontainer yang pada awalnya dikosongkan, cairan menguap sampai ruang di atas cairan
terisi dengan uap air. Temperatur sistem dijaga tetap. Pada kesetimbangan, tekanan yang
ditentukan untuk uap air itu adalah po, tekanan uap air cairan yang murni. Jika suatu zat yang
tidak menguap dilarutkan dalam cairan, tekanan uap air keseimbangan p di atas larutan teramati
menjadi kurang daripada di atas cairan yang murni.

35

Gambar 4.1 Tekanan uap sebagai fungsi x2 Gambar 4.2 Hukum Raoult untuk pelarut
Karena zat terlarut involatil, maka uap mengandung pelarut murni. Selama zat involatil
ditambah, tekanan dalam fase tekanan akan berkurang. Alur skematik tekanan uap pelarut
terhadap fraksi mol zat terlarut involatil dalam larutan, x2, ditunjukkan dengan garis pada gambar
4.2. Pada x2 = 0, p = po; selama x2 meningkat, maka p berkurang. Ciri penting gambar 4.1 adalah
bahwa tekanan uap larutan encer (x2 mendekati nol), mendekati garis putusputus yang
menghubungkan po dan nol. Tergantung pada kombinasi pelarut dan zat terlarut tertentu, kurva
tekanan ua eksperimen pada konsentrasi zat terlarut lebih itnggi dapat terletak di bawah garis
putusputus, seperti gambar 4.1, atau di atasnya, bahkan tepat terletak pada garis. Tetapi untuk
semua larutan kurva eksperimen adalah tangen dari garis putusputus pada x2 = 0, dan sangat
mendekati garis putusputus selagi larutan menjadi semakin encer. Persamaan garis ideal (garis
putusputus) adalah
p = po po x2 = po (1x2)
Jika x adalah fraksi mol pelarut dalam larutan, maka x + x2 = 1, dan persamaan menjadi
p = x po
(4.1)
yang merupakan hukum Raoult. Hukum ini menyatakan bahwa tekanan uap pelarut di atas suatu
larutan adalah sama dengan tekanan uap pelarut murni dikalikan dengan fraksi mol pelarut dalam
larutan.
Dari persamaan (4.1), penurunan tekanan uap, po p dapat dihitung
po p = po x po = (1x)po
po p = x2 po
(4.2)
Tekanan uap merendah proporsional terhadap fraksi mol zat terlarut. Jika ada beberapa zat
terlarut, maka tetap berlaku p = x po ; tetapi dalam kasus, 1x = x2 + x3 + dan
po p = (x2 + x3 +)po
(4.3)
Dalam suatu larutan yang mengandung beberapa zat terlarut involatil, tekanan uap merendah
tergantung pada jumlah fraksi mol berbagai zat terlarut. Tidak tergantung pada jenis zat terlarut,
kecuali involatil. Tekanan uap hanya tergantung pada jumlah relatif molekul zat terlarut.
Dalam campuran gas, rasio tekanan parsial uap air terhadap tekanan uap air murni pada
temperatur yang sama disebut kelembaban relatif. Jika dikalikan 100 disebut persen kelembaban
relatif. Jadi
p
p
RH = o
dan %RH = o (100)
p
p
4.3 Bentuk Analitik Potensial Kimia Larutan Zat Ideal
Jika larutan ada dalam kesetimbangan dengan uap, persyaratan hukum yang kedua
adalah bahwa potensial kimia pelarut mempunyai nilai yang sama dalam larutan seperti di uap
air, atau
liq = vap
(4.4)
36

dimana liq adalah potensial kimia pelarut dalam fase cair, vap potensial kimia pelarut dalam uap.
Karena uap adalah pelarut murni di bawah tekanan p, ungkapan untuk vap diberikan oleh
persamaan (1.47), diasumsikan bahwa uap adalah gas ideal vap = vap + RT ln p . Maka
persamaan (4.4 ) menjadi
liq = o vap + RT ln p
Dengan menggunakan hukum Raoult, p = x po , diperoleh
liq = o vap + RT ln po + RT ln x
Jika pelarut murni dalam kesetimbangan dengan uap, tekanan menjadi po; kondisi kesetimbangan
adalah
o liq = o vap + RT ln po
o
dimana liq adalah potensial kimia pelarut zat zair murni. Kemudian
liq o liq = RT ln x
sehingga dapat ditulis
= o + RT ln x
(4.5)
4.4 Potensial Kimia Zat Terlarut dalam Larutan Ideal Biner: Aplikasi Persamaan
GibbsDuhem
Persamaan GibbsDuhem dapat digunakan untuk menghitung potensial kimia zat terlarut
dari pelarut sistem ideal biner. Persamaan GibbsDuhem persamaan (2.96) untuk sistem biner
(T, p konstan )adalah
nd + n2 d2 = 0
(4.6)
Simbol tanpa subskrip persamaan (4. 6) berkaitan dengan pelarut;
d 2 = (n/n2) d
karena
(n/n2) = x /x2
maka
d 2 = (x/ x2) d
Untuk pelarut d = (RT/x ), sehingga
dx 2
d 2 = RT
x2
tetapi x + x2 = 1, sehingga dx + dx2 = 0 atau dx = dx2 Maka d 2 menjadi
dx 2
d 2 = RT
x2
Hasil integrasi
2 = RT ln x2 + C
o
Jadi jika x2 = 1, 2 = 2 , dengan menggunakan harga ini dalam persamaan (4. 7) didapat
C dan persamaan (4. 7) menjadi,
2 = o 2 + RT ln x2
Dalam uap di atas larutan tekanan uap zat terlarut diberikan oleh hukum Raoult :
p2 = x2 p2o

(4.7)
o2=
(4.8)
(4.9)

4.5 Sifat Koligatif


Sifat koligatif adalah sifat yang tidak bergantung pada sifat dasar zat terlarut yang ada
tetapi hanya pada jumlah relatif zat terlarut terhadap jumlah total molekul yang ada.
Diagram terhadap T menunjukkan dengan jelas penurunan titik beku dan kenaikan titik
didih. Dalam gambar 4.4(a) garis lurus berkaitan dengan pelarut murni. Karena zat terlarut
adalah involatil , maka tidak nampak dalam fase gas, sehingga kurva gas sama seperti untuk gas
37

murni. Jika diasumsikan bahwa zat padat hanya mengandung pelarut, maka kurva untuk zat
padat tidak berubah. Tetapi karena zat zair mengandung zat terlarut, maka pelarut menurun
pada setiap temperatur sebesar RT ln x. Kurva putusputus dalam gambar 4.4(a) adalah kurva
untuk pelarut dalam larutan ideal. Gambar menunjukkan secara langsung bahwa titik interseksi
dengan kurva untuk zat padat gas telah bergeser. Titik interseksi baru adalah titik beku, Tf, dan
titik didih Tb, larutan. Tampak bahwa titik didih larutan lebih tinggi daripada pelarut murni
(kenaikan titik didih), sedangkan titik beku larutan adalah menurun (penurunan titik beku). Dari
gambar tampak jelas bahwa perubahan titik beku adalah lebih besar daripada perubahan titik
didih untuk larutan dalam konsentrasi yang sama.
Penurunan titik beku dan kenaikan titik didih dapat digambarkan pada diagram fase
pelarut biasa , ditunjukkan dengan kurva gambar 4.4(b). Jika zat involatil ditambahkan ke
pelarut cair, maka tekanan uap menurun pada larutan ditunjukkan oleh garis titiktitik. Garis
putus-putus menunjukkan titik beku baru sebagai fungsi temperatur. Pada tekanan 1 atm, titik
beku dan titik didih diberikan oleh interseksi garis padat dan putus-putus dengan garis datar pada
tekanan 1 atm. Diagram ini juga menunjukkan bahwa konsentrasi zat terlarut yang diberikan
menghasilkan efek lebih banyak kepada titik beku daripada kepada titik didih.

(a)

(b)
Gambar 4.3 Sifat koligatif

Titik beku dan titik didih larutan tergantung pada kesetimbangan pelarut dalam larutan
dengan pelarut padatan murni atau uap pelarut murni. Keseimbangan lain yang mungkin adalah
antara pelarut dalam larutan dan pelarut cairan murni. Kesetimbangan ini dapat diperoleh dengan
menaikkan tekanan pada larutan secukupnya untuk menaikkan pelarut dalam larutan ke harga
pelarut murni. Tekanan tambahan pada larutan yang dibutuhkan untuk memperoleh kesamaan
pelarut dalam larutan dan pelarut murni disebut Tekanan Osmotik larutan
4.6 Penurunan Titik Beku
Perhatikan suatu larutan dalam kesetimbangan dengan pelarut padatan murni. Kondisi
kesetimbangan menuntut
(T,p,x ) = solid (T, p)
(4.10)
dimana (T,p,x ) adalah potensial kimia pelarut dalam larutan, solid (T,p) adalah potensial kimia
padatan murni. Karena zat padat murni, maka solid tidak tergantung pada suatu variabel
komposisi. Dalam persamaan (4. 10), T adalah temperatur kesetimbangan,titik beku larutan; dari
bentuk persamaan (4. 10), T adalah suatu fungsi tekanan dan x adalah fraksi mol pelarut dalam
larutan. Jika tekanan tetap, maka T adalah hanya fungsi x.
Jika larutan adalah ideal, maka (T,p,x ) dalam larutan diberikan oleh persamaan (4. 5),
sehingga persamaan (4. 10) menjadi
o (T, p) + RT ln x = solid (T, p)
38

o (T , p ) solid (T , p)
ln x =
(4.11)
RT
karena o adalah potensial kimia zat zair murni, maka o (T,p ) solid (T, p) = Gfus, dimana
Gfus adalah energi Gibbs molar peleburan dari pelarut murni pada temperatur T. Persamaan (4.
11) menjadi
G fus
ln x =
(4.12)
RT
Untuk menemukan bagaimana T tergantung pada x, evaluasi (T/x )p . Hasil diferensiasi
1
1 ( G fus /T )
T
=-
x
R
x p
T
p
Dengan menggunakan persamaan GibbsHelmholtz, persamaan (1.54),
H
(G /T )
= 2
T
T
p
diperoleh
H fus T
1
=
(4.13)
x
x p
RT 2
jika diintegralkan
x
T H
(4.14)
1 dxx = T o fus2 dT
RT
H fus 1 1

ln x =
(4.15)
T To
R
1
R ln x
1
= T H
(4.16)
T
o
fus
yang menghubungkan titik beku larutan ideal dengan titik beku pelarut murni, To, panas
peleburan pelarut, dan fraksi mol pelarut dalam larutan, x.
Hubungan antara titik beku dan komposisi suatu larutan dapat sangat disederhanakan
jika larutan encer. Fraksi mol pelarut diberikan sebagai berikut
n
n
x = n+n +n =
n+nM
(
m
2 +m3 +. .. )
2
3
1
x=
(4.17)
1+Mm
dengan logaritma dan diferensiasi didapat ln x = ln(1+Mm), dan
M . dm
d ln x =
(4.18)
1+Mm
persamaan (4. 4) dapat ditulis
RT 2
dT =
d ln x
H fus
penggantian d ln x dengan harga dalam persamaan (4.18) didapat
dm
MRT 2
dT =
(4.19)
H fus (1+ Mm)
Jika larutan sangat encer dalam keseluruhan zat terlarut, maka m mendekati nol dan T mendekati
T0, dan persamaan (4. 19) menjadi
MRT 2
T
0

=
= Kf
(4.20)
m p , m=0
H fus

]( )

( )

( )

39

subskrip, m = 0 menandai harga batas derivativ, dan Kf adalah konstan penurunan titik beku.
Penurunan titik beku f = ToT, df = dT, sehingga untuk larutan encer didapat
T
= Kf
(4.21)
m p , m=0
jika m kecil maka
f = Kf m
(4.22)
Konstanta Kf hanya tergantung pada sifat pelarut murni.
Jiks w2 kg zat terlarut tidak diketahui dengan massa molar M2 dilarutkan dalam w kg
pelarut, maka molalitas zat terlarut adalah m = w2/wM2. Sehingga untuk M2:
K f w2
M2 =
f w
Dari persamaan (4. 20) dengan menggantikan H= To Sfus, diperoleh
RMT o
Kf =
(4.23)
S fus

( )

4.7 Kelarutan
Dalam kondisi kesetimbangan harga zat terlarut harus sama dimana saja yaitu
2(T,p, x2) = solid (T, p)
(4.24)
dimana x2 adalah fraksi mol zat terlarut dalam larutan jenuh, karena itu kelarutan zat terlarut
diungkapkan sebagai fraksi mol. Jika Jika larutan ideal, maka
2 o (T, p) + RT ln x2 = 2 solid (T, p)
o
dimana 2 (T, p) adalah potensial kimia zat terlarut cairan murni.
Persamaan yang sesuai persamaan (4. 15) adalah
H fus 1 1

ln x2 =
(4.25)
T To
R

Hfus adalah panas peleburan zat terlarut murni, To titik beku zat terlarut murni. Dengan
menggunakan Hfus = To Sfus dalam persamaan (4. 25) diperoleh
T
S fus
ln x2 =
(4.26)
1 o
T
R

4.8 Kenaikan Titik Didih


Perhatikan suatu larutan yang berada dalam kesetimbangan dengan uap pelarut murni.
Kondisi kesetimbangan
(T,p,x ) = vap (T, p)
(4.27)
Jika larutan tersebut ideal
o (T, p) + RT ln x = vap (T, p)
dan
o ( T , p)
ln x = vap
RT
Energi Gibbs penguapan molar adalah
Gvap = vap (T, p) o (T, p)
sehingga
G vap
ln x =
(4.28)
RT
penulisan finalnya

40

H vap 1 1
1
R ln x
1

atau
=
+
(4.29)
T To
T o H vap
T
R
Titik didih T larutan diungkapkan dalam terminologi panas penguapan dan titik didih pelarut
murni, Hvap dan To, dan fraksi mol x pelarut dalam larutan. Jika larutan encer dalam semua zat
terlarut, maka m mendekati nol dan T mendekati To. Konstanta kenaikan titik didih didefinisikan
dengan
MRT 2
T
0
Kb=
=
(4.30)
m p , m=0
H vap
Kenaikan titik didih, b = T To, sehingga d b = dT. Selama m adalah kecil, persamaan (4. 30)
terintegrasi menjadi
b = Kb m
(4.31)
Kenaikan titik didih digunakan untuk menentukan berat molekular zat terlarut dalam cara yang
sma sebagaimana penurunan titik beku. Dalam persamaan (4. 30) jika Hvap diganti dengan To
Svap maka
RMT o
Kb =
S vap
Tetapi banyak zat zair mengikut aturan Trouton : S 90 J/K mol. Karena R = 8,3 J/K mol,
maka perkiraan Kb 101 MTo.
ln x2 =

( )

4.9 Tekanan Osmotik


Gejala sosmosis adalah perjalanan pelarut murni ke dalam larutan, yang keduanya
terpisah oleh membran semipermeabel, yaitu membran yang dapat diresapi oleh pelarut tetapi
tidak oleh zat terlarutnya. Tekanan osmosis adalah tekanan yang harus diberikan kepada larutan
agar alirannya berhenti. Satu contoh terpenting dari osmosis adalah transpor fluida melalui
membran sel, yang juga merupakan dasar osmometri, yaitu penentuan massa molar dengan
pengukuran tekanan osmosis, terutama makromolekular. Tekanan berlawanan berasal dari
bagian atas larutan yang dihasilkan oleh osmosis itu sendiri. Kesetimbangan dicapai jika tekanan
hidrostatis kolom larutan sama dengan tekanan osmosis. Kerumitan susunan ini adalah
masuknya pelarut ke dalam larutan menyebabkan pengenceran larutan itu.
4.9.1 Persamaan vant Hoff
Persyaratan kesetimbangan adalah bahwa potensial kimia air harus memiliki harga yang
sama pada setiap sisi membran pada setiap kedalaman dalam gelas. Kesamaan potensial kimia
ini dicapai dengan suatu beda tegangan pada kedua sisi membran. Pada kedalaman tertentu
pelarut di bawah tekanan p, sedangkan larutan di bawah tekanan p+ . Jika (T,p+ ,x) adalah
potensial kimia pelarut dalam larutan di bawh tekanan p+, dan 2 o (T, p) pelarut yang murni di
bawah tekanan p, kemudian kondisi kesetimbangan adalah
(T, p+ ,x ) = o (T, p)
(4.32)
dan
o(T, p+ ) + RT ln x = o (T, p)
(4.33)
o
o
Dari persamaan fundamental pada T konstan, didapat d = V dp . Dengan integrasi

o(T, p+ ) o (T, p) =
Persamaan (4. 33) menjadi

p+

V dp

(4.34)

p+

(4.35)
V o dp + RT ln x = 0
Dalam persamaan (4. 35) V o adalah volume molar pelarut murni. Jika pelarut tidak dapat
ditekan, maka V o bebas dari tekanan dan dapat dibuang dari integral. Maka

41

V o + RT ln x = 0
(4.36)
Untuk konsentrasi zat terlarut, ln x = ln (1x2). Jika larutan adalah encer, maka x2 << 1; logaritma
dapat diekspansi dalam deret,
n2
n
ln (1x2) = x2 =
2
n+n 2
n
Karena n2 << n dalam larutan encer. Maka persamaan (4. 36) menjadi
n 2 RT
=
(4.37)
nV o
Jika larutan encer, maka n2 sangat kecil sehingga
n RT
= 2
atau = cRT
(4.38)
V
Persamaan ini adalah persamaan vant Hoff untuk tekanan osmotik.
4.9.2 Pengukuran Tekanan Osmotik
Pengukuran tekanan osmotik berguna untuk menentukan massa molar materi yang hanya
sedikit dapat larut dalam pelarut, atau yang memiliki massa molar sangat tinggi (misal protein,
polimer berbagai tipe, koloid). Ini adalah pengukuran yang sesuai karena besarnya tekanan
osmotik.
Pada 25oC, produk RT 2480 J/mol. Jadi untuk 1 mol/L larutan (c = 1000 mol/m3),
didapat
= cRT
= 2,48 x 106 Pa = 24,5 atm
Dalam penentuan massa molar, jika w2 adalah massa zat terlarut yang terlarut dalam
volume, V, maka = w2RT/M2V atau
w RT
M2 = 2
V
Bahkan ketika w2 kecil dan M2 besar, harga dapat terukur dan dapat diubah menjadi harga M2.
SOALSOAL:
1.
Interpretasikan (a) penurunan titik beku dan (b) kenaikan titik didih dalam terminologi
potensial kimia sebagai suatu ukuran escaping tendency
2.
Dua puluh gram zat terlarut ditambahkan ke 100 gram air pada 25 o C. Tekanan uap air
murni adalah 23,76 mmHg; tekanan uap larutan adalah 22,41 mmHg.
a)
Hitung massa molar zat terlarut
b)
Berapa massa zat terlarut yang dibutuhkan dalam 100 gram air untuk mengurangi
tekanan uap 1,5 harga untuk air murni?
3.
Dua gram asam benzoat dilarutkan dalam 25 gram benzena, Kf = 4,9 K kg/mol,
menghasilkan penurunan titik beku 1,62 K. Hitung massa molar. Bandingkan dengan massa
molar yang diperoleh dari rumus asam benzoat, C6H5COOH.
4.
Panas peleburan asam asetat adalah 11,72 kJ/mol pada titik leleh 16,61 oC. Hitung Kf
untuk asam asetat
5.
Jika 6 gram urea, (NH2)2CO, dilarutkan dalam 1 L larutan, hitung tekanan osmotik
larutan pada 27o C

42

BAB V
LARUTAN
(BANYAK KOMPONEN VOLATIL; LARUTAN ENCER IDEAL)
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1.
memahami ciriciri larutan ideal
2.
menghitung potensial kimia larutan ideal
3.
menerapkan hukum Raoult dalam larutan biner
4.
memahami ciriciri campuran yang azeotrop
5.
menerapkan hukum Henry untuk menerangkan hubungan tekanan parsial dengan fraksi
mol kesetimbangan, dan kelarutan suatu gas
5.1 Karakteristik Umum Larutan Ideal
Konsep dari suatu larutan ideal meluas ke larutan yang berisi beberapa unsur mudah
menguap. Sama dengan dulu, konsep didasarkan pada suatu penyamarataan perilaku yang
bersifat percobaan dari larutan nyata dan menghadirkan suatu perilaku membatasi yang didekati
oleh semua larutan nyata.
Perhatikan suatu larutan yang tersusun beberapa zat volatil dalam suatu wadah yang
sebelumnya dikosongkan. Karena semua komponen volatil, beberapa larutan menguap
memenuhi ruang di atas zat zair dengan uap. Ketika larutan dan uap sampai kesetimbangan pada
temperatur T, tekanan total dalam kontainer adalah jumlah tekanan parsial beberapa komponen
larutan:
p = p1 + p2+
(5.1)
tekanan sebagian ini adalah terukur; seperti fraksi mol kesetimbangan x1, .., xi,.., dalam zat
zair. Misal satu komponen, i, ada dalam jumlah relatif besar ibanding yang lain. Ditemukan
secara eksperimen bahwa
pi = xi pio
(5.2)
o
dimana pi adalah tekanan uap komponen zat zair murni i. Persamaan (5.2) adalah hukum Raoult,
dan secara eksperimen itu diikuti larutan manapun ketika xi mendekati kesatuan dengan
mengabaikan komponen yang hadir dalam jumlah berlebihan. Ketika suatu larutan encer dalam
semua komponen kecuali pelarut, pelarut selalu mengikuti hukum Raoult. Karena semua
komponen adalah volatil, masing-masing dapat ditunjuk sebagai pelarut. Oleh karena itu larutan
ideal digambarkan dengan persyaratan bahwa masing-masing komponen mematuhi Hukum
Raoult, persamaan (5.2), atas keseluruhan cakupan komposisi. Arti lambang penting dinyatakan
lagi: pi adalah tekanan sebagian i dalam fase uap; pio adalah tekanan uap zat zair murni; dan xi
adalah fraksi mol i dalam campuran zat zair.
Larutan ideal memiliki dua sifat penting : panas pencampuran komponen murni untuk
membentuk larutan adalah nol, dan volume pencampuran adalah nol. Sifat ini diamati sebagai
perilaku batas dalam semua larutan nyata. Jika pelarut tambahan ditambahkan ke suatu larutan
yang encer dalam keseluruhan zat terlarut, panas pencampuran mendekati nol selagi larutan
semakin encer. Dalam keadaan yang sama, volume pencampuran dari semua larutan nyata
mendekati nol.
5.2 Potensial Kimia dalam Larutan Ideal
Perhatikan suatu larutan ideal dalam kesetimbangan dengan uapnya pada temperatur
tertentu T. Untuk setiap komponen, kondisi kesetimbangan adalah i = i vap, dimana i adalah
potensial kimia i dalam larutan, i vap adalah potensial kimia i dalam fase uap. Jika uap adalah
ideal, maka dengan argumen yang sama, harga i adalah
i = io (T, p) + RT ln xi
(5.3)
43

dimana io (T, p) adalah potensial kimia zat cair murni i pada temperatur T dan di bawah tekanan
p. Potensial kimia setiap komponen larutan diberikan dalam ungkapan dalam persamaan (5.3).
Gambar 5.1 menunjukkan variasi i io sebagai fungsi xi . Selagi xi menjadi sangat kecil, harga
i berkurang dengan sangat cepat. Pada semua harga xi, harga i kurang dari io.
Karena persamaan (5.3) secara formal sama dengan persamaan (2.5) untuk setiap gas
ideal dalam campuran, dengan alasan sama dalam pencampuran
Gmix = n RT
Smix = - n R

xi ln xi

(5.4)

xi ln xi

(5.5)

Hmix = 0, Vmix = 0
(5.6)
dimana n adalah jumlah mol total dalam campuran. Tiga sifat larutan ideal (hukum Raoult, panas
pencampuran nol, volume pencampuran nol) sangat dekat dihubungkan. Jika hukum Raoult
untuk setiap komponen, kemudian panas dan volume mencampur akan menjadi nol.
( i i o)

Gambar 5.1 ( i i o) versus xi


5.3 Larutan Biner
Dalam larutan biner x1 + x2 = 1, didapat
p1 = x1 p1o
(5.7)
dan
p2 = x2 p2o = (1 x1) p2o
(5.8)
Jika tekanan total larutan adalah p, maka
p = p1 + p2 = x1 p1o + (1 x1 ) p2o
p = p2o + (p1o p2o ) x1
(5.9)
yang menghubungkan total tekanan atas campuran kepada fraksi mol komponen 1 dalam cairan.
Gambar 5.2a menunjukkan bahwa p adalah suatu fungsi linier x1. Jelas dari Gambar 5.2(a) bahwa
penambahan suatu zat terlarut dapat menaikkan atau menurunkan tekanan uap pelarut
tergantung mana yang lebih volatil.
Tekanan total dapat juga diungkapkan dalam simbol y1, fraksi mol komponen 1 dalam
uap. Dari definisi tekanan parsial
y1 = p1 / p
(5.10)
menggunakan harga p1 dan p dari persamaan (5.7) dan (5.9) diperoleh
0
x 1 p1
y1 = 0
p 2 +( p01 p02 ) x 1

44

(a)
(b)
Gambar 5.2 Tekanan uap sebagai fungsi komposisi
penyelesaian untuk x1 menghasilkan
x1 =

y 1 p 01

(5.11)
p 01 +( p02 p01 ) y 1
menggunakan harga x1 dari persamaan (5.11) dalam persamaan (5.9)
p01 p 02
p= 0
(5.12)
p 1 +( p02 p01 ) y 1
Persamaan (5.12) mengungkapkan p sebagai fungsi y1, fraksi mol komponen 1 dalam uap.
Fungsi ini dialurkan dalam Gambar 5.2(b). Hubungan dalam persamaan (5.12) dapat disusun
ulang menjadi lebih baik, dalam bentuk simetrik
y1
y2
1
= 0 + 0
(5.13)
p
p1
p2
5.4 Azeotrop
Campuran ideal atau hampir ieideal dapat dipisahkan ke dalam unsur mereka oleh
penyulingan fraksi. Pada sisi lain, jika penyimpangan dari hukum Raoult menjadi sangat besar
seperti menghasilkan suatu maksimum atau suatu minimum kurva-tekanan uap air, maka
maksimum atau minimum yang bersesuaian muncul dalam kurva titik didih itu. Campuran
seperti itu tidak bisa sepenuhnya dipisahkan ke dalam unsur oleh penyulingan fraksi. Hal Itu
dapat ditunjukkan bahwa jika kurva-tekanan uap mempunyai suatu yang minimum atau
maksimum, maka pada titik itu kurva uap dan cairan itu harus menjadi tangen untuk satu sama
lain dan cairan dan uap harus mempunyai komposisi yang sama. Campuran yang mempunyai
tekanan uap minimum atau maksimum disebut azeotrop ( dari Yunani: untuk mendidih tanpa
perubahan).
Perhatikan sistem yang ditunjukkan dalam Gambar 5.3 yang memperlihatkan titik didih
maksimum. Jika suatu campuran yang digambarkan dengan titik a memiliki komposisi azeotrop,
dipanaskan, pertama uap akan terbentuk pada temperatur t; dimana uap memiliki komposisi
sama sebagai zat cair; konsekuensinya, hasil penyulingan yang diperoleh mempunyai komposisi
yang sama persis seperti cairan yang asli; tidak ada separasi yang dihasilkan. Jika suatu
campuran digambarkan dengan b dalam Gambar 5.3 dipanaskan, uap pertama terbentuk pada t,
dan memiliki komposisi v. Uap ini kaya dengan komponen titik didih lebih tinggi. Fraksinasi
akan memisahkan campuran menjadi komponen 1 asli dalam hasil distilasi dan meninggalkan
campuran azeotrop dalam wadah. Suatu campuran yang digambarkan dengan c akan mendidih
pertama pada t; uap akan memiliki komposisi v. Fraksinasi campuran ini akan menghasilkan
komponen 2 murni dalam hasil distilasi dan azeotrop dalam wadah.
Perilaku azeotrop titik didih minimum ditunjukkan dalam Gambar 5.4 adalah analog.
Campuran yang digambarkan dengan b pertama mendidih pada temperatur t, uap memiliki
45

komposisi v. Fraksinasi campuran ini menghasilkan azeotrop dalam distilatnya; komponen 1


murni tersisa dalam wadah. Begitu juga fraksinasi campuran yang digambarkan dengan c akan
menghasilkan azeotrop dalam distilatnya dan meninggalkan komponen 2 murni dalam wadah.
Azeotrop menyerupai suatu campuran murni dalam sifat mendidih pada suatu temperatur
tetap, sedangkan campuran biasa mendidih untuk suatu rentang temperatur. Bagaimanapun,
perubahan tekanan menghasilkan perubahan dalam komposisi azeotrop, sebagaimana perubahan
dalam titik didih, sehingga tidak dapat menjadi senyawa.

Gambar 5.3 Diagram t x dengan titik


didih maksimum

Gambar 5. 4 Diagram t x
dengan titik didih minimum

5.5 Potensial Kimia Dalam Larutan Encer Ideal


Karena pelarut mengikuti hukum Raoult, potensial kimia pelarut diberikan oleh
persamaan (5.3),
1 = 1o (T, p) + RT ln x1
Untuk zat terlarut
j (l) = j (g) = jo (g) + RT ln pj
Dengan menggunakan hukum Henry, untuk pj, menjadi
j (l) = jo (g) + RT ln Kj + RT ln xj
Definisi energi bebas standar, j* dengan
j* (l) = jo (g) + RT ln Kj
(5.14)
*
dimana j adalah fungsi temperatur dan tekanan, tetapi bukan fungsi komposisi. Ungkapan final
untuk j dalam cairan adalah
j = j* + RT ln xj
(5.15)
*
Menurut persamaan (5.15), j adalah potensial kimia zat terlarut j akan mempunyai status yang
hipotetis di mana xj = 1 jika hukum Henry dipatuhi atas keseluruhan cakupan 0 xj 1.
Fraksi mol, x j, sering tidak sesuai untuk mengukur konsentrasi zat terlarut dalam larutan
encer. Molalitas, mj, dan molaritas, cj, lebih sering digunakan. Kita dapat menggunakan
persamaan (5.15) untuk menemukan ungkapan potensial kimia dalam hubungannya dengan mj
atau cj.
n
mj = j
atau nj = nMmj
(5.16)
nM
Dengan menggunakan hasil ini nj dalam ungkapan untuk xj
Mm j
xj =
(5.17)
1+Mm
dimana m = j mj, molalitas total semua zat terlarut. Dalam larutan encer selagi m mendekati
harga nol, maka
x
M
lim j = lim
=M
m=0
1+mM
m
m=0
j

( )

sedemikian sehingga dekat m= 0


46

x j = Mmj

(5.18)

Dapat ditulis
mj

( )

o
xj = Mmo m
(5.19)
dimana mo adalah konsentrasi molal standar, mo = 1mol/kg. Harga xj ini dapat digunakan dalam
persamaan (5.15)
mj
j = j* + RT ln Mmo + RT ln
mo
dengan mendefinisikan j** = j* + RT ln Mmo, maka
j = j** + RT ln mj
(5.20)
dimana mj sebagai suatu singkatan jumlah murni, mj / (1 mol/kg). Persamaan (5.20)
mengungkapkan j dalam larutan encer sebagai fungsi yang cocok dari mj. Harga standar j**
adalah harga j yang dipunyai dalam keadaan hipotetik molalitas satuan jika larutan telah
memiliki sifat larutan encer ideal dalam rentang 0 mj 1.

