Anda di halaman 1dari 11

⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪

⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪ untuk bersatu dalam bentuk hulul. Yaitu
pada saat seorang sufi telah menghilangkan sifat-siafat nasutnya melalui fana sehingga
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
Kata irfan berasal dari bahasa Arab ‫عرفان‬
ِ (pengetahuan yang banyak) yang
merupakan sifat musyabbahah berwazan fi’laan(‫ )ِفعلن‬dan memiliki arti yang sama
dengan kata ilmu (‫)العلم‬. Lafaz ‫ عرف‬memiliki 27 buah mustaqat (turunan kata) dan telah
disebutkan sebanyak 71 kali di dalam al-Qur’an. Sedangkan arif (jamaknya adalah
urafaa) adalah isim faa’il dari kata kerja arafa.
Kata irfan sebanding dengan kata mystic dan metodenya disebut dengan
mystisism/mistisisme. Kata mystic berasal dari bahasa Yunani yaitu mistikos yang berarti
perkara yang tersembunyi sedang dalam istilah berarti hubungan langsung pribadi dengan
Tuhan alam semesta melalui jalan syuhudi/penginderaan dan pengalaman spiritual batin
atau melalui jalan lain yang dapat memberikan hasil. Dengan kata lain, irfan adalah suatu
jalan berupa kepercayaan akan adanya kemungkinan untuk mencapai hakikat sesuatu
melalaui ilmu hudhuri (bersatunya sang aqil dengan ma’qul). Secara praktis, irfan dapat
diibaratkan sebagai peribadatan, mujahidah atau kemauan keras untuk menjalani
kezuhudan, latihan menyucikan diri dari segala kotoran atau dosa yang ada dan
mengarahkan diri kepada alam batin. Mungkin sulit bagi kita untuk mengetahui kapan
istilah irfan mulai digunakan di kalangan ulama Islam, tetapi dengan memperhatikan
pendapat Junaid Baghdadi (wafat thn. 298 Hijriah) yang menyatakan bahwa kata irfan
pernah digunakan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kata irfan mulai
digunakan pada abad ketiga hijriah.
Pada mulanya, mafhum irfan, ibadah dan zuhud belum mengalami perbedaan makna.
Namun secara perlahan-lahan, terjadi perbedaan makna antara ketiga kata ini. Setiap kata
arif, abid dan zahid memiliki makna khusus dan tersendiri. Berkaitan dengan perbedaan
antara ketiga kata ini, dalam kitabnya Isyarat, Syaikh Ra’is Abu Ali Sina berkata: “Zahid
adalah istilah khusus bagi orang yang menghindari dunia dan kelezatan-kelezatannya.
Orang yang menjaga dan selalu mawas diri dalam menekuni amal shaleh seperti sholat,
puasa dan lainnya disebut abid. Sedangkan orang yang berusaha keras dan mengerahkan
segala kemampuan dan pikirannya untuk menyucikan diri dan selalu berlindung pada
kebenaran disebut arif. Namun ketiga istilah ini terkadang dapat saling menyatu.”
Dengan demikian, makna irfan telah berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Terkadang irfan memiliki makna tersendiri dan terkadang semakna dengan tasawuf.
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪Ћ ⨪恨洀ୈୈୈ猄ୈୈୈ⨪앨윺㘀 脈㘀 Ћ ⨪ Ћᔗ 앨윺 ⨪앨윺㘀 脈㘀 Ћ ⨪ Ћ⨪
앨윺洀ୈୈୈ猄ୈୈୈᔔ 앨윺 ⨪ 앨윺洀ୈୈୈ猄ୈୈୈ⨪ 앨윺洀ᵈ猄ᵈ ᘎŨἎ 洀ᵈ猄ᵈ ᔔŨἎᘀŨἎ 洀ᵈ
猄ᵈ ᘎŨἎ 洀ैै猀ैै2ᘑᵨ  㘀脈㘀 ⨪ ᘑᵨ 洀ैै猀ैै2⨪⽨쁥洀ैै猀ैै2ᘎ睄
洀ैै猀ैै2ᘎ睄ᘀ脈ᘀ ⨪
⸀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪azid) fana.
Tentang teori emanasi (faidl). Dalam teori emanasi (pancaran, percikan,
pengaliran), Tuhan diibaratkan sebagai
sumb⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪ muhammad (Haqiqat
al-Muhammadiyah). Dari nur muhammad inilah segala sesuatunya termasuk manusia
tercipta.
Ajaran pokok
lainnya⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪洀ᵈ猄ᵈ ᘎ ⤷ 㘀脈㘀 Н ⨪
Нᘎ⤷洀ᵈ猄ᵈ ᔔ ੨ 㴷 ⨪ ੨ 㴷洀ᵈ猄ᵈ ⨪ ੨ 㴷洀ୈୈୈ猄ୈୈୈᔔ ੨ 㴷 ⨪ ੨ 㴷洀ୈୈୈ猄ୈୈୈ⨪ ੨
㴷ᘀ脈ᘀ Н ⨪ Н⨪ ੨ 㴷洀ᵈ猄ᵈ ⨪ 恨洀ᵈᵈ猄 ᘀ ᘀ ⨪ 恨㘀脈㘀 Ћ ⨪ Ћ⨪
ᘀ ᘀ ᔔ 恨⨪ 恨洀ᵈᵈ猄
恨洀ୈୈୈ猄ୈୈୈᔗ 恨⨪ 恨㘀脈㘀 Ћ ⨪ Ћᔔ 恨⨪ 恨洀ୈୈୈ猄ୈୈୈ
⬄㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀㘀
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪ang satu yaitu mengakui dan
menyembah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semua agama. Nama agama berbagai
macam, ada Islam,
Kriste⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪볅볅볅볅뇅ᘎ볅볅볅볅볅
얏 ᘎ鮏ᘀ
3ᔗ⤷㘀 ᘀᘀᘀ脈ᘀ Н ⨪ Нᔔ⤷㘀 ᘎᘎ洀ᵈ猄ᵈ ᔔ ੨ 㴷 ⨪ ᘎᘎ洀ᵈ猄ᵈ ᔔ ੨ 㴷 ⨪ ᘎᘎ洀ୈୈୈ
猄ୈୈୈ⨪ ᘀᘀᘀ脈ᘀ Н ⨪ Н⨪ ᘎᘎ洀ᵈ猄ᵈ ᔔ 恨⨪ ᘎᘎ洀ᵈ猄ᵈ ᔗ 恨⨪ ᘀᘀᘀ脈ᘀ Ћ ⨪ Ћᔔ
恨⨪ ᘎᘎ洀ୈୈୈ猄ୈୈୈ⨪ ᘀᘀᘀ脈ᘀ Ћ ⨪ Ћ⨪ ᘎᘎ洀ୈୈୈ猄ୈୈୈ⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪sekwensi logis dari faham hakikat
muhammadiyah, sebab nur Muhammad dikatakan sumber dari segala sesuatu
termasuklah petunjuk
ata⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪333333333333333333333333333
33333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333
333333333333333333333333333333⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪44444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444
444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪444444444444444444444444444444444444444
44444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444
