Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Tujuan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Obginsos

2.1.1 Obstetri Dan Ginekologi Sosial

Obstetri Ginekologi Sosial: Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik


antara alat dan fungsi reproduksi dengan lingkungannya, terutama lingkungan
sosial.

1
1. Masalah Obstetri dan Ginekologi Sosial di Indonesia

Tidak ada angka tepat mengenai kematian maternal di Indonesia karena


belum adanya sistem pendaftaran wajib untuk kelahiran dan kematian.
Menurut taksiran kasar, angka kematian maternal ialah 6-8 per 1000
kelahiran, angka ini sangat tinggi dibanding negara-negara maju. Hal ini
disebabkan oleh adanya faktor-faktor lain di luar pelayanan kebidanan
yang memegang peranan dalam penentuan angka tersebut, yaitu
kekurangan gizi dan anemi, paritas tinggi, dan usia lanjut pada ibu hamil.
Angka kematian perinatal yang terdapat di kepustakaan juga tidak
menggambarkan keadaan sebenarnya. Angka tersebut berkisar 77,3 sampai
137,7 per 1000. Hans E. Monintja menyimpulkan :
Lebih dari separuh dari kematian perinatal ialah bayi lahir mati
Angka kematian perinatal bayi BBLR lebih daripada 2x angka
kematian bayi cukup bulan
Kematian dalam 24 jam pertama sekitar 37% dari angka kematian
neonatal dini.
Selain itu, masalah pelayanan kesehatan yang tidak merata juga belum
terpecahkan. Masyarakat desa belum dapat merasakan pelayanan adekuat.
Meskipun pemerintah telah mengadakan Puskesmas Keliling di daerah
terpencil dan sulit dijangkau, namun persalinan oleh dukun dan di rumah
masih merupakan cara persalinan terbanyak yang dilakukan oleh
masyarakat.

2. Upaya Obsginsos di Indonesia


Sarana upaya pelayanan kesehatan di Indonesia meliputi :
1) Primary Health Care/ Pelayanan Kesehatan Dasar
Dalam Sistem Kesehatan Nasional tahun 1982 dinyatakan bahwa
pelayanan kesehatan dasar merupakan upaya mendekatkan pelayanan
pada masyarakat, khususnya untuk ibu hamil yang tinggal di pedesaan
2) Safe Motherhood Initiative

2
Tahun 1988 diadakan workshop nasional mengenai Safe Motherhood
yang melibatkan pemerintah dengan 17 lintas sektor terkait, Lembaga
Swadaya Masyarakat nasional/internasional dan masyarakat agar
berkembang kesamaan persepsi dan komitmen bersama untuk upaya
Percepatan Penurunan Angka Kematian IBU (PP AKI)
3) Bidan di Desa
Tahun 1989 kebijakan pemerintah diberlakukan dengan menempatkan
1 bidan di tiap desa sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan.
Pondok Bersalin Desa (Polindes) dikembangkan sebagai tempat
melahirkan. Bidan desa juga mendapat pengetahuan dasar dan
pembidanaan tentang pelayanan kebidanan
4) Gerakan Sayang Ibu (GSI)
Pada Desember 1996 dicanangkan sebagai wadah kemitraan antara
pemerintah pusat sampai pedesaan dengan masyarakat dengan tujuan
Percepatan Penurunan AKI. GSI kabupaten memberikan kebijakan
politis dengan keterlibatan lintas sektor terkait, sedangkan GSI
kecamatan dan pedesaan melakukan operasionalisasi bantuan
penanganan masalah sosial, seperti biaya dan transportasi.
Dikembangkan pula Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi
5) Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan Menuju INDONESIA
SEHAT 2010
Dicanangkan pada 1 Maret 1999 dengan pola dasar Paradigma Sehat,
bersifat promotif preventif proaktif dengan dukungan pelayanan
kuratif rehabilitatif dalam pemeliharaan kesehatan komprehensif.
Target Indonesia Sehat 2010 adalah
penurunan AKI dari 450/100.000 KH (tahun 1988) menjadi
125/100.000 KH di tahun 2010
bidan desa di tiap desa
perawatan kehamilan 95%
persalinan tenaga kesehatan 90%
penanganan ibu risiko tinggi dan komplikasi persalinan 80%
ketersediaan informasi mengenai KB 90%