( )

5.6 Hukum Henry dan Kelarutan Gas


Hukum Henry menghubungkan tekanan parsial zat terlarut dalam fase uap dengan fraksi
mol zat terlarut dalam larutan. Mengamati hubungan ini dengan cara lain, hukum Henry
menghubungkan fraksi mol kesetimbangan, kelarutan j dalam larutan, dengan tekanan parsial j
dalam uap :
1
xj = K pj
(5.21)
j
Persamaan (5.21) menyatakan bahwa kelarutan xj konstituen volatil adalah proporsional terhadap
tekanan parsial konstituen dalam fase gas dalam kesetimbangan dengan zat cair. Persamaan
(5.21) digunakan untuk menghubungkan data pada kelarutan gas dalam zat cair. Jika pelarut dan
gas tidak bereaksi secara kimiawi, kelarutan gas dalam zat cair biasanya kecil. Di sini kita
mempunyai contoh yang lain arti phisik tekanan parsial.
Kelarutan gas sering diungkapkan sebagai koefisien absorpsi Bunsen, , volume gas,
diukur pada 0o C dan 1 atm, dilarutkan dengan satu satuan volume pelarut jika tekanan parsial
gas 1 atm.
V oj ( g )
j=
(5.22)
V (l )
o
o
tetapi V j ( g ) = n j RTo/po, sedangkan volume pelarut adalah V(l) = nM/ , dimana n adalah
jumlah mol pelarut, M adalah masa molarnya, dan , densitas. Jadi
n o RT / p
j= j o o
(5.23)
nM /
Ketika tekanan parsial gas p j = p o = 1 atm, kelarutan dengan hukum Henry adalah xjo,
n oj
1
o
xj =
o = K
n+n
j
j

Jika larutan adalah encer, maka

1
n oj
= K
n
j
o
Dengan menggunakan harga ini n j /n dalam persamaan (5.23) menjadi
RT o

j Kj =
= (0,022414 m3/mol)
,
M
M
po

( )( )

(5.24)

(5.25)
47

yang merupakan hubungan antara konstanta hukum Henry Kj dan koefisien absorpsi j; jika
salah satu diketahui maka yang lain dapat dihitung. Kelarutan gas dalam mol per satu satuan
o
volume pelarut, n j /(nM/ ), berbanding lurus dengan j, persamaan (5.23); karena itu j lebih
sesuai dibanding Kj untuk diskusi kelarutan.
5.7 Distribusi Suatu Zat Terlarut antara Dua Pelarut
Jika larutan encer iodium digojog dengan CCl4 , iodium didistribusikan antara dua pelarut
yang tidak dapat campur. Jika dan ` adalah potensial kimia iodium dalam air dan CCl4, maka
pada kesetimbangan = `. Jika kedua larutan adalah larutan encer ideal, maka dengan memilih
persamaan (5.15) untuk mengungkapkan dan `, kondisi kesetimbangan menjadi * + RT ln x
= * + RT ln x, yang dapat disusun ulang menjadi
x'
RT ln
= - (`* - )
(5.26)
x
Karena `* dan bebas dari komposisi, maka
'
x
=K
(5.27)
x
dimana K adalah koefisien distribusi atau koefisien partisi, tidak tergantung dari konsentrasi
iodium dalam dua lapisan. Kuantitas `* - adalah perubahan energi Gibbs standar G* untuk
transformasi
I2 (dalam air) I2 (dalam CCl4)
Persamaan (5. 26) menjadi
RT ln K = - G *
(5.28)
yang merupakan hubungan umum antara perubahan energi Gibbs standar dan tetapan
keseimbangan suatu reaksi kimia
Jika larutan sangat encer, maka fraksi mol proporsional terhadap molalitas atau molaritas,
sehingga
m'
c'
K =
dan
K =
(5.29)
m
c
Dimana K dan K tidak tergantung pada konsentrasi dalam dua lapisan.
SOALSOAL:
1.
Campuran gas dari dua zat di bawah tekanan total 0,8 atm berada dalam kesetimbangan
dengan larutan cair ideal. Fraksi mol zat A adalah 0,5 dalam fase uap dan 0,2 dalam fase cair.
Berapa tekanan uap dua cairan murni tersebut?
2.
Beberapa sistem nonideal dapat direpresentasikan dengan persamaan p1 = x1o p1o dan p2 =
o
x2 p2o. Tunjukkan bahwa jika konstanta a > 1, maka tekanan total menunjukkan harga
minimum, sedangkan jika a < 1, maka tekanan total menunjukkan harga maksimum.
3.
Komposisi uap di atas suatu larutan ideal biner ditentukan dengan komposisi zat cair.
Jika x1 dan y1 adalah fraksi mol zat 1 dalam zat cair dan uap, tentukan harga x1 yang mana y1
x1 memiliki harga maksimum. Berapa harga tekanan pada komposisi tersebut?
4.
Konstanta hukum Henry untuk argon dalam air adalah 2,17 x 104 pada 0o C dan 3,97 x
104 pada 30o C. Hitung panas larutan standar argon dalam air.
5.
Pada 800o C, 1,6 x 104 mol O2 larut dalam 1 mol perak. Hitung koefisien edsorpsi Bunsen
untuk oksigen dalam perak; (Ag) = 10,0 gram/cm3.

48

BAB VI
KESETIMBANGAN ANTAR FASE TERKONDENSASI
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1. memahami konsep kesetimbangan antar fase
2. memahami diagram eutektik sederhana
3. menjelaskan fenomena penurunan titik beku dan kenaikan titik didih
6.1 Kesetimbangan CairCair
Jika sejumlah kecil toluena ditambahkan ke dalam beaker glass yang telah terisi
benzena lalu kita perhatikan, tanpa memandang jumlah toluena yang ditambahkan, campuran
yang diperoleh akan berupa satu fase. Dua cairan tersebut disebut saling melarutkan (completely
miscible). Kebalikan dari sifat ini jika air dicampurkan ke nitrobenzena akan terbentuk dua
lapisan cairan yang terpisah,air akan mengandung sejumlah kecil nitrobenzena yang dapat
larut,demikian juga nitrobenzena mengandung hanya sedikit air yang dapat larut. Cairan
semacam ini disebut tidak saling melarutkan (immiscible). Jika sejumlah phenol ditambahkan ke
dalam air mula mula akan terbentuk cairan satu fase, pada penambahan phenol selanjutnya maka
air akan jenuh dengan phenol dan bila terus ditambahkan phenol ke dalamnya akan terbentuk
dua lapisan cairan, satu lapisan kaya dengan air lapisan yang lain kaya dengan phenol. Cairan
semacam ini disebut saling melarutkan sebagian (partially miscible). Sistem semacam inilah
yang akan kita bahas di sini.
Perhatikan sistem yang berada dalam kesetimbangan yang terdiri dari dua lapisan cairan
atau dua fase cairan. Misalnya salah satu lapisan cairan terdiri dari cairan A murni,lapisan yang
lain adalah larutan jenuh A dalam B. Kesetimbangan ini secara termodinamika dapat dinyatakan
bahwa potensial kimia A dalam larutan, A, sama dengan potensial kimia A dalam cairan
0
0
murninya, A . Yaitu A = A , atau
0
A - A =0
(6.1)
Apakah persamaan (6.1) dapat memenuhi untuk larutan ideal? Di dalam larutan ideal yaitu
persamaan (5.3),
0
A - A = RT ln xA
(6.2)
Jelas dari persamaan (6.2) bahwa RT ln xA tidak pernah nol, jika tidak demikian maka campuran
A dan B akan memiliki xA = 1, yang artinya, campuran tidak mengandung B. Dalam gambar 6.1,
0
0
A - A diplotkan terhadap xA untuk larutan ideal (garis penuh). Nilai A - A negativ untuk
semua komposisi larutan ideal. Artinya zat A murni saelalu dapat ditransfer ke dalam larutan
ideal dengan berkurangnya energi Gibbs. Konsekuensinya, zat yang dapat membentuk larutan
ideal tentu saling melarutkan satu sama lain secara sempurna.
( i i o)

Gambar 6.1 Potensial kimia dalam larutan nonideal


49

Untuk kelarutan parsial nilai A - A akan nol pada beberapa komposisi tertentu,
0
sehingga A - A akan membentuk semacam kurva seperti yang tertera pada gambar 6.1. Pada
'
0
'
titik x A ,nilai A- A adalah nol,dan sistemnya adalah larutan dengan fraksi mol A = x A dan
'
lapisan lainnya terdiri dari cairan A murni.Nilai x A adalah kelarutan A dalam B yang
dinyatakan dalam fraksi mol.Jika fraksi mol A dalam B melebihi nilai ini ,maka seperti
0
0
ditunjukkan oleh gbr.6.1 tampak bahwa A- A akan positif sehingga A > A .Pada keadaan ini
A secara spontan akan meninggalkan larutan untuk masuk ke cairan murninya (A), sehingga
'
mengurangi xA hingga tercapai nilai kasetimbangan x A .
Cairan yang hanya saling melarutkan sebagian akan membentuk larutan yang jauh dari
ideal sebagaimana tampak pada kurva 6.1. Untuk mempelajari hal ini kita akan membatasi
deskripsi masalahnya pada interpretasi hasil hasil eksperimen dalam lingkup aturan fase.
Perhatikan jika pada suhu T1, sejumlah kecil zat A ditambahkan secara berturut turut ke
dalam cairan B. Mula mula A akan larut sempurna, keadaan ini dapat dilihat sebagaimana
digambarkan pada diagram T-X yaitu gambar 6.2a, yang dinyatakan pada tekanan konstan. Titik
a,b,c menunjukkan komposisi setelah penembahan A pada B. Karena semuanya larut maka titik
titik tersebut terletak pada daerah satu fase. Setelah penambahan sejumlah tertentu akan dicapai
suatu batas kelarutan yaitu pada titik l1. Bila penambahan dilanjutkan akan dihasilkan dua lapisan
cairan karena A tidak dapat larut lagi. Jadi daerah disebelah kanan l1 adalah daerah dua fase. Hal
yang sama dapat dilakukan sebaliknya yaitu B ditambahkan ke A dan akan diperoleh kurva
sebagaimana tampak pada gambar 6.2a.

Gambar 6.2
Diagram T-X untuk sistem phenol-air tampak pada gambar 6.2b, apabila suhu dinaikkan
maka kelarutan masing masing zat akan berubah . Kurva kelarutan akan bertemu di titik yaitu
pada suhu konsolut atas(upper consolute temperature) yang juga disebut suhu larutan kritis
(critical solution temperature), tc, di atas tc air dan phenol akan larut sempurna. Sembarang titik a
di bawah lengkungan menyatakan keadaan sistem yang terdiri dari dua lapisan cairan, yaitu L1
dengan komposisi l1 dan L2 dengan komposisi l2 . Massa relativ dari dua lapisan tersebut
dinyatakan oleh aturan Lever, yaitu merupakan perbandingan segmen dari garis dasi
(l1l2).Yaitu :
moll 1 ( al 2 )
=
.
moll 2 ( al 1 )
Beberapa sistem diketahui kelarutannya akan berkurang dengan naiknya suhu. Pada sistem ini
dapat diamati adanya suhu konsolut bawah (lower consolute temperature),sebagaimana tampak
pada gambar 6.3(a) yaitu sistem trietilamin-air yang suhu konsolut bawahnya 18,50C. Karena
kurva yang begitu datar sehingga sulit menentukan komposisi larutan pada suhu konsolutnya,
hanya tampak kira kira 30% berat trietilamina. Jika larutan pada keadaan a dipanaskan
keadaannya akan tetap homogen sampai pada suhu sedikit di atas 18,5 0C; kemudian pada titik a
cairan akan memisah menjadi dua lapisan. Pada suhu yang lebih tinggi lagi misalnya a larutan
akan mempunyai komposisi l1 dan l2, menurut aturan lever l1 akan lebih besar daripada l2. Pada
50

tipe ini kelarutan bertahan pada suhu yang rendah,sehingga pada suhu yang lebih tinggi senyawa
akan terdissosiasi.

Gambar 6.3.
Beberapa zat memiliki baik suhu konsolut atas maupun bawah. Diagram untuk sistem
nikotin-air tampak pada gambar 6.3(b). Suhu konsolut bawah sekitar 61 0C, suhu konsolut
atasnya 210 0C. Semua titik di dalam lengkungan terdapat dua fase, di luarnya adalah satu fase.
Aturan fase untuk sistem pada tekanan konstan adalah F= C-P+1, dengan F adalah
jumlah variabel selain tekanan yang diperlukan untuk mendeskripsikan sistem. Untuk sistem dua
komponen, F = 3-P. Jika ada dua fase maka hanya perlu satu variabel untuk mendeskripsikan
sistem. Di daerah dua fase jika suhunya ditentukan maka perpotongan garis dasi dengan kurva
akan menghasilkan komposisi larutan yang bersesuaian. Jika hanya satu fase, F = 2 maka suhu
dan komposisi telah tertentu.
6.2 Distilasi Cairan yang Larut Sebagian dan Tidak Larut
Pada bahasan di atas diasumsikan tekanan cukup tinggi sehingga uap tidak terbentuk di
daerah kisaran suhu yang dibahas. Situasi serupa pada suhu yang lebih rendah digambarkan pada
gambar 6.4a yang juga menampakkan kurva uap-cair masih dengan asumsi pada tekanan yang
cukup tinggi, sampai di sini interpretasi masih bisa dibuat secara terpisah. Biasanya kelarutan
parsialpada suhu rendah, walau tidak selalu demikian, menunjukkan azeotrop didih minimum,
seperti tampak pada gambar 6.4a. Kelarutan parsial menunjukkan bahwa saat dicampurkan,
kedua komponen memiliki kecenderungan menguap yang lebih besar dibanding dalam larutan
ideal. Kecenderungan yang besar ini dapat mencapai maximum dalam kurva komposisi tekanan
uap, dan sesuai dengan itu juga mencapai minimum dalam kurva komposisi-titik didih.
Jika tekanan pada sistem seperti gambar 6.4a diturunkan, titik didih akan turun juga
secara bertahap. Pada tekanan yang cukup rendah, kurva titik didih akan berpotongan dengan
kurva kelarutan cair-cair seperti tampak pada gambar 6.4b yang merupakan skema sistem air-n
butanol pada tekanan 1 atmosphere.
Pada gambar 6.4a, jika suhu dari cairan homogen a dinaikkan, akan terbentuk uap dengan
komposisi b pada ta. Selanjutnya jika uap tersebut didinginkan dan dibawa ke titik c, akan
terbentuk kondensat yang terdiri dari dua lapisan cairan. Jadi distilat pertama hasil distilasi dari
cairan homogen a akan terpisah membentuk dua cairan dengan komposisi d dan e.

51

Gambar 6.4 Distilasi parsial cairan tidak larut


Jika temperatur dari kedua cairan pada c tersebut dinaikkan, komposisi dari kedua cairan
tersebut sedikit bergeser. Sistem menjadi univarian, F = 3-P = 1 di daerah ini. Pada suhu t
,larutan konjugat tersebut memiliki komposisi f dan g dan juga muncul uap pada komposisi h.
Terdapat 3 fase, sepanjang ketiga fase tersebut dipertahankan maka komposisi dan suhunya akan
tetap. Contoh, aliran panas ke dalam sistem tidak mengubah suhu, tetapi hanya menghasilkan
uap lebih banyak pada kedua cairan. Uap h, yang terbentuk lebih kaya air dibanding komposisi
sebelumnya, c, jadi lapisan kaya air akan lebih suka menguap. Setelah lapisan kaya air lenyap,
suhu naik dan komposisi uap berubah sepanjang kurva hb. Terakhir, cairan dengan komposisi a
lenyap pada tA.
Jika dua fase sistem pada daerah komposisi antara f dan h dipanaskan, kemudian pada t
akan terbentuk cairan dengan komposisi f dan g dan uap pada titik h. Sistem pada t adalah
invarian. Karena uapnya kaya butanol dibanding komposisi sebelumnya,lapisan kaya butanol
tersebut lebih mudah menguap meninggalkan cairan f dan uap h. Titik h memiliki sifat
azeotropik, sisitem dengan komposisi ini tidak mengalami perubahan komposisi selama
distillasi. Jadi tidak dapat dipisahkan ke dalam komponen-komponennya dengan cara distillasi.

Gambar 6.5 Cairan tidak larut dalam kesetimbangan dengan uap


Distillasi zat yang tidak larut lebih mudah didiskusikan dari titik pandang yang berbeda.
Perhatikan dua cairan yang tidak larut berada dalam kesetimbangan dengan uapnya pada suhu
tertentu (gambar 6.5). Penghalang hanya memisahkan cairannya, karena tidak saling larut maka
pengambilan penghalang tidak mempengaruhi apapun. Tekanan uap total adalah jumlah dari
p0
0
0
tekanan uap cairan murni: p= p A + p B . Fraksi mol yA dan yB dalam uap adalah : yA = A , yB
p
0
o
0
nA y A p A / p p A
pB
= =
=
=
jika nA dan nB adalah jumlah mol A dan B dalam uap, maka
n B y B p 0B / p p 0B
p
massa A dan B adalah wA = nAMA dan wB = nBMB sehingga
w A M A p 0A
=
(6.3)
w B M B p 0B
yang menghubungkan massa relatif dari kedua zat yang ada di fase uap terhadap massa molar
dan tekanan uapnya. Jika uap ini diembunkan, pers.(6.3) menyatakan massa relatif dari A dan B
dalam kondensatnya. Misalnya sistem anilin(A)-air(B) pada 98,4oC. Tekanan uap anilin pada
52

suhu ini sekitar 42 mmHg, sementara air sekitar 718 mmHg. Tekanan uap total adalah 718+42=
760 mmHg, sehingga campuran ini mendidih pada 98,4oC pada 1 atm.Massa anilin yang
terdistillasi tiap 100 gram air yang terbentuk adalah:
(94 g/mol)(42 mmHg)
wA = 100 g
31 g.
(18 g/mol)(718 mmHg)
Persamaan (6.3) dapat digunakan untuk distillasi uap dari suatu cairan. Beberapa cairan yang
terdekomposisi jika didistillasi secara biasa dapat didistillasi uap jika zat itu memiliki volatilitas
yang cukup di sekitar titik didih air. Di laboratorium, uap dilewatkan pada cairan yang akan
didistillasi uap. Karena tekanan uap lebih besar daripada komponen yang sama, akibatnya titik
didih ada di bawah titik didih kedua cairan. Selanjutnya titik didih adalah merupakan suhu
invarian sepanjang kedua cairan dan uap ada bersama-sama.
Jika tekanan uap dari zat diketahui meliputi suhu di sekitar 100 0C, pengukuran pada
suhu terjadinya distillasi dan rasio massa pada hasil distillasi, dengan persamaan (6.3).
6.3 Kesetimbangan PadatCair, Diagram Eutektik Sederhana
Jika suatu larutan dari dua zat A dan B didinginkan sampai suhu yang cukup rendah,
akan muncul suatu padatan. Suhu ini adalah titik beku larutan, yang bergantung pada komposisi.
Dalam diskusi pada penurunan titik beku larutan, kita memperoleh persamaan.
H fus , A 1
1

R
T T 0A
ln xA =
(6.4)
Dengan asumsi bahwa padatan murni A ada dalam kesetimbangan dengan larutan idealnya.
Persamaan (6.4) menghubungkan titik beku larutan ke x A, fraksi mol A dalam larutan.Plot dari
fungsi ini tampak pada gambar 6.6.a. Titik di atas kurva menunjukkan keadaan cair dari sistem,
sedangkan di bawah kurva menunjukkan keadaan padatan murni A ada dalam kesetimbangan
dengan larutan. Kurvanya dinamakan kurva liquidus.

Gambar 6.6 Kesetimbangan padatcair dalam sistem 2 komponen


Titik a menunjukkan larutan dengan komposisi b dalam kesetimbangan dengan padatan
dengan komposisi c, yaitu, zat murni A. Dengan aturan lever, rasio jumlah mol larutan terhadap
jumlah mol padatan A adalah sama dengan rasio bagian garis dari ac/ab. Makin rendah suhu,
makin besar jumlah relatif padatan pada suatu keseluruhan komposisi tertentu.
Kurva ini tidak dapat menunjukkan situasi meliputi keseluruhan daerah komposisi. Jika
xB ---1 , kita dapat mengharapkan padatan B akan membeku jauh di atas suhu yang ditunjukkan
oleh kurva pada daerah ini. Jika larutan ideal, aturan yang sama berlaku untuk zat B :
H fus , B 1
1

Ln xB =
(6.5)
R
T T 0B
Dengan T adalah titik beku B dalam larutan. Kurva ini digambarkan dalam Gambar 6.6b
bersama dengan kurva A pada gambar 6.6a. Kurva berpotongan pada suhu T e, yaitu suhu

53

eutektik. Komposisi xe adalah komposisi eutektik. Garis GE adalah titik beku melawan kurva
komposisi B. Titik semacam a di bawah kurva ini menunjukkan keadaan yaitu padatan B dalam
kesetimbangan dengan larutan pada komposisi xb. Titik pada EF menunjukkan padatan B murni
dalam kesetimbangan dengan larutan berkomposisi xe. Sedangkan titik pada DE menunjukkan
padatan murni A dalam kesetimbangan dengan larutan berkomposisi x e. Oleh karena itu larutan
yang memiliki komposisi eutektik xe ada dalam kesetimbangan dengan padatan A dan padatan B.
Jika terdapat tiga fase bersama, maka F = 3 P = 3-3=0; sistemnya adalah invarian pada suhu
ini. Jika panas keluar dari sistem ini, suhunya akan tetap sampai satu fase lenyap, sehingga
jumlah relatif dari ketiga fase berubah hingga panas dihilangkan. Jumlah cairan berkurang
sedangkan jumlah kedua padatan yang ada bertambah. Di bawah garis DEF adalah keadaan
sistem yaitu hanya dua padatan, dua fase, murni A dan murni B.
Beberapa contoh sistem kesetimbangan padat cair adalah : sistem Sb-Pb, yang diagram
fasenya dapat dilihat di gambar 6.7. Daerah berlabel L adalah cairan, Sb adalah padatan Sb dan
Pb adalah padatan Pb. Suhu eutektik adalah 2460C, komposisi eutektik adalah 87% massa Pb.
Nilai xe dan te dihitung dengan persamaan 6.4 dan 6.5 dan ternyata sesuai dengan hasil
eksperimen. Berarti cairan tersebut hampir menyerupai larutan ideal.

Gambar 6.7 Sistem Antimonilead


Bentuk kurva titik beku dapat ditentukan secara experimental dengan analisa termal.
Pada metoda ini, campuran yang diketahui komposisinya dipanaskan sampai suhu yang cukup
tinggi hingga homogen. Kemudian didinginkan secara bertahap. Suhu diplot sebagai fungsi
waktu. Kurva yang diperoleh pada berbagai komposisi untuk sistem A-B tampak pada gambar
6.8. Kurva pertama, cairan homogen didinginkan sepanjang kurva ab, pada b pertama kali
terbentuk kristal komponen A. Peristiwa ini melepaskan panas laten pembekuan, laju
pendinginan berkurang dan lekukan pada kurva muncul di b.
Banyak sistem biner, baik ideal maupun tidak, memiliki diagram fase bertipe eutektik
sederhana. Invariansi sistem pada titik eutektik memungkinkan campuran eutektik dipergunakan
sebagai bak bersuhu konstan. Misalnya padatan NaCl dicampur dengan es pada 0 oC dalam labu
vakum. Titik komposisi berpindah dari 0% ke sejumlah kecil nilai positif. Padahal pada
komposisi ini titik beku es di bawah 0oC, sehingga sejumlah kecil es melebur. Karena sistem ada
dalam labu terisolasi, meleburnya es mengurangi suhu campuran. Jika NaCl yang ditambahkan
cukup, suhu akan turun sampai suhu eutektik,-21,1oC. Pada suhu eutektik ini, es,padatan garam
dan larutan jenuh terdapat bersama sama dalam kesetimbangan. Suhu bertahan di suhu eutektik
hingga es yang tersisa melebur karena panas yang menerobos secara lambat ke dalam labu.

54

Tabel 6.1
Garam
NaCl
NaBr
Na2S
KCl
NH4Cl

Temperatur
eutektik (C)
21,1
28,0
1,1
10,7
15,4

% massa garam anhidrat


dalam eutektik
23,3
40,3
3,84
19,7
19,7

6.4 Diagram Titik Beku dengan Pembentukan Senyawa


Jika dua zat membentuk satu atau lebih senyawa, diagram titik bekunya memiliki
penampakan sebagai dua atau lebih diagram eutektik sederhana pada posisi yang bersilangan.
Gambar 6.11 adalah diagram komposisi titik beku untuk sistem yaitu terbentuknya AB2. Kita
dapat memandang diagram ini sebagai dua diagram eutektik sederhana yang bertemu pada posisi
yang ada panahnya seperti pada gambar 6.11. Jika titik yang menyatakan keadaan terletak di
sebelah kanan panah, interpretasi didasarkan pada diagram eutektik sederhana sistem AB 2-B;
jika titik terletak di sebelah kiri panah berarti kita mendiskusikan sistem A-AB 2. Dalam diagram
komposit terdapat dua eutektik; salah satu adalah cairan A-AB2 ,yang lain adalah cairan AB2-B.
Titik lebur senyawa adalah maksimum pada kurva,maksimum pada kurva komposisi-titik lebur
hampir selalu menunjukkan pembentukan senyawa. Hanya sedikit sistem yang dikenal yaitu
yang maksimumnya berlangsung karena alasan lain. Padatan yang pertama terbentuk pada
pendinginan suatu leburan pada sembarang komposisi antara dua komposisi eutektik adalah
senyawa padatan.

Gambar 6.8 Pembentukan senyawa Gambar 6.9 Titik beku dalam sistem H2OFe2Cl6
6.5 Senyawa yang Memiliki Titik Lebur Inkongruen
Di dalam sistem pada gambar 6.8, senyawa tersebut memiliki titik lebur lebih tinggi
dibanding komponen yang bersamanya. Dalam situasi ini diagramnya selalu berbentuk sepereti
tampak pada gambar 6.8; aitu muncul dua eutektik pada diagram itu.Tetapi bila titik lebur dari
senyawa di bawah titik lebur komponen lain yang bersamanya, muncul dua kemungkinan. Salah
satunya seperti digambarkan di gambar 6.9; tiap bagian dari diaggram adalah diagram eutektik
sederhana seperti kasus di gambar 6.8. Kemungkinan kedua digambarkan oleh sistem alloy
Potassium-Sodium yang tampak pada gambar 6.10. Pada sistem ini, kurva kelarutan Na (sodium)
tidak turun dengan cepat untuk memotong kurva yang lain diantara komposisi Na2K dan Na
murni. Justru membelok ke sebelah kiri komposisi Na 2K dan memotong kurva kelarutan lain
pada titik c, yaitu titik peritektik. Untuk sistem Na-K hal ini terjadi pada 7oC.
Pertama kita uji perilaku senyawa padatan murni. Jika suhu dinaikkan titik keadaan
bergerak sepanjang garis ab. Pada b cairan memiliki komposisi bentuk c. Karena cairan lebih
kaya dengan potassium dibanding senyawanya semula, sejumlah padatan sodium d tertinggal
tidak melebur. Sehingga pada peleburan senyawa melangsungkan reaksi
Na2K (s)
2Na(s) + K(l)
55

Ini adalah reaksi peritektik atau reaksi fase. Senyawanya disebut melebur secara inkongruen,
karena leburan berbeda dari senyawanya dalam komposisinya.(Senyawa yang digambarkan pada
gambar 6.8 dan 6.9 melebur secara kongruen ,komposisi tidak berubah). Yaitu terdapat tiga
fase;padatan Na2K, padatan Na, dan cairannya ada bersama sama, sistemnya adalah invarian,
selagi panas mengalir ke dalam sistem, suhu akan tetap sama sampai senyawa padat melebur
sempurna. Kemudian suhu naik, titik keadaan bergerak sepanjang garis bef dan sistem terdiri
dari Na padat dan cair. Di f sisa terakhir dari Na melebur, dan di atas f sistem terdiri dari satu
fase cairan. Pendinginan komposisi g membalikkan perubahan ini. Di f muncul Na padat,
komposisi cairan bergerak sepanjang fc. Di b cairan berkomposisi c ada bersama dengan Na
padat dan Na2K padat. Kebalikan dari reaksi fase yang terjadi sampai kedua cairan Na dan
padatannya habis secara simultan, hanya tinggal Na2K dan titik keadaanbergerak sepanjang ba.

Gambar 6. 10 Senyawa dengan titik didih tidak sebangun,


6.6 Kemampuan Bercampur dalam Keadaan Padat
Di dalam sistem yang dideskripsikan sejauh ini, hanya padatan murni yang terlibat.
Kebanyakan padatan mampu melarutkan bahan lain untuk membentuk larutan padat. Tembaga
dan Nikel, sebagai contoh, saling larut satu sama lain pada semua komposisi dalam padatan.
Diagram fase untuk sistem Cu-Ni tampak pada gambar 6.12

Gambar 12 Sistem CuNi


Bagian atas kurva tersebut adalah kurva liquidus; bagian bawahnya adalah kurva solidus
(padatan). Jika sistem yang diwakili oleh titik a didinginkan ke b, muncul larutan padat
berkomposisi c. pada titik d sistem terdiri dari cairan berkomposisi b dalam kesetimbangan
dengan larutan padat berkomposisi c. Suatu kesulitan eksperimental timbul dalam bekerja
dengan sistem tipe ini. Anggap sistem didinginkan dengan cepat dari a ke e. Jika sistem diatur
agar dalam kesetimbangan, maka bagian akhir cairan b akan bersinggungan dengan padatan
yang memiliki komposisi seragam e. Tetapi dengan pendinginan mendadak maka tak ada waktu
bagi padatan membentuk komposisi yang seragam. Kristal pertama yang berkomposisi c dan
lapisan berkomposisi dari c ke e terbentuk di luar kristal pertama. Komposisi rata-rata padatan
yang mengkristal terletak mungkin di titik f; padatan lebih kaya nickel dari yang seharusnya, ini
terletak di sebelah kanan e. Jadi cairan lebih kaya Cu dibanding yang seharusnya, titik
56

komposisinya terletak mungkin pada g. Sehingga sejumlah cairan tertinggal pada suhu ini dan
pendinginan lebih lanjut diperlukan sebelum sistem mengendap seluruhnya.
6.7 Kenaikan Titik Beku
Telah ditunjukkan bahwa penambahan sejumlah tertentu zat asing selalu menurunkan
titik lebur dari padatan murni. Gambar 6.14 menggambarkan sistem yaitu titik lebur satu
komponen , tembaga, bertambah dengan penambahan zat asing. Penambahan titik lebur ini
hanya dapat terjadi jika padatan dalam kesetimbangan dengan cairan adalah tidak murni
melainkan larutan padat. Anggaplah larutan padat adalah larutan padat ideal, yang didefinisikan,
analog dengan gas ideal dan larutan cair ideal, dengan mengetahui bahwa tiap komponen, i = io
+ RT ln xi, dengan io adalah potensial kimia padatan murni, xi adalah fraksi mol dalam larutan
padat. Kondisi kesetimbangan untuk larutan padat dalam kesetimbangan dengan larutan cair
untuk satu komponen adalah 1(s) = 1(l). Dengan menganggap kedua larutan adalah ideal, kita
memperoleh
0
0
1 ( s )+RT ln x 1 ( s )= 1 ( l )+RT ln x 1 ( l )
(6.6)
0
0
0
misalnya G1 = 1 (l)- 1 (s), energi Gibbs peleburan pada komponen murni pada suhu T.
maka persamaan 6.6 menjadi
x (l )
G01
ln 1
=
(6.7)
x 1( s )
RT
karena G10 =H10 - TS10; dan titik lebur, T01, dari zat murni, S10 =H10/ T01, persamaan ini
menjadi
x 1( l )
H 0 1
1
ln
=

R
T
T
x 1( s )
01

( )

( )

Menyelesaikan persamaan ini untuk T, kita peroleh

H
T =T 01 {
}
(6.8)
0
H +RT 01 ln [ x 1 ( s )/ x 1 ( l )]
Jika terdapat padatan murni, maka x1(s)=1; dalam kasus ini suku kedua dari penyebut
dalam pers.(6.8) positif sehingga fraksi dalam kurung dari satu. Titik beku T berarti kurang dari
T01.Jika larutan padat ada dalam kesetimbangan maka jika x1 (s) < x1(l), suku kedua pada
penyebut akan negativ, fraksi dalam kurung lebih besar dari satu dan titik lebur lebih besar dari
T01.
Gambar 6.14 menunjukkan bahwa fraksi mol Cu dalam larutan padat xCu(s) selalu lebih
kecil dari fraksi mol Cu dalam larutan cairnya xCu(l). Konsekuensinya titk lebur Cu naik. Satu
kelompok persamaan analog dapat dijabarkan untuk komponen kedua, darinya kita dapat
menyimpulkan bahwa titik lebur Nickel turun. Dengan alasan yang telah dikemukakan bahwa
H0 dan S0 tidak berubah terhadap suhu; hal ini tidak benar tetapi tidak terlalu berpengaruh
terhadap kesimpilan secara keseluruhan.

