Anda di halaman 1dari 65

DEPARTEMEN IKA

RSMH PALEMBANG

Panduan Praktek
Klinis
Definisi

Etiologi

Klasifikasi

SINDROM NEFROTIK
No.Dokumen

KODE ICD: N04.-

No. Revisi

Halaman:

Ditetapkan oleh,

Tanggal revisi
25 Juni 2011

Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)


Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas:
1. edema
2. proteinuria massif (> 40 mg/m2/jam atau proteinuria +3 atau lebih )
3. hipoalbuminemia ( < 2,5 mg)
4. hiperkolesterolemia > 200 mg/dl
5. kadang-kadang hipertensi, hematuria, azotemia
1. SN primer / idiopatik
2. SN Kongenital
3. SN sekunder berhubungan dengan penyakit tertentu:
3.1 Penyakit infeksi: Malaria, Hepatitis B, AIDS, pasca infeksi
streptokukus
3.2 Penyakit vaskulitis sitemik: SLE, purpura Henoch-Schonlein
3.3 Intoksikasi obat/logam berat, penisillamin, probenesid, timbal
3.4 Keganasan: Tumor Wilms, Hodgkin, Leukemia
3.5 Penyakit metabolik : Diabetes mellitus, amiloidosis
1. Berdasarkan etiologi
Sindroma nefrotik primer
Sindroma nefrotik kongenital
Sindrom nefrotik sekunder
2. Berdasarkan kelainan histopatologi
SN kelainan minimal (SNKM)
Glomerulosklerosis
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membranoproliferatif ( GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran / subepitelial
Glomerulonefritis membranosa (GNM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
3. Berdasarkan respon terhadap terapi steroid
Steroid responsif (umumnya SNKM)
Steroid dependen (umumnya juga SNKM)
Steroid non responsif (umumnya GSFS, GNMP) atau SN
sekunder.

Patogenesis
Permeabilit
as kapiler
glomerulus

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Kriteria diagnosis

Proteinuri
a masif

Hipoalbumine
mia

Tekanan
Onkotik

Edem
a

Masuk
air,
Garam

Katabolism
Hipovolem
Tentukan
adanya edema, gangguan
pada urin, serta onset terjadinya gejala
ia
e
Cari gejala lainnya, terutama gejala sindroma nefritis
lipoprotein
Cari faktor penyebab

Cari komplikasi (hipotensi/syok, hipertensi, trombosis, infeksi, gagal ginjal)


Pemeriksaan fisik yang cermat
terhadap keadaan umum pasien, tekanan
LDL
HiperTrigliseride Tekanan perfusi
darah, frekuensi nafas, suhu, edema,
ginjal asites, efusi pleura, anemia, kelainan
kolestrolem

jantung, kelainan kulit, dan sebagainya. Penting juga untuk mengukur


ia
diuresis dan menghitung balans cairan setiap harinya.
SN: edema, hipoproteinemia (kadar protein serum 5,5 g/dl),
Aktivasi renin
hipoalbuminemia (kadar albumin serum 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia
dan angiotensin
(kadar kolesterol serum 200 mg/dl),
II proteinuri masif (kadar proteinuri
0,05 0,1 g/kgBB/ 24 jam atau +++ pada pemeriksaan semi kualitatif)
SNI: bila etiologi SN tidak diketahui
Aldosteron
SN kongenital bila gejala-gejala ditemukan 3 bulan pertama dari
kehidupan.
SN sekunder bila ditemukan penyebab
Kortikosteroid responsif: Reabsorpsi
urin bebasNa
protein (<4 mg/jam/m2 LPT) atau
di
tubulus
negatif/trace dengan pemeriksaan asam sulfosalisilat 3 hari berturut-turut
distalis
SN resisten steroid: remisi tidak terjadi `setelah akhir minggu kedelapan
pengobatan steroid alternating
garam
Relaps jarang: Proteinuria Retensi
+2 - +3
muncul kembali (kurang dari 2 kali)
dan air
dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan.
Relaps sering: Proteinuria muncul 2 kali dalam 6 bulan atau 3 kali dalam
setahun setelah pengobatan steroid dihentikan.
Dependen steroid: relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut

Pemeriksaan penunjang

Tatalaksana

Pemeriksaan rutin:
Darah tepi : Hb, jumlah leukosit, trombosit, hitung jenis, LED.
Urinalisa / biakan urine
Kimia darah (kolesterol, albumin/globulin, ureum/kreatinin, klirens kreatinin,
asam urat, Na, K, Ca dan P)
Tes Mantoux (sebelum terapi steroid dimulai)
Pemeriksaan atas indikasi
Foto toraks, EKG bila dijumpai edema berat
ASTO dan C3 bila dijumpai tanda-tanda nefritis
CRP dan biakan urin bila dijumpai LED , hematuria, leukositosis,
leukosituria dan silinderuria
ANA, anti DsDNA, C3, C4 bila dicurigai SLE (sindroma nefrotik sekunder).
Biopsi ginjal dengan indikasi:
Usia > 6 tahun atau < 1 tahun, dengan manifestasi sindroma nefritis
C3 menurun secara persisten
Steroid resisten / relaps sering (selama atau pasca terapi steroid)
Indikasi Rawat
SN serangan pertama kali
SN relaps dengan edema anasarka atau penyulit (infeksi berat,
muntah-muntah, diare, hipovolemia, hipertensi, tromboemboli, GGA).
SN steroid resisten
SN steroid relaps sering dengan indikasi untuk terapi sitostatika
tambahan
I.

Sindroma nefrotik primer


Aktivitas
Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien, jika edema
anasarka, dispneu, hipertensi tirah baring.
Dietetik
Protein normal sesuai RDA yaitu 2 g/kg/hr
Rendah garam (1-2 g/hr) selama edema/ mendapat terapi steroid.
Diuretika
Retriksi cairan (30 ml /kgBB/hari) selama ada edema berat
dan oliguri.
Loop diuretic (furosemid 12 mg/kgbb/hr), bila kadar kalium rendah <
3,5 mEq/L dapat dikombinasi dengan spironolakton (12 mg/kgbb/hr)
diberikan pada edema berat /anasarka. Diuretika lebih dari 1 minggu
periksa ulang natrium dan kalium plasma.
Bila SN disertai hipovolemia (hipoalbuminemia berat kadar
albumin 1,5 gr/dl) berikan infus albumin rendah garam 20-25 % 1 g/
kg BB atau plasma sebanyak 1520 ml /kg BB dalam 1-2 jam, 15-30
menit setelah infus albumin/plasma selesai diberikan furosemid 12
mg/kg BB IV.
Antibiotika/antiviral
Antibiotika diberikan bila:
Edema anasarka + laserasi kulit amoksisilin, eritromisin,
sefaleksin
Infeksi beri antibiotika yang disesuaikan beratnya derajat infeksi

Bila terjadi infeksi varicella asiklovir 80 mg/kgBB/hari dibagi 4


dosis 7-10 hari, pengobatan kortikosteroid stop sementara.
Imunisasi
Vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan
steroid selesai.
Kontak dengan penderita varicella Imunoglobulin varicellazoster dalam waktu < 72 jam
Tuberkulostatika
Test Mantoux (+) beri INH profilaksis
TBC aktif beri OAT

Pengobatan kortikosteroid
Pengobatan steroid untuk sementara tidak boleh diberikan bila dijumpai
hal-hal sebagai berikut: hipertensi, infeksi berat (viral/ bakteri), azotemia
A. Pengobatan inisial
Dosis inisial prednison atau prednisolon 60 mg/m2/hari atau 2
mg/kgbb/hari sesuai dengan BB ideal (BB/TB) dibagi 3 dosis
(maksimal 80 mg/hari) selama 4 minggu
Remisi (+) pada 4 minggu pertama, dosis alternating 40
mg/m2/hr (2/3 dosis initial) selang sehari pada pagi hari sudah
makan selama 4 minggu lalu stop. Bila remisi terjadi antara
minggu ke 5 sampai dengan akhir minggu ke 8, steroid
alternating dilanjutkan 4 minggu lagi.
Remisi (-) sampai akhir minggu ke 8 resisten steroid
(Gambar 1)
B. Pengobatan SN Relaps
Bila dijumpai proteinuria ( +2) setelah pengobatan steroid selesai,
perlu dicari faktor pemicunya (biasanya infeksi) dan diobati
dengan AB selama 57 hari. Bila proteinuria jadi negatif tidak perlu
diberi prednison, bila proteinuria masih tetap ( +2) atau tidak
ditemukan fokus infeksi mulai dengan prednison dosis penuh
sampai remisi (proteinuria negatif atau trace 3 hari berturut-turut)
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dosis alternating selama 4
minggu stop.
Bila pada FD selama 4 minggu remisi (-), alternating 4 minggu
remisi (-) resisten steroid (Gambar 2).

C. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


Ada 4 pilihan:
1) Dicoba pemberian steroid jangka panjang
2) Pemberian levamisol
3) Pengobatan CPA
4) Pengobatan siklosporin (terakhir)
Cari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau kecacingan.
1) Steroid jangka panjang

Dimulai dengan prednison atau prednisolon dosis penuh (4


minggu) sampai terjadi remisi. Lanjutkan dengan steroid
alternating (4 minggu), kemudian dosis diturunkan perlahan 0,5
mg/kgbb setiap 4 minggu sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,10,5 mg/kgbb alternating,
dapat diteruskan selama 612 bulan coba dihentikan (Gambar
3).
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgbb/AD,
tetapi < 1 mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat
dapat dicoba dikombinasi dengan Levamisol selang sehari 2,5
mg/kgbb selama 4 12 bulan atau langsung diberi CPA.
Bila pasien:
1) relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb/alternating atau
2) meskipun dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a) efek samping steroid yang berat
b) pernah relaps dengan gejala yang berat antara lain
hipovolemia, trombosis, sepsis diberikan CPA dengan dosis 2 3
mg/kgbb/hari selama 8 12 minggu.
2) Sitostatika
2.1. Siklofosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgbb/hari atau intravena 500
mg/m2/hari atau
2.2. Klorambusil 0,2 mg/kgbb/hari selama 8 minggu.
Pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi: Hb, lekosit,
trombosit 1-2 x seminggu. Obat dihentikan bila jumlah lekosit
< 3000/ul, Hb < 8 g/dl atau trombosit < 100.000/ul dan
diteruskan kembali setelah lekosit > 5000/ul.
3) Siklosporin (CyA)
Siklosporin dosis 5 mg/kgbb/hari dipakai pada:
1.Pada SN idiopatik yang tidak respon dengan pengobatan steroid
atau sitostatika (Gambar 3).
2.Pada SN relaps sering/dependen steroid

D. Pengobatan SN resiten steroid

II.

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum


memuaskan. Lakukan biopsi sebelum pengobatan dimulai. Obat-obat
yang digunakan bisa siklofosfamid puls 500 mg/m2/bulan +
metilprednisolon 40 mg/m2/hari ALT selama 6 bulan atau siklofosfamid
oral 2-3 mg/kgbb/hari + metilprednisolon 40 mg/m 2/hari ALT selama 36 bulan (Gambar 4).
Sindroma nefrotik kongenital
Steroid tidak diberikan.
Pengobatan konservatif lainnya (Dietetik, penanggulangan infeksi,
koreksi hipovolemia )
ACE inhibitor: enalapril 0,5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis atau

captopril 0,3 mg/kgbb/kali dinagi 2-3 dosis dengan tujuan untuk


menghilangkan proteinuria dan menghambat terjadi gagal ginjal
terminal.

Transplantasi ginjal
III. Sindroma nefrotik sekunder
Disamping penanganan terhadap sindroma nefrotiknya, perlu
pengobatan terhadap penyakit yang mendasarinya tergantung
pada SP masing-masing dari jenis penyakit yang menimbulkan
sindroma nefrotik.
IV. Pengobatan komplikasi
Infeksi (telah dibicarakan di atas)
Tromboemboli
Pencegahan tromboemboli pada SN relaps sering/dependen
steroid/ steroid resisten:
aspirin atau dipiridamol selama
pengobatan steroid.
Heparin diberikan bila sudah terjadi trombosis.
Hipovolemia
Diatasi dengan infus NaCl fisologis, lalu disusul dengan infus
albumin 1 gr/kgbb/ atau plasma 20 ml/kgbb (tetesan lambat10
tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi, penderita masih
oliguria diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
Hipokalsemia
Suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D.
Bila terjadi tetani diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgbb
intravena.
Tindak lanjut
Dilakukan pemeriksaan berat badan. intake-output, lingkaran perut, tekanan
darah setiap hari. Pemeriksaan darah tepi 1 kali seminggu. Urinalisa dan
pemeriksaan protein semikuantitatif 2 kali seminggu (jika sudah trace,
diulangi 3 kali berturut-turut). Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit selama
perawatan sekali dua minggu. Awasi efek samping obat dan komplikasi yang
mungkin terjadi selama pasien dirawat. Bila ditemukan, harus ditanggulangi.
Indikasi pulang
Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik, komplikasi teratasi, dalam
keadaan remisi.
Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu secara berobat jalan.
Setelah steroid dihentikan kontrol sekali sebulan selama 3-5 tahun bebas
gejala.
Edukasi
Komplikasi
Prognosis

Tromboemboli, infeksi, hiperlipidemia, hipokalsemia, hipovolemia, gagal ginjal


akut, anemia dan pertumbuhan abnormal
SNKM: 4 5% menjadi gagal ginjal terminal pada pengamatan 20 tahun.
GSFS: 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun.
SN primer (SNKM) /kortikosteroid responsif umumnya baik.
Pada kortikosteroid non responsif prognosis kurang baik, mortalitas pada

jenis GSFS 50% 16 tahun setelah diketahui, pada GNMP 50% 11 tahun
setelah diketahui. SN sekunder tergantung penyakit primer.
Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order)
Prednison FD:60 mg/m2LPB/hr
Prednison AD:40 mg/m2LPB/hr

4 minggu I

4 minggu II

Remisi (+)

Remisi (+)

Prednison FD inisial

4 minggu III

Remisi (-): Resisten Steroid

2/3 dosis inisial

Gambar 1. Pengobatan kortikosteroid pada pasien baru

Prednison FD:60 mg/m2LPB/hr


Prednison AD:40 mg/m2LPB/hr

FD*

Remisi

AD

* 4 minggu remisi langsung AD


Gambar 2. Pengobatan sindroma nefrotik relaps

SN relaps frekuen / dependen steroid


Prednison FD

Remisi
Prednisone AD+CPA
Remisi
4 minggu AD
Diturunkan sampai dosis threshold
0,1-0,5 mg/kgbb AD
(6-12 bulan)
(1)

Relaps pada
prednisone > 0,5 mg/kg AD
(2)
Levamisol 2,5 mg/kgbb AD
(4-12 bulan)
(3)

Relaps pada
prednisone > 1 mg/kg AD
atau
efek samping steroid
CPA 2-3 mg/kgbb
8-12 minggu
Relaps

prednisone standar

Relaps pada prednisone


> 0,5 mg/kgbb AD
Siklosporin 5 mg/kgbb/hari
Selama 1 tahun
Gambar 3. Skema pengobatan prednisone jangka panjang
Keterangan:
(1). Langsung diberi CPA (+ prednisone AD)
(2). Sesudah prednisone jangka panjang CPA
(3). Sesudah prednisone jangka panjang + levamisol CPA

Pred
+
CPA
puls

AD 6 bulan

tap off

6 bulan

Pred
+
CPA
oral

AD 6 bulan

tap off

3-6 bulan
CPA Pulse
Prednison
Tapering off

: 500 mg/m2/bulan
: 40 mg/m2/hari (1x pagi hari)
: 1 mg/kgbb/hari (1 bulan) 0,5 mg/kgbb/hari (1 bulan)
Gambar 4. Skema pengobatan SN resisten steroid

Referensi :
1. IGN Wila Wirya, Sindroma Nefrotik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002: 381423
2. Krisni Subandiyah,Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Dalam Naskah Lengkap
SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali 2009
3. Alatas H, Tambunan T,Trihono P, Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindroma Nefrotik Idiopatik
pada Anak. Jakarta : UKK nefrologi IDAI, 2005: 1-17

SINDROM NEFRITIK AKUT

DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG

No.Dokumen

Panduan Praktek
Klinis

Tanggal revisi
25 Juni 2011

KODE ICD: N00.-

No. Revisi

Halaman:

Ditetapkan oleh,

Definisi

Etiologi

Patogenesis

Klasifikasi

Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)


