Dalam molekul NH3 terdapat tiga pasang elektron ikatan dan sepasang elektron non-
ikatan atau menyendiri. Ternyata sepasang elektron menyendiri ini berubah menjadi sepasang
elektron ikatan ketika molekul NH3 bergabung dengan ion H+ membentuk ion NH4+, karena ion
H+ tidak menyediakan elektron sama sekali. Dengan demikian, dalam ion NH4 + atom N seolah-
olah menderita "kekurangan" elektron relatif terhadap kondisinya dalam molekul NH3. Untuk
menyatakan "kekurangan/kelebihan elektron" relatif terhadap atom netralnya inilah kemudian
dikenalkan pengertian muatan formal. Untuk membicarakan struktur elektronik spesies semacam
ini, bahasa bilangan oksidasi jelas kurang tepat sebab memang bukan merupakan proses transfer
elektron. Jadi berbeda dari bilangan oksidasi, muatan formal diartikan sebagai bilangan bulat
atau pecahan, positif (+) atau negatif (-) yang menunjuk pada banyaknya kekurangan elektron
atau kelebihan elektron setiap atom penyusun suatu spesies relatif terhadap atom netralnya.
Bilangan ini ditentukan atas dasar struktur elektronik spesies yang bersangkutan dengan
anggapan bahwa dalam ikatan kovalen pasangan elektron ikatan memberikan kontribusi muatan
secara merata terhadap atom-atom yang berikatan.
Untuk menghitung besarnya kekurangan atau kelebihan elektron tersebut dipakai
pedoman sebagai berikut: (1) setiap elektron non-ikatan memberikan nilai -1, dan (2) setiap
elektron ikatan memberikan nilai 1/2 jika elektron ini dimiliki oleh dua atom dan 1/3 jika
dimiliki oleh tiga atom yang berikatan. Jadi secara garis besar, muatan formal (QF) dapat dihitung
menurut rumus: QF = G - n - b, dengan G jumlah elektron valensi atom netralnya, n jumlah
elektron non-ikatan dan b = 1/2 jumlah elektron ikatan antara 2 atom atau 1/3 jumlah elektron
ikatan antara 3 atom. Sebagai contoh dalam NH3, setiap atom H mempunyai muatan formal
sebesar: 1 - 0 (1/2 x 2) = 0 (nol), dan atom N juga memunyai muatan formal nol (yaitu 5 – 2 - 1/2
x 6), sehingga total muatan formal molekul netral NH3 adalah nol. Tetapi dalam ion NH4+,
muatan formal masing-masing atom H adalah nol, dan atom N adalah: 5 - 0 1/2 x 8 = +1,
sehingga muatan formal total adalah +1 sesuai dengan muatan ion NH4+.
Spesies diboran (B2H6) mempunyai bangun struktur dengan dua ikatan tripusat atau
jembatan hidridik B-H-B. Oleh karena sepasang elektron pada jembatan hidridik dipakai untuk
mengikat tiga atom yaitu B-H(1) dan B-H(2)-B, maka setiap elektron ikatan tripusat ini
memberikan kontribusi muatan formal 1/3.
Oleh karena itu, kedua atom jembatan H(1) dan H(2) masing-masing mempunyai muatan formal
sebesar: 1 – 1/3 x 2 = 1/3, sedangkan keempat atom H yang lain mempunyai muatan formal nol;
kedua atom B masing-masing mempunyai muatan formal sebesar: 3 – 0 – 1/2 x 4- 2(1/3 x 2) =
-1/3. Dengan demikian, total muatan formal spesies ini adalah nol sesuai dengan sifat netral
spesies yang bersangkutan.
Pengenalan muatan formal bermanfaat dalam menjelaskan (1)
struktur elektronik senyawa-senyawa kovalen termasuk spesies berelektron
gasal di mana struktur oktet tidak dapat diterapkan, dan (2) dalam
melukiskan bentuk resonansi. Menurut konsep muatan formal, struktur yang mempunyai energi
terendah adalah struktur yang menghasilkan muatan formal terkecil pada masing-masing atom
penyusun spesies yang bersangkutan.