6.8 Sistem Tiga Komponen


Dalam sistem tiga komponen, varian adalah F = 3 P + 2 = 5 P. Jika sistem hanya
mengandung satu fase, dibutuhkan empat variabel untuk menyatakan keadaan sistem; ini
mungkin lebih menguntungkan jika diambil variabel T,p,x 1,x2. Adalah tidak mungkin
memberikan suatu representasi grafis lengkap mengenai sistem ini dalam tiga dimensi,apalagi
dalam dua dimensi. Konsekuensinya, cara untuk merepresentasikan sistem ini adalah pada
tekanan dan suhu konstan. Maka varian menjadi F = 3 P, sehingga sistem memiliki, paling
tidak, 2 varian, dan dapat direpresentasikan pada bidang datar. Setelah menetapkan suhu dan
tekanan, variabel yang tinggal adalah variabel komposisi,x 1,x2,x3, yang dihubungkan oleh x1 + x2
+ x3 =1. Sehingga dengan menentukan dua maka yang ketiga dapat dihitung. Metoda Gibbs dan
57

Roozeboom menggunakan suatu segitiga sama sisi untuk representasi grafis. Gambar 6.15
menunjukkan prinsip metoda ini. Titik A, B, C pada titik sudut segitiga menyatakan 100% A,
100% B, 100% C. Gris yang paralel dengan AB merupakan berbagai prosentasi dari C. Titik P
pada gambar 6.15 menyatakan sistem mengandung 30% C. Panjang PM menyatakan persen C,
panjang PN menyatakan persen A, panjang PL menyatakan persen B. Jumlah ketiga panjang ini
selalu sama dengan panjang sisi segitiga yaitu menyatakan 100%. Dengan metoda ini setiap
komposisi dari sistem tiga komponen dapat dinyatakan oleh titik dalam segitiga.
Dua sifat yang lain dari diagram ini juga penting. Yang pertama diilustrasikan dalam
gambar 6.16(a). Jika dua sistem dengan komposisi seperti dinyatakan oleh P dan Q dicampur
bersama sama, komposisi campuran yang diperoleh akan dinyatakan oleh titik x di suatu tempat
pada garis yang menghubungkan titik P dan Q. Hal ini dapat diikuti dengan mudah yaitu jika tiga
sistem yang dinyatakan oleh titik P,Q,R dicampur, komposisi campuran akan terletak di dalam
segitiga PQR. Sifat penting kedua yaitu bahwa semua sistem dinyatakan oleh titik titik pada garis
yang melalui puncak yang mengandung dua komponen lain dalam perbandingan yang sama.
Contoh, semua sistem yang dinyatakan oleh titik pada CM mengandung A dan B dalam jumlah
yang sama. Pada ganbar 6.16 (c), dengan menegakkan garis tegak lurus dari dua titik P dan P
dan menggunakan sifat sifat segitiga, kita peroleh :
PS
CP
PN
CP
=
dan
=
P ' S ' CP '
P ' N ' CP '
sehingga
PS
PN
PS P ' S '
=
atau
=
,
P' S ' P' N '
PN P ' N '
yang dibuktikan. Sifat ini penting dalam mendiskusikan penambahan atau pengambilan suatu
komponen pada sistem tanpa mengubah jumlah dua komponen lain yang ada.

Gambar 6.13 Diagram segitiga

Gambar 6.14 Sifat diagram segitiga

6.9 Kesetimbangan CairCair


Diantara beberapa contoh sederhana dari perilaku sistem tiga komponen adalah sistem
chloroform-air- asam acetat. Pasangan chloroform-asam asetat dan air- asam asetat adalah
saling bercampur sempurna. Pasangan chloroform-air tidak. Gambar 6.17 menunjukkan skema
kesetimbangan cair-cair untuk sistem ini. Titik a dan b menyatakan lapisan cairan konjugasi
tanpa asam asetat. Anggap bahwa semua komposisi sistem adalah c sehingga dengan aturan
lever terdapat lebih banyak lapisan b daripada lapisan a. Jika sedikit asam asetat ditambahkan ke
dalam sistem, komposisi berubah sepanjang garis yang menghubungkan c dengan puncak asam
asetat ke titik c. Penambahan asam asetat mengubah komposisi dari kedua lapisan menjadi a
dan b. Ingat bahwa asam asetat lebih cenderung memasuki lapisan kaya air b , sehingga garis
dasi yang menghubungkan larutan konjugat a dan b tidak paralel ke ab. Jumlah relatif dari a
dan b diberikan oleh aturan lever; yaitu, dengan perbandingan segmen dari garis dasi ab .
Penambahan selanjutnya dari asam asetat mengubah komposisi lebih lanjut sepanjang garis putus
58

putus c; lapisan kaya air bertambah sedangkan lapisan kaya chloroform berkurang. Pada c hanya
sedikit lapisan kaya chloroform yang tinggal, sedangkan di atas c sistemnya homogen.
Karena garis dasi tidak paralel, titik yang disitu dua larutan konjugat memiliki komposisi
yang sama tidak terletak pada puncak dari kurva binodal tetapi keluar ke satu sisi pada titik k,
yaitu titik sambung. Jika sistem berkomposisi d dan ditambahkan asam asetat ke dalamnya,
komposisi akan berubah sepanjang dk; hanya di bawah k dua lapisan akan ada dalam jumlah
yang komparabel; pada k, batas antara dua larutan lenyap sehingga sistem menjadi homogen.
Bandingkan perilaku ini dengan yang ada di titik c yang disitu hanya ada sedikit dari satu
lapisan konjugat yang tinggal.

Gambar 6.17 Dua zat cair larut sebagian


6.10 Kelarutan Garam; Efek Ion Sejenis
Sistem yang mengandung dua garam dengan ion sejenis dan air memiliki kecenderungan
yang besar menurut pandangan praktis ini. Masing masing garam saling mempengaruhi
kelarutannya satu sama lain. Skema diagram untuk NH 4Cl.(NH4)2SO4.H2O pada 30oC tampak
pada gambar 6.18. Titik a menyatakan larutan jenuh NH 4Cl dalam air tanpa (NH4)2SO4. Titik
antara A dan a menyatakan berbagai jumlah padatan NH 4Cl dalam kesetimbangan dengan
larutan jenuh a. Titik antara a dan C menyatakan larutan tidak jenuh NH 4Cl. Serupa dengan itu, b
menyatakan kelarutan (NH4)2SO4 tanpa NH4Cl. Titik pada Cb menyatakan larutan tidak jenuh,
sedang pada bB menyatakan padatan (NH4)2SO4 dalam kesetimbangan dengan larutan jenuh.
Adanya (NH4)2SO4 mengubah kelarutan NH4Cl sepanjang garis ac, sedang adanya NH4Cl
mengubah kelarutan (NH4)2SO4 sepanjang garis bc. Titik c menyatakan larutan yang dijenuhkan
terhadap kedua NH4Cl dan (NH4)2SO4. Garis dasi menghubungkan larutan jenuh dan padatan
dalam kesetimbangan dengannya. Daerah stabilitas tampak pada Tabel 6.2.

Gambar 6.18

59

Tabel 6.2
Daerah

Sistem

varian

Cacb
Aac
Bbc
AcB

Larutan takjenuh
NH4Cl+larutan jenuh
(NH4)2SO4+larutan jenuh
NH4Cl+(NH4)2SO4+larutan jenuh c

2
1
1
0

Anggap suatu larutan takjenuh dinyatakan oleh P dievaporasikan secara isotermal; titik
keadaan seharusnya bergerak sepanjang garis Pdef, yang digambarkan melalui puncak C dan
titik P. Pada d, NH4Cl mengkristal, komposisi larutan bergerak sepanjang garis dc. Pada titik e,
komposisi larutan adalah c, dan (NH4)2SO4 mulai mengkristal. Evaporasi lebih lanjut akan
mengendapkan kedua NH4Cl dan (NH4)2SO4 hingga titik f dicapai, di situ larutan menghilang
secara sempurna.
6.11 Pembentukan Garam Rangkap
Jika terjadi dua garam dapat membentuk suatu senyawa, garam rangkap,kemudian
kelarutan senyawa tersebut dapat pula muncul sebagai garis kesetimbangan dalam diagram.
Gambar 6.19 menunjukkan dua tipe kasus pembentukan senyawa. Pada dua gambar tersebut, ab
adalah kelarutan A; bc adalah senyawa AB; cd adalah B. Daerah dan menyatakan apa saja
mereka itu ditabulasikan di Tabel 6.3.
Perbedaan perilaku dari dua sistem dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama mulai
dengan senyawa padat kering dan tambahkan air; titik keadaan bergerak sepanjang garis DC.
Pada gambar 6.19.(a), ini menggerakkan titik ke daerah senyawa plus larutan jenuh senyawa
tersebut. Sehingga, senyawa ini disebut jenuh secara kongruen (congruently saturating).
Penambahan air ke dalam senyawa AB di gambar 6.19(b) mengubah titik keadaan sepanjang DC
ke daerah stabilitas A+AB+larutan jenuh b. Penambahan air, oleh karenanya, mendekomposisi
senyawa padatan A larutan a. Senyawa ini disebut jenuh inkongruen (incongruently saturating).
Serupa dengan itu senyawa pada 6.19(b) tak dapat dibuat dengan cara mengevaporasikan larutan
yang mengandung A dan B dalam perbandingan molar yang sama. Evaporasi mengkristalkan
padatan A pada titik e; pada titik f padatan A bereaksi dengan larutan b untuk mengendapkan
AB. Saat D dicapai, semua A telah lenyap dan hanya tinggal senyawa. Jika padatan disaring
pada titik keadaan antara f dan D, kristal senyawa akan tercampur dengan kristal A. Hal ini dapat
dipahami bagaimana sulitnya mengerjakan ini di laboratorium.

Gambar 6.19 (a) Senyawa jenuh sebangun (b) Senyawa jenuh tidak sebangun
6.12 Salting Out
Dalam praktikum kimia organik, ada prosedur umum untuk memisahkan campuran suatu
cairan organik dalam air dengan menambahkan garam. Contoh, jika cairan organik dan air
60

bercampur sempurna, penambahan garam ke dalam sistem dapat menghasilkan pemisahan


menjadi dua lapisan cairan salah satu kaya dengan cairan organik, yang lain kaya dengan air.
Relasi fasenya dapat diilustrasikan seperti dalam tabel 6.4 dan oleh diagram K 2CO3-H2OCH3OH, yaitu gambar 6.20, yang merupakan tipikal sistem garam-air-alkohol
Tabel 6.4
Daerah Sistem
Aab
K2CO3 dalam kesetimbangan dengan larutan jenuh kaya air
Aed
K2CO3 dalam kesetimbangan dengan larutan jenuh kaya alkohol
bcd
Dua cairan konjugat digabung oleh dua garis dasi
Abd
K2CO3 dalam kesetimbangan dengan cairan konjugat b dan d

Gambar 6.20
Sistem tersebut dibedakan oleh penampakan dua daerah cairan bcd. Misalnya dianggap
bahwa padatan K2CO3 ditambahkan ke dalam campuran air dan alkohol pada komposisi x. Titik
keadaan akan bergerak sepanjang garis xyzA. Di y terbentuk dua lapisan; di z K 2CO3 berhenti
melarut sehingga padatan K2CO3 dan cairan b dan d ada bersama sama. Cairan d adalah lapisan
kaya alkohol dan bisa dipisahkan dari b, lapisan kaya air.Ingat bahwa penambahan garam setelah
padatan berhenti melarut tidak menghasilkan perubahan pada komposisi di lapisan b dan d, tentu
saja terjadi seperti ini sebab sistemnya adalah isotermal dan invarian di segitiga Abd.
Diagram ini dapat juga dipakai untuk menunjukkan bagaimana garam yang ditambahkan
dapat diendapkan oleh penambahan alkohol ke dalam larutan jenuh; titik keadaan bergerak dari
a, misalnya dikatakan, sepanjang garis yang menghubungkan a dan B. Karena dalam kasus
khusus ini,hanya lebih sedikit garam yang diendapkan sebelum dua lapisan cairan terbentuk, cara
ini tidak terlalu bermanfaat. Sistem ini mengherankan dalam pengaruh penambahan air ke dalam
larutan takjenuh K2CO3 dalam alkohol pada komposisi x.Garis xyz yang menghubungkan x
dan c menunjukkan bahwa K2CO3 akan mengendap di y jika air ditambahkan ke dalam larutan
alkohol. Penambahan air lebih lanjut akan menyebabkan larutnya kembali K2CO3 di z.
SOAL SOAL:
1. Tekanan uap chlorobenzena dan air pada berbagai temperatur berbeda adalah
t/oC
90
100
110
204
289
402
Po(Cl)/mmHg
o
P (H2O)/mmHg
526
760
1075
o
a) Pada tekanan berapa uapCl akan terdistilasi pada 90 C?
b) Pada suhu berapa uapCl akan terdistilasi pada tekanan total 800mmHg.?
c) Berapa gram uap air yang diperlukan untuk mendistillasi 10,0 gram Cl (a) pada 90oC
dan (b) pada tekanan total 800 Torr.?
2. Campuran 100 gram air dan 80 gram phenol dipisahkan menjadi dua lapisan pada 60 oC. Satu
lapisan, L1, mengandung 44,9% massa air, yang lain, L2, mengandung 83,2% massa air.
a) Berapa massa L1 dan L2?
61

b) Berapa jumlah mol total dalam L1 dan L2?


3. Titik lebur dan panas peleburan timbal dan antimon adalah
Pb
Sb
tm/oC
327,4
630,5
5,10
20,1
Hfus/(kJ/mol)
Hitunglah garis kesetimbangan padat-cair; perkirakan komposisi eutektik secara
grafis,kemudian hitunglah suhu eutektik. Bandingkan hasilnya dengan nilai yang diberikan di
gambar 6.7
4. Kelarutan KBr dalam air adalah
t/oC
0
20
40
60
80
100
gKBr/g H2O 0,54
0,64
0,76
0,86
0,95
1,04
o
Dalam sato molal larutan, KBr menurunkan titik beku air sebesar 3,29 C. Perkirakan suhu
eutektik untuk sistem KBr-H2O secara grafik.
5. Berapa varian pada tiap daerah di gambar 6.30?

62

BAB VII
KESETIMBANGAN DALAM SISTEM NON IDEAL
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1. memahami konsep aktivitas
2. menjelaskan sifatsifat koligatif
3. memahami teori DebyeHuckel pada larutan ionik encer
4. memahami kesetimbangan ionik dalam larutan
7.1 Konsep Aktifitas
Diskusi matematis dalam bab sebelumnya terbatas pada sistem yang bersifat ideal;
sistem tersebut diantaranya adalah gas ideal murni atau campuran ideal (gas,cairan, padatan).
Banyak sistem yang sudah dideskripsikan adalah tidak ideal, pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana kita membahas secara matematis tentang sistem yang tidak ideal. Sistem-sistem ini
ditangani dengan lebih enak dengan memakai konsep fugasitas dan aktifitas yang pertama kali
diperkenalkan oleh G.N.Lewis.
Potensial kimia komponen dalam campuran pada umumnya adalah fungsi suhu, tekanan,
dan komposisi campuran. Dalam campuran gas kita menuliskan potensial kimia tiap tiap
komponen sebagai jumlah dari dua term (suku):
0
i = i (T )+ RT ln f i
(7.1)
o
Suku pertama, i , hanya merupakan fungsi suhu, sedang fugasiti, fi pada suku kedua dapat
bergantung pada suhu, tekanan dan komposisi campuran. Fugasitas adalah ukuran potensial
kimia gas I dalam campuran.
Sekarang kita akan memusatkan perhatian ke larutan cair, walaupun kebanyakan apa
yang dikemukakan tadi juga berlaku pada larutan padat sama baiknya. Untuk tiap komponen i
dalam setiap campuran cair, kita tuliskan:
i =g i (T , p )+RT ln a i
(7.2)
dengan gi(T,p) adalah hanya fungsi suhu dan tekanan, sedang ai, aktifitas i, dapat merupakan
fungsi suhu, tekanan, dan komposisi. Sebagaimana tampak, persamaan 7.2 tidak begitu
informatif; akan tetapi, ia dapat menunjukkan; pada suhu dan tekanan tertentu penambahan
aktifitas zat berarti penambahan dalam potensial kimia zat. Ekivalensi aktifitas dengan potensial
kimia, melalui persamaan yang berbentuk seperti persamaan 7.2 adalah merupakan sifat
fundamental dari aktifitas. Teori kesetimbangan dapat dikembangkan secara menyeluruh dalam
term aktifitas zat daripada dalam term potensial kimia.
Untuk menggunakan persamaan (7.2) signifikansi fungsi gi(T,p) harus dideskripsikan
secara akurat sehingga ai mempunyai arti yang tepat. Dua cara untuk mendeskripsikan gi(T, p)
adalah dengan cara yang biasa; masing masing membawa ke sistem yang berbeda dari aktifitas.
Dalam sistem yang serupa aktifitas komponen masih merupakan pengukuran potensial kimia.
7.2 Sistem Rasional Aktivitas
Dalam sistem rasional dari aktifitas, gi(T,p) diidentifikasi dengan potensial kimia dari
cairan murni,i0(T,p):
gi(T,p) = i0(T,p)
(7.3)
lalu persamaan (7.2) menjadi
I = i0 + RT ln ai
(7.4)
0
Jika xi 1, sistem mendekati keadaan murni i, dan i mendekati i sehingga
i - i0 =0 selagi xi1
dengan menggunakan fakta ini dalam persamaan (7.4) akan diperoleh ln ai = 0, selagi xi 1 atau
ai =1 selagi xi 1. Oleh karena itu aktifitas dari cairan murni adalah sama dengan satu.
63

Jika kita membandingkan persamaan (7.4) dengan i dalam larutan cair ideal,
0
id
(7.6)
i = i +RT ln x i
dengan mengurangkan persamaan (7.6) dari persamaan (7.4) kita akan memperoleh
ai
i id
(7.7)
i =RT ln
xi
Koefisien aktifitas rasional dar i, i, didefinisikan:
a
i = i
(7.8)
xi
Dengan definisi ini, persamaan (7.7) menjadi
id
i = i +RT ln i
(7.9)
yang menunjukkan bahwa ln i merupakan ukuran besarnya penyimpangan dari keadaan ideal.
Dari relasi pada persamaan (7.5), dan definisi i , kita peroleh
i =1 sedangkan xi 1
(7.10)
Koefisien aktifitas rasional lebih menguntungkan untuk sistem itu karena di dalamnya fraksi mol
setiap komponen dapat bervariasi dari nol sampai satu,campuran cairan semacam acetone dan
chloroform, sebagai contoh.
7.2.1 Aktifitas rasional;zat volatile
Aktifitas rasional dari komponen volatile dalam campuran cairan (likuida) dapat diukur
dengan mudah dengan mengukur tekanan parsial dari komponen tersebut dalam fase uap pada
kesetimbangan dengan cairannya.Karena pada kesetimbangan, potensial kimia tiap komponen
adalah sama dalam fase cair maupun dalam fase uapnya, sehingga i (l) = i(g). Dengan
memakai persamaan (7.4) untuk i (l)dan berasumsi bahwa gas bersifat ideal, komponen i
memiliki tekanan parsial pi, kita dapat menuliskan
0
0
i (l )+RT ln a i = i ( g )+ RT ln pi
untuk cairan murni,
0
0
0
i ( l )= i ( g )+RT ln p i
dengan pi0adalahtekanan uap cairan murni. Dengan mengurangkan dua persamaan terakhir dan
membaginya dengan RT, kita akan memperoleh lnai =ln (pi/pi0), atau
ai =

pi

(7.11)
p 0i
hal itu analog dengan hokum Raoults untuk larutan nonideal. Jadi pengukuran pi pada larutan
bersama sama dengan mengetahui nilai pi0 akan menghasilkan nilai ai. Dari pengukuran pada
berbagai nilai xi,nilai ai dapat juga diplotkan atau ditabulasikan sebagai fungsi xi. Dengan cara
yang sama, koefisien aktifitas dapat dihitung memakai persamaan (7.8) dan diplotkan sebagai
fungsi xi. Pada gambar 7.1 dan 7.2, plot ai dan i terhadap xi ditunjukkan untuk sistem biner yang
melibatkan penyimpangan positif dan negative dari hokum Raoults. Jika larutan ideal, maka ai
= xi dan i =1 untuk semua nilai xi.
Bergantung pada sistemnya, koefisien aktifitas komponen dapat lebih besar atau lebih
kecil dari satu. Pada sistem dengan penyimpangan positif dari ideal, koefisien aktifitas, yang
juga adalah kecenderungan menguap,lebih besar daripada dalam larutan ideal pada konsentrasi
yang sama. Pada larutan yang mnunjukkan penyimpangan negative dari hokum Raoults,zat
memiliki kecenderungan menguap yang lebih rendah daripada dalam larutan idealnya pada
konsentrasi yang sama, lebih kecil dari satu.

64

Gambar 7.1 Aktivitas versus fraksi mol

Gambar 7.2 Koefisien aktivitas


Versus fraksi mol

7.3 Sifat Koligatif


Sifat sifat koligatif larutan untuk solut nonvolatile dinyatakan secara sederhana dalam
bentuk aktifitas rasional dari solven.
7.3.1 Tekanan uap
Jika tekanan uap solven di atas larutan adalah p i dan aktifitas solven adalah a, maka dari
persamaan 7.11)
p
a=
(7.11a)
p0
Jika a dievaluasi dari pengukuran tekanan uap pada berbagai konsentrasi, nilai ini dapat dipakai
untuk menghitung penurunan titik beku, kenaikan titik didih, dan tekanan osmosa pada berbagai
konsentrasi.
7.3.2 Penurunan titik beku
Jika solven murni padat berada dalam kesetimbangan dengan larutannya, kondisi
kesetimbangan (l) =0(s) akan menjadi, dengan memakai persamaan (7.4),
G 0fus
0
0
;
atau
(l )+RT ln a= ( s )
ln a=
RT
Dengan memakai alas an yang sama, akan dihasilkan
H 0fus 1 1
ln a=

(7.12)
R
T T0

yang merupakan analog dengan persamaan (13.15) untuk larutan ideal. Dengan mengetahui a
dari pengukuran tekanan uap, titik beku dapat dievaluasi dari persamaan (7.12); sebaliknya, jika
titik beku T diukur, a dapat dievaluasi dari persamaan (7.12).
7.3.3 Kenaikan titik didih
Alasan yang sama menunjukkan bahwa titik didih dihubungkan ke H0vap dan T0, panas
penguapan dan titik didih solven murni,oleh
0

H vap 1 1
ln a=

R
T T0

(7.13)

yang adalah analog dengan persamaan (13.29) untuk larutan ideal.


7.3.4 Tekanan osmose
Tekanan osmose adalah

V =RT ln a

(7.14)
65

yang analog dengan persamaan (13.36). Pada persamaan (7.11a), (7.12), (7.13), dan (7.14), a
adalah aktifitas rasional dari solven. Pengukuran berbagai nilai koligatif menghasilkan nilai nilai
memalui pers persamaan ini.
7.4 Sistem Praktis
Sistem praktis untuk aktifitas dan koefisien aktifitas biasanya untuk larutan yang
solvennya memiliki fraksi mol mendekati satu;semua solute berada dalam jumlah yang relative
kecil. Untuk sistem semacam ini kita menggunakan sistem rasional untuk solven dan sistem
praktis untuk solute. Selama konsentrasi solute sangat kecil sekali, perilaku tiap larutan real
mendekati perilaku larutan ideal. Dengan menggunakan subskrip j untuk menunjukkan solute,
maka di dalam larutan encer ideal berlaku (bab 14.11)
idj = **
(7.15)
j +RT ln m j
Untuk solute, persamaan (7.2) menjadi
j =g j (T , p )+ RT ln a j
(7.16)
Jika kita mengurangkan persamaan (7.15) dari persamaan (7.16) dan menyatakan gj (T,p) =
j**maka

aj
(7.17)
mj
identifikasi untuk gj (T,p)denganj**menyatakan sistem praktis dari aktifitas;koefisien aktifitas
praktis j didefinisikan oleh
a
j= j
(7.18)
mj
Persamaan (7.17) dan (7.18) menunjukkan bahwa ln j adalah ukuran kebiasaan solute dari
perilakunya dalam larutan encer ideal. Akhirnya ,selama m j0,solute berperilaku seperti dalam
larutan ideal sehingga
j idj =RT ln

j=1 selama mj 0

(7.19)

Itu mengikuti bahwa aj =mj selama mj =0. Jadi potensial kimia solute dalam sistem praktis,kita
miliki
j = **j + RT ln a j

(7.20)

j**adalah potensial kimia solute yang dimiliki dalam larutan 1 molal jika larutan
berperilaku menurut aturan larutan encer ideal. Keadaan standart ini disebut larutan idealpada
molalitas satu. Ini adalah keadaan hipotetik dari sistem. Menurut persamaan (7.20) aktifitas
praktis mengukur potensial kimia zat relative terhadap potensial kimia dalam larutan ideal
bermolalitas satu hipotetiknya. Persamaan (7.20) dapat diterapkan juga kepada solute volatile
maupun nonvolatile.
7.4.1 Solut volatile
Kondisi kesetimbangan untuk distribusi solute volatile j antara larutan dan uap adalah
j ( g )= j ( l ) . Dengan menggunakan persamaan (7.20) dan mengasumsikan bahwa uap adalah
ideal, kita dapatkan:
0
**
j +RT ln p j = j + RT ln a j

66

Karena j0 dan j**hanya bergantung pada suhu dan tekanan dan bukan pada komposisi, kita
dapat menentukan konstanta Kj, yang tidak bergantung pada komposisi, yaitu:
'

**

RT ln K j =( j j )
Hubungan antara pj dan aj menjadi
p j =K 'j a j
(7.21)

Konstanta Kj adalah modifikasi dari konstanta pada hukum Henry. Jika Kj diketahui,nilai aj dapat
dihitung dengan mudah dari nilai pj terukur. Dengan membagi persamaan (7.21) dengan mj, kita
peroleh
pj
a
=K ' j j
mj
mj

( )

(7.22)

Nilai nilai terukur pada rasio pj/mj diplot sebagai fungsi mj. Kurva diekstrapolasi ke mj =0. Nilai
ekstrapolasi pj/mj sama dengan Kj, karena aj/mj =1 jika mj0. Sehingga
pj
mj

( )

m j =0

=K ' j

Dengan memperoleh nilai Kj , nilai nilai aj dihitung dari pj terukur dengan persamaan (7.21).
7.4.2 Solut involatil;sifat sifat koligatif dan aktifitas solute
Kita telah menghubungkan sifat sifat koligatif dengan aktifitas rasional dari solven. Sifat
sifat ini dapat juga dihubungkan dengan aktifitas solute. Simbol tanpa subskrip menunjukkan
solven; symbol dengan subskrip 2 menunjukkan solute, kecuali molalitas m dari solute tidak
memakai subskrip. Untuk sederhananya kita berasumsi bahwa hanya ada satu solute. Potensial
kimia adalah:
Solven: = 0+ RT ln a
2 = **
2 +RT ln a 2

Solut:

Yang tersebut itu dihubungkan oleh persamaan Gibbs-Duhem,persamaan (11.97),


d=

n2
n

d2

(T,p konstan)

Dengan mendeferensialkan dan 2 dan menjaga T,p konstan, kita peroleh


d = RT d ln a dan d2 = RT d ln a2
Dengan menggunakan nilai nilai ini dalam pers Gibbs-Duhem, kita peroleh
d ln a=

n2
d ln a2
n

Tetapi n2/n = Mm, dengan M adalah massa molar solven, dan m adalah molalitas solute. Oleh
karena itu:
d ln a= -Mmd ln a2

(7.23)
67

adalah relasi yang dikehendaki antara aktifitas solven dan solute.


7.4.3 Penurunan titik beku
Deferensialkan persamaan (7.12) dan gunakan nilai dln a dari persamaan (7.23), kita
peroleh:
d ln a 2=

H 0fus
2

MRT m

d
K f m(1 /T 0 )2

dT =

dengan Kf =MRT02/H0fus, dan penurunan titik beku, = T0-T, d = -dT telah diperkenalkan. Jika
/T0 << 1, maka:
d ln a 2=

d
Kfm

(7.24)

Persamaan serupa dapat diturunkan untuk kenaikan titik didih.