3
Toksoid Tetanus pada ibu hamil 90%
6) Making Pregnancy Safer
Dalam rencana Strategi Nasional tahun 2001-2010 oleh Depkes, pada
tahun 2000 mengacu tuujuan global yaitu menurunkan AKI sebesar
75% pada tahun 2015 menjadi 115/100.000 KH dan menurunkan
AKB menjadi kurang dari 35/1000 KH
7) Pedoman Manajemen Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi
Komprehensif 24 jam di tingkat Kecamatan dan Kabupaten/ Kota.
Merupakan kebijakan Depkes tahun 2005 melalui pengembangan
Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK 24 jam. RS Kabupaten
dengan Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi dan Anak bertanggung
jawab membina wilayah dalam pelayanan kebidanan serta sebagai RS
rujukan primer mendukung Puskesmas di tingkat Kecamatan
8) DESA SIAGA ( Desa Siap Antar Jaga)
Dibentuk tahun 2006 dengan 4 kegiatan utama yaitu :
a. Notifikasi ibu hamil
b. Tabungan ibu bersalin/ Tabulin, dana sosial ibu bersalin/Dasolin
c. Transportasi
d. Ketersediaan donor darah
Pengendalian pelayanan Obstetri Ginekologi seyogyanya
merupakan suatu bagian dari system yang mempunyai kehendak
meningkatkan mutu terus menerus. Pada kenyataannya ketidakpuasan
pasien yang berupa tuntutan terus meningkat, diseluruh dunia termasuk di
Indonesia. Upaya yang direncanakan untuk mengurangi dampak
kelemahan pelayanan ialah dengan membentuk manajemen risiko klinik
(clinical risk management). Melalui upaya ini diharapkan identifikasi
kelemahan dapat diketahui secara dini dan diredam dengan maksud
meningkatkan mutu secara keseluruhan (Wiknjosastro, 2003).
Ruang lingkup MRK ditujukan terutama bidang Obstetri, namun
dapat diperluas pada ginekologi dan perinatal. Kegiatan kelompok ini ialah
berkaitan dengan masalah (risiko) : identifikasi risiko, analisa
risiko/masalah, pengendalian risiko, pendanaan risiko. Risiko tersebut
berkembang secara bertahap, sehingga kelompok kerja harus bersikap

4
proaktif. Dengan demikian diperlukan kepemimpinan dan organisasi yang
mantap, dimana dapat bekerja sama dengan pimpinan namun bersifat tegas
(Wiknjosastro, 2003).
Tujuan identifikasi risiko menelaah kesalahan yang terjadi pada
pelayanan Obstetri Ginekologi. Seharusnya penyidikan langsung
dilakukan begitu diketahui adanya kesalahan (risiko). Risiko dapat
menyangkut : kematian, kesakitan atau efek samping yang memerlukan
penyidikan (Wiknjosastro, 2003).
Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat saat ini
dirasakan bahwa dengan pendekatan Obstetri Ginekologi Klinik saja tidak
mungkin dapat menyelesaikan masalah kesehatan reproduksi secara
paripurna, karena ada keterbatasan, baik dalam pengertian Falsafah,
Wawasan maupun Garapannya. Untuk itu perlu dikembangkan Obstetri
Ginekologi Sosial. Sesuai dengan tahap perkembangannya kita sekarang
mengenal tiga keilmuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi,
yaitu Obstetri Ginekologi Klinik, Obstetri Ginekologi Sosial dan
Kesehatan Reproduksi sendiri (Martaadisoebrata, 2009).
Pada saat Obstetri Ginekologi Sosial dikembangkan, sebetulnya
tujuan pertama adalah untuk mengingatkan para dokter spesialis kebidanan
dan penyakit kandungan (SpOG) akan adanya ketimpangan antara
perkembangan ilmu dan bioteknologi yang dianut para klinisi dengan hasil
yang dicapai dalam penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Di
satu pihak perkembangan ilmu bioteknologi menghasilkan subspesialisasi
seperti Feto Maternal, Onkologi Reproduksi dan Fertiliti Endokrinologi
Reproduksi, di lain pihak angka kematian/kesakitan ibu/ anak masih tetap
tinggi, demikian juga dengan prevalensi STD/HIV/AIDS
(Martaadisoebrata, 2009).
Obstetri Ginekologi Sosial juga ingin mengingatkan akan adanya
pengaruh timbul balik antara proses biomedis reproduksi serta hasil
penanganannya, dengan faktor sosial. Karena itu para klinisi digugah agar
mau memperluas wawasan, baik secara konseptual maupun