SNA adalah kumpu1an gejala-gejala nefritis yang timbul secara mendadak,
terdiri atas hernaturia proteinuria, silinderuria (terutama selinder eritrosit),
dengan atau tanpa disertai hipertensi, edema, kongestif vaskuler atau gagal
ginjal akut sebagai akibat dari suatu proses peradangan yang lazimnya
ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang secara spesifik mengenai
glomeruli.
a. Faktor infeksi
Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus
(Glomerulonefritis akut pasca streptococcus)
Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain endokarditis
bakterialis subakut dan shunt nepritis.
b. Penyakit multisistemik antara lain:
Lupus eritematosus sistemik (LES)
Purpura Henoch Schonlein (PHS)
c. Penyakit ginjal primer
d. Nefropati IgA
Komplek imun atau anti glomerular basement membrane (GBM) antibodies
yang mengendap/berlokasi pada glomeruli-aktivasi komplemen jalur klasik
atau altenatif dan sistem koagulasi peradangan glomeruli
a. Hematuria proteinuria dan silinderuria (terutama silinder eritrosit)
b. Aliran darah ginjal laju filtrasi glomeruler (LFG) oliguria
retensi air dan garam edema, hipervolemia, kongesti vaskuler
(hipertensi, edema paru dengan gejala sesak napas, ronki, kardiomegali).
Azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia dan
hiperposfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun.
c. Hipoperfusi aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang
bersifat vasokonstriksi perifer perfusi ginjal makin menurun. LFG makin
turun disarnping timbulnya hipertensi. Angiotensin 2 yang meningkat
merangsang kortek adrenal melepaskan aldosteron retensi air dan
garam hipervolemia hipertensi.
a. SNA dengan hipokomplemenemia, dapat asimtomatis atau simtomatis.
Termasuk kelompok ini antara lain adalah
a.1 Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptococcus (GNAPS).
a.2. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik
seperti:
- Endokarditis bakterialis akut/sub akut
- Shunt nephritis

10

Kriteria diagnosis

Anamnesis

a.3.
Glomerulonefritis proliferatif membranosa
a.4. Nefritis yang berhubungan dengan LES (nefritis lupus)
b. Sindroma nefritis akut dengan normokomplemenemia (dapat asimtomatis
atau simtomatis). Termasuk kelompok ini antara lain adalah:
b.1 Nefritis yang berhubungan dengan PHS
b.2 Nefropati IgA
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
Cari penyebab dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia
1) GNAPS
Riwayat ISPA atau infeksi kulit, dengan atau tanpa disertai oliguria.
Sembab pada muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada
keluhan sakit kepala. Bisa juga dijumpai riwayat kontak dengan
keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu epidemi).
2) Endokarditis bakterialis subakut
Riwayat panas lama, adanya penyakit jantung kongenital/didapat, yang
diikuti oleh kemih berwarna seperti coca cola (hematuria makroskopis).
3) Shunt nephritis
Riwayat pemasangan shunt atrioventrikulo-atrial / peritoneal untuk
penanggulangan hidrosefalus, panas lama, muntah, sakit kepala,
gangguan penglihatan, kejang-kejang, penurunan kesadaran.
4) SLE
Keluhan dapat berupa panas lama, berat badan turun, anoreksia,
nausea, muntah, sakit kepala, depresi, psikosis, kejang, ruam pada
kulit
b. SNA dengan normokomplenemia
1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
Riwayat ruam pada kulit, sakit sendi dan gangguan gastrointestinal
(mual, muntah, nyeri abdomen, diare berdarah atau melena) dan
serangan hematuria.
2) Nefropati IgA
Kecurigaan bila timbulnya serangan hematuria makroskopis secara
akut dipicu oleh suatu episode panas yang berhubungan dengan ISPA.
Hematuria makroskopis biasanya bersifat sementara dan akan hilang
bila ISPA mereda, namun akan berulang kembali bila penderita
mengalami panas yang berkaitan dengan ISPA. Diantara 2 episode,
biasanya penderita tidak menunjukkan gejala kecuali hematuria
mikroskopis dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada
urinalisis. Edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal biasanya
tidak ditemukan.

11

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan
penunjang

a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia


1) GNAPS
Edema, hipertensi, kadang-kadang gejala-gejala kongesti vaskuler
(sesak, edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan
sistem saraf pusat (penglihatan kabur, kejang; penurunan kesadaran).
2) Endokarditis bakterialis subakut
Panas, rash, sesak, kardiomegali, takikardi, suara bising jantung,
hepatosplenomegali artritis/artralgia jarang dijumpai.
3) Shunt nefritis
Hidrosefalus dengan shunt yang terpasang, suhu tubuh meninggi,
hipertensi, edema, kadang-kadang dengan asites dan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
4) Lupus eritematosus sistemik (LES)
Alopesia, butterfly rash, lesi discoid, fotosensitivitas, ulkus pada
mulut/nasofaring, pleuritis, perikarditis, hepatitis, nyeri abdomen,
asites, splenomegali.
b. SNA dengan normokomplenemia
1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
Edema, dan hipertensi, ruam pada daerah bokong dan bagian
ekstensor dan ekstremitas bawah, arthralgia/arthritis, nyeri abdomen.
2) Nefropati IgA
Demam, infeksi saluran nafas. Edema, hipertensi dan penurunan
fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan.
a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia
1) GNAPS
Kelainan urinalis minimal atau hematuria, proteinuria, silinderuria
ASTO > 200 IU, titer C3 rendah (<80 mg/dl), C4 biasanya normal.
Gambaran kimia darah menunjukkan kadar BUN, kreatinin serum,
dapat normal atau meningkat, elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl)
dapat normal atau terganggu. Kadar kolesterol biasanya normal,
sedang kadar protein total dan albumin dapat normal atau sedikit
merendah, kadar globulin biasanya normal.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan tenggorok
/keropeng kulit positif untuk kuman Streptococus B hemoliticus atau
ASTO > 200 IU. Hematuria, proteinuria dan silinderuria. Kadar
CH50 dan C3 merendah (<80 mg/dl), yang pada evaluasi lebih
lanjut menjadi normal 6 8 minggu dari onset penyakit.
2) Endokarditis bakterialis subakut
Hematuria, proteinuria atau kelainan pada sedimen urine berupa
hematuria mikroskopis, lekosituria, selinderuria.
Fungsi ginjal lazimnya mengalami gangguan (BUN dan kreatinin
serum).
Gambaran darah tepi berupa lekositosis, LED meningkat
CRP (+), titer komplemen (C3, C4) turun, kadang ditemukan
peningkatan titer faktor rematoid, kompleks imun dan krioglobulin

12

dalam serum.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan di atas disertai hasil
kultur darah (+) terhadap kuman penyebab infeksi dan pada
ekokardiografi dijumpai vegetasi pada katup jantung.
3) Shunt nefritis
Urinalisis menunjukkan hematuria, proteinuria, silinderuria. Fungsi
ginjal biasanya terganggu.
Kadar total protein dan albumin serum biasanya rendah. Kadar
elektrolit darah dapat terganggu.
CRP (+), titer komplemen (C3,C4) rendah.
Kultur yang diperoleh dari shunt terinfeksi (+).
4) Lupus eritematosus sistemik (LES)
Darah tepi: Anemia normositik normokhrom, retikulositosis,
trombositopenia, leukopenia, waktu protrombin/waktu tromboplastin
partial biasanya memanjang.
Immunoserologis: Uji Coomb (+). Sel LE (+) persisten. Keterlibatan
ginjal ditandai dengan sindroma nefritis akut dengan atau tanpa
disertai gagal ginjal akut atau sindroma nefrotik.
Diagnosis: dari nefritis lupus ditegakkan berdasarkan kelainan
diatas, dengan gambaran biopsi ginjal, mulai dari yang ringan
berupa GN proliferatif fokal ringan sampai yang berat berupa
proliferatif difusa.
b. SNA dengan normokomplenemia
1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
Hematuria, proteinuria dan silinderuria.
Ureum/kreatinin serum dapat normal atau meningkat dapat terjadi
penurunan fungsi ginjal yang progresif yang ditunjukkan dengan
meningkatnya kadar ureum dan kreatinin serum. Kadar protein total,
albumin, kolesterol dapat normal, atau menyerupai sindrom
nefrotik. Trombosit, waktu protombin dan tromboplastin normal.
ASTO biasanya meningkat sedangkan IgM normal.
Pada kelainan ginjal berat biopsi ginjal perlu dilakukan untuk melihat
morfologi dari glomeruli pengobatan dan untuk keperluan prognosis.
2) Nefropati IgA
Hematuria makroskopis biasanya bersifat sementara
Kadar IgA serum biasanya meningkat (10,2%), kadar komplemen
(C3, C4) dalam serum biasanya normal.
Diagnosis pasti dibuat berdasarkan biopsi ginjal.

13

Tatalaksana

1. Penatalaksanaan
Semua SNA simtomatik perlu mendapat perawatan. Pengobatan
ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya dan komplikasi yang
ditimbulkannya.
A. Tindakan umum
a. Istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala edema, kongesti
vaskuler (dispnu, edema paru, kardiomegali, hipertensi)
menghilang.
b. Diet: Masukan garam (0,5-1 g/hari) dan cairan dibatasi selama
edema, oliguria atau gejala kongesti vaskuler dijumpai. Protein
dibatasi (0,5/kg BB/hari) bila kadar ureum di atas 50 gram/dl.
B. Pengobatan terhadap penyakit penyebab
1) GNAPS
a. GNAPS tanpa komplikasi berat
o Diuretika:
Untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan
disamping diit rendah garam, diberikan furosemide 1-2 mg/kg
BB/hari oral dibagi atas 2 dosis sampai edema dan tekanan
darah turun.
o Antihipertensif
Bila hipertensi dalam derajat sedang sampai berat disamping
pemberian diuretika ditambahkan obat antihipertensif oral
(propranolol atau kaptopril). (lihat PPK hipertensi pada anak).
o Antibiotika
PP 50.000 UI/kgBB/hari atau eritromisin oral 50 mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis selama 10 hari untuk eradikasi kuman.
b. GNAPS dengan komplikasi berat:
o Kongesti vaskuler(edema paru, kardiomegali, hipertensi)
Pemberian oksigen
Diuretika furosemide parenteral (1-2 mg/kgBB/kali)
Antihipertensif oral (kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali 2-3 kali/hari)
Bila disertai gagal jantung kongestif yang nyata dapat
dipertimbangkan pemberian digitalis.
o Gagal ginjal akut (lihat PPK GGA)
o Ensefalopati hipertensi (lihat PPK hipertensi)
o Glomerulonefritis progresif cepat (GN kresentik). Merupakan
bentuk GNAPS berat yang ditandai serangan hematuria
makroskopis, perburukan fungsi ginjal yang berlangsung cepat
dan progresif, dan pada biopsi ginjal dijumpai gambaran
glomerular crescent.
Disamping penanggulangan hipertensi dan gagal ginjal diberikan
pula pulse methylprednisolon.
o 15 mg/kgBB metil prednisolon (tidak boleh melebihi 1 gram)
perinfus sekitar 60-90 menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu
dipantau

14

Tanda-tanda fungsi vital (denyut nadi, tekanan darah,


pernafasan)
Kadar elektrolit
o Lanjutkan dengan metil prednisolon oral, 2 mg/kgBB/hr selama
1 bulan. Lalu dosis prednisolon diberikan secara alternate 2
mg/kgBB/ 2 hari selama 1 bulan, kemudian dilanjutkan separo
dosis dengan interval 1 bulan, setelah diberikan 0,2 mg/kg
sekali 2 hari selama 1 bulan lalu obat dihentikan.
Tindak lanjut :
o Timbang berat badan 2 kali seminggu.
o Ukur masukan cairan dan diuresis setiap hari.
o Ukur tekanan darah 3 kali sehari selama hipertensi masih ada,
kemudian 1 kali sehari bila tekanan darah sudah normal.
o Pemeriksaaan darah tepi dilakukan pada saat penderita mulai
dirawat, diulangi 1 kali seminggu atau saat penderita atau saat
penderita mau dipulangkan. Urinalisis minimal 2 kali seminggu
selama perawatan. Perlu dilakukan biakan urine untuk mencari
kemungkinan adanya ISK. Bila ditemukan diobati sesuai
dengan hasil sensitifitas.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan saat dirawat dan waktu
dipulangkan. Penderita dengan komplikasi berat pemeriksaan
darah terutama ureum/ kreatinin dan elektrolit lebih sering
dilakukan. Pemeriksaan EKG, foto torax perlu dilakukan
terutama pada penderita dengan segala kongestif vaskuler
saat dirawat. Pemeriksaan EKG perlu dilakukan secara serial,
sedang foto toraks diulangi bila gejala-gejala kongesti vaskuler
sudah menghilang pada saat penderita mau dipulangkan.
Pemeriksaan funduskopi secara serial perlu dilakukan bila
penderita datang dengan berdasarkan indikasi terjadinya
perburukan faal ginjal secara cepat dan progresif (GN progresif
cepat )
Indikasi pulang
Keadaan penderita baik. Gejala-gejala SNA menghilang.
Pengamatan lebih lanjut perlu dilakukan di poli khusus ginjal anak
minimal 1 kali 1 bulan selama 1 tahun. Bila pada pengamatan
ASTO (+) dan C3 masih rendah setelah 8 minggu dari onset,
proteinuria masih + setelah 6 bulan dan hematuria mikroskopis
masih dijumpai setelah 1 tahun, atau fungsi ginjal menurun secara
insidius progresif dalam waktu beberapa minggu atau bulan
kemungkinan penyakit jadi kronik perlu dilakukan biopsi ginjal.

2) Endokarditis bakterialis akut/ sub akut


Pengobatan ditujukan terhadap endokarditis dan penyakit yang
ditimbulkannya pengobatan terhadap endokarditis serta tindak
lanjut (lihat SP endokarditis).

15

Pengobatan komplikasi:
o Gagal ginjal akut (lihat PPK GGA )
o Dekompensasi kordis (lihat PPK gagal jantung yang
berhubungan dengan endokarditis).
Tindak lanjut:
Serupa dengan SNA GNAPS
Indikasi pulang:
Keadaan umum baik, infeksi teratasi, gejala-gejala endokarditis
membaik, kelainan urinalisis minimal, fungsi ginjal menunjukkan
perbaikan, gejala dekompensasi menghilang. Untuk evaluasi lebih
lanjut penderita perlu kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal
anak/kardiologi anak, minimal sekali sebulan.
3) Shunt nefritis
Pengobatan ditujukan terhadap kuman penyebab dan mengangkat
shunt yang terinfeksi terhadap komplikasi dari shunt nefritis.
o AB diberikan sesuai dengan hasil test sensitivitas
o Atasi gejala yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intra
kranial (lihat SP peningkatan tekanan intra kranial)
o Gejala ensefalopati hipertensi diatasi sesuai PPK hipertensi
o Gagal ginjal akut diatasi sesuai dengan PPK GGA
Indikasi pulang
Keadaan anak baik, gejala-gejala dari nefritis minimal, komplikasi
yang terjadi terkontrol dengan baik. Untuk evaluasi perlu kontrol
berobat jalan ke poli khusus ginjal/neurologi anak paling kurang
sekali sebulan.
4) Nefritis yang berhubungan dengan lupus eritematosus
Pengobatan terdiri dari pemberian kortikosteroid prednisolon 2
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 4-6 minggu, kemudian dosis
diturunkan secara bertahap sedikit demi sedikit sampai mencapai
dosis 5-10mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgbb dan dipertahankan selama
4-6 minggu. Setelah itu diberikan secara alternat.
Bila selama perawatan penderita menunjukkan perburukan fungsi
ginjal secara progresif atau dengan sindroma nefrotik diobati
dengan pulse methyl prednisolon terapi, diuretika dan obat anti
hipertensi.
Indikasi pulang:
Keadaan umum baik, gejala-gejala nefritis membaik atau
menunjukkan kelainan minimal. Perlu kontrol secara berobat jalan
ke poli khusus ginjal anak.
5) Nefritis yang berhubungan dengan dengan Purpura Henoch
Schonlein
Steroid diberikan dalam waktu pendek untuk menghilangkan gejala
nyeri perut. Penderita PHS berat [dengan manifestasi ginjal berat

16

(NS,GGA dan hipertensi)] membutuhkan pengawasan yang ketat.