Seperti halnya, persamaan (7.24) tidak sangat sensitive terhadap penyimpangan dari
keadaan ideal. Untuk menyusunnya dalam bentuk fungsi fungsi yang lebih responsive, kita
perkenalkan koefisien osmotic, 1j, yang didefinisikan oleh:
= Kf m(1 j)

(7.25)

Di dalam suatu larutan encer ideal, = Kf m, sehingga j = 0. Dalam larutan nonideal, j tidak nol.
Dengan mendeferensialkan persamaan (7.25) kita peroleh :
d = Kf [(1-j) dm m dj].
Dengan menggunakan persamaan (7.18), kita nyatakan a2 = 2 m ; dan deferensialkan ln a2:
d ln a 2=d ln 2 +d ln m=d ln 2 +

dm
.
m

Dengan menggunakan dua relasi dalam persamaan (7.24), akan menjadi

( mj ) dm

D ln 2 = - dj

Persamaan ini diintegralkan dari m = 0 ke m ; pada m = 0, 2 = 1, dan j = 0 kita peroleh


ln 2

d ln 2 =0 dj0

( mj ) dm ,

ln 2 = j0

( mj ) dm

(7.26)

Integral dalam persamaan (7.26) dievaluasi secara grafik. Dari eksperimen, nilai nilai
dan m, j dihitung dari persamaan (7.25); j/m diplot terhadap m; area di bawah kurva adalah nilai
integral. Setelah menperoleh nilai 2, aktifitas a2 diperoleh dari relasi a 2 = 2 m. Kita telah
68

berasumsi bahwa H0fus tidak bergantung pada suhu dan bahwa jauh lebih kecil daripada T0.
Di dalam pengerjaan yang tepat, lebih banyak pertanyaan rumit dan tidak terbatas pada asumsi
asumsi ini, diperhitungkan. Setiap sifat koligatif dapat diinterpretasikan dalam bentuk aktifitas
solute.
7.5 Aktivitas dan Kesetimbangan Reaksi
Jika reaksi kimia berlangsung dalam larutan nonideal, potensial kimia dalam bentuk yang
sesuai dengan persamaan (7.4) atau (7.20) harus dipakai dalam persamaan reaksi kesetimbangan.
Sistem praktis, persamaan (7.20) lebih sering dipakai. Kondisi kesetimbangan menjadi
G** = - RT ln Ka

(7.27)

dengan G** adalah perubahan energi Gibbs standart, dan K a tetapan yang berkaitan dengan
aktifitas kesetimbangan. Karena G** hanya fungsi T dan p, Ka juga fungsi T dan p dan tidak
bergantung pada komposisi. Karena tiap aktifitas memiliki bentuk ai = imi, kita dapat menulis :
Ka = KKm,

(7.28)

Dengan K dan Km berturut turut adalah tetapan yang berkaitan dengan koefisien aktifitas dan
molalitas. Karena bergantung pada komposisi, persamaan (7.28) menunjukkan bahwa Km
bergantung pada komposisi. Dalam larutan yang encer semua mendekati satu, K mendekati
satu, dan Km mendekati Ka. Kecuali jika kita khusus membahas evaluasi koefisien aktifitas, kita
akan membahas Km seolah olah ia tidak bergantung pada komposisi; dikerjakan sedemikian
hingga menyederhanakan pembahasan tentang kesetimbangan.
Di dalam pembahasan dasar dasar kesetimbangan dalam larutan, konstanta
kesetimbangan biasanya dituliskan sebagai hasil bagi konsentrasi kesetimbangan dinyatakan
dalam molaritas, Kc. Ada kemungkinan mengembangkan keseluruhan aktifitas sistem dan
koefisien aktifitas menggunakan konsentrasi molar lebih disukai daripada molal. Kita dapat
menuliskan a = c c, dengan c adalah konsentrasi molar dan c adalah koefisien aktifitas yang
bersesuaian; selama c mendekati nol , c harus mendekati satu. Kita tidak akan membahas sampai
rinci sistem ini kecuali hanya untuk menunjukkan bahwa dalam larutan encer sistem berdasarkan
molaritas atau molalitas adalah hampir sama.
Biasanya dengan maksud menggambarkan kita akan menggunakan konsentrasi molar
dalam konstanta kesetimbangan, dengan menyadari bahwa agar tepat kita harus menggunakan
aktifitas. Satu kesalahpahaman yang muncul karena penggantian aktifitas ini oleh konsentrasi
seharusnya bisa dihindari. Aktifitas kadang kadang ditujukan seolah olah suatu konsentrasi
efektif. Hal ini hanya suatu penegasan cara pandang; bagaimanapun, hal itu seakan akan seperti
menyampaikan dugaan yang keliru bahwa aktifitas dirancang untuk mengukur konsentrasi zat
dalam campuran. Aktifitas dirancang hanya dengan satu maksud yaitu ,untuk menyediakan
pengukuran potensial kimia zat yang memudahkan dalam campuran. Hubungan antara aktifitas
dan konsentrasi dalam larutan encer adalah tidak seperti salah satu dapat mengukur yang lain,
tetapi bahwa salah satu adalah ukuran potensial kimia zat. Akan lebih baik menyatakan
konsentrasi dalam larutan ideal sebagai aktifitas efektif.
7.6 Aktivitas dalam Larutan Elektrolit
Problem menyatakan aktifitas agak lebih rumit dalam larutan elektrolit daripada dalam
larutan nonelektrolit. Larutan elektrolit kuat menunjukkan penyimpangan berarti dari perilaku
ideal bahkan pada konsentrasi rendah yang disitu larutan nonelektrolit berkelakuan seperti
larutan ideal. Penentuan aktifitas dan koefisien aktifitas berkaitan dengan kepentingan yang
lebih besar untuk larutan elektrolit kuat. Untuk menyederhanakan notasi sesederhana mungkin
69

akan digunakan subskrip s untuk sifat sifat solven; symbol tanpa subskrip mengacu kepada
solute; subskrip + dan mengacu kepada sifat sifat ion positif dan ion negative.
Perhatikan suatu larutan elektrolit yang terdisosiasi sempurna menjadi ion. Dengan aturan
aditif, energi Gibbs larutan adalah jumlah dari energi Gibbs solven, ion positif dan ion negative:
G = nss + n++ + n--

(7.29)

Jika tiap mol elektrolit terdisosiasi menjadi + ion positif, dan - ion negative, maka n+ =
+ n, dan n- = - n dengan n adalah jumlah mol elektrolit dalam larutan. Persamaan (7.29)
menjadi
G=n s s +n( + ++ )

(7.30)

Jika adalah potensial kimia elektrolit dalam larutan, maka seharusnya juga diperoleh
G=n s s +n

(7.31)

Dengan membandingkan persamaan (7.30) dan persamaan (7.31) tampak bahwa


=+ ++

(7.32)

Misalnya jumlah total ion yang dihasilkan oleh satu mol elektrolit adalah = + + -. Maka
potensial kimia ionic rata rata didefinisikan sebagai:
= + + + - -

(7.33)

Sekarang kita dapat melangsungkan dalam cara formal menentukan berbagai aktifitas.
Kita tulis:
0

(7.34)

= + RT ln a

7.35)

+= 0++ RT ln a+

(7.36)

= 0+ RT ln a

(7.37)

= + RT ln a ;

Dalam relasi ini, a adalah aktifitas elektrolit, a adalah aktifitas ionic rata rata, sedang a+
dan a- adalah aktifitas ion individual. Untuk menentukan berbagai aktifitas secara komplit kita
memerlukan relasi tambahan:
0

= + + + ;

(7.38)

0 =+ +0 + 0

(7.39)

Pertama kita mengerjakan relasi antara a dan a . Dari persamaan (7.32) dan (7.33) kita
dapatkan = . Dengan menggunakan nilai dan dari persamaan (7.34) dan (7.35), kita
peroleh
70

+RT ln a=+ RT ln a
Dengan menggunakan persamaan (7.38) dan (7.39) ini direduksi menjadi:

a = a

(7.40)

Berikutnya kita ingin relasi antara a ,a+ ,dan a-. Dengan menggunakan nilai nilai , +,
dan - yang diberikan oleh persamaan (7.35), (7.36), dan (7.37) dalam persamaan (7.33), kita
peroleh
0

+ RT ln a= + + + +RT ( + ln a+ + ln a )
Dari persamaan ini kita kurangkan persamaan (7.39); kemudian ini akan tereduksi menjadi:

a =a+ a

(7.41)

Aktifitas ionic rata rata adalah rata rata geometric dari aktifitas ion individual.
Berbagai macam koefisien aktifitas didefinisikan oleh beberapa relasi berikut:
a = m

(7.42)

a+ = + m+

(7.43)

a- = - m-

(7.44)

dengan adalah koefisien aktifitas ionic rata rata, m molalitas ionic rata rata ,dan seterusnya.
Dengan menggunakan nilai nilai dari a ,a+ ,dan a- dari persamaan (7.42), (7.43), dan (7.44) ke
dalam persamaan (7.41),kita dapatkan
m =+ + m++ m
Kita kemudian memerlukan bahwa
=+

(7.45)

(7.46)

m=m+ m

Persamaan ini menunjukkan bahwa dam m adalah juga rata rata geometric dari kuantitas
ionic individual. Dalam bentuk molalitas elektrolit kita dapatkan:
m+ = + m dan

m- = - m

sehingga molalitas ionic rata rata adalah


m=( ++ )1/v m

(7.47)

Dengan mengetahui formula elektrolit, kita mendapatkan m dengan mudah dalam bentuk m.

71

Contoh 7.1 Di dalam elektrolit 1 : 1 seperti NaCl, atau dalam elektrolit 2 : 2 seperti MgSO 4
= - = 1, = 2, m = m

Di dalam elektrolit 1 : 2 seperti Na2SO4


+ =2,

- = 1, = 3,

m = (2 2 .11 )1/3 m= 4m= 1,587m

Pernyataan potensial kimia dalam bentuk aktifitas ionic rata rata, dari persamaan (7.34)
dan (7.40), adalah
0

= + RT ln a

(7.48)

Dengan menggunakan persamaan (7.42) dan (7.47) ini akan menjadi


= 0+ RT ln [ (+ + ) m ]
yang dapat ditulis dalam bentuk
+
= 0+ RT ln ( + ) + RT ln m + RT ln

(7.49)

Dalam persamaan (7.49), suku kedua di sebelah kanan adalah konstan, evaluasi dari formula
untuk elektrolit; suku ketiga bergantung pada molalitas; yang keempat dapat ditentukan dari
pengukuran titik beku, atau sembarang sifat koligatif lain dari larutan.
7.6.1 Penurunan titik beku dan Koefisien aktifitas ionic rata rata
Relasi antara penurunan titik beku dan koefisien aktifitas ionic rata rata dapat
diperoleh dengan mudah. Dengan menulis persamaan (7.24) menggunakan a untuk aktifitas
solute, kita peroleh:
d ln a=

d
Kf m

(7.50)

Tetapi dari seksi 7.6, kita peroleh


a=a = m= ( + + ) m
maka
d ln a=d ln m+d ln

(7.51)

dm
d
+d ln =
m
Kfm

(7.52)

Sehingga persamaan (7.50)

Untuk larutan ideal, =1, dan persamaan (7.52) menjadi


d=Kf dm
sehingga
72

= Kf m

(7.53)

yang menunjukkan bahwa penurunan titik beku dalam larutan yang sangat encer dari suatu
elektrolit memiliki nilai x nilai larutan nonelektrolit, yaitu jumlah ion yang dihasilkan oleh
dissosiasi satu mol elektrolit.
Koefisien osmotic untuk larutan elektrolit didefinisikan sebagai:
= Kj m(1-j)

(7.54)

Dengan definisi j ini persamaan (7.52) menjadi, sesudah penataan ulang pada seksi 7.4.3,
m

ln = j 0

( mj ) dm

(7.55)

yang mempunyai bentuk sama seperti persamaan (7.26)


Nilai nilai aktifitas ionic rata rata untuk beberapa elektrolit dalam air pada 25oC diberikan
di table 7.1. Gambar 7.3 menunjukkan plot dari versus m1/2 untuk elektrolit yang berbeda
dalam air pada 25oC.
Nilai nilai nampaknya tidak bergantung pada jenis ion dalam senyawa sejauh ini
asalkan senyawanya adalah mempunyai tipe valensi yang sama. Contohnya adalah KCl dan
NaBr memiliki koefisien aktifitas yang hamper sama pada konsentrasi yang sama, demikian juga
K2SO4 dan Ca(NO3)2. Pada seksi 7.7 kita akan melihat bahwa teori Debye dan Huckel
memprediksi bahwa dalam larutan yang cukup encer koefisien aktifitas ionic rata rata hanya
bergantung pada muatan ion dan konsentrasinya, tetapi tidak bergantung pada karakteristik
individual yang lain dari ion.
Setiap sifat koligatif dapat dipakai untuk menentukan koefisien aktifitas dari zat terlarut
apakah itu elektrolit atau nonelektrolit. Penurunan titik beku juga begitu, karena eksperimen ini
memerlukan peralatan yang kurang begitu rumit daripada yang lain. Ini memiliki kerugian yaitu
nilai nilai dapat diperoleh hanya didekat titik beku solven.Pengukuran tekanan uap tidak
mendapati kekurangan ini, tetapi jauh lebih sulit untuk dilakukan eksperimennya. Telah
diuraikan metoda untuk mendapatkan koefisien aktifitas ionic rata rata dari pengukuran potensial
pada sel elektrokimia. Metoda elektrokimia dapat dieksperimenkan dengan mudah, dan itu dapat
dipakai pada sembarang temperature yang diinginkan.

Tabel 7.1 Koefisien aktifitas ionic rata rata elektrolit kuat


m
HCl
NaOH
KOH
KCl
NaBr
H2SO4
K2SO4
Ca(NO3)2
CuSO4
MgSO4
La(NO3)3
In2(SO4)3

0,001
0,966
0,965
0,966
0,830
0,89
0,88
0,74
-

0,005
0,928
0,92
0,927
0,934
0,639
0,78
0,77
0,53
-

0,01
0,904
0,90
0,901
0,914
0,544
0,71
0,71
0,41
0,40
0,57
0,142

0,05
0,830
0,82
0,82
0,815
0,844
0,340
0,52
0,54
0,21
0,22
0,39
0,054

0,1
0,796
0,80
0,769
0,800
0,265
0,43
0,48
0,16
0,18
0,33
0,035

0,5
0,758
0,69
0,73
0,651
0,695
0,154
0,38
0,068
0,088
-

1,0
0,809
0,68
0,76
0,606
0,686
0,130
0,35
0,047
0,064
-

73

Gambar 7.3 Koefisien aktivitas ionik ratarata sebagai fungsi m1/2


7.7 Teori DebyeHuckel Struktur Larutan Ionik Encer
Pada tahap ini akan bermanfaat untuk mendeskripsikan aturan pada larutan ionic dengan rinci.
Solut dalam larutan encer nonelektrolit telah cukup dijelaskan secara termodinamik oleh
persamaan,
= 0 + RT ln m

(7.56)

Potensial kimia adalah jumlah dari dua suku: yang pertama,0, tidak bergantung pada
komposisi,dan yang kedua bergantung pada komposisi. Persamaan (7.56) cukup bagus untuk
hamper semua nonelektrolit pada konsentrasi tidak lebih dari 0,1m, dan untuk kebanyakan yang
lain ia tidak bagus bahkan pada konsentrasi yang tinggi. Pernyataan sederhana dalam persamaan
(7.56) tidak cukup bermanfaat untuk larutan elektrolit; ditemukan penyimpangan bahkan pada
konsentrasi 0,001m. Hal ini benar bahkan jika persamaan (7.56) dimodifikasi untuk mengatasi
perhitungan beberapa ion yang dihasilkan.
Untuk menyatakan perilaku suatu elektrolit dalam larutan encer, potensial kimia harus
ditulis dalam bentuk, lihat persamaan (7.49),
= 0+ RT ln m+ RT ln

(7.57)

Dalam persamaan (7.57) suku kedua di sebelah kanan persamaan (7.49) telah dimasukkan
kedalam 0. 0 tidak bergantungpada komposisi, suku ke dua dan ketiga bergantung pada
komposisi.
Energi Gibbs extra yang direpresentasikan oleh suku RT ln dalam persamaan (7.57)
adalah terutama merupakan hasil interaksi energi dari muatan listrik ion ion, karena dalam 1 mol
elektrolit terdapat NA ion, energi interaksi ini adalah,rata ratanya, kT ln per ion, dengan
konstanta Boltzmann k = R/NA . Gaya van der waals yang bekerja antara partikel partikel netral
solven dan nonelektrolit adalah lemah dan hanya efektif pada jarak yang sangat pendek, sedang
gaya coulomb yang bekerja antara ion ion dan juga antara ion dan molekul netral solven jauh
lebih kuat dan berpengaruh pada kisaran jarak yang lebih luas. Perbedaan ini menyebabkan
penyimpangan dari keidealan pada larutan ionic bahkan pada keadaan sangat encer yang di situ
ion ion sangat jauh terpisah. Tujuan kita adalah menghitung kontribusi elektrik ini ke dalam
Energi Gibbs.
Sebagai model larutan elektrolit kita membayangkan bahwa ion ion bermuatan listrik,
berebentuk bola dengan jari jari a, dibenamkan dalam solven dengan permitiviti .Misalnya
muatan ion q. Jika ion tidak bermuatan, q=0, nya dapat dihitung dengan persamaan (7.56);
karena bermuatan, nya harus memasukkan suku tambahan, kT ln . Suku tambahan yang coba
kita hitung, mestinya adalah kerja yang diperlukan untuk memberi muatan ion , membawa q dari
74

nol sampai q. Misalnya potensial listrik di permukaan bola adalah a, yaitu suatu fungsi q.
Dengan definisi ini, potensial bola adalah kerja yang harus dilakukan untuk membawa satu
satuan muatan positif dari takterhingga ke permukaan bola; jika kita membawa muatan dq dari
tarterhingga ke permukaan, kerja yang diperlukan adalah dW = a dq. Integralkan dari nol hingga
q, kita peroleh kerja yang diperlukan dalam memuati ion:
q

W=

a dq

(7.58)

Dengan W adalah energi tambahan yang dimiliki ion karena muatannya; energi Gibbs sebuah ion
lebih besar dibanding pada partikel netral sebesar W. Tambahan energi ini tersusun atas dua
kontribusi:
W = Ws + Wi
(7.59)
Energi yang diperlukan untuk memuati suatu bola terisolasi yang dibenamkan dalam medium
dielektrik adalah energi diri dari bola bermuatan tersebut, Ws. Karena Ws tidak bergantung pada
konsentrasi ion, ia akan terserap dalam nilai 0. Energi tambahan selain Ws yang diperlukan
untuk memuati ion dalam keberadaan semua ion lain adalah energi interaksi W i, yang nilainya
sangat bergantung pada konsentrasi ion. Inilah Wi yang kita cari dalam suku, kT ln :
kT ln = Wi = W Ws
(7.60)
Potensial dari bola bermuatan terisolasi yang dicelupkan dalam medium yang memiliki
permitiviti diberikan oleh formula dari elektrostatika klasik: a = q/4a. Dengan menggunakan
nilai ini dalam integral pada persamaan (7.58), kita peroleh Ws ,
Ws =

q
q2
dq=
4 a
8 a

(7.61)

Dengan mengetahui nilai Ws, kita dapat memperoleh nilai Wi jika kita berhasil dalam
menghitung W. Untuk menghitung W pertama kita harus menghitung a, lihat persamaan (7.58).
Sebelum mengerjakan perhitungan kita dapat memperkirakan secara beralasan bahwa W i akan
negative. Perhatikan suatu ion positif: ia menarik ion negative dan menolak ion positif lainnya.
Sebagai hasilnya adalah ion negative, secara rata rata, sedikit lebih dekat ke ion positive
disbanding ion positive yang lain. Hal ini berakibat ion memiliki energi Gibbs yang lebih rendah
disbanding jika ia tidak bermuatan; itulah sebabnya kita tertarik pada energi relative terhadap
spesies spesies yang tidak bermuatan, Wi negative. Pada tahun 1923 P. Debye dan E. Huckel
berhasil memperoleh nilai a. Berikut ini adalah versi ringkasan dari metoda yang mereka pakai.
Kita tempatkan titik asal dari sistem koordinat speris di pusat ion positif (gambar 7.4).
Perhatikan titik P pada jarak r dari pusat ion. Potensial di titik P dihubungkan dengan densitas
muatan , yaitu muatan per satuan volume, dengan persamaan Poisson (untuk penurunannya,
lihat Appendix II):
1 d 2 d

r
=
2 dr
dr

(7.62)

Jika dapat dinyatakan sebagai fungsi baik maupun r , maka pers.(7.62) dapat diintegrasikan
untuk menghasilkan sebagai fungsi r, dari sini kita dapatkan a secara langsung.
Untuk menghitung kita lakukan sebagai berikut, misalnya c+ dan c- konsentrasi ion positif
dan ion negative,jika z+ dan z- adalah valensi ion dan e adalah besarnya muatan electron, maka
75

muatan 1 mol ion positif adalah z+F, dan muatan positif dalam satuan volume adalah c+z+F,
dengan F adalah tetapan Faraday; yaitu F = 96484,56 C/mol. Densitas muatan, , adalah muatan
total,positif plus negatif, dalam satuan volume, oleh karena itu
= c+z+F + c-z-F = F(c+z+ + c-z-)

(7.63)

Jika potensial listrik pada P adalah , maka energi potensial ion positif dan ion negative pada P
adalah ez+ dan ez-,. Debye dan Huckel mengasumsikan bahwa distribusi ion adalah distribusi
Boltzmann (Bab 14.3). Sehingga
z + e / kT

c+ =c0+ e

dan c =c0 e

z e / kT

dengan c+0 dan c-0 adalah konsentrasi di daerah dengan =0; tetapi di daerah dengan =0,
distribusinya adalah seragam dan larutan harus netral listrik; harus nol. Hal ini membutuhkan
bahwa
c+z+ + c-z- =0
Dengan meletakkan nilai c+ dan c- dalam pernyataan untuk menghasilkan

= F c+ z ++c z

e 0 2 0 2
(c z +c z )
kT + +

Dengan mwngasumsikan bahwa ze/kT <<1, eksponensialnya diekspansikan dalam deret ;e-x = 1
x + Hali ini mereduksi menjadi

0
0
= F c+ z + +c z

e 0 2 0 2
(c z +c z )
kT + +

Kondisi netralitas listrik mengeluarkan dua suku pertama; maka, karena e/k = F/R, kita peroleh
=

F2
c0 z2
RT i i i

(7.64)

Dengan penjumlahan adalah meliputi semua jenis ion dalam larutan,dalam kasus ini,dua jenis
ion yang ada. Dengan menggunakan relasi ini, kita peroleh

F2
=
c 0 z 2 = x 2

RT i i i

(7.65)

c 0i z 2i

(7.66)

dengan definisi x2 sebagai


x 2

F
RT

Dengan menggunakan nilai dari -/, persamaan Poisson, persamaan (7.62), menjadi
1 d 2 d
r
x 2 =0
2 dr
dr
r

(7.67)
76

Jika kita substitusikan =v/r dalam persamaan (7.67), itu akan mereduksinya menjadi
2

d v
x 2 v =0
2
dr

.(7.68)

yang memiliki penyelesaian* v = Ae-xr + Bexr


dengan A dan B adalah konstanta sembarang. Nilai adalah
= A

e xr
e xr
+B
r
r

(7.69)

Saat r , suku kedua pada sebelah kanan mendekati takterhingga. * Potensialnya seharusnya
tertentu pada saat r , jadi suku kedua ini tidak dapat dipisah dari solusi fisiknya; oleh karena
itu kita nyatakan B=0 dan memperoleh
e xr
(7.70)
r
Dengan mengekspansikan eksponensial dalam deret dan hanya menetapkan dua suku pertama,
kita peroleh
= A

= A

A
= Ax
( 1xr
)
r
r

(7.71)

Jika konsentrasi nol, maka x = 0, dan potensial di titik P seharusnya hanya disebabkan pusat ion
positif saja, =z+ e/ 4r. Tetapi saat x = 0, persamaan (7.71) tereduksi menjadi = A/r;
sehingga A = z+ e/4; persamaan (7.71) menjadi:
=

z + e z + ex

4 r 4

(7.72)

Pada r = a, kita peroleh


a =

z+ e
4 a

z + ex

(7.73)

Jika, dengan pengecualian pada ion positif pusat kita, semua ion lain dalam larutan
bermuatan penuh, maka kerja yang diperlukan untuk memberi muatan ion positif ini dalam
keberadaan ion ion lain, adalah persamaan (7.58)
q

W + = a dq
0

tetapi q = z+e, sehingga dq = e dz+. Dengan memakai persamaan (7.73)untuk a, kita peroleh
z+

W +=
0

z + e 2 z+ e 2 x
e2
e2 x

dz +=

4 a
4
4 a 4

) (

( z+ e )2 ( z+ e )2 x
W +=

8 a
8

z+

) z dz
+

(7.74)

dengan suku pertama adalah energi diri W s,+, dan yang kedua adalah energi interaksi W i,+,yaitu
energi Gibba ekstra dari ion positif tunggal yang disebabkan oleh adanya ion yang lain. Dengan
memakai persamaan (7.60), kita peroleh
77

( z+ e ) x
kT ln + =
8

(7.75)

( z e )2 x
kT ln - =
8

(7.76)

Untuk ion negative kita peroleh

Koefisien aktifitas ionic rata rata dapat dihitung menggunakan persamaan (7.45):
v+ v= + - .

Mengambil bentuk logaritma, kita peroleh


ln = + ln + + ln
Dengan menggunakan persamaan (7.75) dan (7.76) ini menjadi,
ln =

e2 x
( z 2 + z 2 )
8 kT + +

Karena elektrolit itu sendiri adalah netral secara listrik, kita harus menyatakan
+z+ + -z- = 0
Dikalikan dengan z+:

+z+2 = --z+z-

Dikalikan dengan z-:

-z-2 = - +z+z-

Menambahkan:

+z+2+-z-2 = -(++-)z+z- = - z+z-

Dengan menggunakan hasil ini akhirnya kita peroleh:


e2 x
F2x
ln =
z z =
z z
8 kT + 8 N A RT +

(7.77)

Mengkonversi ke bentuk logaritma biasa dan memasukkan nilai x dari persamaan (7.66) kita
peroleh
Log10 =

1
F2
(2, 303)8N A RT

3/2

( ) ( c z )

(7.78)

1
c z2
2 i i i

(7.79)

0
i

2 1/2
z+ z
i

Kekuatan ionic, Ic, didefinisikan sebagai


I c=

dengan ci adalah konsentrasi ion ke I dalam mol/L. Karena ci0 =(1000L/m3)ci, kita peroleh

c0i z 2i =(1000 L/m3 ) c i z 2i =2( 1000 L/m3 ) I c ,


i

akhirnya kita peroleh


log 10 =

( 2000 L/ m3 )1/ . 2 F 2
( 2,303 )8N A RT

3/ 2

( )

2
z+ z I 1/
c

(7.80)

Faktor yang tertulis dalam kurung adalah terdiri dari konstanta universal dan nilai serta T.
Untuk medium kontinyu, =r0, dengan r adalah konstanta dielektrik medium. Memasukkan
nilai nilai konstanta kita peroleh
78

3 /2

(1, 8248 x 10 K L
log 10 =
( r T )3/2

1/2

/mol

1 /2

z+ z I 1/2
c

(7.81)

Dalam air pada 25oC,r = 78,54; sehingga kita peroleh


log 10 =( 0, 5092 L

1/2

/mol

1/2

1/ 2

) z + z I c

(7.82)

Baik persamaan (7.81) maupun (7.82) keduanya adalah aturan pembatas Debye-Huckel.
Hukum pembatas ini memprediksikan bahwa logaritma dari koefisien aktifitas ionic rata rata
adalah fungsi linear dari akar pangkat dua kekuatan ionic dan slope pada kurvanya seharusnya
berbanding lurus terhadap hasil kali valensi ion positif dan ion negative.( Slopenya adalah
negative, karena z- adalah negative). Prediksi ini dikonfirmasi dengan eksperimen dalam larutan
encer elektrolit kuat. Gambar 7.4 menunjukkan variasi dari log 10 dengan Ic; kurva padat
adalah data eksperimen; garis putus putus adalah nilai prediksi oleh hukum pembatas, persamaan
(7.82).

Gambar 7.4 log versus Ic1/2


Pendekatan yang diperlukan dalam teori membatasi validitasnya,hanya terhadap larutan
yang sangat encer. Dalam praktek, penyimpangan dari hukum pembatas menjadi cukup besar
dalam konsentrasi antara 0,005 sampai 0,01 mol/L. Persamaan yang lebih akurat telah
diturunkan hingga memperluas teori ke konsentrasi sedikit lebih tinggi. Tetapi, sebagaimana
sebelumnya tidak ada persamaan teoritis yang cukup yang dapat memprediksi perilaku larutan
dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari 0,01 mol/L
Teori Debye-Huckel menyediakan suatu representasi yang akurat tentang perilaku
terbatas dari koefisien aktifitas dalam larutan ionic encer. Selain itu, ia menghasilakn gambaran
dari struktur larutan ionic.Kita telah menyinggung fakta bahwa awan ion negative sedikit lebih
dekat ke ion positif daripada ion ion positif itu sendiri, yang terdesak menjauh. Dalam hal ini,
setiap ion dikelilingi oleh atmosfir dari ion yang muatannya berlawanan; muatan total pada
atmosfir ini adalah sama, tetapi tandanya berlawanan. Jejari rata rata dari atmosfir ionic ini
adalah 1/x; yang disebut panjang Debye. Karena x berbanding lurus terhadap akar pangkat dua
dari kekuatan ion , pada kekuatan ionic yang tinggi, atmosfir tersebut lebih dekat ke ion
disbanding pada kekuatan ionic rendah. Konsep atmosfir ionic ini dan matematikanya
dihubungkan dengan telah banyaknya manfaat yang luar biasa dalam menjelaskan banyak aspek
dari perilaku larutan elektrolit.
Konsep atmosfir ionic dapat dibuat lebih jelas dengan menghitung densitas muatan
sebagai fungsi jarak dari ion. Dengan mengkombinasikan pernyataan akhir untuk densitas
muatan dalam dengan pers.(7.70) dan nilai A, kita peroleh:
z + ex 2 e xr
=
(7.83)
4
r
Muatan total yang terkandung dalam lapisan speris yang dilingkupi bola berjari jari r dan r+dr
adalah densitas muatan dikalikan dengan volume lapisan, 4r2dr:
79

-z+ex2re-xrdr
Dengan mengintegrasikan kuantitas ini dari nol ke takterhingga kita peroleh muatan total pada
atmosfir yaitu z+e. Bagian dari muatan total ini yang berada dalam lapisan speris, persatuan
tebal dr dari lapisan, kita sebut f(r). Yaitu
f (r) = x2 re-xr

(7.84)

Gambar 7.5
Fungsi f (r) adalah fungsi distribusi muatan dalam atmosfir. Plot f (r) terhadap r tampak
dalam gambar 7.5. Maksimum pada kurva muncul pada rmax =1/x , panjang Debye. Dalam
elektrolit bertipe valensi simetris, 1:1; 2:2; dan lainnya, kita boleh mengatakan bahwa f (r)
merepresentasikan probabilitas persatuan tebal dr untuk menemukan kesetimbangan ion dalam
lapisan speris pada jarak r dari pusat ion. Dalam larutan berkekuatan ionic tinggi penggabungan
ke ion pusat sangat dekat, 1/x adalah kecil; pada kekuatan ionic yang lebih rendah 1/x adalah
besar dan penggabungan menjauh.
7.8 Kesetimbangan dalam Larutan Ionik
Dari hukum pembatas Debye-Huckel, persamaan (7.78), kita temukan nilai negative dari
ln ,yang mengkonfirmasi alas an fisik bahwa interaksi dengan ion lain menurunkan energi
Gibbs ion dalam larutan elektrolit. Energi Gibbs yang lebih rendah ini berarti bahwa ion lebih
stabil dalam larutan disbanding keadaannya jika tidak bermuatan. Stabilitas ekstra ini diukur
dengan suku, kT ln , dalam ungkapan potensial kimia. Sekarang kita menguji konsekuensi dari
stabilitas ekstra ini dalam dua kasus sederhana; ionisasi asam lemah, dan kelarutan dari garam
yang sedikit laeut.
Perhatikan kesetimbangan dissosiasi dari asam lemah, HA:
HA H+ +

A-

Konstanta kesetimbangan adalah hasil bagi dari aktifitas,


K=

a H + a A
a HA

(7.85)

Dengan definisi,
AH+ = + nH+, aA- = - mA-, aHA = HA mHA
Sehingga
K=

+ mH + mA 2 mH + m A
=
HA
m HA
HA mHA

( )

Kita telah memakai relasi +-= 2. Jika molalitas total asam adalah m dan derajad dissosiasi
adalah ,
80

mH+ = m,

mA- = m,

mHA = (1 - )m
2

K=

(7.86)

HA ( 1 )

Jika larutan encer , kita dapat menyatakan HA = 1, karena HA adalah spesi yang tidak
bermuatan. Juga jika K kecil, 1- 1. Maka persamaan (7.86) menghasilkan
=

K
m

1/2

( )

(7.87)

Jika kita mengabaikan interaksi ionic, kita harus menyatakan =1 dan menghitung 0 =
(K/m)1/2. Sehingga persamaan (7.87) menjadi
=

(7.88)

Dari hukumpembatas, < 1; sehingga nilai yang benar dari diberikan oleh persamaan (7.88)
adalah lebih besar dari nilai kasar , yang mengabaikan interaksi ionic. Stabilisasi ion oleh
adanya ion ion lain menggeser kesetimbangan untuk menghasilkan lebih banyak ion; sehingga
derajat dissosiasinya bertambah.
Jika larutan cukup encer dengan ion, dapat diperoleh dari hukum pembatas, Persamaan
(7.82), yang untuk elektrolit 1 : 1 dapat ditulis seperti :
1/2

1/ 2

= 100, 51 (0 m ) =e 1,17 (0 m )

dengan kekuatan ionic Ic = 0m. (kita telah mengabaikan beda antara c dam m). Nilai0 dapat
dipakai untuk menghitung Ic, karena dan 0 tidak berbeda jauh. Dengan memakai ungkapan
ini, Persamaan (7.88) menjadi
= 0 e

1,17( 0 m )1 / 2

= 0 [1+1, 17( 0 m)1 / 2 ]

Pada persamaan yang terakhir, eksponensial telah diekspansikan dalam deret. Penghitungan
untuk asam asetat 0,1 molal, K = 1,75 x 10-5, menunjukkan bahwa derajat dissosiasi bertambah
sekitar 4%. Pengaruh tersebut kecil karena dissosiasi tidak menghasilkan banyak ion.
Jika sejumlah besar elektrolit inert, salah satunya tidak mengandung baik ion H + maupun
A ditambahkan ke dalam larutan asam lemah, lalu akan dihasilkan pengaruh yang cukup berarti
pada dissosiasinya. Perhatikan larutan asam lemah dalam 0,1 mol KCl, sebagai contoh. Kekuatan
ionic larutan ini terlalu besar untuk menggunakan hukum pembatas, tetapi nilai dapat
diestimasi dari Tabel 7.1 Tabel tersebut menunjukkan bahwa untuk elektrolit 1:1 nilai dalam
0,1 molal larutan adalah kira kira 0,8. Kita dapat mengasumsikan bahwa ini adalah nilai yang
cukup beralasan untuk ion ion H+ dan A- dalam 0,1 molal larutan KCl. Kemudian dengan pers.
(7.88),
-,

0
=1, 25 0
0,8

Jadi adanya sejumlah besar elektrolit inert memberi pengaruh yang cukup apresiatif, efek
garam , pada derajat dissosiasi. Efek garam makin besar pada konsentrasi elektrolit yang lebih
tinggi.
Perhatikan kesetimbangan dari garam yang sedikit larut, seperti Perak klorida dengan ion
ionnya:
81

AgCl(s) Ag+ + ClKonstanta hasil kali kelarutan adalah


Ksp = aAg+aCl- = (+ m+)(- m-).
Jika s adalah kelarutan garam dalam mol per kilo air, maka m+ = m- = s, dan
Ksp = 2 s2
Jika so adalah kelarutan yang dihitung dengan mengabaikan interaksi ionic, maka s 02 = Ksp, dan
kita memiliki
s=

s0

(7.89)

yang menunjukkan bahwa kelarutan bertambah karena interaksi ionic. Dengan alasan yang sama
seperti yang kita pakai dalam membicarakan dissosiasi asam lemah, kita dapat menunjukkan
bahwa dalam 0,1 molal larutan elektrolit inert seperti KNO 3, kelarutan akan bertambah sekitar
25%. Kenaikan kelarutan ini dihasilkan oleh suatu elektrolit inert yang kadang kadang disebut
salting in. Pengaruh elektrolit inert pada kelarutan garam seperti BaSO4 akan menjadi sangat
besar karena muatan lebih besar pada ion ion Ba 2+ dan SO42- . Pengaruh garam pada kelarutan
yang dihasilkan oleh elektrolit inert seharusnya tidak dikacaukan dengan berkurangnya kelarutan
yang dipengaruhi oleh suatu elektrolit yang mengandung ion sejenis dengan garam yang ditinjau
itu. Selain dari kerja yang berlawanan, pengaruh ion sejenis sangat besar dibandingkan dengan
pengaruh elektrolit inert.
SOAL SOAL:
1. Nilai Kf sebenarnya dalam larutan sukrosa (C12H22O11) pada berbagai konsentrasi
m/(mol/kg)

0,10

0,20

0,50

1,00

1,50

2,00

Kf/(K kg/mol)

1,88

1,90

1,96

2,06

2,17

2,30

a)Hitunglah aktifitas air dalam tiap larutan


b)Hitunglah koefisien aktifitas air dalam tiap larutan
c)Plotkan nilai a dan terhadap fraksi mol air dalam larutan
d)Hitunglah aktifitas dan koefisien aktifitas sukrosa dalam 1 molal larutan.
2. Konstanta hukum Henry untuk chloroform dalam acetone pada 35,17oC adalah 1,99 jika
tekanan uap adalah dalam atm, dan konsentrasi chloroform dalam fraksi mol. Tekanan
parsial chloroform pada berbagai nilai fraksi mol adalah:
XCHCl3

0,059

0,123

0,185

PCHCl3

9,2

20,4

31,9

Jika a =x, dan 1 jika x0, hitunglah nilai a dan untuk chloroform dalam ketiga larutan
itu.
3. Pada konsentrasi yang sama seperti di soal no 2, tekanan parsial acetone adalah 323,2; 299,3;
dan 275,4 mmHg. Tekanan uap acetone murni adalah 344,5 mmHg. Hitunglah aktifitas
acetone dan koefisien aktifitas dalam ketiga larutan ini (a = =x, dan 1 jika x1)

82

4. Kesetimbangan cair-uap dalam sistem , isopropyl alcohol-benzene, dipelajari meliputi


komposisi pada 25oC. Uapnya dapat dianggap gas ideal. X1 adalah fraksi mol isopropyl
alcohol dalam cairan, dan p1 adalah tekanan parsial alcohol dalam uap. Datanya adalah
X1

1,000

0,924

0,836

P1/mmHg

44,0

42,2

39,5

a). Hitunglah aktifitas rasional dari isopropyl alcohol pada x 1 = 1,000, x1 = 0,924, dan x1 =
0,836
b). Hitunglah koefisien aktifitas rasional dari isopropyl alcohol pada tiga komposisi di a).
c) Pada x1 = 0,836 hitunglah jumlah yang dengannya potensial kimia alcohol berbeda dari
jika ia dalam larutan ideal.
5. Larutan cair biner didefinisikan oleh pers.
0
2
i = i +RT ln x i +w(1 x i )
dengan w adalah konstanta.
a) Apakah signifikansi dari fungsi i0?
b) Nyatakan ln i dalam term w; i adalah koefisien aktifitas rasional.
c) Pada 25oC, w = 324 J/mol untuk campuran benzene dan carbon tertrachlorida. Hitunglah
untuk CCl4 dalam larutan dengan xCCl4 = 0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1,0.