5
implementasinya. Di sini sengaja digunakan istilah memperluas wawasan,
bukan mengubah, karena adanya ObGinSos (Obstetri Ginekologi Sosial)
tidak bermaksud untuk menghilangkan Obstetri Ginekologi Klinik.
Seorang Obstetri Ginekologi Sosial harus tetap seorang klinisi yang mahir.
Hanya saja wawasannya diperluas, dengan pengertian bahwa bidan
maupun SpOG tersebut harus memikirkan bagaimana kemampuan
kliniknya, di samping bermanfaat bagi setiap wanita sebagai individu,
dapat pula dimanfaatkan secara efektif dan efisien, oleh sebagian besar
masyarakat yang memerlukannya (Martaadisoebrata, 2009)

2.1.2 RUANG LINGKUP KESEHATAN REPRODUKSI


Kebijakan Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia menetapkan
bahwa Kesehatan Reproduksi mencakup 5 (lima) komponen/program terkait,
yaitu Program Kesehatan Ibu dan Anak, Program Keluarga Berencana,
Program Kesehatan Reproduksi Remaja, Program Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, dan
Program Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut. Pelaksanaan Kesehatan
Reproduksi dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan siklus hidup (life-
cycle approach) agar diperoleh sasaran yang pasti dan pelayanan yang jelas
berdasarkan kepentingan sasaran/klien dengan memperhatikan hak reproduksi
mereka.
Saat ini, kesehatan reproduksi di Indonesia yang diprioritaskan baru
mencakup empat komponen/program, yaitu: Kesehatan Ibu dan Bayi Baru
Lahir, Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi Remaja, serta Pencegahan
dan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS.
Pelayanan yang mencakup empat komponen/program tersebut disebut
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE). Jika PKRE ditambah
dengan pelayanan Kesehatan Reproduksi untuk Usia Lanjut, maka pelayanan
yang diberikan akan mencakup seluruh komponen Kesehatan Reproduksi,
yang disebut Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK).
1. KIE - KESEHATAN REPRODUKSI

6
Tujuh aspek penting yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan setiap
kegiatan KIE Kesehatan Reproduksi, yaitu:
1) Keterpaduan
Kegiatan KIE Kesehatan Reproduksi dilaksanakan secara terpadu.
Keterpaduan dapat berupa keterpaduan dalam aspek sasaran, lokasi,
petugas penyelenggara, dana, maupun sarana.
2) Mutu
Materi KIE Kesehatan Reproduksi haruslah bermutu, artinya selalu
didasarkan pada informasi ilmiah terbaru, kebenarannya dapat
dipertanggung jawabkan, jujur serta seimbang (mencakup keuntungan
& kerugian bagi sasaran), sesuai dengan media dan jalur yang
dipergunakan untuk menyampaikannya, jelas dan terarah pada
kelompok sasaran secara tajam (lokasi, tingkat sosial-ekonomi, latar
belakang budaya, umur), tepat guna dan tepat sasaran.
3) Media dan Jalur
Kegiatan KIE Kesehatan Reproduksi dapat dilaksanakan melalui
berbagai media (tatap muka, penyuluhan massa/kelompok, dan lain-
lain) dan jalur (formal, informal, institusional, dan lain-lain) sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada. Pemilihan media dan jalur ini
dilakukan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-
masing media dan jalur sesuai dengan kondisi kelompok sasaran dan
pesan yang ingin disampaikan.
4) Efektif (berorientasi pada Penambahan Pengetahuan dan Perubahan
Perilaku Kelompok Sasaran)
Kegiatan KIE yang efektif akan memberi dua hasil, yaitu:
a. penambahan pengetahuan, dan
b. perubahan perilaku kelompok sasaran.
Pesan-pesan KIE Kesehatan Reproduksi harus berisi informasi yang
jelas tentang pengetahuan dan perilaku apa yang diharapkan akan
mampu dilakukan oleh kelompok sasaran.
5) Dilaksanakan Bertahap, Berulang dan Memperhatikan Kepuasan
Sasaran
Penyampaian materi dan pesan-pesan harus diberikan secara bertahap,
berulang-ulang dan bervariasi, sesuai dengan daya serap dan
kemampuan kelompok sasaran untuk melaksanakan perilaku yang