444444444444444444⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
(44(444⨪ 4444444ᘀ4ˆ:<4絛蛜44 य़ 4Ŗ4વ 4ѷ͔ (4વ 4͔ѷ (44(444 (4વ 4ѷ͔ (44(444 耀
44
44
44
44
44
44
44
44
44
44
55
55
55
55
55
55
55
55
55
55
55
55
55
55⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪menginjak masa remaja. kemudian
pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w.
360 H/971
M).⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪hendak hati sudah menyatu
dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima
tanpa menentang
s⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪⨪
⨪⨪
2.1.4 Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami. Ia
lahir di Bustam bagian timur laut Persia pada tahun sekitar tahun 200 H (814M) Abu
Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di Bustham terletak di bagian
timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau merupakan
salah seorang Sulton Aulia, yang juga sebagai salah satu Syeikh yang ada dalam silsilah
dalam thoriqoh Sadziliyah dan beberapa thoriqoh yang lain. Kakek Abu Yazid
merupakan penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang
terkemuka di Bustham.
Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam
kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya
sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada didalam rahimku
memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”.
Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dianggap sebagai pembawa
faham al-fana’ dan al-baqa’ dan sekaligus pencetus faham al-ittihad. A.J.Arberry
menyebutnya sebagai first of the intoxicated sufis.
Fana terkadang diartikan sebagai suatu kondisi dimana tidak ada lagi perasaan,
ketergantungan dan keterkaitan dengan sesuatu selain Allah. Al-Kalabadzi, misalnya
mendefinisikannya sebagai berikut: “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang,
tidak ada pamrih dari segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar,
dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Antara fana dan baqa tidak dapat dipisahkan karena seperti yang dikatakan oleh Al-
Qusyairi: ”Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana
dari syahwatnya, ia baqa dalam niat dan keikhlasan ibadah. Barangsiapa yang hatinya
zuhud dari keduniaan maka ia sedang fana’ dari keinginannya, berarti pula sedang baqa
dalam ketulusan inabahnya”.
Fana Abu Yazid berarti hilangnya kesadaran terhadap segala sesuatu selain Allah.
Hal ini tergambar dari ucapannya ketika mencari-cari jalan untuk berada dihadirat Tuhan:
“Aku bermimpi melihat Tuhan. Akupun bertanya: “Tuhanku, apa jalan untuk sampai
kepada-Mu?” Ia menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah.”
Dengan fana ini8lah kemudian Abu Yazid sampai kepada faham al-ittihad. Ittihad
adalah suatu tingkatan di mana seorang sufi telah merasa bersatu dengan tuhannya, satu
tingkatan yang menunjukkan bahwa yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata, “Hai aku”.
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang
berpisah satu dengan yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud,
maka dalam ittihad dapat terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, atau
tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad identitas telah hilang, identitas telah
menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fananya tak mempunyai kesadaran lagi dan
berbicara atas nama Tuhan. Dalam kondisi ini seorang sufi telah “hancur” tidak berwujud
lagi yang ada hanyalah wujud Allah.
Keadaan seperti inilah yang membuat Abu Yazid mengeluarkan kata-kata yang
dilihat oleh taftazani sebagai berlebihan. Ucapan-ucapan tersebut seperti: Aku ini Allah,
tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku. “Betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. Katanya: “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular keluar dari
kulitnya, dan pandanganku terbuka dan ternyata sang pencipta, yang dicintadan cinta
adalah satu. Masih ada sejumlah ungkapan-ungkapan lain seperti ia mengatakan bahwa
dialah Arasy, dialah Kursi dan Luah al-Mahfuz. Ketika seorang yang bertanya kepada
Abu Yazid: “Adakah Abu Yazid di sini?” Ia menjawab: Adakah di sini selain Tuhan?”
Dari pernyataan-pernyataan Abu Yazid di atas dapat difahami bahwa ittihad, diri Abu
Yazid “hancur” dan yang ada hanya diri Allah. Di dalam ittihad yang dilihat hanya satu
wujud. Begitu menurut Harun Nasution.
Hanya perlu dicatat di sini bahwa Abu Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat
seseorang sanggup melakukan pekerjan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup
terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia
mengikuti perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at.

