Hiv Aids Dalam Kehamilan Penatalaksanaannya Who 2013
Hiv Aids Dalam Kehamilan Penatalaksanaannya Who 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
REFERAT
SEPTEMBER 2013
Oleh :
Indah Triayu Irianti
Pembimbing :
dr. Naomi Pongtasik
Supervisor :
dr. Eddy Tiro, Sp.OG (K)
PENDAHULUAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi
masalah AIDS, memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada
Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang
terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara
bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara,
krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain
HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan
dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV.
hari.3 Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang
dari 5% melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu
ke anak atau yang dikenal dengan PMTCT (Prevention Mother to Child
Transmission), termasuk terapi ARV (antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak
yang baru lahir. PMTCT dimulai selama ANC (antenatal care), ketika wanita
melakukan tes HIV dan menerima hasilnya bahwa dia positif HIV.
Rekomendasi di bagian sub-Sahara Afrika adalah terapi ARV diberikan pada
wanita selama kehamilan, saat persalinan, dan selama masa nifas atau
sementara pemberian ASI eksklusif. Bayi juga harus menjalani tes HIV
secara berkala dan minum obat untuk mencegah penularan virus sementara
ia disusui.2
PMTCT dapat mengurangi risiko penularan vertikal HIV menjadi
kurang dari 1%. Penularan HIV dari ibu ke bayi hampir lenyap di Amerika
Serikat dan Eropa, tetapi terus menjadi masalah besar yang tak terkendali di
negara-negara Afrika. Pemanfaatan PMTCT di sub-Sahara Afrika telah
meningkat secara signifikan selama dekade terakhir, tetapi masih jauh dari
yang diharapkan. Pada tahun 2003, hanya 3% dari ibu hamil yang HIV-positif
di wilayah ini dimanfaatkan untuk melakukan PMTCT. Persentase ini
meningkat drastis menjadi 33% pada tahun 2007 dan 53% pada tahun 2010.
Sayangnya, ini masih menyisakan sekitar setengah dari semua perempuan
hamil yang HIV-positif tidak memanfaatkan PMTCT, menempatkan mereka
pada risiko tinggi untuk menularkan virus kepada bayi mereka.
II.
EPIDEMIOLOGI
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat kontak cairan tubuh yang
sebenarnya.
Departemen
Kesehatan
RI
pada
tahun
2002
ODHA yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa
muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pengguna narkotika suntik
mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV yang dapat menular
melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara
bersamaan dan berulang yang lazim dilakukan oleh pengguna narkotika.
Survei yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan
peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang
menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi
40,8 pada tahun 2000, dan 47,9 pada tahun 2001. Bahkan suatu survei di
sebuah kelurahan di Jakarta Pusat dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu
menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV. 1
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan
sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada masyarakat
umum. Jika pada tahun 1990 belum ditemukan darah donor di Palang Merah
Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka pada periode selanjutnya
ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya makin lama makin meningkat.
Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002%
pada periode 1992/1993, 0,003% pada periode 1994/1995, 0,004% pada
periode 1998/1999 dan 0,016% pada tahun 2000. Survei yang dilakukan
pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB, puskesmas dan rumah sakit
di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil
dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata terinfeksi HIV. 1
Mortalitas maternal pada penderita HIV/AIDS dihubungkan oleh
berbagai keadaan, yaitu hampir setengah dari 42 juta orang hidup dengan
HIV adalah wanita dengan usia reproduksi. Selain itu, lebih dari 2 juta yang
terinfeksi HIV adalah wanita hamil, lebih dari 90% dari mereka terdapat di
negara berkembang, sementara 600.000 wanita meninggal di awal tahun
karena komplikasi dari kehamilan dan persalinan. 4 Infeksi HIV pada wanita
III.
DEFINISI
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit
IV.
ETIOLOGI
Penyebab AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah
sejenis virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Ini adalah
suatu virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang
termasuk retrovirus dari family Lentiviridae. Strukturnya terdiri dari lapisan
luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp 120 yang melekat pada
glikoprotein gp 4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari
protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p 24.
Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan
enzim reverse transcriptase.7
Dikenal dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), dimana virus ini pertama kali
diisolasi oleh Luc M4ontagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun
1983. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang
tersering, penyebarannya lebih luas di hampir di seluruh dunia,sedangkan
HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika barat dan Portugal dahulu
dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus tipe III (HTLV-III),
lymphadenophaty associated virus (LAV) dan AIDS associated virus. HIV 2
lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Immunodeficiency
Virus), antara HIV 1 dan HIV 2 intinya mirip , tetapi selubungnya berbeda. 7
Genom HIV mengkode sembilan protein yang esensial untuk setiap
aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur genom, virus-virus memiliki
perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1,Vpu, yang membantu pelepasan virus,
V.
