Anda di halaman 1dari 60

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFERAT
SEPTEMBER 2013

HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN


DAN PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013 )

Oleh :
Indah Triayu Irianti
Pembimbing :
dr. Naomi Pongtasik
Supervisor :
dr. Eddy Tiro, Sp.OG (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DI BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013

HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN


DAN PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)
I.

PENDAHULUAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia

dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi
masalah AIDS, memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada
Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang
terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara
bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara,
krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain
HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan
dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV.

Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup


dengan HIV di Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di
dunia. Daerah ini juga mempunyai persentase yang tinggi, yaitu rata-rata
47% dari total keseluruhan anak yang hidup dengan HIV, dimana lebih 90%
yang terinfeksi melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama kehamilan,
persalinan atau menyusui.2 Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu
HIV-positif akan menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui.3
Pada tahun 2007, lebih dari 2 juta anak di seluruh dunia yang hidup
dengan HIV /AIDS, dengan mayoritas berada di wilayah sub-Sahara Afrika.
Sekitar 400.000 bayi tertular HIV dari ibu mereka setiap tahun, yaitu sekitar
15% dari total kejadian global HIV. Tingkat infeksi HIV pediatrik di Afrika subSahara tetap tinggi, dengan lebih dari 1.000 bayi baru lahir terinfeksi HIV per

hari.3 Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang
dari 5% melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu
ke anak atau yang dikenal dengan PMTCT (Prevention Mother to Child
Transmission), termasuk terapi ARV (antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak
yang baru lahir. PMTCT dimulai selama ANC (antenatal care), ketika wanita
melakukan tes HIV dan menerima hasilnya bahwa dia positif HIV.
Rekomendasi di bagian sub-Sahara Afrika adalah terapi ARV diberikan pada
wanita selama kehamilan, saat persalinan, dan selama masa nifas atau
sementara pemberian ASI eksklusif. Bayi juga harus menjalani tes HIV
secara berkala dan minum obat untuk mencegah penularan virus sementara
ia disusui.2
PMTCT dapat mengurangi risiko penularan vertikal HIV menjadi
kurang dari 1%. Penularan HIV dari ibu ke bayi hampir lenyap di Amerika
Serikat dan Eropa, tetapi terus menjadi masalah besar yang tak terkendali di
negara-negara Afrika. Pemanfaatan PMTCT di sub-Sahara Afrika telah
meningkat secara signifikan selama dekade terakhir, tetapi masih jauh dari
yang diharapkan. Pada tahun 2003, hanya 3% dari ibu hamil yang HIV-positif
di wilayah ini dimanfaatkan untuk melakukan PMTCT. Persentase ini
meningkat drastis menjadi 33% pada tahun 2007 dan 53% pada tahun 2010.
Sayangnya, ini masih menyisakan sekitar setengah dari semua perempuan
hamil yang HIV-positif tidak memanfaatkan PMTCT, menempatkan mereka
pada risiko tinggi untuk menularkan virus kepada bayi mereka.

II.

EPIDEMIOLOGI
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat kontak cairan tubuh yang

mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual


maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi
komponen darah dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya,

Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS, misalnya


pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta
narapidana.1
Namun infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan
masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika
pada awalnya, sebagian besar ODHA berasal dari kelompok homoseksual
maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara
heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi
yang telah terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih
lanjut dari tahap penularan heteroseksual.1
Sejak tahun 1985 sampai tahun 1996, kasus AIDS masih amat jarang
ditemukan di Indonesia. Sebagian besar ODHA pada pariode itu berasal dari
kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin
meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan
tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
Sampai dengan terinfeksi HIV adalah pada akhir maret 2005 tercatat 6789
kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari
jumlah

sebenarnya.

Departemen

Kesehatan

RI

pada

tahun

2002

memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah


antara 90.000 sampai 130.000 orang.1
Sebuah survei yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan
peningkatan jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu
dari 1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari 8,3% pada tahun 2000.
Sementara itu survei yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan angka
infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan PSK di Merauke, yaitu 5-26,5%,
3,36% di Jakarta Utara, dan 5,5% di Jawa Barat.1
Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi
HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar

ODHA yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa
muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pengguna narkotika suntik
mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV yang dapat menular
melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara
bersamaan dan berulang yang lazim dilakukan oleh pengguna narkotika.
Survei yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan
peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang
menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi
40,8 pada tahun 2000, dan 47,9 pada tahun 2001. Bahkan suatu survei di
sebuah kelurahan di Jakarta Pusat dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu
menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV. 1
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan
sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada masyarakat
umum. Jika pada tahun 1990 belum ditemukan darah donor di Palang Merah
Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka pada periode selanjutnya
ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya makin lama makin meningkat.
Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002%
pada periode 1992/1993, 0,003% pada periode 1994/1995, 0,004% pada
periode 1998/1999 dan 0,016% pada tahun 2000. Survei yang dilakukan
pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB, puskesmas dan rumah sakit
di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil
dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata terinfeksi HIV. 1
Mortalitas maternal pada penderita HIV/AIDS dihubungkan oleh
berbagai keadaan, yaitu hampir setengah dari 42 juta orang hidup dengan
HIV adalah wanita dengan usia reproduksi. Selain itu, lebih dari 2 juta yang
terinfeksi HIV adalah wanita hamil, lebih dari 90% dari mereka terdapat di
negara berkembang, sementara 600.000 wanita meninggal di awal tahun
karena komplikasi dari kehamilan dan persalinan. 4 Infeksi HIV pada wanita

hamil berkisar dibawah 1% sampai 40% pada negara-negara yang berbeda.


Peningkatan penderita AIDS yang tertinggi berada di negara afrika,
walaupun prevalensi di beberapa negara Asia patut dipertimbangkan.
Prevalensi angka kejadian telah menurun dibeberapa wilayah, seperti
Uganda dan diketahui bahwa penderita AIDS yaitu wanita yang mempunyai
usia yang lebih muda jumlahnya mulai menurun di negara Afrika Selatan,
tetapi prevalensi masih tinggi di wilayah lainnya. Terjadi peningkatan jumlah
wanita hamil yang terinfeksi oleh HIV dengan komplikasi yang berefek pada
angka mortalitas maternal.4
Saat ini terdapat 33 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS, 15 juta
diantaranya adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak dengan usia
kurang dari 15 tahun. Transmisi penularan HIV dari ibu ke anaknya dapat
dihitung dari besarnya infeksi yang didapat oleh anaknya sendiri. Penularan
dari ibu ke anak dapat terjadi melalui intrauterin, intrapartum dan selama
menyusui. Tanpa adanya pengobatan antiretroviral, faktor risiko infeksi pada
wanita yang dapat ditularkan ke anak berkisar antara 16 hingga 40%.
Menyusui merupakan faktor risiko penularan yang berperan hanya 10%.
Obat-obatan antivirus yang diberikan pada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan
bayinya secara signifikan dapat mengurangi risiko penularan dari ibu ke
anak. Dengan pengobatan antriretroviral menyebabkan jumlah virus HIV
yang rendah, tidak menyusui dan operasi sesaria elektif, penularan HIV ke
anak dapat diturunkan sekitar 0 hingga 2%.

III.

DEFINISI
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit

retrovirus epidemik, menular yang disebabkan oleh infeksi Human


Immunodeficiency Virus, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai
depresi berat imunitas selular, dan mengenai kelompok risiko tertentu,

termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat-obatan


intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya,
hubungan seksual dari individu yang terinfeksi HIV, dan bayi baru lahir dari
ibu yang terinfeksi virus tersebut. 6

IV.

ETIOLOGI
Penyebab AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah

sejenis virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Ini adalah
suatu virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang
termasuk retrovirus dari family Lentiviridae. Strukturnya terdiri dari lapisan
luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp 120 yang melekat pada
glikoprotein gp 4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari
protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p 24.
Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan
enzim reverse transcriptase.7
Dikenal dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), dimana virus ini pertama kali
diisolasi oleh Luc M4ontagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun
1983. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang
tersering, penyebarannya lebih luas di hampir di seluruh dunia,sedangkan
HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika barat dan Portugal dahulu
dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus tipe III (HTLV-III),
lymphadenophaty associated virus (LAV) dan AIDS associated virus. HIV 2
lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Immunodeficiency
Virus), antara HIV 1 dan HIV 2 intinya mirip , tetapi selubungnya berbeda. 7
Genom HIV mengkode sembilan protein yang esensial untuk setiap
aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur genom, virus-virus memiliki
perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1,Vpu, yang membantu pelepasan virus,

tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan


infekstivitas (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain,
Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan trasnkripsi virus. HIV-2 yang pertama kali
diketahui dalam serum ini para perempuan Afrika Barat (warga Senegal)
pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang
patogenik dibandingkan dengan HIV-1.8

Gambar 4.1 Struktur dasar virus HIV 9

V.

PATOGENESIS
Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus

mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4


berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4
dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells
ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada

kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar
getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridasi in
situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari
setelah infeksi.1
Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah
bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26. Jumlah sel yang
mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat
dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik.
Insiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8.
Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8
menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada
pada keadaan steady state beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini
bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat
bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan
demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas
kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.1
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus
telah menurun sampai ke level steady state. Walaupun antibodi ini
umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus,
namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari
netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada envelopnya,
termasuk

kemampuannya

mengubah

situs

glikosilasinya,

akibatnya

konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai


antibodi tidak dapat terjadi.1
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut,
3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri

menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk.


Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa
tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat
hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (nonprogressor). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA
mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat
badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes.1
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak
menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang
terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala
klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Manifestasi awal dari
kerusakan kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar
getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat
dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi
di kelenjar getah bening, bukan diperedaran darah tepi. 1

Siklus Replikasi HIV adalah sebagai berikut :

10

1. Terjadi fusi dari sel HIV ke permukaan sel inang.


2. Dengan bantuan enzim reverse transcriptase, RNA HIV terintegrasi dan
virus protein lainnya memasuki sel inang.
3. DNA virus terbentuk akibat proses transkripsi terbalik.
4. DNA virus diangkut melintasi inti dan terintegrasi ke dalam DNA inang.
5. RNA virus baru digunakan sebagai RNA yang digunakan untuk membuat
protein virus.

