dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya,
diberi atau ditolak (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika
masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina.
Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang memintaminta.
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sayan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan
keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori
jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik
melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada
diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah (HR Ibnu Majah).
Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai
Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal
tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk
keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, Tangan seperti inilah yang dicintai
Allah dan Rasul-Nya.
Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (taaththufan ala jarihi). Penting
dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang
kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap
tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. Hendaklah kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa
atasnya. (Qs Al-Hadid: 7).
Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum
miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Maun: 1-3). Itu karena tidak dikenal
istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada
manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.
Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya.
Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat
(shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang
bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.
Pekerjaan apakah yang paling baik dan paling mulia? Melalui empat hadits shahih ini, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menerangkannya kepada kita.
Dari Said bin Umair dari pamannya, dia berkata,
: - -
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya, Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau
menjawab, Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua pekerjaan yang baik.
(HR. Baihaqi dan Al Hakim; shahih lighairihi)
Dari Khalih, ia berkata,
Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Beliau
menjawab, perniagaan yang baik dan pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri (HR. Al
Bazzar dan Thabrani dalam Al Mujam Kabir; shahih lighairihi)
Dari Ibnu Umar, ia berkata,
:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya, Pekerjaan apakah yang paling utama?
Beliau menjawab, Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perniagaan yang
baik. (HR. Thabrani dalam Al Mujam Kabir; shahih)
Dari Rafi bin Khadij, ia berkata,
Rasulullah ditanya, Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau
menjawab, Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang baik.
(HR. Ahmad dan Al Bazzar; shahih lighairihi)
Dari keempat hadits tersebut, meskipun kadang Rasulullah ditanya dengan istilah pekerjaan
yang paling baik dan kadang ditanya dengan istilah pekerjaan yang paling utama, ternyata
jawaban beliau hampir sama. Yakni pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan
perniagaan yang baik.
Pekerjaan dengan tangan sendiri maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang tanpa
meminta-minta. Pekerjaan itu bisa berupa profesi sebagai tukang batu, tukang kayu, pandai besi,
maupun pekerjaan lainnya. Dalam hadits yang lain dicontohkan pekerjaan seseorang yang
mencari kayu bakar. Profesi dokter, arsitek, dan sejenisnya di zaman sekarang juga termasuk
dalam hadits ini.
Sedangkan perniagaan yang baik maksudnya adalah perniagaan atau perdagangan yang bersih
dari penipuan dan kecurangan. Baik kecurangan timbangan maupun kecurangan dengan
menyembunyikan cacatnya barang yang dijual.
Jadi, dalam Islam, pekerjaan apapun baik. Pekerjaan apapun bisa menjadi pekerjaan paling baik.
Asalkan halal dan bukan meminta-minta. Baik menjadi karyawan, profesional, pebisnis maupun
pengusaha, semua punya peluang yang sama. Masya Allah indahnya [Muchlisin
BK/bersamadakwah]
*Maraji: Shahih At-Targhib wa At-Tarhib dan Maktabah Syamilah
Pendahuluan
Agama Islam yang berdasarkan al-Quran dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi
kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga
mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan
beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok. Dalam ungkapan lain dikatakan
juga, Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari
pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai
mukmin yang kuat bekerja. Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru
berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak
hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang
tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Quran dan as-Sunnah. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
B. Hakekat Etos Kerja dalam Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan
atas sesuatu.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos
dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dari
kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilainilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah
atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam al-Quran dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat
dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki
jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah
terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud
ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai
kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu
menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad
: 22)
Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal
materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah
keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta
mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu
yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya
sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk mengaktualisasikan
atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat
juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya
dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian
dirinya kepada Allah SWT.
Di dalam kaitan ini, al-Quran banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti
oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan
masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di
akhirat. Al-Quran juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di
dalam al-Quran banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata,
bentuknya :
1) Kita temukan 22 kata amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl:
97, dan al-Mukmin: 40.