PATOGENESIS
Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus
kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar
getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridasi in
situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari
setelah infeksi.1
Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah
bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26. Jumlah sel yang
mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat
dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik.
Insiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8.
Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8
menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada
pada keadaan steady state beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini
bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat
bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan
demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas
kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.1
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus
telah menurun sampai ke level steady state. Walaupun antibodi ini
umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus,
namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari
netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada envelopnya,
termasuk
kemampuannya
mengubah
situs
glikosilasinya,
akibatnya
10
10
6. RNA virus baru dan protein pindah ke permukaan sel yang baru dan
masih imatur, terbentuklah virus HIV baru.
7. Virus matang oleh enzim protease HIV dan melepaskan protein individu.
11
tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan
dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah
infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV muncul
dalam 6 bulan setelah terinfeksi. 8
Produksi immunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4, dimana sel limfosit
T CD4 diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-2 yang membantu merangsang sel B untuk
membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma ini kemudian
menghasilkan
immunoglobulin
yang
spesifik
untuk
antigen
yang
12
limfosit CD4, gambaran utama pada infeksi HIV tetaplah deplesi sel-sel
tersebut. Deplesi limfosit CD4 tersebut bervariasi di antara para pengidap
infeksi HIV. Sebagian faktor yang mempengaruhinya adalah fungsi sistem
imun pejamu (misalnya : penyakit kongenital, metabolik, defisiensi gizi) atau
perbedaan strain virus.8
VI.
13
kurangnya manifestasi infeksi HIV-1 pada kelahiran dan temuan bahwa HLV1 terdeteksi pada minggu pertama kehidupan. Virus terdeteksi dalam waktu
48 jam setelah lahir, keadaan ini dianggap bayi telah terinfeksi selama
kehamilan. Sedangkan infeksi intrapartum diasumsikan jika studi virus negatif
selama minggu pertama kehidupan, namun akan menjadi positif antara 7 dan
90 hari kemudian. 11
Tabel 5.1 Faktor Yang Mempengaruhi Transmisi HIV dari Ibu ke Janin.
VIRUS
11
MATERNAL
OBSTETRI
FETAL
Prematuritas
BAYI
Menyusui
Faktor traktus gastrointestinal
Sistem immun immature
1.
FAKTOR VIRUS
Transmisi penularan virus HIV meningkat dengan adanya peningkatan
14
sebuah
studi
Prancis,
tingkat
penularan
meningkat
dengan
meningkatnya viral load yaitu 12% pada mereka yang mempunyai jumlah
viral load kurang dari 1000 RNA/ ml dibandingkan dengan 29% pada mereka
dengan yang mempunyai jumlah viral load >10.000 RNA/ml. Viral load lokal
dalam sekresi cairan serviko-vaginal dan dalam ASI juga penting dalam
penentu risiko intrapartum dan menyusui.11
Adanya penyakit menular seksual, peradangan, kekurangan respon
imun lokal dapat mempengaruhi virus. Transmisi pasca kelahiran dikaitkan
dengan kehadiran virus HIV-1 yang terinfeksi dalam ASI. Pemberian ART
pada ibu selama kehamilan diperkirakan dapat mengurangi penularan virus,
ditandai dengan pengurangan viral load, meskipun mekanismenya mungkin
juga termasuk post-exposure prophylaxis pada anak setelah lahir, seperti
penggunaan AZT telah terbukti dapat mengurangi penularan. ART mungkin
lebih efektif dalam mencegah penularan.11
Sejumlah sub tipe HIV-1 atau kelompok clade telah di identifikasi,
dengan perbedaan distribusi geografis. Terdapat sedikit bukti tentang
pengaruh sub tipe pada infeksi atau transmisi, meskipun beberapa penelitian
telah menunjukkan peningkatan kemampuan in vitro dari sub tipe E untuk
menginfeksi sel epitel dari vagina dan leher rahim. Sub tipe dapat
mempengaruhi sel tropisme virus, dan pada gilirannya dapat mempengaruhi
infektifitas melalui rahim ataupun melalui infeksi genital atau dalam ASI.
Kebanyakan penelitian tentang varian virus pada ibu dan anak-anak telah
menunjukkan bahwa strain di bayi adalah bagian dari virus ibu. Fenotip virus
yang berbeda menunjukkan perbedaan tropisme jaringan. Makrofag tropik
15
non syncytium inducing (NSI) muncul dan diwariskan kepada anak ataupun
cucu ketika strain ibu yang dominan adalah syncytium inducing. 11
2.
