CBD Rhinitis Dr. Bambang
CBD Rhinitis Dr. Bambang
RINITIS ALERGI
DOKTER PEMBIMBING :
dr. Sondang BRS, Sp. THT, MARS
OLEH :
Jessie Widyasari
(2005730037)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus
yang berjudul Rinitis Alergi.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. Sondang BRS,
Sp.THT, MARS, selaku konsultan dibagian THT di RSUD Cianjur dan rekanrekan yang telah membantu penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih
banyak terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan
makalah selanjutnya.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi
para pembaca.
Cianjur, Juli
2010
Penulis,
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama
: EA
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 19 tahun
Alamat
: Ciranjang
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Tanggal berobat
: 12/07/2010
2.2 Anamnesis
Keluhan utama
Hidung meler sejak 6 tahun ini
Keluhan tambahan
Bersin-bersin, pusing, mata sakit dan berair
Riwayat penyakit sekarang
Seorang wanita (19 tahun) datang ke RSUD Cianjur, dengan keluhan
hidung meler sejak 6 tahun ini terutama pada saat pagi dan malam hari atau
cuaca dingin. Pasien sering mengalami kejadian ini berulang-ulang kali. Hidung
kadang terasa sakit, bersin-bersin, kepala pusing dan mata menjadi berair.
Riwayat penyakit dahulu
Ketika kecil, pasien pernah alergi terhadap debu dan kulit menjadi
merah-merah dan gatal.
Riwayat keluarga
Ayah pasien menderita asma.
Riwayat pengobatan
Pasien berobat ke dokter umum, minum obat namun tidak sembuh juga.
KU
: Sakit ringan
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
- Nadi
: 84 x/menit
- Pernapasan
: 20 x/menit
- Suhu
: afebris
- TD
: 110 / 70 mmHg
Status Generalis
Kepala
Mata
Leher
Toraks :
: status lokalis
: status lokalis
Abdomen
Inspeksi
: Supel
Palpasi
o
Hepar
: Tidak teraba
Splen
: Tidak teraba
Ballotement
:-/-
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: BU (+) N
Ekstremitas
Atas : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/Bawah : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-
CAE
MT
RA
: Tenang
: Negatif
Mukosa
Konkha
Septum Nasi
: Lurus
Pasase Udara
:+/+
Massa
:-/-
Kavum Nasi
Nasofaring / Orofaring
Mukosa
Tonsil
perlengketan -/
Gigi
Transiluminasi
Hitung eusinofil
Prick test
Diagnosa Kerja
Rhinitis alergi
Penatalaksanaan
Non farmakologis
Hindari alergen
Olah raga
Menggunakan masker
Farmakologis
Antibiotik
Antihistamin
Denkongestan
Kortikosteroid
Imunomodulator
Prognosis
Quo Ad Vitam
: bonam
Quo Ad Functionam
: bonam
Quo Ad Sanantionam
: bonam
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI, DAN FISIOLOGI HIDUNG
dan
lubang
belakang
disebut
nares
posterior
(koana)
yang
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
10
bagian
depan
septum
terdapat
anastomosis
dari
cabang-cabang
11
12
13
14
d. INDRA PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
e. RESONANSI SUARA
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
f. PROSES BICARA
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.
g. REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
15
16
BAB III
PEMBAHASAN
Definisi
Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau
menyertai campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti pertusi.
Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Rinitis
alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa digolongkan dalam
rhinitis kronik. Rinitis kronik dapat berlanjut menjadi sinusitis. Salah satu
bentuk rhinitis kronis adalah rhinitis atropi yang diduga disebabkan oleh
kuman Kliebsiella ozaena atau akibat sinusits kronis, defisiensi vitamin A.
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut.
Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung
setelah mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung
tersumbat.
Etiologi
17
2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis.
Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar
termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida.
Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih
jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
18
19
Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
20
21
3.5 Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
22
3.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai
23
oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala
persisten,
mukosa
inferior
tampak
hipertrofi.