Biopsi ginjal perlu dilakukan pada keadaan ini. Obat yang
digunakan dalam hal ini adalah prednison oral, methyl
prednisolone, bolus intra vena, obat-obal sitostatika (siklofosfamid,
azatioprin), antikoagulan, antiplatelet dan plasmapheresis.
Disamping penanggulangan terhadap GGA dan hipertensi.
Tindak lanjut:
Semua pasien dengan HSP yang dirawat perlu dilakukan
pengamatan terhadap hipertensi dan perburukan faal ginjal secara
progresif, merupakan indikasi untuk biopsi ginjal.
Indikasi Pulang
Keadaan umum baik, urinalisis normal atau menunjukkan kelainan
minimal, tekanan darah dan fungsi ginjal normal. Dianjurkan
kepada penderita untuk kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal
anak.
6) Nefropati IgA
Pengobatan yang spesifik untuk Nefropati IgA asimtomatis belum
ada. Pengobatan hanya berupa pemberian antibiotika bila dijumpai
ISPA atau tonsilektomi untuk mengurangi episode dari hematuria
makroskopis..
Tindak lanjut
Penderita IgA tidak perlu dirawat, namun memerlukan pemantauan
terus menerus terhadap kemungkinan terjadinya hipertensi dan
perburukan fungsi ginjal.
Edukasi

Komplikasi

Prognosis

Fase akut :
a. Ensefalopati hipertensif
b. Payah jantung kongestif
c. Gagal ginjal akut
Jangka panjang: Gagal ginjal kronik
a. SNA dengan hipokomplemenemia tergantung pada penyebabnya:
1) GNAPS: Prognosis baik, 95% sembuh sempuma, 3% meninggal
karena komplikasi. 2% berkembang menjadi GGK.
2) Nefritis yang berhubungan dengan endokarditis bakterialis akut/sub
akut. Prognosis baik bila pengobatan terhadap penyebab dilakukan
secara intensif dengan antibiotika yang cocok dan kadar komplemen
kembali normal. Bila pengobatan terlambat, dapat terjadi gagal ginjal.
3) Shunt nephritis. prognosis umumnya baik, 50% dari kasus dilaporkan
sembuh bila shunt yang mengalami infeksi segera diangkat dan
antibiotika yang cocok segera diberikan, 20% meninggal disebabkan
oleh penyakit neurologik primer, atau komplikasi pembedahan,
sisanya dengan gejala sisa berupa gangguan faal ginjal, hematuria

17

dan proteinuria.
4) Nefritis lupus eritematosus sistemik (NEFLES). Prognosis berkorelasi

dengan persentase klinik saat serangan dan kelainan histologi dari


glomeruli. Penderita NEFLES dengan kelainan minimal mempunyai
prognosis baik sedangkan penderita NEFLES dengan tanda sindroma
nefritik nefrotik yang berat (adanya hematuri, hipertensi dan
insufisiensi ginjal) mempunyai prognosis jelek.
b. SNA dengan normokomplemenemia
1) Nefritis Henoch Schnonlein (NHS)
Prognosis bergantung pada berat dan luasnya keterlibatan ginjal saat
serangan penyakit.
Pada anak dengan hematuria dengan/tanpa proteinuria ringan,
prognosis baik, dimana kelainan urinalisis akan menghilang sekitar 2 4 bulan, meskipun pengamatan jangka panjang menunjukkan 5-10%
timbul GGK.
Penderita dengan gambaran SNA yang kelainan urinalisis terus
berlanjut, sebagian GGK timbul dalam beberapa bulan pertama dari
onset, sebagiannya lagi sekitar 5 sampai 15 tahun pengamatan.
Indikator buruknya prognosis meliputi dijumpai pula sindroma nefrotik,
hipertensi gagal ginjal saat seragan dan terdapatnya gambaran
glomerular crescent (bulan sabit) pada biopsi ginjal.
2) Nefropati IgA.
Prognosis umumnya baik. Pada pengamatan dalam tempo yang
singkat tidak pernah dijumpai gagal ginjal progresif, meskipun
kelainan urine tidak termasuk hematuria berulang biasanya menetap.
Pada pengamatan jangka panjang yang dilakukan dari 1 sampai 15
tahun, angka kejadian GGK antara 5 - 9%, dikaitkan dengan dijumpai
gambaran glomerullar crescents pada biopsi ginjal.
Lain-lain (algoritma,
protokol, prosedur,
standing order)

18

DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG

INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)


No.Dokumen

KODE ICD: N30.9

No. Revisi

Halaman:

Ditetapkan oleh,
Panduan Praktek
Klinis
Definisi
Etiologi
Patogenesis

Klasifikasi

Anamnesis

Pemeriksaan fisik
Kriteria diagnosis

Tanggal revisi
25 Juni 2011
Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)
ISK adalah infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme, terutama bakteri,
dalam jumlah yang bermakna.
Terutama bakteri gram negatif (terbanyak E.coli), bisa juga disebabkan
bakteri gram positif, virus dan jamur.
Kompleks, dipengaruhi banyak faktor: faktor host dan faktor mikroorganisme
penyebab. Faktor prediposisi antara lain: fimosis, refluks vesico-ureter, batu
atau benda asing disaluran kemih, jenis kelamin dll. Penyebaran melalui 2
cara:
a. Penyebaran hematogen: fokus infeksi di tempat lain septikemia
pielonefritis.
b. Penyebaran ascenden: flora usus uropatogenikkolonisasi di perineal &
uretra anterior buli-buli menembus barier mukosa normal sistitis
adanya faktor predisposisi (virulensi bakteri atau faktor pejamu)
pielonefritis. Pielonefritis urosepsis/refluks intra renal skar ginjal
gagal ginjal kronis/hipertensi.
a. Berdasarkan ada tidaknya gejala: simtomatis dari asimtomatis
b. Berdasarkan konfirmasi mikrobiologik.
Tersangka ISK: gejala ISK tanpa dukungan mikrobiologik
ISK: ditemukan mikroorganisme
c. Berdasarkan lokasi: ISK atas (pielonefritis) dan ISK bawah (sistitis dan
sistouretritis) serta kombinasi.
d. Berdasarkan derajat gejala klinis dibagi atas ISK ringan dan ISK berat.
e. Berdasarkan adanya kelainan radiologik dibagi atas ISK komplikata dan
ISK non komplikata.
Adanya gejala demam, sakit pinggang, disuria, urgensi, frekuensi,
polakisuria, riwayat urin berpasir/keluar batu
Gejala ISK berat (demam tinggi, muntah, sepsis, kejang), kuning (pada
neonates atau bayi kecil)
Faktor predisposisi (higene, konstipasi, infeksi sistemik, imunokompromised)
Demam, nyeri tekan supra pubik, nyeri ketok costovertebra, pucat
Langkah diagnosis
ISK asimtomatis diketahui pada skrining
ISK simtomatis: anamnesis dan pemeriksaan fisik umum. Khusus pada
neonatus perlu ditanyakan riwayat kehamilan dan persalinan dan faktor
risiko infeksi lainnya.
Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan penyaring bakteriuria (piuria,
pengecatan Gram, test kimiawi), darah tepi, CRP, dan urinalisis lengkap,

19

Pemeriksaan penunjang

ureum dan kreatinin.


Radiologi: USG dan MCU bila ada kelainan dilanjutkan dengan IVP
Dasar diagnosis
Bakteriuria bermakna: didapatkan koloni kuman >100.000 koloni/ml urin
pada pengambilan urin secara pancaran tengah, atau beberapa kuman
saja pada pengambilan sampel urin secara SPP
ISK asimpmtomatik: bakteriuria bermakna yang ditemukan pada uji tapis
pada anak sehat atau tanpa gejala. Keadaan ini bersifat ringan dan
biasanya tidak menimbulkan kerusakan ginjal, kecuali pada wanita hamil
kalau tidak diobati dapat menimbulkan ISK simtomatik.
ISK simtomatis: terdapatnya bakteriuria disertai gejala klinik
ISK atas: ISK bagian atas terutama parenkim ginjal, lazim disebut sebagai
pielonefritis dengan gejala utama demam dan sakit pinggang.
ISK bawah: bila infeksi di vesika urinaria (sistitis) atau uretra dengan
gejala utama berupa gangguan terbatas miksi seperti disuria, polakisuria,
kencing mengedan (urgency).
ISK ringan: gejala ringan, panas (-).
ISK berat: gejala berat, panas tinggi, kejang, kesadaran turun, muntah,
diare, pada neonatus sesuai dengan tanda-tanda sepsis.
ISK dengan gejala sepsis: ditemukan gejala sepsis sesuai SP-nya.
ISK nonkomplikata/simpleks: ISK yang tanpa kelainan struktural maupun
fungsional
ISK komplikata/kompleks: ISK dengan ditemukan juga kelainan anatomik
maupun fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun
aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa batu
saluran kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, buli-buli neurogenik dan
sebagainya.
ISK berulang/relaps: bakteriuria yang timbul kembali setelah pengobatan
dengan jenis kuman yang sama dengan kuman saat biakan urin pertama
kalinya. Kekambuhan dapat timbul antara 1 sampai 6 minggu setelah
pengobatan awal.
ISK rekuren/reinfeksi: bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan
dengan jenis kuman yang berbeda dari kuman saat biakan pertama.
Berdasarkan pola pemikiran evidence base dan perhitungan untung-ruginya
pemeriksaan pencitraan, Stark (1997) mengajukan alternatif pilihan sebagai
berikut:
1. Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang
menderita ISK perlu pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU,
pemeriksaan pielografi intravena (PIV) atau sintigrafi DMSA dapat
dilakukan, meskipun tidak langsung terkait dengan penanganan pasien.
Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik maka PIV
lebih disarankan.
2. Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai 2 atau 3 kali
atau ISK pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga,
diperlakukan seperti pilihan no.1 di atas.

20

Tatalaksana

3. Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK
bawah saja tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini
cukup dipantau tiap 6-12 bulan dan biakan urin bila ada demam.
Khusus untuk neonatus laki-laki sampai usia 8 minggu disarankan
pemeriksaan USG dan MSU rutin pada ISK pertamakalinya. Bila
ditemukan kerusakan parenkim ginjal ataupun refluks derajat 3 atau lebih,
dilanjutkan dengan pemeriksaan skintigrafi radionuklid. Pada anak yang
lebih besar USG dipakai sebagai penyaring dan bila dicurigai ada kelainan
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti PIV, MSU maupun
skintigrafi radionuklid.
Pemeriksaan atas indikasi: biakan darah, foto thorax
ISK asimtomatis diobati sesuai hasil uji sensitivitas.
Sementara menunggu hasil kultur datang, tersangka ISK simtomatis
ringan diobati dengan antibiotika oral Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari atau
Trimetoprim/ Sulfametoksazol (Kotrimoksazol) 8/40mg/kgBB/hari.
Tersangka ISK berat diobati dengan antibiotika parenteral berupa Ampisilin
200 mg/kgBB/hari dibagi atas 4 dosis + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari dibagi
2 dosis. Setelah kultur datang diobati sesuai dengan hasil tes sensitifitas.
Lama pengobatan 10-14 hari.
ISK dengan komplikasi diobati sesuai komplikasi
ISK dengan sepsis diobati sesuai SP
Diupayakan mengoreksi/mengobati faktor predisposisi
Indikasi rawat
ISK dengan penyulit
Tindak lanjut
Selama perawatan urinalisa dilakukan 2 kali seminggu. Darah tepi sekali
seminggu. Dua hingga tiga hari setelah pengobatan dimulai dilakukan biakan
ulang,bila biakan steril obat diteruskan,bila biakan masih positif atau kondisi
penderita tidak membaik obat diganti. Untuk mendeteksi infeksi ulangan
dilakukan kultur urin setelah 1 minggu pengobatan selesai. Bila positif diobati
sesuai dengan hasil tes sensitivitas.Jika hasil kultur urin steril maka kultur
urin selanjutnya dilakukan sekali sebulan dalam 6 bulan pertama, kemudian
sekali 2 bulan untuk 6 bulan, lalu, sekali 3 bulan untuk tahun ke-2 dan ke-3.
ISK simtomatis berat segera dilakukan pemeriksaan radiologi dan faal ginjal.
Untuk yang ringan atau simtomatis pemeriksaan radiologi dilakukan 1 bulan
setelah pengobatan selesai dengan indikasi: semua anak <3 tahun, semua
anak laki-laki, semua anak perempuan yang mendapat ISK berulang.
Kalau infeksi berulang obati dengan antibiotika sesuai hasil tes sensitivitas
dilanjutkan dengan AB profilaksis Kotrimoksazol 2 mg/kgBB/hari atau
Nitrofurantoin 1-2 mg/kgBB/hari dosis tunggal malam hari minimal 6 bulan.
Refluks berat dengan atau tanpa kelainan obstruksi konsul bedah
urologi.Skar pielonefritik atau refluks sedang AB profilaksis, kemudian
ulangi IVP/MCU. Jika menjadi berat konsul bedah urologi. Kontrol berkala
ureum dan kreatinin (3-6 bulan), kalau terjadi gagal ginjal dan hipertensi
kelola sesuai SP-nya.

21

Edukasi
Komplikasi
Prognosis

Lain-lain (algoritma,
protokol, prosedur,
standing order)

Indikasi pulang
Keadaan umum baik, gejala klinis ISK hilang, kulltur setelah 1 minggu
pengobatan selesai steril dan fungsi ginjal normal.
Pencegahan dengan mengenali faktor predisposisi (hygiene, mencegah
konstipasi) dan lain-lain
Refluks vesikoureter (2030 %), skar pielonefritik (10-20%), hipertensi, gagal
ginjal.
ISK non komplikata dan belum disertai komplikasi prognosis baik. ISK
komplikata atau yang sering kambuh akan berlanjut menjadi gagal ginjal
kronik kemudian hari.
Referensi:
1. Rusdidjas, Rafita Ramayanti, Infeksi Saluran Kemih. Dalam Buku Ajar
Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:142-163

22

DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG

HEMATURIA
No.Dokumen

KODE ICD: R31.


No. Revisi

Halaman:

Ditetapkan oleh,
Panduan Praktek
Klinis
Definisi
Etiologi

Patogenesis

Tanggal revisi
25 Juni 2011
Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)
Hematuria adalah keadaan yang menunjukkan terdapatnya sel-sel eritrosit
dalam jumlah yang abnormal di dalam urin
Berasal dari glomerulus
Glomerulonefritis
Sindroma hemolitik uremik
Hematuria berhubungan dengan olah raga
Hematuria familial benigna
Nefropati IgA
Bukan dari glomerulus
Penyakit perdarahan/gangguan faktor pembekuan
Keracunan jengkol
Hiperkalsiuria
TBC ginjal/saluran kemih
Infeksi saluran kemih
Trauma
Batu
Defek kongenital (Ginjal polikistik & Hidronefrosis)
Tumor Wilms
Benda asing di ureta/vesika urena
Hematuria dapat berasal dari sesuatu tempat di jaringan parenkim ginjal
dan traktus urinarius, mulai dari glomeruli sampai ke uretra anterior.
Mekanisme timbulnya hematuria dapat melalui beberapa cara:
Proses imunologik peradangan pada glomerulo-tubulo interstisiel
kapiler / arteriol glomeruli-tubulo-interstisiel rusak.
Endotoksis atau infeksi langsung oleh agen infeksi (bakteri, virus, riketsia)
kerusakan endotel kapiler glomeruli.
Emboli septik yang tersangkut pada endotel kapiler glomeruli .
Efek langsung dari obat-obat yang merusak tubulo interstisial.
Kristal yang menyumbat lumen tubulus.
Iritasi mukosa saluran kemih oleh mikrokristal, benda asing yang
dimasukkan lewat uretra ke vesika urinaria, peradangan mukosa
kerusakan kapiler.
Trauma/neoplasma jaringan ginjal/saluran kemih rusak pembuluh
darah pecah. Defek kongenital pada saluran kemih kerusakan
pembuluh darah.

23

Klasifikasi

Hematuria asimtomatis, hematuria tanpa gejala-gejala lain, Hematuria


simtomatis, hematuria yang disertai gejala-gejala lain seperti edema,
oliguria, gejala-gejala kongesti vaskuler, gejala-gejala SSP.

Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Kriteria diagnosis

Dasar diagnosis:
Curigai hematuria bila urin berwarna merah terang atau gelap seperti
coca-cola
Langkah-langkah diagnosis:
Pastikan adanya hematuria
Pemeriksaan yang dilakukan adalah dispstik untuk melihat adanya
kandungan hemoglobin dalam eritrosit dan hemoglobin bebas dalam
urine. Sedangkan untuk melihat sel eritrosit dilakukan pemeriksaan
mikroskopis sedimen urin. Bila ditemukan sel eritrosit 5/lpb
hematuria mikroskopik
Tentukan bentuk dari hematuria dan cari faktor penyebab.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang identifikasi :
Hematuria non glomeruler, ciri-cirinya:
Urine berwarna merah terang, biasanya edema dan hipertensi
tidak dijumpai.
Urinalisis menunjukkan:
Urin berwarna merah
Bekuan darah (+)
Proteinuria (+1) (-2)
Silinder eritrosit (-)
Bentuk eritrosit sama dan kandungan hemoglobinnya merata.
Hematuria glomeruler, ciri-cirinya:
Dari anamnesis didapatkan urin berwarna merah gelap, tidak nyeri
waktu berkemih.
Dari pemeriksaan fisik biasanya ditemukan edema, hipertensi
Urinalisis :
Proteinuria (+2 - +3)
Sel eritrosit (+) ( 5/lpb atau penuh/lpb)
Bentuk eritrosit tidak sama dan kandungan hemoglobinnya
tidak merata
Silinderuria (terutama selinder eritrosit)
Untuk masing-masing kelompok hematuria ditetapkan etiologinya (lihat
algoritma)
Bentuk Non Glomeruler
a) Keracunan jengkol

24

b)

c)

d)

e)

f)

g)

h)

Diagnosis berdasarkan riwayat makan jengkol, nyeri hebat saat


berkemih, mulut bau jengkol, kadang-kadang, ditemukan retensio
urin, kristal asam jengkol pada orifisium uretra. Pada urinalisis
dijumpai sel eritrosit penuh, lekosituria, kristal asam jengkol,
proteinuria +1, kadang-kadang dijumpai tanda-tanda GGA.
Hiperkalsiuria idiopatik
Diagnosis dibuat berdasarkan hasil urinalisis yang menunjukkan
hematuria, disertai peningkatan ekskresi kalsium dalam urin > 4
mg/kgBB/hari atau ratio Ca/kreatinin urin > 0,2. Dari riwayat
keluarga ada riwayat serangan kolik ginjal/ureter yang
berhubungan dengan batu.
TBC Ginjal
Diagnosis berdasarkan riwayat kontak (+), batuk-batuk kronik, gizi
buruk, kelainan paru baik berdasarkan pemeriksaan fisik/radiologi,
LED meninggi. Pada urinalisis dijumpai hematuria, piuria steril.
PPD (+), Kepastian diagnostik perlu dilakukan biakan urin untuk
mencari BTA.
ISK
Diagnosis berdasarkan riwayat panas lama, disuria, polakisuria,
nyeri pinggang/sudut kosto vertebra/suprasimfisis. Hasil urinalisis
menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, lekosituria. Dan pada
biakan urin dijumpai bakteria bermakna.
Trauma
Diagnosis berdasarkan pada riwayat trauma pada daerah
pinggang dan ditemukan memar/lebam pada daerah pinggang
atau suprasimfisis. Pada pemeriksaan urin tampak gross
hematuria dan bekuan darah (+). Untuk mengetahui lokasi/luasnya
daerah yang mengalami trauma perlu dilakukan USG/PIV.
Batu saluran kemih
Diagnosis berdasarkan kolik ureter, kemih tidak lancar dan rasa
nyeri saat berkemih. Pada anak laki-laki gejala khas adalah sering
menarik penisnya ketika mau berkemih, kadang-kadang disertai
keluar batu, Urinalisis hematuria, lekosituria. Diagnosis pasti
USG/PIV.
Tumor/defek kongenital pada ginjal/saluran kemih
Diagnosis berdasarkan teraba massa dalam rongga abdomen.
Untuk menentukan jenis tumor atau defek kongenital apakah tumor
Wilms, ginjal polikistik atau hidronefritis perlu dilakukan USG/PIV.
Penyakit pendarahan
Diagnosis berdasarkan riwayat gusi mudah berdarah, sering
epistaksis, pucat, biru-biru pada kulit, pada darah tepi ditemukan
kadar Hb rendah, trombositopenia, waktu pembekuan dan
perdarahan memanjang.

Bila bentuk non glomeruler dari hematuria hanya berupa darah sedang
gambaran darah tepi normal tanpa ditemukan tanda-tanda penyakit

25

darah/perdarahan, perlu dilakukan pemeriksaan USG/PIV untuk


mencari faktor penyebab perdarahan. Bila hasilnya normal
kemungkinan penyebabnya berasal dari trauma uretra, benda asing di
uretra, atau peradangan vesika urinaria. Untuk menentukan asal
perdarahan perlu pemeriksaan sitoskopi.
Bentuk Glomeruler
1) Hematuria mikroskopis
Dapat merupakan salah satu bentuk glomeruler dari hematuri.
Diagnosis ditegakkan bila hasil pemeriksaan fisik (+), gambaran
darah tepi normal, fungsi ginjal kimia normal, sedang urinalisis
memperlihatkan gambaran berupa hematuria mikroskopis dengan
sel darah merah yang dismorfik.
Pertimbangan penyebab apakah hematuria berhubungan dengan
hematuria rekuren benigna, hematuria berhubungan dengan
olahraga atau hematuria idiopatik. Lakukan observasi selama 6
bulan. Bila masih menetap perlu dipikirkan nefropati IgA. Diagnosis
nefropati IgA dibuat berdasarkan adanya riwayat hematuria
makroskopis timbul bersamaan dengan onset panas yang dipicu
oleh ISPA. Diluar serangan hematuria hanya bersifat mikroskopis.
Perlu dilakukan biopsi ginjal untuk kepastian diagnosis.
2) Glomerulonefritis
Diagnosis Glomerulonetritis dapat ditegakkan berdasarkan bentuk
glomeruler dari hematuria, disertai proteinuria, silinderuria dengan
atau tanpa edema, hipertensi, oliguria atau gangguan faal ginjal.
Kelainan ini dapat timbul secara akut atau berlangsung kronik.
Bentuk akut dari glomerulonefritis biasanya berhubungan dengan
pasca infeksi streptokokus, infeksi sistemik/penyakit multi sistemik
seperti Purpura Henoch Schonlein (PHS) dan lupus eritematosus
sistemik (LES). Sedang yang kronik biasanya berhubungan dengan
sindroma nefrotik dan penyakit ginjal herediter (sindroma Alport).
Diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk mencari
penyebab glomerulonefritis seperti ASTO, C3, ds DNA antibodi, sel
LE, biakan, ekokardiografi.
2.1 Dasar diagnosis GNAPS dibuat berdasarkan riwayat ISPA/kulit,
yang diikuti kemudian oleh gejala-gejala nefritis akut. Biakan
apusan tenggorok/keropeng kulit dapat (+) untuk kuman
streptokokus beta hemolitikus grup A atau ASTO (+), C3
menurun. Perlu pengamatan terhadap perjalanan penyakit,
karena terjadi penurunan fungsi ginjal secara cepat dan
progresif (GN progresif cepat).
2.2 Penyakit infeksi sistemik yang dapat berkaitan dengan GNA
antara lain:
2.2.1. Endokarditis bakterialis akut/subakut dan shunt nefritis,
sedang penyakit multisistemik antara lain adalah SLE
dan PHS.

26

a) Dasar diagnosis dari endokarditis adalah adanya


riwayat panas lama, adanya penyakit jantung
didapat/kongenital, lalu dikuti hematuria. Penyakit
fisik dijumpai ruam pada kulit, kardiomegali, suara
bising
jantung,
hepatosplenomegali.
Pada
pemeriksaan penunjang ditemukan hematuria,
proteinuria, silinderuria. LED meninggi, lekositosis,
C3 merendah, fungsi ginjal menurun. Diagnosis
pasti ditegakkan berdasarkan biakan darah (+) atau
pada ekokardiografi ditemukan vegetasi pada katup
jantung. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada kasuskasus yang mengalami perburukan faal ginjal.
b) Diagnosis shunt nefritis dibuat berdasarkan adanya,
riwayat pemasangan shunt atrioventrikulo/peritoneal
untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama,
gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai shunt yang sedang
terpasang, hipertensi. Pada pemeriksaan penunjang
ditemukan hematuria, proteinuria, silinderuria, kadar
C3 merendah, fungsi ginjal dapat menurun. Pada
kultur dapat ditemukan kuman penyebab.
Biopsi ginjal perlu dilakukan bila fungsi ginjal menurun
secara cepat dan progresif.
2.2.2. Beberapa penyakit multisistemik yang berhubungan
dengan GNA antara lain adalah PHS dan LES.
a) Diagnosis PHS ditegakkan berdasarkan temuan:
riwayat ruam pada kulit, nyeri sendi, nyeri perut
mendadak, urin berwarna merah gelap. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan rash pada daerah
bokong, dan bagian ekstensor dari ekstremitas
bagian bawah, arthritis/arthralgia, kadang-kadang
ada hipertensi dan edema. Pada pemeriksaan
penunjang
dijumpai
hematuria,
proteinuri,
silinderuria. Fungsi ginjal dapat normal atau
menurun. Kadar C3 normal. Biopsi ginjal perlu
dilakukan pada kasus-kasus dengan hipertensi berat
dan perburukan faal ginjal.
b) Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan riwayat
panas lama, sakit sendi, ruam pada kulit, rambut
mudah rontok. Pada pemeriksaan fisik dapat dapat
dijumpai antara lain alopesia, butterfly rash, diskoid
lupus, ulkus pada mulut, arthritis/arthralgia, edema,
anemia, efusi pleura/perikarditis/ asites. Pada
pemeriksaan penunjang dijumpai anemia hemolitik,
trombositopenia, leukopenia, LED meningkat.
Urinalisis dan kimia darah dapat menunjukkan

27

gambaran sindroma nefritis akut atau sindroma


nefritik dengan atau tanpa disertai penurunan faal
ginjal, sel LE (+), ANA (+), ds DNA antibodi (+), C3
merendah. Pada kasus LES biopsi ginjal perlu
dilakukan untuk konfirmasi diagnostik, pengobatan
dan prognosis.
2.3 Dosis GNK yang berhubungan dengan sindroma nefritik
ditegakkan berdasarkan: riwayat penyakit ginjal yang sudah
lama diderita. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium dijumpai
tanda-tanda dari sindroma nefrotik nefritik. Kadar C3 dapat
normal atau merendah secara persisten. Perlu biopsi ginjal
untuk melihat kelainan morfologi dari glomerular. Diagnosis
GNK yang berhubungan dengan nefritis herediter (sindroma
Alport) dibuat berdasarkan riwayat sakit ginjal pada beberapa
anggota keluarga disertai tuli. Ada riwayat serangan hematuri
makroskopis yang hilang timbul, disertai hematuria mikroskopis
yang menetap. Hasil urinalisis dari anggota keluarga
menunjukkan hematuria mikroskopis. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai kelainan pada mata berupa lentikonus anterior. Pada
pemeriksaan audiometri dijumpai tuli neurosensoris. Biopsi
ginjal perlu dilakukan untuk diagnosis.
3) Sindroma uremik hemolitik
Diagnosis berdasarkan temuan riwayat diare berlendir/berdarah,
Pada pemeriksaan fisik dijumpai anak tampak pucat, ruam pada
kulit berupa ptekie/purpura, hepatosplenomegali, anemia hemolitik
mikroangiopati, trombositopeni dan penurunan fungsi ginjal.

Pemeriksaan penunjang

Berdasarkan pola pemikiran evidence base dan perhitungan untung-ruginya


pemeriksaan pencitraan, Stark (1997) mengajukan alternatif pilihan sebagai
berikut:
1. Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang
menderita ISK perlu pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU,
pemeriksaan pielografi intravena (PIV) atau sintigrafi DMSA dapat
dilakukan, meskipun tidak langsung terkait dengan penanganan pasien.
Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik maka PIV
lebih disarankan.
2. Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai 2 atau 3 kali
atau ISK pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga,
diperlakukan seperti pilihan no.1 di atas.
3. Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK
bawah saja tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini
cukup dipantau tiap 6-12 bulan dan biakan urin bila ada demam.
Khusus untuk neonatus laki-laki sampai usia 8 minggu disarankan
pemeriksaan USG dan MSU rutin pada ISK pertamakalinya. Bila

28

Tatalaksana

ditemukan kerusakan parenkim ginjal ataupun refluks derajat 3 atau lebih,


dilanjutkan dengan pemeriksaan skintigrafi radionuklid. Pada anak yang
lebih besar USG dipakai sebagai penyaring dan bila dicurigai ada kelainan
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti PIV, MSU maupun
skintigrafi radionuklid.
Pemeriksaan atas indikasi: biakan darah, foto thorax
Disesuaikan dengan SP masing-masing
lndikasi rawat
Semua penderita dengan hematuria simtomatis
Tindak lanjut
Tindak lanjut disesuaikan dengan SP masing-masing

Edukasi
Komplikasi
Prognosis
Lain-lain (algoritma,
protokol, prosedur,
standing order)

DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG

Referensi:
1. Syarifuddin Rauf, Hematuria. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI,
Jakarta, 2002:114-125

HIPERTENSI
No.Dokumen

KODE ICD: I10.


No. Revisi

29

Halaman:

Ditetapkan oleh,
Panduan Praktek
Klinis
Definisi

Etiologi

Tanggal revisi
25 Juni 2011
Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)
TD Normal : TD sistolik atau diastolik < 90 persentil menurut gender, umur
dan tinggi badan anak
Pra Hipertensi : TD sistolik atau diastolik 90-95 persentil atau pada anak
remaja TD 120/80 mmHg meskipun < 95 persentil dianggap prahipertensi.
Hipertensi adalah TD sistolik dan atau diastolik 95 persentil menurut
gender, umur dan tinggi badan pada 3 kali pemeriksaan pada saat yang
berbeda.
Hipertensi Stadium 1. TD 95 persentil sampai 99 persentil plus 5 mmHg
Hipertensi Stadium 2. TD > 99 persentil plus 5 mmHg
(Diambil dari National High Blood Pressure Education Program Working on
High Blood Pressure in Children and adolescent. The fourth report on the
diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and
adolescent. Pediatrics 2004;114 (2 suppl 4th report):555-76).
Catatan : Persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan diukur
setidak-tidaknya 3 kali pada waktu yang terpisah, jika terdapat perbedaan
persentil sistolik dan diastolik, kategorikan berdasarkan nilai yang lebih tinggi.
Tabel persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan dapat dilihat pada
lampiran 1 dan 2.
Usia
Penyebab
Renovaskuler; trombosis a.renalis, penyakit congenital,
Infant
coartasio aorta, BPD
< 1 tahun Stenosis a.renalis
1 - 6 tahun Penyakit parenkim ginjal; penyakit vaskuler ginjal; penyebab
endokrin; coarcatio aorta; hipertensi esensial
6-12 tahun Penyakit parenkim ginjal; hipertensi esensial; penyakit vaskuler
ginjal; penyebab endokrin; coartatio aorta; penyakit iatrogenik

Patogenesis

12-18 tahun Hipertensi esensial; penyakit iatrogenik; penyakit parenkim


ginjal, penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coartatio
Aorta
Hipertensi akan terjadi bila terdapat faktor yang meningkatkan curah jantung
atau tahanan total pembuluh darah perifer.
1) Faktor yang meningkatkan curah jantung dapat melalui 2
cara:
Hipervolemi
o Retensi air dan garam akibat turunnya laju filtrasi glomerulus
dijumpai pada penyakit glomerulonefritis atau gagal ginjal.
o Masukan air dan garam yang berlebihan atau pemberian infus
cairan/tranfusi darah yang tidak diperhitungkan pada penderita
dengan gagal ginjal.
o Ekses mineralokortikoid
Stress/ansietas aktivitas sistem syaraf simpatetik yang meningkat

30

takikardi hipertensi
Faktor yang meningkatkan tahanan total pembuluh darah
adalah
Sekresi hormon katekolamin vasokonstriksi perifer
(Feokromositoma).
Ekses glukokortikoid kerja enzim catekol ortometil transferase
dihambat pelepasan norepinefrin oleh vesikel ke ujung saraf otot
pembuluh darah meningkat vasokonstriksi (Pemberian
kortikosteroid jangka lama).
Sintesa zat vasodepressor (prostaglandin E2, kinin) yang dihasilkan
oleh medula ginjal menurun (pada GGK).
3) Gangguan sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA)
Pada penyakit parenkim ginjal unilateral atau stenosis arteri renalis
Tekanan perfusi ginjal menurun aktifitas SRAA meningkat
renin
plasma dan angiotensin-2 vasokonstriksi perifer
TTPT, Angiotensin-2 korteks adrenal aldosteron meningkat
reabsorbsi Na dan air di tubulus distal meningkat retensi Na dan
air ginjal meningkat ekspansi ke dalam intravaskuler meningkat
hipervolemia.
Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan peningkatan
SRAA antara lain: Hiperaldosteronism primer, Sindroma Cushing,
Glomerulonefritis Akut, Sindroma Hemolitik Uremik

2)

Klasifikasi

A. Berdasarkan etiologi
1. Hipertensi primer (esensial), penyebab tidak diketahui.
Biasanya dalam derajat ringan dan lazimnya tidak memberikan gejala
(asimptomatik)
2. Hipertensi sekunder, penyebabnya diketahui.
Gejala biasanya berasal dari penyakit yang mendasarinya :
- Penyakit parenkim ginjal
- Penyakit pembuluh darah ginjal
- Vaskulitis
- Penyakit kardiovaskuler
- Penyakit endokrin seperti feokromositoma,
hipertiroid
- Penyakit vaskular
- Kelainan neurologik
B. Berdasarkan timbulnya:
1. Hipertensi akut, hipertensi yang timbul mendadak dan dalam waktu
cepat
2. Hipertensi kronik, keadaan hipertensi menetap >3 bulan
C. Berdasarkan Kegawatan:
1. Hipertensi krisis : Peningkatan tekanan darah dalam derajat berat
yang dapat menimbulkan gangguan fungsi/kerusakan akut/sedang
berlangsung dari organ target (nilai TD S/D berkisar antara 1,3-1,5 x