FAKTOR MATERNAL
Pemaparan berulang terhadap strain virus yang berbeda melalui
tetapi
keprihatinan
telah
diungkapkan
bahwa
kemungkinan
16
17
3. FAKTOR OBSTETRI
Mayoritas penularan dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan, faktor
obstetrik merupakan penentu penting penularan. Mekanisme yang terjadi
pada saat intrapartum adalah kontak kulit secara langsung, yaitu kontak
antara selaput lendir bayi dan ibu melalui sekresi cairan serviko-vaginal
selama persalinan. HIV-1 yang terdapat dalam cairan sekresi serviko-vaginal
akan meningkat empat kali lipat selama kehamilan. Semakin tinggi tingkat
infeksi pada anak kembar sulung mungkin karena pemaparan yang lama oleh
sekresi cairan serviko-vaginal. Dalam penelitian kohort menyatakan bahwa
kelahiran prematur, perdarahan intrapartum dan prosedur persalinan terkait
dengan risiko penularan. Faktor-faktor lain seperti tindakan episiotomi dan
persalinan operatif telah terlibat dalam beberapa studi.11
Pecahnya ketuban dalam waktu yang lama telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko penularan pada sejumlah penelitian dan merupakan faktor
risiko yang penting. Dalam studi di Amerika, durasi pecahnya ketuban lebih
dari empat jam hampir dua kali lipat terjadinya risiko infeksi. Persalinan
melalui operasi sesaria elektif dapat menyebabkan tingkat transmisi kurang
dari 1%. 11
4. FAKTOR JANIN
Faktor genetik janin mungkin memainkan peran dalam transmisi. Sedikit
yang belum mengetahui tentang peran faktor-faktor genetik seperti delesi
18
CCR-5 delta 32 dan HLA kompatibilitas ibu dan bayi dalam penentuan risiko
penularan. Kesesuaian HLA
11
VII.1
orang
dengan
11
HIV-positif
tidak
memperlihatkan
gejala. Seringkali orang hanya mulai merasa sakit ketika masuk pada
periode AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Kadang-kadang
orang hidup dengan HIV melalui periode sakit dan kemudian merasa baikbaik saja.12
Sementara virus itu sendiri kadang-kadang dapat menyebabkan orang
merasa sakit, sebagian besar gejala yang parah dan penyakit HIV berasal
dari infeksi oportunistik yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Penting
untuk diingat bahwa beberapa gejala infeksi HIV mirip dengan gejala penyakit
pada umumnya, seperti flu, atau infeksi saluran pernapasan atau
pencernaan.12
VII.2
20
atau Infeksi primer HIV, ini merupakan respon alami tubuh terhadap infeksi
HIV. Selama infeksi primer HIV, terjadi peningkatan virus yang beredar dalam
darah, yang berarti bahwa orang dapat lebih mudah menularkan virus kepada
orang lain. Gejalanya bisa berupa :12
1. Demam
2. Ruam
3. Panas dingin
4. Ruam
5. Berkeringat di malam hari
6. Nyeri otot
7. Sakit tenggorokan
8. Kelelahan
9. Pembengkakan kelenjar getah bening
10. Ulkus di mulut
a. Infeksi Akut
Terjadi segera setelah infeksi HIV, antibodi anti-HIV tidak terdeteksi,
sementara terdapat RNA HIV atau antigen p24. Infeksi baru terjadi pada
umumnya hingga 6 bulan setelah infeksi selama antibodi anti-HIV
terdeteksi. Sepanjang tahap ini merupakan infeksi awal HIV atau merujuk ke
infeksi HIV akut atau baru.13
Sekitar 40% sampai 90% diperkirakan pasien dengan infeksi HIV akut
akan mengalami gejala sindrom retroviral akut, ditandai dengan demam,
limfadenopati,
faringitis,
ruam
kulit,
mialgia/arthralgia,
dan
gejala
lainnya. Bagaimanapun juga infeksi HIV sering tidak terkenali karena mirip
dengan banyak infeksi virus
dan
infeksi
21
memulai untuk membawa virus dalam tubuh kembali ke suatu tingkat yang
disebut set point virus , yang merupakan tingkat relatif stabil virus dalam
tubuh. Pada titik ini, jumlah CD4 mulai meningkat, tapi mungkin tidak kembali
ke tingkat pra-infeksi.12
kopi/ mL)
