Anda di halaman 1dari 10

STUDI KASUS FARMAKOLOGI VETERINER

BABESIOSIS PADA SAPI JANTAN

Disusun oleh:
Widya Puspitaningsih

115130100111003

Farid Abdurrahman

115130100111004

Novryzal Dian Abadi

115130100111007

Karina Grace D

115130100111008

Wahyu Eri Setyawan

115130100111017

Shintany Rochmatil W

115130101111003

Dhita Duhita H

115130101111013

Dini Enggal R L

115130101111015

Aryantomo Arsyad

115130101111018

Yumeida Noor Ilma

115130101111020

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas kehendak-Nya makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik. Terimakasih kami ucapkan

kepada dosen pengampu

Farmakologi Veteriner selaku pihak yang membebankan tugas dan pihak-pihak lain yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Makalah ini berisi tentang Babesiosis yang didefinisikan sebagai penyakit yang
disebabkan oleh parasit yang menyerang darah. Penyakit ini umum terjadi pada peternakan
sapi di seluruh dunia. Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak (Boophilus sp.) disebut
juga tick fever atau red water.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak ditemukan kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini.

Malang, 13 Mei 2013


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit darah yang penyebarannya

meluas di dunia. Parasit ini bersifat intraerythrocytic dan sering disebut piroplasmosis,
bentuknya seperti buah pir (the pear shaped from) di dalam Butir Darah Merah yang
terinfeksi. Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak (Boophilus sp.) disebut juga tick fever
atau red water.
Babesiosis adalah salah satu penyakit yang dapat terbawa oleh sapi impor. Babesiosis
pada sapi termasuk dalam Hama Penyakit Hewan Karantina Golongan II (Peraturan Menteri
Pertanian No. 110/Kpts/TN.530/2/2006 tentang penggolongan jenis-jenis hama penyakit
hewan karantina) yaitu jenis penyakit yang sudah diketahui cara penanganannya dan telah
dinyatakan ada di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.

Babesiosis berasal dari nama dari Victor Babes yang pertama kali mengidentifikasi
protozoa pada Butir Darah Merah pada tahun 1888. Babes menemukan protozoa intra
eritrosit pada sapi yang mengalami haemoglobinuria pada tahun 1893. Smith dan Killbourne
pada tahun 1893 menemukan protozoa tersebut ditularkan oleh caplak dan merupakan
penyebab Texas cattle fever. Pada tahun 1957 terjadi kasus pertama babesiosis pada manusia
yaitu peternak sapi di Yugoslovakia. Kasus pertama yang dilaporkan di Amerika yaitu di
Massachussettes tahun 1969 (Cunha dan Barnett 2006), ditemukan infeksi Babesia microti
pada manusia di kepulauan Nantucket (Massachusetts, Amerika Serikat). Kejadian babesiosis
di Amerika sesuai dengan tempat penyebaran caplak (tick) yaitu arthropoda pengisap darah
yang endemis di daerah tersebut, serta di sebelah selatan Connecticutt, juga pernah
dilaporkan dari Wisconsin dan Minnessota. Caplak biasanya menghisap darah rusa, manusia
atau hewan lain, caplak ini menularkan parasit Babesia selanjutnya akan memasuki Butir
Darah Merah (intraerythrocytic protozoa) seperti parasit malaria (Lubis 2006).
1.2

Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui diagnosis, tujuan terapi,

terapi seperti advice, non drug, drug, dan rujukan terhadap babesiosis pada sapi jantan.

1.3

Rumusan Masalah
- Bagaimana diagnosis dari babesiosis pada sapi jantan?
- Bagaimana tujuan terapi dari babesiosis pada sapi jantan?
- Bagaimana advice babesiosis pada sapi jantan?
- Apa saja terapi non drug dari babesiosis pada sapi jantan?
- Apa saja terapi drug dari babesiosis pada sapi jantan?
- Bagaimana rujukan untuk babesiosis pada sapi jantan?

BAB II
PEMBAHASAN
Kasus
Seekor sapi jantan berat badan 600 kg di peternakan milik Bapak Unggul dilaporkan
mengalami kencing berdarah. drh. Putri datang utk memeriksanya. Dari anamnesis diketahui
bahwa sapi sudah 2 minggu sulit makan, dan seminggu yang lalu sapi mulai sering melenguh.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh tinggi yang menunjukkan sapi demam, mukosa
mata dan mulut tampak kekuningan (ikhterus) dan pucat, serta ditemukan adanya infestasi
caplak yang relatif banyak pada kulit punggung dan lehernya. Hasil pemeriksaan darah
menunjukkan sapi tersebut positif terinfeksi Babesia.