7
diharapkan. Oleh karena itu, materi perlu diolah sedemikian rupa agar
akrab dengan kondisi dan lingkungan kelompok sasaran melalui
pemilihan bahasa, media, jalur dan metode yang sesuai.
6) Menyenangkan
Perkembangan terakhir dunia komunikasi menunjukkan bahwa
kegiatan KIE paling berhasil jika dilaksanakan dengan cara
penyampaian yang kreatif dan inovatif sehingga membuat kelompok
sasaran merasa senang atau terhibur. Penyampaian yang kreatif dan
inovatif ini dilakukan melalui pendekatan "pendidikan yang
menghibur" (edu-tainment), yang merupakan kombinasi dari
education (pendidikan) dan entertainment (hiburan). Metode ini
bersifat mengajak kelompok sasaran berfikir melalui rangsangan
rasional sehingga mendapat informasi yang bermanfaat (sebagai hasil
kegiatan pendidikan) sekaligus diberi rangsangan emosional berupa
hiburan menarik yang membuat mereka merasa senang (terhibur).
Bentuk-"edu-tainment" yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan KIE
Kesehatan Reproduksi ini antara lain berupa dongeng, humor, lagu,
drama, komik, lomba, kuis dan lain-lain.
7) Berkesinambungan
Semua kegiatan KIE tidak berhenti pada penyampaian pesan-pesan
saja, namun harus diikuti dengan tindak lanjut yang
berkesinambungan. Artinya, setelah kegiatan KIE dilaksanakan, perlu
selalu diikuti penilaian atas proses (apakah telah dilaksanakan sesuai
rencana?) dan penilaian atas hasil (apakah pengetahuan dan perilaku
kelompok sasaran telah berubah?) untuk menyiapkan kegiatan
berikutnya.
2. PELAKSAAN PROGRAM KESEHATAN REPRODUKSI
Beberapa masalah yang dialami dalam pelaksanaan program kesehatan
reproduksi adalah sebagai berikut:
1) Tingkat pengambil keputusan
Program kesehatan reproduksi pada saat ini belum merupakan prioritas
program pemerintah. Anggaran pembangunan untuk kesehatan
reproduksi belum bertambah. Hal ini sangat berpengaruh terhadap
anggaran yang tersedia untuk program kesehatan reproduksi.

8
2) Koordinasi
Koordinasi program antar sektor masih belum berjalan seperti yang
diharapkan. Untuk itu perlu dibentuk wadah koordinasi program
kesehatan reproduksi di semua tingkat administrasi pemerintah seperti
pembentukan Komisi Kesehatan Reproduksi di tingkat nasional.
3) Kebijakan otonomi daerah
Dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, BKKBN
kabupaten/kota digabungkan dengan dinas lain seperti dengan dinas
kependudukan dan catatan sipil, dinas pemberdayaan masyarakat,
dinas pemberdayaan perempuan, dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan
kewenangan, fungsi dan dukungan sumber daya akan semakin
berkurang.
4) Tingkat pelaksanaan
Program dan kegiatan Kesehatan Reproduksi dengan pendekatan
komprehensif masih belum diketahui oleh para pelaksana di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar, walaupun pelayanan konvensional yang
dilaksanakan berbagai sektor sudah dijalankan oleh pelaksana
lapangan. Di masa depan, diharapkan fasilitas pelayanan dasar mampu
melaksanakan pelayanan kesehatan reproduksi secara komprehensif,
terintegrasi dan terkoordinasi sehingga masyarakat dapat merasakan
manfaatnya.
5) Pencapaian indikator
Jumlah indikator yang ingin ditangani oleh setiap sektor cukup banyak
dan tingkat pencapaiannya berbeda-beda. Keadaan ini kurang
menguntungkan untuk pencapaian program Kesehatan Reproduksi
secara nasional. Nilai indikator yang dapat digunakan oleh setiap
sektor adalah dengan "strong indicators" yang digunakan WHO
ditambahkan dengan indikator lain yang sesuai dengan kebutuhan
komponen. Kondisi yang diharapkan adalah disepakatinya indikator
minimal yang harus dicapai oleh program Kesehatan Reproduksi dan
disesuaikan dengan Milenium Development Goals. Indikator tersebut
adalah:
a. Maternal Mortality Ratio,
b. Child Mortality Rate,

9
c. Total Fertility Rate,
d. Prevalensi infeksi HIV pada umur 15-24 tahun menurun sebesar
20%,
e. Setiap orang mampu melindungi dirinya dari penularan PMS dan
HIV/AIDS,
f. Peningkatan peran serta masyarakat dalam penanganan kesehatan
reproduksi, dan
g. Human Development Index (HDI).