mungkin merupakan hasil tes positif palsu karena nilai-nilai dalam infeksi akut
umumnya sangat tinggi (> 100.000 kopi / mL).13
Sebuah diagnosis dugaan infeksi HIV akut dapat dilakukan atas dasar
hasil tes antibodi HIV negatif atau tak tentu dan hasil tes RNA HIV
positif. Namun, jika hasil tes RNA HIV rendah-positif, tes harus diulang
menggunakan spesimen yang berbeda dari pasien yang sama. Hal ini sangat
tidak
mungkin
bahwa
tes
kedua
akan
memproduksi
hasil
positif
palsu. Skrining rutin untuk infeksi akut merupakan pilihan untuk penggunaan
Ag/Ab, tes HIV sebagai tes skrining HIV primer atau untuk menguji semua
sampel negatif antibodi HIV RNA.13
Kombinasi tes HIV Ag/Ab (ARCHITECT HIV Ag/Ab Combo dan GS HIV
Combo Ag/Ab) sekarang disetujui oleh Food and Drug Administration, namun
tes yang tersedia saat ini tidak membedakan antara hasil tes antibodi yang
positif dan hasil antigen positif. Jadi HIV Ag/spesimen Ab-reaktif harus diuji
22
dengan uji antibodi, dan jika hasil tes negatif atau tak tentu dan jika dicurigai
adanya infeksi HIV akut, lebih lanjut dilakukan tes RNA HIV. Pasien yang
didiagnosis dugaan dengan infeksi HIV akut harus memiliki pengujian
serologis diulang selama 3 sampai 6 bulan ke depan untuk mengetahui
adanya serokonversi.13
VII.3 Tanda dan Gejala Tahap Kronis atau Fase Laten Infeksi HIV
Setelah infeksi awal, virus menjadi kurang aktif dalam tubuh. Selama
periode ini , banyak orang tidak memiliki gejala infeksi HIV . Periode ini
disebut
AIDS
Seseorang akan didiagnosis AIDS Karena jumlah sel CD4 mulai
menurun di bawah 200 sel/mm3 dalam darah (< 200 sel/mm3), (Jumlah CD4
normal adalah antara 500 dan 1.600 sel/mm3.) Ini adalah tahap infeksi yang
23
terjadi ketika sistem kekebalan tubuh rusak parah dan tubuh akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik. Tanpa pengobatan, orang yang
didiagnosis dengan AIDS biasanya bertahan sekitar 3 tahun. Setelah
seseorang memiliki infeksi oportunistik yang berbahaya, harapan hidup jatuh
sekitar 1 tahun.12
VIII.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Kategori klinik
A
Tanpa
gejala,
HIV
B*
Bergejala,
tidak
C
AIDS-sesuai
24
A1
A2
A3
termasuk kategori
A atau C
B1
B2
B3
dengan
indikasi
C1
C2
C3
Angiomatosis basiler
Candidiasis orofaring (thrush)
Candidiasis vulvovaginalis, persisten atau resisten
Pelvic inflammatory disease (PID)
Cervical dysplasia (sedang atau berat) atau (cervical carcinoma in situ)
Hairy leukoplakia oral
Herpes zoster, melibatkan dua atau lebih kekambuhan atau
setidaknya satu dermatom
8. Purpura Idiopathic thrombocytopenia
9. Constitutional symptoms, seperti demam (>38.5C) atau diare >1
bulan
10. Neuropati perifer
2. Kategory C (AIDS Indikator bergejala)14
1. Bakterial pneumonia, bersifat rekuren (dua atau lebih episode dalam
12 bulan)
2. Kandidiasis pada bronkus, trakhea, atau paru-paru
3. Kandidiasis esofagus
4. Cervical carcinoma invasive, dikonfirmasi dengan biopsi
5. Coccidioidomycosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru
6. Cryptococcosis ekstrapulmoner
25
26
yang dimulai saat terjadi infeksi HIV primer. Dibawah ini adalah kondisi klinis
atau gejala dan tanda yang didapatkan pada pasien yang terinfeksi HIV.
Pada sistem stadium menurut WHO, remaja dan orang dewasa di definisikan
sebagai individu yang berusia lebih dari atau sama dengan usia 15 tahun.14
Tabel 8.2 STADIUM KLINIS HIV/AIDS UNTUK REMAJA DAN DEWASA
BERDASARKAN WHO.15
STADIUM KLINIS I
Asimptomatik
Limfadenopati Generalisata Persisten
STADIUM KLINIS II
27
bakteremia)
Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau
periodontitis
Anemia yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropenia
(<0.5 x 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 9/l)
STADIUM KLINIS IV
IX.