10

6. RNA virus baru dan protein pindah ke permukaan sel yang baru dan
masih imatur, terbentuklah virus HIV baru.
7. Virus matang oleh enzim protease HIV dan melepaskan protein individu.

Gambar 5.1 Siklus Replikasi HIV.10

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV


Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan
immun yang intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik
terhadap berbagai protein virus. Di temukan antibodi netralisasi terhadap
regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp 41. Deteksi
antibodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzyme linked
immunosorbant assay /ELISA). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi
immunoglobulin G (IgG) maupun immunoglobulin M (IgM), tetapi seiring
dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap

11

tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan
dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah
infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV muncul
dalam 6 bulan setelah terinfeksi. 8
Produksi immunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4, dimana sel limfosit
T CD4 diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-2 yang membantu merangsang sel B untuk
membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma ini kemudian
menghasilkan

immunoglobulin

yang

spesifik

untuk

antigen

yang

merangsangnya. Sitokin IL-2 penting dalam aktivitas intrasel. CD4 berfungsi


untuk mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses
misalnya produksi immunoglobulin dan pengaktifan sel T tambahan dan
makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan oleh limfosit ( CD4,IL-2 dan
interferon gamma berperan dalam imunitas seluler. Pada kondisi normal,
limfosit CD4 mengeluarkan interferon gamma yang menarik makrofag dan
mengintensifkan reaksi immun terhadap antigen. Namun apabila limfosit CD4
tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gamma akan
menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma
tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi limfosit
CD4. Limfosit CD4 tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena
yang disebut anergi. 8
Teori lain menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada
pembentukan sinsitium, limfosit CD4 yang tidak terinfeksi berfusi dengan selsel yang terinfeksi sehingga mengalami banyak sel yang tidak terinfeksi.
Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4 mungkin disebabkan oleh
terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas, virus-virus
tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4 yang secara efektif
mematikan sel tersebut. Apapun teori yang menjelaskan berkurangnya

12

limfosit CD4, gambaran utama pada infeksi HIV tetaplah deplesi sel-sel
tersebut. Deplesi limfosit CD4 tersebut bervariasi di antara para pengidap
infeksi HIV. Sebagian faktor yang mempengaruhinya adalah fungsi sistem
imun pejamu (misalnya : penyakit kongenital, metabolik, defisiensi gizi) atau
perbedaan strain virus.8

VI.

PENGARUH HIV/AIDS PADA KEHAMILAN


Penularan HIV-1 dapat terjadi di dalam rahim (intrauterin), pada saat

persalinan (intrapartum), atau postnatal melalui menyusui. Bukti transmisi


dalam rahim yaitu terjadi dalam 8 minggu kehamilan, infeksi berasal dari
deteksi HIV-1, dimana virus di isolasi yang diambil dalam spesimen janin dan
jaringan plasenta, didapatkan sekitar 20% -60% dari bayi yang terinfeksi
pada saat lahir, didapatkan antigen p24 diserum janin. Bukti dalam transmisi
intrapartum di dapat dari pengamatan kelahiran bayi kembar, yang
menemukan bahwa bayi kembar yang lahir pertama kali memiliki risiko dua
kali lipat lebih tinggi tertular HIV-1 dibandingkan dengan bayi kembar yang
lahir kedua. 11
Paparan janin terhadap virus dalam cairan serviko-vaginal diperkirakan
sangat berperan. Selain itu, laporan terbaru menunjukkan bahwa cara
persalinan dapat mempengaruhi tingkat transmisi. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pecahnya ketuban lebih dari 4 jam dapat meningkatkan
risiko penularan HIV. Sekitar setengah dari bayi yang terinfeksi, akan
memiliki studi virus negatif pada waktu kelahiran. Transmisi postnatal lebih
banyak ditemukan di negara Afrika.11
Kontribusi masing-masing transmisi dari keseluruhan tampaknya belum
menunjukkan bahwa penularan di dalam rahim jarang terjadi dan sebagian
besar infeksi terjadi pada saat persalinan atau pada akhir kehamilan.
Kesimpulan ini berdasarkan tidak ditemukannya sindrom dismorfik HIV-1,

13

kurangnya manifestasi infeksi HIV-1 pada kelahiran dan temuan bahwa HLV1 terdeteksi pada minggu pertama kehidupan. Virus terdeteksi dalam waktu
48 jam setelah lahir, keadaan ini dianggap bayi telah terinfeksi selama
kehamilan. Sedangkan infeksi intrapartum diasumsikan jika studi virus negatif
selama minggu pertama kehidupan, namun akan menjadi positif antara 7 dan
90 hari kemudian. 11
Tabel 5.1 Faktor Yang Mempengaruhi Transmisi HIV dari Ibu ke Janin.
VIRUS

11

Genotip dan fenotip virus


Resistensi virus & jumlah virus

MATERNAL

Status immunologis ibu


Status nutrisi ibu
Faktor perilaku
Pengobatan ART

OBSTETRI

Pecah ketuban (>4 jam)


Cara persalinan
Perdarahan intrapartum
Prosedur obstetric

FETAL

Prematuritas

BAYI

Menyusui
Faktor traktus gastrointestinal
Sistem immun immature

1.

FAKTOR VIRUS
Transmisi penularan virus HIV meningkat dengan adanya peningkatan

viremia ibu. Pengamatan klinis dengan pengembangan teknik baru untuk

14

pengukuran virus, seperti Polymerase kuantitatif Chain Reaction (PCR) DNA


dan RNA, telah terbukti bahwa adanya peningkatan viral load ibu dan risiko
penularan dari ibu ke anak. Lebih dari setengah perempuan dengan viral load
> 50 000 RNA/ml pada saat persalinan telah terbukti dapat menularkan virus.
Dalam

sebuah

studi

Prancis,

tingkat

penularan

meningkat

dengan

meningkatnya viral load yaitu 12% pada mereka yang mempunyai jumlah
viral load kurang dari 1000 RNA/ ml dibandingkan dengan 29% pada mereka
dengan yang mempunyai jumlah viral load >10.000 RNA/ml. Viral load lokal
dalam sekresi cairan serviko-vaginal dan dalam ASI juga penting dalam
penentu risiko intrapartum dan menyusui.11
Adanya penyakit menular seksual, peradangan, kekurangan respon
imun lokal dapat mempengaruhi virus. Transmisi pasca kelahiran dikaitkan
dengan kehadiran virus HIV-1 yang terinfeksi dalam ASI. Pemberian ART
pada ibu selama kehamilan diperkirakan dapat mengurangi penularan virus,
ditandai dengan pengurangan viral load, meskipun mekanismenya mungkin
juga termasuk post-exposure prophylaxis pada anak setelah lahir, seperti
penggunaan AZT telah terbukti dapat mengurangi penularan. ART mungkin
lebih efektif dalam mencegah penularan.11
Sejumlah sub tipe HIV-1 atau kelompok clade telah di identifikasi,
dengan perbedaan distribusi geografis. Terdapat sedikit bukti tentang
pengaruh sub tipe pada infeksi atau transmisi, meskipun beberapa penelitian
telah menunjukkan peningkatan kemampuan in vitro dari sub tipe E untuk
menginfeksi sel epitel dari vagina dan leher rahim. Sub tipe dapat
mempengaruhi sel tropisme virus, dan pada gilirannya dapat mempengaruhi
infektifitas melalui rahim ataupun melalui infeksi genital atau dalam ASI.
Kebanyakan penelitian tentang varian virus pada ibu dan anak-anak telah
menunjukkan bahwa strain di bayi adalah bagian dari virus ibu. Fenotip virus
yang berbeda menunjukkan perbedaan tropisme jaringan. Makrofag tropik

15

non syncytium inducing (NSI) muncul dan diwariskan kepada anak ataupun
cucu ketika strain ibu yang dominan adalah syncytium inducing. 11
2.

FAKTOR MATERNAL
Pemaparan berulang terhadap strain virus yang berbeda melalui

kehamilan terjadi melalui hubungan seksual dan merupakan mekanisme


yang bertanggung jawab atas peningkatan yang diamati dalam setiap kasus
HIV. Perkembangan resistensi terhadap AZT selama kehamilan telah terbukti
jarang,

tetapi

keprihatinan

telah

diungkapkan

bahwa

kemungkinan

pengembangan strain yang resisten terhadap HIV-1 pada wanita yang


menerima monoterapi AZT selama kehamilan dapat berakibat lebih tinggi
pada penularan kehamilan berikutnya. 11
Penularan dari ibu ke anak lebih mungkin disebabkan oleh penurunan
status kekebalan ibu, tercermin dari jumlah CD4. Studi Kolaboratif Eropa
(ECS) menemukan bahwa ada peningkatan risiko penularan dari ibu ke anak
jika CD4 ibu jumlahnya berada di bawah 700/mm3. Transmisi meningkat
hampir linear dengan penurunan jumlah CD4. Terdapat hasil yang
bertentangan tentang peran antibodi dalam mencegah transmisi. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan antibodi ibu adalah terkait
dengan menurunnya transmisi. Wanita yang menularkan virus HIV dalam
rahim mungkin memiliki tingkat antibodi yang autologous daripada mereka
yang tidak menularkan, atau pada wanita-wanita di mana penularan terjadi
secara intrapartum. 11
Satu laporan menyatakan bahwa ada korelasi antibodi ibu pada
wilayah karboksi gp41 envelop glikoprotein dengan berkurangnya transmisi
vertikal. Keterlibatan imunitas sel-T spesifik dalam patogenesis transmisi ibu
ke anak belum dapat ditentukan. Sedikit yang mengetahui tentang peran
antibodi mukosa HIV-1 dan pelepasan virus dalam saluran kelamin yang