31

Anamnesis

persentil 95 menurut umur, jenis kelamin dan tinggi badan atau TD S/D
180/120 mmHg). Hipertensi krisis ini di bagi menjadi :
a. Hipertensi urgensi : Hipertensi berat yang belum menimbulkan
kerusakan akut pada organ target.
b. Hipertensi emergensi : Hipertensi berat yang menimbulkan
kerusakan akut atau sedang berlangsung dari organ target (otak,
jantung dan ginjal).
Contoh hipertensi emergensi adalah :
- Hipertensi ensefalopati
- Hipertensi dengan gagal jantung kongestif
Nama lain dari hipertensi emergensi adalah Hipertensi
akselerasi maligna hipertensi kronik/esensial yang
mengalami perburukan akut akibat hipertensi yang tidak
terkontrol, tidak makan obat secara teratur, atau karena
perburukan penyakit yang mendasarinya.
Ciri utama hipertensi akselerasi-maligna bila dilihat dengan
funduskopi :
- Hipertensi akselerasi : eksudat dan perdarahan pada retina
- Hipertensi maligna : papil oedem.
Pada hipertensi akselerasi-maligna ini disertai ensefalopati,
gangguan fungsi akut atau nefropati.
2. Hipertensi non krisis: Hipertensi yang belum menimbulkan kegawatan.
Contoh : - Pra-hipertensi
- Hipertensi stadium I.
Hal-hal yang perlu ditanyakan dapat dilihat pada tabel 1
Tabel. 1 Anamnesis Pada Anak dan Remaja Hipertensif
INFORMASI
RELEVANSI
Riwayat hipertensi dalam keluarga, Hipertensi essensial
riwayat
kehamilan
preeklampsi.
Komplikasi hipertensi dalam anggota
keluarga (stroke infark miokard, gagal
ginjal).
Penyakit ginjal keturunan
Penyakit ginjal/tumor ginjal dalam
keluarga
Riwayat pemakaian kateter arteri Kelainan renovaskuler
umbilikalis pada masa neonatus
Sakit kepala, pusing, epistaksis, Gejala
tidak
khas
dapat
gangguan penglihatan
menunjukkan derajat hipertensi
Sakit perut/pinggang, disuria, enuresis Penyakit parenkim ginjal
hematuria, panas dalam
Palpitasi, sering berkeringat, muka Feokromositoma
kemerahan, berat badan turun,
poliuria, polidipsia, sering sakit kepala
Pembengkakan/nyeri sendi, sembab Bentuk
nefritis
yang
kelopak mata tungkai ruam kulit
berhubungan dengan penyakit
multi sistemik
Kejang otot, lemas, konstsipasi
Hiperaldosteronisme/hipokalemia
Badan lemas, parestesia, retardasi Sindrom Cushing
pertumbuhan,
perubahan
habitus

32

Pemeriksaan fisik

Kriteria diagnosis

Pemeriksaan
penunjang

tubuh
Teraba masa oleh orang tua dalam Tumor ginjal
rongga abdomen, demam
Riwayat
trauma
di
daerah Trauma
perut/punggung,
nyeri
perut,
hematuria, demam
Minum pil kontrasepsi, amfetamin, Hipertensi karena obat
kokain, koritkosteroid, pemakaian obat
tetes
hidung
(golongan
simpatomimetik)
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara cermat. dan sistematis oleh karena
ada beberapa kelainan yang dapat ditemukan dan merupakan tanda-tanda
etiologi dari hipertensi (tabel 2).
Tabel. 2 Tanda-tanda kelainan yang perlu diamati pada pemeriksaan fisik
PEMERIKSAAN FISIK
RELEVANSI
Tensi tungkai rendah dibandingkan dengan Koarktasio aorta
tensi lengan. Denyut nadi femoralis tibialis
dan dorsum pedis lemah, murmur (+)
Edema pada muka atau pretibia
Penyakit ginjal
Pucat, muka kemerahan, banyak keringat, Feokromositoma
takikardia
Bercak caf au lait neurofibroma
Penyakit vonreekling hausen
Moon facies, buffalo-hump hirsutisme, Sindrom Cushing
stria, truncal obesity
Weeb neck, dasar rambut rendah, jarak Sindrom Turner
puting susu melebar
Facies elfin, pertumbuhan terlambat
Sindrom Williams
Pembesaran kelenjer tiroid, eksofthalmus
Hipertiroid
Bruit di daerah epigastrium/punggung
Penyakit renovaskuler
Bruit diatas pembuluh darah besar
Sindrom William/artritis
Tumor abdomen unilateral atau bilateral
Tumor Wilms neurofibroma,
ginjal polikistik, hidronefrosis
Pembesaran jantung
Hipertensi kronik
Kelainan fundus
Hipertensi kronik dan derajat
berat
Palsi bell
Hipertensi kronik
Hemparesis
Hipertensi kronik/akut berat
dengan stroke
Tentukan apakah anak hipertensi atau tidak, sesuai dengan batasan
hipertensi
Bila anak hipertensi maka langkah yang dilakukan sebagai berikut:
a) Cari penyebabnya, tentukan derajat berat dan timbulnya
b) Cari komplikasinya
c) Pemeriksaan yang dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Bila anak dengan prahipertensi, maka untuk mencari etiologi dan faktor
resikonya cukup dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

33

penunjang tahap 1A.


Bila dijumpai hipertensi grade 1 atau grade 2 disamping pemeriksaan tahap
1A adakalanya diperlukan pula pemeriksaan tahap 1 B, 2A, dan 2B
Hipertensi essensial didiagnosis sebagai penyebab hipertensi, bila pada
anamnesis ada riwayat hipertensi dalam anggota keluarga, riwayat
komplikasi dini hipertensi
(stroke, infark myokard, gagal jantung),
hubungannya dengan hipertensi ditemukan, obesitas, dan pemeriksaan
penunjang tahap 1 A semuanya normal
Penyakit ginjal dicurigai sebagai penyebab hipertensi bila pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik dijumpai tanda-tanda/gejala yang mencurigakan ke
arah penyakit ginjal, sedangkan diagnosis ditegakkan berdasarkan kelainan
pada pemeriksaan tahap 1A.
Untuk mendiagnosis jenis-jenis dari penyakit parenkim ginjal lainnya
diperlukan bantuan beberapa pemeriksaan tambahan (tahap 1 B). Jenis
pemeriksaan yang diperlukan tergantung dari kelainan yang didapatkan
pada tahap 1A
1) Pemeriksaan tahap lA, untuk mendeteksi penyakit ginjal:
Urinalisis, biakan urin
Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin,
profil lipid, KGD puasa, elektrolit)
EKG/ Echocardiography
Klirens kreatinin dan ureum
Darah lengkap
Foto thorax
2) Pemeriksaan tahap 1 B untuk mendiagnosis jenis-jenis penyakit ginjal
ASTO komplemen (C3)
Sel LE, uji serologi untuk SLE (ANA, ds DNA antibodi)
Pielografi intravena
Miksio sistouretrografi (MSU)
Biopsi ginjal
Bila dicurigai penyebab hipertensi berkaitan dengan stenosis arteri renalis
atau gangguan endokrin berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
beberapa hasil pemeriksaan tahap lA dan 1 B, untuk menegakkan
diagnosis perlu bantuan beberapa pemeriksaan penunjang lain tahap 2A
dan 2B yang hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar dimana
fasilitasnya lebih lengkap.
3) Pemeriksaan tahap 2A untuk diagnosis ke arah stenosis arteri renalis dan
kelainan endokrin (dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
lengkap)
Aktivitas renin plasma dan aldosteron
Katekolamin plasma
Katekolamin urin dan metabolitnya dalam urin
Aldosteron dan metabolit dalam urin (17 ketosterol dan 17
hidroksikortikosteroid)
3) Pemeriksaan tahap 2B untuk diagnosis yang lebih spesifik
(dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas lengkap)

34

Tatalaksana

Tc 99m DTPA atau DMSA scan


CT scan abdomen
Arteriografi/digital substraction angiografi
Katekolamin vena kava (KVK)
Analisis aldosteron dan elektrolit urin
Uji supresi dengan deksametason
Renin vena renalis (RVR)
Indikasi rawat inap:
Semua penderita hipertensi sekunder
Hipertensi essensial grade II
Penatalaksanaan
I. Terhadap Hipertensi:
A. Pengobatan Non Farmakologik:
1. Hipertensi Non Krisis
1.1 Pra-Hipertensi
Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Pengobatan ini ditujukan
pada anak remaja dan adolescent dengan hipertensi esensial yang
mengalami obesitas, yaitu dengan cara :
Diet rendah garam 1200-1500 mg/hari
Menurunkan berat badan dengan mengatur diet
Olahraga seperti jalan santai, joging atau bersepeda
Kebiasaan merokok dan minum alkohol dihentikan
Bila dengan langkah di atas TD tidak turun dan cenderung naik setelah
beberapa minggu sampai 6 bulan, maka diberikan obat tambahan
farmakoterapi (antihipertensi).
1.2.Hipertensi stadium 1
Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Bila gagal, baru masuk ke
terapi farmakologik.
B. Pengobatan Farmakologik
Indikasi pengobatan farmakologik :
a. Hipertensi stadium I yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi non
farmakologik atau menjadi hipertensi stadium II.
Pengobatan farmakologik dimulai dahulu dengan satu obat (diuretik)
atau obat antihipertensi seperti beta blocker, ACE inhibitor atau Ca
channel blocker, dimulai dengan dosis kecil dahulu. Bila belum respon,
dosis dapat dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis
maksimal. Bila masih gagal, berikan terapi kombinasi.
Sasaran pengobatan : menurunkan TD < 95 persentil, kemudian
menurunkan TD < 90 persentil.
b. Hipertensi sekunder
Disamping menurunkan TD, penyebab dan komplikasi yang timbul harus
dicari dan ditanggulangi.

35

c. Hipertensi Krisis
Pada penderita dengan hipertensi urgensi biasanya digunakan obatobatan oral, sedangkan pada penderita hipertensi emergensi digunakan
obat-obatan parenteral.
Adapun obat-obatan yang biasa dipakai di Bagian IKA RSMH dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Kelas
Obat-obatan
Dosis Awal
Dosis Maksimal
ACE inhibitor Enalapril
0,08 mg/kgbb/hari
0,6 mg/kgbb/hari
Dibagi 2 dosis
Sampai 40
mg/hari
Lisinopril
0,07 mg/kgbb/hari
0,6 mg/kgbb/hari
Dbagi 2 dosis
Sampai
40
mg/hari
Captopril
0,36 mg/kgbb/hari
0,5mg/kgbb/kali
Diberikan 2-3x/hari
Beta blocker
Propanolol
0,5-1 mg/kgbb/hari 5 mg/kgbb/hari
Dibagi 2-3 dosis
Diuretik
Hidroklortiazid
1 mg/kgbb/hari
3 mg/kgbb/hari
Dibagi 2 dosis
Sampai
50
mg/hari
Furosemid
1-2 mg/kgbb/hari
6 mg/kgbb/hari
Dibagi 2 dosis
Efek samping yang perlu diperhatikan:
Kelas
Obat-obatan
Efek Samping
ACE inhibitor
Enalapril
Diare, mual, sakit kepala, rash,
batuk, hipotensi
Lisinopril
Diare, mual, muntah, dispepsia,
sakit
kepala,
vertigo,
batuk,
hipotensi
Captopril
Batuk, diare, sakit kepala, mual,
muntah,
rash,
hiperkalemia,
netropenia
Beta blocker
Propanolol
Vertigo,
rash,
akral
dingin,
bradikardi
Diuretik
Hidroklortiazid
Hipotensi, konstipasi, anoreksia,
rash,
purpura,
hipokalemia,
hipomagnesia.
Furosemid
Hipotensi, pankreatitis, jaundice,
anemia, mual, rash.
Pengobatan Hipertensi Krisis (emergensi)
Prinsip: tekanan darah harus diturunkan secepatnya dengan menggunakan
obat antihipertensi yang poten, guna mencegah kerusakan berlanjut dari organ

36

target.
Obat-obat : klonidin (Catapres) dan furosemide. Klonidin diberikan secara infus
tetes dengan dosis 0,002 mg/kgBB dilarutkan dalam 100 ml larutan glucosa 5%
dengan kecepatan XII tetesan mikro/menit, dinaikkan 6 tetes tiap 30 menit,
sampai tekanan darah diastolik < 100 mmHg. Dosis maksimal 36 tetes/menit
atau 0,006 mg/kgBB. Bila terdapat over load atau anak tidak dehidrasi
diberikan furosemid secara IV dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari. Bila tekanan
darah diastolik belum turun, tambah kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis
maksimal 2 mg/kali, diberi 2-3 kali/hari. Bila Td D Turn di bawah 100 mgHg,
tetesan klonidin diturunkan secara bertahap, sedangkan kaptopril terus
diberikan seperti dosis diatas (gambar 1).
Prinsip pengobatan hipertensi kronik hampir sama dengan hipertensi akut,
hanya saja perbedaan interval penambahan dosis dan jenis obat lebih panjang
yaitu 2-4 minggu. Pengobatan hipertensi akselerasi, penurunan tekanan darah
dengan menggunakan obat parenteral tidak boleh terlalu cepat seperti pada
hipertensi akut yang mengalami krisis. Tekanan darah diturunkan 30% dalam 6
jam pertama, untuk mencegah iskemia otak, lalu 1/3 lagi 12-36 jam dan sisanya
2-4 hari.

II. Pengobatan terhadap penyakit penyebab:


Tindakan operasi perlu dilakukan antara lain pada kasus:
1) Koartasio aorta-stenosis arteri renalis/penyakit parenkim ginjal
unilateral
2) Tumor ginjal
3) Feokromositoma, adenoma kelenjar adrenal.
Tindak lanjut
Pengukuran tekanan darah perlu dilakukan setiap 4-8 minggu pada
penderita hipertensi essensial ringan yang berobat jalan. Perlu dijelaskan
tentang manfaat pengobatan non farmakologik untuk pengontrolan tekanan
darah.
Penderita hipertensi derajat 1 dan 2 yang sedang dirawat perlu dilakukan
pengukuran tekanan darah 2-3 kali sehari. Faal ginjal/kimia darah/EKG/foto
thoraks/darah tepi umumnya dilakukan saat penderita dirawat dan pada
waktu pulang.
Hipertensi stadium 2, pengukuran tekanan darah lebih sering dilakukan, bila
perlu setiap 3 jam sekali. Fungsi ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks, darah
tepi dilakukan saat penderita dirawat dan saat dipulangkan. Bagi penderita
yang tidak menunjukkan tanda kongesti vaskuler saat dirawat, foto
thoraks/EKG hanya dilakukan 1 kali saja.
Penderita hipertensi berat dengan krisis, pengawasan lebih ketat untuk itu
sebaiknya penderita dirawat di ruang ICU anak, agar pemantauan fungsi
vital, .jumlah cairan, efek pengobatan terhadap penurunan tekanan darah
dapat dilakukan secermat mungkin. perlu pemantauan funduskopi, EKG,

37

darah tepi, gagal ginjal (jumlah diuresis, BUN/kreatinin serum/elektrolit


secara berkala). Pemeriksaan foto rontgen dada dilakukan setelah tekanan
darah terkontrol. Terhadap penderita ini perlu dicari komplikasi berat yang
mungkin timbul seperti ensefalopati, dekompensasio kordis, gagal ginjal
atau infeksi. Bila komplikasi ini timbul perlu segera diatasi. Pada penderita
ensefalopati hipertensi adakalanya diperlukan pemeriksaan CT scan bila
dengan pengobatan antihipertensi tekanan darah sudah turun menjadi
normal, akan tetapi kesadaran penderita tidak membaik.
Pada penderita dengan ISK, perlu dilakukan pengamanan tentang struktur
anatomi dari ginjal dan saluran kemih dengan USG/PIV/MCU.

