Anda di halaman 1dari 17

1

Artinya Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: Rasulullah s.a.w.
bersabda: Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya untuk
mengikat lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali di negerinya dengan
membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara
sedemikian itu Allah menahan wajahnya yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam
itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu
suka memberinya atau menolaknya. (Riwayat Bukhari)
Hidup Mandiri
Mandiri berarti tidak mengantungkan kepada orang lain, orang bisa dikatakan mandiri jika sudah
mampu menghidupi dirinya sendiri serta orang dekatnya (anak dan istrinya). Jika belum mampu
menghidupi dirinya sendiri, maka orang itu disebut dengan miskin, orang miskin perlu
mendapatkan perhatian, kendati demikian, orang miskin juga tidak boleh mengantungkan kepada
orang lain. Sedangkan seseorang yang belum mampu mencukupi kebutuhanya, sedangkan tempat
tinggalnya juga tidak ada, orang itu disebut dengan fakir. Orang ini juga termasuk kelompok yang
memerlukan perhatian khusus, agar bisa melangsungkan hidupnya.
Terkait dengan hidup mandiri, islam sangat menganjurkan pemeluknya agar senantiasa hidup
mandiri dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Orang dituntut bekerja dengan mengunakan segala
kemampuannya, seperti tenaga, intelektual, serta jasanya, agar dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Begitulah makna hadis yang tersirat, Nabi tidak hanya menganjurkan dengan
tuturnya, akan tetapi Nabi juga memberikan teladan bahwa beliau adalah seorang yang giat
berusaha dan bekerja demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Bahkan beliau rela
mengambil anak angkat (Haid bin Harisah), serta menikahi beberapa wanita dengan tujuan
mengentaskan kemiskinan. Dalam dunia usaha, seringkali Nabi setiap pagi menengok kepasar
dengan tujuan melihat kondisinya, serta komoditas yang ada, serta transaksi yang dialkukan oleh
sekelompok masyarakat waktu itu. Kita mengenal beberapa ayat yang terakit dengan jual beli,
timbang menimbang barang, berniaga setelah selesai menunaikan sholat. Abu Bakar mempuyai
bedak (toko) rempah-rempah (bazzar), sedangkan Umar termasuk orang yang jarang dirumah di
pagi hari karena mesti bekerja dipasar untuk memenui kebutuhan rumah tanganya, sedangkan
Usman seorang pengusaha yang profesinal dan dermawan. Ali, walaupun Miskin, beliau seorang
pekerja keras, beliau terkenal dengan gudangnya pengetahuan agama, akan tetapi materinya tidak
sebanyak tiga sahabatnya. Karakteristik para sahabat, mereka sangat dermawan terhadap
masyarakat miskin, fukoro dan kaum duafa lainya.
Ekonomi Dimasa Nabi
Allah swt telah berfirman dalam sebuah ayat yang berbunyi Seseorang tidak mendapatkan sesuatu
.(kecuali apa yang telah di usahakannya. (QS An-Najm )39
Dalam dunia ekonomi, ayat ini sebagai ilham bahwa setiap usaha seseorang pasti akan
menghasilkan, semakin banyak bekerja dan usaha maka semakin banyak pula pendapatnya. Ayat ini
juga mengajak manusia untuk tidak berpangku tangan, manusia mesti bekerja keras agar bisa
mencukupi kebutuahan hidupnya sehari-hari.
Jasa Tenaga
Hal ini juga ditegaskan dalam Qs An-Nisa (4) ayat 32, Bagi seseorang laki-laki ada manfaat dari
apa yang dia usahakan.Alam memeng tak memisahkan lelaki dan perempuan, hitam dan putih atau
bahkan Muslim dan kafir dalam hal rezeki. Hukum alam adalah siapa bekerja keras lebih keras dia
mendapat balasan. Allah maha pemberi, Allah tidak pernah membedakan antara maghluknya
didalam urusan rizki, kadang orang kafir lebih kaya, begitu pula sebaliknya.