16

dapat mempengaruhi tingkat penularan intrapartum. Infeksi melalui menyusui


dikaitkan dengan kurangnya IgM dan IgA dalam ASI. 11
Serum vitamin A dengan ibu yang terinfeksi positif HIV-1 menunjukkan
adanya korelasi dengan risiko transmisi dalam studi Malawi. Rata-rata tingkat
vitamin A pada ibu yang menularkan virus ke anak-anak mereka secara
signifikan lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak tertular. Wanita yang
mempunyai kadar vitamin A yang rendah, yaitu 1,4 umol/l memiliki risiko
tinggi 4,4 kali lipat tertular. Dalam suatu studi AS menunjukkan terdapat
hubungan antara rendahnya kadar vitamin A dengan tingkat penularan,
sedangkan penelitian kohort lain memang menunjukkan adanya korelasi.
Mekanisme efek vitamin A belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat
pengaruh vitamin A pada integritas mukosa vagina atau plasenta dan sifat
stimulasi kekebalan vitamin.11
Beberapa faktor perilaku telah dikaitkan dengan peningkatan penularan
dari ibu ke anak, termasuk merokok dan penggunaan obat-obatan. Hubungan
seks selama kehamilan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan
dari ibu ke anak. Penularan 30% ditunjukkan pada wanita yang memiliki lebih
dari 80 episode hubungan seks tanpa kondom selama kehamilan
dibandingkan dengan mereka yang terlindungi sebesar 9,1%. Hal ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan konsentrasi atau keanekaragaman jenis virus
HIV-1, atau efek dari serviks atau peradangan vagina atau lecet. Peningkatan
terjadinya korioamnionitis sebelumnya telah dilaporkan terkait dengan
aktivitas seksual pada kehamilan. Adanya penyakit menular seksual selama
kehamilan telah berkorelasi dengan peningkatan risiko transmisi, dan PMS
telah terbukti meningkatkan pelepasan virus melalui sekresi cairan servikovaginal.11
Faktor plasenta telah terlibat dalam penularan virus dari ibu ke anak.
Infeksi plasenta dengan HIV-1 ditandai dengan adanya sel Hofbauer, dan sel-

17

sel trofoblas yang mengekspresikan CD4 + yang rentan terhadap infeksi.


Sebuah asosiasi antara peningkatan transmisi dan adanya korioamnionitis
digambarkan di awal epidemi. Infeksi plasenta lain dan kondisi non-menular
seperti solusio plasenta juga telah terlibat. Merokok dan penggunaan narkoba
dapat meningkatkan transmisi melalui gangguan pada plasenta. Di daerah
tinggi prevalensi malaria, infeksi plasenta umum terjadi selama kehamilan. 11

3. FAKTOR OBSTETRI
Mayoritas penularan dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan, faktor
obstetrik merupakan penentu penting penularan. Mekanisme yang terjadi
pada saat intrapartum adalah kontak kulit secara langsung, yaitu kontak
antara selaput lendir bayi dan ibu melalui sekresi cairan serviko-vaginal
selama persalinan. HIV-1 yang terdapat dalam cairan sekresi serviko-vaginal
akan meningkat empat kali lipat selama kehamilan. Semakin tinggi tingkat
infeksi pada anak kembar sulung mungkin karena pemaparan yang lama oleh
sekresi cairan serviko-vaginal. Dalam penelitian kohort menyatakan bahwa
kelahiran prematur, perdarahan intrapartum dan prosedur persalinan terkait
dengan risiko penularan. Faktor-faktor lain seperti tindakan episiotomi dan
persalinan operatif telah terlibat dalam beberapa studi.11
Pecahnya ketuban dalam waktu yang lama telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko penularan pada sejumlah penelitian dan merupakan faktor
risiko yang penting. Dalam studi di Amerika, durasi pecahnya ketuban lebih
dari empat jam hampir dua kali lipat terjadinya risiko infeksi. Persalinan
melalui operasi sesaria elektif dapat menyebabkan tingkat transmisi kurang
dari 1%. 11
4. FAKTOR JANIN
Faktor genetik janin mungkin memainkan peran dalam transmisi. Sedikit
yang belum mengetahui tentang peran faktor-faktor genetik seperti delesi
18

CCR-5 delta 32 dan HLA kompatibilitas ibu dan bayi dalam penentuan risiko
penularan. Kesesuaian HLA

antara bayi dan ibu telah dikaitkan dengan

peningkatan risiko penularan. Telah dilaporkan bahwa bayi prematur


mempunyai tingkat penularan HIV-1 yang lebih tinggi. Wanita dengan jumlah
CD4 yang rendah lebih cenderung memiliki kelahiran prematur, yang
mungkin mempengaruhi temuan ini. Peningkatan infeksi terlihat pada anak
kembar sulung dan telah banyak dilaporkan sebagai bukti transmisi
penularan secara intrapartum. Faktor janin lain mungkin termasuk koinfeksi
dengan patogen lain, nutrisi janin dan status kekebalan janin. 11
5. FAKTOR BAYI
Menyusui merupakan faktor yang sangat berperan dalam penularan virus
dari ibu ke anak, dimana lebih dari 30% infeksi HIV perinatal akan terjadi
melalui ASI. Keadaan ini kurang umum di dapatkan pada negara maju,
dimana sebagian besar perempuan HIV-positif tidak akan menyusui. Faktorfaktor pelindung dalam ASI yaitu mucin, antibodi HIV, laktoferin, dan
sekretorik leukosit PI (SLPI). Sebuah meta analisis studi penularan melalui
menyusui menunjukkan risiko tambahan penularan melalui menyusui menjadi
antara 7 hingga 22%, setara dengan dua kali lipat dari tingkat penularan.
Sebuah studi Soweto telah menunjukkan tingkat transmisi 18% pada susu
formula bayi dibandingkan dengan 42% pada ASI.

11

Selama menyusui, risiko penularan yang diperkirakan sekitar 30%. Risiko


penularan melalui ASI juga mungkin tergantung pada faktor-faktor lain,
seperti stadium penyakit ibu, abses payudara, mastitis, puting yang retak,
kadar vitamin A pada ibu dan sariawan pada anak. Di negara Zimbabwe,
sebuah penelitian menunjukkan bahwa 31% ibu yang menyusui yang telah
terinfeksi HIV-1 terbukti memiliki penyakit puting aktif. Penularan terjadi pada
akhir transmisi postnatal, setelah usia enam bulan, telah dijelaskan dalam
sejumlah studi, di Abidjan, 12% bayi yang lahir dari ibu HIV-1 positif
19

didiagnosis setelah usia enam bulan, tetapi mungkin telah terinfeksi


sebelumnya. 11
Risiko penularan postnatal juga mungkin berkaitan dengan faktor-faktor
lain pada bayi baru lahir. Masuknya HIV dapat terjadi melalui saluran
gastrointestinal setelah proses pencernaan virus dalam rahim atau saat lahir.
Terdapat penurunan keasaman, berkurangnya lendir, dan aktivitas IgA lebih
rendah yang dapat mempermudah penularan. Bayi baru lahir dengan sistem
kekebalan tubuh yang rendah yaitu kekurangan makrofag dan sel T
menyebabkan mudah terjadinya infeksi.
VII.

TANDA & GEJALA

VII.1

HIV positif tanpa gejala


Banyak

orang

dengan

11

HIV-positif

tidak

memperlihatkan

gejala. Seringkali orang hanya mulai merasa sakit ketika masuk pada
periode AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Kadang-kadang
orang hidup dengan HIV melalui periode sakit dan kemudian merasa baikbaik saja.12
Sementara virus itu sendiri kadang-kadang dapat menyebabkan orang
merasa sakit, sebagian besar gejala yang parah dan penyakit HIV berasal
dari infeksi oportunistik yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Penting
untuk diingat bahwa beberapa gejala infeksi HIV mirip dengan gejala penyakit
pada umumnya, seperti flu, atau infeksi saluran pernapasan atau
pencernaan.12
VII.2

Tanda dan Gejala Tahap Awal Infeksi HIV


Pada 2-4 minggu awal setelah terpapar HIV (sampai 3 bulan

kemudian), seseorang dapat mengalami penyakit akut, sering digambarkan


sebagai flu berat. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut (ARS),

20

atau Infeksi primer HIV, ini merupakan respon alami tubuh terhadap infeksi
HIV. Selama infeksi primer HIV, terjadi peningkatan virus yang beredar dalam
darah, yang berarti bahwa orang dapat lebih mudah menularkan virus kepada
orang lain. Gejalanya bisa berupa :12

1. Demam
2. Ruam
3. Panas dingin
4. Ruam
5. Berkeringat di malam hari
6. Nyeri otot
7. Sakit tenggorokan
8. Kelelahan
9. Pembengkakan kelenjar getah bening
10. Ulkus di mulut
a. Infeksi Akut
Terjadi segera setelah infeksi HIV, antibodi anti-HIV tidak terdeteksi,
sementara terdapat RNA HIV atau antigen p24. Infeksi baru terjadi pada
umumnya hingga 6 bulan setelah infeksi selama antibodi anti-HIV
terdeteksi. Sepanjang tahap ini merupakan infeksi awal HIV atau merujuk ke
infeksi HIV akut atau baru.13
Sekitar 40% sampai 90% diperkirakan pasien dengan infeksi HIV akut
akan mengalami gejala sindrom retroviral akut, ditandai dengan demam,
limfadenopati,

faringitis,

ruam

kulit,

mialgia/arthralgia,

dan

gejala

lainnya. Bagaimanapun juga infeksi HIV sering tidak terkenali karena mirip
dengan banyak infeksi virus

lainnya, seperti influenza

dan

infeksi

mononukleosis. Infeksi akut juga dapat tanpa gejala.13


Selama periode infeksi, sejumlah besar virus sedang diproduksi dalam
tubuh. Virus ini menggunakan sel CD4 untuk meniru dan menghancurkan sel.
Oleh karena jumlah CD4 dapat menurun dengan cepat, akhirnya respon imun