Indikasi pulang
Keadaan umum, tekanan darah normal (< persentile ke-90), penyakit
penyebabnya (pada anak-anak) terbanyak penyebab hipertensi adalah
GNA, gejala-gejala dari penyakit penyebab cenderung menghilang.
Penderita dinasehatkan untuk kontrol berobat ke poli khusus ginjal anak.
Edukasi
Komplikasi

Prognosis
Lain-lain (algoritma,
protokol, prosedur,
standing order)

Hipertensi bila terjadi akut atau dalam derajat berat dapat menimbulkan
ancaman terhadap kehidupan atau kerusakan akut yang sedang berlangsung
dari organ target.
Hipertensi bila berlangsung kronil (misalnya hipertensi esensial) tanpa diobati
bisa menyebabkan faktor resiko terhadap penyakit:
Penyakit kardiovaskuler
Penyakit serebrovaskuler
Gagal ginjal kronik
Bila terjadi perburukan akut akan timbul komplikasi berupa hipertensi akselerasi
maligna.
Prognosis tergantung dari derajat beratnya hipertensi, kecepatan penanganan
komplikasi dan penyakit yang mendasarinya.
Gambar 1. Skema pengobatan hipertensi krisis dengan Klonidin
Klonidin drip 0,002 mg/kgBB/8 jam
Dalam 100 ml glukosa 5 % (12 tetes mikro)
Maksimal 0,006 mg/kgBB/8 jam

Td Dias 90-100 mmHg

Furosemide 1-2 mg/kgBB/kali

Kaptopril oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimal 2


mg/kgBB/kali 2-3 kali/hari

38

STABIL
Klonidin stop
Kaptopril terus

Referensi :
1. Dahler Bahrun, Hipertensi Sistemik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ;
FK UI, Jakarta, 2002: 242-289

39

40

41

DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG

KODE ICD: N17.-

GAGAL GINJAL AKUT (GGA)


No.Dokumen

No. Revisi

Halaman:

Ditetapkan oleh,
Panduan Praktek
Klinis
Definisi

Etiologi

Patogenesis
Klasifikasi

Anamnesis

Tanggal revisi
25 Juni 2011
Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan akibat terjadinya
penimbunan hasil metabolit senyawa nitrogen seperti ureum dan kreatinin.
1) GGA pre renal akibat hipovolemia, hipotensi dan hipoperfusi ginjal,
sebagai akibat:
Kehilangan darah: trauma, pendarahan
Kehilangan air dan elektrolit: gastroenteritis akut
Kehilangan plasma: luka bakar, peritonitis
Hipoalbuminemia berat pada sindroma nefrotik
Dekompensasio kordis: infark miokard
Pada neonatus akibat sepsis/asfiksia berat
2) GGA rena1, sebagai akibat:
a. Kerusakan epitel tubulus: Nekrosis tubular akut
o Tipe iskemik: kelanjutan dari GGA pra-renal
o Tipe nefrotoksik: obat-obatan seperti aminoglikosida, zat
kontras radioopak, pigmen (hemoglobinuria / mioglobinuria),
logam berat, hiperurisemia
b. Kerusakan glomerulus
o GNA
o Sindroma hemolitik uremik
c. Penyakit vaskuler
d. Anomali ginjal (ginjal polikistik, multikistik/displastik)
3) GGA paska renal
Obstruksi: valvula uretra posterior, batu, bekuan darah, tumor, kristal
(asam jengkol, asam urat)
Lampiran 1
1) Gagal ginjal akut non oligurik: produksi urine normal, akan tetapi terdapat
peningkatan kadar ureum dan keratin serum. Biasanya timbul akibat
pemakaian obat bersifat nefrotoksik (gol. aminoglikosid).
2) Gagal ginjal akut oliguria: ditandai dengan volume urine < 240 ml/m 2/24
jam atau 0,5 - 1 ml/kgBB/jam. Pada neonatus < 1ml/kgBB/jam.
Tentukan penyebab GGA
1) GGA pra renal: riwayat kekurangan cairan (diare, muntah), kehilangan
darah/plasma (trauma, luka bakar), pembedahan, sakit jantung dll.
2) GGA pasca renal: riwayat ISK berulang, nyeri pinggang, hematuria,
riwayat batu, bila berkemih sering mengedan dan tidak lancar, terasa
nyeri yang hebat pada waktu berkemih, ada riwayat makan jengkol.
3) Bila penyebab GGA pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah

42

Pemeriksaan fisik

1)

2)

3)

Kriteria diagnosis

Pemeriksaan penunjang

1)

2)

3)

berikutnya adalah mencari etiologi GGA intra renal.


Perlu ditanyakan riwayat yang mengarah ke penyakit tertentu, seperti
faringitis/impertigo beberapa hari sebelum munculnya GGA, riwayat
kemih berwarna merah gelap.
Riwayat diare berlendir/atau bercampur darah, urine berwarna merah
gelap, ruam pada kulit, pucat, gambar darah tepi menunjukkan anemia
hemolitik mikroangiopati dan trombositopeni menjurus kearah
diagnosis SHU.
Riwayat pemakaian obat-nefrotoksik, demam nyeri sendi, urtikaria,
sedang hematuria dan piuria disertai sel epitel tubulus.
GGA pra renal:
Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan tanda dehidrasi, luka bakar,
takikardi, tanda-tanda gagal jantung kongesti (edema paru, kardiomegali,
bising jantung).
GGA pasca renal
Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan retensio urine (kandung
kemih penuh), terasa massa di rongga abdomen, atau terlihat ada kristal
asam jengkol pada ofisium urethra eksterna.
Bila penyebab GGA pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah
berikutnya adalah mencari etiologi GGA intra renal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema pada kelopak mata dengan
atau tanpa hipertensi mengarah dugaan pada GNAPS. Ruam pada kulit,
arthiritis, arthralgia, nyeri perut, mengarah dugaan pada vaskulitis.
GGA oliguria
Volume urine pada seorang anak <240 ml/m2/24jam atau <10
ml/kgBB/jam atau pada neonatus <1 ml/kgBB/jam, disertai peningkatan
kadar ureum dan kreatinin serum dalam waktu yang cepat.
GGA non oliguria
Kadar ureum dan kreatinin serum naik dengan cepat namun volume urine
normal
Laju filtrasi glomerulus diperkirakan dengan formula:
Klirens kreatinin (rumus Schwart) = K x tinggi badan (cm)
kreatinin serum (mg/dl)
Nilai K (konstanta) tergantung usia:
BBLR < 1th = 0,33
Aterm < 1th= 0,45
1-12 th
= 0,55
Perempuan 13-21th= 0,57
Lelaki 13-21 th
= 0,70
GGA pra renal:
Gambaran urine: osmolalitas urine > 500, BJ> 1,020, rasio osmol
urine/plasma > 1,3, Na urine < 20, fraksi ekskresi (FE) Na < 1
GGA pasca renal:
Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria, hematuria, piuria, kristal
asam jengkol Pada pemeriksaan USG dapat dijumpai kemungkinan
adanya dilatasi sistem pelvicokalises.
Bila penyebab GGA pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah

43

Tatalaksana

berikutnya adalah mencari etiologi GGA intra renal.


Pada GGA intra renal gambaran urinalisis menunjukkan: BJ urine <1,020,
osmol Urine < 350, ratio osmol urine/plasma < 1,2, Na urine >20, FE Na>
2. Pemeriksaan laboratorium lain yang menyokong GGA intra renal
adalah azotemia yang meningkat cepat, peningkatan kadar kreatinin 0,51,5 mg/dl/hari sedangkan BUN meningkat 10-20 mg/dl/hari.
Biopsi ginjal hanya diindikasikan pada kasus-kasus yang tersangka
glomerulonefritis dengan perburukan akut dari fatal ginjalnya
1) Ginjal akut pra renal.
Tergantung dari penyebab. Pada keadaaan tertentu perlu dilakukan
pengukuran tekanan vena sentral (CVP) untuk mengevaluasi
hipovolemia CVP normal = 6-10 cm Hg. Bila CVP < 10 cm Hg
hipovelemia
Jenis cairan yang digunakan tergantung dari etiologi hipovolemia.
Pada GE + dehidrasi berat diberikan Ringer laktat sesuai protokol.
Pada syok hemoragik diberikan transfusi darah. Syok pada sindroma
nefrotik akibat hipoalbuminemia, diberikan infus low salt albumin atau
plasma. Pada dehidrasi yang etiologinya tidak jelas diberikan RL 20
ml/kgBB selama 1 jam. Diuresis biasanya terjadi 2-4 jam pemberian
tetapi rehidrasi dilanjutkan dengan diuretika. Terapi cairan secara cepat
ini berguna untuk membedakan apakah GGA bersifat pra-renal atau
intra renal. Respon terapi dikatakan baik, bila diuresis > 1 3
ml/kgBB/jam.
Cara lain membedakan kedua keadaan ini adalah dengan diuresis
paksa dengan catatan penderita sudah lama dalam keadaan hidrasi
tetapi masih oliguria. Diberikan furosemid dengan dosis 1 -2 mg/kgBB
IV. Bila terjadi peningkatan diuresis 6 10 ml/kgBB/jam, GGA bersifat
pra-renal, bila tidak GGA bersifat intrarenal. Bila penyebabnya gagal
jantung, terapi cairan tidak dianjurkan, karena akan menambah beban
jantung. Pengobatan yang diberikan adalah furosemid dan inotropik
(dopamin, digoksin). Dopamin diberikan dengan dosis (1-3
mikrogram)/kgBB, secara infus tetes guna meningkatkan aliran darah
ginjal dan curah jantung
2) Gagal ginjal paska renal
Terapi spesifik pada gangguan ini adalah menghilangkan obstruksi,
mungkin perlu pemasangan foley kateter, vesikotomi tube nefrostomi.
Obstruksi yang telah terkoreksi dapat mengalami piuria dengan
kemungkinan hipokalemia, hiponatremia, hipotensi sampai kolaps.
Dalam hal ini terapi cairan harus betul-betul diperhatikan.
3) Gagal ginjal akut intra renal
a. Terapi konservatif
1. Restriksi cairan
Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan insensible water loss

44

2.

3.

4.

5.

+ jumlah urine 1 hari sebelumnya jumlah cairan yang keluar


bersama muntah, berak, slang nasogastric, dll + kenaikan suhu
setiap 1 C diatas 37,5 oC sebanyak 12% berat badan.
Perhitungan IWL didasarkan pada kalori expenditure, sesuai
berat badan:

0 10 kg : 100 kal/kgBB

11 20 kg : 1000 kal + 50 kal/kg/hari diatas 10kg

> 20 kg : 1500 20 kal/kg/hari diatas 20 kg


Jumlah IWL = 25 ml/100 kal.
Secara praktis perhitungan yang digunakan anak umur < 5 tahun
= 30ml/kgBB/hari, anak umur>5 tahun = 20ml/kg/hari. Cairan
sebaiknya diberikan per oral, kecuali bila muntah
Jenis cairan yang digunakan:
Bi1a anuria: glukosa 10% bila oliguria glukusa 10% 3:1. Kalau
menggunakan vena sentralis dapat digunakan glukosa 20-40%.
Jumlah kalori minimal yang diberikan untuk mencegah
katabolisme 400 kkal/m2/hari.
Bila terapi konservatif berlangsung > 3 hari pertimbangkan
pemberian emulsi lemak dan protein 0,5 - 1 g/kgbb/hari..
Pemberian protein dilakukan sesuai dengan jumlah diuresis.
Pengobatan komplikasi
Asidosis melabolik dikoreksi dengan cairan bicnat 7,5 % sesuai
dengan hasil analisis gas darah. Yaitu akses basa x berat badan
x 0,3 (meq) atau kalau ASTRUP tidak ada dapat dengan koreksi
buta 2-3 meq/kg/hari
Hiperkalemia
Bila kadar kalium serum 5,5 - 7 meq/l perlu diberikan kayexalat
1 gr/kgBB per oral /rektal 4 x sehari
Kalium serum > 7 meq/l atau ada kelainan EKG/atau aritmia
jantung perlu diberikan glukonas kalsikus 10% 0,5 ml/kgBB IV
lambat-lambat dalam 5-10 menit, natrium bikarbonat 7,5 % 2,5
meq/kg BB IV dalam waktu 10-15 menit
Bila hiperkalemia masih ada glukosa 20% (1cc/kgBB atau 0,5 g
glukosa/kgBB) + 0,5 U insulin dan siapkan dialisis
Hiponatremia
Dikoreksi bila kadar natrium < 120 meq/l atau timbul gejala.
Dosis yang digunakan adalah 0,6 x BB x (Na yang diharapkan Na serum yang didapat) meq/l diberikan dalam bentuk larutan
NaCl hipertonis (3%) selama 4 jam infus. Koreksi diberikan
separohnya untuk mencegah hipertensi atau overload cairan.
Kejang
Diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang. Koreksi
terhadap penyebab kejang (Kejang pada GGA dapat
disebabkan gangguan elektrolit, hipertensi atau uremia)
Tetapi diatasi dengan injeksi kalsium glukonas 10 % 0,5
cc/kgBB IV lambat-lambat.

45

6.

Hiperfosfatemia
Diatasi dengan aluminium hidroksida 60 mg/kgBB dibagai 3
dosis, atau dengan calcium karbonas 500 1 gram/hari.
7. Anemia
Jika kadar Hb turun di bawah 6 g/dl, diberikan darah segar atau
PRC.
8. Kongesti vaskuler
Gejala edema paru/gagal jantung kongesti diatasi dengan
furosemid IV dosis 1-2 mg/kgBB/kali, oksigen, tourniquet atau
plebotomi, pemberian morfin 0,1 mg/kgBB. Bila tidak berhasil
dalam waktu 20 menit segera dilakukan dialisis.
9. lnfeksi
Harus ditanggulangi. Dosis obat harus disesuaikan dengan
derajat penurunan faal ginjal
10. Hipertensi
Diatasi sesuai dengan standard profesi
11. Hiperurisemia
Kadar asam urat dapat meningkatkan sampai 50 mg/dl. Bila
terjadi peningkatan diberikan alopurinol dengan dosis 100-200
mg untuk anak usia < 8 tahun dan 200-300 mg untuk usia diatas
8 tahun, dibagi 2 dosis.
b. Terapi pengganti
Dialisis:
Dilakukan atas indikasi:
a. Kadar Ureum darah > 200 mg/dl.
b. Hiperkalemia berat (K>7,5 meq/l) yang tidak menunjukkan respon
dengan pengobatan konservatif.
c. Bikarbonas plasma 12 meq/ l.
d. Gejala-gejala kongesti vaskuler yang tidak dapat diatasi dengan
terapi medikamentosa.
e. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat seperti
pendarahan penurunan kesadaran sampai koma.
Fase diuresis:
Pada fase ini harus diawasi jumlah diuresis/hari. Bila terjadi diuresis
yang masif harus mendapat penggantian cairan dan elektrolit yang
sesuai.

4. Tindak lanjut
1) Selama perawatan perlu dilakukan pengawasan terhadap tanda-tanda
vital: tensi, nadi, pernafasan, ritme jantung, suhu tubuh.
2) Pemeriksaan Hb/Ht/trombosit secara berkala
3) Pemeriksaan ureum/kreatinin dan elektrolit serum secara berkala
4) Analisis gas darah bila ada
5) Masukan cairan dan jumlah diuresis/24 jam
6) EKG secara serial

46

7) Foto rontgen dada


Indikasi pulang:
Bila keadaan umum baik, fungsi ginjal baik, komplikasi yang terjadi sudah
menghilang. Nasehat perlu kontrol berobat jalan ke Poli Khusus Ginjal
anak.
Edukasi
Komplikasi

Prognosis
Lain-lain (algoritma,
protokol, prosedur,
standing order)

Uremia dengan segala akibat


Edema/kongesti vaskuler
Hipertensi berat
Gangguan elektrolit (hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia).
Asidosis metabolik
Kejang
Infeksi
Tergantung pada penyebab dan kecepatan bertindak
Referensi :
1. Alatas H, gagal ginjal akut Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI,
Jakarta, 2002:490-508
2. Noer MS, Soemiyarso N, Prasetyo RV, Gagal Ginjal Akut. Dalam
Naskah Lengkap SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali,2009
Lampiran 1.
Lampiran 2.