2.1.3 STRATEGI DAN PESAN UTAMA KIE KESEHATAN


REPRODUKSI
1. Strategi KIE Kesehatan Reproduksi
Upaya Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Kesehatan Reproduksi
memiliki 2 (dua) tujuan yaitu : (a) peningkatan pengetahuan, (b)
perubahan perilaku kelompok sasaran/klien tentang semua aspek
Kesehatan Reproduksi. Dengan tercapainya dua tujuan ini, diharapkan
dapat membantu tercapainya tujuan akhir kegiatan pelayanan kesehatan
reproduksi, yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Ada 3
(tiga) strategi yang biasa digunakan sebagai dasar melaksanakan kegiatan
KIE Kesehatan Reproduksi, yaitu :
1) Advokasi: Mencari dukungan dari para pengambil keputusan untuk
melakukan perubahan tata nilai atau peraturan yang ada untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan reproduksi, sehingga tujuan
KIE Kesehatan Reproduksi (peningkatan pengetahuan yang diikuti
perubahan perilaku) dapat tercapai. Kelompok sasaran untuk strategi
advokasi ini biasa dikenal dengan istilah "kelompok sasaran tersier".
Bentuk operasional dari strategi advokasi ini biasanya berupa
pendekatan kepada pimpinan/ institusi tertinggi setempat.
2) Bina Suasana : Membuat lingkungan sekitar bersikap positif terhadap
tujuan KIE Kesehatan Reproduksi yang ingin dicapai yaitu
peningkatan pengetahuan yang diikuti perubahan perilaku. Strategi ini
biasanya digunakan untuk kelompok sasaran para pimpinan
masyarakat dan/atau orang-orang yang mempunyai pengaruh besar
terhadap pengetahuan dan perilaku kelompok sasaran utama.

10
Kelompok sasaran untuk strategi bina suasana ini biasa dikenal
dengan istilah "kelompok sasaran sekunder". Bentuk operasional dari
strategi ini biasanya berupa pelatihan, sosialisasi program,
pertemuanpertemuan, yang dapat memanfaatkan metode komunikasi
modern dan formal maupun metode sederhana (tatap muka) dan
informal.
3) Gerakan Masyarakat : Membuat pengetahuan kelompok sasaran
utama (yaitu mereka yang memiliki masalah) meningkat yang diikuti
dengan perubahan perilaku mereka sehingga dapat mengatasi masalah
yang dihadapi. Kelompok sasaran untuk strategi Gerakan Masyarakat
ini umumnya merupakan kelompok sasaran utama dan dikenal dengan
istilah "kelompok sasaran primer", yaitu mereka yang pengetahuan
dan perilakunya hendak diubah. Bentuk operasional dari strategi ini
biasanya berupa tatap muka langsung atau penyuluhan kelompok, dan
lebih sering memanfaatkan metode komunikasi yang lebih sederhana
dan informal, misalnya melakukan latihan bagi kader-kader PKK dan
kader Posyandu sehingga mereka menjadi tahu tentang Kesehatan
Reproduksi atau pelayanan Kesehatan Reproduksi yang tersedia
sehingga dapat memberi tahu masyarakat di lingkungannya untuk
memanfaatkan pelayanan tersebut. Untuk melaksanakan strategi
Gerakan Masyarakat dan Bina Suasana, perlu memperhatikan 5 (lima)
aspek berikut:
a. Pesan inti yang ingin disampaikan (APA);
b. Kelompok yang akan menjadi sasaran penyampaian pesan tersebut
(SIAPA);
c. Pengetahuan yang diharapkan diketahui oleh kelompok sasaran;
d. Perilaku yang diharapkan mau/bisa diterima dan dilakukan
kelompok sasaran;
e. Cara apa yang paling tepat untuk mencapai kelompok sasaran
tersebut (jalur dan media)
Dengan memperhatikan empat aspek yang pertama, dapat menentukan
APA pesan inti yang akan disampaikan, SIAPA kelompok sasaran
yang akan dituju, pengeTAHUan yang diharapkan diketahui oleh