2) Kata amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir:
10.
3) Kata waamiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat alAhqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4) Kata Tamalun dan Yamalun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5) Kita temukan sebanyak 330 kali kata amaaluhum, amaalun, amaluka, amaluhu,
amalikum, amalahum, aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102,
Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
6) Terdapat 27 kata yamal, amiluun, amilahu, tamal, amalu seperti dalam surat al-Zalzalah:
7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7) Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti
shanaa, yasnaun, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang
perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Quran juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman,
pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT
berfirman:
barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh (Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat al-Quran yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya firman
Allah SWT kepada Nabi Daud As.
Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu
dalam peperanganmu (al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumuah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (al-Jumuah: 10)
Pengertian kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh
pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang
dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat
tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Inilah pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini, sedangkan
bekerja dalam lingkup pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan menerima upah baik
bekerja harian, maupun bulanan dan sebagainya.
Pembatasan seperti ini didasarkan pada realitas yang ada di negara-negara komunis maupun
kapitalis yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi kelompok buruh dan majikan, kondisi
semacam ini pada akhirnya melahirkan kelas buruh yang seringkali memunculkan konflik antara
kelompok buruh atau pun pergerakan yang menuntut adanya perbaikan situasi kerja, pekerja
termasuk hak mereka.
Konsep klasifikasi kerja yang sedemikian sempit ini sama sekali tidak dalam Islam, konsep kerja
yang diberikan Islam memiliki pengertian namun demikian jika menghendaki penyempitan
pengertian (dengan tidak memasukkan kategori pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan
ibadah dan aktivitas spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada garis tengah, sehingga
mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan (upah), dalam pengertian ini
tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji tetap dari pemerintah, perusahaan swasta, dan
lembaga lainnya.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek muamalah
umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan
para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja
dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari
suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli
seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarriun: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW
dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering
keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.
Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan
porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
C. Etika Kerja dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang
melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti). (HR. al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan
selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya.
Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Quran menyatakan katakata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Penggunaan istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi
menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada kedudukan
terhormat.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya.
Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat
pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda
bahwa sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan. (HR. Bukhari
dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat
juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu.
Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT
agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga
mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian
(al-Baqarah : 264)
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja,
apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara
taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja
berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan
individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan
didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan
siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau
imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT.
Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka
bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak
diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus
mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti
bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu
mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu
tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat,
mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal
perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut
individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja,
berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik
dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, sebaik-baiknya
pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.
(HR Hambali)
2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah
SWT :
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (alBaqarah: 172)
1. Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam
bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
2. Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada
kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan
Allah.
3. Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan
pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya
memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia
juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa
professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan
kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai
kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat produksi
D. Kesimpulan
Ethos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha Allah
SWT.
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah (1) Adanya keterkaitan individu terhadap
Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam
bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan
relasinya. (2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. (3) tidak
memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus
dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai
Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
(5) Professionalisme dalam setiap pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1990, Al-Quran dan Terjemahan, Depag RI.
Anonim, 1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam, Almadani.
Anonim, 1990, Mengangkat Kualitas Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani.
Quraish Shihab, 1998, Wawasan al-Quran, Jakarta : Mizan.
Asnan SyafiI Wagino, Menabur Mutiara Hikmah, Jakarta : Mizan
Pendahuluan:
Tidak ada siapa yang akan mempertikaikan jika ada yang mengatakan bahawa setiap orang
mahu bekerja atau mendapatkan pekerjaan untuk menjamin kehidupannya. Kalau kita
ambil contoh dari golongan belia, baik yang berpelajaran menengath atau tinggi sama ada
mereka yang gagal dan tidak pernah bersekolah langsung, semuanya bercita-cita untuk
mendapat pekerjaan atau boleh bekerja bagi menampung keperluan hidupnya sendiri atau
keluarganya.