21

memulai untuk membawa virus dalam tubuh kembali ke suatu tingkat yang
disebut set point virus , yang merupakan tingkat relatif stabil virus dalam
tubuh. Pada titik ini, jumlah CD4 mulai meningkat, tapi mungkin tidak kembali
ke tingkat pra-infeksi.12

b. Diagnosis Infeksi HIV akut


Infeksi HIV akut biasanya didefinisikan sebagai terdeteksinya RNA HIV
atau antigen p24, yang terakhir sering digunakan saat ini adalah tes antigen
atau antibodi (Ag/Ab), tes kombinasi HIV dalam serum atau plasma. Ketika
sindrom retroviral akut dicurigai pada pasien dengan hasil tes antibodi HIV
negatif atau tak tentu, tes RNA HIV harus dilakukan untuk mendiagnosis
infeksi akut . Tingkat RNA HIV-positif yang rendah (<10.000

kopi/ mL)

mungkin merupakan hasil tes positif palsu karena nilai-nilai dalam infeksi akut
umumnya sangat tinggi (> 100.000 kopi / mL).13
Sebuah diagnosis dugaan infeksi HIV akut dapat dilakukan atas dasar
hasil tes antibodi HIV negatif atau tak tentu dan hasil tes RNA HIV
positif. Namun, jika hasil tes RNA HIV rendah-positif, tes harus diulang
menggunakan spesimen yang berbeda dari pasien yang sama. Hal ini sangat
tidak

mungkin

bahwa

tes

kedua

akan

memproduksi

hasil

positif

palsu. Skrining rutin untuk infeksi akut merupakan pilihan untuk penggunaan
Ag/Ab, tes HIV sebagai tes skrining HIV primer atau untuk menguji semua
sampel negatif antibodi HIV RNA.13
Kombinasi tes HIV Ag/Ab (ARCHITECT HIV Ag/Ab Combo dan GS HIV
Combo Ag/Ab) sekarang disetujui oleh Food and Drug Administration, namun
tes yang tersedia saat ini tidak membedakan antara hasil tes antibodi yang
positif dan hasil antigen positif. Jadi HIV Ag/spesimen Ab-reaktif harus diuji

22

dengan uji antibodi, dan jika hasil tes negatif atau tak tentu dan jika dicurigai
adanya infeksi HIV akut, lebih lanjut dilakukan tes RNA HIV. Pasien yang
didiagnosis dugaan dengan infeksi HIV akut harus memiliki pengujian
serologis diulang selama 3 sampai 6 bulan ke depan untuk mengetahui
adanya serokonversi.13

VII.3 Tanda dan Gejala Tahap Kronis atau Fase Laten Infeksi HIV
Setelah infeksi awal, virus menjadi kurang aktif dalam tubuh. Selama
periode ini , banyak orang tidak memiliki gejala infeksi HIV . Periode ini
disebut

"periode kronis" atau "fase laten". Periode ini bisa bertahan

sampai 10 tahun kadang-kadang lebih lama. 12


Periode Laten terjadi setelah tahap akut infeksi HIV, penyakit
bergerak ke tahap yang disebut latency klinis . Periode ini kadang-kadang
disebut infeksi HIV tanpa gejala atau infeksi HIV kronis. Selama fase ini,
diproduksi virus HIV yang rendah, meskipun masih aktif. Seseorang dapat
bertahan dengan terdeteksinya viral load dan jumlah CD4 yang sehat tanpa
menggunakan obat selama tahun-tahun pada awal fase ini. Seseorang
mungkin tidak memiliki gejala atau infeksi oportunistik . Periode ini bisa
bertahan hingga 8 tahun atau lebih. Penting untuk diingat bahwa tubuh masih
bisa menularkan HIV kepada orang lain selama fase ini. Menjelang
pertengahan dan akhir periode ini, viral load mulai meningkat dan jumlah
CD4 mulai turun. Oleh karena itu tubuh akan mulai mengalami gejala
konstitusional HIV sebagai peningkatan virus dalam tubuh.12
VII.4

AIDS
Seseorang akan didiagnosis AIDS Karena jumlah sel CD4 mulai

menurun di bawah 200 sel/mm3 dalam darah (< 200 sel/mm3), (Jumlah CD4
normal adalah antara 500 dan 1.600 sel/mm3.) Ini adalah tahap infeksi yang

23

terjadi ketika sistem kekebalan tubuh rusak parah dan tubuh akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik. Tanpa pengobatan, orang yang
didiagnosis dengan AIDS biasanya bertahan sekitar 3 tahun. Setelah
seseorang memiliki infeksi oportunistik yang berbahaya, harapan hidup jatuh
sekitar 1 tahun.12
VIII.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis dilakukan dengan menggunakan sistem CDC (


centers for disease control dan prevention classification system) dan WHO
(World Health Organization). Dikatakan AIDS jika telah terinfeksi virus HIV
dengan jumlah CD4 < 200 sel/ul atau persentase CD4 < 14% yang
dihubungkan dengan tanda dan gejala dari adanya infeksi kuman HIV.
Sistem CDC digunakan untuk kepentingan klinik dan penelitian epidemiologi.
Berbeda dengan sistem WHO, klasifikasi dari sistem WHO digunakan
berdasarkan manifestasi klinik yang ditemukan.14
VIII.1 Klasifikasi Diagnosis Infeksi HIV Menurut Sistem CDC
Kategori CDC HIV/AIDS diambil berdasarkan adanya penurunan sel
CD4 dan kondisi yang berhubungan dengan diagnosis HIV. Sebagai contoh,
jika pasien ditemukan dengan kondisi yang termasuk kriteria kategori B tetapi
tanpa gejala, pasien tersebut dapat dimasukkan ke dalam kategori B.
Sebagai tambahan, pengkategorian berdasarkan kondisi spesifik, sesuai
indikasi di bawah. Pasien yang termasuk kategori A3,B3 dan C1-C3 dianggap
terdiagnosis HIV.14
Tabel 8.1 Sistem Klasifikasi CDC pada Infeksi HIV pada Anak &
Remaja.14
Jumlah Sel CD4

Kategori klinik
A
Tanpa

gejala,

HIV

B*
Bergejala,

tidak

C
AIDS-sesuai

24

fase akut atau PGL


(1) 500 cells/L
(2) 200-499 cells/L
(3) <200 cells/L

A1
A2
A3

termasuk kategori
A atau C
B1
B2
B3

dengan
indikasi
C1
C2
C3

1. Kategori B Kondisi bergejala


Kategori B dengan kondisi bergejala merupakan kondisi yang terjadi saat
infeksi HIV pada remaja dan dewasa yang ditemukan pada kriteria, yaitu :
mereka yang terkait dengan infeksi HIV atau terindikasi memiliki kelainan
pada imunitas sel mediated dan mereka yang termasuk memilliki gejala
klinik atau pertimbangan terapi bagi mereka yang telah mengalami
komplikasi akibat

infeksi HIV. Contoh yang termasuk kriteria adalah

dibawah ini :14


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Angiomatosis basiler
Candidiasis orofaring (thrush)
Candidiasis vulvovaginalis, persisten atau resisten
Pelvic inflammatory disease (PID)
Cervical dysplasia (sedang atau berat) atau (cervical carcinoma in situ)
Hairy leukoplakia oral
Herpes zoster, melibatkan dua atau lebih kekambuhan atau
setidaknya satu dermatom
8. Purpura Idiopathic thrombocytopenia
9. Constitutional symptoms, seperti demam (>38.5C) atau diare >1
bulan
10. Neuropati perifer
2. Kategory C (AIDS Indikator bergejala)14
1. Bakterial pneumonia, bersifat rekuren (dua atau lebih episode dalam
12 bulan)
2. Kandidiasis pada bronkus, trakhea, atau paru-paru
3. Kandidiasis esofagus
4. Cervical carcinoma invasive, dikonfirmasi dengan biopsi
5. Coccidioidomycosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru
6. Cryptococcosis ekstrapulmoner

25

7. Cryptosporidiosis kronik intestinal (durasi >1 bulan)


8. Penyakit Cytomegalovirus
9. Ensefalopati, yang terkait HIV
10. Herpes simpleks: Ulkus kronik (durasi >1 bulan), atau bronkhitis,
pneumonitis, atau esophagitis
11. Histoplasmosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru
12. Isosporiasis kronik intestinal (durasi >1 bulan)
13. Sarkoma Kaposi
14. Limfoma Burkitt, immunoblastik, atau primary central nervous system
15. Mycobacterium avium complex (MAC) atau Mycobacterium kansasii,
disseminated atau ekstrapulmoner
16. Mycobacterium tuberculosis, pulmonary or extrapulmonary
17. Pneumocystis jiroveci (formerly carinii) pneumonia (PCP)
18. Progressive multifokal leukoencephalopathy (PML)
19. Salmonella septicemia, rekuren (non tifoid)
20. Toxoplasmosis di otak
21. Wasting syndrome karena HIV (hilangnya berat badan >10 kg )
disertai dengan diare kronik

VIII.2 Klasifikasi Diagnosis Infeksi HIV Menurut Sistem WHO


Penentuan stadium berdasarkan penemuan klinis yang didapatkan
dari diagnosis, evaluasi dan pengelolaan HIV/AIDS yang tidak disertai hasil
CD4. Sistem stadium ini banyak digunakan dibanyak negara untuk
menentukan kelayakan penggunaan ART (anti retrovirus). Stadium klinis
dikategorikan dari stadium 1 sampai 4. Tahap ini ditentukan oleh kondisi
klinis dan gejala tertentu dan tidak bergantung oleh jumlah CD4. Sistem
stadium digunakan di berbagai negara untuk pertimbangan pemberian terapi
antiretrovirus. Stadium klinis dikategorikan dari stadium 1 sampai stadium 4,

26

yang dimulai saat terjadi infeksi HIV primer. Dibawah ini adalah kondisi klinis
atau gejala dan tanda yang didapatkan pada pasien yang terinfeksi HIV.
Pada sistem stadium menurut WHO, remaja dan orang dewasa di definisikan
sebagai individu yang berusia lebih dari atau sama dengan usia 15 tahun.14
Tabel 8.2 STADIUM KLINIS HIV/AIDS UNTUK REMAJA DAN DEWASA
BERDASARKAN WHO.15
STADIUM KLINIS I
Asimptomatik
Limfadenopati Generalisata Persisten
STADIUM KLINIS II

Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui


penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat
badan sebelumnya)
Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis,
otitis media, faringitis)
Herpes zoster
Keilitis angularis
Ulkus mulut yang berulang
Papular pruritic eruption
Infeksi jamur pada kuku
Dermatitis seboroik
STADIUM KLINIS III

Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui


penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau
berat badan sebelumnya)
Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari
1 bulan
Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya (bersifat
intermitten atau konstan lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis pada mulut yang menetap
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema,
meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis,

27

bakteremia)
Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau
periodontitis
Anemia yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropenia
(<0.5 x 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 9/l)
STADIUM KLINIS IV

IX.