11
kelompok sasaran, dan perilaku yang diharapkan MAU diterima dan
dapat dilakukan oleh kelompok sasaran. Setelah empat aspek pertama
dipenuhi, Mahasiswa kemudian dapat menentukan aspek yang ke lima
yaitu cara apa yang paling sesuai untuk melaksanakan kegiatan
dengan memilih JALUR dan MEDIA penyampaian yang paling tepat.
Semua kegiatan KIE Kesehatan Reproduksi di Indonesia selalu
mengacu kepada 5 (lima) pelayanan yang terkait dalam Kesehatan
Reproduksi, yaitu Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir,
Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi Remaja, Pencegahan dan
Penanggulangan PMS termasuk HIV/AIDS.
2. Kegiatan Kie Kesehatan Reproduksi
Pada tingkat pelayanan dasar maka kegiatan operasional KIE Kesehatan
Reproduksi terbagi 2 (dua), yaitu: Kegiatan di dalam gedung Puskesmas
dan di luar gedung Puskesmas.
1) Kegiatan KIE di dalam gedung Puskesmas
Bentuk kegiatan di dalam gedung Puskesmas dapat berupa:
a. Penyampaian pesan secara langsung (Tatap Muka).
Tatap muka langsung untuk perorangan dapat berlangsung saat
memeriksa pasien baik di klinik KIA/KB Puskesmas maupun saat
kunjungan pasien di ruangan Puskesmas Rawat Inap. Tatap muka
langsung untuk kelompok dapat dilakukan kepada pasien dan/atau
keluarganya yang sedang berada di ruang tunggu Puskesmas.
Kegiatan tatap muka langsung ini memiliki peluang besar sekali
untuk berhasil jika dilakukan dengan benar karena pesan dapat
disampaikan dengan diikuti penjelasannya. Cara tersebut juga
dapat menyampaikan keterampilan (bukan hanya pengetahuan)
dalam bentuk peragaan atau demonstrasi cara melakukan sesuatu
(misalnya cara memasang kondom, cara sederhana untuk menilai
ada/tidaknya anemia dengan melihat kelopak mata dan lidah,
dsbnya). Dalam melaksanakan kegiatan ini perlu diupayakan
adanya komunikasi dua arah, yaitu dengan memberi kesempatan
pada sasaran untuk bertanya, atau menanyakan kembali kepada

12
sasaran, untuk menilai apakah pesan telah benar-benar dipahami
dan sasaran benar-benar mengetahui isi pesan.

b. Penyampaian pesan secara tidak langsung.


Bentuk kegiatan ini biasanya berupa pemutaran kaset lagu-lagu
atau video hiburan yang diselingi pesanpesan singkat, atau
pemasangan poster/media cetak lain, dalam lingkungan fasilitas
pelayanan Puskesmas. Bentuk kegiatan ini dapat pula ditujukan
kepada sasaran perorangan berupa pembagian selebaran atau
leaflet kepada setiap pengunjung. Kegiatan ini juga
memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah, yaitu dengan
menghadirkan petugas untuk memulai pembicaraan dengan
kelompok sasaran, misalnya dengan menanyakan atau membahas
isi pesandalam kaset/video yang diputar, poster yang dipasang
atau leaflet yang dibagikan. Dengan adanya pembicaraan antara
mahasiswa dengan sasaran tersebut, sekaligus terjadi komunikasi
dua arah berupa saling bertanya antara petugas dan sasaran,
sehingga dapat dilakukan penilaian apakah pesan telah benar-
benar dipahami oleh sasaran.
2) Kegiatan KIE di luar gedung Puskesmas
Bentuk kegiatan dapat berupa :
a. Penyampaian pesan untuk kelompok kecil
Proses kegiatan tatap muka untuk kelompok di luar gedung
Puskesmas tidak banyak berbeda dengan di dalam gedung
Puskesmas, hanya saja kelompok sasaran yang ditemui biasanya
adalah kelompok yang kecil dan khusus. Kelompok khusus ini
seringkali merupakan kelompok sasaran sekunder atau yang
memiliki pengaruh terhadap sasaran utama, misalnya kelompok
ibu-ibu PKK, kelompok pengajian, persatuan orang tua murid dan
guru dan lain-lain. Kelompok khusus ini dapat juga merupakan
kelompok sasaran utama, misalnya pertemuan kelompok remaja,
paguyuban KB, kelompok ibuibu pengunjung Posyandu, keluarga
yang dikunjungi di rumah dan lain-lain. Kegiatan tatap muka