Rekomendasi:
Tes laboratorium diagnostik HIV harus dilakukan secara lengkap.
Pengujian asam nukleat HIV (NAT) untuk mendeteksi RNA HIV atau DNA
HIV dianjurkan untuk menetapkan diagnosis infeksi pada bayi yang lahir dari
ibu yang terinfeksi HIV-1. Dokter harus menggunakan tes antibodi HIV
28
16
29
1. Deteksi HIV RNA atau tidak adanya antibodi HIV harus dianggap
sebagai hasil positif awal, tes HIV RNA dari spesimen baru harus
diulang segera untuk mengkonfirmasi adanya HIV RNA.
2. Tes HIV RNA harus diulang untuk menyingkirkan hasil positif palsu
ketika hasil kuantitatif memberikan hasil yang rendah (<5.000 kopi /
mL) dari tes HIV RNA dilaporkan tidak adanya bukti serologis infeksi
HIV.
Tes HIV serologis harus diulang 2 sampai 3 minggu setelah diagnosis.
Tes HIV RNA dilakukan untuk mengkonfirmasi infeksi. Namun, dokter tidak
harus menunggu hasil tes serologis untuk konfirmasi adanya infeksi HIV dan
untuk memulai terapi ARV. Ketika wanita hamil didiagnosis dengan infeksi
HIV akut melalui tes HIV RNA disarankan untuk segera memberikan terapi
ARV.16
Teknologi immunoassay HIV telah berkembang untuk memasukkan
antigen dalam meningkatkan deteksi varian virus, seperti deteksi HIV-1 dan
HIV-2. Penggunaan kombinasi HIV-1 atau HIV-2 melalui pemeriksaan enzim
immunoassay (EIA atau ELISA), chemiluminescent immunoassay (CIAS),
dan Rapid tes dapat mendeteksi jenis HIV-1 dan HIV-2. Ketika dicurigai
infeksi HIV akut, segera lakukan tes viral load HIV, diikuti oleh tes antibodi.
Kemudian dilakukan konfirmasi 3 sampai 6 minggu. Kebanyakan tes HIV
RNA akan mendeteksi infeksi HIV akut 7 sampai 14 hari setelah terpapar
HIV. 16
30
16
rapid tes yang tersedia saat ini yang paling komersial dan program skrining
kesehatan masyarakat mengandalkan teknologi berbasis ELISA. FDA telah
menyetujui tes cairan tubuh selain tes darah untuk mendeteksi antibodi
terhadap HIV-1 dan HIV-2. Tes Sensitivitas dan spesifisitas tergantung pada
prevalensi HIV. Cairan biologis yang diperiksa (yaitu, seluruh darah, plasma,
serum, cairan mulut, urin, dll). Selama bertahun-tahun, kemajuan teknologi
telah meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas tes ini, namun, metodologi
tes umum tetap sama.16
ELISA dapat digunakan secara kombinasi untuk mendeteksi antibodi
atau antigen virus sebagai reagen deteksi. ELISA generasi keempat, yang
sebelumnya telah digunakan hanya dalam penyaringan darah, dengan
menggabungkan kedua antigen dan metodologi deteksi antibodi. Generasi
31
keempat ini, ELISA menggabungkan deteksi antigen p24 HIV dan antibody
HIV-1 atau HIV-2. Karena antigen HIV p24 dihasilkan oleh virus, akan
mungkin terdeteksi sebelum seorang individu menghasilkan antibodi
terhadap HIV, waktu untuk deteksi HIV akan menurun dengan pengujian ini.
Alat tes skrining yang tersedia (yaitu, rapid tes, ELISA, dan CIAS) dengan
menggunakan antigen rekombinan dan telah nyata memperpendek jangka
waktu antara infeksi dan deteksi antibodi, deteksi antibodi terhadap infeksi
HIV-1 sekarang rata-rata 21 hari setelah terpapar, sekitar 1 minggu lebih
lama dari deteksi oleh NAT.16
Sampel yang reaktif dengan ELISA diuji lebih lanjut dengan alat yang
lebih spesifik untuk mengkonfirmasi infeksi. Sampel reaktif dengan ELISA
dilaporkan memberikan hasil negatif untuk HIV. Tidak ada pengujian lebih
lanjut untuk sampel dilaporkan sebagai hasil yang negatif. Antibodi terhadap
HIV-1 juga terdeteksi dalam urin. FDA berlisensi bahwa HIV-1 pada
pemeriksaan ELISA tersedia untuk mendeteksi antibodi, seperti pada tes
skrining antibodi, metode ini membutuhkan konfirmasi dengan WB. 16
2.