Pembahasan
1. Menentukan masalah/diagnosis
Dari anamnesis diketahui bahwa sapi sudah 2 minggu sulit makan, dan seminggu
yang lalu sapi mulai sering melenguh. Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh tinggi
yang menunjukkan sapi demam, mukosa mata dan mulut tampak kekuningan (ikhterus) dan
pucat, serta ditemukan adanya infestasi caplak yang relatif banyak pada kulit punggung dan
lehernya. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan sapi tersebut positif terinfeksi Babesia.
Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit darah yang penyebarannya
meluas di dunia. Parasit ini bersifat intraerythrocytic dan sering disebut piroplasmosis,
bentuknya seperti buah pir (the pear shaped from) di dalam butir darah merah yang terinfeksi.
Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak (Boophilus sp.) disebut juga tick fever atau red
water.
2. Menentukan Tujuan
Tujuan pengobatan adalah mengurangi efek peradangan, mengurangi/membunuh
protozoa penyebab babesiosis, dan mengurangi manifestasi luka.

3. Advice
Kontrol terhadap babesiosis yaitu dengan kombinasi antara kontrol terhadap penyakit
dan vektor caplak. Kontrol terhadap caplak dilakukan dengan spray dan dipping yang banyak
dilakukan di area endemik. Akarisida yang digunakan seperti komponen pyrethoids, amitraz,
dan beberapa organophospate. Dipping yang dilakukan pada area terinfeksi berat periodik 4-6
minggu sekali. Pencegahan paling efektif menghindari kemungkinan digigit, kontak dengan
tungau, misalnya menggunakan obat insektisida gosok (repelant)
Vaksin terhadap babesiosis juga dapat digunakan dan efektivitasnya cukup tinggi.
Vaksinasi menggunakan parasit hidup yang dilemahkan berhasil dilakukan pada beberapa
negara seperti Argentina, Brazil, Israel, Afrika Selatan, dan Uruguay. Selain divaksinasi, juga
dilakukan pemberantasan jenis caplak yang yang bertindak sebagai vector dari parasite ini.

4. Non drug
5. Drug
Pengobatan terhadap babesiosis biasanya bertujuan mengurangi atau menghilangkan
gejala-gejala klinis penyakitnya. Beberapa campuran sangat khas dan efektif sehingga infeksi
dapat dibasmi dengan satu dosis tunggal saja. Tetapi cara ini tidak dapat membasmi kejadian
infeksi di daerah endemic yang banyak terdap caplak, sehingga penyebaran babesiosis oleh
caplak dapat terjadi berulang-ulang. Beberapa obat efektif yang tersedia dan dapat dipakai
untuk pengobatan terhadap babesiosis adalah sebagai berikut :
NO
1

OBAT

DOSIS dan APLIKASI

Zat warna
a. Trypan blue

Larutan 1%, disuntikkan 100-200 ml secara iv

b. Acriflavin

Larutan 5% dalam air, disuntikkan 20 ml/hewan, iv


5% dalam citrate, disuntikkan im

c. Euflavin

Larutan 5%, disuntikkan 4 8 ml/100 kg bb iv

d. Trypaflavin

Larutan 2%, disuntikkan 0,8 1,4/dewasa


Larutan 2%, disuntikkan 0,25 0,5/anak

Sediaan Quinolyl

Larutan 5%, disuntikkan 2,2 ml/kg bb secara iv atau


sc

Acaprin
(Babesan,Lu
dobal, Pirevan, Zothe
lone)
3

Diamidin aromatik
a. Phenamidine dan

Larutan 40%, disuntikkan mak. 13,5 mg/kg bb sc

Phentamidine
b. Berenil (ganaseg)

3,5 mg/kg bb im atau sc

c. Amicarbalide

Larutan 50%, disuntikkan 10 mg/kg bb

(Diampron)
d. Imidocarb
(Imizol)

Larutan 4,6%, disuntukkan 1 mg/kg bb (babesia


bovis)
0,4 mg/kg bb (untuk babesia bigemina), 3,5 mg/kg
bb ( Anaplasma marginale) im atau sc. 5 6,6
mg/kg (untuk anjing) sc atau im dengan interval 2
3 minggu

Antibiotika
Tetracycline

11 mg/kg bb im, sc atau iv

Klindamisin

........ (medicastore)

Obat-obat lain
-

Haemosporidin

Novoplasmin

Thiargen

Sulfantrol

Dithiosemicarzone
(gloxazone)

Dimenazene
aceturate

Larutan 2%, 0,25 ml/kg bb

Larutan 10%, disuntikkan 0,1 ml/kg bb

5 mg/kg im

Bahan obat tradisionalSecara in vitro, 1 g/ml, 10 g/ml, 100 g/ml dan 1000
Meniran (Phillantus spp) g/ml berpengaruh terhadap perkembangan Babesia
canis.