Sindrom wasting HIV


Pneumonia Pneumocystis jiroveci
Pneumonia bakteri berat yang berulang
Infeksi herpes simplex kronis (orolabial,genital, atau anorektal
selama lebih dari 1 bulan atau viseral di bagian manapun)
Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
Tuberkulosis ekstra paru
Sarkoma Kaposi
Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain )
Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
Ensefalopati HIV
Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar
Leukoensepfalopati multifokal progresif
Cyrptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)
Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatik
Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
Karsinoma serviks invasif
Leishmaniasis diseminata atipikal

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK HIV

Rekomendasi:
Tes laboratorium diagnostik HIV harus dilakukan secara lengkap.
Pengujian asam nukleat HIV (NAT) untuk mendeteksi RNA HIV atau DNA
HIV dianjurkan untuk menetapkan diagnosis infeksi pada bayi yang lahir dari
ibu yang terinfeksi HIV-1. Dokter harus menggunakan tes antibodi HIV

28

dengan konfirmasi Western blot atau uji imunofluoresensi secara tidak


langsung untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV kronis. Tes skrining
antibodi HIV termasuk enzim immunoassay (ELISA/EIA), chemiluminescent
immunoassay (CIAS), dan Rapid tes.16
Pasien dengan hasil tes antibodi HIV negatif, harus melakukan
pengulangan tes selanjutnya pada 3 bulan kemudian. Bagi individu yang
pada tes HIV mempunyai hasil negatif pada 3 bulan tetapi terus terlibat dalam
perilaku risiko tinggi, maka dokter harus mendiskusikan strategi harm
reduction yang berorientasi pada tujuan, termasuk rujukan untuk layanan
konseling, dan pengulangan tes HIV setidaknya setiap 3 bulan. Dokter harus
mengevaluasi pasien infeksi HIV akut, terutama ketika mereka datang
dengan demam, flu, atau seperti penyakit yang tidak dapat dijelaskan.
Termasuk mereka yang datang dengan kriteria dibawah ini :

16

1. Mereka yang melaporkan telah melakukan kontak seksual dengan


pasangan yang diketahui terinfeksi HIV atau pasangan yang tidak
diketahui status HIVnya terdahulu.
2. Pria yang melaporkan memiliki hubungan seksual yang tidak aman
dengan pria lain.
3. Mereka yang pernah melakukan penggunaan jarum suntik secara
bergantian.
4. Mereka yang datang dengan infeksi menular seksual yang baru di
diagnosa.
5. Mereka yang datang dengan meningitis aseptik.
6. Pasien hamil atau menyusui.
Jika diduga infeksi HIV akut, maka dilakukan tes skrining serologis HIV
yaitu tes HIV RNA plasma assay, tes RNA plasma assay dilakukan jika tes
skrining serologis adalah negatif. Dilakukan tes kombinasi generasi keempat
yang merupakan tes skrining serologis, jika :16

29

1. Deteksi HIV RNA atau tidak adanya antibodi HIV harus dianggap
sebagai hasil positif awal, tes HIV RNA dari spesimen baru harus
diulang segera untuk mengkonfirmasi adanya HIV RNA.
2. Tes HIV RNA harus diulang untuk menyingkirkan hasil positif palsu
ketika hasil kuantitatif memberikan hasil yang rendah (<5.000 kopi /
mL) dari tes HIV RNA dilaporkan tidak adanya bukti serologis infeksi
HIV.
Tes HIV serologis harus diulang 2 sampai 3 minggu setelah diagnosis.
Tes HIV RNA dilakukan untuk mengkonfirmasi infeksi. Namun, dokter tidak
harus menunggu hasil tes serologis untuk konfirmasi adanya infeksi HIV dan
untuk memulai terapi ARV. Ketika wanita hamil didiagnosis dengan infeksi
HIV akut melalui tes HIV RNA disarankan untuk segera memberikan terapi
ARV.16
Teknologi immunoassay HIV telah berkembang untuk memasukkan
antigen dalam meningkatkan deteksi varian virus, seperti deteksi HIV-1 dan
HIV-2. Penggunaan kombinasi HIV-1 atau HIV-2 melalui pemeriksaan enzim
immunoassay (EIA atau ELISA), chemiluminescent immunoassay (CIAS),
dan Rapid tes dapat mendeteksi jenis HIV-1 dan HIV-2. Ketika dicurigai
infeksi HIV akut, segera lakukan tes viral load HIV, diikuti oleh tes antibodi.
Kemudian dilakukan konfirmasi 3 sampai 6 minggu. Kebanyakan tes HIV
RNA akan mendeteksi infeksi HIV akut 7 sampai 14 hari setelah terpapar
HIV. 16

IX.1. Tes Antibodi

30

Deteksi antibodi HIV adalah metode yang paling umum untuk


mendiagnosis infeksi HIV pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia >
18 bulan. Antibodi ini biasanya terdeteksi dalam waktu 3 sampai 6 minggu
setelah infeksi, dan hampir semua individu serokonversi terjadi pada minggu
ke-12. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, antibodi mungkin tidak
terdeteksi selama berbulan-bulan. Jika keadaan ini terjadi, maka tes harus
ditindaklanjuti dengan tes antibodi HIV pada 3 bulan kemudian untuk
mengidentifikasi infeksi HIV pada individu dengan eksposur baru. 16
Pengujian serologis saat ini dilakukan dengan alat tes skrining yang
sangat sensitif (yaitu, ELISA / EIA, CIA, atau Rapid tes), dan spesimen positif
awal ditindaklanjuti dengan uji konfirmasi yang sangat spesifik (yaitu,
Western Blot). Tes antibodi juga dapat dilakukan pada cairan oral dan sampel
urin.

Istilah "reaktif," "tidak reaktif," dan "tak tentu" digunakan untuk

menggambarkan hasil pemeriksaan dari tes konfirmasi.


1.

16

Tes Skrining Antibodi HIV-1


Tes skrining serologi antibodi relatif mudah untuk dilakukan. Semua

rapid tes yang tersedia saat ini yang paling komersial dan program skrining
kesehatan masyarakat mengandalkan teknologi berbasis ELISA. FDA telah
menyetujui tes cairan tubuh selain tes darah untuk mendeteksi antibodi
terhadap HIV-1 dan HIV-2. Tes Sensitivitas dan spesifisitas tergantung pada
prevalensi HIV. Cairan biologis yang diperiksa (yaitu, seluruh darah, plasma,
serum, cairan mulut, urin, dll). Selama bertahun-tahun, kemajuan teknologi
telah meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas tes ini, namun, metodologi
tes umum tetap sama.16
ELISA dapat digunakan secara kombinasi untuk mendeteksi antibodi
atau antigen virus sebagai reagen deteksi. ELISA generasi keempat, yang
sebelumnya telah digunakan hanya dalam penyaringan darah, dengan
menggabungkan kedua antigen dan metodologi deteksi antibodi. Generasi

31

keempat ini, ELISA menggabungkan deteksi antigen p24 HIV dan antibody
HIV-1 atau HIV-2. Karena antigen HIV p24 dihasilkan oleh virus, akan
mungkin terdeteksi sebelum seorang individu menghasilkan antibodi
terhadap HIV, waktu untuk deteksi HIV akan menurun dengan pengujian ini.
Alat tes skrining yang tersedia (yaitu, rapid tes, ELISA, dan CIAS) dengan
menggunakan antigen rekombinan dan telah nyata memperpendek jangka
waktu antara infeksi dan deteksi antibodi, deteksi antibodi terhadap infeksi
HIV-1 sekarang rata-rata 21 hari setelah terpapar, sekitar 1 minggu lebih
lama dari deteksi oleh NAT.16
Sampel yang reaktif dengan ELISA diuji lebih lanjut dengan alat yang
lebih spesifik untuk mengkonfirmasi infeksi. Sampel reaktif dengan ELISA
dilaporkan memberikan hasil negatif untuk HIV. Tidak ada pengujian lebih
lanjut untuk sampel dilaporkan sebagai hasil yang negatif. Antibodi terhadap
HIV-1 juga terdeteksi dalam urin. FDA berlisensi bahwa HIV-1 pada
pemeriksaan ELISA tersedia untuk mendeteksi antibodi, seperti pada tes
skrining antibodi, metode ini membutuhkan konfirmasi dengan WB. 16
2.

Konfirmasi Tes antibodi HIV-1


Tes konfirmasi untuk spesifisitas HIV akan meningkat jika digunakan

bersama dengan tes skrining. Manfaat dari tes konfirmasi antibodi HIV-1 ini
adalah untuk memastikan bahwa orang yang telah di tes skrining
memberikan hasil yang reaktif dan untuk membuktikan tidak adanya
kesalahan dalam

identifikasi infeksi HIV. Salah satu tes antibodi HIV-1

adalah konfirmasi Western blot. Konfirmasi Western blot (WB) merupakan


standar emas untuk tes diagnostik HIV. Antibodi serum pada pasien HIV
dapat mengikat protein dalam membran. Tiga band virus utama HIV adalah
protein inti p24 dan dua protein envelop gp41 dan gp 120 atau gp
160. Dikatakan Western blot reaktif jika terdapat antibodi terhadap dua dari

32

tiga band utama. Spesimen yang reaktif dengan ELISA dan reaktif oleh uji
konfirmasi Western blot dilaporkan sebagai hasil yang positif yaitu terdapat
antibodi terhadap HIV-1. 16
Sampel yang berulang kali reaktif dengan ELISA tetapi tidak reaktif
dengan uji konfirmasi Western blot menandakan hasil yang negatif untuk
antibodi terhadap HIV-1. Untuk tindak lanjutnya jika hasil negatif adalah
mengulangi tes antibodi HIV dalam 1 bulan kemudian.

