Assalaamu'alaikum. w.w.
... semua paragpraf yang di atas bisa diterima secara umum ...
Traktat bukik Marapalam bisa jadi simbol, tapi tidak bisa dipakai, buktinya
sampai hari ini
orang Minang dengan peruntungan yang tidak jelas. Tidak jelas didunia,
apalagi di akhirat.
Kenapa ?, karena ketika turun dari bukik marapalam kedua puak merasa
menang. Kaum agama merasa menang karena kaum adat mau adat basandi
sarak, artinya adat berdasarkan agama, yang tidak sesuai dengan agama
akan dibuang. Tapi mereka tidak tahu kalau kaum adat juga merasa
menang, kenapa ?. Karena ketika kesepakatan itu diambil, bagi mereka adat
basandi sarak (agama), artinya sarak hanya sebagai sandi. Sandi yang
dimaksud sama seperti sandi rumah yang berupa limas terpancung itu. Apa
gunanya ?, bila rumah oleng atau goyang, maka dipasak dengan sandi. Jadi
gunanya hanya sebagai pengganjal kalau oleng atau tidak sama rata. Selagi
adat tidak oleng, maka belum diperlukan sarak. Oleh sebab itu hukum harta
pusaka tinggi tidak pernah mengemuka meskipun bertentangan dengan
hukum Sarak dan menjadi momok sampai hari ini. Akan tetapi secara politis
keluar, adat basandi sarak.
Analogi ini tidak benar karena tidak semua zat kimia bisa bersenyawa.
Sarak sepeti Inert Gas yang tidak dapat bersenyawa dengan zat manapun,
karena ia lebih tinggi dari emas ataupun Intan. Ia mempunyai jumlah
elektron yang cukup, sehingga senyawa apapun yang dibentuk secara paksa
akan dengan mudah terurai. Sementara Adat adalah logam dengan urutan di
bawah Hidrogen dalam deret volta, sehingga tidak dapat aktif untuk
bersenyawa dengan yang lain, karena kadang-kadang ia berupa bukan
logam. Pemerintah di satu sisi adalah logam, meskipun kadang-kadang aktif,
tapi tidak selamanya dapat memaksa unsur non logam untuk bersenyawa
meskipun ia mempunyai elektron terluar yang aktif (nyo punyo tentara),
apalagi dengan Inert gas. Oleh sebab itu tidak akan dapat dibuat senyawa
sepeti KMnO4 yang terdiri dari tiga unsur. Kalau ini dipaksakan terus
menerus, al-hasil yang akan keluar adalah zat yang akan meracuni
kehidupan orang Minang, kalau tidak boleh dianalogikan sebagai unsur radio
aktif yang akan meluruhkan dan menghancurkan orang Minang.
> Budaya Adat lahir dari kandungan budaya asli setempat tetapi tidak
animistik sarwa-roh >dan bahkan sifatnya adalah rasional-logis (dengan
adagium: “Alam takambang jadikan >guru”).
>Budaya Agama untuk seluruh dunia Melayu jelas rujukannya adalah pada
Islam (syarak); >sementara budaya luar yang masuk melalui proses
pencerahan terhadap sains dan >teknologi dalam era moderen ini terutama
dari Barat dan yang sekarang telah bercorak >global, juga diterima secara
terbuka, karena budaya adat dan agama pun juga >menghargai dan
menjunjung tinggi budaya sains dan teknologi yang sifatnya rasional dan
>universal itu.
Syukur kalau baitu, nyatanya urusan harta pusaka tinggi sampai hari ini
tidak selesai-selesai. islam tidak ditempatkan di atas. malah dibawah karena
hukumitu tidak terganggu sampi hari ini.
