Anda di halaman 1dari 5

PROSEDUR PEMERIKSAAN MDA

Tujuan : Mengukur nilai kadar Malondialdehyde (MDA) pada plasma darah manusia
menggunakan peralatan laboratorium.
Alat dan Bahan :
a) Alat

: 1. Sample rack 1 unit


2. Centrifuge tipe Heraeus Labofuge 300 1 unit
3. Eppendorf 10 unit
4. Micropipette 1 unit
5. Cuvette 1 unit
6. Cuvette rack 1 unit
7. Mesin pemanas supernatan
8. UV-Spectrophotometer tipe 1700 PharmaSpec 1 unit

b) Bahan

: 1. Trichloroacetic acid (TCA) 40% 100 ml


2. Hypochlorite acid (HCl) 1 N 100 ml
3. Na-thiosulfate (NaThio) 100 l 100 ml
4. Akuabides 450 ml
5. Sampel Darah 10, @ 3 cc

Prosedur Pemeriksaan Nilai Kadar Malondialdehyde (MDA) pada Plasma Darah:


1. Semua sampel darah dimasukkan ke dalam sample rack dan dipilah-pilah menurut
warna sampel darah
2. Setiap 8 sampel darah dimasukkan ke mesin Centrifuge dan disentrifus dengan
kecepatan 2500 rpm selama 8 menit sehingga terbentuk serum
3. Serum diambil dengan menggunakan micropipette dan dimasukkan ke dalam
eppendorf
4. Ambil 0,5 cc serum kemudian tambahkan dengan: (1) 1,25 cc TCA 40% 2,5 l, (2)
200 l HCl 1 N, (3) 0,5 cc akuabides, dan (4) NaThio 100 l
5. Panaskan pada suhu 100oC selama 25 menit menggunakan mesin pemanas supernatan
6. Sentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit dan ambil supernatan yang
terbentuk
7. Masukkan supernatan ke dalam vacuum tube dan tambahkan akuabides sampai 3 cc
8. Masukkan supernatan ke dalam cuvette, kemudian masukkan cuvette tersebut pada
mesin UV-Spectrophotometer dan baca serapan dengan panjang gelombang 532.

Malondialdehyde (MDA) sebagai Indikator


Stres Oksidatif

Oleh: Heri Krisnawan, S.Or., S.Pd.


Malondialdehyde (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid oleh radikal bebas
(Asni dkk, 2009: 596). Malondialdehyde (MDA) dapat terbentuk apabila radikal bebas
hidroksil seperti Reactive Oxygen Species (ROS) bereaksi dengan komponen asam lemak dari
membran sel sehingga terjadi reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi lemak.
Peroksidasi lemak tersebut akan menyebabkan terputusnya rantai asam lemak menjadi
berbagai senyawa toksik dan menyebabkan kerusakan pada membran sel (Yunus, 2001: 11).
Lebih lanjut, McBride dan Kraemer (1999: 177) menggambarkan mekanisme pembentukan
Malondialdehyde (MDA) secara sederhana sebagai berikut:

Malondialdehyde (MDA)
merupakan salah satu indikator yang paling sering digunakan sebagai indikasi peroksidasi
lemak (Nielsen dkk, 1997: 1209). Malondialdehyde (MDA) merupakan senyawa yang dapat
menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu
petunjuk terjadinya stres oksidatif akibat radikal bebas (Asni dkk, 2009: 596). Rahardjani
(2010: 83) memperkuat pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa mediator
Malondialdehyde (MDA) merupakan suatu produk akhir peroksidasi lemak yang digunakan
sebagai biomarker biologis peroksidasi lemak serta dapat menggambarkan derajat stres
oksidatif.

Pengukuran kadar Malondialdehyde (MDA) dapat dilakukan dengan menggunakan


spektrofotometer pada panjang gelombang eksitasi 515 nm dan emisi 553 nm (Wresdiyati
dkk, 2004: 204). Lebih lanjut, Zainuri dan Wanandi (2012: 90) menyebutkan salah satu
metode pengukuran kadar Malondialdehyde (MDA) sebagai berikut.
Pengukuran MDA dilakukan dengan menggunakan modifikasi metode uji asam tiobarbiturat
(TBA) secara spektrofotometri. Sebanyak 400 l sampel direaksikan dengan 200 l
trichloroacetic acid (TCA) 20% untuk deproteinasi. Kemudian divorteks dan sentrifus
dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk diambil dan
ditambahkan 400 l TBA 0,67%. Selanjutnya sampel divorteks dan diinkubasi dalam
pemanas air pada suhu 96oC, 10 menit kemudian angkat dan dinginkan pada suhu ruang.
Kemudian baca serapan pada panjang gelombang 530 nm.
REFERENSI:
Asni, E., dkk. 2009. Pengaruh Hipoksia Berkelanjutan Terhadap Kadar Malondialdehid,
Glutation Tereduksi, dan Aktivitas Katalase Ginjal Tikus, Maj Kedokt Indon, 59(12): 595600.
McBride, J.M. dan Kraemer, W.J. 1999. Free Radical, Exercise, and Antioxidants. Journal of
Strength and Conditioning Research, 13(2): 175-183.
Nielsen, F., Mikkelsen, B.B., Nielsen, J.B., Andersen, H.R., dan Grandjean, P. 1997. Plasma
Malondialdehyde as Biomarker for Oxidative Stress: Reference Interval and Effect of Lifestyle Factors. Journal Clinical Chemistry, 43(7): 1209-1214.
Rahardjani, Kamilah Budi. 2010. Hubungan antara Malondialdehyde (MDA) dengan Hasil
Luaran Sepsis Neonatorum. Jurnal Sari Pediatri, 12(2): 82-87.
Wresdiyati, T., dkk. 2004. Pengaruh -Tokoferol Terhadap Profil Superoksida Dismutase dan
Malondialdehida pada Jaringan Hati Tikus di Bawah kondisi Stres, Jurnal Veteriner, 202209.
Yunus, Moch. 2001. Pengaruh Antioksidan Vitamin C Terhadap MDA Eritrosit Tikus Wistar
Akibat Latihan Anaerobik. Jurnal Pendidikan Jasmani, (1): 9-16.
Zainuri, M. dan Wanandi, S.I. 2012. Aktivitas Spesifik Manganase Superoxide Dismutase
(MnSOD) dan Katalase pada Hati Tikus yang Diinduksi Hipoksia Sistemik: Hubungannya
dengan Kerusakan Oksidatif. Jurnal Media Litbang Kesehatan, 22(2): 87-92.