Islam menjunjung tinggi etos kerja. Dalam beberapa literaur arab sering kita dengar dengan
siapa yang sungguh-sungguh ia akan dapat dan cita-cita seorang lelaki yaitu bisa merobihkan
gunung. Dalam sebuah ayat disebutkan agar manusia berpencar di muka bumi setelah menunaikan
sholat. Sedangkan ketika mendengar suara adzan hendaknya segera pergi untuk menunaikan sholat.
Nabi Muhammad SAW adalah tokoh yang amat menjunjung tinggi etos kerja dan selalu menghargai
karya para pekerja dan ahli dalam bidang pekerjaan tertentu. Dan bahkan dalam sejarah islam,
semua nabi bekerja untuk kehidupannya. Ini untuk menunjukkan bahwa para nabi bukan rabi atau
pendeta yang dicukupi kehidupannya dari umatnya. Untuk makan sehari-hari, para Nabi bekerja.
Ingat bagaimana kisah Musa AS yang bekerja pada Nabi Syuaib. Nabi Daud sebagai
pengrajin, Nabi Yusuf sebagi pengawas gudang, dan terutama Nabi Muhammad SAW yang menjadi
pedagang pada sebelum kenabian dan mengerjakan banyak pekerjaan kasar lain setelah kenabian.
Para Nabi diperintahkan bekerja keras untuk memperoleh kehidupan yang baik. Dibalik
pesan itu pastilah ada misi bahwa betapapun mulia seorang nabi, mereka harus tetap bekerja untuk
memenuhi kehidupannya. Ini contoh terbaik bagi umat. Dan Nabi Muhammad SAW dengan bangga
menyatakan bahwa ia bekerja untuk penghidupannya. Para nabi mewarisi etos kerja ayahnya.
Fatimah az Zahra pernah satu hari kehabisan gandum sementara anak-anaknya butuh makan dan
sakit. Dia pergi ke pemilik toko. Maka didapatnya pekerjaan menumbuk gandum untuk dibuat roti
dan dimakan bersama anaknya.
Jasa Intelektual
Fenomena saat ini berbeda dengan masa lalu, intelektual juga memilki harga yang sangat tinggi
dalam dunia islam. Dalam kisah Nabi Yusuf disebutkan bahwa nabi Yusuf karena keahliannya maka
dia diberi tugas sebagai pengawas gudang. Kemudian pekerjaannya naik menjadi penasihat raja.
Islam mengajarkan efisiensi dan profesionalitas, serta kemampuan yang dimiliki, wajar sekali kalau
saat ini kita mengenal beraneka ragam konsultan; mulai kesehatan, ekonomi, akutasi, pajak, dan
banayak lai laianya. Islam menghargai nilai inteletual.
Caontoh lain, Kisah Nabi Musa sebagaimana diceritakan dalam QS Al-Qashash (28) ayat 26
Salah Seorang dari kedua wanita (anak nabi syuaib) berkata: Wahai Bapakku, ambillah ia
sebagai pekerja kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja
(dengan kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
Bersifat fisik atau mengandalkan intelektualitas, kejujuran merupakan unsur penting dalam bekerja.
Bekerja juga harus indah dan rapi., Para pekerja juga harus dibekali dengan pendidikan dan latihan,
sebagaimana Islam amat mementingkan mencari ilmu.
Soal upah
Setelah mengajarkan etos kerja, Islam juga mengajarkan panduan soal upah bagi tenaga
kerja. Dari Abu Dzar al Ghifari diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, mereka (budak
budak dan pelayanmu ) adalah saudara kamu. Allah menempatkan mereka di bawah pengawasan
kamu, maka barang siapa menempatkan saudaranya di bawah pengawasannya hendaklah ia
memberinya makanan dari apa yang ia makan dan berilah ia pakaian sebagaimana pakiaan yang ia
pakai (sendiri) serta janganlah membebani mereka dengan tugas-tugas yang terlalu berat, dan jika
kamu memberinya beban berat maka bantulah mereka.
Dari hadis itu dapat disimpulkan bahwa majikan dan karyawan seharusnya saling
menganggap saudara bukan tuan dan budak. Dengan menganggap saudara pastilah sang majikan
akan dermawan dalam membayar upah. Dalam hal paling mendasar, seharusnya seorang bawahan
dan majikan dapat memenuhi kebutuhan dasar yang sama. Kebutuhan dasar itu adalah makanan,
rumah, pakaian, biaya kesehatan, dan pendidikan standar. Islam menjaga agar upah tidak di bawah
standar minimal untuk melindungi hak karyawan. Islam juga melindungi hak majikan dengan hasil
kerja profesional. Lalu berapa tingkat upah yang sebenarnya ? Nabi meletakkan standarisasi upah
yang wajar. Ketimpangan yang terlalu tinggi pada pemberian upah bisa mengakibatkan perselosiahn

sosial dan iklim kerja yang tidak nyaman. Standar gaji adalah untuk yang terendah dapat memenuhi
kebutuhan dasar akan rumah, pakaian,makanan, pendidikan, dan kesehatan . Pada tahun pertama
hijrah upah bagi sahabat yang berjuang dalam perang badr dan Uhud yang terendah 200 dirham dan
tertinggi 2.000 dirham atau dengan rasio 1:10 perbedaan antara yang rendah dengan yang tinggi
adalah hukum alam karena perbedaan keahlian, sifat kerja, tanggung jawab, pengabdian dan
lainnya. Namun ada satu hal yang tak boleh dilanggar, rasio perbedaan gaji tertinggi dan terendah
harus 1:10. Islam tidak membenarkan sistem upah dengan kesenjangan terlalu tinggi.
Sekarang kita bandingkan tingkat upah di tempat kita. Seorang direktur bisa memeperoleh
gaji mencapai 200 juta per bulan. Sedangkan seorang office boy , satpam, atau pekerja kasar lainnya
di perusahaan yang sama mungkin dibayar hanya 700 ribu 1 juta perbulan. Artinya rasionya telah
berubah menjadi 1:200 atau 1:250. Nabi Muhammad SAW juga meletakkan dasar bagi para pejabat
negara saat itu. Seorang khalifah tidak memperoleh upah. Tapi mereka mendapat tunjangan sebesar
2 dirham perhari. Namun Khalifah Abubakar menyumbangkan tunjangannya untuk orang yang
lebih membutuhkan. Ketentuan lain adalah seorang pejabat tidak boleh menggunakan kuda turki
(binatang kendaraan terbaik saat itu). Pejabat tak boleh menggunakan pakaian yang tipis karena itu
lambang kemewahan, tak boleh makan dari tepung halus, tak boleh menempatkan penjaga di muka
rumah khawatir orang miskin tak bisa masuk untuk melaporkan kehidupannya. Azzimi