13
dengan kelompok kecil ini juga memiliki peluang besar sekali
untuk berhasil karena jika pesan tersampaikan dengan benar maka
akan dapat mendorong kelompok sasaran sekunder untuk
meneruskan pesan-pesan itu kepada kelompok sasaran utama.
Dalam melaksanakan kegiatan ini perlu komunikasi dua arah yaitu
dengan memberi kesempatan pada sasaran untuk bertanya.
Mahasiswa juga dapat mencoba meminta peserta untuk mengulang
kembali pesan yang disampaikan (parafrasing) untuk menilai
pemahaman sasaran tehadap pesan dan menilai kemampuan
sasaran untuk meneruskan pesan dengan tepat.
b. Penyampaian pesan untuk kelompok besar.
Proses ini mencakup penyampaian pesan kepada orang dalam
jumlah sangat banyak dan biasanya tidak memungkinkan terjadi
komunikasi dua arah. Karena tidak mungkin melakukan
komunikasi dua arah untuk menilai apakah sasaran benar-benar
memahami isi pesan, maka kegiatan KIE kesehatan reproduksi
untuk kelompok besar ini memerlukan persiapan khusus terutama
dalam penciptaan pesannya, pesan yang disampaikan harus
singkat, menarik, mudah diingat dan mudah dilakukan.

2.1.4 KEBIJAKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA


1. Pemerintah, masyarakat termasuk remaja wajib menciptakan lingkungan
yang kondusif agar remaja dapat berprilaku hidup sehat untuk menjamin
kesehatan reproduksinya.
2. Setiap remaja mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan
kesehatan reproduksi remaja yang berkualitas termasuk pelayanan
informasi dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
3. Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan remaja
dengan disertai upaya pendidikan kesehatan reproduksi yang seimbang.
4. Upaya pendidikan kesehatan reproduksi remaja dilaksanakan melalui jalur
pendidikan formal maupun nonformal, dengan memberdayakan para
tenaga pendidik dan pengelola pendidikan pada sistem pendidikan yang
ada.

14
5. Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan
berkesinambungan melalui prinsip kemitraan dengan pihak-pihak terkait
serta harus mampu membangkitkan dan mendorong keterlibatan dan
kemandirian remaja.

2.1.5 STRATEGI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA


1. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja disesuaikan dengan kebutuhan
proses tumbuh kembang remaja dengan menekankan pada upaya promotif
dan preventif yaitu penundaan usia perkawinan muda dan pencegahan seks
pranikah.
2. Pelaksanaan pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan terpadu
lintas program dan lintas sektor dengan melibatkan sektor swasta serta
LSM, yang disesuaikan dengan peran dan kompetensi masing-masing
sektor sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam Pokja Nasional
Komisi Kesehatan Reproduksi.
3. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan melalui pola intervensi
di sekolah mencakup sekolah formal dan non formal dan di luar sekolah
dengan memakai pendekatan pendidik sebaya atau peer conselor.
4. Pemberian pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui penerapan
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) atau pendekatan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Integratif di tingkat pelayanan dasar yang
bercirikan peduli remaja dengan melibatkan remaja dalam kegiatan
secara penuh.
5. Pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui integrasi
materi KRR ke dalam mata pelajaran yang relevan dan mengembangkan
kegiatan ekstrakurikuler seperti : bimbingan dan konseling, Pendidikan
Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) dan Usaha Kesehatan Sekolah.
6. Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagi remaja di luar
sekolah dapat diterapkan melalui berbagai kelompok remaja yang ada di
masyarakat seperti karang taruna, Saka Bhakti Husada (SBH), kelompok
anak jalanan di rumah singgah, kelompok remaja mesjid/gereja, kelompok
Bina Keluarga Remaja.
Kebijakan Depkes dalam Kesehatan Reproduksi Remaja

15
Adapun kebijakan Departemen Kesehatan dalam KRR adalah sebagai
berikut:
- Pembinaan KRR meliputi remaja awal, remaja tengah, remaja akhir.
- Pembinaan KRR dilaksanakan terpadu lintas program dan lintas
sektoral.
- Pembinaan KRR dilaksanakan melalui jaringan pelayanan upaya
kesehatan dasar dan rujukannya.
- Pembinaan KRR dilakukan pada 4 daerah tangkapan, yaitu rumah,
sekolah, masyarakat, dan semua pelayanan kesehatan.
- Peningkatan peran serta orang tua, unsur potensial keluarga, serta
remaja sendiri.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

16

Anda mungkin juga menyukai