3.

16

Skrining Antibodi HIV-2

Rekomendasi:
Tes skrining antibodi HIV-2 dilakukan jika tes skrining kombinasi HIV-1
atau HIV-2 menghasilkan hasil reaktif dan tes Western Blot HIV-1
menghasilkan hasil yang tak tentu atau tidak reaktif, maka diperlukan
pengujian tambahan dengan ELISA untuk mendeteksi HIV-2. Spesimen yang
secara khusus reaktif untuk antibodi HIV-2 memerlukan tes konfirmasi HIV2.16
XI.2 Tes Identifikasi Virus
1.

DNA Polymerase Chain Reaction (PCR DNA)

Rekomendasi:
Pemeriksaan PCR DNA digunakan hanya untuk mendeteksi infeksi
pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Semua PCR DNA dengan
hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen
terpisah.

Tes PCR DNA merupakan cara yang paling terkenal untuk

amplifikasi asam nukleat. Prosedur kualitatif ini sangat sensitif karena dapat
mendeteksi antara 1 dan 10 salinan provirus DNA HIV-1 per sampel. Karena

33

sensitivitas yang sangat tinggi dalam pengujian ini, sejumlah kecil masalah
noise dalam lingkungan atau kontaminasi selama proses di laboratorium
dapat menyebabkan amplifikasi produk yang dapat menghasilkan reaksi
positif palsu. Semua hasil awal PCR DNA yang bernilai positif memerlukan
konfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen terpisah. Saat ini,
penggunaan diagnostik PCR DNA HIV-1 hanya direkomendasikan untuk
mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1.16
2. Tes HIV RNA Plasma
Rekomendasi:
Merupakan tes viral load HIV yang harus digunakan bersamaan dengan
tes antibodi HIV-1, tes ini berguna untuk mendiagnosis infeksi HIV akut atau
primer. Riwayat alami terinfeksi HIV akut dapat beraneka ragam sehingga
antibodi mungkin tidak terbentuk pada saat timbulnya gejala (2 sampai 6
minggu setelah paparan). Tes antibodi dari pasien ini akan sering
memberikan hasil negatif lemah atau positif lemah pada pemeriksaan ELISA
dan negatif pada pemeriksaan Western Blot. Namun, tingkat viral load yang
sangat tinggi selama infeksi akut, biasanya mulai dari 100.000 sampai lebih
dari 10 juta kopi / mL, dan terdeteksi sekitar 2 minggu sebelum
serokonversi. 16
Penggunan kedua pemeriksaan yaitu HIV assay RNA plasma dan tes
antibodi digunakan untuk menegakkan diagnosis. Rendahnya tingkat virus
(cut off sering < 5000 kopi / mL) mungkin menunjukkan hasil positif palsu dan
tidak bisa dianggap terdiagnosis infeksi HIV primer. Tes antibodi standar
harus diulang dalam 3 sampai 6 minggu . Tingkat viral load HIV selama
serokonversi tidak terlihat berbeda secara signifikan pada pasien yang
memiliki gejala akut dibandingkan dengan mereka yang tidak menunjukkan
gejala. 16

34

X.

PENATALAKSANAAN

1.

Konseling dan Tes Antibodi HIV terhadap Ibu


Petugas yang melakukan perawatan antenatal di Puskesmas maupun

di

tempat

perawatan

antenatal

lain

sebaiknya

mulai

mengadakan

pengamatan tentang kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko untuk


menularkan penyakit HIV kepada bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan
antara lain dengan menanyakan apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok,
mengadakan hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus
tersebut di atas, harus dilakukan tindakan lebih lanjut. Risiko penularan HIV
secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2% dengan melakukan tata
laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha yang akan dilakukan
sangat tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang berisiko.17
Oleh karena itu, semua ibu usia reproduksi yang akan hamil sebaiknya
diberi konseling HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya
semua ibu hamil disarankan untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari
perawatan antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan prevalensi HIV-1
di masyarakat. Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk dilakukan tes
HIV, karena belum ada peraturan yang memaksa ibu hamil untuk di tes HIV.
Cukup banyak ibu hamil sudah terinfeksi HIV-1 pada saat masa pancaroba
dan dewasa muda yang justru pada masa ini mereka tidak terjangkau oleh
sistem pelayanan kesehatan. Padahal pada masa-masa ini banyak terjadi
penularan melalui hubungan seks bebas, dan juga banyak karena
penggunaan obat terlarang. Sebaiknya mereka harus diberi konseling dan
disarankan untuk dilakukan tes infeksi HIV-1.17
Kemudian, jika ditemukan ada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan
sebagai pengguna obat terlarang, maka harus dimasukkan ke dalam program
pengobatan atau program detoksifikasi. Ibu yang sudah diketahui terinfeksi
HIV sebelum hamil, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jumlah
35

virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotip virus. Juga perlu
diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat antiretrovirus (ARV) atau
belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi
kepada ibu tentang risiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta
cara pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor
risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke bayi.17

2.

Pencatatan dan Pemantauan Ibu Hamil


Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang

melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat


untuk melakukan perawatan prenatal. Kelompok ibu-ibu ini juga sangat
jarang melakukan konseling dan tes HIV pada waktu prenatal, sehingga
mereka tidak dapat dicatat dan dipantau dengan baik. Catatan medis yang
lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi HIV termasuk catatan tentang
kebiasaan yang meningkatkan risiko dan keadaan sosial yang lain,
pemeriksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat penderita datang
pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini
akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam melihat
perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah
lengkap, urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amilase, lipase, gula darah
puasa, VDRL, gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T , dan
jumlah salinan RNA HIV .17
Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil
terinfeksi HIV sama dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil.
Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV -1 harus dilakukan

36

setiap trimester (yaitu,setiap 3-4 bulan) yang berguna untuk menentukan


pemberian ARV dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas
pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan
berdasarkan kriteria gejala klinis yang muncul.17

3.

Pengobatan dan Profilaksis Antiretrovirus (ARV) Pada Ibu yang


Terinfeksi HIV
Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi maka ibu hamil

terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus


(ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati
ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau
neonatus. Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000
salinan RNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu
dengan jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi
sebanyak 60%. Jumlah virus dalam plasma ibu masih merupakan faktor
prediktor bebas yang paling kuat terjadinya penularan perinatal. Karena itu,
semua

wanita

hamil

yang

terinfeksi

HIV

harus

diberi

pengobatan

antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.17


Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu
yang tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi HIV adalah
status penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan
perhitungan sel T CD4+, perkembangan infeksi ditentukan berdasarkan
jumlah muatan virus, antigen p24 atau RNA/DNA HIV di dalam plasma),
riwayat pengobatan antiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia kehamilan,
dan perawatan penunjang yang diperlukan seperti perawatan psikiater,

37

nutrisi, aktivitas seksual harus memakai kondom, dan lain-lain. ARV cukup
aman diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat teratogenik pada
manusia, dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu hamil dibandingkan dengan
ibu tidak hamil. Walaupun demikian, pemantauan jangka pendek dan jangka
panjang tentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan kombinasi ARV
untuk janin di dalam kandungan dan pada bayi adalah sangat penting, karena
keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak sesuai.17
Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada
wanita tidak hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan
antiretrovirus, keputusan untuk mengganti obat adalah sama dengan wanita
tidak hamil. Rejimen kemoprofilaksis ZDV diberikan tunggal atau bersama
dengan antiretrovirus lain, mulai diberikan pada usia kehamilan 14 minggu
dan jangan ditunda. Karena dengan menunda maka efektivitasnya akan
menurun. Hal ini harus didiskusikan dan ditawarkan kepada seluruh ibu hamil
yang terinfeksi agar risiko penularan HIV perinatal berkurang.17
Walaupun keputusan pemilihan dan penggunaan ARV berbeda-beda,
umumnya keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan : 1) risiko penyakit
berkembang pada ibu bila tanpa pengobatan, 2) manfaat untuk menurunkan
jumlah virus, agar risiko penularan perinatal berkurang, 3) kemungkinan
terjadi toksisitas obat, 4) kemungkinan ada infeksi oleh virus yang sudah
resisten obat, dan 5) efek paparan obat jangka panjang pada bayi dalam
kandungan.17
3.1 Golongan Obat ARV
Golongan

obat

anti-HIV

pertama

adalah

nucleoside

reverse

transcriptase inhibitor atau NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat


golongan ini menghambat perubahan genetik HIV dari bentuk RNA menjadi

38

bentuk DNA. Obat dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat
adalah :18
1. Lamivudine (3TC)
2. Abacavir (ABC)
3. Zidovudine (AZT/ZDV)
4. Stavudine (D4T)
5. Didanosine (Ddl)
6. Emtricitabine (FTC)
7. Tenofovir (TDF)
Golongan obat kedua menghambat langkah yang sama dalam siklus
hidup HIV, tetapi dengan cara lain. Obat ini disebut nonnucleoside reverse
transcriptase inhibitor atau NNRTI, diantaranya adalah :

18

1. Delaviridine (DLV)
2. Evavirens (EFV)
3. Etravirine (ETV)
4. Nevirapine (NVP)
5. Rilpivirine (RPV)
Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan
ini menghambat pematangan virus. Obat golongan PI yang disetujui dan
masih dibuat di AS:18
1. Atazanavir (ATV)
2. Darunavir (DRV)
3. Fosamprenavir (FPV)
4. Indinavir (IDV)
5. opinavir (LPV)
6. Nelfinavir (NFV)
7. Ritonavir (RTV)
8. Saquinavir (SQV)

39

9. Tipranavir (TPV)
Golongan ARV keempat adalah fusion inhibitor. Obat golongan ini
mencegah pengikatan HIV pada sel. Dua obat golongan ini sudah disetujui di
AS:18
1. Enfuvirtide (T-20)
2. Maraviroc (MVC)
Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI). Obat golongan
ini mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik pada sel.
Contoh dua obat ini adalah :18
1. Raltegravir (RGV)
2. Elvitegravir (EGV)
3.2