>Hubungan fungsional yang hirarkis antara I (Islam) dan A (Adat) khususnya
telah >terungkapkan dalam berbagai adagium, seperti: “Syarak mengata,
Adat memakai;” >“Syarak berbuhul mati, Adat berbuhul sintak;” “Syarak
bertelanjang, Adat bersesamping,” >dsb.
hal ini hanya slogan, karena Adat berbuhul mati pada harta pusaka tinggi,
dan urusan pendidikan anak kepada mamak. Urang sumando bak abu di
ateh tunggua, indak batangguang jawab terhadap pendidikan anak. Perangai
anak bagaimana perangai mamak,
kalau dapat mamak yang baik dan beragama, boleh jadi anak akan baik,
itupun belum tentu, tapi kalau dapat mamak yang tidak berbudi, perangai
anak lebih-lebih lagi. Sementara Urang Sumando tabang ambua dalam
urusan ko.
>Sintesis antara adat dan syarak yang sifatnya hirarkis-vertikal ini
terlambangkan dalam >adagium ABS-SBK itu, di mana jika konflik terjadi
antara adat dan syarak maka yang >dimenangkan adalah syarak.
>Dan puncak dari segala acuan hubungan antara adat dan syarak ini adalah
Kitabullah, >yaitu Al Qurānul Karīm, wahyu Allah. Proses saneering
(pembersihan) terhadap adat ini >telah berjalan sejak dari zaman Paderi
sampai hari ini, yang klimaksnya terjadi pada >masa reformasi/
pembaharuan di pertengahan pertama abad ke 20 yang lalu di
>Minangkabau.
Tidak benar seperti yang dibahas di atas.
>Dalam tarikan nafas yang sama, hal yang sama juga berlaku terhadap
budaya luar, >khususnya budaya Barat atau modernisme, di mana juga
berlaku adagium yang sama: >yang baik dipakai, yang buruk dibuang. ABS-
SBK, tegasnya, menjauhkan diri dari sikap a >priori, jangankan xenofobi.
ABS-SBK pada dasarnya adalah sebuah filosofi budaya yang >sifatnya
universal, logis dan terbuka.
Tidak tercapai karena kita lupa ada Syetan yang menjadi musuh utama.
Budaya barat adalah tipuan yang akan menghantarkan ummat manusia
kepada kehancuran. (Bukan sains teknologi karena sains teknologi adalah
milik Islam).
ABS SBK yang dulu, belum tuntas dan tidak jelas. Menetapkannya harus
berhati-hati
dan dipikirkan masak-masak, bukan hanya dengan mensenyawakan atau
mencampur adukkan ketiga unsur, akan tetapi mesti ada sesuatu yang
dipegang kuat sekali mengatasi yang lain. Pilihan yang salah akan
menyebabkan kita semua celaka.
>Berangkat dari dasar filosofi ABS-SBK itu, maka konklusi logisnya tidak
bisa lain kecuali >adalah, apapun unsur budaya yang masuk dan yang telah
ada dalam wadah masyarakat >M (Minang cum Melayu) tidak boleh
bertentangan, dan harus serasi, dengan unsur >budaya I (Islam), terutama
yang menyangkut dengan aqidah dan syari’ahnya. Di sisi lain, >Islam atau
syarakpun memberi peluang untuk tumbuh dan berkembangnya adat (‘urf)
>sejauh tidak bertentangan dengan syarak. Malah dikatakan: Al ‘ādatu
muhakkamah (Adat >itu sifatnya menghakimi).
> Ini sekaligus jadi aba-aba dan rambu-rambu bagi masyarakat, pemerintah
dan siapapun, >yang berada di wilayah yurisdiksi budaya M yang sintetik itu
bahwa secara sosio-kultural >ada nilai budaya trilogi yang tersimpul dalam
ABS-SBK itu yang harus diindahkan di >samping norma-norma baru yang
masuk sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa >Minangkabau atau
Sumatera Barat adalah juga bahagian yang integral dari kesatuan >wilayah
Republik Indonesia.
> Kemungkinan konflik dengan undang-undang formal dari pemerintah dan
negara, >sesungguhnya tidak harus, dan tidak perlu, bahkan tidak boleh,
terjadi, karena Negara >sendiri telah memberi jaminan akan berlakunya
nilai-nilai sosial-budaya dan agama yang >hidup dalam masyarakat
bersangkutan.