2.
Apabila shalat (shalat Jumat) telah ditunaikan, bertebaranlah kalian di atas muka bumi, dan
carilah karunia Allah. (QS Al-Jumu`ah: 10).
Seseorang yang mengaku dirinya muslim seyogianya adalah seorang yang mandiri dan pekerja
keras. Ia berkewajiban berikhtiar dan meyakini bahwa hanya Allah SWT yang memberi rizqinya.
Allah Taala memberi gambaran keteladanan pada sosok nabi-nabi-Nya, seperti Nabi Daud AS,
Nabi Zakaria AS, dan tentunya Nabi Muhammad SAW. Untuk mengulas aspek kemandirian umat
Muhammad SAW ini, ada baiknya kita awali dengan sebuah firman Allah SWT sebagai berikut:
Apabila shalat (shalat Jumat) telah ditunaikan, bertebaranlah kalian di atas muka bumi, dan
carilah karunia Allah. (QS Al-Jumu`ah: 10).
Ayat ini berkenaan dengan shalat Jumat dan perintah untuk mencari rizqi usai shalat Jumat.
Sebagaimana diceritakan dalam suatu riwayat yang mengulas sebab turunnya ayat ini dan ayat
selanjutnya, suatu ketika tengah dilaksanakan shalat Jumat dan Nabi Muhammad SAW menjadi
khathibnya. Sekonyong-konyong datang kafilah dagang dari Syam. Lalu mereka membunyikan
genderang pertanda bahwa mereka tengah berdagang. Beberapa jamaah yang tengah di dalam
masjid meninggalkan masjid untuk melihat keramaian itu. Hingga tinggal 12 orang saja yang tetap
khusyu mengikuti shalat Jumat itu. Lalu turunlah ayat di atas.
Ayat itu, sebagaimana dipahami oleh banyak mufassir, tidak terbatas dalam pelaksanaan shalat
Jumat saja, melainkan juga shalat-shalat lainnya. Maksud ayat tersebut adalah perlunya keseimbangan antara ibadah dan muamalah. Seorang muslim diwajibkan mencari nafkah, tanpa harus
melalaikan kewajibannya dalam ibadah.
Dari Abu Abdillah Az-Zubair bin Al-Awwam RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Sungguh,
andai kata salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali kemudian pergi ke gunung
lalu kembali dengan seikat kayu bakar yang dipikulnya di pundaknya dan kemudian menjualnya,
lalu Allah mencukupkan kebutuhannya dengan hasil itu, itu lebih baik baginya daripada memintaminta kepada orang lain, baik mereka memberinya maupun tidak. (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Zakat bab Menjaga Diri dari Meminta-minta.
Makna khayrun (lebih baik) dalam hadits di atas bukanlah tafdhil (mengutamakan suatu perbuatan
atas perbuatan lainnya). Al-Asqalani, dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, mengatakan,
tidak ada keutamaan dan kebaikan dalam hal meminta-minta bersamaan dengan keutamaan dan
kebaikan dalam berusaha. Yang benar adalah apa yang dikatakan Imam Syafii bahwa memintaminta itu menjurus kepada keharaman, dan tentunya tiada bandingannya dengan perbuatan bekerja
dan berusaha dengan kedua tangan untuk mendapatkan rizqi yang halal.
Hadits di atas menganjurkan umat Muhammad SAW untuk berusaha dan bekerja untuk memperoleh
rizqi, sekalipun pekerjaan yang dilakukannya dianggap hina dan remeh oleh orang lain.
Hadits ini juga menggambarkan bagaimana kesungguhan seseorang dalam mencari rizqi yang halal.
Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad, dalam Al-Fushul al-Ilmiyyah, karyanya, mengatakan,
mencari rizqi yang halal adalah kewajiban yang terpuji. Sesuatu yang halal akan menyuburkan jiwa,
menyucikannya, melembutkannya, meneranginya, dan memperindahnya, dengan aqidah yang lurus
dan akhlaq yang luhur, bahkan berpengaruh pada kesehatan jasmani.
Imam Sufyan Ats-Tsauri dan Syaikh Ibrahim bin Ad-ham, karena sangat ihtiyath-nya (berhati-hati),
lebih suka makan rerumputan liar di tebing gunung ketimbang ragu atas kehalalan sesuatu yang
mereka usahakan, apalagi meminta-minta kepada orang lain.
Perbuatan meminta-minta dengan memelas, mengiba-iba, dan berharap timbul perasaan kasihan
orang lain, adalah perbuatan yang justru menghinakan diri si pelakunya. Sikap meminta-minta
sering kali malah tidak mengundang simti orang, mereka malah menjauhi dan enggan
membantunya.
Seorang sufi, Bisyr bin Harits, pernah berkata:
Aku bersumpah demi Allah
mengunyah biji buah kurma
atau meminum dari perigi yang asin
itu lebih bagus bagi manusia
ketimbang kerakusannya
dan mengharap pemberian
dari wajah-wajah yang keruh dan kikir
Islam sangat menekankan kemuliaan diri seseorang dan keutamaan bekerja dengan usaha yang
gigih dalam mencari karunia Allah SWT.
Dari Al-Miqdam bin Madikarib RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, Seseorang yang memakan
hasil dari tangan (usaha)nya sendiri itu lebih baik. Sesungguhnya Nabiyallah Daud Alaihis Salam
makan dari usahanya sendiri. (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam permulaan kitab Jual-Beli bab Usaha Seseorang dan
Bekerja dengan Tangan.

Sesungguhnya kenikmatan makan dan hidup yang tiada tara bagi seseorang adalah saat ia memetik
hasil dari usahanya sendiri, yang merupakan nilai dari hasil usaha dan hasil dari kesungguhannya
bekerja. Peluh keringat, rasa letih, dan kepenatan seolah terbayarkan oleh apa yang diperolehnya
itu. Dalam sebuah syair dikatakan, Wa malladzdzah illa badat taab (Tiadalah suatu kenikmatan
kecuali setelah bersusah payah).
Nabi Daud AS adalah teladan dalam hal ini. Beliau, sekalipun mendapatkan kedudukan mulia
sebagai manusia pilihan Allah SWT, seorang nabi yang dianugerahi kerajaan dan kekayaan, ternyata
hidup dalam kesederhanaan. Beliau mencari nafkah dengan kedua belah tangannya, melakukan
pekerjaan yang kasar sebagai penempa besi dan pembuat baju perang, namun itu dinikmatinya
dengan penuh rasa syukur. Nabi Daud AS juga dikenal sebagai orang yang rutin berpuasa secara
selang seling, satu hari berpuasa satu hari berbuka (tidak berpuasa). Kebiasaannya ini disebut
shaum Daud (puasa Daud AS).
Dalam beberapa riwayat lainnya disebutkan, Nabi Zakaria AS juga nabi yang bekerja dan berusaha
dengan kedua tangannya. Beliau berprofesi sebagai tukang kayu untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dalam Syarh Shahih Muslim, karya Ibn Allan Ad-Dimasyqi, disebutkan, profesi tukang
kayu tidak menjatuhkan harga diri seseorang, bahkan merupakan profesi yang mulia, sebagaimana
kemuliaan profesi ini bagi Nabi Zakaria AS.
Hendaklah setiap muslim mengambil ibrah dari semua itu. Tak perlu risi, bahkan patut berbangga,
karena itu semua amal nan mulia di sisi Allah SWT dan manusia. Umat Muhammad bukanlah umat
yang hanya bisa menengadahkan tangan di hadapan Allah dan makhluk-Nya tanpa berikhtiar.
Sayyidina Umar bin Khaththab RA berkata:
Janganlah kalian duduk-duduk saja (bertopang dagu) dalam mencari rizqi, lantas berdoa Ya
Allah, berikanlah aku rizqi, karena kalian tahu, sesungguhnya langit tidak menurunkan hujan
berupa emas maupun perak.