Pemberian Terapi Antiretrovirus (ARV) Berdasarkan WHO 2013

3.2.1 Kapan memulai pemberian ARV


Pemberian

pengobatan

secara

dini

dikaitkan

dengan

manfaat

pencegahan klinis HIV, keadaan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup


dan mengurangi kejadian infeksi HIV pada tingkat masyarakat. Pada
pedoman WHO 2013 merekomendasikan bahwa program HIV nasional yaitu
memberikan ART bagi semua orang dengan diagnosis HIV konfirmasi
dengan jumlah CD4 500 sel/mm3, Pedoman ini memberikan prioritas untuk
memulai ART bagi mereka dengan penyakit HIV berat atau jumlah CD4
350 cells/mm3. Hal ini juga dianjurkan untuk memulai ART pada orang
dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV dengan penyakit hati yang berat,
semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV, semua anak dengan usia
lima tahun hidup dengan HIV dan semua orang dengan HIV dalam hubungan
serodiskordan, tanpa memandang jumlah CD4.15

3.2.2 Pemberian ARV Pada Ibu Hamil & Menyusui

40

Rekomendasi Terbaru
1. Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple
ARV yang harus dipertahankan selaa terdapat risiko penularan dari ibu ke
anak. Wanita yang memenuhi kriteria diatas dan mendapatkan
pengobatan ARV harus dilanjutkan seumur hidup.15
2. Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan
menyusui dengan HIV harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur
hidup. 15
3. Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk
pemberian ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama
risiko penularan dari ibu ke anak risiko telah berhenti.15

Tabel 10.1 Rekomendasi Awal Pemberian ART Pada Remaja, Orang


Dewasa, Ibu Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.15

41

Tabel 10.2 Pilihan Pemberian Terapi ARV

42

Latar Belakang
Obat ARV yang digunakan untuk wanita hamil dan menyusui dengan
HIV bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah anak terinfeksi.
Manfaat lainnya untuk mencegah penularan HIV secara seksual. Pedoman
WHO PMTCT 2010 merekomendasikan penggunaan ARV seumur hidup
untuk perempuan yang memenuhi syarat dalam pengobatan (berdasarkan
kriteria kelayakan 2010, yaitu jumlah CD4 350 sel/mm3 atau berdasarkan
WHO stadium klinis penyakit 3 atau 4 ) dan pemberian ARV profilaksis untuk
PMTCT bagi wanita dengan HIV yang tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan pengobatan. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat untuk

43

dua rejimen profilaksis yang direkomendasikan adalah Opsi A, yaitu AZT


untuk ibu selama kehamilan, dan dosis tunggal NVP ditambah AZT dan 3TC
untuk ibu saat melahirkan dan dilanjutkan selama seminggu postpartum, dan
"Opsi B" yaitu (triple obat ARV) bagi ibu selama kehamilan dan selama
menyusui. Profilaksis direkomendasikan untuk dimulai sedini mungkin, yaitu
pada usia kehamilan 14

minggu, dan pilihan penggunaan profilaksis

dilakukan selama empat sampai enam minggu peripartum, yaitu diberikan


obat NVP atau AZT untuk bayi, terlepas dari apakah ibu sedang menyusui. 15
Pada tahun 2011, di Malawi dilaksanakan program pendekatan terbaru
untuk terapi ARV, yaitu pemberian terapi ARV seumur hidup bagi semua ibu
hamil dan menyusui dengan HIV tanpa melihat jumlah CD4 atau status klinis,
program

tersebut

dimasukkan

dalam

"Opsi

B+".

Pedoman

2013

merekomendasikan terapi ARV (triple ARV) untuk semua ibu hamil dan
menyusui dengan HIV selama periode risiko penularan dari ibu ke bayi dan
terapi ARV digunakan seumur hidup. Opsi A tidak lagi dianjurkan.15

Lini Pertama Pemberian ART Untuk Ibu Hamil dan Menyusui dan Obat
ARV Pada Bayi
Rekomendasi Terbaru
1. Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang
direkomendasikan sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan
menyusui adalah diberikan sekali sehari, termasuk wanita hamil pada
trimester pertama kehamilan dan wanita usia reproduksi. Rekomendasi ini
berlaku untuk pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk
PMTCT dan kemudian dihentikan.15
2. Bayi dari ibu yang mendapatkan ART dan sedang menyusui harus
mendapatkan terapi profilaksis dengan NVP harian selama enam minggu.

44

Jika bayi menerima makanan pengganti, mereka harus diberikan terapi


profilaksis harian selama empat sampai enam minggu dengan NVP harian
(atau AZT dua kali sehari). Profilaksis pada bayi harus dimulai pada saat
lahir atau ketika didapatkan HIV saat postpartum.15

Tabel 10.2 Pemberian Lini Pertama ART untuk Remaja, Dewasa, Ibu
Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.15

Tabel 10.3 Dosis Rekomendasi Pemberian Obat Antiretroviral.15

45

Latar Belakang

46

Berdasarkan pedoman WHO tahun 2010 pada PMTCT direkomendasikan


bahwa terdapat empat pilihan rejimen yang berbeda untuk wanita hamil dan
menyusui dengan HIV, yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC)
ditambah NVP atau EFV. Pemberian obat NVP dikhawatirkan karena dapat
memberikan efek toksik pada wanita hamil, maka rejimen yang dianjurkan
adalah triple ARV pada PMTCT yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau
FTC) + EFV sebagai rejimen NNRTI. Rejimen alternatif adalah AZT + 3TC
ditambah LPV/r atau ABC.15
Berdasarkan pedoman WHO 2010 direkomendasikan bahwa pemberian
profilaksis yaitu NVP (atau AZT) selama empat sampai enam minggu sebagai
post exposure profilaksis diberikan kepada semua bayi baru lahir dari ibu
yang menerima rejimen triple ARV bertujuan untuk keperluan pengobatan
dan pencegahan. Pemberian profilaksis NVP harian pada bayi baru lahir dan
selama menyusui direkomendasikan jika ibu tidak menerima pengobatan
triple ARV.15

Alasan & Bukti Pendukung


Rejimen lini pertama yang ideal untuk wanita hamil dan menyusui dengan
HIV yaitu tersedia sebagai kombinasi dosis tetap, aman bagi wanita hamil
dan menyusui dan pada bayi mereka. Rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
tersedia sebagai kombinasi dosis tetap sekali sehari dan merupakan
rekomendasi rejimen lini pertama untuk orang dewasa karena mudah
terjangkau. Keselamatan pada bayi merupakan isu penting untuk wanita
hamil dan menyusui dan pada bayi mereka serta wanita yang akan hamil.
Meskipun data menyebutkan bahwa pemberian EFV dan TDF digunakan
terbatas pada ibu hamil, lebih banyak data telah tersedia sejak tahun 2010
dan memberikan peningkatan jaminan untuk merekomendasikan TDF + 3TC

47

(atau FTC) + EFV sebagai lini pertama rejimen ARV untuk wanita hamil dan
menyusui.15

Tabel 10.4 Dosis Rekomendasi Pemberian Profilaksis Pada Bayi Baru


lahir : NVP.15
Infant age
a

Daily dosing
b

Birth to 6 weeks
1. Birthweight 2000-2499 g
2. Birthweight 2500 g

10 mg once daily
15 mg once daily

> 6 weeks to 6 monthsc

20 mg once daily

> 6 months to 9 months

30 mg once daily

> 9 months until breastfeeding


ends

40 mg once daily

a infants weighing <2000 g should receive mg/kg dosing; the suggested starting dose is 2 mg/kg once
daily.
b recommended for 6 weeks, but 4 weeks may be considered in setting with replacement feeding.
c dosing beyond 6 weeks of age in special situations in which prolonged dosing of to 12 weeks should
be considered (such as the mother had limited ART and not being likely to be virally suppressed;the
infants is identified as HIV exposed after birth and is breastfeeding. This is based on the dosing required
to sustain exposure among infants of>100ng/ml with the least dose change

Tabel 10.5 Dosis Rekomendasi Profilaksis Pada Bayi Baru Lahir.19

48

Tidak ada data baru menginformasikan perubahan dalam rekomendasi


pada profilaksis pada bayi. Untuk bayi menyusui, dianjurkan pemberian NVP
selama enam minggu, karena bayi menerima makanan pengganti empat
sampai enam minggu, pemberian NVP atau AZT tetap direkomendasikan.
Jika terjadi efek toksisitas dari NVP pada bayi maka harus dilakukan
penghentian obat, obat tersebut dapat digantikan dengan 3TC. Beberapa
studi telah aman digunakan profilaksis bayi selama menyusui dengan 3TC. 15
Aturan pengobatan Alternatif: toksisitas, intoleransi atau kurangnya
ketersediaan rejimen yang direkomendasikan. 15
AZT direkomendasikan sebagai NRTI alternatif bagi wanita yang tidak
hamil dan yang tidak bisa menerima TDF. Mengingat bahwa AZT bersifat
aman pada wanita hamil dan menyusui. Untuk wanita yang tidak hamil dan
yang tidak bisa menggunakan EFV, yang direkomendasikan adalah NNRTI
alternatif, yaitu NVP. Namun, karena ART (triple ARV) sekarang dianjurkan
untuk wanita hamil dan menyusui tidak memandang jumlah CD4,
kekhawatiran pemberian NVP tetap tinggi pada ibu hamil dengan jumlah
CD4 yang tinggi. 15
Meskipun pedoman 2010 menyatakan bahwa manfaat dari NVP
sangat berisiko untuk wanita dengan jumlah CD4 250-350 sel/mm3. Data
keamanan pada perempuan dengan jumlah CD4 350 sel/mm3 sangat
terbatas, dan telah ditemukan efek toksik pada hepar yang mengancam
nyawa ketika NVP digunakan setelah terpapar infeksi HIV dengan jumlah
CD4 yang tinggi. Namun, tinjauan sistematis baru-baru ini menyebutkan
bahwa risiko toksisitas nevirapin pada wanita hamil menunjukkan frekuensi
efek samping yang tidak lebih tinggi dari populasi dewasa umumnya. 15

49

Tabel 10.6 Perbedaan Pemberian ARV Profilaksis Pada Ibu dan Bayi
Berdasarkan Skenario Klinik.15

50

Tabel 10.7 Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui


Menurut WHO 2013. 15

51

Tabel 10.8 Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui


Menurut WHO 2013. 15

52

10.9 Algoritma Rekomendasi 2013 Penatalaksanaan HIV pada Remaja


dan Dewasa.15

53

XI.