2.1.5 Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-
Baidawi, lahir di Tur, salah satu desa dekat Baida, Persia, pada tahun 244 H. (858 M). dia
meninggal karena dihukum bunuh pada tahun 309 H (921 M). neneknya, Muhammad,
adalah seorang pemeluk agama majusi sebelum memeluk agama islam. Sejak kecil, Al-
Hallaj sudah banyak bergaul dengan sufi terkenal. Ia pernah berguru dengan salah
seorang sufi terkenal, Sahl bin Abdullah al-Tusturi. Ia pernah hidup dalam pertapaan dari
tahun 873 M, sampai tahun 879M. Bersama-sama guru sufinya Al-Tusturi, ’Amr al-
Makki dan Junaid al-Bagdadi.
Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang
paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan mana yang
membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi
dengan alasan bid'ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang
manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu
nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum
sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin
bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman
batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu
menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah
akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan
tersebut.
Ada tiga ajaran pokok tasawuf Al-Hallaj: (1) hulul (2) haqiqah Muhammadiyah dan
(3) wahdan al-adyan. Menurut Al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar yaitu: lahut
(sifat ketuhanan) dan nasut (sifat kemanusian). Demikian juga manusia di samping
memiliki sifat nasut juga sifat lahut di dalam dirinya. Karena di dalam diri tuhan ada sifat
kemanusiaan dan di dalam diri manusia ada sifat ketuhananmaka keduanya mungkin
untuk bersatu dalam bentuk hulul. Yaitu pada saat seorang sufi telah menghilangkan
sifat-siafat nasutnya melalui fana sehingga yang tinggal hanyalah sifat lahut di dalam
dirinya. Pada saat itulah Tuhan mengambil tempat (hulul) di dalam diri seorang sufi
tersebut. Terjadilah persatuan antara roh Tuhan dan Roh manusia dalam tubuh manusia.
Tentang adanya sifat lahut (ketuhanan) di dalam diri manusia karena penciptaan
manusia adalah lahir dari dialog Tuhan dalam diriNya yang tanpa kata dan huruf di waktu
manusia belum diciptakan. Pada waktu itu, Allah melihat kepada zat-Nya sendiri dan Ia
pun cinta kepada Zatnya itu sebagai cinta yang tidak dapat disifatkan. Dan cinta inilah
yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari
yang tiada bentuki kopi dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Ada hadis
yang menerangkan bahwa ”Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-nya”.
Faham hulul Al-Hallaj ini menurut Taftazani merupakan perkembangan bentuk lain
dari faham al-ittihad Abu Yazid. Bagaimanapun, terdapat perbedaan di antara keduanya:
Dalam ittihad, diri Abu Yazid ”hancur” dan yang ada hanya diri Allah, sedang dalam
hulul diri Al-Hallaj tidak hancur. Di dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sedang
dalam hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Hal ini terlihat jelas dari perkataan Al-Hallaj yaitu:
”Saya adalah rahasia Yang Maha Bebar dan bukanlah Yang Maha Benar itu saya. Saya
hanya satu dari yang benar, maka bedakan antara kami”.
Ungkapan ini menunjukkan adanya dua wujud, yaitu roh manusia dan roh Tuhan
yang bercampur dalam diri manusia (Al-Hallaj). Ini berbeda dengan konsep ittihadnya
Abu Yazid di mana yang ada hanya Tuhan pada saat manusia (Abu Yazid) di mana yang
ada hanya Tuhan pada saat manusia (Abu Yazid) fana.
Tentang teori emanasi (faidl). Dalam teori emanasi (pancaran, percikan, pengaliran),
Tuhan diibaratkan sebagai sumber cahaya semisal matahari yang memancarkan
cahayanya ke seluruh penjuru. Dalam teori Al-Hallaj, pancaran pertama di namakan nur
muhammad (Haqiqat al-Muhammadiyah). Dari nur muhammad inilah segala sesuatunya
termasuk manusia tercipta.
Ajaran pokok lainnya dari Al-Hallaj adalah Wahdat al-Adyan. Menurut faham ini
bahwa hakikat semua agama adalah satu, karena semua mempunyai tujuan yang satu
yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semua agama. Nama
agama berbagai macam, ada Islam, Kristen, Yahudi, dan lain-lain, semuanya hanyalah
perbedaan nama, namun hakikatnya sama saja.
Faham seperti ini sebenarnya adalah konsekwensi logis dari faham hakikat
muhammadiyah, sebab nur Muhammad dikatakan sumber dari segala sesuatu
termasuklah petunjuk atau agama, karena itu tidak bisa dikataka berbeda antara satu
dengan yang lainnya.
2.1.6 Al-Sulami
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa
al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada
bulan Sya'ban 412 H/1012 M. Dia pakar hadits, guru para sufi,l dan pakar sejarah. Dia
seorang syeikh thariqah yang telah dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat
dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah
mewarisi ilmu tasawu dari ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-
Sulami menginjak masa remaja. kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya,
Abu 'Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M).
Menurut al-Sulami, manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas
(hurr: merdeka) dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak
Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang
sedikitpun (qana'ah). Dia juga berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir
adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan
oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian.
PEMIKIRAN
Manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari
selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja
yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah).
Karena ‫ فاينما تولوا فثم وجه الل‬, kemanapun engkau berpaling, disitulah wajah Allah (QS.
2:115).
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir
adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan
oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir,
yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.