Oleh Cita Diedit Admin Pasukan Lebaran


Pernahkah iri melihat teman yang memiliki gadget terbaru? Membeli tas yang mahal? Atau sekadar
baju yang sedang tren? Rasa iri memang wajar karena sebagai manusia kita memiliki nafsu yang
tidak pernah puas. Namun sebagai manusia kita juga diberikan akal untuk mengendalikan nafsu
tersebut.
Bila menuruti keinginan nafsu, ingin rasanya kita membeli apapun yang kita mau. Makan yang
mewah setiap hari, baju yang up-date setiap minggu, gadget canggih setiap bulan, mungkin sepatu
yang mahal setiap saat. Namun pemborosan seperti itu sangat tidak disukai Islam dan merupakan
sifat
syaitan.
Seperti
firman
Allah
SWT
:
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat
ingkar
kepada
Tuhannya.
(QS.
Al-Israa'
Ayat
:
27)
Teladan

Rasulullah

Dikisahkan dalam hadist Imam Bukhari dan Imam Muslim pada suatu saat Rasulullah berkata
kepada
Aisyah
ra
kepada
keponakannya
Urwah.
Telah berlalu atas kami bulan baru, bulan baru, bulan baru (3 bulan) sementara tidak pernah
menyala api di dapur rumah Nabi dan keluarganya, maka ditanyakan oleh Urwah: Wahai bibinda
maka dengan apa kalian makan? Dijawab : Dengan air dan kurma. (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam

hadist

lain

juga

disebutkan

Umar

ra:

Saya masuk ke dalam rumah Nabi saw, sedang ia bertelekan pada sebuah tikar kasar sehingga
berbekas pada tubuhnya, maka aku melihat pada perabotannya hanya kulihat segenggam tepung
sebanyak
1
sha.
(HR
Bukhari
dan
Muslim).
Dari hadist tersebut jelas bahwa Rasulullah yang kita junjung menganut hidup sederhana, padahal
beliau mampu melakukan hal lebih dari itu. Lalu apakah kita diajarkan untuk hidup miskin dan
tidak
bekerja
keras?
Tentu saja tidak, Islam mengajarkan kita untuk hidup sederhana, bukan miskin, bukan kikir, bukan
pula berfoya-foya menghambur-hamburkan rezeki. Hal ini tersirat dalam firman Allah SWT :
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak
(pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS.AlFurqon:67)
Belajar

hidup

sederhana

Belajar hidup sederhana memang tidak mudah, apalagi bila kita dapat dengan mudah membeli
semuanya, entah difasilitasi orang tua atau membeli sendiri. Namun dengan latihan dan selalu
memahami pentingnya hidup sederhana, bukan tidak mungkin bila hidup sederhana dapat kita
terapkan untuk diri sendiri bahkan kelak keturunan kita. Bagaimana memulai langkah hidup
sederhana?
1.

Melihat

ke

bawah

Untuk urusan ibadah, kita wajib melihat ke atas agar terpacu untuk beribadah lebih baik. Namun
untuk urusan harta, hendaklah kita lebih banyak melihat ke bawah agar dapat mensyukuri dengan
apa
yang
telah
kita
peroleh.
Bila kita hanya dapat makan dengan sayur dan tempe, jangan bersedih karena masih banyak yang
tidak
dapat
makan setiap hari. Asal memenuhi syarat gizi dan diperoleh dengan baik, maka hal tersebut sudah
cukup.
2.

Bersyukur

Apapun keadaan yang kita terima, hendaklah selalu berusaha bersyukur. Memang bukan hal yang
mudah, apalagi bila kita merasa kekurangan. Namun bersyukurlah agar merasa cukup, bukan
merasa cukup dulu baru bersyukur. Karena pada hakikatnya manusia tidak akan pernah merasa
cukup.
Ada
kebahagiaan
dari
setiap
rasa
syukur.
3.

Bedakan

kebutuhan

dan

keinginan

Seringkali kita membeli barang hanya karena ingin atau ikut-ikutan. Teman membeli handphone
terbaru,
kita
langsung
ikut
membeli
padahal
tidak
membutuhkannya.
Coba belajar melihat dengan seksama sebelum membeli, apakah barang yang kita gunakan sekarang
sudah tidak layak pakai sehingga harus membeli yang baru? Bila memang dirasakan betul-betul
butuh,
silakan
membeli
yang baru, namun bila masih layak, lebih baik gunakan saja yang ada.
4.

Ingat

akhirat

Setiap rezeki yang kita peroleh, suatu saat di akhirat nanti akan dimintai pertanggungjawabannya
telah dibelanjakan ke mana. Dengan mengingat hal tersebut, maka kita akan lebih hati-hati dalam

membelanjakan uang saku atau gaji kita. Tidak malu sama Allah SWT bila kita boros?
5.

Sedekah

Banyak atau sedikit rezeki yang kita peroleh, jangan lupa untuk sedekah. Selain untuk
membersihkan harta, sedekah juga akan membantu kita untuk lebih peka terhadap sesama sehingga
mengurangi sifat boros.