bersama dengan tes skrining. Manfaat dari tes konfirmasi antibodi HIV-1 ini
adalah untuk memastikan bahwa orang yang telah di tes skrining
memberikan hasil yang reaktif dan untuk membuktikan tidak adanya
kesalahan dalam
32
tiga band utama. Spesimen yang reaktif dengan ELISA dan reaktif oleh uji
konfirmasi Western blot dilaporkan sebagai hasil yang positif yaitu terdapat
antibodi terhadap HIV-1. 16
Sampel yang berulang kali reaktif dengan ELISA tetapi tidak reaktif
dengan uji konfirmasi Western blot menandakan hasil yang negatif untuk
antibodi terhadap HIV-1. Untuk tindak lanjutnya jika hasil negatif adalah
mengulangi tes antibodi HIV dalam 1 bulan kemudian.
3.
16
Rekomendasi:
Tes skrining antibodi HIV-2 dilakukan jika tes skrining kombinasi HIV-1
atau HIV-2 menghasilkan hasil reaktif dan tes Western Blot HIV-1
menghasilkan hasil yang tak tentu atau tidak reaktif, maka diperlukan
pengujian tambahan dengan ELISA untuk mendeteksi HIV-2. Spesimen yang
secara khusus reaktif untuk antibodi HIV-2 memerlukan tes konfirmasi HIV2.16
XI.2 Tes Identifikasi Virus
1.
Rekomendasi:
Pemeriksaan PCR DNA digunakan hanya untuk mendeteksi infeksi
pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Semua PCR DNA dengan
hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen
terpisah.
amplifikasi asam nukleat. Prosedur kualitatif ini sangat sensitif karena dapat
mendeteksi antara 1 dan 10 salinan provirus DNA HIV-1 per sampel. Karena
33
sensitivitas yang sangat tinggi dalam pengujian ini, sejumlah kecil masalah
noise dalam lingkungan atau kontaminasi selama proses di laboratorium
dapat menyebabkan amplifikasi produk yang dapat menghasilkan reaksi
positif palsu. Semua hasil awal PCR DNA yang bernilai positif memerlukan
konfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen terpisah. Saat ini,
penggunaan diagnostik PCR DNA HIV-1 hanya direkomendasikan untuk
mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1.16
2. Tes HIV RNA Plasma
Rekomendasi:
Merupakan tes viral load HIV yang harus digunakan bersamaan dengan
tes antibodi HIV-1, tes ini berguna untuk mendiagnosis infeksi HIV akut atau
primer. Riwayat alami terinfeksi HIV akut dapat beraneka ragam sehingga
antibodi mungkin tidak terbentuk pada saat timbulnya gejala (2 sampai 6
minggu setelah paparan). Tes antibodi dari pasien ini akan sering
memberikan hasil negatif lemah atau positif lemah pada pemeriksaan ELISA
dan negatif pada pemeriksaan Western Blot. Namun, tingkat viral load yang
sangat tinggi selama infeksi akut, biasanya mulai dari 100.000 sampai lebih
dari 10 juta kopi / mL, dan terdeteksi sekitar 2 minggu sebelum
serokonversi. 16
Penggunan kedua pemeriksaan yaitu HIV assay RNA plasma dan tes
antibodi digunakan untuk menegakkan diagnosis. Rendahnya tingkat virus
(cut off sering < 5000 kopi / mL) mungkin menunjukkan hasil positif palsu dan
tidak bisa dianggap terdiagnosis infeksi HIV primer. Tes antibodi standar
harus diulang dalam 3 sampai 6 minggu . Tingkat viral load HIV selama
serokonversi tidak terlihat berbeda secara signifikan pada pasien yang
memiliki gejala akut dibandingkan dengan mereka yang tidak menunjukkan
gejala. 16
34
X.
PENATALAKSANAAN
1.
di
tempat
perawatan
antenatal
lain
sebaiknya
mulai
mengadakan
virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotip virus. Juga perlu
diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat antiretrovirus (ARV) atau
belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi
kepada ibu tentang risiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta
cara pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor
risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke bayi.17
2.