Adakah bekerja itu boleh dipandang sebagai suatu kewajipan atau tanggungjawab yang
mempunyai tujuan yang lebih luas? Tetapi apakah yang bekerja itu hanya sekadar untuk
menampung dan menjamin kehidupan di dunia ini. Soalan ini perlulah kita jawab dengan
memahami konsep kerja menurut pandangan Islam.
Pengertian Kerja:
Kerja atau amal menurut Islam dapat diertikan dengan makna yang umum dan makna yang
khusus. Amal dengan makna umum ialah melakukan atau meninggalkan apa jua perbuatan
yang disuruh atau dilarang oleh agama yang meliputi perbuatan baik atau jahat. Perbuatan
baik dinamakan amal soleh dan perbuatan jahat dinamakan maksiat.
Adapun kerja atau amal dengan maknanya yang khusus iaitu melakukan pekerjaan atau
usaha yang menjadi salah satu unsur terpenting dan titik tolak bagi proses kegiatan
ekonomi seluruhnya. Kerja dalam makna yang khusus menurut Islam terbahagi kepada:
1. Kerja yang bercorak jasmani (fizikal)
2. Kerja yang bercorak aqli/fikiran (mental)
Dari keterangan hadis-hadis Rasulullah (s.a.w), terdapat kesimpulan bahawa konsep kerja
menurut Islam adalah meliputi segala bidang ekonomi yang dibolehkan oleh syarak sebagai
balasan kepada upah atau bayaran, sama ada kerja itu bercorak jasmani (flzikal) seperti
kerja buruh, pertanian, pertukangan tangan dan sebagainya atau kerja bercorak aqli
(mental) seperti jawatan pegawai, baik yang berupa perguruan, iktisas atau jawatan
perkeranian dan teknikal dengan kerajaan atau swasta. Antara hadis-hadis tersebut ialah:
"Tidaklah ada makanan seseorang itu yang lebih baik daripada apa yang dimakannya dari
hasil usaha tangannya sendiri". (Riwayat al-Bukhari)
Selain daripada itu para sahabat menggunakan perkataan pekerja (amil) untuk jawatan
orang yang ditugaskan menjadi petugas pemerintahan umpamanva kadi, gabenor dan
sebagainya. Oleh yang demikian segala kerja dan usaha yang dibolehkan oleh syarak baik
yang bersifat kebendaan atau abstrak atau gabungan dan kedua-duanya adalah dianggap
oleh Islam sebaga "kerja". Segala kerja yang bermanfaat Islam dan yang sekecil-kecilnya
seperti menyapu longkang hingga kepada yang sebesar-besarnya seperti menjadi menteri
atau kepala negara adalah merupakan kerja atau amal sekalipun ianya berlainan peringkat
dan kelayakan yang diperlukan untuknya. Berdasarkan konsep ini maka menurut
pandangan Islam, masyarakat seluruhnya dan semua peringkat adalah pekerja.
Oleh yang demikian konsep kerja seperti ini membawa implikasi sosial yang penting,
antaranya:
1. Bahawa asal manusia adalah sama sebagai manusia dan pekerja yang mempunyai
kemuliaan dan kehormatan sekalipun perbezaan itu tidaklah merupakan keistimewaan satu
pihak terhadap yang lain.
2. Para pekerja bukanlah hanya satu kelompok dari masyarakat, bahkan mereka adalah
semua anggota masyarakat. Jadi mengikut konsep Islam bahawa masyarakat itu adalah
tersusun atau terbentuk dari kerjasama antara sesama para pekerja di dalamnya, bukan
terdiri dari kumpulan para pekerja dan para majikan seperti yang difahami menurut sistem
ekonomi komunis atau kapitalis.
Oleh yang demikian Islam mencela kerja meminta-minta atau mengharapkan pertolongan
orang lain kerana ianya boleh merendahkan harga diri atau maruah. Dalam sebuah hadis
Rasulullah (s.a.w) bermaksud:
"Bahawa sesungguhnya seseorang kamu pergi mengambil seutas tali kemudian mengikat
seberkas kayu api lalu menjualnya hingga dengan sebab itu ia dapat memelihara harga
dirinya, adalah lebih baik daripada ia pergi meminta-minta kepada orang sama ada mereka
rnemberinya atau menolaknya."