Stres Oksidatif (Oxidative Stress)

Oleh: Heri Krisnawan, S.Or., S.Pd.


Stres oksidatif didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara
pro oksidan dan antioksidan di dalam tubuh (Powers dan Jackson, 2008: 1252). Lebih lanjut,
Yoshikawa dan Naito (2002: 271) mendefinisikan stres oksidatif sebagai suatu keadaan
dimana proses oksidasi melampaui sistem pertahanan antioksidan di dalam tubuh sehingga
terjadi ketidakseimbangan pada sistem tersebut. Finaud dkk (2006: 328) memperkuat
pernyataan tersebut dengan menjelaskan bahwa stres oksidatif dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan sistem pertahanan antioksidan di
dalam tubuh.
Istilah stres oksidatif juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
level Reactive Oxygen Spesies (ROS) (Paravicini dan Touyz, 2008: S170). Peningkatan
Reactive Oxygen Species (ROS) tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari metabolisme
oksigen, reperfusi oksigen saat kondisi hipoksia, oksidasi hemoglobin dan mioglobin, dan
lain-lain (Finaud dkk, 2006: 330-333). Dalam jumlah normal, Reactive Oxygen Spesies
(ROS) berperan pada berbagai proses fisiologis seperti sistem pertahanan, biosintesis
hormon, fertilisasi, dan sinyal seluler (Paravicini dan Touyz, 2008: S170). Reactive Oxygen
Species (ROS) juga berperan penting pada sistem kekebalan tubuh dengan melawan antigen
selama proses fagositosis (Finaud dkk, 2006: 333). Akan tetapi, peningkatan produksi
Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang dikenal dengan kondisi stres oksidatif memiliki
implikasi pada berbagai macam penyakit seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes, gagal
jantung, stroke, dan penyakit kronis lainnya (Paravicini dan Touyz, 2008: S170).
Stres oksidatif di dalam tubuh memiliki target kerusakan pada seluruh tipe biomolekul seperti
protein, lipid, dan DNA (Wahyuni dkk, 2008: 124), serta berperan pada proses penuaan dan

pemicu terjadinya beberapa penyakit seperti kanker dan penyakit Parkinson (Finaud dkk,
2006: 328). Stres oksidatif pada sistem biologis sering ditandai dengan beberapa parameter
meliputi: (1) peningkatan formasi radikal bebas dan oksidan lainnya, (2) penurunan
antioksidan, (3) ketidakseimbangan reaksi redoks pada sel, dan (4) kerusakan oksidatif pada
komponen-komponen sel seperti lemak, protein, dan DNA (Powers dan Jackson, 2008:
1252).
Terdapat beberapa macam senyawa yang dapat dijadikan sebagai indikasi terjadinya stres
oksidatif. Powers dan Jackson (2008: 1253) menyebutkan macam-macam senyawa yang
dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya stres oksidatif yaitu: (1) golongan oksidan
meliputi Superoxide anions, Hydroxyl radical, Hydrogen peroxide, dan Peroxynitrite, (2)
golongan antioksidan meliputi Glutathione, Ascorbate, Alpha-tocopherol, dan Total
antioxidant capacity, (3) golongan penyeimbang antioksidan/pro-oksidan meliputi
GSH/GSSH ratio, Cysteine redox state, dan Thiol/disulfide state, serta (4) golongan produk
oksidasi meliputi Protein carbonyls, Isoprostanes, Nitrotyrosine, 8-OH-dG, dan
Malondialdehyde (MDA).
REFERENSI:
Finaud, J., Lac, G., dan Filaire, E. 2006. Oxidative Stress, Relationship with Exercise and
Training. Journal Sports Med, 36(4): 327-358.
Paravicini, T.M. dan Touyz, R.M. 2008. NADPH Oxidase, Reactive Oxygen Species, and
Hypertention. Journal Diabetes Care, 31(2): S170-S180.
Powers, S.K. dan Jackson, M.J. 2008. Exercise-Induced Oxidative Stress: Cellular
Mechanisms and Impact on Muscle Force Production. Journal Physiol Rev, 88: 1243-1276.
Wahyuni, Asjari, S.R., dan Sadewa, A.H. 2008. Kajian Kemampuan Jus Buah Tomat
(Solanum lycopersicum) dalam Menghambat Peningkatan Kadar Malondialdehyde Plasma
Setelah Latihan Aerobik Tipe High Impact. Jurnal Kesehatan, 1(2): 123-132.
Yoshikawa, T. dan Naito, Y. 2002. What is Oxidative Stress?. Journal of the Japan Medical
Association, 45(7): 271-276.

Anda mungkin juga menyukai