36
3.
wanita
hamil
yang
terinfeksi
HIV
harus
diberi
pengobatan
37
nutrisi, aktivitas seksual harus memakai kondom, dan lain-lain. ARV cukup
aman diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat teratogenik pada
manusia, dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu hamil dibandingkan dengan
ibu tidak hamil. Walaupun demikian, pemantauan jangka pendek dan jangka
panjang tentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan kombinasi ARV
untuk janin di dalam kandungan dan pada bayi adalah sangat penting, karena
keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak sesuai.17
Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada
wanita tidak hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan
antiretrovirus, keputusan untuk mengganti obat adalah sama dengan wanita
tidak hamil. Rejimen kemoprofilaksis ZDV diberikan tunggal atau bersama
dengan antiretrovirus lain, mulai diberikan pada usia kehamilan 14 minggu
dan jangan ditunda. Karena dengan menunda maka efektivitasnya akan
menurun. Hal ini harus didiskusikan dan ditawarkan kepada seluruh ibu hamil
yang terinfeksi agar risiko penularan HIV perinatal berkurang.17
Walaupun keputusan pemilihan dan penggunaan ARV berbeda-beda,
umumnya keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan : 1) risiko penyakit
berkembang pada ibu bila tanpa pengobatan, 2) manfaat untuk menurunkan
jumlah virus, agar risiko penularan perinatal berkurang, 3) kemungkinan
terjadi toksisitas obat, 4) kemungkinan ada infeksi oleh virus yang sudah
resisten obat, dan 5) efek paparan obat jangka panjang pada bayi dalam
kandungan.17
3.1 Golongan Obat ARV
Golongan
obat
anti-HIV
pertama
adalah
nucleoside
reverse
38
bentuk DNA. Obat dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat
adalah :18
1. Lamivudine (3TC)
2. Abacavir (ABC)
3. Zidovudine (AZT/ZDV)
4. Stavudine (D4T)
5. Didanosine (Ddl)
6. Emtricitabine (FTC)
7. Tenofovir (TDF)
Golongan obat kedua menghambat langkah yang sama dalam siklus
hidup HIV, tetapi dengan cara lain. Obat ini disebut nonnucleoside reverse
transcriptase inhibitor atau NNRTI, diantaranya adalah :
18
1. Delaviridine (DLV)
2. Evavirens (EFV)
3. Etravirine (ETV)
4. Nevirapine (NVP)
5. Rilpivirine (RPV)
Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan
ini menghambat pematangan virus. Obat golongan PI yang disetujui dan
masih dibuat di AS:18
1. Atazanavir (ATV)
2. Darunavir (DRV)
3. Fosamprenavir (FPV)
4. Indinavir (IDV)
5. opinavir (LPV)
6. Nelfinavir (NFV)
7. Ritonavir (RTV)
8. Saquinavir (SQV)
39
9. Tipranavir (TPV)
Golongan ARV keempat adalah fusion inhibitor. Obat golongan ini
mencegah pengikatan HIV pada sel. Dua obat golongan ini sudah disetujui di
AS:18
1. Enfuvirtide (T-20)
2. Maraviroc (MVC)
Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI). Obat golongan
ini mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik pada sel.
Contoh dua obat ini adalah :18
1. Raltegravir (RGV)
2. Elvitegravir (EGV)
3.2
pengobatan
secara
dini
dikaitkan
dengan
manfaat
40
Rekomendasi Terbaru
1. Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple
ARV yang harus dipertahankan selaa terdapat risiko penularan dari ibu ke
anak. Wanita yang memenuhi kriteria diatas dan mendapatkan
pengobatan ARV harus dilanjutkan seumur hidup.15
2. Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan
menyusui dengan HIV harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur
hidup. 15
3. Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk
pemberian ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama
risiko penularan dari ibu ke anak risiko telah berhenti.15
41
42
Latar Belakang
Obat ARV yang digunakan untuk wanita hamil dan menyusui dengan
HIV bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah anak terinfeksi.
Manfaat lainnya untuk mencegah penularan HIV secara seksual. Pedoman
WHO PMTCT 2010 merekomendasikan penggunaan ARV seumur hidup
untuk perempuan yang memenuhi syarat dalam pengobatan (berdasarkan
kriteria kelayakan 2010, yaitu jumlah CD4 350 sel/mm3 atau berdasarkan
WHO stadium klinis penyakit 3 atau 4 ) dan pemberian ARV profilaksis untuk
PMTCT bagi wanita dengan HIV yang tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan pengobatan. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat untuk
43
tersebut
dimasukkan
dalam
"Opsi
B+".