47

Lampiran 1.
Pathogenesis Gagal Ginjal Akut
Faktor pencetus:
Perfusi ginjal
Total aliran darah ginjal
Konsumsi O2

Reabsorpsi Na tubular
Proximal

Oliguria BUN

Redistribusi aliran darah


ginjal
Laju filtrasi glomerulus

Konsentrasi Na pada
cairan tubulus distal
Stimulasi pada apparatus
jukstaglomerular
Pelepasan rennin dan
aktivasi local

Aktivitas renin plasma

Aktivasi local angiotensin II


Glomerular afferent
Vasokonstriksi arteriol

48

Lampiran 2.
Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan GGA
Gambaran urinalisis: urine nephritis (hematuria, proteinuria, selindernuria) +
Oliguria serta azotemia

GGA
Tentukan faktor penyebab
Anamnesis

Pemeriksaan . Fisik
Pemeriksaan Penunjang
- Urinalisis
- Profit biokimiawi
- Darah tepi lengkap
- Petunjuk pem. urine

Diare/muntah/pendarahan
Hipotensi/curah jantung
Petunjuk urinalisis
BUN/kreatinin>20
Osmolalitas urine>500
FE Na, 1%

Suspek pre renal


ARF

Overload cairan
Hipertensi
Keterlibatan multisistemik
Gambaran apusan darah abnormal
Trombositopenia
Sedimen urine aktif
Osmol urine < 350
FE Na > 2%

Suspek intrisik renal


ARF

Rehidrasi
Transfusi
Obat inotropik

Pemeriksaan pencitraan
Biopsi ginjal

Diuresis

Oliguria
menetap

Membaik

Diuretik/
dopamin

Awasi jumlah cairan


Koreksi asidosis
Koreksi elektrolit
Dukungan nutrisi

Riwayat ISK
Riwayat makan jengkol
Riwayat batu
Kandung kencing penuh
GGA yang tidak dapat
dinyatakan dengan anamnesis
dan PF

Suspek paska renal


ARF
Kateterisasi
Pem. pencitraan

Koreksi Bedah

Overload cairan yang nyata


Edema paru/gagal jantung
Kongesti sulit diatasi
Asidosis metabolik tak dapat diatasi
Hiperkalemia tidak terkontrol
Hipemetabolisme/uremia

Membaik

Oliguria
DIALISIS

49

DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG

GAGAL GINJAL KRONIK


No.Dokumen

No. Revisi

KODE ICD: N18.Halaman:

Ditetapkan oleh,
Panduan Praktek
Klinis
Definisi

Etiologi
Patogenesis
Klasifikasi

Tanggal revisi
25 Juni 2011
Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)
GGK adalah suatu keadaan gangguan yang kompleks, baik
klinis, kimiawi maupun metabolisme tubuh sebagai akibat
menurunnya fungsi ginjal yang kronik dan progresif dalam hal ini
kecepatan glomerulus (KFG)

Ada 3 tingkatan GGK berdasarkan penurunan KFG, yaitu:

1) GGK awal: LFG menurun antara 15-30 ml/men/1,73 m2


2) GGK lanjut: LFG menurun antara 5-15 ml/men/1,73 m2
3) GGK terminal: LFG menurun < 5 ml/men/1,73 m2
Anamnesis
Pemeriksaan fisik

Lemah, letargi, penurunan kesadaran somnolen-koma, sesak


nafas, anoreksia, mual, muntah, hematemesis, pucat
Anemia, purpura
Edema, hipertensi
Rikets, osteomalasia, hiperfosfatemia.
Hipokalsemia, hiperparatiroidisme, pruritis
Hiperkalemia, asidosis, metabolik, hiperuriasidemia.
Retardasi pertumbuhan, neuropati perifer
Perikarditis, kardiomiopati, gagal jantung

Kriteria diagnosis
Pemeriksaan
penunjang

50

Tatalaksana

1) Pengobatan konservatif
Pengobatan ini masih dapat dilakukan bila klirens kreatinin
> 5 ml/mnt/1,73 m2
Tujuan pengobatan ini untuk memperbaiki keadaan umum,
sehingga bila penderita jatuh dalam stadium terminal dari
perjalanan GGK, maka untuk mendapatkan dialisis dan
transplantasi ginjal, kondisi fisiknya tetap dalam keadaan
optimal.
a. Kebutuhan Kalori
Anak dengan GGK harus mendapat masukan kalori
minimal 40-120 kcal/kgBB/hari. Dapat dipakai patokan
minimum RDA seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel-1. Rekomendasi Pemberian Kalori sehari-sehari pada
anak dengan insufesiensi Ginjal Kronik sesuai Umur
Usia
Tinggi
Energi
Protein
Kalsiu Fosfor
(Cm)
(kcal)
minimal
m (gr)
(gr)
(gr)
0-2 bln
55
120/kg
2,2/kg
0,4
0,2
2-6 bln
63
110/kg
2 /kg
0,5
0,4
6-12 bln
72
100/kg
1,8/kg
0,6
0,5
1-2 th
81
1100
18
0,7
0,7
2-4 th
98
1300
22
0,8
0,8
4-6 th
110
1600
29
0,9
0,9
6-8 th
121
2000
29
0,9
0,9
8-10 th
131
2100
31
1,0
1,0
10-12 th
141
2450
36
1,2
1,2
12-14 th L
151
2700
40
1,4
1,4
12-14 th P
154
2300
34
1,3
1,3
14-16 th L
170
3000
45
1,4
1,4
14-16 th P
159
2350
35
1,3
1,3
16-22 th L
175
2800
42
0,8
0,8
16-22 th P
163
2200
33
0,8
0,8
b. Kebutuhan protein
Pada anak dengan GGK pembatasan protein dimulai
pada klirens kreatinin di antara 15-20 ml/men/1,73
m2. Protein sebaiknya protein hewani. Pembatasan
protein dapat disesuaikan dengan usia dan KFG
seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Anjuran Intake Protein untuk anak dengan insufesiensi
ginjal Sesuai dengan Umur dan LFG
Usia
50-20
20-10
10-5
(120%
(100% RDA)
(100%

51

RDA)

RDA)

0-2 bln
2,6 g/kg
2,2 g/kg
1,6 g/kg
2-6 bln
2,4 g/kg
2 g/kg
1,5 g/kg
6-12 bln
2,1 g/kg
1,8 g/kg
1,5 g/kg
1-3 th
28 g
28 g
18 g
3-6 th
38 g
30 g
23 g
6-8 th
43 g
36 g
27 g
8-10 th
48 g
40 g
30 g
10-12 th L
54 g
45 g
34 g
12-14 th L
60 g
50 g
38 g
14-18 th L
72 g
60 g
45 g
10-14 th P
60 g
50 g
38 g
14-18 th P
66 g
55 g
41 g
c. Natrium
Pada penderita GGK tanpa hipertensi umumnya
diberikan diet rendah garam yaitu natrium 1
meq/kgBB/hari. Retriksi ketat natrium dilakukan bila
terdapat hipertensi dan oliguria berat yaitu 0,5
meq/kgBB/hari (1 gram garam dapur mengandung
400 mg natrium atau 17 meq natrium)
d. Air
Pembatasan cairan dilakulkan bila terdapat edema
dan hipertensi atau LFG turun dibawah 10
ml/men/l,73 m2, untuk mencegah intoksikasi air dan
hiponatremia. Jumlah air yang diperlukan adalah
IWL + volume urin 1 hari sebelumnya
e Kalium
Bila kadar kalium dalam serum antara 5,5-6,5 meq/L,
semua jenis makanan yang mengandung kalium
harus dihindari: sayur-mayur yang berwarna hijau,
buah-buah, kacang-kacangan, coklat dll. Bila kadar
kalium 6,5 meq/l disertai dengan perubahan EKG
maka harus segera diatasi seperti pada GGA
f . Asidosis
Obat yang digunakan adalah natrium bikarbonat
dengan dosis 0.5-1 meq/kgBB/hari atau berdasarkan
hasil analisa gas darah.
g. Osteodistrofi renal
Dalam usaha pencegahan osteodistrofi renal pada
anak dengan GGK Tindakan yang perlu dilakukan
adalah:
Pemberian kalsium yang cukup. Dosis kalsium
yang dianjurkan adalah 500 1000

52

meq/kgBB/hari
Mengurangi masukan protein dan produk susu
yang kaya akan fosfat, menghambat absorbsi
fosfat dari dalam usus dengan pemberian
aluminium gel. Kadar fosfat dalam serum
harus diperiksa dan dipertahankan antara 4 5
mg/dl.
h. Pemberian vitamin D
Tergantung pada derajat gagal ginjal dan kecurigaan
pada tulang berdasarkan hasil pemeriksaan
radiologis. Vitamin D diberikan dengan dosis 4000
40.000 U/hari.
Selama pemberian obat kadar
kalsium harus diperiksa untuk mendeteksi timbulnya
hiperkalsemin akibat efek samping vitamin D.
i. Hipertensi
Pada hipertensi ringan diberikan diuretika seperti
furosemid dan membatasi masukan air dan garam.
Pada hipertensi moderat-berat diberikan obat
antihipertensi secara oral. Bila hipertensi berat
sampai menimbulkan kerusakan organ target,
diberikan antihipertensi secara intravena. Obat
antihipertensi yang digunakan seperti terlihat pada
tabel 3.
j. Anemia
Bila Hb < 6 g/dl dan timbul gejala-gejala anemia.
perlu diberikan transfusi darah dengat jumlah 5 - 10
m1/kgBB dalam bentuk "fresh packed cells. Bila
anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi atau
asam folat, diberikan zat besi 6 mg/kgBB/hari dan
asam folat 0,25- 1 mg/hari.
k. Gangguan Pertumbuhan
Pengobatan terhadap gangguan pertumbuhan ini sulit
karena banyak faktor yang berperan. Faktor yang
dapat memberikan respon terhadap pengobatan ini
adalah koreksi asidosis dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Pengelolaan terhadap malnutrisi harus
diusahakan sebaik mungkin, anoreksia harus
diberantas, untuk itu perlu bantuan ahli gizi untuk
menyusun diet yang cocok untuk selera anak.
l. Infeksi
Bila ada infeksi harus segera ditanggulangi. Sambil
menunggu hasil biakan dan sensitifitas dapat
diberikan obat antibiotik yang berspektrum luas.

53

Dosis obat harus disesuaikan


kerusakan fungsi ginjal.

dengan

derajat

2). Pengobatan pengganti: dialisis dan transplantasi ginjal.


Edukasi
Komplikasi
Prognosis
Lain-lain (algoritma,
protokol, prosedur,
standing order)

Referensi :
1. Nanan Sekarwana,Dedi Rachmadi, Dany Hilmanto, Gagal
ginjal Kronik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI,
Jakarta, 2002:509-530

NEFRITIS LUPUS (SLE)

DEPARTEMEN IKA
RSMH
PALEMBANG

No.Dokumen

KODE ICD: N80.5

No. Revisi

Halaman:

Ditetapkan oleh,
Panduan Praktek
Klinis

Tanggal revisi
25 Juni 2011
Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)

Definisi
Etiologi
Patogenesis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Kriteria diagnosis

1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Ruam kupu-kupu di muka


Ruam discoid di kulit
Fotosensitif
Ulserasi uro dan nasofating
Arthritis tanpa deformitas
Pleuritis atau perikarditis
Kelainan ginjal (proteinuria > 0,5 g,/hari atau +++,
selinder seluler, sel darah merah/Hb/granuler/tubuler)
8) Kelainan neurologik: kejang atau psikosis.
9) Kelainan
hematogik:
anemia
hemolitik
dengan
retikulositosis atau lekopenia atau limfopenia
atau
trombositopenia.
10) Kelainan imunologik: sel LE positif atau titer abnormal
anti DNA terhadap DNA tubuh atau anti SM positif atau uji
serologis sifilis positif palsu dalam 6 bulan terakhir
11) Pemeriksaan antibodi antinuklear positif.

54

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria di


atas yang salah satunya merupakan tanda nefritis (kelainan
pada ginjal).
Pemeriksaan
penunjang
Tatalaksana

1. Kortikosteroid
Sangat berguna untuk mengontrol manifestasi inflamasi
akut LES. Penggunaan kortikosteroid mungkin secara
adekuat dapat mengobati NL yang ringan dengan risiko
rendah atau disfungsi ginjal yang progresif seperti NL
mesangial, NL proliferatif fokal dini atau NL membranosa.
Glukokortikoid yang biasa dipakai adalah prednison atau
metilprednisolon,
yang
masih
merupakan
terapi
imunosupresif yang efektif dan bekerja secara cepat untuk
episode awal dan rekurensi dari penyakit ginjal yang aktif.
Obat ini digunakan sebagai imunosuopresif pada pengobatan
gangguan autoimun. Aktivitasnya dengan melawan
peningkatan premeabilitas kapiler dan menekan aktivitas
PMN.
Prednison dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2
mg/kgbb (maksimum 80 mg/hari) dengan dosis terbagi ( 3
kali sehari) diberikan sampai terdapat perbaikan klinis
(remisi) yang bisa dilihat dari menurunnya derajat proteinuria
(<1 gr/hari atau +), berkurangnya hematuria (< 10/LPB),
mambaiknya fungsi ginajl, normalisasi komplemen darah dan
penurunan titer anti ds DNA. Pemberian dosis penuh
biasanya berlangsung 4-6 minggu, kemudian dosis
diturunkan perlahan-lahan. Penurunan dosis secara cepat
biasanya mengakibatkan rekurensi dari aktivitas penyakit.
Mula-mula prednison atau sejenisnya dikurangi 5-10 mg dari
dosis awal dengan pemberian dosis tunggal pada pagi hari
setiap hari selama 4-6 minggu. Selanjutnya dosis diturunkan
lagi 5-10 mg dari dosis sebelumnya setiap 4 minggu dengan
pemberian selang sehari secara tunggal pada pagi hari
sampai mencapai 5-10 mg/hari (0,1-0,2mg/kgbb/hari) dan
dipertahankan 1-2 tahun baru dipertimbangkan untuk
dihentikan. Tujuan dari diturunkan dosis secara perlahan
adalah utnuk mengurangi efek toksisitas dari steroid. Bila
timbul relaps dosis dinaikkan lagi menjadi 60mg/m2/hari.
Pada NL berat yaitu penurunan fungsi ginjal yang
progresif serta dari gambaran biopsi ginjal memperlihatkan
glomerulonefritis proliferatif difusa dan kresen epitelial,
dianjurkan pemberian terapi pulse dengan metil prednisolon

55

intravena dengan dosis 15mg/kgbb (10-30 mg/kgbb) secar


infus dalam 50-100 ml glukosa 5% selama 30-60 menit.
Pemberian terapi pulse dapat diulang setiap hari atau selang
sehari selama 3-6 hari dilanjutkan dengan pemberian
prednison
atau
prednisolon
oral
dengan
dosis
0,5mg/kgbb/hari selama 4 minggu kemudian dosisnya
diturunkan 5 mg setiap minggunya dengan pemberian selang
sehari sampai mencapai dosis minimum untuk mengontrol
penyakit ekstra renal yang disertai flare yang berat,
diperbolehkan untuk pemberian predni(solon)son 1
mg/kgbb/hari selama 2 minggu. Tekanan darah diukur secara
ketat dan dipertahankan dalam rentang 110-130/70-85
dengan obat-obatan anti hipertensi.
Problem utama dengan pengobatan steroid adalah
toksisitasnya yang dihubungkan penggunaannya yang lama
yang dapat menimbulkan katarak, glaukoma, hipertensi,
osteoporosis, aterosklerosis, avaskular nekrosis, striae kulit,
fragilitas kapiler yang dihubungkan dengan ekimosis,
penampilan cushinoid, insomnia, agitasi, gangguan ansietas
dan risiko infeksi.
2. Obat sitostatika
Siklofosfamid dan azatioprin adalah obat yang sering
dipakai pada lesi ginjal yang agresif (seperti NL proliferatif
fokal, NL proliferatif difus). Pengobatan dengan sitostatika
dipakai dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Pada
beberapa penelitian mikofenalat mofetil telah menunjukkan
hasil yang efektif untuk pengobatan NL.
Obat imunosupresan sebagai tambahan kortikosteroid
diindikasikan pada pasien yang tidak respon dengan
kortikosteroid saja yang tidak dapat menerima toksisitas
kortikosteroid, fungsi ginjal yang buruk, lesi proliferatif yang
berat atau yang terbukti sklerosing pada pemeriksaan biopsi
ginjal.
2.1.Siklofosfamid
Diindikasikan pada pengobatan pasien yang sebagian besar
menunjukan gambaran NL proliferatif fokal atau NL proliferatif
difus. Walaupun secara bermakna menimbulkan toksisitas
tetapi telah ditunjukkan oleh berbagai penelitian dapat
mencegah progresivitas nefritis dan memperbaiki outcome
ginjal.
Sebagai alkilating agent mekanisme kerja dari metabolit

56

aktif siklofosfamid akan mempengaruhi crosslinking DNA


yang akan mempengaruhi pertumbuhan sel-sel normal dan
neoplasma.
Siklofosfamid dapat dipakai secara oral dengan dosis 2
mg/kgbb/hari tetapi akhir-akhir ini lebih dianjurkan parenteral
yaitu obat siklofosfamid dengan cara terapi pulse yaitu
dengan pembarian bolus intravena 0,5-1gr/m2 secara infus
selama 1 jam. Sebaiknya dikombinasikan dengan MESNA (2merkaptopurin-etanesulfon). Pemberian mesna disulfida
dapat menginaktifkan metabolit aktif dari siklofosfamid yang
dapat menyebabkan iritasi pada kandung kemih (sistitis
hemoragik).
Austin dkk (1986) menganjurkan pemberian pulse
siklofosfamid tiap 3 bulan selama 4 tahun atau 18 bulan
setelah terjadi remisi. Lehman dkk (1989) melaporkan
dengan hasil yang baik dengan pemberian pulse
siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil
perbaikan fungsi ginajal pada NL proliferati difus. Dosis yang
dipakai adalah 500mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m2
pada bulan kedua selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40
mg/kgbb). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau
hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m2. bila jumlah leukosit
<2x109/L dosis tidak boleh dinaikkan dan bila 1x 109 dosis
diturunkan 125mg/m2. Obat diberikan satu kali sebulan selam
7 bulan, dilanjutkan dengan tiap tiga bulan sampai selama 36
bulan. Bila terjadi peningkatan aktivitas penyakit, obat
diberikan tiap bulan lagi selama 3 bulan. Pemberian
siklofosfamid pulse dilaporkan memberikan efek samping
yang kurang daripada oral yang diberikan tiap hari. Selama
pengobatan ini dosis kortikosteroid diturunkan bertahap
sampai 0,25 mg/kgbb/hari dan dipertahankan selama tiga
tahun baru dosis diturunkan.
Selama pemakaian sikofosfamid dilakukan pemeriksaan
hemoglobin, leukosit, trombosit tiap minggu. Efek samping
yang dapat timbul adalah toksisitas seperti muntah,
lekopenia, trombositopenia, anemia, infeksi, alopesia, sistitis
hemoragik, infertilitas, teratogenik dan risiko terjadinya
keganasan.
2.2. Azatioprin
Azatioprin berguna untuk NL yang moderat sampai berat.
Obat ini bekerja dengan cara mengantagonis metabolisme
purin dan menghambat sintesis DNA, RNA dan protein. Hal

57

ini mungkin menurunkan proliferasi sel-sel imun yang akan


mengakibatkan aktivitas autoimun yang lebih rendah.
Walaupun obat ini dapat memperbaiki outcome ginjal
tetapi tidak seefektif siklofosfamid walaupun kurang toksik.
Dosis yang digunakan adalah 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
atau terbagi. Dosis awal 1mg/kgbb/hari kemudian dosis
ditingkatkan tergantung dari respon klinisdan hematologi.
Efek sampingnya adalah mual dan muntah, leukopenia,
trombositopenia, anemia, infeksi dan abnormalitas fungsi
hati.