Ini bukan lagi persenyawaan, tapi campur aduk yang meracuni. Kalau sudah
ditambah dengan unsur pemerintah, maka akan makin bagalisanm pinsam
urusan ko.
>Negara sendiri, per definisi, adalah negara yang berketuhanan YME, baik
yang >dinyatakan secara gamblang sekali dalam Sila Pertama Pancasila,
baik dalam >Pembukaan UUD 1945, maupun secara eksplisit dibunyikan
dalam Pasal 29, bahwa >Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apalagi NKRI bukanlah negara sekuler, >tetapi negara beragama. Dan
negara menjamin akan pelaksanaan ajaran agama dan nilai->nilai sosial-
budaya yang hidup dalam diri dan masyarakat.
Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimaksud bukan saja Allah, tapi juga Tuhan
lain yang Tiga dalam Satu (Trinity) atau Trimurti (Satu dalam Tiga). Negara
Indonesia bukan negara Islam, karena pengakuan seperti itu. Kalau negara
Islam, Islam yang mengatur negara, tapi di Indonesia, Negara yang
mengatur Islam dan di marjinalkan dalam satu departemen Agama.
> Prinsip I: Bahwa ABS-SBK berlaku utuh dan penuh bagi warga masyarakat
yang >beragama Islam dan yang berkebudayaan Melayu/Minang. Terhadap
warga yang tidak >beragama Islam, agama dan kepercayaannya dilindungi.
Ini sangat didukung bila bisa demikian, kalau dari kayu bacupang tigo tu,
Islam yang dipiliah, nan dipanjangkan agak sajangka, nan akan mamutuih
akan manabuak.
Tapi bentuk ABS SBK itu sendiri sampai kini belum jelas.
Sekarang, dari kayu bacupang tigo tu, nan ma nan dipiliah.
> Prinsip II: Nilai-nilai adat dan sosial-budaya yang terjalin dalam filosofi
dasar ABS-SBK >dilindungi oleh negara dan hukum negara, sehingga
pengimplementasiannyapun juga >dilindungi dan dijamin oleh negara dan
hukum negara. Dengan demikian, di samping >hukum negara yang berlaku
sepenuhnya di wilayah hukum Sumatera Barat, praktek >pelaksanaan dan
pemberlakuan nilai-nilai ABS-SBK juga berlaku sepenuhnya dan >dilindungi
oleh negara, dan bertingkat sejak dari provinsi, kabupaten/kota dan nagari.
Kalau seandainya begini, tentu saja enak. Hanya saja kita tidak sabagak
Urang Aceh.
> Prinsip III: Prinsip-prinsip ABS-SBK berlaku pada semua aspek kehidupan
sosial, >ekonomi, pendidikan, pariwisata, kebudayaan, olah-raga, dsb.
Pemerintah Daerah >berkewajiban untuk melindungi, memelihara dan
melaksanakan prinsip-prinsip ABS-SBK >itu melalui proses perundang-
undangan, dan jalur-jalur sistemik dan struktural-fungsional >lainnya. Nilai-
nilai ABS-SBK sejauh mungkin dimasukkan ke dalam sistem perundang-
>undangan sehingga tidak perlu ada dualisme, apalagi dikotomi, antara
keduanya. ABS->SBK adalah bagaikan garam dari airlautnya kehidupan.
Saya tidak tahu kalau pemerintah mau meluluskannya dalam undang-
undang. Yang jelas, lingkaran NKRI dengan UUD 45 dan Pancasilanya sulit
untuk ditembus.
Kalau sudah jelas ndak apa-apa. dan Prinsip selanjutnya sama, hanya
teknisnya saja.
Memperjelas nan kamanjadi ABS SBK ko dulu yang jadi perhatian. Kalau
indak, berbuihpun mulut bicara, hasilnya tidak ada.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya. Saya Mohon maaf pada Pak
Mochtar kalau ada kata yang tidak pada tempatnya, kalau baik dan benar
datangnya dari Allah swt, kalau tidak, datangnya dari diri saya sendiri yang
da'if.