Pemeriksaan
yang
tinggi,
sehingga
akan
menyebabkan
gangguan
pula
pemeriksaan
IgE
total
(prist-paper
radio
24
Ditemukannya
eosinofil
dalam
jumlah
banyak
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi
dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi
dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.
25
26
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
3.8 Penatalaksanaan
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal
antara lain:
1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun
demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan
dengan adanya efek samping sistemik.
Jenis obat yang sering digunakan (untuk Anak):
1. Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4
kali/hari
2. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
3. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
27
8. Leukotrien antagonis
28
satu atau sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini telah direkomendasi oleh
JTFPP (Joint Task Force on Practice Parameters) yang mewakili the AAAAI, the
ACAAI, dan JCAAI) yang merupakan 3 perhimpunan Alergi Immunologi
terkemuka di dunia. JTFPP mengakui bahwa TIAS merupakan satu-satunya
pengobatan antigen-specific immuno-modulatory pada penggunaan rutin, dan
diakui memiliki manfaat jangka panjang dalam menurunkan gejala rinitis alergi
dan kualitas hidup pasien sampai 2-5 tahun setelah dihentikan.
Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2 dalam lebih
meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga meningkatkan
kadar IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja IgE in vitro. TIAS
menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10 dan TGFmemiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan eosinofil. Kedua sitokin
tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk IgG4. dan IgA.
Sesuai dengan anjuran ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, derajat mildpersistent atau moderate-severe persistent, terhadap alergen debu rumah dan atau
tungau Dpt, maupun serbuk - serbuk bunga, yang mengalami kegagalan oleh
pengobatan medikamentosa dan telah bergejala lebih dari setahun, perlu
dianjurkan untuk menjalani TIAS. TIAS harus dikerjakan oleh tenaga kesehatan
yang kompeten.
Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3
macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok
29
rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap), karena
mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif
mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat.
Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan
lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil,
mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan
migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GMCSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di
mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis
dan apoptosis eosinofil 1.
Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British
Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik
digunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi
keamanan dan cost-effective-nya.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada
penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.
Dekongestan
Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan
cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja
dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah
rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Yang
terakhir jarang terjadi. Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis medikamentosa)
dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang.
31
Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6
jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah
tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing
melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.
Penstabil Sel Mast
Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif
mengontrol gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya, efek
terapi tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini bekerja
dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion
kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Kelemahan lain adalah
frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga mempengaruhi
kepatuhan pasien.
Immunoterapi
Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis adalah dengan
cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam
peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab
merupakan antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE
dalam darah.
Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE
bebas dan memperbaiki gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis
omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.
Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan,
immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4+.
Dengan demikian, produksi IgE pun akan berkurang.
32
Fototerapi
Alternatif terbaru yang ditawarkan bagi penderita rinitis yang tidak
mendapat respon perbaikan dengan terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu
dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti dikutip dalam Journal of Allergy and
Clinical Immunology 2005.
Ide ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada
beberapa penyakit kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis
limfosit T. Penelitian ini membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan
cahaya tampak intensitas rendah (low-intensity visible light) dalam mengurangi
gejala rinitis. Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3
minggu. Dosis inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2
setiap 3 kali pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan
sebesar 0,06 J/cm2.
Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah
eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar
ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah.
Menghindari Alergen
Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan
menghindari alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit diterapkan. Ada 3 tipe
pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier.
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal
yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan
maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan makanan
padat sehingga pemberian ASI lebih lama. Pencegahan sekunder adalah mencegah
33
34
3.9 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah :
-
Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan
salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan
kekambuhan polip hidung.
Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis
alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
2. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan.
McGrawl-Hill. 2003.
4. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi ke
dua. Thieme. New York:1994.
5. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck SurgeryOtolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins.
Philadelphia. 273-9. 2000.
6. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis, Clinical
Aspecst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
7. Krouse, John H. Chadwick, Stephen J. Gordon, Bruce R. Derebery, M. Jennifer.
Allergy
and
Immunology,
An
Otolaryngic
Approach.
Lippincott
36