PERAWATAN

54

XI.1

Perawatan Sebelum Kehamilan


Wanita yang terinfeksi HIV harus berkonsultasi adengan dokter

spesialisasi HIV sebelum mencoba untuk hamil. Beberapa obat HIV tidak
aman untuk dikonsumsi selama kehamilan, dan perlu dipertimbangkan
sebelum mencoba untuk hamil. Wanita yang terdeteksi tidak ada virus yang
dalam darah, memiliki risiko jauh lebih rendah menularkan virus HIV ke bayi
mereka daripada wanita yang memiliki virus yang terdeteksi dalam darah
mereka. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk lebih memahami
bagaimana infeksi HIV dan pengobatan HIV mempengaruhi kesehatan
perempuan dan bayi. Kehamilan tampaknya tidak memperburuk HIV atau
meningkatkan risiko kematian akibat HIV. Hal ini tidak jelas apakah
pengobatan HIV atau HIV meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, seperti
prematuritas, berat badan lahir rendah, dan kelahiran mati.

19

Namun, sangat jelas bahwa obat HIV tertentu, seperti AZT (ZDV atau
AZT) dan obat lain yang melewati plasenta, secara signifikan dapat
mengurangi risiko bahwa bayi akan terinfeksi HIV ketika obat tersebut
diminum selama kehamilan dan persalinan, dan kemudian diberikan kepada
bayi setelah melahirkan. Itulah sebabnya pedoman pengobatan HIV sangat
merekomendasikan kombinasi obat untuk mencegah penularan HIV kepada
bayi yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Umumnya, AZT diberikan
dengan obat lain sebagai bagian dari rejimen tiga jenis obat. Beberapa obatobatan HIV, seperti efavirenz, tidak boleh digunakan pada wanita yang
sedang merencanakan kehamilan. Bicarakan dengan dokter anda tentang
risiko dan manfaat dari penggunaan obat HIV selama kehamilan. 19

X.2 Perawatan Selama Kehamilan

55

Perempuan

dengan

HIV

biasanya

membutuhkan

bantuan

dari

beberapa penyedia layanan kesehatan selama kehamilan, termasuk seorang


spesialis HIV, penyedia layanan kesehatan primer, dan penyedia perawatan
kebidanan. Evaluasi awal setelah kehamilan dikonfirmasi, pasien harus
bertemu dengan spesialis HIV dan dokter kandungan dan selama kunjungan
tersebut akan membahas bagaimana mengatasi HIV selama kehamilan dan
mengurangi risiko penularan HIV ke bayi .19
Selama pemeriksaan awal, akan dilakukan tes darah untuk menentukan
jumlah virus HIV dalam darah (misalnya, viral load HIV) dan kekuatan sistem
kekebalan tubuh (misalnya, jumlah sel T CD4 ). Selain itu, juga dilakukan tes
darah lain untuk mengevaluasi kesehatan umum dan untuk memantau efek
samping obat. Selama kehamilan, kebanyakan wanita dengan HIV
disarankan untuk mengambil rejimen antiretroviral dengan menggunakan tiga
obat HIV. Bila mungkin, zidovudine (AZT) disertakan karena telah terbukti
secara signifikan mengurangi risiko penularan HIV ke bayi dan dianggap
aman untuk dikonsumsi selama kehamilan. Studi menunjukkan bahwa wanita
yang memulai pengobatan HIV pada awal kehamilan lebih mungkin untuk
memiliki jumlah virus yang rendah dalam darah. Namun, beberapa wanita
mungkin lebih suka untuk memulai setelah trimester pertama kehamilan
untuk menghindari paparan obat yang tidak perlu pada bayi. Pengobatan HIV
terus berlanjut sepanjang kehamilan untuk mencegah penularan HIV ke
bayi.19
Bahkan jika AZT tidak digunakan selama kehamilan, masih dianjurkan
bagi beberapa wanita selama proses melahirkan dan bayi yang baru lahir
selama enam minggu setelah kelahiran. Ada beberapa obat HIV yang tidak
boleh digunakan dalam kehamilan: meliputi kombinasi stavudine (d4T) dan
ddI (ddI) digunakan bersama-sama. Nevirapine umumnya tidak dimulai pada
perempuan dengan jumlah CD4 > 250/mm3. Efavirenz tidak harus dimulai

56

selama trimester pertama kehamilan. Namun, wanita yang hamil selama


memakai efavirenz dapat melanjutkan pengobatan itu. Penggunaan USG
biasanya dianjurkan pada kehamilan 18 sampai 20 minggu

untuk

mengevaluasi pertumbuhan janin. Tindak lanjut USG sering dianjurkan


selama trimester kedua atau ketiga untuk memonitor pertumbuhan janin. 19
Obat HIV yaitu AZT diberikan selama persalinan ketika seorang
wanita tidak memiliki jumlah HIV yang rendah dalam darah dan telah
mendekati waktu persalinan, AZT membantu mengurangi risiko penularan
HIV. Wanita yang mengkonsumsi kombinasi obat HIV harus dilakukan terus
menerus mengikuti jadwal selama persalinan dimulai atau sebelum operasi
sesaria, hal ini membantu untuk memberikan perlindungan maksimal kepada
ibu dan bayi dan untuk meminimalkan risiko terjadinya resistensi obat.19
Cara paling aman untuk perempuan dengan HIV untuk melahirkan bayi
(yaitu dengan operasi sesaria elektif), dan tergantung pada viral load HIV
selama kehamilan. Manfaat dari kelahiran sesaria yang dijadwalkan adalah
dapat meminimalkan paparan bayi dari darah ibu dan cairan vagina di jalan
lahir. Risikonya bahwa kelahiran dengan sesaria dapat mengakibatkan
komplikasi pada ibu (perdarahan, infeksi, dll), dan mungkin lebih sulit untuk
pulih setelah operasi sesaria dibandingkan dengan persalinan normal. Wanita
hamil dengan HIV yang telah mengkonsumsi obat HIV selama kehamilan dan
memiliki viral load yang tidak terdeteksi pada 34-36 minggu kehamilan dapat
memilih untuk melakukan persalinan normal. 19
Wanita hamil dengan HIV yang telah mengkonsumsi obat HIV selama
kehamilan, tetapi memiliki viral load di atas 1.000/ mL pada 34-36 minggu
kehamilan biasanya disarankan untuk melakukan kelahiran dengan operasi
sesaria daripada persalinan pervaginam. Dalam situasi ini, operasi sesaria
biasanya dijadwalkan pada 38 minggu kehamilan. Wanita dengan viral load
antara 0 dan 1000 kopi / mL yang telah mengkonsumsi obat HIV selama

57

kehamilan dapat memilih antara persalinan normal atau operasi sesaria.


Tidak ada informasi yang cukup dari studi untuk mengetahui apakah
persalinan sesaria mengurangi risiko penularan HIV ke bayi yang baru lahir.19
XI.3 Perawatan Setelah Persalinan
Setelah melahirkan, perempuan yang mengkonsumsi obat HIV selama
kehamilan harus mendiskusikan manfaat yang obat HIV. Layanan perawatan
dan dukungan yang berkelanjutan, termasuk perawatan medis terkait HIV,
dukungan psikososial, dan bantuan dengan keluarga berencana dan
pengendalian kelahiran, dapat membantu wanita untuk merawat kebutuhan
dirinya dan keluarganya. Perempuan HIV yang menyusui dapat menularkan
HIV kepada bayi. Dalam salah satu penelitian terhadap lebih dari 600
pasangan ibu-bayi dari Malawi, risiko penularan HIV ke bayi melalui ASI
adalah 7% untuk bayi yang disusui selama satu tahun dan 10% untuk bayi
yang disusui selama dua tahun.19
Di Amerika Serikat dan negara-negara kaya sumber daya alam
lainnya, air bersih dan susu formula sudah tersedia dan alternatif yang aman
untuk menyusui. Oleh karena itu, Amerika Serikat Public Health Service
merekomendasikan bahwa wanita di negara-negara kaya sumber daya yang
terinfeksi HIV tidak menyusui bayi mereka, bahkan jika wanita tersebut
memakai obat HIV. Sementara risiko penularan HIV melalui ASI dapat
diturunkan dengan obat HIV.19
Bayi yang baru lahir dari ibu HIV biasanya diobati dengan AZT
selama enam minggu pertama kehidupan. AZT dapat membantu untuk
mencegah bayi terinfeksi HIV sebagai akibat dari paparan darah ibu selama
persalinan. Biasanya, orang dewasa dan anak-anak menjalani tes antibodi
HIV untuk melihat apakah mereka terinfeksi HIV. Namun, tes antibodi HIV
tidak akurat pada bayi sejak antibodi HIV dapat ditransfer dari ibu ke bayi. Hal
ini dapat mengakibatkan bayi yang memiliki hasil tes HIV positif. Namun, ini

58

tidak berarti bahwa bayi tentu memiliki infeksi HIV.Untuk alasan ini, tes
khusus yang secara langsung mengukur virus itu sendiri dilakukan pada bayi
untuk melihat apakah mereka terinfeksi yaitu tes virus khusus,tes PCR
(disebut PCR tes HIV) , jika hasilnya adalah negatif, maka bayi tidak
terinfeksi HIV.19
Studi pada bayi yang terkena AZT dan tidak terinfeksi HIV belum
menunjukkan peningkatan risiko masalah serius dengan pertumbuhan,
sistem kekebalan tubuh, fungsi otak, kanker, atau masalah lain untuk hingga
enam tahun. Namun, data jangka panjang mengenai keamanan obat HIV
selama kehamilan, terutama rejimen kombinasi, tidak tersedia. Akibatnya,
bayi dan anak-anak yang terkena obat antiretroviral selama kehamilan ibu
mereka harus dipantau selama hidupnya.19

59

60

Anda mungkin juga menyukai