4
Pentingnya Kemandirian & Menjaga Diri dari Meminta-minta
07 Feb

4 Votes

Kemandirian merupakan masalah yang amat urgent, terutama bagi seorang laki-laki baligh dan
terlebih lagi bagi seorang ustadz. Karena ustadz merupakan seorang public figur, uswatun hasanah,
yang membimbing umat untuk mengenal dan mengamalkan ajaran Nabi shallallahu alaihi
wasallam. Demikian juga karena ustadz atau ulama [sesuai kadar ilmunya masing-masing]
merupakan pewaris para nabi, sedangkan para nabi sendiri merupakan orang-orang yang menjaga
harga diri & martabatnya, mengajarkan kemandirian, tidak bergantung dan menjauhi dari memintaminta kepada orang lain.
Untuk memenuhi kebutuhannya, seorang muslim wajib berusaha dengan mencari nafkah yang
halal. Dengan nafkah itu, ia dapat menghidupi dirinya dan keluarganya. Dengan nafkah itu, ia juga
dapat memberikan manfaat kepada orang lain. Seorang muslim tidak boleh menggantungkan
hidupnya kepada orang lain. Karena hidup dengan bergantung kepada orang lain merupakan
kehinaan. Dan hidup dari usaha orang lain adalah tercela. Malaikat Jibril datang kepada Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam kemudian berkata: Ketahuilah, bahwa kemuliaan orang mukmin
shalat nya di waktu malam dan kehormatannya adalah dengan tidak mengharapkan sesuatu kepada
orang. [Hadits hasan. Lihat Shahih Jamiush Shagir, no. 73 dan 3710]
Allah dan RasulNya menganjurkan umat Islam untuk berusaha dan bekerja. Apapun jenis pekerjaan
itu selama halal, maka tidaklah tercela. Para nabi dan rasul juga bekerja dan berusaha untuk
menghidupi diri dan keluarganya. Demikian ini merupakan kemuliaan, karena makan dari hasil
jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat, sedangkan makan dari hasil jerih payah orang lain
merupakan kehidupan yang hina. Karena itu, Islam menganjurkan kita untuk berusaha, dan tidak
boleh mengharap kepada manusia. Pengharapan hanya wajib ditujukan kepada Allah saja. Allah-lah
yang memberikan rezeki kepada seluruh makhluk. Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin,

Insya Allah, rezeki itu akan Allah berikan sebagaimana burung, yang pagi hari keluar dari
sarangnya dalam keadaan lapar, kemudian pada sore hari pulang dalam keadaan kenyang. Terlebih
manusia, yang telah mendapatkan dari Allah berupa akal, hati, panca indra, keahlian dan lainnya
serta berbagai kemudahan, maka pasti Allah akan memberikan rezeki kepadanya.
1-

:
:

, .
Dari Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: Kalau kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka
niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia
pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan
kenyang. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]
.
Di bawah ini, penulis bawakan beberapa ayat dan hadits-hadits yang menganjurkan seorang muslim
makan dari hasil usaha sendiri dan menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain.
Allah berfirman:


Maka apabila shalat telah selesai dikerjakan, bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan
carilah rezeki karunia Allah. [Al Jumuah : 10]

Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan. [Al Mulk : 15]
Tentang ayat ini, dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: Kemudian, Dia menyebutkan nikmat
yang telah Dia anugerahkan kepada makhlukNya dengan menyediakan bumi bagi mereka dan
membentangkannya untuk mereka. Dia membuatnya sebagai tempat menetap yang tenang, tidak
miring dan tidak juga bergoyang, karena Dia telah menciptakan gunung-gunung padanya. Dan Dia
alirkan air di dalamnya dari mata air. Dia bentangkan jalan-jalan, serta menyediakan pula di
dalamnya berbagai manfaat, tempat bercocok tanam dan buah-buahan. Dia berfirman:

(Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya).
Maksudnya, lakukanlah perjalanan ke mana saja yang kalian kehendaki dari seluruh belahannya,
serta bertebaranlah kalian ke segala penjurunya untuk menjalankan berbagai macam usaha dan
perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tidak akan bermanfaat bagi kalian sama sekali,
kecuali jika Allah memudahkan untuk kalian. Oleh karena itu, Dia berfirman

(Makanlah sebagian dari rezekiNya). Dengan demikian, usaha yang merupakan sarana, sama sekali
tidak bertentangan dengan tawakal.

(Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan). Maksudnya ialah, tempat
kembali pada hari Kiamat kelak. [Tafsir Ibnu Katsir, IV/420, Cet. Darus Salam].
2-




: :


.
Dari Abi Abdillah (Zubair) bin Awwam Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari
kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya,

adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.
[HR Bukhari, no. 1471].
Penjelasan
:
1). Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan umatnya supaya berusaha memenuhi
hajat hidupnya dengan jalan apapun menurut kemampuan, asal jalan yang ditempuh itu halal.
2). Berusaha dengan bekerja kasar, seperti mengambil kayu bakar di hutan itu lebih terhormat
daripada
meminta-minta
dan
menggantungkan
diri
kepada
orang
lain.
3). Begitulah didikan dan arahan Rasul Shallallahu alaihi wa sallam untuk menjadikan umatnya
sebagai insan-insan terhormat dan terpandang, dan bukan umat yang lemah lagi pemalas.
4). Tidak halal meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.
5). Meminta-minta atau mengemis dalam Islam merupakan perbuatan yang hina dan tercela.
6). Usaha dengan jalan yang benar tidak menafikan tawakkal kepada Allah.
7). Seseorang tidak boleh menganggap remeh jenis usaha apapun, meskipun usaha itu dalam
pandangan manusia dinilai hina.
3-

: :
.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: Sesungguhnya, seorang
dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada
meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak. [HR Bukhari, no. 1470; Muslim, no.
1042; Tirmidzi, no. 680 dan Nasa-i, V/96]
4-

:


.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: Adalah Nabi Daud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri. [HR Bukhari,
no. 2073].
Penjelasan
:
1). Nabi Daud Alaihissalam, disamping sebagai nabi dan rasul, dia juga seorang Khalifah. Namun
demikian, sebagaimana diceritakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Beliau, bahwa
apa yang dimakan Nabi Daud adalah dari hasil jerih payahnya sendiri dengan bekerja yang
menghasilkan sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari.
Di antaranya sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur`an, bahwa Allah menjinakkan besi buat Nabi
Daud, sehingga ia bisa membuat bermacam pakaian besi.
{10}

{11}



Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): Hai
gunung-gunung dan burung-burung, bertashbihlah berulang-ulang bersama Daud, dan Kami telah
melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya;
dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. [Saba` :
10-11].
Alah Taala mengabarkan tentang kenikmatan yang diberikanNya kepada hamba dan RasulNya,
Daud -semoga shalawat dan salam untuknya- diberikanNya keutamaan yang nyata, dihimpunkan
kepadanya kenabian dan kerajaan yang kokoh, tentara berjumlah besar dengan peralatan yang
lengkap, serta diberikanNya dan dianugerahkanNya suara yang indah; sehingga jika dia bertashbih,
maka bertashbihlah bersamanya gunung-gunung yang kokoh, berhentilah burung-burung yang
beterbangan untuk mendengarkan dan turut serta bertashbih dengan berbagai ragam bahasa. [Tafsir
Ibnu
Katsir
III/578-579,
Cet.
Darus
Salam]
.
2). Di dalam hadits ini, seorang muslim dianjurkan untuk bekerja dan berusaha.
3). Mencari nafkah tidak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu syari.
4). Mencari nafkah tidak menghalangi seorang dai untuk menyampaikan dakwahnya.