83

BAB VIII
KESETIMBANGAN DALAM SEL ELEKTROKIMIA
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1.
memahami dan menjelaskan konsep potensial kimia
2.
menjelaskan diagram sel kimia
3.
memahami persamaan Nernst
4.
menjelaskan potensial elektroda
5.
menghitung konstanta kesetimbangan dari potensial sel
6.
memahami pengukuran potensial sel
7.
menentukan aktivitas dan koefisien aktivitas potensial sel
8.1 Pendahuluan
Sel elektrokimia adalah suatu alat yang dapat memproduksi kerja listrik ke lingkungan.
Contoh, sel kering komersial adalah silinder bersegel dengan dua kuningan ysng dihubungkan
dengan terminal yang menonjol darinya. Salah satu terminal ditandai dengan tanda positif(plus),
sedang yang lain dengan tanda negatif (minus). Jika dua terminal dihubungkan ke suatu motor
kecil, elektron mengalir melalui motor dari kutub negatif ke kutub positif dari sel. Dihasilkan
kerja ke lingkungan dan reaksi kimia, reaksi sel, berlangsung di dalam sel. Dengan persamaan
(10.14), kerja listrik yang dihasilkan , Wel, lebih kecil atau sama dengan penurunan energi Gibbs
dari reaksi sel, -G.
W el G
(8.1)
Sebelum melanjutkan pembahasan remodinamik kita berhenti sejenak untuk melihat beberapa
hal mendasar tentang elektrostatik.
8.2 Definisi
Potensial listrik suatu titik di dalam ruang didefinisikan sebagai kerja yang dibutuhkan
untuk membawa satu satua muatan positif dari takterhingga, yang disitu potensial listriknya nol,
ke titik yang dimaksud tadi. Jadi jika adalah potensial listrik di titik itu dan W adalah kerja
yang diperlukan untuk membawa muatan Q dari takterhingga ke titik itu, maka
W
=
(8.2)
Q
Dengan cara yang sama, jika 1 dan 2 adalah potensial listrik dari dua titik dalam ruang , dan W1
dan W2 adalah kuantitas yang berhubungan dengan kerja yang dibutuhkan untuk membawa
muatan Q ke titik titik ini, maka
W1 + W12 = W2
(8.3)
dengan W12 adalah kerja untuk membawa Q dari titik 1 ke titik 2. Hubungan ini ada karena
medan listrik adalah kekal. Sehingga kerja dengan kuantitas yang sama harus dikeluarkan untuk
membawa Q ke titik 2, apakah dibawa secara langsung, W 2, atau pertama dibawa dulu ke titik 1
kemudian ke titik 2, W1 + W12, Oleh karena itu W12 = W2 W1, dan dari persamaan (8.2),
W 12
2 - 1=
(8.4)
Q
Perbedaan potensial listrik antara dua titik adalah kerja yang dikeluarkan untuk membawa satu
satuan muatan positif dari titik 1 ke titik 2.
Untuk pemindahan sejumlah muatan tertentu, kita peroleh elemen kerja yang dikeluarkan
pada sistem.
W12 = -dWel = dQ,
dengan adalah beda potensial 2 - 1, dan dWel adalah kerja yang dihasilkan.
84

8.3 Potensial kimia Spesi Bermuatan


Kecenderungan melepas dari partikel bermuatan, suatu ion atau elektron, dalam suatu
fase bergantung pada potensial listrik pada fase tersebut. Jelasnya, jika kita menanamkan suatu
potensial listrik negatif yang besar pada sebatang logam, kecenderungan melepas dari partikel
negatif akan bertambah.Untuk menemukan hubungan antara potensial listrik dan kecenderungan
melepas, potensial kimia, kita perhatikan sistem dari dua bola M dan M dari logam yang sama.
Misalnya potensial listrik mereka adalah dan .Jika kita memindahkan sejumlah elektron yang
membawa muatan, dQ,dari M ke M, kerja yang dikeluarkan pada sistem dinyatakan oleh pers.
(8.4): -dWel = ( - ) dQ. Kerja yang dihasilkan adalah dWel. Jika pemindahan dikerjakan secara
reversibel,maka dengan persamaan (10.13), kerja yang dihasilkan sama dengan penurunan energi
Gibbs sistem; dWel = - dG, sehingga
dG = ( - ) dQ.
Tetapi, dalam bentuk potensial kimia elektron, e, jika dn mol elektron dipindahkan, kita peroleh
dG = e dn - e - dn
dn mol elektron membawa muatan negatif dQ = - F dn, dengan F adalah muatan per mol
elektron, F = 96.484,56 C/mol. Mengkombinasikan dua pers ini menghasilkan, setelah
pembagian oleh dn,
'e e =F ( ' )
yang setelah penataan ulang akan menjadi
e = 'e +F' F

Misalnya e- adalah potensial kimia elektron dalam M jika adalah nol; maka e- = e-+ F.
Kurangkan persamaan ini dari persamaan sebelumnya, kita peroleh
e-= e- - F
(8.6)
Persamaan (8.6) adalah hubungan antara kecenderungan elektron melepas , e- dalam fase
dan potensial listrik dari fase . Kecenderungan melepas adalah fungsi linear dari . Ingat bahwa
persamaan (8.6) menunjukkan bahwa jika negatif ,e- lebih besar daripada jika positif.
Dengan alasan yang sama, itu dapat ditunjukkan bahwa untuk tiap spesi bermuatan dalam
fase
i = i + zi F
(8.7)
dengan zi adalah muatan pada spesi. Untuk elektron, z e- = -1, sehingga persamaan (8.7) akan
tereduksi menjadi persamaan (8.6). Persamaan (8.7) membagi potensial kimia i spesi bermuatan
menjadi dua suku. Suku pertama, i adalah kontribusi kimia terhadap kecenderungan melepas.
Kontribusi kimia dihasilkan oleh lingkungan kimia yang di dalamnya terdapat spesi bermuatan,
dan besarnya sama dalam dua fase yang berkomposisi kimia sama karena hanya merupakan
fungsi T,p dan komposisi saja. Suku kedua, ziF adalah kontribusi elektrik terhadap
kecenderungan melepas; ia bergantung pada kondisi elektrik dari yang dimanifestasikan dalam
nilai . Karena menguntungkan untuk membagi potensial kimia menjadi dua kontribusi ini , i,
potensial elektrokimia, telah diajukan untuk menetapkan i sebagai potensial kimia biasa.
8.3.1 Aturan untuk potensial kimia spesi bermuatan
Ion Ion dalam larutan berair
Untuk ion ion dalam larutan berair kita nyatakan = 0 dalam larutan; sehingga = dan kita
dapat memakai i yang biasa untuk ion ion ini.Penetapan ini dibenarkan oleh fakta bahwa nilai
dalam larutan elektrolit akan keluar dari perhitungan ; kita tidak punya jalan untuk menentukan
nilainya, dan dengan demikian akan lebih baik dinolkan dan memudahkan kita dalam
mengerjakan aljabarnya.

85

Elektron dalam logam


Di dalam bagian logam dari sistem kita kita tidak dapat mengabaikan potensial elektrik, karena
kita sering menbandingkan potensial listrik dari dua kawat yang berbeda yang berkomposisi
sama (dua ujung sel). Demikian juga, pada sebatang logam jelas bahwa pembagian potensial
kimia ke dalam bagian kimia dan bagian elektrik adalah sembarang, hanya dibenarkan oleh
keadaan mana yang lebih menguntungkan.Karena bagian kimia dari kecenderungan melepas
timbul dari interaksi pada partikel bermuatan listrik yang menyusun tiap materi, tidak ada cara
untuk menentukan dalam suatu materi tertentu, mana yang merupakan bagiankimia berakhir
dan bagianlistrik muai.
Untuk membuat sembarang pembagian i seenak mungkin, kita menetapkan bagian
kimia dari e- nilai uang paling menguntungkan, nol, dalam tiap logam. Sehingga dalam tiap
logam, terdapat aturan,
e- = 0
(8.8)
Kemudian, untuk elektron dalam tiap logam, persamaan(8.6) menjadi
e- = -F
(8.9)
Ion ion dalam logam murni
Definisi sembarang pada persamaan(8.9) menyederhanakan bentuk potensial kimia ion
logam dalam logam. Di dalam setiap logam terdapat kesetimbangan antara atom atom logam M,
ion ion logam Mz+, dan elektron;
M Mz+ + zeKondisi kesetimbangan adalah
M = Mz+ + zeDengan mengunakan persamaan(8.7) untuk Mz+ dan persamaan (8.9) untuk e-,kita
peroleh M = Mz+ + zF-zF, atau M = Mz+ . Untuk logam murni pada 1 atm dan 25 oC, kita
memiliki oM = oMz+; denga aturan kita sebelumnya maka o = 0 untuk unsur unsur pada kondisi
ini, kita peroleh
oMz+ = 0
(8.10)
Bagian kimia dari kecenderungan melepas pada ion logam adalah nol dalam logam murni pada
kondisi standart;kemudian menggunakan persamaan(8.7),
Mz+ =zF
(8.11)
Persamaan (8.9) dan (8.11) adalah nilai nilai konvensional dari potensial kimia elektron dan
ion ion logam dalam setiap logam murni.
Elektroda Hidrogen Standart
Sebatang platina dikontakkan dengan gas Hidrogen pada fugasitas satu dalam larutan asam yang
didalamnya ion Hidrogen memiliki aktifitas satu disebut Elektroda Hidrogen Standart. Potensial
listrik dari EHS ditetapkan dengan nilai nol.
oH+,H2 = EHS = 0
(8.12)
Sebagaimana akan kita tunjukkan nanti, pilihan ini mengimplikasikan bahwa energi Gibbs
standart untuk ion hidrogen dalam larutan air adalah nol.
oH+ = 0
(8.13)
Ini memberi kita acuan nilai yang dengannya kita dapat mengukur energi Gibbs ion ion lain
dalam larutan.
RINGKASAN ATURAN KEADAAN STANDART (T= 298,15 K; P = 1 atm)
Unsur unsur dalam kesatuan keadaan stabilnya:
Keadaan standart
ounsur = 0
86

Partikel partikel bermuatan:


Bentuk umum
i =i +zi F
a) on ion dalam larutan berair
aq=0
o
keadaan standart H+=0
Bentuk umum
i =i =io + RT ln ai
b) Elektron dalam tiap logam
keadaan standart e-(SHE) = 0 atau SHE = 0
bentuk umum
e- = -F
c). Ion ion dalam logam murni
keadaan standart oMz+ = 0
bentuk umum
Mz+ = zF

(8.7)
(8.13)

(8.12)
(8.9)
(8.10)
(8.11)

8.4 Diagram Sel


Sel elektrokimia digambarkan oleh suatu diagram yang menunjukkan bentuk teroksidasi
dan bentuk tereduksi dari suatu zat elektroaktif, seperti halnya spesi lain yang mungkin saja
terlibat dalam suatu reaksi elektroda. Elektroda logam (atau sekelompok logam logam inert)
ditempatkan di ujung diagram; zat yang tak larut dan/ ataugas ditempatkan di sebelah dalam
berdekatan dengan logam, dan spesi yang larut ditempatkan di dekat tengah diagram. Dalam
diagram yang komplit keadaan penggabungan dari semua zat dituliskan dan konsentrasi atau
aktifitas dari bahan yang larut diberikan. Dalam diagram yang disingkat beberapa atau semua
informasi ini diabaikan jika tidak diperlukan dan jika tidak ada salah pengertian. Batasan fase
ditunjukkan oleh garis vertikal penuh; garis vertikal putus putus tunggal menunjukkan lompatan
antara dua fase cairan yang larut; garis vertikal putus putus dobel menunjukkan lompatan antara
dua fase cairan yang larut yang di situ lompatan potensialnya telah dihilangkan.(Suatu jembatan
garam, seperti agar yang dijenuhkan dengan KCl, sering dipakai antara dua larutan untuk
memisahkan lompatan potensial). Koma memisahkan spesi larut yang berbeda yang fasenya
sama. Contoh berikut ini menggambarkan konvensi konvensi ini.
Lengkap
Pt1(s)Zn(s)Zn2+(aZn2+=0,35)Cu2+(aCu2+=0,49)Cu(s)PtII(s)
Singkat
ZnZn2+Cu2+Cu
Lengkap
Singkat

PtH2(g,p=0,8)H2SO4(aq,a=0,42)Hg2SO4(s)Hg(l)
PtH2H2SO4(aq)Hg2SO4(s)Hg

Lengkap
Singkat

Ag(s)AgCl(s)FeCl2(m =0,540),FeCl3(m =0,221)Pt


AgAgCl(s)FeCl2(aq),FeCl3(aq)Pt

8.5 Sel Daniel


Perhatikan sel elktrokimia, sel daniel, tampak di gambar 8.1. Ia terdiri dari dua sistem
elektroda dua setengah sel-dipisahkan oleh jembatan garam, yang mencegah dua larutan
tersebut dari pencampuran tetapi membiarkan arus mengalir antara dua kompartemen. Tiap
setengah sel terdiri dari logam,seng atau tembaga, dibenamkam dalam larutan garam logam yang
sangat larut seperti ZnSO4 atau CuSO4. Elektrodanya dihubungkan ke bagian luar oleh dua
platina hitam. Diagram selnya adalah
PtI(s)Zn(s)Zn2+(aq)Cu2+(aq)Cu(s)PtII(s)
Asumsikan bahwa tombol di rangkaian luar dibuka dan oleh karenanya terbentuk
kesetimbangan lokal elektrokimia pada batas fase dan di dalam fase bagian dalam. Pada

87

antarmuka PtIZn dan CuPtII terbentuk kesetimbangan oleh lintasan elektron elektron bebas
yang melalui antarmuka tersebut.Kondisi kesetimbangan pada antarmuka ini adalah
e-(PtI) = e- (Zn) dan e- (Cu) = e- (PtII)
(8.14)
Dengan menggunakan persamaan (8.9), kita peroleh
I = Zn ,
Cu = II
(8.15)
dengan I dan II adalah potensial dua batang platinum dan Zn adalah potensial elektroda seng
yang kontak dengan larutan yang mengandung ion seng. Perbedaan potensial listrik dari sel
(potensial sel) didefinisikan oleh
= kanan - kiri
(8.16)
Untuk kasus ini, potensial sel adalah
= II - I = Cu - Zn
(8.17)
Perbedaan II - I dapat diukur karena itu adalah beda potensial antara dua fase yang memiliki
komposisi kimia yang sama (keduanya platina).

Gambar 8.1 Sel Daniel


Anggaplah kita menghubungkan dua kawat platina melalui suatu ammeter ke suatu motor
kecil; kita amati bahwa (1) sejumlah seng larut, (2) sejumlah tembaga mengendap pada elektroda
tembaga, (3) elektron mengalir di rangkaian luar dari elektroda Zn ke elektroda Cu, dan (4)
motor bergerak. Perubahan dalam sel dapat dirangkum sebagai berikut:
Pada elektroda sebelah kiri
Zn(s) Zn2+(aq) + 2e- (Zn);
Pada rangkaian luar
2e- (Zn) 2e- (Cu);
Pada elektroda kanan Cu2+ (aq) + 2e-(Cu) Cu(s).
Transformasi keseluruhan adalah jumlah dari perubahan perubahan ini:
Zn(s) + Cu2+ (aq) Zn2+ (aq) + Cu(s).
Reaksi kimia ini adalah reaksi sel ; G untuk reaksi ini adalah
a Zn 2+
G = Go + RT ln
a Cu2 +

(8.18)

Kerja yang dihasilkan oleh sistem untuk menggerakkan elektron dari elektroda seng ke elktroda
tembaga adalah Wel, yaitu
-Wel = Q(II - I) = -2F
Di sini persamaan (8.17) telah dipakai untuk II - I. Kerja yang dihasilkan adalah
Wel = 2F
(8.19)
Menggunakan nilai ini dalam persamaan (8.1) untuk Wel akan menjadi
2F - G
(8.20)
dengan G adalah perubahan energi Gibbs untuk reaksi sel.
Jika transformasi dilakukan secara reversibel, kerja yang dihasilkan setara dengan
penurunan energi Gibbs; Wel = -G. Kemudia kita mempunyai,
2F = - G,
(8.21)
yang dengan memandang persamaan (8.18) menjadi
88

2F = -G - RT ln

a Zn 2+
a Cu2 +

Jika kedua elektroda ada dalam keadaan standart, aZn2+ = 1 dan aCu2+ = 1, potensial sel adalah
potensial sel standart, o. Sehingga, setelah kita membagi dengan 2F, persamaan menjadi
RT a Zn 2+
ln
= o (8.22)
2F a Cu2 +
yang dengan persamaanNernst untuk sel. Persamaan ini menghubungkan potensial sel ke nilai
standart dan perbandingan aktifitas zat yang tepat dalam reaksi sel.
8.6 Energi Gibbs dan Potensial Sel
Hasil yang diperoleh untuk sel Daniel dalam persamaan(8.20) adalah umum. Jika reaksi
sel seperti tertulis melibatkan n elektron daripada dua elektron, hubungannya adalah,
nF - G

(8.23)

Persamaan (8.23) adalah relasi mendasar antara potensial sel dan perubahan energi Gibbs yang
mengikuti reaksi sel.
Pengamatan menunjukkan bahwa nilai bergantung pada arus yang dialirkan pada
rangkaian luar.Nilai pembatas yang diukur pada saat mendekati nol disebut gaya gerak
listrik (electromotive force) dari sel atau potensial sel reversibel, rev.
lim = rev
l 0

kemudian persamaan (8.23) menjadi


nFrev = - G

(8.24)

Kita lihat bahwa emf sel berbanding langsung terhadap (-G/n), pengurangan energi
Gibbs pada reaksi sel per elektron yang ditransfer. Jadi Emf sel adalah sifat intensif sistem, ia
tidak bergantung pada ukuran sel atau koefisien yang dipilih untuk menyeimbangkan persamaan
kimia pada reaksi sel.
Untuk menghindari notasi yang tidak praktis kita akan menghilangkan subskrip rev pada
potensial sel; kita mengerjakannya dengan pemahaman bahwa persamaan termodinamik (seperti
berbeda dari pertidaksamaan) hanya berlaku untuk potensial sel reversibel (emf sel).
Spontanitas reaksi dapat dinilai dengan potensial sel yang bersesuaian. Melalui
persamaan (8.24) diikuti bahwa jika G negatif, positif. Jadi kita punya kriteria:
G

Reaksi sell

Spontan

Tidak spontan

Kesetimbangan

8.7 Persamaan Nernst


Untuk setiap reaksi kimia energi Gibbs reaksinya adalah
G = Go + RT ln Q

(8.25)
89

dengan Q adalah hasilbagi dari aktifitas. Mengkombinasikan ini dengan persamaan (8.24), kita
peroleh
-nF = Go + RT ln Q
Potensial standart sel didefinisikan oleh
-nF = Go

(8.26)

Memasukkan nilai Go ini dan membagi dengan nF, kita peroleh


= o

(8.27a)

2, 303 RT
log 10 Q ;
nF

8.27b)

0, 05916V
log 10 Q pada suhu 25o
n

(8.27c)

= o
= o

RT
ln Q ;
nF

Persamaan (8.27) adalah bentuk lain dari persamaan Nernst untuk sel.Persamaan Nernst
menghubungkan potensial sel ke nilai standart,o,dan aktifitas spesies ambil bagian dalam reaksi
sel.Dengan mengetahui nilai o dan aktifitas, kita dapat menghitung potensial sel.
8.8 Elektroda Hidrogen
Definisi potensial sel memerlukan bahwa kita menandai satu elektroda sebagai sebelah
kanan dan yang lain adalah elektroda kiri. Potensial sel didefinisikan sebagai dalam persamaan
(8.16) yaitu
= kanan - kiri
Biasanya, tetapi tidak harus, menempatkan elektroda yang lebih positif di sebelah kanan. Seperti
kita tetapkan, potensial sel ini selalu dapat diukur sebagai perbedaan dalam potensial antara dua
kawat.(misalnya Pt) yang memiliki komposisi yang sama. Pengukuran juga menetapkan mana
elektroda yang positif relatif terhadap yang lain; dalam contoh kita, tembaga adalah positif relatif
terhadap seng.Ini tidak berarti merupakan nilai potensial mutlak suatu elektroda terhadap yang
lain.Sangat berguna untuk menetapkan sembarang nilai potensial nol untuk suatu elektroda; kita
menetapkan nilai nol untuk potensial elektroda hidrogen dalam keadaan standart.
Elektroda hidrogen diilustrasikan dalam gambar 8.2. Gas Hidrogen murni dilewatkan
elektroda platinum yang kontak dengan larutan asaqm. Pada permukaan elektroda
kesetimbangannya adalah
H+ (aq) + e-(Pt) H2(g)
Ditetapkan. Kondisi kesetimbangan adalah yang biasa
H+ (aq) + e-(Pt) = H2(g)
Menggunakan persamaan (8.9)untuk e-(Pt) dan bentuk yang biasa dari H+(aq) dan 2(gas) kita peroleh
o H+ + RT ln aH+ - FH+/H2 = o H2 + RT ln f,

90

Gambar 8.2 Elektroda Hidrogen


Dengan f adalah fugasitas H2 dan aH+ adalah aktifitas ion hidrogen dalam larutan berair.Jadi
1 o
o
1
H+ H
2
2
RT
f2
H +/ H =

ln
F
F
aH+
2

(8.28)

Jika fugasitas gas adalah satu, dan aktifitas H + dalam larutan adalah satu, elektroda ada dalam
keadaan standart, dan potensialnya adalah potensial standart, oH+/H2. Misalkan f = 1dan aH+ = 1
dalam persamaan (8.28) kita peroleh
1 o
o
H+ H 2 o +
2
oH + / H =
= H
F
F
2

(8.30)

karena o H2 = 0, kurangkan persamaan (8.29) dari persamaan (8.28) menghasilkan


1

RT
f 2
H + / H = oH + / H
ln
2
F
aH+

(8.30)

yang merupakan persamaan Nernst untuk elektroda hidrogen; itu menghubungkan potensial
elektroda ke aH+ dan f. Sekarang elektron dalam platina pada elektroda hidrogen standart adalah
dalam keadaan standart tertentu. Kita pilih keadaan standart pada energi Gibbs nol untuk
elektron keadaan ini dalam SHE. Karena, dengan persamaan (8.9), e- = - F kita peroleh
e-(SHE) = 0 dan H+/H2 = 0

(8.31)

Energi Gibbs elektron dalam setiap logam diukur relatif terhadap elektroda hidrogen standart.
Penempatan dalam persamaan (8.31) menghasilkan energi Gibbs nol konvensional untuk ion ion
dalam larutan berair. Dengan menggunakan persamaan (8.31) dalam persamaan (8.29), kita
peroleh
o H+ = 0

(8.32)

Energi Gibbs standard untuk ion ion lain dalam larutan berair diukur relatif terhadap ion H +,
yang memiliki energi Gibbs standart sama dengan nol.
Persamaan Nernst, persamaan (8.30), untuk elektrode hidrogen menjadi
1

H + / H =
2

RT
f 2
ln
F
aH+

(8.33)

91

Ingat bahwa argumen pada logaritma adalah hasil bagi untuk fugasitas dan aktifitas untuk reaksi
elektroda jika adanya elektron diabaikan dalam penyusunan hasilbagi. Dari persamaan (8.33)
kita dapat menghitung potensial, relatif terhadap SHE, dari elektroda hidrogen yang disitu f H2
dan aH+ memiliki nilai sembarang.
8.9 Potensial Elektroda
Dengan telah ditetapkannya elektroda hidrogen sebagai potensial nol, berikutnya kita
membandingkan potensial dari semua sistem elektroda lain terhadap elektroda hidrogen standart.
Sebagai contoh, poptensial sel
PtIH2(g, f = 1)H+(aH+ = 1)Cu2+(aCu2+)CuPtII
Dirancang oleh Cu2+/Cu :
Cu2+/Cu = II - I = Cu - (SHE) = Cu

(8.34)

ingat bahwa Cu2+/Cu adalah sama dengan potensial elektroda tembaga konvensional,Cu. Reaksi
sel adalah.
H2(f = 1) + Cu2+(aCu2+) 2H+ (aH+ = 1) + Cu

(8.35)

Kesetimbangan pada SHE adalah


H2(f = 1) 2H+ (aH+ = 1) + 2e-(SHE)

(8.36)

Semua spesi dalam reaksi ini memiliki energi Gibbs nol dengan penetapan konvensional kita .
Jika mengurangkan kesetimbangan dalam persamaan (8.36) dari persamaan (8.35), kita peroleh
Cu2+(aCu2+) + 2e-(SHE) Cu,

(8.37)

Yang adalah cara singkat sederhana untuk menuliskan persamaan (8.35). Persamaan (8.37)
disebut reaksi setengah sel. Karena potensial dari sel ini bergantung hanya kepada energi Gibbs
konvensional tembaga dan ion tembaga,itu dinamakan potensial setengah sel, atau potensial
elektroda dari elektroda Cu2+Cu.
Potensial setengah sel ini dihubungkan ke perubahan energi Gibbs dalam reaksi (8.37)
oleh
2F = -G ;
dengan mengingat bahwa untuk elektron dalam SHE energi Gibbs adalah nol. Dengan memakai
pers (8.37), persamaan Nernst untuk elektron menjadi
Cu 2+ /Cu = oCu 2+ / Cu

RT
1
ln
2F a Cu2 +

(8.38)

Dengan mengukur potensial sel pada berbagai konsentrasi Cu+, kita dapat menentukan
Cu2+/Cu = oCu2+/Cu. Potensial standart ini ditabulasikan sepanjang denganpotensial standart
setengah sel yang lain dalam Tabel 8.1. Tabel potensial setengah sel senacam ini, atau potensial
elektroda, adalah sama dengan tabel energi Gibbs standart yang darinya kita dapat menghitung
nilai nilai konstanta kesetimbangan untuk reaksi kimia dalam larutan. Ingat bahwa potensial
standart adalah potensial elektroda jika semua spesi reaktif ada dalam aktifitas satu, a = 1.
o

Situasi ini dapat dirangkum sebagai berikut: jika reaksi setengah sel ditulis dengan
elektron dalam SHE pada sisi reaktan, setiap sistem elektroda dapat direpresentasikan sebagai
Spesies teroksidasi + ne-SHE spesies tereduksi

92

Tabel 8.1 Potensial elektode standar pada suhu 25oC


Reaksi elektrode
K+ + e- K

o/V
-2,925

Na+ + e- Na
H2 + 2e- 2HAl3+ 3e- Al
Zn(CN)42- + 2e-- Zn + 4CNZnO22- + 2H2O + 2e-- Zn + 4OHZn(NH3)42+ + 2e- Zn + 4NH3
Sn(OH)62- + 2e-- HsnO2- + H2O + 3OHFe(OH)2 + 2e- Fe + 2OH2H2O + 2e- H2 + 2OHFe(OH)3 + 3e- Fe + 3OHZn2+ + 2e- Zn
Ag2S + 2e- 2Ag + S2Fe2+ + 2e- Fe
Bi2O3 + 3H2O + 6e- 2Bi + 6OHPbSO4 + 2e- Pb + SO42Ag(CN)2- + e- Ag + 2CNNi2+ +2e- Ni
AgI + e- Ag + ISn2+ + 2e- Sn
Pb2+ +2e- Pb
Cu(NH3)42+ + 2e- Cu + 4NH3
Fe3+ + 3e- Fe
2H+ + 2e- H2
AgBr + e- Ag + BrHgO(r) + H2O + 2e- Hg + 2 OHSn4+ + 2e- Sn2+
AgCl + e- Ag + ClHg2Cl2 + 2e- 2Hg + 2ClCu2+ + 2e- Cu
Ag(NH3)2+ + e- Ag + 2NH3
Hg2SO4 + 2e- 2Hg + SO42Fe3+ + e- Fe2+
Ag+ + e- Ag
O2 + 4H+ + 4e- 2H2O
PbO2 + SO42- + 4H+ + 2e- PbSO4 + 2H2O
O3 + 2H+ + 2e- O2 + H2O

-2,714
-2,25
-1,66
-1,26
-1,216
-1,03
-0,90
-0,877
-0,828
-0,77
-0,763
-0,69
-0,440
-0,44
-0,356
-0,31
-0,250
-0,151
-0,136
-0,126
-0,12
-0,036
0,000
+0,095
+0,098
+0,15
+0,222
+0,2676
+0,337
+0,373
+0,6151
+0,771
+0,7991
+1,229
+1,685
+2,07

Kemudian reaksi berikut ini memperoleh


= ;

(8.39)

G = -nF ;

(8.40)

93

=o

RT
ln Q
nF

(8.41)

Contoh 8.1 untuk elektroda ion tembaga/tembaga kita secara explisit mempunyai
o
o
o
2F Cu 2+ /Cu = -Go = - ( Cu Cu 2+ )

karena Cu = 0, ini menjadi


oCu 2+ = 2F oCu 2+ /Cu
o
karena Cu 2+ / Cu = +0,337 V, kita mendapatkan :

Cu 2+

= 2(96484 C/mol)(+0,337V) = 65,0 x 103 J/mol = 65,0 kJ/mol

o
Contoh 8.2 Untuk elektrode Sn4+/Sn2+ Sn4+ / Sn2+ = 0,15 V; untuk elektrode Sn2+/Sn
o 2+
o 4 + , o 2+ , dan o 4+ .
Sn / Sn = -0,136 V. Hitung
Sn
Sn
Sn / Sn

Reaksinya adalah :
Sn4+ + 2e- Sn2+

o
o
2F(0,15 V) = -( Sn 2+ - Sn4 + )

Sn2+ + 2e- Sn

o
2F(-0,136 V) = -( Sn - Sn 2+ )

Persamaan kedua menghasilkan :


oSn 2+ = 2(96484 J/mol)(-0,136 V)(10-3 kJ/mol) = -26,2 kJ/mol
Persamaan pertama menghasilkan :
oSn4 + - oSn 2+ = 2(96484 C/mol)(0,15 V)(10-3 kJ/J) = 29 kJ/mol
kemudian
oSn4 + = 29 kJ/mol + oSn 2+ = 29 26,2 = 3 kJ/mol
o
untuk mendapatkan Sn4+ / Sn ,tulis reaksi setengah sellnya :

Sn4+ + 4e- Sn
Kemudian
o
o
o
4F Sn4+ / Sn = -( Sn - Sn4 + ) = Sn4 +

dan
oSn4+ / Sn =

3000 J /mol
=0, 008 V
4(96484 C /mol )

8.10 Kebergantungan pada Suhu dari Potensial sel


Dengan mendeferensialkan persamaan ,nF = -G terhadap suhu ,kita peroleh
nF

( T ) =( TG ) = S
( T ) = SnF
p

(8.42)
94

Jika sel tidak mengandung elektroda gas, maka karena perubahan entropi reaksi dalam larutan
seringkali kecil, kurang dari 50 J/K, koefisien suhu potensial sel biasanya setingkat 10 -4 sampai
10-5 V/K. Sebagai konsekuensinya, jika hanya peralatan rutin yang dipakai untuk mengukur
potensial sel dan koefisien suhu dicari, pengukuran yang meliputi kisaran suhu yang luas cukup
layak.
Nilai S tidak bergantung pada suhu adalah pendekatan yang bagus; dengan
mengintegralkan persamaan (8.42), antara suhu acuan To dan T, kita peroleh
= To +

S
S
( T T o ) atau = o +
(t 25)
25
C
nF
nF

(8.43)

dengan t dalam oC. Potensial sel adalah fungsi linear dari suhu.
Melalui persamaan (8.42), koefisien suhu dari potensial sel menghasilkan nilai S. Dari
ini dan nilai pada sembarang suhu kita dapat menghitung H untuk reaksi sel. Karena H =
G + TS, maka

[ ( )]

=nF T

(8.44)

sehingga dengan mengukur dan ( ( /T ) P kita dapat memperoleh sifat sifat termodinamis
reaksi sel,G,H,S.