CORAK PEMIKIRAN
al-Sulami mengambil beberapa tasawuf dari para syeikh yang masyhur, misalnya Ibn
Manazil (w. 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-
Luma' fi al-Tasawuf), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya, dari hal itu,
otomatis warna dan corak tasawuf al-Sulami sedikit banyak dipengaruhi oleh tasawuf
mereka.
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah SWT
(ma'rifah) yang tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan
pengejawantahan tasawuf teoritis. al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada
masa itu, terkenal sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa
dengannya yaitu dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah. Selain itu, dia juga terkenal
dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-biografi para sufi.
al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan
perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syeikh, serta bersifat pema'af.

KARYA-KARYA AL-SULAMI
Diantara karya-karyanya, yaitu :[10]
a. Adab al-Mutasawwafah
b. Thabaqah al-Sufiyun
c. Risalah al-Malamatiyyah
d. Ghalathah al-Sufiyah
e. al-Futuwwa
f. Adab al-Suhba wa Husn al-'Ushra
g. al-Sama'
h. al-Arba'in fi al-Hadith
i. al-Farq Bayna al-Syari'ah wa al-Haqiqah
j. Jawami' Adab al-Sufiyah
k. Manahij al-'Irfan
l. Maqamat al-Awliya'
m. al-Ikhwah wa al-Akhawat min al-Sufiyah
n. dan lain-lain

⨪⨪⨪
[

Anda mungkin juga menyukai