NB: Baa kaba Amelia kini pak, lah lamo ndak basuo sajak bapisah di ITB.
Wassalam
Assalamualaikum w.w. Sanak Sutan Sinaro dan pak Mochtar Naim dan para
sanak sa palanta,
Jelas sekali bahwa ABS SBK masih memerlukan renungan mendasar, bukan
hanya untuk menyelaraskan substansi adat dan syarak yang belum
seluruhnya kompatibel, tetapi juga untuk merapikan aspek
operasionalisasinya dalam kehiduoan sehar-hari.
Kompilasi dan sistematisasi yang telah dilakukan Tim Perumus ABS SBK yang
dibentuk pak Gubernur jelas baru merupakan langkah pertama.
Yang jauh lebih sulit adalah mengintegrasikan keseluruhannya itu menjadi
satu kesatuan wawasan yang utuh. Untuk itu -- saya kira -- diperlukan
kemampuan berfikir filsafati yang bersifat mendasar, kritis, sistematis,
konsisten,dan koheren, yang sayangnya tak seorangpun di antara kita yang
selain mempunyai cukup waktu juga cukup terlatih untuk itu. termasuk saya
sendiri.
Jadi bagaimana selanjutnya kajian masalah ABS SBK ini?
Kelihatannya wacana mengenai ABS SBK ini akan bergulir terus menerus,
berulang-ulang, berputar, naik turun sejak dari tataran yang amat abstrak
sampai pada tataran kasus-kasus konkrit yang amat khusus, sampai puluhan
tahun ke masa depan, sampai datang seorang tokoh filosof Minangkabau
yang bersedia mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyelesaikan benang
kusut pemikiran ini.
Sementara itu di daerah-daerah lain, seperti di Gorontalo, pelaksanaan ABS
SBK tenang-tenang saja.
Kalau begitu, layak kita bertanya: adakah sesuatu yang salah dengan cara
berfikir kita orang Minang ini ?
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com
Assalamu'alaikum. w.w.
Wassalam
St. Sinaro
Wassalam,
Buya HMA
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com
Insya Allah, Buyo. Usaho tantu taruih. Baa hasilnyo kito pulangkan ka Allah
swt juo.
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com
Assalamu'alaikum. w.w.
Wassalam
St. Sinaro
Assalamu'alaikum. w.w.
Pak Saaf na ambo hormati jo Buya nan disayangi nan kaduonyo Insya Allah
dimuliakan dek Allah swt.
Kalau namuah, sabananyo bana, Indak pulo barek-barek ko doh ..(iko kecek
ambo),
Kalau awak namuah bapikia terstruktur. dan namuah mamakai manajemen
agak saketek,
di tambah jo aturan administrasi, Indak pulo sulik ko doh.
Baa caronyo ?.
Caronyo,... ma kompilasi adaik nan ado (dari hasil kompilasi dari Prof. M
Nasroen, Idrus hakimi datuak rajo Pangulu bahkan tulisan pak Mochtar)
....bantangkan.
Kito turuikkan kecek buya ... bantangkan Qur-an hadits, jo sagalo hukum
fiqih.
wassalam
St. Sinaro
Saya sudah baca komentar Anda. Terima kasih. Ada satu hal yang secara
akademik agaknya harus kita dudukkan. Yaitu kita harus membedakan
secara epistemologis-mendasar antara ajaran, yang berarti filosofi dan
ideologinya, di satu pihak, dengan praktek pengamalannya, di pihak lain.
Jangan sampai dicampur-aduk dan dikacaukan. Ketika kita menganalisis
tentang ajaran, yaitu filosofi dan ideologinya itu, lihatlah secara jeli dan apa
adanya tentang ajaran itu yang sifatnya murni dan ideal. Yang dikritik adalah
kelemahan dan kekurangannya dari segi ajaran itu sendiri.