5-

:


.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: Nabi Zakaria Alaihissalam adalah seorang tukang kayu. [HR Muslim, no. 2379; Ahmad
II/296, 405, 485].
6- ,
:





Dari Miqdam bin Madikariba Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa salam, ia
berkata: Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri,
sedang Nabi Daud Alaihissalam juga makan dari hasil usahanya sendiri. [HR Bukhari, no. 2072]
Pelajaran
dari
hadits
:
1). Bekerja atau berusaha jenis apapun asal jalan yang ditempuh halal, adalah baik dan terhormat.
2). Hidup dengan menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela.
3).
Malas
merupakan
sifat
yang
tercela.
4). Makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat.
5). Para nabi dan rasul, mereka semua tidak meminta upah dari manusia, sebagaimana Allah
sebutkan dalam ayat-ayat Al Qur`an.
Allah berfirman:
{88} { 87} { 86}

Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan
bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur`an ini tidak lain hanyalah
peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al
Qur`an setelah beberapa waktu lagi. [QS Shad : 86-88]
Allah Subhanhu wa Taala berfirman: Katakanlah hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik itu
Aku tidak meminta upah kepada kalian (yang kalian berikan) berupa harta benda dunia atas
penyampaian risalah dan nasihat ini.

(Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan). Artinya, aku tidak menghendaki
dan menginginkan kelebihan atas risalah yang disampaikan oleh Allah Taala kepadaku, bahkan aku
tunaikan apa yang diperintahkanNya kepadaku, aku tidak menambah dan mengurangi, aku hanya
mengharap wajah Allah l dan negeri akhirat.
Sufyan Ats Tsauri berkata dari Al Amasy dan Manshur, dari Abudh Dhuha, bahwa Masruq bekata:
Kami mendatangi Abdullah bin Masud z . Lalu dia berkata: Wahai sekalian manusia, barangsiapa
mengetahui sesuatu, maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak mengetahuinya,
maka katakanlah Allahu alam (Allah lebih mengetahui). Karena sesungguhnya termasuk bagian
dari sebuah ilmu, bahwa seseorang mengatakan Allahu alam (Allah lebih mengetahui) apa yang
diketahuinya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala berfirman kepada nabi kalian


(Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan
bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan). [HR Al Bukhari, no. 4809, Tafsir
Ibnu Katsir IV/ 47].
Dari Abu Darda Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
7- .
.
Barangsiapa mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an, niscaya Allah
akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari Kiamat. [Hasan lighairihi,
diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyq (II/427), Al Baihaqi dalam Sunan-nya

(VI/126) dari jalur Utsman bin Said Ad Darimi, dari Abdurrahman bin Yahya bin Ismail bin
Ubaidillah, dari Al Walid bin Muslim, dari Said bin Abdul Aziz, dari Ismail bin Ubaidillah, dari
Ummu
Darda
Radhiyallahu
'anha]
[1]
.
Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mengajarkan Al
Qur`an dan menulis kepada ahli Shuffah. Lalu salah seoarang dari mereka menghadiahkan sebuah
busur kepadaku. Kata hatiku, busur ini bukanlah harta, toh dapat kugunakan untuk berperang fi
sabilillah. Aku akan mendatangi Rasulullah dan menanyakan kepada Beliau. Lalu aku pun menemui
Beliau dan berkata: Wahai Rasulullah, seorang lelaki yang telah kuajari menulis dan membaca Al
Qur`an telah menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Busur itu bukanlah harta berharga dan dapat
kugunakan untuk berperang fi sabilillah. Rasulullah bersabda:
8-

.
Jika engkau suka dikalungkan dengan kalung dari api neraka, maka terimalah! [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Bab Abwabul Ijarah Fi Kasbil Muallim (3416); Ibnu Majah (2157);
Ahmad (V/315 dan 324); Al Hakim (II/41, III/356); Al Baihaqi (VI/125) dan selainnya dari dua
jalur].
Diriwayatkan dari Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seorang qari sedang
membaca Al Qur`an lalu meminta upah. Beliau mengucapkan kalimat istirja
() , kemudian berkata: Rasulullah bersabda:

9- , .
Barangsiapa membaca Al Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya
akan datang beberapa kaum yang membaca Al Qur`an , lalu meminta upahnya kepada manusia.
[Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2917); Ahmad (IV/432-433,436 dan 439); Al
Baghawi dalam Syarhus Sunnah (1183), dari jalur Khaitsamah, dari Al Hasan, dari Imran bin
Hushain Radhiyallahu 'anhu].
Diriwayatkan dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendengar Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
10- , :
,
,

, .
Pelajarilah Al Qur`an, dan mintalah surga kepada Allah sebagai balasannya. Sebelum datang satu
kaum yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya ada tiga
jenis orang yang mempelajari Al Qur`an. Orang yang mempelajarinya untuk membanggabanggakan diri dengannya, orang yang mempelajarinya untuk mencari makan, orang yang
mempelajarinya karena Allah semata. [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (III/38-39); Al
Baghawi (1182); Al Hakim (IV/547) dan selainnya dari dua jalur. Hadits ini hasan, Insya Allah.
Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 258].
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam keluar menemui kami. Saat itu kami sedang membaca Al Qur`an. Di antara kami terdapat
orang-orang Arab dan orang-orang Ajam (non Arab). Beliau Shallallahu alaihi wa sallam berkata :
11-

, .
Bacalah Al Qur`an. Bacaan kalian semuanya bagus. Akan datang nanti beberapa kaum yang
menegakkan Al Qur`an seperti menegakkan anak panah. Mereka hanya mengejar materi dunia
dengannya dan tidak mengharapkan pahala akhirat. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud
(830) dan Ahmad (III/357dan 397) dari jalur Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir. Sanadnya
shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, III/418 no. 783][2]
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Syibl Al Anshari Radhiyallahu anhu, bahwasanya