Contoh 8.3 Untuk reaksi sell


Hg2Cl2 (s) + H2 (1 atm) 2Hg(l) + 2H+ (a=1) + 2Cl-(a=1),
o298 = +0,2676 V dan ( o /T ) p = -3,19 x 10-4 V/K
karena n = 2,
Go = -2(96484 C/mol)(0,2676 V)(10-3 kJ/J) = -51,64 kJ/mol;
Ho = -2(96484 C/mol)[0,2676 V-298,15 K(-3,19 x 10-4 V/K)](10-3 kJ/J)
= -69,99 kJ/mol;
So = 2(96484 C/mol)(-3,19 x 10-4 V/K) = -61,6 J/K mol

8.10.1 Pengaruh Panas dalam Reaksi Sel Reversibel


Dalam contoh 8.3, kita menghitung Ho untuk reaksi sel dari potensial sel dan koefisien
suhunya. Jika reaksi berlangsung secara irreversibel dengan pencampuran sederhana reaktan
secara bersama sama,Ho adalah panas yang mengalir ke dalam sistem dalam transformasi oleh
relasi yang biasa, H = QP. Bagaimanapun, jika reaksi diatur agar reversibel dalam sel, kerja
listrik sejumlah Wel,rev dihasilkan. Kemudian, dengan persamaan (9.4), definisi dari S,adalah
Qp(rev) = TS

(8.45)

Dengan menggunakan contoh 8.3, kita peroleh Qp(rev) = 298,15 K(-61,6 J/K mol) = -18350 J/mol.
Konsekuensinya, dalam operasi sel hanya 18,35 kJ/mol panas mengalir ke lingkungan,
sedangkan jika reaktan dicampur secara langsung, 69,99 kJ/mol panas mengalir ke lingkungan.
Ho untuk transformasi ini adalah -69,99 kJ/mol dan tidak bergantung cara reaksi itu
berlangsung.

95

8.11 Macammacam Elektroda


Di sini kita akan menyebutkan beberapa jenis elektroda yang penting, dan memuat reaksi
setengah sel dan persamaan Nernst.
8.11.1 Elektroda Gas Ion
Elektroda gas ion terdiri dari suatu pengumpul elektron yang inert, seperti platina atau
grafit, kontak dengan gas dan ion yang larut. Elektroda H 2H+, yang didiskusikan secara detail
dalam bab 8.8 adalah salah satu contoh. Contoh yang lain adalah elektroda klorin, Cl 2Clgrafit:
Cl2 (g) + 2e 2 Cl (aq)
-

2
RT aCl
=
ln
2F
p Cl 2

(8.46)

8.11.2 Elektroda Ion Logam- Logam


Elektroda yang terdiri dari sebatang logam yang dibenamkan dalam larutan yang
mengandung ion logam. Elektroda Zn2+Zn dan Cu2+Cu yang dijelaskan terdahulu adalah
contohnya.
Mn+ + ne- M

=o

RT
1
ln
F
a M n+

(8.47)

8.11.3 Elektroda Logam-Garam tak larut-Anion


Elektroda ini kadang kadang disebut elektroda jenis kedua. Ia terdiri dari sepotong
logam yang dibenamkan dalam larutan yang mengandung garam padat tak larut dari logannya
tersenut dan anion dari garamnya. Ada selusin elektroda jenis ini secara umum; kita sebutkan
contoh sedikit saja.
Elektroda Perak-Perak klorida. Cl-AgCl(s)Ag(s): gambar 8.3).
RT
o
ln a Cl
AgCl(s) + e- Ag(s) + Cl-(aq) =
F

(8.48)

Aktifitas AgCl tidak muncul pada hasilbagi, karena AgCl adalah padatan murni. Karena
potensialnya sensitif terhadap konsentrasi ion klorida, hal ini dapat dipakai untuk mengukur
konsentrasinya. Elektroda Perak-Perak klorida adalah umumnya sering dipakai sebagai elektroda
acuan.
Sejumlah elektroda acuan yang umum adalah elektroda golongan merkuri.
Elektode Calomel. Sejumlah merkuri dilapisi oleh pasta kalomel (merkuro klorida) dan larutan
KCl.
Hg2Cl2(s) + 2e- 2Hg(i) + 2Cl-(aq)

=o

RT
2
ln a
Cl
2F

Elektrode Mercuri-Merkuri Oksida. Sejumlah merkuri dilapisi oleh pasta merkuri oksida dan
larutan basa.
o
HgO(s) + H2O 2e- Hg(l) + 2OH- (aq) =

RT
ln a 2OH
2F

Elektode Mercuri-Merkuro sulfat. Sejumlah merkuri dilapisi dengan pasta merkurosulfat dan
larutan yang mengandung sulfat.
o
Hg2SO4(s) + 2e- 2Hg(l) + SO42-(aq) =

RT
ln a 2
SO 4
2F

96

8.3.4 Elektrode Oksidasi-Reduksi


Setiap elektroda yang melibatkan oxidasi reduksi dalam operasinya, tetapi elektroda ini
memiliki bentuk superfluos yang terikat kepadanya. Suatu elektroda oxidasi reduksi memiliki
pengumpul logam inert, biasanya platina, dibenamkan dalam larutan yang mengandung dua soesi
yang larut dalam keadaan oksidasi yang berbeda. Suatu contoh adalah elektroda ion feri-fero
(gambar 8.3)
Fe3+ + e- Fe2+

=o

RT a Fe 2+
ln
F
a Fe 3+

(8.50)

Gambar 8.3 Elektroda Feri Fero


8.12.

Konstanta Kesetimbangan dari Potensial Setengah Sel Standar


Setiap reaksi kimia dapat dituliskan sebagai kombinasi dari dua buah reaksi setengah sel
sehingga potensial sel dapat diasosiasikan dengannya. Nilai ditentukan oleh relasi , nF = -G.
Kondisi kesetimbangan untuk setiap reaksi kimia adalah Go= -nFo, kita dapat menulis:
0

n
(8.50)
0, 05916V
Dengan memakai persamaan (8.50), kita dapat menghitung konstanta kesetimbangan untuk
setiap reaksi dari potensial sel standart,yang pada gilirannya dapat diperoleh dari nilai nilai pada
table potensial setengah sel standart. Metoda berikut ini dan contoh contohnya menggambarkan
procedure yang akan memastikan untuk memperoleh 0 dengan ukuran besar dan tandanya.
RT ln K = nFo, atau pada 25oC log10K =

Langkah 1. Pecahkan reaksi sell menjadi dua reaksi setengah sell.


a.Untuk reaksi setengah sell yang pertama ( yang di sebelah kanan elektroda) pilihlah spesies
teroksidasi yang muncul pada sisi reaktan dari reaksi sell dan tuliskan kesetimbangan dengan
spesies tereduksi yang sesuai.
b.Untuk reaksi setengah sell yang kedua (elektroda sebelah kiri) pilih spesies teroksidasi yang
muncul di sisi produk dari reaksi sell dan tulis kesetimbangan dengan spesies tereduksi yang
sesuai.
Tulis kedua reaksi setengah sell dengan electron pada sisi reaktan.
Langkah 2 Setimbangkan reaksi setengah sell dengan jumlah electron yang sama,n, pada
masing masingnya.
Langkah 3 Jika reaksi setengah sell kedua dikurangkan dari yang pertama, seluruh reaksi sell
diselesaikan ; periksalah untuk meyakinkannya. Kurangkan potensial elektroda dengan cara yang
sama (pertama minus kedua) untuk memperoleh potensial standar sell, o.
Langkah 4 Pergunakan persamaan (8.50) untuk menghitung K
Contoh 8.4 2Fe3+ + Sn2+

Fe2+ + Sn4+
97

Langkah 1. Pilih spesi teroksidasi Fe3+ pada sisi reaktan sebagai reaksi setengah sell yang
pertama ; pilih spesi teroksidasi Sn4+ pada sisi produk sebagai reaksi setangah sell kedua. Reaksireaksi setengah sellnya adalah :
Fe3+ + e Fe2+ o = 0,771 V
Sn4+ + e Sn2+ o = 0,15 V
Langkah 2. Kalikan reaksi setengah sell pertama dengan 2 sehingga masing-masing akan
melibatkan jumlah electron yang sama.
Langkah 3. Kurangkan reaksi kedua dari yang pertama ; ini menghasilkan reksi asal.
Pengurangan potensial kedua dari yang pertama menghasilkan o. o = 0,771 0,15 = 0,62 V
Langkah 4. Karena n = 2, kita temukan :
2( 0, 62 V )
n o
maka K = 1021
=
=21
0,05916 V 0, 05916 V
Contoh 8.5 2MnO4- + 6H+ + 5H2C2O4 2Mn2+ + 8H2O + 10CO2
Reaksi setengah ini (pilih spesi teroksidasi, MnO4-, pada sisi reaktan untuk reaksi setengah sell)
MnO4- + 8H+ + 5e- Mn2+ + 4H2O o= 1,51V;
2CO2 + 2H+ + 2e- H2C2O4
o = - 0,49V.
Kalikan koefisien reaksi pertama dengan 2, juga reaksi kedua dengan 5, kita peroleh :
2MnO4- + 16H+ + 10e- 2Mn2+ + 8H2O o= 1,51V;
10CO2 + 10H+ + 10e- 5H2C2O4
o = - 0,49V.
Dikurangkan, kita peroleh
2MnO4- + 6H+ + 5H2C2O4 2Mn2+ + 8H2O + 10CO2
log 10 K =

o = 1,51 V (-0,49V) = 2 V
karena n = 10,
10( 2V )
log 10 K =
=338 atau K = 10338
0,05916 V
Contoh 8.6 Cd2+ + 4 NH3 Cd(NH3)42+
Reaksi ini bukan reaksi oksidasi reduksi ; walaupun demikian itu mungkin saja
terdekomposisi menjadi dua buah reaksi setengah sell. Pilih Cd2+ sebagai spesi teroksidasi untuk
reaksi setengah sell pertama, akan kita sadari bahwa tidak ada spesi tereduksi yang sesuai.
Situasi yang sama muncul jika kita pilih Cd(NH3)42+ sebagai spesi teroksidasi untuk reaksi
setengah sell kedua. Kita ambil saja, kita masukan spesi tereduksi yang sama untuk kedua reaksi
tersebut, logam cadmium tampaknya pilihan yang logis. Sehingga reaksi-reaksi setengah sellnya
adalah :
Cd2+ + 2e-Cd o = -0,40 V;
Cd(NH3)42+ + 2e- Cd + 4 NH3
o = -0,61 V
Dikurangkan , kita peroleh :
Cd2+ + 4 NH3 Cd(NH3)42+ o = -0,40 V - (-0,61 V) = +0,21 V
2 ( 0, 21V )
log 10 K =
=7,1 atau K = 1,3 x 107
0,05916 V
ini merupakan konstanta stabilitas untuk ion kompleks
Contoh 8.7 Cu(OH)2 Cu2+ + 2OH-,
Cu(OH)2 + 2e- Cu + 2 OH-, o = - 0,224 V
Cu2+ + 2e- Cu,
o = + 0,337 V
Dikurangkan, kita peroleh
Cu(OH)2 Cu2+ + 2OH-, o = - 0,224 V (+0,337 V) = -0,561 V
98

2(0, 561V )
=18 , 97 atau K = 1,1 x 10-19
0, 05961V
ini merupakan konstanta hasil daya larut tembaga hidroksida
log 10 K =

8.13 Makna Potensial Setengah Sel


Dalam kasus elektroda logam / ion logam, potensial setengah sell adalah ukuran
kecenderungan berlangsungnya reaksi Mn+ + ne- M. Ini seperti halnya kecenderungan Mn+
direduksi oleh H2 pada satuan fugasitas membentuk logam dan ion H + pada satuan aktivitas.
Dalam contoh 8.1 kita tunjukan bahwa untuk elektroda Mn+M
oM n+ =nF oM n+ / M
(8.51)
Sehingga potensial elektroda standar adalah ukuran energi Gibbs molar standard suatu ion logam
relative terhadap ion hydrogen.
Logam-logam aktif seperti Zn, Na, atau Mg, memiliki potensial standard yang sangat
negative. Senyawa-senyawanya tak dapat direduksi oleh hydrogen, tetapi justru logam-logamnya
itu sendiri dapat dioksidasi oleh ion H+ menghasilkan H2. Logam-logam mulia seperti Cu dan Ag
memiliki o positif. Senyawa-senyawa logam ini sangat mudah direduksi oleh H 2; logamlogamnya itu sendiri tidak teroksidasi oleh ion hydrogen. Karena potensial logam bergantung
kepada aktivitas ion logam dalam larutan, factor-faktor yang mempengaruhi aktivitas ion akan
memberikan pengaruh terhadap potensial elektroda. Untuk perak, persamaan Nernst adalah :
1
Ag+ /Ag =0,7991 V (0, 05916 V )log 10
a Ag+
Selagi nilai aAg+ berkurang, nilaiAg+/Ag juga berkurang. Dengan menggunakan nilai yang berbeda
dari aAg+ dalam persamaan (8.52) kita peroleh:
a

Ag+

1,0

oAg+ /Ag V 0,7991

10-2

10-4

10-6

10-8

10-10

0,6808

0,5625

0,4441

0,3258

0,2075

Untuk setiap pengurangan aktifitas ion perak sebesar pangkat sepuluh, potensialnya anjlog
hingga 59,16mV.
Dibandingkan bila kita mengencerkan larutan untuk mengurangi aktifitas ion perak, jika
kita menambahkan zat pengendap atau zat pengkompleks yang dengan kuat bergabung dengan
ion perak- sehingga baik aktifitas ion perak maupun potensial elektroda akan berkurang secara
drastis. Sebagai contoh, jika kita menambahkan cukup HCl ke dalam larutan AgNO 3 dalam
elektroda Ag+Ag, tidak hanya untuk menyempurnakan pengendapan ion perak sebagai AgCl
tetapi juga untuk membawa aktifitas ion Clorida menjadi satu,elektroda akan dikonversi menjadi
elektroda standart AgAgClCl-. Untuk elektroda ini kesetimbangannya adalah:
AgCl (s) + e- Ag (s) + Cl- ; o = 0,222 V
Potensial ini, jika kita menggunakan Persamaan Nernst untuk elektroda Ag +Ag, berkaitan
dengan aktifitas ion perak yang diberikan oleh:
1
0, 222 V =0, 799V ( 0,05916 V )log 10
a =1,8 x 1010
a Ag+ atau Ag+
Pada saat yang sama, kesetimbangan kelarutan harus dipenuhi. Sehingga
K sp =a Ag+ aCl
AgCl (s) + e- Ag (s) + Cl- ;
10
Karena a + =1,810
dan a Cl =1 , kita simpulkan bahwa
Ag

K sp =a

Ag + Cl

=1,8(1010 )( 1)=1,81010

99

Hal itu mengikuti bahwa kita dapat menentukan konstanta hasil kali kelarutan untuk zat yang
sedikit larut dengan mengukur potensial standart dari sel elektrokimia yang bersesuaian.
(Bandingkan dengan contoh 8.6 dan 8.7 bab 8.12)
Dari alasan di atas dapat dilihat bahwa semakin stabil spesi yang berikatan dengan ion
perak, semakin rendah potensial elektroda perak. Sekelompok nilai 0 untuk berbagai pasangan
perak diberikan di Tabel 8.2. Dari nilai di Tabel 8.2, jelas bahwa ion iodida mengikat Ag + lebih
effektif daripada bromida atau clorida; AgI kurang dapat larut dibanding AgCl atau AgBr. Fakta
bahwa perak iodida- pasangan perak yang memiliki potensial negatif berarti bahwa perak
seharusnya larut dalam HI dengan membebaskan hidrogen. Hal ini berlangsung dalam
kenyataan, tetapi tindakan tersebut berhenti tepat pada waktunya karena lapisan tak larut AgI
yang terbentuk dan melindungi permukaan Ag dari serangan lebih lanjut.
Tabel 8.2
Pasangan
o/V
0,7991
Ag+ + e- Ag
0,2222
AgCl (s) + e- Ag (s) + Cl0,03
AgBr (s) + e Ag (s) + Br
-0,151
AgI (s) + e- Ag (s) + I=
-0,69
Ag2S (s) + e Ag (s) + S
Zat yang membentuk komplek yang larut dengan ion logam juga menurunkan potensial
elektroda. Dua contoh adalah
Ag(NH3)2+ + e- Ag + 2NH3,
o = +0,373 V;
Ag(CN)2- + e- Ag + 2CN-,
o = -0,31 V.
Apakah logam itu mulia atau logam aktif bergantung pada lingkungannya. Biasanya perak
adalah logan mulia,dengan adanya ion iodida, sulfida, atau sianida, ia menjadi logam aktif (jika
kita memandang potensial nol sebagai garis pembagi antara logam aktif dan mulia.)
8.14 Pengukuran Potensial Sel
Metoda paling sederhana untuk pengukuran potensial suatu sel elektrokimia adalah
dengan menyeimbangkannya melawan suatu perbedaan potensial yang besarnya setara di
rangkaian luar suatu potensiometer. Gambar 8.5 menunjukkan rangkaian potensiometer dengan
sel yang dihubungkan kepadanya. Batterai B mengirim arus I melalui kawat R. Kontak S diatur
sampai tidak ada simpangan pada galvanometer G. Pada titik nol,potensial sel diseimbangkan
dengan perbedaan potensial antara titik S dan P di rangkaian kawat. Rangkaian kawat dikalibrasi
sehingga lonjakan potensial ir antara titik S dan P dapat dibaca secara langsung. Jika tahanan sel
sangat besar,Penyetelan potensiometer dapat digeser sejumlah tertentu tanpa menimbulkan
simpangan yang berarti pada galvanometer. Dalam kasus ini harus digunakan voltmeter dengan
impedansi elektronik yang tinggi.

Gambar 8.4 Sirkuit potensiometer

100

8.15 Reversibilitas
Dalam pembahasan tentang elektroda dan sel sebelumnya kita mengasumsikan secara
implisit bahwa elektroda atau sel berada dalam kesetimbangan terhadap transformasi kimia dan
listrik tertentu. Dengan definisi ini, elektroda atau sel semacam ini adalah reversibel. Untuk
mengkorelasikan nilai nilai potensial terukur dengan yang dihitung memakai persamaan Nernst,
nilai nilai terukur harus setimbang atau nilai nilai reversibel; pengukuran potensiometrik yang
didalamnya tidak ada arus yang dipindahkan dari sel idealnya diset untuk pengukuran potensial
reversibel.
Perhatikan sel, PtH2H+Cu2+Cu, yang kita diskusikan dalam bab 8.9 reaksi selnya
adalah
Cu2+ + H2 2H+ + Cu
Tembaga adalah elektroda positif dan platina adalah elektroda negatif. Anggap bahwa sel dalam
kesetimbangan dengan potensiometer ,seperti tampak pada gambar 8.5. Sekarang jika kita
menggerakkan pengaturan kontak,S, ke sebelah kana titik setimbang, yang akan membuat
tembaga lebih positif; Cu kemudian akan meninggalkan sebagai Cu 2+ dan elektron akan
berpindah dari sebelah kanan ke kiri di rangkaian luar. Pada platina elektron akan bergabung
dengan H+ membentuk H2. Keseluruhan reaksi berlangsung dalam arah yang berlawanan dari
kanan ke kiri. Sebaliknya, jika pengatur kontak digerakkan ke kiri, elektron akan berpindah dari
kiri ke kanan di rangkaian luar; H2 akan terionisasi membentuk H+ dan Cu2+ akan tereduksi
sebagai tembaga. Dalam situasi ini sel memproduksi kerja, sedang pada siklus sebelumnya tadi
kerja dihilangkan.
Sel akan bersifat reversibel jika menggerakkan kontak potensiometer sedikit ke satu sisi
dari titik kesetimbangan dan kemudian ke sisi yang lain, membalikkan arus dan arah reaksi
kimia. Pada prakteknya, itu tak perlu menganalisa jumlah reaktan dan produk setelah tiap tiap
pengaturan untuk memastikan apakah reaksi berjalan seperti yang dikehendaki. Jika selnya
irreversibel, memindahkan potensiometer sedikit di luar kesetimbangan biasanya mengakibatkan
aliran arus yang cukup besar, sementara kebutuhan reversibilitas yaitu hanya aliran arus sedikit
jika ketidakseimbangan antara potensial adalah sedikit. Lebih jauh lagi, dalam sel yang
irreversibel, setelah sedikit pengusikan kesetimbangan dalam rangkaiannya, titik kesetimbangan
yang baru biasanya berbeda secara signifikan dari sebelumnya. Untuk alasan ini, sel irreversibel
menunjukkan suatu perilaku tak menentu (tak teratur) yang nyata dan seringkali tidak mungkin
membawa potensiometer ke kesetimbangan dengan sel semacam ini.
8.16 Penentuan o Setengah Sel
Karena nilai nilai konstanta kesetimbangan diperoleh dari potensial setengah sel standart,
metoda untuk memperoleh o dari setengah sel sangatlah penting. Misalnya kita akan menetukan
o dari elektroda Ag-ion Ag. Kemudian kita menyiapkan suaru sel yang mengandung elektroda
ini dan elektroda lain yang potensialnya sudah diketahui; untuk sederhananya kita memilih SHE
atau EHS sebagai elektroda yang lain. Maka sel tersebut adalah
SHEAg+Ag
Reaksi sellnya adalah Ag+ + e-SHE Ag, dan potensial sellnya adalah
o

= Ag+ / Ag = Ag+ / Ag

RT
1
ln
F
a Ag+

pada suhu 25oC


= o

Ag + / Ag

+(0, 05916 V ) log 10 a Ag+

Jika larutan adalah larutan encer ideal, kita dapat mengganti a Ag+
garam perak tersebut.Persamaan (8.53) akan menjadi
= oAg+/Ag + (0,05916V)log10 m

(8.53)
dengan m+ = m, molalitas

101

Dengan mengukur pada beberapa nilai m dan mengeplot terhadap log10m, garis lurus dengan
slop 0,05916 V akan diperoleh, seperti dalam Gambar 8.5(a). Intersep pada sumbu tegak, m =
1,adalah nilai o. Bagaimanapun, kehidupan tidaklah begitu sederhana. Kita tidak dapat
mengganti aAg+ dengan m dan mengharapkan ketelitian dalam persamaan kita. Di dalam larutan
ionik, aktifitas ion dapat diganti dengan oleh aktifitas ionik rata rata a = m . Jika larutan
hanya mengandung perak nitrat, maka m = m; dan persamaan (8.53) menjadi:
= oAg+/Ag + (0,05916V)log10 m + (0,05916V)log10 ..

Gambar 8.5 (a) Ketergantungan ideal E pada m, (b) Alur untuk mencari Eo dengan ekstrapolasi
Jika pengukuran dilakukan pada larutan yang cukup encer sedemikian hingga hukum pembatas
Debye-Huckel, persamaan (7.82) adalah valid, maka
log10 = -(0,5092 V kg1/2/mol1/2)m1/2,
dan kita dapat mereduksi persamaan menjadi:
- (0,05916V)log10 m = oAg+/Ag - (0,03012 V kg1/2/mol1/2)m1/2
(8.54)
Dari nilai nilai dan m yang terukur, bagian kiri dari persamaan ini dapat dihitung. Bagian kiri
diplot terhadap m1/2; ekstrapolasi kurva ke m1/2 = 0 menghasilkan intersep yaitu sama dengan
oAg+/Ag. Plot tersebut ditunjukkan secara skematik di gambar 8.6(b). Begitulah dengan metoda ini
nilai nilai o yang teliti diperoleh dari nilai nilai yang terukur pada tiap setengah sel.
8.17 Penentuan Aktivitas dan Koefisien Aktivitas Potensial Sel
Suatu kali nilai o yang teliti diperoleh untuk suatu sel, kemudian pengukuran potensial
menghasilkan nilai koefisien aktifitas secara langsung. Perhatikan sel
PtH2(f = 1) H+,Cl-AgClAg
Reaksi sellnya adalah :
AgCl(s) + H2(f = 1) Ag + H+ + ClPotensial sellnya adalah :
RT
= o
ln ( a + aCl )
(8.55)
H
F
Menurut persamaan (8.55), potensial sel tidak bergantung pada aktifitas ion individual tetapi
pada hasilkali aH+aCl-. Jika hal itu dibalik tidak ada kuatitas yang dapat diukur yang bergantung
pada aktifitas ion individual. Konsekuensinya, kita mengganti hasilkali a H+aCl- dengan a2.
Sedang dalam HCl, m = m, kita dapatkan a2 = ( m)2 ; ini mereduksi persamaan (8.55)
menjadi:
2 RT
2 RT
= o ln m ln
(8.56)
F
F
pada suhu 25oC
= o (0,1183 V)log10 m (0,1183)log10
(8.57)
o
Setelah menentukan dengan ekstrapolasi seperti dijelaskan dalam bab 8.16, kita lihat bahwa
nilai nilai menentukan nilai nilai pada setiap nilai m. Sebaliknya, jika nilai diketahui pada
semua nilai m, potensial sel dapat dihitung dari persamaan (8.56) atau (8.57) sebagai fungsi m.
102

Pengukuran potensial sel adalah metoda yang paling bermanfaat untuk memperoleh nilai
nilai aktifitas elektrolit. Secara eksperimen, paling tidak pada banyak kasus, jauh lebih mudah
untuk menanganinya daripada pengukuran sifat sifat koligatif. Hal itu memiliki keuntungan
tambahan yaitu dapat dipakai untuk daerah suhu yang luas. Walaupun potensial sel dapat diukur
dalam solven non air, kesetimbangan elektrodanya seringkali tidak mudah ditetapkan sehingga
kesulitan kesulitan eksperimentalnya lebih besar.
8.18 Sel Konsentrasi
Jika dua sistem elektroda yang tersusun oleh suatu sel yang melibatkan larutan elektrolit
dengan komposisi yang berbeda, akan ada beda potensial melalui batas antara dua larutan. Beda
potensial ini disebut liquid junction potensial, atau potensial difusi. Untuk menggambarkan
bagaimana beda potensial semacam ini timbul, perhatikan dua elektroda perak-perak klorida,
salah satu terhubung dengan larutan HCl pekat,aktifitasnya = a 1, yang lain terhubung dengan
larutan HCl encer, aktifitasnya = a 2; Gambar 8.6(a). Jika batas antara dua larutan dibuka, ion H +
dan Cl- dalam larutan yang lebih pekat berdifusi ke dalam larutan yang lebih encer. Ion H +
berdifusi jauh lebih cepat dibanding ion Cl- (gbr 8.6(b)). Pada saat ion H+ mulai meninggalkan
ion Cl-, terbentuk lapisan rangkap listrik di antarmuka antara dua larutan (gambar 8.6c). Beda
potensial melintasi lapisan rangkap menghasilkan medan listrik yang memperlambat ion yang
bergerak lebih cepat dan mempercepat ion yang bergerak lebih lambat. Keadaan mantap tercapai
yaitu kedua ion berpindah dengan laju yang sama; ion yang mula mula bergerak lebih cepat
memimpin.
Difusi dari larutan pekat ke larutan encer adalah perubahan yang irreversibel; tetapi, jika
hal itu terlalu lambat cukup lambat sehingga antarmuka tidak bergerak secara berarti dalam
waktu yang kita kehendaki untuk membuat pengukuran- sehingga kita boleh menganggap sistem
dalam kesetimbangan dan mengabaikan gerakan pada batas sistem. Bagaimanapun, beda
potensial tambahan dalam liquid junction akan terlihat dalam pengukuran potensial sel.
Dengan memilih elektroda bawah sebagai elektroda kiri, simbol untuk sel ini adalah:
AgAgClCl-(a1) Cl-(a2) AgClAg,
Dengan garis vertikal putus putus menyatakan junction(lompatan) antara dua fase air.