Islam menuntut umatnya bekerja secara yang disyariatkan atau dibenarkan menurut syarak
bagi menjamin kebaikan bersama dengan mengelakkan dari meminta-minta dan sebaliknya
hendaklah berdikari. Islam sentiasa memandang berat dan menyeru umatnya untuk bekerja
dan berusaha mencari rezeki melalui dua pendekatan berikut:
Islam melarang dan mencegah umatnya meminta-minta dan menganggur. Banyak hadis
Nabi (s.a.w) mengenai larangan berusaha cara meminta. Baginda sering benar
mengarahkan orang yang datang meminta, supaya mereka bekerja umpamanya, suatu
ketika seorang fakir datang meminta-minta kepada baginda lalu baginda bertanya: "Adakah
anda memiliki sesuatu?" "Tidak", kata lelaki itu. Baginda bertanya lagi dengan bersungguhsungguh, lalu lelaki itu menjawab: "Saya ada sehelai hamparan yang separuhnya kami
jadikan alas duduk dan separuhnya lagi kami buat selimut dan ada sebuah mangkuk yang
kami gunakan untuk minum".Maka baginda bersabda kepadanya: "Bawakan kedua-dua
benda itu kepada saya". Lalu dibawanya kedua-dua barang itu, kemudian Nabi tunjukkan
barang itu kepada orang yang berada di sisi baginda kalau ada sesiapa yang hendak
membelinya. Akhirnya baginda dapat menjualnya dengan harga dua dirham dan diberikan
wang tersebut kepada lelaki itu sambil baginda berkata: "Belilah makanan untuk
keluargamu dengan satu dirham manakala satu dirham lagi belikanlah sebilah kapak".
Kemudian Rasulullah (s.a.w) meminta lelaki itu datang lagi, lalu lelaki itupun datang dan
baginda telah membubuhkan hulu kapak itu dan menyuruh lelaki itu pergi mencari kayu api
sambil baginda mengatakan kepada lelaki itu supaya lelaki itu tidak akan berjumpa lagi
dalam masa 15 hari. Lelaki itu pergi dan kembali lagi selepas 15 hari sambil membawa
datang 10 dirham, lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, Allah telah memberkati saya pada
kerja yang tuan suruh saya itu." Maka baginda Rasulullah (s.a.w) bersabda: "Itu adalah
lebih baik daripada anda datang pada hari kiamat kelak sedang pada muka anda bertanda
kerana meminta-minta.
Berdasarkan kepada banyak hadis mengenai perkara ini, para ulama membuat kesimpulan
bahawa larangan meminta-minta itu bukanlah sekadar perintah bersifat akhlak sahaja
bahkan orang yang menjadikan kerja meminta-minta itu sebagai "profesion", hendaklah
dikenakan hukuman yang berpatutan.
Kesimpulan:
Berdasarkan kepada keterangan ayat-ayat al-Quran dan hadis Rasulullah (s.a.w) dengan
huraian-huraian seperti yang disebutkan dapatlah dibuat kesimpulan bahawa Islam sangat
mengambil berat terhadap "kerja" dengan menjelaskan konsep kerja itu dan kedudukannya
yang tinggi dalam ajaran Islam. Ringkasnya, kita dapat simpulkan seperti berikut:1. Kerja menurut konsep Islam adalah segala yang dilakukan oleh manusia yang
meliputi kerja untuk dunia dan kerja untuk akhirat.
2. Kerja untuk kehidupan dunia sama ada yang bercorak aqli/mental (white collar job)
atau bercorak jasmani (blue collar job) adalah dipandang sama penting dan mulia di
sisi Islam asal sahaja dibolehkan oleh syarak.
3. Islam mewajibkan kerja ke atas seluruh umatnya tanpa mengira darjat, keturunan
atau warna kulit, kerana seluruh umat manusia adalah sama di sisi Allah, melainkan
kerana taqwanya.