Resonansi
Perlu diingat bahwa struktur Lewis tidak meramalkan bentuk molekul yang
bersangkutan, tetapi hanya pola dan jumlah ikatan. Struktur Lewis hanya tepat untuk melukiskan
satu model distribusi elektron saja. Kenyataannya, banyak spesies yang dapat dilukiskan ke
dalam dua atau lebih model struktur Lewis dengan kaidah oktet masih tetap dipenuhi. Misalnya
molekul ozon O3 yang mempunyai 18 elektron valensi; jika dilukiskan dengan satu model
struktur Lewis (a) atau (b), akan menghasilkan dua macam ikatan yaitu ikatan tunggal O-O dan
ikatan rangkap O=O. Kenyataannya kedua ikatan dalam molekul ozon adalah sama yaitu dengan
panjang ikatan 1,28Å; harga ini merupakan harga antara panjang ikatan tunggal O-O (1,48 Å)
dan ikatan rangkap O=O (1,21Å). Oleh karena itu struktur ozon tentulah bukan (a) atau (b),
melainkan terletak di antaranya.
Kelemahan ini oleh Linus Pauling diatasi dengan mengenalkan konsep resonansi, yaitu
suatu bentuk yang merupakan campuran dari semua kemungkinan struktur Lewis, yang
dilukiskan dengan satu anak panah kepala dua. Struktur resonansi (a)↔(b) bukanlah terdiri atas
bentuk (a) dan (b) yang seimbang karena pasangan elektron yang digambarkan sebagai ikatan
tunggal maupun rangkap tidak pernah ada dan tidak terlokalisasi di satu tempat melainkan
seolah-olah merata di antara kedua daerah ikatan. Maka, bentuk ini mungkin merupakan bentuk
superposisi antara (a) dan (b) yaitu hibrida resonansi bentuk (c).
Molekul CO (dengan 10 elektron valensi) mempunyai tiga kemungkinan struktur
elektronik (a), (b), dan (c). Pada dasarnya ketiga bentuk ini mempunyai kestabilan yang relatif
sama atas dasar muatan formal, elektronegativitas, panjang ikatan, maupun sifat polaritasnya.
Bentuk (a) hanya mempunyai ikatan tunggal yang relatif kurang kuat, namun hal ini distabilkan
oleh distribusi muatan formal yang paralel dengan sifat elektronegativitas kedua atomnya.
Bentuk (b) kurang didukung oleh distribusi muatan formal yang mengindikasikan bahwa
elektronegativitas kedua atom seolah-olah sama, namun hal ini distabilkan oleh ikatan rangkap
yang relatif kuat. Bentuk (c) menunjukkan distribusi muatan formal yang berlawanan dengan
sifat elektronegativitas, namun hal ini distabilkan oleh ikatan ganda tiga yang lebih kuat. Bentuk
(a) dan (c) menghasilkan momen dipol yang tentunya signifikan, tetapi bentuk (b) tidak.
Kenyataan molekul CO mempunyai momen dipol sangat rendah, 0,1D, dan panjang ikatan C-O
1,13 Å yang merupakan harga antara panjang ikatan rangkap dua (1,22Å) dan ganda tiga (1,10
Å). Data ini menyarankan bahwa molekul CO mengadopsi struktur resonansi dari ketiganya,
yaitu (a)↔(b) ↔ (c).
Ditinjau dari sifat simetri orbital, pembentukan hibrida sp dari kombinasu orbital s murni
dengan orbital p murni dapat dilukis secara diagramatik seperti gambar 3.10.
Kedua orbital hibrida sp tersebut membentuk sudut 180o, terdiri atas cuping yang sangat
kecil (-) dan yang sangat besar (+), yang sangat efektif untuk mengadakan tumpang tindih
dengan orbital 3P dari atom Jl sehingga diperoleh senyawa linear BeCl2 (gambar 3.11)
BF3. Adanya senyawa BF3 yang berbentuk trigonal menyarankan bahwa atom pusat $B
(1s2 2s2 2p1) membentuk tiga orbital hibrida sp2 pada kulit terluarnya. Untuk itu, salah satu
elektron dalam orbital 2s2 mengalami promosi ke dalam salah satu dari dua orbital 2p yang
kosong sehingga diperoleh konfigurasi 1s2 2s1 2px1 2py1, yang selanjutnya ketiga orbital dalam
kulit valensi ini membentuk tiga orbital hibrida sp2 yang terorientasi membentuk sudut 120 o agar
diperoleh tolakan minimum antar ketiga orbital baru ini sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar
3.12. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketiga ikatan B-F dalam molekul BF 3 adalah sama
kuat.