Muawiyah berkata kepadanya: Jika engkau datang ke kemahku, maka sampaikanlah hadits yang
telah engkau dengar dari Rasulullah! Kemudian ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:
12- ,

, , , .
Bacalah Al Qur`an, janganlah engkau mencari makan darinya, janganlah engkau memperbanyak
harta dengannya, janganlah engkau anggap remeh dan jangan pula terlalu berlebihan [Hadits
shahih, diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar (4322) dan Maanil Atsar (III/18);
Ahmad (III/428 dan 444) dan Thabrani dalam Mujamul Ausath (III/273 no. 2595) dari jalur Yahya
bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu Sallam, dari Abu Rasyid Al Habrani, dari
Abdurrahman bin Syibl Al Anshari. Sanad tersebut shahih dan perawinya tsiqah].
Syaikh
Salim
bin
Id
Al
Hilali
menjelaskan
:
a). Hadits-hadits di atas menunjukkan haramnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an, dan
haram
mencari
makan
darinya.
Akan tetapi jumhur ahli ilmu membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an. Mereka
berdalil dengan hadits pemimpin suku yang tersengat binatang berbisa lalu diruqyah oleh sebagian
sahabat dengan membacakan surat Al Fatihah kepadanya. Kisah ini diriwayatkan dalam shahih
Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu, disebutkan
bahwa Rasulullah bersabda:


.

Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.
b). Mereka menjawab hadits-hadits yang disebutkan di atas sebagai berikut:
Mengambil upah diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri.
Hadits-hadits di atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil.

Larangan
tersebut
telah
dimansukhkan
(dihapus)
hukumnya.
c). Setelah diteliti lebih dalam, maka jelaslah bahwa jawaban-jawaban di atas sama-sekali tidak
memiliki
dasar.
Berikut
ini
rinciannya
:
Klaim, bahwa mengambil upah diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri,
ditolak oleh hadits Ubadah bin Shamit Radhiyallahu anhu. Dalam hadits itu, hal tersebut tidak
disinggung,
namun
Rasulullah
tetap
melarangnya.
Klaim, bahwa hadits-hadits di atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil,
tidaklah mutlak benar. Namun ada yang shahih, hasan dan ada yang dhaif, namun dhaifnya bisa
terangkat ke derajat shahih karena ada riwayat-riwayat yang menguatkannya. Dengan demikian bisa
dijadikan
sebagai
dalil.
Klaim, bahwa hukum di atas telah dimansukh (dihapus), maka hal ini tidak boleh ditetapkan
hanya dengan berdasarkan praduga belaka. Dan alternatif penghapusan hukum tidak boleh diambil,
kecuali bila hadits-hadits tersebut tidak mungkin digabungkan dan memang benar-benar
bertentangan.
Siapapun yang memperhatikan hadits-hadits tersebut, tentu dapat melihat bahwa:

Haram
hukumnya
mengambil
upah
dari
mengajarkan
Al
Qur`an.
Haram hukumnya mencari makan dan memperoleh harta dari Al Qur`an.
Adapun dalil-dalil yang membolehkan hal tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah dari
ruqyah. Jadi jelaslah, bahwa kedua masalah di atas berbeda.
Kesimpulannya, hadits-hadits di atas jelas menunjukkan larangan mengambil upah dari
mengajarkan
Al
Qur`an
dan
memperoleh
harta
darinya.
Wallahu
alam.
[Lihat Mausuah Al Manahiy Asy Syariyyah Fi Shahihis Sunnah An Nabawiyyah, oleh Syaikh
Salim bin Id Al Hilali, hlm..212-216, Cet. I, Dar Ibnu Affan, Th. 1420, Kairo dan Silsilah Ahadits
Ash Shahihah, Juz 1, no. 256-260]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) pernah ditanya : Apakah boleh

seorang yang mengajarkan ilmu syari dan Al Qur`an mengambil upah dari pengajarannya itu?
Beliau menjawab: Segala puji bagi Allah. Mengajarkan ilmu dan Al Qur`an tanpa upah, adalah
seutama-utama amal dan paling dicintai oleh Allah. Hal ini sudah diketahui dari agama Islam dan
bukanlah suatu hal yang tersembunyi bagi orang yang hidup di negara Islam; para sahabat, tabiin,
tabiut tabiin, dan selain mereka dari kalangan ulama yang masyhur yang berkata tentang Al
Qur`an, hadits, dan fiqh. Mereka mengajarkan ilmu ini tanpa upah. Belum ada di antara mereka
yang mengajarkan ilmu dengan upah. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi
tidak mewariskan dinar dan dirham; akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang
mengambilnya, maka dia telah beruntung. Para nabi -shalawatullah alaihim- mereka mengajarkan
ilmu tanpa upah. Sebagaimana perkataan Nuh Alaihissalam, sebagaimana disebtukan dalam firman
Allah surat Asy Syuara ayat 109, yang artinya: Aku tidak meminta dari kalian upah. Sesungguhnya
ganjaranku ada di sisi Rabb semesta alam.
Demikian pula yang dikatakan oleh Nabi Hud, Syuaib, Shalih, Luth[3] dan yang lainnya. Begitu
juga yang dikatakan penutup para rasul,Katakanlah: Aku tidak meminta upah dari kalian atas
dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.[4] Rasulullah juga
berkata,Katakanlah: Aku tidak meminta upah dari kalian atas dakwahku, melainkan
(mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan tuhannya. (QS Al Furqan :
57). Lihat Majmu Fatawa (XXX/204-205).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ketika menafsirkan surat Yasin ayat 20-21:
{21} { 20}
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan bergegas ia berkata:
Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan
mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Beliau berkata, diantara pelajaran yang terkandung dari ayat ini ialah, seorang dai yang mengajak
manusia ke jalan Allah, hendaknya dia menjauhkan diri mengambil harta dari tangan manusia
meskipun mereka memberikan. Karena yang demikian itu akan mengurangi kedudukannya apabila
dia menerima sebab orang yang memberikan itu karena dakwah dan nasehatnya. Karena
sesungguhnya para rasul -alahimus shalatu wassalam- mereka tidak meminta upah dari manusia,
baik dengan perkataannya maupun keadaannya; karena itu kita mengetahui jeleknya sebagian orang
yang mereka menasihati manusia apabila setelah selesai ia berkata Sesungguhnya saya punya
kebutuhan, keluarga, dan yang sepertinya. Sehingga tujuan dari memberi nasihat itu untuk dunia.
Kemudian Syaikh Utsaimin juga menjelaskan, jika mengajar, yang dia (seseorang itu)
membutuhkan waktu, tenaga, fikiran, kelelahan, maka tidak apa-apa dia mengambil upah dengan
dasar hadits Nabi:


.

Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah. )Hadits shahih
riwayat
Bukhari,
5737
dari
sahabat
Ibnu
Abbas).
Menerima atau mengambil upah karena mengajar Al Qur`an atau dawah, merupakan masalah yang
diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama berpendapat boleh menerima upah atau mengambil
upah karena mengajarkan Al Qur`an atau dawah.
Sebagian Ulama yang lain berpendapat tidak boleh. Yang berpendapat seperti ini, yaitu: Imam Az
Zuhri, Abu Hanifah dan Ishaq bin Rahawaih. Yang berpendapat boleh, mereka mengambil dalil
hadits di atas yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas, juga beberapa hadits yang
lain, seperti Nabi menikahkan seorang sahabat dengan hafalan Qurannya, dan ini haditsnya shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Saad.
Pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat ulama ini, yaitu tentang bolehnya mengambil upah
dari mengajarkan Al Qur`an dan berdawah. Tetapi yang perlu diingat, bahwa setiap orang yang
menuntut ilmu, kemudian mengajarkan Al Qur`an ataupun berdawah, maka dia harus

melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari Allah Subhanahu
wa Taala ; tidak boleh mengharapkan sesuatu dari manusia baik berbentuk harta maupun yang
lainnya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
14-



, .
Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah Azza wa
Jalla, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan
mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664;
Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini
dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi].
Abdullah bin Masud Radhiyallahu anh berkata: Jikalau seorang yang berilmu mengamalkan
ilmunya dan mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan kemuliaan di antara orang-orang
sezamannya. Akan tetapi mereka menyampaikan ilmu kepada pecinta dunia untuk mengharapkan
harta mereka, maka mereka menjadi hina. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami
Bayanil Ilmi wa Fadlih. Lihat Shahih Jami Bayanil Ilmi wa Fadlih, no.746, diriwayatkan juga oleh
Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah]
Ibnu Jamaah berkata: Hendaknya seorang yang berilmu membersihkan ilmunya dari
menjadikannya sebagai jalan untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi, baik untuk mencari
kehormatan, harta, ketenaran, atau merasa lebih hebat dari teman-temannya [Tadzkiratus Sami
Wal Mutakallim Fi Adabil Alim Wal Mutaalim, hlm. 48 oleh Ibnu Jamaah Al Kinani, wafat th.
733 H, Muhaqqaq]
Kalau seorang dai tidak mempunyai mata pencaharian yang memadai, dan dia waktunya habis
untuk mengajar dan berdakwah, maka dibolehkan menerima upah. Dan kepada Ulil Amri (penguasa
atau pemerintah), selayaknya memberikan imbalan yang setimpal, karena dia mengajar kaum
muslimin, sebagaimana dijelaskan oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam kitab Al Faqih Wal
Mutafaqqih (II/347), tahqiq Adil bin Yusuf Al Azazi.
Demikianlah sebagian yang dapat saya tulis tentang masalah ini, yang berkaitan dengan mengambil
upah dari mengajarkan Al Quran dan berdawah. Wallahu alam bish shawab.
Kesimpulan
yang
bisa
diambil
dari
masalah
ini
ialah:
1).
Seorang
dai
dianjurkan
untuk
mencari
nafkah
yang
halal.
2). Hidup dengan menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela dan hina.
3). Malas merupakan sifat yang tercela; dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
berlindung
kepada
Allah
dari
sifat
malas.
4). Islam melarang meminta-minta atau mengemis untuk kepentingan pribadi.
5). Makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat.
6). Mencari nafkah tidak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu syari.
7). Mencari nafkah tidak menghalangi seorang dai untuk menyampaikan dakwahnya.
8). Para nabi dan rasul, mereka semua tidak meminta upah dari manusia sebagaimana Allah
sebutkan
dalam
ayat-ayat
Al
Qur`an.
9). Menurut jumhur ulama, menerima upah dari mengajarkan Al Qur`an dan berdawah adalah
diperbolehkan, namun menjadikannya sebagai tujuan untuk mendapatkan maisyah (mata
pencaharian)
adalah
terlarang.
10). Selayaknya bagi Ulil Amri atau orang yang kaya menjamin kebutuhannya sehari-hari, sehingga
dia dapat memaksimalkan waktu dan tenaganya untuk mengajar Al Qur`an dan berdawah.
11). Kalau tidak ada yang menjamin dari Ulil Amri maupun orang yang kaya, maka seorang dai
harus dapat membagi waktunya untuk mencari nafkah dan berdakwah. Tidak boleh dia bergantung
kepada
madu
(muridnya).
12). Seseorang, sekali-kali tidak boleh berharap kepada manusia. Bahkan Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam mengatakan: Hendaknya kalian berputus asa kepada apa yang ada di tangan manusia,
niscaya engkau akan menjadi orang yang kaya. (Lihat Silsilah Ahaadits Ash Shahihah, no. 401,

1914,
hadits
hasan).
13). Mengajar Al Quran dan berdawah adalah amalan yang paling baik dan ganjarannya sangat
besar. Oleh karena itu, keutamaan yang sangat besar ini janganlah dihapuskan dengan tujuan-tujuan
duniawi
yang
fana
dan
remeh.
14). Setiap muslim, apalagi seorang dai, haruslah mengharap hanya kepada Allah saja dan
mengadukan kesulitan kepadaNya, insya Allah diberikan jalan keluar yang terbaik.

Anda mungkin juga menyukai