2.3. Siklosporin
Siklosporin dapat digunakan untuk mengobati NL. Basis
penggunaannya berhubungan dengan produksi limfokin yang
diproduksi oleh aktivasi limfosit T. Dengan menghambat
produksi interleukin-2, rekruitmen sel T sitotoksik dihentikan
mengurangi
respon
inflamsi
dan
mempresipitasi
pengendapan kompleks imun di ginjal. Pada individu dengan
NL berat, penggunan siklosporin bersama dengan
kortikosteroid, telah ditunjukan untuk mengurangi proteinuria
dan menstabilisasi fungsi ginjal.
3. Plasma exchange
Walaupun terdapat korelasi yang jelas tentang plasma
exchange pada lupus, tetapi pada beberapa penelitian pada
NL belum jelas. Pada penelitian uji terkontrol menunjukkan
tidak ada manfaat dengan penambahan 3 kali seminggu
plasma exchange selama kombinasi dengan terapi sitostatik
dan dengan terapi kortikosteroid. Pada penelitian lainnya
menunjukkan tidak ada manfaatnya ketika pemberian
siklofosfamid iv bersama dengan plasma exchange untuk
mengurangi rebound antibody
4.Imunoglobulin intravena
Dosis tinggi imnoglobulin intravena digunakan untuk LES
khususnya jika dijumpai adanya trombositopenia. Belum ada
peneliti yang melaporkan penggunaannya pada NL anak.
Imunoglobulin intravena dihubungkan dengan terjadinya
gagal ginjal akut dan penggunaannya pada individu dengan
insufisiensi ginjal terbatas.
Edukasi

58

Komplikasi
Prognosis
Lain-lain
(algoritma,
protokol,
prosedur,
standing order)

DEPARTEMEN IKA
RSMH
PALEMBANG

Referensi :
1. Husein Alatas, Nefritis Lupus. Dalam Buku Ajar
Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:366-380

KERACUNAN JENGKOL
No.Dokumen

No. Revisi

KODE ICD: T.62


Halaman:

Ditetapkan oleh,
Panduan Praktek
Klinis
Definisi
Etiologi
Patogenesis

Anamnesis

Pemeriksaan fisik
Kriteria diagnosis

Tanggal
25 Juni 2011
Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)
Keracunan jengkol adalah keracunan yang memakan
buah jengkol yang menimbulkan gejala-gejala klinis
Buah jengkol (phitecolobium lobatum) termasuk golongan
polong-polongan
Patogenesis yang pasti tentang terjadinya keracunan
jengkol masih belum jelas. Hingga saat ini diperkirakan
gejala keracunan jengkol disebabkan oleh pengendapan
kristal jengkol yang menyumbat saluran kemih.
Buah jengkol asam jengkol tubulus ginjal proses
pemekatan dan penurunan pH (pH mencapai titik isoelektrik 5,5) pembentukan kristal jengkol
Secara klinis keracunan jengkol dapat dibagi dalam 3
tingkatan yaitu:
Ringan, bila terdapat keluhan ringan seperti sakit
pinggang, kencing berwarna merah
Berat, bila disertai oliguria
Sangat berat, bila terjadi anuria atau tanda-tanda gagal
ginjal akut yang nyata.
Dasar diagnosis
Adanya riwayat makan jengkol, keluhan sakit perut,
muntah, disuria, pernafasan dan urin berbau jengkol yang
khas, hematuria, disuria atau anuria, serta ditemukan

59

kristal asam jengkol dalam urin yang merupakan kriteria


diagnostik yang cukup spesifik.
Langkah diagnosis
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium/penunjang untuk mendukung
diagnosis
Cari ada komplikasi
Pemeriksaan
penunjang

Tatalaksana

Laboratorium:
Pada pemeriksaan urin dengan mikroskop terdapat kristal
asam jengkol
USG/Pielogravi intravena (PIV): ditemukan pelebaran
ureter atau tanda-tanda hidronefrosis akibat obstruksi
Penanganan Medis
Ringan : diberikan minum yang banyak dengan
penambahan air soda atau tablet sodium
bikarbonat kira-kira 1-2 meq/kgbb/hari atau
sebanyak 1-2 gram/hari .
Berat : ditandai dengan oligouria/anuria maka
penderita harus dirawat dan ditangani sebagai
kasus gagal ginjal akut.
Bila ditandai dengan retensi urin maka
dilakukan kateterisasi urin, buli-buli dibilas
dengan larutan sodium bikarbonat 1,5%.
Sodium bikarbonat diberikan 2-5 mEq/kgbb,
sebaiknya disesuaikan dengan hasil analisis
gas darah.
Diuretik diberikan 1-2 mg/kgBB/hari.
Bila cara-cara diatas belum berhasil atau
terdapat tanda-tanda perburukan klinis maka
perlu dilakukan tindakan dialisis segera.
Tindakan Bedah
Bila terdapat obstruksi berat di uretra distal, terdapat
kesulitan pemasangan katater, pada retensi urin,
dilakukan tindakan punksi buli-buli dengan jarum
sayap ukuran besar atau jarum sistofik no. l5 F, satu
jari diatas simfisis pubis di garis tengah dengan sudut
45.
Selanjutnya dilakukan pembilasan kandung
kemih dan sebaiknya dipasang drainase secara
tertutup. Bila terdapat edema atau infiltrat urin di
daerah batang penis atau skrotum dapat dilakukan

60

tindakan insisi pada bagian skrotum paling bawah.


Edukasi
Komplikasi
Prognosis

Lain-lain
(algoritma,
protokol, prosedur,
standing order)

DEPARTEMEN IKA
RSMH
PALEMBANG

Gagal ginjal akut


Prognosis pada umumnya baik, mortalitas dilaporkan
sebesar 6% penderita meninggal dunia sebab akibat
gagal ginjal akut
Referensi :
1. Taralan Tambunan, Keracunan Jengkol. Dalam
Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta,
2002:231-241

REFLUKS VESIKO URETER (RVU)


No.Dokumen

No. Revisi

KODE ICD: N13.7


Halaman:

Ditetapkan oleh,
Panduan Praktek
Klinis
Definisi
Etiologi

Patogenesis

Tanggal revisi
25 Juni 2011
Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)
Regurgitasi urin dari kandung kemih ke dalam ureter.
Berdasarkan etiologi refluks dibagi dalam 2 golongan:
a.
Refluks primer yaitu: refluks yang
disebabkan oleh defek kongenital pada hubungan
ureter vesika (uretero vesical junction)
b.
Refluks sekunder yaitu: refluks yang
diakibatkan oleh peningkatan tekanan di dalam
kandung kemih (misalnya: katup uretra posterior,
buli-buli neurogenik, diskoordinasi detrusor
sphincter), abnormalitas ureter (ureter ektopik),
abnormalitas ISK bawah (prune belly syndrome,
bladder exstrophy, ureterocele ektopik)
Pada refluks primer, adanya defek kongenital pada
hubungan ureter vesika ditandai dengan ureter intra
vesika yang pendek, orifisium uretra lebih besar dan
bergeser ke lateral. Bila ratio antara panjang ureter
intramural dan diameter orifisium uretra berkurang
(Normal 5:1) maka mekanisme anti refluks tidak
berfungsi dengan baik.
Refluks yang berhubungan dengan ISK.
Regurgitasi akan memepermudah timbulnya ISK akibat
adanya residu dalam kandung kemih. Infeksi dapat
menjalar ke arah ureter dan ginjal. Bakteri sering
menghasilkan suatu endotoksin yang menyebabkan
respon immun selular dan humoral berupa reaksi

61

inflamasi. Sequele dari reaksi host tersebut berupa


fibrosis parenkim yang diistilahkan sebagai nefropati
refluks.
Refluks dapat terjadi pada :
a. Fase pengisian kandung kemih disebut sebagai refluks
pasif/refluks tekanan rendah/low pressure reflux
b. Saat miksi berlangsung disebut sebagai refluks
aktif/refluks tekanan tinggi/high pressure reflux
Klasifikasi

Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Kriteria diagnosis

Pemeriksaan
penunjang
Tatalaksana

Derajat refluks menurut klasifikasi internasional :


Derajat I : refluks pada ureter saja, tidak ada dilatasi
Derajat II : ureter, pelvis dan kalises tidak ada dilatasi
Derajat III : dilatasi ringan dengan atau tanpa disertai
ureter berkelok (turtuosity). Dilatasi ringan pelvis, kaliks
minor agak cembung.
Derajat IV : dilatasi sedang disertai ureter berkelok.
Dilatasi sedang pada pelvis; kaliks mayor dan minor
tampak cembung.
Derajat V : dilatasi hebat disertai ureter yang berkelokkelok dan sistem pelviokalises sangat melebar
Riwayat ISK berulang
Untuk mendiagnosis adanya RVU dapat digunakan teknik
MSU (miksio-sisto-uretrografi). Untuk mendeteksi parut
ginjal dapat dipakai PIV (Pielografi Intavena).
Bila sarana tersedia, pemeriksaan yang lebih sensitif ialah
sintigrafi Te-99 DMSA (dimercapto succinic acid). Dengan
teknik ini dapat ditemukan defek gambaran ginjal yang
disebut daerah rendah emisi (cold area) akibat menurunnya
uptake DMSA pada daerah tersebut

Penanganan terhadap RVU bertujuan untuk identifikasi dan


gradasi RVU, pencegahan ISK berulang, memelihara
perkembangan fisik serta pertumbuhan ginjal yang normal
dan pencegahan timbulnya parut ginjal. Penanganan dinilai
berhasil bila refluks menghilang baik secara spontan
maupun setelah tindakan bedah.
Penanganan RVU meliputi :
a. RVU derajat I dan II :
hanya diberi terapi medikamentosa. Obat-obat yang
sering
digunakan
adalah
sulfamethoxazoletrimetoprime, trimethoprim saja, atau nitrofurantoin
dengan pemberian satu kali per hari dengan dosis 1/4
-1/3 dari dosis yang dibutuhkan untuk terapi ISK
b. RVU derajat III dan IV : dicoba terapi konservatif, bila
secara klinis mengalami perburukan,dipertimbangkan
dilakukan tindakan bedah.
c. RVU derajat V : dilakukan tindakan bedah (tranplantsi

62

ureter)
Edukasi
Komplikasi
Prognosis
Lain-lain

DEPARTEMEN IKA
RSMH
PALEMBANG

hipertensi, glomerulopati, GGK atau gabungan beberapa


gejala klinis tersebut.
Referensi :
1. Taralan Tambunan, Nefropati Refluks. Dalam Buku
Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:164-181

BATU GINJAL (NEFROLITHIASIS)


No.Dokumen

No. Revisi

KODE ICD: N20.0


Halaman:

Ditetapkan oleh,
Panduan Praktek
Klinis
Definisi
Etiologi

Patogenesis
Anamnesis

Tanggal revisi
25 Juni 2011
Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)
Terdapat pembetukan batu di ginjal dan saluran kemih
a. Beberapa keadaan yang mempermudah terjadinya
supersaturasi/kristalisasi zat-zat
yang relatif tidak larut dalam urin, sebagai berikut :
Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria
Hiperoksalemia dan hiperoksaluria
Hiperurisemia dan hiperurikosuria
Sistinuria
Xantinuria
Perubahan pH urin
b. Dehidrasi, juga akan mempengaruhi supersaturasi
zat-zat terlarut dalam urin.
c. Stasis urin, berupa kelainan kongenital maupun yang
di dapat menyebabkan obstruksi mekanis maupun
fungsional.
d. Obstruksi aliran limfe ginjal, baik yang kongenital
maupun akibat peradangan
menyebabkan
timbulnya inti kalsifikasi batu
e. Kerusakan epitel ginjal inti presipitasi batu
f. Idiopatik (40%)
Batu ginjal memberikan keluhan bila terjadi obstruksi parsial
atau bila batu berubah
Posisi. Gejala klinik:
Nyeri abdomen umumnya terasa di pinggang
Kolik ginjal

63

Pemeriksaan fisik
Kriteria diagnosis

Pemeriksaan
penunjang
Tatalaksana

Edukasi
Komplikasi
Prognosis

Lain-lain
(algoritme,
protokol, prosedur,

Hematuri makroskopik atau mikroskopik


Piuria
Mual dang muntah
Kembung

Dapat ditegakkan melalui :


Anamnesis yang teliti (saat mulai timbul keluhan,
riwayat perjalanan penyakit, pola makanan,
pemakaian obat-obatan, riwayat penyakit batu
saluran kemih dalam keluarga).
Pemeriksaan fisik (adakah nyeri abdomen, kolik
ginjal, hematuri,dll)
Pemeriksaan Penunjang, antara ialah :
a. Urinalisis
b. Pemeriksaan radiologis (Foto polos abdomen,
USG, Pielografi Intravena)
c. Pemeriksaan darah
d. Analisis
Langkah diagnosis dapat dilihat pada algoritma.

Berhasilnya penatalaksaan batu saluran kemih ditentukan


oleh 5 faktor yaitu ketepatan diagnosis, lokasi batu adanya
infeksi saluran kemih dan derajat beratnya, derajat
kerusakan fungsi ginjal, serta tatalaksana yang tepat. Terapi
dinyatakan berhasil bila: keluhan menghilang, kekambuhan
batu dapat dicegah, infeksi telah dapat dieradikasi dan
fungsi ginjal dapat dipertahankan.
Pengobatan konservatif (lebih ditujukan kepada
penyakit/keadaan yang mendasari terbentuknya batu).
Pemakaian obat-obatan (untuk mengurangi rasa sakit
yang hebat, mengusahakan agar batu keluar spontan,
disolusi batu dan mencegah kambuhnya batu ).
Pengeluaran batu dengan cara ESWL (Extracorporeal
shock wave lithoptripsy) menggunakan gelombang untuk
meretakkan batu atau dengan cara pembedahan
(pielolitotomi atau nefrektomi).

Prognosis dari batu ginjal tergantung dari diagnosis awal dan


terapi yang diberikan, tetapi tingkat berulang kembali
biasanya tinggi jika kondisi tersebut tidak diobati.
Referensi :
1. Partini P. Trihono ,Sudung O Pardede, Batu Saluran
Kemih. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI,

64

standing order)

Jakarta, 2002:212-230
Algoritma (lampiran 1)

Lampiran 1.
Algorithm For Evaluating Possible Nephrolithiasis
Symptoms/Signs of Urinary Stone

History, physical exam, urinalysis, urine culture, imaging

Stone passed

No stone identified

Stone identified in urinary tract

Urinary Ca/creatinine

Urologic or surgical consultation

Stone not
recovered

Stone
recovered

Stone analysis
Complete metabolic
evaluation
Serum creatinine, calcium,
bicarbonate, uric acid,
potassium,
phosphorus
Calcium
oxalate
24 hour
urine
volume,
Calcium phosphate
calcium, creatinine,
oxalate, uric acid, sodium,
citrate OR random urine
calcium, creatinine,

Options include observation


ESWL, surgical removal

Cystine

Struvite
65

Urine cystine

Urine culture

Normal

Consider
alternative
diagnoses

Elevated

Urinary citrate
and uric acid,
serum calcium
& phosporus

Uric acid
Urine and serum
Uric acid and
creatinine

Anda mungkin juga menyukai