Tahap pertama tersebut jelas memerlukan energi, sebaliknya tahap kedua membebaskan
energi karena orbital hibrida mempunyai energi rerata lebih rendah dan lebih efektif dalam
membentuk ikatan daripada orbital-orbital murninya, sehingga diperoleh senyawa dengan energi
total yang lebih rendah. Berbagai jenis hibridisasi dengan kerangka bangun geometri yang
bersangkutan, dapat diperiksa pada Tabel 3.2.
Ikatan rangkap juga diperlakukan sebagai ikatan tunggal, namun karena rapatan elektron
pada daerah ikatan rangkap lebih besar maka hal ini akan memberikan tolakan yang kuat
sehingga sudut ikatan akan terdistorsi dari bentuk teraturnya. Sebagai contoh, formaldehid,
H2CO, akan mengadopsi bentuk trigonal (namun bukan lagi segitiga sama sisi); demikian juga
etena H2C-CH2 akan mengadopsi bangun suatu bidang sudut-sudut ikatan menyimpang dari
sudut-sudut bangun trigonal.
Apabila pasangan-pasangan elektron terdiri atas elektron-elektron ikatan dan non-ikatan
maka bangun geometri yang sesungguhnya dapat iturunkan dari bentuk regularnya menurut
diagram Gambar 3.13 yang sesuai, kemudian menghilangkan ikatan setiap pasangan elektron
norn ikatan tersebut; selain itu terjadi perubahan-perubahan besarnya sudut ikatan. Untuk itu,
molekul atau ion diklasifikasi berdasarkan banyaknya pasangan elektron ikatan (bonding, b) dan
pasangan elektron menyendiri atau non-ikatan (nonbonding, nb) di seputar atom pusat.
Tambahan pula perlu dipertimbangkan bahwa kekuatan interaksi tolakan antar elektron- elektron
ikatan dan non-ikatan tidak sama, melainkan mengikuti urutan sebagai berikut: tolakan (nb vs
nb)> (nb vs b) > (b vs b).
Tipe AB2E diramalkan akan mempunyai bentuk V hasil turunan dari bangun trigonal
AB3. Bangun ini mempunyai sudut B-A-B lebih kecil dari 120o sebagai akibat tolakan pasangan
elektron menyendiri E yang lebih kuat terhadap pasangan elektron ikatan; misalnya, SnCl 2
mempunyai sudut ikatan 95o. Tipe AB2E2 diramalkan juga mempunyai bentuk V sebagai hasil
adopsi turunan bangun tetrahedron AB4 namun dengan sudut lebih kecil dari 109,5o, lagi-lagi
sebagai akibat tolakan dari dua pasangan elektron menyendiri E2 yang lebih kuat. Sebagai
contoh, H2O mempuyai sudut ikatan H-O-H 104,5o. Tetapi, tipe AB2E3 mempunyai bentuk linear
hasil adopsi turunan bangun bipiramida segitiga. Dalam hal ini ketiga pasangan elektron non-
ikatan E3 memilih posisi bidang ekuatorial agar menghasilkan tolakan minimum (<B (e))-A-B(e)
120o) dari pada posisi aksial (<B(a)-A-B(e) -90o). Sebagai contoh adalah XeF2.
Catatan:
(1) Molekul AB2 s/d AB6 tersebut mempunyai bentuk regular (teratur) (A) adalah karena semua
pasangan elektron di seputar atom pusat elektron bonding dan berikatan dengan atom-atom
yang sama (B).
(2) Jika salah satu atau sebagian atom B diganti oleh atom lain, maka bentuk regular akan
mengalami sedikit distorsi, mungkin berubah besarnya sudut dan atau panjang ikatan antara
atom-atom yang bersangkutan.
(3) Jika salah satu atau lebih atom B diganti oleh pasangan elektron non bonding dari atom pusat
yang bersangkutan, maka bentuk molekul menjadi sama sekali berbeda tetapi dapat
diturunkan dari bentuk regularnya