Ketika kita mengkritik tentang praktek pengamalannya, kita harus
memasukkan faktor waktu, tempat dan keadaan serta sekian banyak faktor
lainnya yang ikut menentukan dan mempengaruhi. Masyarakat Minang,
seperti juga masyarakat manapun di dunia ini, tidaklah 'encapsulated',
artinya hanya dikendalikan oleh faktor ajaran yang mereka miliki saja, tetapi
juga sekian banyak faktor-faktor eksternal yang masuk yang juga ikut
menentukan.
Malah, bisa saja, faktor-faktor luar itu yang justeru lebih menentukan. Dan ini
tercermin dari masyarakat Minang kontemporer sekarang ini, di mana faktor
eksternal, baik nasional maupun global, lebih menentukan, sementara faktor
internal-primordialnya sudah arkaik dan termarjinalkan.
Pertanyaan mendasarnya, lalu, yang dikritik dan dianalisis itu, yang mana.
Ajarannya atau praktek pengamalannya. Saya melihat kecenderungan Anda
suka mencampur-adukkan antara keduanya, yang secara epistemologis
mestinya harus dipisah. Ketika kita bicara tentang ajaran, bicarakan tentang
ajaran itu, yang sifatnya murni dan ideal. Jangan dilihat kelemahannya dari
segi praktek pengamalannya, di mana, seperti saya katakan itu, bisa
dipengaruhi oleh sekian banyak faktor eksternal lain-lainnya,yang
menyebabkan ajaran itu bisa tidak murni dipraktekkan.
Sekian Sutan. Amelia sekarang memilih jalan hidup esoterik, yang sedikit
yang membanyakkan. Kegiatannya lebih di bidang enlightenment dalam
pelatihan-pelatihan yang sifatnya manajerial dengan pendekatan holistik
intelektual, emosional dan spiritual. Emailnya: amelianaim@yahoo.com.
Salam saya, MN
Kalau misalnya yang kita lihat ini sebagai sebuah perguruan tinggi, yang
sering saya baca2 sepertinya sudah "jatahnya" program PhD. Jadi
bagaimana
kalau yang kebutuhan dan kemampuannya baru untuk program Diploma I
aeperti
saya?
Selain "ajaran tingkat tinggi" (menurut saya) yang penuh dengan berbagai
istilah asing itu, mungkin ga orang2 seperti saya yang pemahamannya
terhadap
Minangkabau nyaris Nol ini memperoleh pelajaran praktis, yang betul2 saya
temeui dalam keadaan sehari2? Untuk orang seperti saya (dan mungkin ada
juga
satu dua dunsanak lain yang masih seperti saya), terlalu tinggi kalau bicara
filosofi, idiologi, atau juga sejarah bukik marapalam dst.
Terimakasih
Riri
Bekasi, L 46
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com
Riri, Sanak Sutan Sinaro, pak Mochtar dan para sanak sa palanta,
Dari Riri ko diparalukan masuakan tantang masalah apo nan paralu
dijaniahkan sahinggo baliau-baliau nan baminat pado aspek operasionalisasi
ABS SBK sajo -- atau untuak kalompok ' D3' kato Riri -- lapeh pulo hauihnyo.
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com
Pak Saaf,
Caritonya bantuak iko. Selama ini saya sering mendengar bahwa ada suku2
tertentu yang mengokotak2an masyarakatnya. Dalam level praktis kotak2
tersebut tampak dari – salah satunya – dari cara berkomunikasi, baik tentang
sikap dan gaya komunikasi, bahkan di suku tertentu, bahasa yang digunakan
pun bisa berbeda2 (contohnya Jawa, Sunda, dan Madura). Perbedaan cara
berkomunikasi ini seringkali berpengaruh ke hasil dari komunikasi itu sendiri.
Seringkali karena ssalah satu pihak “sadar bahwa posisinya lebih rendah”
terpakasa (dan kemudian jadi terbiasa) ngomong iya untuk sesuatu yang
sebenarnya menurut dia tidak.
Saya tidak tahu persis, apakah itu salah satu bentuk feodalism atau bukan.