Trypan blue, terdiri dari garam natrium dari ditolyl diazo-bis-B-amino-naphtol-3,6disulfonic acid. Suntikan intra vena Trypan blue dengan kadar 2 - 3 mg/kg bb bisa secara
efektif membasmi Babesia. Efek samping obat ini ialah perubahan warna pada kulit hewan.
Oleh karena itu obat ini jarang dipakai.
Derivat-derivat Quinolin, antara lain Acaprin,

Babesan, Pirevan, Piroparv,

Piroplasmin, Acapron, Zothelon, terdiri dari 6,6-di-(N-methyl quinolyl) urea dimethosulfate


(Levine, 1961). Yang terkenal diantaranya ialah Acaprin. Acaprin sangat efektif terhadap
Babesia, dalam jumlah besar obat-obat ini toksik, sehingga dosis yang tepat sangat diperlukan
dalam pengobatan. Dianjurkan dosis yang dipakai adalah 1 mg/kg bb dengan cara pemberian
subkutan.
Derivat-derivat Acridine, misalnya Acriflavin, Trypaflavin, Gonacrin, Flavin,
Euflavin. Derivat ini adalah campuran dari 2, 8-diamino -10-methyl acridinium chlorida,
dengan sejumlah kecil dari 2, 8-diamino acridinium chlorida (Levine, 1961). Pemberian
dilakukan dengan cara intra vena dalam larutan 5% dengan dosis 15-20 ml setiap ekor hewan.
Derivat-derivat
Propamidine

Diamidine,

(4,4'diamidino-

misalnya

Stilbamidine

l,3-diphenoxyprophane),

(4,4'-diaminostilbene),

Pentamidine

(iomidine;

4,4'-

diamidino-l,3-diphenoxy-phenoxypentane), Phenamidine' (4,4' diamidino diphenyl ether),


Berenil (4,4' diamidino diazominobenzene diaceturate), Diampron (amicarbalide) (Levine,
1961). Yang terkenal diantaranya adalah Diampron dan Berenil. Obat ini sangat efektif dan
aman dipakai terhadap Babesia bovis. Diampron diberikan secara intra muscular dengan
dosis 5 - 10 mg/kg bb, Berenil juga diberikan secara intra muscular dengan dosis 3 - 5 mg/kg
bb. Batas keamanan yang dimiliki oleh obat-obat ini tinggi, sehingga dosis yang dipakai
dapat disesuaikan dengan respon klinis dan keadaan infeksi.
Imidocarb 3,3'-bis-(2-imidazolin-2) carbanilide disproprionate, diharapkan dapat
dipakai untuk pengobatan babesiosis pada sapi. Obat ini telah dicoba dan berhasil untuk
mencegah infeksi oleh Babesia bigemina dan Babesia bovis selama masa peredarannya
daram darah hewan terinfeksi. Imidocarb dengan dosis 5 mg/kg. Obat ini akan memusnahkan
parasit secara menyeluruh dari tuan rumah, akan tetapi terapi ini juga akan meninggalkan
aktifitas residu yang mengganggu.
Amicarbalide merupakan pilihan obat yang terbaik untuk ternak jenis sapi. Pada
penggunaanya diminazene aceturate diberikan secara intramuscular dengan dosis 3-5mg/kg
berat badan, amicarbalide diberikan secara intramuscular 5-10mg/kg berat badan, imidocarb
diberikan secara intramuscular dengan dosis 1-3mg/kg berat badan.

Salah satu obat yang juga dapat diberikan yaitu Tryponil. Komposisi setiap 2,36 gram
Tryponil mengandung Diminazene aceturate 1,05 g dan Phenazone 1,31 g. Diminazene
aceturate termasuk obat kelompok diamidin aromatik yang aktif terhadap parasit darah
Trypanosoma (Surra) dan Piroplasma (Babesia dan Theileria). Bekerja dengan cara
mengganggu proses glikolisis aerob (pemecahan gula) yang berguna dalam sintesis DNA
parasit. Phenazone termasuk kelompok obat analgesik, antipiretik dan antiinflamasi.
Kombinasi dengan phenazone bertujuan untuk terapi simtomatis mengurangi rasa sakit,
deman dan radang akibat penyakit parasit darah dan kemungkinan reaksi post injeksi.
Pemberian secara sub kutan atau intramuskular: Cara melarutkan obat : 1 sachet dilarutkan
dalam 15 ml aqua pro injeksi. Suntikkan 1 ml larutan obat per 20 kg berat badan. Jadi 1
sachet untuk 300 kg berat badan. Kontra indikasinya yaitu emberian pada hewan yang
hipersensitif terhadap diminazene aceturate dan/atau phenazone dan pemberian pada hewan
dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.

Penentuan P-drug

Dipilih jenis obat .... dan sediaan obat .... karena bersifat sebagai ...., bekerja dengan .....
Dosis .....

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Ashadi,Gatut dan Handayani, Sri Hutami.1992. Protozoologi Veteriner 1. Bogor: IPB

Donald C. Plumb, Pharm.D.1999. Veterinary Drug Handbook Third Edition, CD-ROM


Cunha

BA,

Barnett

B.

2006.

Babesiosis.

Emedicine

from

WebMDD.

http://www.emedicine.com/Babesiosis [27 November 2007].


Levine Norman D. 1985. Protoozoology Veteriner. Iowa: Iowa State University Press
Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152:27-29.

Anda mungkin juga menyukai