Pedoman
2013
merekomendasikan terapi ARV (triple ARV) untuk semua ibu hamil dan
menyusui dengan HIV selama periode risiko penularan dari ibu ke bayi dan
terapi ARV digunakan seumur hidup. Opsi A tidak lagi dianjurkan.15
Lini Pertama Pemberian ART Untuk Ibu Hamil dan Menyusui dan Obat
ARV Pada Bayi
Rekomendasi Terbaru
1. Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang
direkomendasikan sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan
menyusui adalah diberikan sekali sehari, termasuk wanita hamil pada
trimester pertama kehamilan dan wanita usia reproduksi. Rekomendasi ini
berlaku untuk pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk
PMTCT dan kemudian dihentikan.15
2. Bayi dari ibu yang mendapatkan ART dan sedang menyusui harus
mendapatkan terapi profilaksis dengan NVP harian selama enam minggu.
44
Tabel 10.2 Pemberian Lini Pertama ART untuk Remaja, Dewasa, Ibu
Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.15
45
Latar Belakang
46
47
(atau FTC) + EFV sebagai lini pertama rejimen ARV untuk wanita hamil dan
menyusui.15
Daily dosing
b
Birth to 6 weeks
1. Birthweight 2000-2499 g
2. Birthweight 2500 g
10 mg once daily
15 mg once daily
20 mg once daily
30 mg once daily
40 mg once daily
a infants weighing <2000 g should receive mg/kg dosing; the suggested starting dose is 2 mg/kg once
daily.
b recommended for 6 weeks, but 4 weeks may be considered in setting with replacement feeding.
c dosing beyond 6 weeks of age in special situations in which prolonged dosing of to 12 weeks should
be considered (such as the mother had limited ART and not being likely to be virally suppressed;the
infants is identified as HIV exposed after birth and is breastfeeding. This is based on the dosing required
to sustain exposure among infants of>100ng/ml with the least dose change
48
49
Tabel 10.6 Perbedaan Pemberian ARV Profilaksis Pada Ibu dan Bayi
Berdasarkan Skenario Klinik.15
50
51
52
53
XI.
PERAWATAN
54
XI.1
spesialisasi HIV sebelum mencoba untuk hamil. Beberapa obat HIV tidak
aman untuk dikonsumsi selama kehamilan, dan perlu dipertimbangkan
sebelum mencoba untuk hamil. Wanita yang terdeteksi tidak ada virus yang
dalam darah, memiliki risiko jauh lebih rendah menularkan virus HIV ke bayi
mereka daripada wanita yang memiliki virus yang terdeteksi dalam darah
mereka. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk lebih memahami
bagaimana infeksi HIV dan pengobatan HIV mempengaruhi kesehatan
perempuan dan bayi. Kehamilan tampaknya tidak memperburuk HIV atau
meningkatkan risiko kematian akibat HIV. Hal ini tidak jelas apakah
pengobatan HIV atau HIV meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, seperti
prematuritas, berat badan lahir rendah, dan kelahiran mati.
19
Namun, sangat jelas bahwa obat HIV tertentu, seperti AZT (ZDV atau
AZT) dan obat lain yang melewati plasenta, secara signifikan dapat
mengurangi risiko bahwa bayi akan terinfeksi HIV ketika obat tersebut
diminum selama kehamilan dan persalinan, dan kemudian diberikan kepada
bayi setelah melahirkan. Itulah sebabnya pedoman pengobatan HIV sangat
merekomendasikan kombinasi obat untuk mencegah penularan HIV kepada
bayi yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Umumnya, AZT diberikan
dengan obat lain sebagai bagian dari rejimen tiga jenis obat. Beberapa obatobatan HIV, seperti efavirenz, tidak boleh digunakan pada wanita yang
sedang merencanakan kehamilan. Bicarakan dengan dokter anda tentang
risiko dan manfaat dari penggunaan obat HIV selama kehamilan. 19
55
Perempuan
dengan
HIV
biasanya
membutuhkan
bantuan
dari
56
untuk
57
58
tidak berarti bahwa bayi tentu memiliki infeksi HIV.Untuk alasan ini, tes
khusus yang secara langsung mengukur virus itu sendiri dilakukan pada bayi
untuk melihat apakah mereka terinfeksi yaitu tes virus khusus,tes PCR
(disebut PCR tes HIV) , jika hasilnya adalah negatif, maka bayi tidak
terinfeksi HIV.19
Studi pada bayi yang terkena AZT dan tidak terinfeksi HIV belum
menunjukkan peningkatan risiko masalah serius dengan pertumbuhan,
sistem kekebalan tubuh, fungsi otak, kanker, atau masalah lain untuk hingga
enam tahun. Namun, data jangka panjang mengenai keamanan obat HIV
selama kehamilan, terutama rejimen kombinasi, tidak tersedia. Akibatnya,
bayi dan anak-anak yang terkena obat antiretroviral selama kehamilan ibu
mereka harus dipantau selama hidupnya.19
59
60