Gambar 8.6
Kita dapat menghitung potensial sel jika kita menganggap bahwa pada lintasan satu mol
muatan listrik melalui sel semua perubahan berlangsung reversibel. Kemudian potensial sel
dinyatakan sebagai:
F= G i
(8.58)
i

dengan Gi adalah jumlah semua perubahan energi Gibbs dalam sel yang menyertai lintasan
satu mol muatan positif naik melalui sel. Perubahan energi Gibbs adalah :
elektroda bawah
Ag(s) + Cl- (a1) AgCl(s) + eelektoda atas
AgCl(s) + e- Cl- (a2) + Ag(s)
perubahan netto di kedua elektroda
Cl-(a1) Cl-(a2)
Selain itu, pada batas di kedua larutan sebagian t+ dari muatan dibawa oleh H+ dan sebagian tdibawa oleh Cl-. Fraksi t+ dan t- adalah bilangan transfer, atau bilangan transport, dari ion. Satu
103

mol muatan positif melintasi batas memerlukan bahwa t + mol ion H+ bergerak naik dari larutan a1
ke larutan a2, dan t- mol Cl- bergerak turun dari a2 ke a1. Sehingga pada batas:
t+ H+ (a1) t+ H+ (a2) dan t - Cl- (a2) t Cl- (a1)
Perubahan total dalam sel adalah jumlah perubahan pada elektroda dan pada batas:
t+ H+ (a1) + Cl- (a1) + t - Cl- (a2) t+ H+ (a2) + Cl- (a2) + t Cl- (a1)
Jumlah fraksi fraksi harus satu, sehingga t- = 1 t+. Dengan memakai nilai t- ini dalam
persamaan, setelah ditata ulang , tereduksi menjadi:
t+ H+ (a1) + t + Cl- (a1) t+ H+ (a2) + t + Cl- (a2 )
(8.59)
Reaksi sel (8.59) adalah transfer t+ mol HCl dari larutan a1 ke larutan a2. Perubahan energi Gibbs
total adalah :
G = t +[oH++RT ln(aH+)2+oCl-+RT ln (aCl-)2 - oH+ -RT ln (aH+)1 - oCl- - RT ln (aCl-)1]
( a H+ aCl )2
( a )2
G = t + RT ln
= 2t + RT ln
( a )1
(a H + a Cl )1
karena aH+aCl- = a2.. Dengan menggunakan pers (8.58), kita peroleh potensial sel dengan
pemindahan (transference),
2t RT ( a ) 2
wt = +
ln
(8.60)
F
(a )1
Jika batas antara dua larutan tidak memberi kontribusi pada potensial sel, maka hanya
perubahan yang dikontribusikan oleh elektroda, yang adalah
Cl- (a1) Cl- (a2)
Nilai yang bersesuaian dari G adalah
( a )2
G = oCl- + RT ln (aCl-)2 - oCl- - RT ln (aCl-)1 = RT ln
,
( a )1
dengan aCl- telah diganti oleh aktifitas ionik rata rata a.. Sel ini tanpa pemindahan dan memiliki
potensial:
G
RT (a )2
wot =
=
ln
(8.61)
F
F
(a )1
Potensial total sel dengan pemindahan adalah sel tanpa pemindahan plus potensial junction, j.
sehingga wt = wot + j , jadi
j = wt - wot
(8.62)
gunakan persamaan (8.60) dan (8.61), menjadi
( a )2
RT
j = (1 2t +)
ln
(8.63)
F
( a )1
Dari persamaan (8.63) jelas bahwa jika t+ mendekati 0,5 ; potensialliquid junction kecil,relasi
ini benar hanya bila dua elektroda dalam sel menghasilkan dua ion dalam larutan. Dengan
mengukur potensial sel dengan dan tanpa pemindahan dimungkinkan untuk mengevaluasi j dan
t+. Ingat, dengan membandingkan persamaan (8.60) dan (8.61) bahwa
wt = 2t + wot
(8.64)
Trik (cara) dalam semua ini dapat untuk menetapkan batas yang jelas (tajam) sehingga
untuk memperoleh pengukuran wt yang reprodusibel dan dapat untuk membangun sel yang
menghilangkan j sehingga wot dapat diukur. Ada beberapa cara yang cerdas untuk menetapkan
batas yang tegas antara dua larutan; bagaimanapun,itu tak akan dibicarakan di sini. Problem
kedua untuk menyusun sel tanpa batas cairan adalah lebih berkaitan dengan pembicaraan kita.
Sel konsentrasi tanpa pemindahan (yaitu, tanpa liquid junction) tampak dalam gambar
8.8. Sel terdiri atas dua sel seri, yang dapat disimbolkan dengan
PtH2(p) H+ , Cl-(a)1AgClAg
AgAgClCl-,H+ (a)2H2(p) Pt
Potensial adalah jumlah dari potensial dua sel secara terpisah:
104

= [(AgCl/Ag) - (H+/H2)]1 + [(H+/H2) - (AgCl/Ag)]2

Gambar 8.7
Dengan menuliskan persamaan Nernst untuk tiap potensial,diperoleh

1
2

= AgCl / Ag / Cl

][

RT
RT
p
RT
p2
RT
ln ( aCl )1 +
ln
+
ln
AgCl / Ag / Cl +
ln ( aCl )2
F
F
(a H + )1
F
( a H + )2
F

RT (a H+ aCl )2 2 RT ( a ) 2
ln
=
ln
F
(a H + a Cl )1
F
( a )1

Dengan membandingkan dengan persamaan (8.61), kita lihat


= -2wot
(8.65)
Pengukuran potensial dari sel rangkap ini menghasilkan nilai wot melalui persamaan (8.65).
Setiap pengukuran potensial sel yang dua elektrodanya membutuhkan elektrolit yang
berbeda muncul problem adanya potensial liquid junction antara kedua elektrolit itu. Masalah
tersebut dapat diselesaikan dengan dua cara; yaitu dengan juga mengukur potensial liquid
junction tersebut atau menghilangkannya. Potensial junction dapat dihilangkan dengan suatu
perancangan eksperimen ,seperti di atas, sehingga tidak muncul liquid junction (persimpangan
cairan). Atau, daripada memakai dua sel, pilih elektroda pembanding (acuan) yang menggunakan
elektrolit yang sama seperti elektroda yang akan diselidiki.Hal ini seringkali merupakan jalan
terbaik untuk menghilangkan liquid junction; walaupun demikian, hal ini tidak selalu layak.
Jembatan garam, suatu agar yang dijenuhkan dengan KCl atau NH4NO3, sering
digunakan untuk menghubungkan dua bagian elektroda. Alat ini menimbulkan dua liquid
junctio(persimpangan cairan), yang potensialnya sering berlawanan satu sama lain, dan
potensial junction nettonya sangat kecil. Alasan fisik untuk menghilangkan kedua potensial
tersebut komplek. Penggunaan jelli memiliki beberapa keuntungan tersendiri; Hal itu mencegah
pengaliran jika tinggi(level) elektrolit berbeda di kedua bagian elektroda, dan juga
memperlambat diffusi ionik sangat banyak sehingga potensial junction, jika ada, turun ke nilai
yang reprodusibel dengan cepat.
8.19 Proses Elektrokimis Teknik
Proses elektrkimia praktis dikelompokkan umumnya ke dalam proses mengkonsumsi
tenaga dan proses menghasilkan tenaga. Proses preparasi elektrolitik secara industri
membutuhkan tenaga listrik dan menghasilkan substansi (zat) yang berenergi tinggi. Tipe zat
yang diproduksi di katode adalah; hidrogen dan sodium hidroksida dalam elektrolisis air asin (air
garam); aluminium, magnesium, dan logam alkali serta alkali tanah dalam elektrolisis leburan
garam garam. Elektroplating dan elektrorefining (pelapisan dan pemurnian) logam logam adalah
proses katodik teknik yang sangat penting. Zat yang diproduksi di anode adalah : Oksigen pada
elektrolisis air, dan klorin pada elktrolisis air asin (air garam) dan leburan klorida; hidrogen
peroksida; potassium perklorat; dan pelapisan oksida untuk penyelesaian dekoratif pada
105

aluminium teranodisasi. Dissolusi anodik suatu logam sangat penting dalam elektrorefining dan
elektromachining dari logam.
Proses yang menghasilkan tenaga berlangsung di dalam sel elektrokimia; proses ini
menyerap zat berenergi tinggi dan menghasilkan tenaga listrik. Dua peralatan yang penting
dideskripsikan di bab 8.21.
Sangat menarik untuk mengingat bahwa penemuan sel elektrokimia oleh Alessandro
Volta pada 1800 adalah, pada kenyataannya, suatu penemuan kembali. Akhir akhir ini,
penggalian arkeologis di Timur Dekat menemukan dengan penggalian itu semacam sel
elektrokimia yang didasarkan pada elektroda besi dan tembaga; peralatan tersebut diperkirakan
umurnya kira kira antara 300 sebelum masehi dan 300 AD. Juga terdapat bukti bukti dan
petunjuk bahwa, segera setelah awal 2500 sebelum masehi, penduduk Mesir mengetahui
bagaimana melapisi suatu benda.
8.20 Sel Elektrokimia Sebagai Sumber Tenaga
Suatu yang luar biasa bahwa, secara prinsip, setiap reaksi kimia dapat dimanfaatkan untuk
menampilkan kerja dalam sel elektrokimia. Jika sel dioperasikan secara reversibel, kerja listrik
yang diperoleh adalah Wel = -G, atau
Wel = -H + TS = -H + Qrev
Q
= -H 1 rev

Di dalam banyak kasus praktis penambahan entropi tidak sangat besar, sehingga TS/H relatif
kecil dan
Wel -H
Ini berarti bahwa kerja listrik yang diproduksi hanya sedikit lebih kecil daripada penurunan
entalpi reaksi. Ingat bahwa jika kita secara sederhana membiarkan reaksi berlangsung tanpa
menghasilkan kerja, kuantitas panas,-H akan dilepaskan.Hal ini dapat dipakai untuk
memanaskan ketel (boiler) yang pada gilirannya dapat menggerakkan turbin. Tetapi mesin
pemanas ini dipengaruhi oleh batasan Carnot; kerja listrik yang dapat dihasilkan oleh generator
yang dioperasikan oleh turbin adalah
T 1 T 2
Wel = -H
T1

Jumlah kerja ini pada pokoknya lebih kecil (seringkali lebih kecil tiga sampai lima kali)
dibanding yang seharusnya bisa diperoleh secara elektrokimia dari reaksi yang sama. Jadi sel
elektrokimia menawarkan kemungkinan untuk produksi energi listrik yang effisien dari sumber
sumber kimia yang tidak akan dicapai secara ekual oleh alat lain.
8.20.1 Klasifikasi Sel Elektrokimia
Kita dapat mengelompokkan sel elektrokimia yang menyediakan energi listrik ke dalam
tiga tipe umum.
1.
Sel Primer. Ini tersusun dari bahan bahann berenergi tinggi yang bereaksi secara kimia
dan menghasilkan tenaga listrik.Reaksi sel nya tidak reversibel, dan pada saat bahan bahan
telah dipakai peralatan tersebut harus dibuang. Contoh tipe sel primer adalah batterai senter
biasa (sel LeClanche), dan sel seng-merkuri yanmg dipakai dalam kamera, jam, alat
pendengar, jam tangan, dan barang barang sejenis yang lain.
2.
Sel sekunder. Alat ini adalah reversibel. Setelah mendapatkan kerjanya, bahan- bahan
berenergi tinggi dapat disusun kembali dengan memaksakan suatu arus dari luar dalam arah
yang berlawanan. Jadi reaksi selnya dibalik dan alat tersebut diisi kembali. Contoh paling
penting dari sel sekunder adalah batterai penyimpanan timbal (Accu) yang dipakai di mobil.
106

Contoh yang lain adalah sel Edison dan sel Nikel-kadmium yang dapat diisi kembali dan
dipakai pada kalkulator dan lampu sorot.
3.
Sel Bahan bakar. Sel bahan bakar seperti halnya sel primer ,dirancang menggunakan
bahan-bahan berenergi tinggi untuk menghasilkan tenaga(energi). Ada perbedaan dari sel
primer yaitu sel ini dirancang untuk menerima pasokan kontinyu dari bahan bakar, dan bahan
bakar tersebut adalah bahan bahan yang umumnya kita sebut sebagai bahan bakar, seperti
hidrogen,karbon,dan hidrokarbon. Akhirnya kita bahkan boleh berharap untuk memakai
arang dan petroleum.
8.20.2 Kebutuhan Sumber sumber Tenaga
Jika kita menggambarkan tenaga dari suatu sel elektrokimia, karena
P = I
(8.66)
Itu mengikuti bahwa hasil kali potensial sel dan arus harus tetap pada nilai yang layak selama sel
dipakai. Arus,I, didistribusikan pada seluruh area elektroda,A. Arus masuk atau keluar tiap
satuan luas permukaan elektroda adalah densitas arus,i. Jadi
I
i=
(8.67)
A
Densitas arus ini menyatakan laju reaksi definit pada tiap satuan area elektroda.
Anggaplah kita menggambarkan arus, I, dari sel. Untuk maksud yang beralasan, anggap
bahwa elektroda negatif adalah elektroda hidrogen. Kemudian muatan dialirkan dari tiap satuan
luas elektroda pada laju, I = (1/A)dQ/dt = I/A. Selagi elektron meninggalkan platina pada
elektroda H+/H2, seharusnya lebih banyak H2 yang terionisasi, H2 2H+ + 2e-, atau potensial
elektroda akan bergerak ke nilai yang lebih negatif. Jika laju disaat elektron diproduksi oleh
adanya ionisasi hidrogen dapat dibandingkan dengan laju di saat elektron meninggalkan platina
untuk memasuki rangkaian luar, kemudian potensial elektroda akan dekat ke potensial rangkaian
terbuka. Dengan kata lain, jika reaksi elektroda sangat lambat sehingga elektron tidak dengan
cepat terisi saat elektron elektron tersebut dialirkan ke rangkaian luar, maka potensial elektroda
akan menyimpang secara mendasar dari potensial rangkaian terbuka. Dengan cara yang sama,
jika reaksi elektroda pada elektroda positif lambat, elektron elektron yang datang dari rangkaian
luar tidak dengan cepat dipakai oleh reaksi elektroda dan potensial pada elektroda positif
menjadi kurang positif. Kita simpulkan bahwa jika sel menyediakan tenaga, potensial sel
berkurang karena elektroda positif menjadi kurang positif dan elektroda negatif menjadi kurang
negatif.

Gambar 8.8
Kurva pada gambar 8.9 menunjukkan potensial sel versus waktu untuk berbagai sel
setelah hubungan ke suatu beban yang menggambarkan suatu densitas arus, i1. Reaksi elektroda
dalam sel A dan B sangat lambat dan tidak dapat mempertahankan aliran arus. Potensial sel
tersebut turun dengan cepat ke nol dan tenaga(energi), I, juga menuju nol. Kedua sel mula mula
menyediakan sedikit energi, tetapi sel tidak juga dapat dipakai menjadi sumber tenaga praktis.
Dengan kata lain, reaksi elektroda dalam sel C cukup cepat untuk menyimpan muatan pada
elektroda. Potensial sel turun sedikit tetapi kemudian tetap pada nilai yang relatif tinggi selama
beberapa waktu yang lama, jadi tenaga(energi), I, tersedia cukup. Jika arus yang lebih besar
digambarkan dari sel C (i2 > i1), potensial turun sedikit lebih tetapi masih relatif tinggi. Bahkan di
107

dalam keadaan ini sel C adalah sumber energi yang praktis. Turunan yang cepat pada potensial
seperti pada akhir kurva C, menandai ausnya bahan bahan aktif, yaitu bahan bakar. Jika
didatangkan bahan bakar lagi, kurva akan tetap datar, dan sel akan melanjutkan penyediaan
tenaga.
Kita simpulkan bahwa jika sel dijadikan sumber energi praktis reaksi elektroda harus
cepat. Reaksi harus terjadi dengan cukup cepat sehingga potensial sel hanya turun sedikit di
bawah potensial rangkaian luarnya. Masalah dalam merencanakan sel bahan bakar untuk
membakar arang terletak dalam menemukan permukaan elektroda yang di atasnya reaksi yang
tepat akan berlangsung dengan cepat pada suhu yang layak. Dapatkah kita menciptakan katalis
yang tepat? Waktu yang akan bicara.
8.21 Dua sumber energi praktis
8.21.1 Sel Penyimpan Timbal
Perhatikan pertama sel penyimpan timbal-asam. Seperti yang kita gambarkan arus dari
sel, pada plat positif, yaitu katoda, PbO2 direduksi menjadi PbSO4:
PbO2(s) + 4 H+ + SO42- + 2 e- PbSO4(s) + 2 H2O,
Sedang pada plat negatif, anoda,timbal dioksidasi menjadi PbSO4,
Pb(s) + SO42- PbSO4(s) + 2ePotensial sel adalah 2 volt. Seperti arus yang dialirkan dari sel, potensial sel tidak turun banyak
sehingga energi, I, dekat ke nilai reversibel, rev I. Arus yang agak besar-ratusan ampere-dapat
dialirkan dari alat tersebut yang bermuatan penuh tanpa mengalami turun potensial yang berarti.
Saat sel perlu direcharge, kita gunakan sumber tenaga dari luar untuk mendorong arus
melewati sel dalam arah yang berlawanan ;plat positif sekarang adalah anoda yang disitu PbSO 4
dioksidasi menjadi PbO2; plat negatif adalah katoda yang disitu PbSO4 direduksi menjadi Pb.
Beda potensial yang harus ditanamkan untuk mengisi sel harus lebih besar daripada beda
potensial pada waktu penggunaan, tetapi tidak sangat besar. Efisiensi voltase sel
didefinisikansebagai:
Voltase rata rata selama pemakaian
Efisiensi voltase = ----------------------------------- ------Voltase rata rata selama pengisian
Efisiensi voltase sel Timbal-Asam sekitar 80%. Kedekatan dengan kesetimbangan ini
adalah konsekuensi dari kecepatan reaksi kimia dalam sel. Seperti kita telah lihat, kemampuan
untuk memasok arus yang besar pada potensial dekat dengan potensial rangkaian terbuka berarti
bahwa reaksi kimia pada elektroda adalah cepat; selama muatan dialirkan oleh arus, potensial
akan turun, tetapi reaksi kimia terjadi cukup cepat untuk menyusun kembali potensial.
Jika kita membandingkan kuantitas muatan yang diperoleh dari sel Timbal-Asam
terhadap kuantitas yang harus dimasukkan untuk mengisi sel, kita dapatkan nilai 90-95 %, atau
bahkan lebih tinggi pada keadaan khusus. Ini berarti bahwa sangat sedikit arus pada saat
pengisian yang dibuang sebagai reaksi samping (misalnya reaksi elektrolisis air). Seluruhnya, sel
penyimpan Timbal adalah alat yang luar biasa: Ia sangat efisien; Versinya yang lebih besar dapat
berumur 20 sampai 30 tahun (jika dipakai dengan hati hati); dan ia dapat dipakai ribuan kali.
Kerugiannya yang utama adalah beratnya yang besar (penyimpan energi rendah terhadap rasio
berat), dan jika tidak dipakai dalam keadaan terisi sebagian ia dapat rusak dengan cepat karena
terbentuknya kristal PbSO4 yang tidak mudah direduksi atau dioksidasi oleh arus pengisian;
kerusakan ini disebut sulfasi.
Untuk perubahan energi Gibbs standart dalam sel Timbal-Asam kita peroleh ( untuk
pertukaran dua elektron)
Go = -376,97 kJ/mol;
Ho = -227,58 kJ/mol ;
Qrev = TSo = +149,39 kJ/mol.
108

Ingat bahwa reaksinya endotermis jika sel tampil reversibel. Gambaran ini berarti bahwa tidak
hanya perubahan energi, H, yang tersedia untuk menyediakan kerja listrik tetapi juga kuantitas
panas, Qrev = TS, yang mengalir dari lingkungan untuk menjaga sel isotermal dapat dikonversi
ke kerja listrik. Rasionya:
o
G 376 , 97
=
=1,36
o 277 , 58
bandingkan kerja listrik yang dapat diproduksi untuk untuk penurunan entalpi bahan. Extra 36
% adalah energi yang mengalir masuk dari lingkungan.
8.21.2 Sel Bahan Bakar
Pertanyaannya adalah apakah jenis reaksi dan jenis zat yang umumnya kita sebut bahan
bakar fuels, (arang, petroleum, gas alam) dapat digabung dalam bahan bakar pembakar reaksi
secara elektrokimia.

Gambar 8.9 Skema sel bahan bakar O2H2


Mungkin sel bahan bakar yang paling sukses sejauh ini adalah sel Hidrogen-Oksigen,
yang telah dipakai dalam pesawat angkasa. Elektroda yang terdiri dari tabir titanium berpori
yang dilapisi lapisan platina sebagai katalis. Elektrolitnya adalah resin penukar kation yang
dicampur dengan bahan plastik dan membentukm lembaran tipis. Seluruh kombinasi dua
elektroda dengan membran plastik antara keduanya hanya sekitar 0,5 mm tebalnya. Alat
tersebut secara skematik tampak pada gambar 17,10. Resin tersebut dijaga jenuh dengan air
melalui suatu sumbu , air yang terbentuk oleh operasi sel ini dialirkan ke luar melalui sumbu dan
dikumpulkan sebagai air minum.Menghubungkan beberapa sel ini akan menaikkan voltase ke
suatu nilai praktis, sedangkan menambah area aktif menambah arus yang dapat dialirkan dari sel.
Sel ini telah dibuat untuk memasok energi sekitar 1 kilowatt.
Energi yang tersedia dibatasi oleh reduksi oksigen yang relatif lambat di permukaan
katoda, O2 + 4H+ + e- 2H2O ; masalah ini ada pada setiap sel bahan bakar yang memakai
elektroda oksigen. Awalnya, platina tampaknya adalah katalis terbaik tetapi bahkan platina juga
tidak sebagus yang kita harapkan dalam hal ini. Laju reaksi anodik adalah, H 2 2H+ + 2e-,
oksidasi hidrogen di permukaan platina, relatif sangat cepat.Bagaimanapun, akan lebih baik jika
kita dapat memakai sesuatu yang lebih murah dibanding platina sebagai katalis. Pada suhu yang
lebih tinggi, laju reaksi lebih cepat dan kinerja sel lebih baik.
Di Tabel 8.3. kita telah mengurutkan sifat sifat termodinamik (pada 25 oC) dari beberapa
reaksi yang mungkin diinginkan sebagai reaksi sel bahan bakar. Setiap zat yang dapat
dioksidasi , prinsipnya, dibawa ke kesetimbangan pada suatu elektroda.

109

tabel 8.3 Sifat termodinamika reaksi sel bakar yang mungkin


Reaksi
H2 + O2 H2O
C + O2 CO2
C + O2 CO
CO + O2 CO2
CH4 + 2O2 CO2 + H2O
CH3OH + 3/2 O2 CO2 + 2 H2O
C8H18 + 25/2 O2 8 CO2 + H2O
C2H5OH + O2 2 CO2 + 9 H2O

G
kJ / mol
237,178
394,359
137,152
257,207
817,96
702,36
5306,80
1325,36

kJ / mol
285,830
393,509
110,524
282,985
890,36
726,51
5512,10
1366,82

G o
o
0,83
1,002
1,24
0,91
0,92
0,97
0,96
0,97

TS o
kJ /mol
-48,651
+0,857
26,628
-25,77
-72,38
--24,11
-205,19
-41,36

o
V
1,23
1,02
1,42
1,33
1,06
1,21
1,10
1,15

Sebagai contoh, oxidasi metanol dapat ditulis


CH3OH + H2O CO2 + 6 H+ + 6 eElektroda ini, jika dikombinasikan dengan suatu elektroda oksigen akan menghasilkan sel
dengan potensial rangkaian terbuka sekitar 1,21 V. Suatu sel bahan bakar yang didasarkan pada
metanol dan udara dalam larutan KOH telah dipakai mendayai stasion relay televisi. Semua
reaksi di tabel 8.3 akan menghasilkan sel dengan potensial sekitar satu volt.
Sel telah dibuat berdasarkan oksidasi karbon menjadi karbon dioksida. Dibutuhkan suhu
yang relatif tinggi (500 sampai 700oC). Satu versi memakai elektrolit leburan sodium karbonat.
Reaksinya adalah
Anoda C + 2 CO32- 3 CO2 + 4 eKatode O2 + 2 CO2 + 4 e- 2CO32Reaksi over allnya adalah sederhana
C + O2 CO2
Salah satu kesulitan sel bersuhu tinggi adalah susunan bahannya dapat terkorosi dengan cepat.
Kerugian ini harus diseimbangkan dengan penambahan enegi yang tersedia pada suhu tinggi.
Hidrokarbon seperti metana, propana, dan dekana telah dioksidasi secara berhasil dalam
sel bahan bakar, bahkan pada suhu di bawah 100 oC. Kita dapat mengharapkan dengan demikian
bahwa alat ini akan sangat meningkat di masa datang.
Sebagai alternatif dari oksidasi langsung hidrokarbon pada elktroda ,zat dapat dibentuk
kembali pada suhu tinggi oleh reaksi
CH4 + 2 H2O CO2 + 4 H2
Hidrogen kemudian dioksidasi pada anoda. Metoda ini mungkin menjadi yang paling sukses
dalam memakai hidrokarbon dan karbon itu sendiri sebagai bahan bakar elektrokimia.
SOAL SOAL:
1. Hitung potensial sell dan tentukan reaksi sell untuk masing-masing sell ini (data dalam tabel
8.1)
a). Ag(s)Ag+(aq.a = 0,01) Zn2+( a = 0,1) Zn(s);
b). Pt(s)Fe2+(aq.a = 0,1).Fe3+(aq.a = 0,1)Cl-(aq. a = 0,001) AgCl(s)Ag(s);
c). Zn(s)ZnO22- (aq.a = 1) ,OH-(aq.a = 1) HgO(s) Hg(l).
2. Hitung konstanta kesetimbangan masing-masing reaksi sell pada soal 1
3. Dari data dalam tabel 8.1 hitung konstanta kesetimbangan untuk masing- masing reaksi
dibawah ini :
a. Cu2+ + Zn Cu + Zn2+ ;
b. Zn2+ + 4CN- Zn(CN)42-;
c. 3H2O + Fe Fe(OH)3(s) + 3/2 H2
110

d. Fe + 2Fe3+ Fe2+
e. 3HsnO-2 + Bi2O3 + 6H2O + 3 OH- 2Bi + 3Sn(OH)62f. PbSO4(s) Pb2+ + SO424. Perhatikan sel berikut ini
Hg(l) Hg2SO4(s) FeSO4(s)(aq,a = 0,01) Fe(s)
a.Tuliskan reaksi sel
b.Hitunglah potensial sel, konstanta kesetimbangan untuk reaksi sel, dan perubahan energi
Gibbs standart,Go pada 25oC (data di tabel 8.1)
5. Potensial standart pada 25oC adalah
Pd2+(aq) + 2e- Pd(s),
o = o,83 V
2PdCl4 (aq) + 2e Pd(s) + 4Cl (aq), o = 0,64V
a.Hitung konstanta kesetimbangan untuk reaksi Pd2+ + 4Cl- PdCl42b.Hitunglah Go reaksi ini.

111

BAB IX
FENOMENA PERMUKAAN
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1.
memahami energi permukaan dan tegangan permukaan
2.
menghitung tegangan permukaan
3.
menjelaskan fenomena kapiler
4.
memahami fenomena antarmuka
5.
memahami dan menjelaskan fenomena adsorpsi
6.
menjelaskan isoterm adsorpsi
7.
menjelaskan fenomena koloid
9.1

Energi Permukaan dan Tegangan Permukaan


Suatu padatan yang tersusun atas molekul-molekul speris dalam susunan close-packed.

Energi permolekul padatan tersebut adalah = ; dengan E adalah energi permol dan N adalah

jumlah (bilangan)Avogadro. Untuk susunan close-packed, satu atom dipusat akan terikat dengan
sembilan atom tetangga. Sedang satu atom di pusat akan terikat oleh 12 atom tetangga. Sehingga

9 =3

12
4
kekuatan ikatan tiap molekul adalah =
. Energi ikat total dipermukaan adalah
12

. Dari gambaran kasar ini dapat disimpulkan bahwa molekul dipermukaan memiliki energi yang
lebih tinggi disbanding molekul di dalam. Mengenai tegangan permukaan dapat dijelaskan
sebagai berikut :

Gambar 9.1
Gambar 9.1 menggambarkan suatu film cairan yang direnggangkan pada suatu bingkai kawat
yang salah satu rusuknya bebas digerakan. Bila suatu kerja dikenakan kepada film tersebut untuk
memperluas areanya maka energi Gibbs film akan bertambah sebesar dA. disini adalah energi
Gibbs permukaan persatuan luas. Besarnya tambahan energi Gibbs sama dengan besarnya kerja
yang dikenakan pada film. Bila gaya yang dikenakan pada film sebesar f dan film bergerak
sepanjang dx, maka :
f dx = dA
Jika adalah panjang rusuk yang bisa digerakan, maka penambahan luas film adalah 2( dx);
angka 2 menunjukan bahwa film memiliki 2 sisi ; sehingga :
fdx= ( 2 ) dx
f =2
panjang film yang bersentuhan dengan kawat (rusuk) adalah pada tiap sisi. Sehingga :
f
=
2
Dapat disimpulkan bahwa adalah gaya per satuan panjang yang bekerja pada rusuk kawat yang
kontak dengan film cairan. Kemudian ini disebut Tegangan Permukaan zat cair. Secara
definitif, tegangan permukaan adalah gaya yang melawan pertambahan luas area cairan. Satuan
tegangan muka dalam SI adalah Newton/meter yang setara dengan pertambahan E Gibbs
112

permukaan; E = joule/m2. Untuk cairan-cairan umum, berkisar antara puluhan mili Newton
permeter. Beberapa nilai tersedia di Tabel 9.1.
Tabel 9.1 Tegangan permukaan cairan pada 20oC
/(10-3N/m)
23,70
28,85
26,95
23,9
22,75

Cairan
Acetone
Benzene
Carbontetrachlorida
Ethyl acetate
Ethyl alcohol

Cairan
Ethyl ether
n-Hexane
Methyl alcohol
Toluena
Air

/(10-3N/m)
17,01
18,43
22,61
28,5
72,75

9.2

Ukuran Tegangan Permukaan


Walaupun molekul-molekul dipermukaan memiliki energi 25% lebih tinggi disbanding
yang didalam, efek ini tidak tampak pada sistem yang berukuran normal (biasa) ; sebab molekulmolekul yang ada dipermukaan jauh lebih sedikit dibanding molekul-molekul yang didalam
(keseluruhan).
Misalnya suatu kubik (kubus) dengan rusuk sepanjang a : bila suatu molekul berdiameter
-10
10 m maka ada 1010 a molekul yang dapat menempati satu rusuk. Jumlah molekul dalam kubus
= (1010 a )3 = 1030a3 jumlah molekul pada tiap sisi = 6(10 10 .a)2 = 6.1020 a2. Sehingga fraksi
20 2
6 .10 a
6
molekul dipermukaan = 30 3 = 10 =6 . 1010 a1
10 a
10 a
Bila a = 1 meter, maka hanya ada 6 molekul untuk setiap 10 10 molekul keseluruhan. Sehingga
permukaan
untuk nisbah
sangat kecil, maka pengaruh permukaan dapat diabaikan. sedang bila
volume
nisbah permukaan /volume cukup besar maka pengaruh permukaan cukup signifikan. Misalkan
energi permukaan memberikan kontribusi sebesar 1% dari total energi.
E = Ev.V + Es.A
dengan Ev = energi per volume
V = volume
Es = energi per area
A = area
E s= s . N s
dan E v = v . N v

E= E v .V 1+

E v V 1+

Es A
Ev V

s N s A
v N v V

)
)
Ns

Ns = 1020 m-2

Nv
s

Nv = 1030 m-3

E= E v V 1+1010

v
A

=1010 m

=1, 25 1

V
Jika suku kedua dalam kurung dianggap 1%, maka 0,01 = 10 -10A/V ; sehingga A/V = 108 jika
sistem tersebut berbentuk kubus, maka A/V = 6/a. (a = rusuk). 6/a = 108 sehingga a = 6.10-8 m =
0,06 m. sehingga dapat diperkirakan mengenai ukuran partikel maksimum kenyataannya ;
untuk partikel yang berukuran kurang dari 0,5 m masih dapat memberikan pengaruh
permukaan yang cukup signifikan.
9.3

Pengukuran Tegangan Permukaan


Pada prinsipnya sama dengan ilustrasi pada gambar 9.1. (*) Tensiometer Du Nouy.
113

Gambar 9.2 Alat DuNouy


Perhatikan gambar 9.2, bila cincin pada cairan ditarik keluar maka pada saat tepat cincin
akan lepas, besarnya gaya yang menarik cincin sama dengan besarnya tegangan permukaan
cairan yang melawan pertambahan luas akibat tarikan pada cincin. Yaitu :
F =2 ( 2R )
(9.1)
angka 2 menunjukan bahwa cairan tersentuh pada bagian luar maupun bagian dalam cincin.
Kadang-kadang diperluukan factor koreksi, karena memperhitungkanbentuk cairan yang ditarik
sehingga
F = 2(2R) f.
f = factor koreksi
Cairan yang akan diukur diletakan dalam suatu alat yang didalamnya terdapat bagian
berupa kapiler, sehingga dengan mengatur jumlah cairan, waktu untuk pembentukan tetesan
dapat diatur. Pada saat cairan menetes, gaya-gaya yang bekerja adalah :
2R=mg
(9.2)
m = massa tetesan
g = percepatan grafitasi
bila didinginkan hasil yang akurat, maka tetesan harus terbentuk selambat mungkin, namun
factor koreksi tetap diperlukan.