Tetapi yang jelas dari dulu saya selalu dengan sangat bangga men-declare
bahwa “Kami orang Minangkabau tidak seperti itu”. Kami bebas bicara
kepada siapapun, tidak ada pengkotakan. Kami tidak menganut feodalism.
Memang tentu saja ada batasan2 tertentu, misalnya sopan santun dan
penggunaan “kato malereng” dsb, tetapi – yang selalu saya banggakan – itu
tidak akan berpengaruh ke hasil komunikasi.
Tapi yang saya alami sangat berbeda, baik waktu saya bekerja di Padang
dulu, maupun sampai sekarang, di lingkungan sasamo urang awak.
Seringkali dalam suatu komunikasi, yang pertama kali dicari adalah umur
seseorang. Apakah dia lebih muda atau bukan? Tadinya saya pikir ini Cuma
untuk memperlancar komunikasi, tetapi seringkali ternyata tidak. Kalau
diskusi sudah mulai mentok, yang keluar adalah ”umua ambo lah sekian,
ambo lah baliak dari situ mah ...” atau ada yang lebih halus (tapi artinya
dalam): ”Danga lah dek Dinda dulu ...”
Nah, kalau sudah keluar frase ”Danga lah dek Dinda dulu ...”, itu artinya,
diskusi selesai.
Ini tidak sekali dua kali saya alami, sehingga sebenarnya saya ragu, apakah
memang kita tidak feodal?
Tarimokasi
Wassalam
Riri
Bekasi, L 46
Riri,
Sacaro konseptual tatanan adat Minangkabau tabagi duo, yaitu 1) tatanan
Koto Piliang nan elitis dan aristokratis dan mengenal adonyo 'panghulu
pucuak'; dan 2) tatanan Bodi Chaniago, nan resminyo labiah egalitarian. Duo
varian kultural tu tampak dalam bantuak balai adat dan mungkin juo rumah
gadang, nan ciek ado anjuangan, nan ciek lai data sajo. Tantu ado nagari-
nagari nan manggabuangkan kaduo macam varian ko.
Izinkan ambo manjawab pertanyaan Riri jo pertanyaan pulo: lai ado nampak
dek Riri para niniak mamak dan penghulu kito barundiang baiyo bana jo
anak kamanakan dan jo kaum ibu sacaro duduak samo randah tagak samo
tinggi di dalam kaum dan di balai adat sabalun maambiak kaputusan ?
Kalau ado, bara persen nan malakukan hal tu? A nan takanduang dalam
pepatah' 'kamanakan barajo ka mamak; mamak barajo ka penghulu;
penghulu barajo ka mufatakat; mufakat barajo ka kakabanaran; dan
kabanaran tagak sandirinyo. Alah Riri tanyo ka anak mudo jo para bundo
kanduang taradok baa sabananyo wujuik adat Minangkabau tu dalam
kanyataan ? Alah sempat Riri mambaco buku-buku Buya Hamka manganai
adat Minangkabau ko ? Alah Riri baco buku-buku dari pegiat hak padusi di
Minangkabau maso kini taradok posisinyo dalam adat?
Ringkasnyo, walau kito yakin bahaso pepatah 'duduak samo randah tagak
samo tinggi' itu rancak, tapi itu kan balaku di kalangan sasamo penghulu.
Untuak nan lain ado pulo papatahnyo 'sadangkan kayu di rimbo lai batinggi
barandah', 'batanggo naiak, bajanjang turun'. Apo aratinyo tu, ambo
sarahkan ka Riri.
Jadi baa lai? Ambo raso iyo paralu bana dijaniahkan -- dan ditulih sarato
disapakati -- apo sabananyo esensi adat Minangkabau tu dan baa
malaksanakannyo dalam hiduik kito sahari-hari, dalam bahaso lugas, tantu
dalam karangko ABS SBK. [Iko wacana gadang lain nan alah mulai
diparatikan dan ditangani dek Sanak Sutan Sinaro.]
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com