Gambar 9.3 Pengukuran tegangan permukan Metode tetes


9.4

Termodinamika Permukaan
Suatu sistem terdiri dari 2 fase, fase 1 = M 1 , fase 2 = M2 dan interface (antar muka)
antara keduanya. Interface = I; dilingkupi oleh keliling permukaan silindris B (gambar 9.4a).
Interface digeser ke posisi baru I1. Sehingga terjadi perubahan energi sebagai berikut :
Untuk M1
dU1 = TdS1 p1dV1
(9.3)
M2
dU2 = TdS2 p2dV2
(9.4)
Untuk permukaan
dU = TdS - dA
(9.5)
114

Pada persamaan (5), bentuk pdV diganti bentuk dA karena di permukaan tidak bervolume.
dU = dU1 + dU2 + dU = Td ( S1 + S2 + S ) p1dV2 + dA
= TdS p1dV p2dV2 + dA
V1 + V2 = V
dV1 + dV2 = dV dV1 = dV dV2
dU = TdS p1dV + (p1 p2)dV2 + dA
(9.6)
Jika entropi dan volume konstan, maka pada kesetimbangan, energi minimumnya adalah; dU =
0, sehingga persamaan (6) menjadi :
( p1 p2 )dV2 + dA = 0
(9.7)
Dari gambar 9.4a nampak bahwa interfacenya adalah datar, dan kelilingnya adalah silinder
sehingga area antara muka tidak berubah, dA = 0 ; karena dV 2 0 maka p1 = p2. konsekuensinya
tekanan kedua fase adalah sama yang dipisahkan oleh bidang datar.
Apabila kelilingnya berbentuk kerucut, sedangkan antara muka berbentuk speris dengan
jejari curvature R ( gambar 9.4b). maka area dari tutup adalah A = R2. volume M2 yang
dilingkupi oleh kerucut dan tutup adalah V2 = R3/3 dengan adalah sudut dari kerucut yang
melingkupi antar muka :
dV2 = R2 dR dan dA = 2R dR ,
sehingga
(p2 p1) R2 dR = 2RdR
p2 = p1 + 2/R
(9.8)
Persamaan (8) menyatakan persamaan dasar bahwa tekanan didalam fase yang punya permukaan
cembung adalah lebih besar daripada diluarnya. Perbedaan tekanan inilah yang merupakan alas
an fisis terjadinya kenaikan atau penurunan kapiler. Di dalam kasus gelombang, penambahan
tekanan di dalam pergerakan dari luar ke dalam adalah 4 karena terdapat 2 buah antar muka
yang cembung. Jika antarmuka tidak speris tapi memiliki jejari prinsip R dan R1, maka
persamaan akan menjadi :
1 1
p 2 = p1 + + 1
(9.9)
R R

Gambar 9.4 Perpindahan antarmuka

115

9.5

Kenaikan Kapiler dan Penurunan Kapiler

Gambar 9.5. Tekanan di bawah surface datar dan lengkung


Gambar 9.6 Contact angle
Bila pipa kapiler dicelupkan sebagian dalam cairan, maka tinggi cairan di dalam dan di luar pipa
tidak sama. Permukaan cairan di dalam cairan melengkung, sedang di luar pipa mendatar.
Berdasarkan persamaan (8) dapat dicari hubungan antara perbedaan tinggi cairan, tegangan
muka, dan rapat jenis (densitas) kedua fase relatif. Perhatiakan gambar 9.5. Densitas fase 1 = 1 ;
densitas fase 2 = 2. Bila p1 adalah tekanan dalam fase 1 pada permukaan datar yang
memisahkan 2 fase ; posisi ini diambil sebagai posisi nol (z = 0) dari sumbu z ; yang arahnya ke
bawah. Tekanan pada bagian lain adalah sebagaimana terlihat pada gambar.
Kondisi kesetimbangan yaitu tekanan pada ketinggian z, yang terletak dibawah
interfacedatar maupun lengkung adalah sama disemua titik. Persamaan tekanan pada titik z,
menghendaki :
p1 + 2gz = p21 + 2 g( z h )
(9.10)
2
1
1
1
karena p 2 = p1 + danp 1= p1 + 1 gh , maka
R
2
( 2 1 ) gh=
(9.11)
R
Persamaan ini menghubungkan tegangan muka dengan persamaan kapiler, h ; dan jejari
lingkungan R.
Bila permukaan cairan dalam pipa cekung, terjadi penaikan kapiler dan R nya juga
negative. Hubungan antara R dan r (jejari pipa) adalah :
r
=sin (90 o )
R
r
r
=cos R=
R
cos
sehingga persamaan (11) menjadi :
2 cos =( 2 1 ) grh
1
cos = ( 2 1 ) grh
(9.12)
2
Jika < 90o, miniskus cairan adalah cekung, h positif, terjadi kenaikan kapiler. Bila > 90o,
miniskus cembung, cos dan h negative.
9.6

Antarmuka CairCair dan Padat Cair


Tegangan antar muka 2 fase cairan, dan , adalah . Bila antar muka (interface) ke-2
fase dipisahkan, maka akan terbentuk a m2 permukaan fase murni dengan energi Gibbs
permukaan v, dan a m2 permukaan fase murni dengan energi Gibbs permukaan v (gambar
9.10). Pada peristiwa ini terjadi perubahan energi Gibbs :

G=W A = +
(9.13)

116

Pertambahan energi Gibbs ini disebut kerja Adhesi, W A , antar fase dan . Jika yang
dipisahkan adalah murni, akan terbentuk permukaan 2a m2, dan :

G=W C =2
(9.14)

W C adalah kerja kolusi . Demikian pula untuk fase

G=W C =2
(9.15)
maka
1 1
W
A = W C + W C
2
2
1
= (W C +W C )W
(9.16)
A
2

jika energi adhesi, W A bertambah maka berkurang.jika = 0 maka tak ada tahanan
untuk memperluas antarmuka antara fase dan , kedua cairan bercampur spontan.
1

W
(9.17)
A = ( W C +W C )
2

Gambar 9.7 Tegangan antarmuka


Table 9.2.Interfacial tension between water () and various liquid () at 20oC
/10-3 N/m
/10-3 N/m
Hg
375
C6H6
35,0
n-C6H14
51,1
C6H5CHO
15,5
n-C7H16
50,2
C2H5OC2H5
10,7
n-C8H18
50,8
n-C8H17OH
8,5
Alasan yang sama dipakai pula untuk tegangan interface antara padatan dan cairan.
Sehingga analog dengan persamaan (16), diperoleh :
Sv
v
S
W S
(9.18)
A = +
Perhatikan gambar 9.8, jika setetes cairan pada permukaan padatan tersebut ditekan sedikit,
maka area antar padatan-cairan bertambah sebesar dA S , dan perubahan E gibbs nya :
dG = S dA S + Sv dASv + v dAv
dASv =dAS dandA v =dAS Cos
sehingga
dG=( S Sv + v cos ) dAS
(9.19)
Kemudian timbulsuatu besaran yang disebut spreading coefficient atau koefisien penyebaran
cairan pada padatan :
G
S =
AS
G
Bila S positif,
AS adalah negatif, dan energi Gibbs akan berkurang jika

antarmuka padatan-cairan membesar, cairan akan menyebar dengan spontan. Jika S =0 ,


117

konfigurasinya stabil, berada dalam kesetimbangan terhadap berbagai luasan antarmuka padatan
cairan. Jika S negative, cairan maka mengkerut dan A S berkurang secara spontan.

Gambar 9.8 Penyebaran cairan di atas padatan


9.7

Tegangan muka dan adsorpsi


Perhatikan sistem seperti gambar 9.5(a) ; 2 fase dengan antarmuka datar : p 1 = p2 = p.
Bila sistemnya multi komponen, potensial komponen sama di tiap-tiap fase dan pada antarmuka.
Perubahan energi Gibbs total :
dG=SdT +Vdp+ dA+ i i dn i
(9.20)
untuk 2 fase tersebut :.
dG 1 =SdT +V 1 dp+ i i dn(i 1)
(9.21)
dG 2 =SdT +V 2 dp+ i i dn(i 2)

(9.22)

n(i 1) dann(i 2 )

adalah jumlah mol I di dalam fase (1) dan (2). Kedua persamaan tersebut
dikurangkan terhadap persamaan (20), akan diperoleh :
d ( GG1 G 2 ) =( S S 1 S 2 ) dT +( V V 1V 2 ) dp+ dA+ i i d ( n i n(i 1)n(i 2))
bila antar muka menghasilkan efek fisik maka selisih antara G dengan (G 1 +G2 )adalah GG,
sehingga
G =G( GG 1+G 2 )
S =S( S 1 S 2 )
n i =ni ( n(i 1)+n(i 2))
karena V = V1 + V2 , maka
dG =S dT + dA+ i i dn i
(9.23)
sehingga bila T, p dan komposisinya konstan, sedang keliling permukaan adalah silinder, maka
bila dan I juga konstan, kemudian persamaan (23) diintegralkan :
G

n i

dG = dA+ i i dn i
0

bila g =G

dan i =

G =A+i i ni

n i
A

(9.24)

(surface excess), maka .

g =+i i i
(9.25)
Dengan mendeferensialkan persamaan (24) dan mengurangkannya terhadap persamaan (23) akan
diperoleh :
O=S dT +Ad +i n i d i
(9.26)
bila s =

maka pada keadaan ini


d =s dT i i d i

(9.27)

dan pada T,p konstan


d =( 1 d1 + 2 d 2+. . . )

(9.28)
Jadi pada kondisi ini, perubahan ditentukan oleh perubahan i. Pada sistem komponen tunggal,
maka posisi antarmuka bisa dipilih sedemikian hingga 1 = 0 , sehingga :
118

( T )

g = dans =

(9.29) a,b

karena g =u Ts , maka energi permukaan per satu area :

u =T
(9.30)
T A
Penjelasan mengenai surface excess adalah sebagai berikut : pandang suatu kolom dengan
penampang lintang area yang tetap, A. Perhatikan gambar 9.12. Konsentrasi molar Spesies i = C i
adalah fungsi dari z (tinggi kolom) antar muka kira-kira z o. Untuk menghitung jumlah mol
spesies I dalam sistem, sebagai berikut :

( )

n i = C i Adz =A C i dz
0

(9.31)

Gambar 9.9 Konsentrasi sebagai suatu fungsi posisi


Jumlah mol i dalam fase 1:

zo
)
(1 )
n(i 1)=C (2
i V 1 =C i Az o = A

C (1i ) dz
0

bila

n i =ni n(i 1)n(i 2 )


z

bila i =

ni

dan

maka

n i = A

zo

zo

C i dz
0

(1)
C i dz

C (2i ) dz
z

C i dz= C i dz + C i dz maka
0

zo

zo

i = (
0

( 1)
C i C i

) dz+ ( C i C (i 2)) dz

(9.32)

zo

Dengan memperhatikan gambar 9.12, tampak bahwa nilai I bergantung pada posisi yang dipilih
untuk acuannya ; zo. Bila zo digeser ke kiri, I akan bernilai positif ; dan sebaliknya. Bila zo
ditetapkan sedemikian hingga surface excess salah satu komponen = 0 , komponen ini biasanya
dipilih untuk solven dan diberi tanda 1, sehingga I = 0.
Untuk sistem 2 komponen ; persamaan (28) adalah :
d= 2 d 2
(dengan I = 0)
o
di dalam larutan encer ideal, berlaku : 2 = 2+RT ln C 2
dC 2
d 2 =RT
C2

( )

sehingga

( )

l
C 2

T .p

=2

RT
C 2 atau
119

2 =

RT ln c 2

T ,p

(9.33)

Bentuk ini dinamakan Isoterm Adsorpsi Gibbs. Jika tegangan muka berkurang dengan
bertambahnya konsentrsi solut, maka 2 adalah positif, berarti terdapat kelebihan solute pada
antarmuka. Demikian sebaliknya, bila tegangan muka membesar dengan bertambahnya C 2 maka
2 adalah negative.
9.8 Adsorpsi pada Padatan
Jika suatu butiran padatan diaduk ke dalam larutan berwarna, tampak bahwa kedalaman
warna dalam larutan sangat berkurang. Bila butiran padatan tersebut dihamburkan kedalam gas
bertekanan rendah, warna maupun gas di adsorpsi ke permukaan. Seberapa besar efeknya,
bergantung pada suhu, perilaku adsorbat dan juga perilaku dan kondisi dari adsorben; demikian
konsentrasi warna atau tekanan gas. Isoterm Freundlich adalah satu dari beberapa persamaan
awal yang diusulkan untuk menghubungkan jumlah bahan teradsorpsi terhadap konsentrasi
bahan dalam larutan.
1
n

(9.34)
m=k . C
m = massa zat teradsorpsi persatuan massa adsorben
C = konsentrasi
k dan n adalah tetapan
Dengan mengukur m sebagai fungsi C dan mengeplot log m versus log C, nilai k dan n dapat
ditentukan dari slope dan intersep. Isotherm Freundlich tidak sesuai jika konsentrasi adsorbat
sangat tinggi.
Proses adsorpsi dapat dijelaskan dengan suatu persamaan kimia, jika adsorbetnya gas,
maka persamaan kesetimbangannya :
A(g) + S AS
A adalah adsorbet gas; S adalah situs kosong di permukaan, dan AS mempresentasikan suatu
molekul teradsorpsi atau situs dipermukaan yang terisi. Konstanta kesetimbangannya :
X
K = AS
(9.35)
XSP

Gambar 9.10. Langmuir Isotherm


XAS
= fraksi mol dari situs terisi dipermukaan
XS
= fraksi mol dari situs kosong dipermukaan
P
= tekanan gas
Notasi umum yang sering dipakai adalah ;
XS = (1 - ) sehingga :

(9.36)
1
Persamaan (36) ini merupakan persamaan isotherm Langmuir dengan K adalah konstanta
kesetimbangan adsorpsi.
K . P=

120

K.P
(9.37)
1+KP
Jika yang dibahas adalah adsorpsi zat dari larutan, persamaan (9.37) dapat digunakan dengan P
diganti C (konsentrasi molar). Jumlah zat teradsorb, m, sebanding terhadap untuk adsorben
tertentu, sehingga m = b , dengan b adalah suatu konstanta. Maka :
bKP
m=
(9.38)
1+ KP
Jika diinversikan akan diperoleh :
1 1
1
= +
(9.39)
m b bKP
1
1
vs
dengan mengeplot
, konstanta K dan b dapat ditentukan dari slope dan intersep.
m
P
Dengan mengetahui K, dapat dihitung fraksi dari permukaan yang tertutupi. (persamaan 37)
Persamaan (9.37) umumnya lebih berhasil dalam menginterpretasikan data dibanding
persamaan (9.34) jika lapisan teradsorpsinya adalah monolayer. Plot vs P tampak pada gambar
9.10. Pada P rendah, KP<< 1 sehingga = KP, bertambah secara linier terhadap P. Pada P
tinggi, KP>> 1 sehingga = 1, permukaan hamper tertutup seluruhnya dengan lapisan
monomolekuler. Pada kondisi ini, perubahan tekanan hanya sedikit sekali mengubah jumlah zat
teradsorb.
=

9.9

Adsorpsi Fisik dan Kimia


Jika antaraksi antara adsorbat dan permukaan merupakan interaksi van der Walls maka
yang terjadi adalah adsorpsi secara fisik. Adsorbat terikat secara lemah dan panas adsorpsinya
rendah (sekitar beberapa kilojoule) dan ada disekitar panas vaporisasi adsorbat. Bila T naik,
jumlah adsorbat yang menempel akan berkurang.

Gambar 9.11 Multilayer adsorption


Jika molekul teradsorb bereaksi secara kimia dengan permukaan, fenomenanya disebut
Kemisorpsi. Sebab terjadi pemutusan ikatan kimia dan pembentukan ikatan baru. Panas adsorpsi
yang timbul nilainya hamper sama dengan panas reaksi kimia, dari beberapa kilojoule sampai
400 kj. Kemisorpsi tidak sampai melampaui pembentukan monolayer di permukaan. Oleh karena
itu; isotherm langmuir paling sesuai untuk menginterpretasikan data. Dalam isotherm langmuir,
panas adsorpsi tidak bergantung pada , yaitu fraksi permukaan yang tertutup. Bila panas
adsorpsi tergantung , harus digunakan isotherm yang lain.
9.10 Isoterm BET (BRUNAUER, EMMET, DAN TELLER)
Brunaur, Ement dan Teller telah membuat model untuk adsorpsi multilayer. Mereka
berasumsi bahwa langkah pertama didalam adsorpsi adalah :

K 1= 1
A(g) + S AS
(9.40)
v P
121

K1
= konstanta kesetimbangan
1
= fraksi dari situs permukaan yang terisi molekul tunggal
v
= fraksi dari situs kosong
Bila tidak ada hal lain terjadi, persamaan ini akan menjadi isotherm langmuir.
Selanjutnya mereka berasumsi bahwa molekul-molekul tambahan menduduki puncak
salah satu yang lain membentuk multilayer. Mereka menginterpretasikan prosesnya seperti reaksi
kimia berturutan, masing-masing dengan konstanta kesetimbangan yang berkaitan :

K 2= 2
A(g) + AS A2S
1 P

K 3= 3
A(g) + A2S A3S
2P
n
K n=
A(g) + AnS AnS
n1 P
Pada notasi A3S menunjukan bahwa situs permukaan memiliki 3 tampak molekul A diatasnya. I
adalah fraksi dari situs yang ditempati molekul A setinggi I lapis. Interaksi antara molekul A
pertama dengan situs permukaan adalah unik, bergantung pada perilaku tertentu dari molekul A
dan permukaan. Tetapi, sewaktu molekul A kedua menduduki molekul A yang pertama,
interaksinya tidak jauh berbeda dari interaksi 2 molekul A dalam cairan, hal yang sama berlaku
juga saat molekul ke -3 menduduki molekul ke-2, sehingga semua proses ini, kecuali yang
pertama, dapat dipandang sebagai proses peleburan (liquefaction); sehingga memiliki konstanta
kesetimbangan yang sama, yaitu K
9.11 Koloid
Dispersi koloid secara tradisional didefinisikan sebagai suspensi partikel-partikel kecil
dalam medium continue. Karena kemampuannya menghamburkan cahaya dan berkurangnya
tekanan osmotic, partikel ini diakui lebih besar disbanding molekul kecil sederhana seperti air,
alkohol, atau benzena dan garam-garam sederhana seperti NaCl. Diasumsikan bahwa partikelpartikel tersebut mengumpul terdiri dari kumpulan-kumpulan molekul kecil, yang bersama-sama
dalam keadaan menggerombol,berbeda dengan keadaan kristal biasa. Sekarang diketahui bahwa
banyak dari kumpulan-kumpulan partikel ini pada kenyataannya adalah molekul tunggal yang
memiliki massa molar yang tinggi. Batas ukurannya sulit ditentukan, tetapi bila partikel-partikel
terdispersi tersebut berukuran antara 1m sampai 1nm, kemungkinannya sistemnya adalah
disperse koloid.
Secara klasik, koloid dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok :
1.
LYOPHILIC atau solvent-loving-colloids (juga disebut gel)
2.
LYOPHOBIC atau solvent-fearing-colloids (juga disebut sol)
9.11.1 Koloid Lyophilic
Koloid lyophilic adalah larutan yang berisi dispersi molekul-molekul tunggal, umumnya
adalah polimer-polimer pendek atau yang lain. Interaksi solven-solut demikian kuat dan
menguntungkan sehingga koloid lyophilic relative stabil. Tipe sistem liofilik adalah protein
(khususnya gelatine) atau pati dalam air, karet dalam benzene, dan selulosa nitrat atau selulosa
asetat dalam aseton. Proses pelarutannya mungkin agak lambat.
Penambahan solven mula-mula diadsorpsi oleh padatan dengan lambat, sehingga padatan
membengkak (tahap ini disebut imbibisi). Selanjutnya, penambahan solven yang disertai
pengadukan akan mendistribusikan solven-solut secara seragam. Pada kasus gelatin, proses
pelarutan dicapai dengan menaikan temperature; kemudian sewaktu larutan mendingin, akan
terbentuk kerangka jaringan yang merupakan belitan-belitan dari molekul molekul protein yang
panjang dengan banyak ruang-ruang terbuka antara molekul-molekul. Adanya protein akan
122

menginduksi beberapa struktur dalam air, yang secara fisik terperangkap di dalam interstisi
jaringan menghasilkan GEL. Penambahan sejumlah garam ke dalam gel hidrofilik akan
mengendapkan protein.
9.11.2 Koloid lyophobic
Umumnya, koloid liofobik adalah zat yang kelarutannya rendah di dalam medium
pendispersi. Koloid liofobik biasanya mengumpul (merupakan kumpulan dari molekul-molekul
kecil), atau jika molekulnya kompleks, mereka terdiri dari satuan-satuan formula dalam jumlah
yang agak besar. Dispersi liofobik dapat dibuat dengan menggerinda padatan dengan medium
dispersinya didalam suatu lempung (ball mill), sehingga padatan tersebut menjadi koloid, kurang
dari satu m. Selain itu, disperse liofobik yaitu sol dapat diperoleh dengan pengendapan. Tipe
reaksi kimia yang menghasilkan sol adalah :
Hidrolisis :
FeCl3 + 3 H2O Fe(OH)3 (koloid) + 3H+ + 3ClReduksi :
SO2 + 2 H2S 2 S (koloid) + 2 H2O
2 AuCl3 + 3 H2O + 3 CH2O 2 Au (koloid) + 3 HCOOH + 6 H+ + 6 ClKarena sol sangat sensitive terhadap adanya elektrolit, maka reaksi-reaksi preparative
yang tidak menghasilkan elektrolit lebih baik dari pada sebaliknya. Untuk menghindari adanya
pengendapan sol oleh elektrolit, sol dapat dimurnikan dengan dialisa. Sol diletakan dalam
kantong koloidon, dan kantong tersebut dicelupkan dalam aliran air. Ion-ion kecil dapat berdifusi
melalui koloidon dan tercuci, sedangkan partikel koloid yang lebih besar tetap tinggal di dalam
kantong.
Namun demikian, sekelumit elekrolit tetap diperlukan untuk menstabilkan koloid, sebab
sol memperoleh stabilitasnya dari adanya lapisan rangkap listrik pada partikel.
9.11.3 Lapisan rangkap listrik dan stabilitas Koloid lyophobic
Stabilitas koloid liofob banyak dipengaruhi oleh adanya lapisan rangkap listrik di
permukaan partikel-partikel koloid. Perhatikan ; jika ada 2 partikel dari suatu bahan yng sukar
larut tidak memiliki lapisan rangkap, mereka akan menjadi makin dekat karena pengaruh gaya
tarik van der Waals, sehingga mereka akan mengendap. Sebaliknya, bila partikel-partikel
memiliki lapisan rangkap sebagaimana gambar 9.12, maka efek keseluruhannya ialah partikelpartikel saling tolak menolak, sebab sewaktu 2 partikel saling mendekati, jarak antara muatan
muatan tak sejenis lebih kecil dibanding jarak antara muatan-muatan tak sejenis. Gaya tolak
inilah yang mencegah partikel-partikel terlalu berdekatan sehingga menstabilkan koloid. Jadi
sumber utama kestabilan kinetika adalah : adanya muatan listrik pada permukaan koloid. Adanya
muatan itu, mengakibatkan ion dengan muatan berlawanan akan berkumpul didekatnya, dan
terbentuklah atmosfir ion.
Ada dua daerah muatan yang harus dibedakan. Pertama, lapisan ion tak bergerak
menempel kuat pada permukaan partikel koloid, dan yang mungkin mengandung molekul air
(jika mediumnya air). Di sekeliling lapisan ion tak bergerak ini terdapat atmosfir ion, bagian ini
yang menentukan mobilitas partikel. Kulit muatan bagian dalam dan atmosfir diluarnya ini
disebut lapisan rangkap listrik. Pada kekuatan ion tinggi, atmosfer menjadi rapat dan pada jarak
dekat potensialnya turun, akibat berikutnya adalah terjadinya flokulasi, yaitu penggumpalan
koloid, sebagai konsekuensi dari gaya van der Waals. Karena kekuatan ion bertambah dengan
penambahan ion, khususnya ion bermuatan tinggi, ion tersebut bertindak sebagai zat
penggumpal. Ini merupakan dasar dari aturan Schultze-Hardy empiris, yaitu koloid hidrofob
digumpalkan paling efektif oleh ion berlawanan yang bermuatan tinggi.
123

Gambar 9.12 Lapisan rangkap pada dua partikel dan 9.13 Energi interaksi partikel koloid
Kurva (a) pada gambar 9.13 memperlihatkan energi potensial yang disebabkan gaya tarik
van der Waals sebagai fungsi jarak pisah antara 2 partikel. Kurva (b) memperlihatkan energi
tolakan. Kurva kombinasi untuk tolak menolak lapisan rangkap dan gaya tarik van der
Waalsditunjukan oleh kurva (c). Pada saat kurva (c) maksimum, koloid akan memiliki stabilitas.
Lapisan rangkap yang terbentuk pada permukaan partikel koloid terikat dengan lemah ke
permukaan
prtikel itu, oleh karena itulah lapisan ini mudah bergerak(mobil). Terdapat suatu
garis pemisah antara bagian yang mobil dari lapisan rangkap dengan bagian yang tetap di
permukaan, didearah ini timbul suatu potensial elektrik yang disebut Potensial zeta ( potensial).
Muatan pada bagian yang mobil dari lapisan rangkap bergantung pada potensial zeta ini.
Penambahan elektrolit ke dalam sol akan menekan lapisan rangkap terdifusi (bagian yang
mobil) sehingga potensial zeta berkurang. Hal ini akan menurunkan gaya tolak menolak
elektrostatik secara drastic antara partikel-partikel sehingga mengendapkan koloid. Koloid ini
sangat sensitive terhadap ion yang mutannya berlawanan. Sol bermuatan positif seperti Fe(OH) 3
akan diendapkan oleh ion-ion negative seperti ion Cl-dan SO42-, ion-ion tergabung ke bagian
tertentu dari lapisan rangkap, sehingga mereduksi muatan partikel secara keseluruhan. Akibat
selanjutnya akan menurunkan potensial zeta, yang akan mengurangi gaya tolak antar partikel.
Serupa dengan hal itu; sol negative akan di destabilisasi oleh ion-ion positif. Makin tinggi
muatan suatu ion akan makin efektif mengkoagulasi koloid. Konsentrsi minimum yang
diperlukan untuk menghasilkan koagulasi yang cepat adalah kira-kira 1 : 10 : 500 untuk muatan
3 : 2 : 1. ion yang memiliki muatan sama seperti partikel koloidnya tidak banyak berpengaruh
dalam koagulasi ; kecuali pengaruhnya dalam menekan lapisan rangkap difusi. karena lapisan
rangkap hanya memiliki sedikit ion, maka hanya memerlukan elektrolit berkonsentrasi rendah
untuk menekan lapisan rangkap tersebut dan akhirnya mengendapkannya.
9.12 Zat Aktif Permukaan (Surfaktan), Sabun dan Detergen
Zat aktif permukaan adalah golongan partikel solute tertentu yang memperlihatkan efek
yang dramatis pada tegangan permukaan. Paretikel-partikel ini disebut zat aktif permukaan atau
surfaktan. Jadi yang paling utama dalam hal ini adalah terdapatnya hubungan antara fenomena
adsorpsi dan energi permukaan atau tegangan permukaan. Yang pertama, penggolongan
surfaktan didasarkan pada kelarutan dari spesies teradsorpsi; apakah termasuk tak larut
dipermukaan ataukah larut dipermukaan. Yang kedua, penggolongan bahan ini didasarkan pada
metode eksperimen. Untuk antarmuka yang mudah bergerak, tegangan muka dapat diukur
dengan mudah.

124

Gambar 9.14 Diagram skematik misel


Jadi surfaktan merupakan spesies yang aktif pada antarmuka antara dua fase, seperti
antarmuka antara fase hidrofil dan hidrofob. Surfaktan berakumulasi di permukaan dapat
dihitung dengan persamaan surface excess (lihat pembahasan di depan).

ni
i=
A
i adalah kelebihan permukaan per satuan luas

n i adalah jumlah mol zat i dipermukaan


A adalah area dipermukaan
i dapat bernilai positif (akumulasi i pada antarmuka) atau negative (kekurangan i pada
permukaan)
Contoh molekul surfaktan adalah sabun dan diterjen. Contoh molekul sabun, C 17H35COONa+ , pada konsentrasi yang rendah, larutan sabun terdiri dari ion Na + dan ion stearat seperti
halnya larutan garam pada umumnya. Pada konsentrasi yang agak tinggi, yaitu konsentrasi misel
kritis (CMC), ion-ion stearat menggumpal menjadi gumpalan, dan disebut micelles (gambar
9.23). Micelle ini berisi 50 sampai 100 buah ion stearat. Bentuk misel kira-kira speris dan
rantai hidrokarbon ada dibagian dalam, sedangkan gugus polar , COO - ada dipermukaan.
Permukaan misel ini yang berhubungan dengan air, dan gugus polar ini yang menstabilkan misel
tersebut.
Ukuran misel adalah koloid, karena bermuatan, maka misel adalah ion koloid. Misel
banyak mengikat banyak sekali ion-ion positif ke permukaannya sebagai ion counter sehingga
sngat mengurangi muatannya. Pembentukan misel menghasilkan penurunan konduktifitas listrik
yang tajam per mol elektrolit. Misal terdapat 100 ion Na + dan 100 ion stearat; jika ion ion
stearat mengumpul menjadi misel dan misel mengikat 70 ion Na+ sebagai ion lawan, maka akan
ada 30 ion Na+ dan 1 miseler yang memiliki muatan -30 unit; total ada 31 ion. Reduksi inilah
yang secara tajam menurunkan konduktifitas listrik.
Dengan menggabung molekul-molekul hidrokarbon ke dalam micel, larutan sabun dapat
bertindak sebagai solven hidrokarbon, aksi sabun sebagai pembersih bergantung pada
permukaannya untuk menahan kotoran dalam suspensi. Struktur deterjen mirip sabun. Deterjen
tipe anionic adalah alkyl sulfonat, RSO3-Na+, agar diterjen bertindak bagus, R harus memiliki
sekurang-kurangnya 16 atom C. diterjen kationik biasanya garam ammonium kuartenair, yaitu
satu alkyl (gugus alkyl) berantai panjang, contoh (CH 3)3RNa+Cl- , dengan R memiliki 12 sampai
18 C.

125

SOAL SOAL:
1. Pada 25oC, densitas mercury adalah 13,53 g/cm 3 dan = 0,484 N/m. Berapakah penurunan
kapiler mercuri dalam pipa gelas dengan diameter dalam 1 mm jika kita asumsikan bahwa
= 180o? Abaikan densitas udara.
2. Dalam pipa gelas , air memperlihatkan kenaikan kapiler 2cm pada 20 oC. Jika = 0,9982
g/cm3 dan = 72,75x10-3 n/m, hitunglah diameter pipa ( =0oC)
3. Pada 20oC tegangan antarmuka antara air dan benzene adalah 35 mN/m. Jika = 28,85
mN/m untuk benzene dan 72,75 mN/m untuk air (asumsikan bahwa = 0), hitung
a) kerja adhesi antara air dan benzene.
b) kerja kohesi untuk benzene dan untuk air.
c) Koefisien penyebaran untuk benzene di atas air.
4. a)Adsorpsi etil chloride pada sample arang pada 0oC dan pada beberapa tekanan yang berbeda
adalah
p/mmHg
20
50
100
200
300
Jml gram teradsorbsi
3,0
3,8
4,3
4,7
4,8
Dengan isotherm Langmuir, tentukan fraksi permukaan yang tertutupi pada tiap tekanan
yang tertera.
b)Jika luas area molekul etil chloride adalah 0,260 nm2, berapakah luas area arang?
5. Adsorpsi butane pada bubuk NiO diukur pada 0 oC; volume butane pada STP yang
teradsorpsi per gram NiO adalah
p/kPa
7,543
11,852
16,448
20,260
22,959
3
v/(cm /g)
16,46
20,72
24,38
27,13
29,08
a) Dengan isotherm BET, hitunglah volume yang teradsorpsi pada STP pergram jika NiO
tertutup oleh lapisan monolayer; po = 103,24 kPa.
b) Jika luas penampang molekul butane tunggal adalah 44,6 x 10-20 m2, berapa area pergram
bubuk NiO?
c). Hitunglah 1,2,3, dan v pada 10 kPa dan 20 kPa.
d). Dengan menggunakan isotherm Langmuir, hitunglah pada 10 kPa dan 20 kPa dan
perkirakan luas permukaan.Bandingkan dengan pada b).

126

DAFTAR PUSTAKA
Alberty, R. A. 1987. Physical Chemistry. New York : John Wiley and Sons
Atkins, P.W. 1986. Physical Chemistry. Oxford University Press
Atkins, P. W. 1994. Kimia Fisika, terjemahan oleh Irma I.K. Jakarta : Penerbit Erlangga
Castellan, G.W. 1983. Physical Chemistry. New York : Addison- Wesley Publising
Company.
Dogra, S.K. dan Dogra, S. 1990. Kimia Fisik dan Soal-soal. Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia
Castellan. 1983. Physical Chemistry. New York : Addison-Wesley Publising Company.
S. K. Dogra, dan S. Dogra. 1990. Kimia Fisik dan Soal-soal. Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia

127

Anda mungkin juga menyukai