Anda di halaman 1dari 24

Kerisauan tentang ABSSBK

Assalaamu'alaikum. w.w.

Saya tidak mengatakan menyesatkan, tapi mungkin salah memberi arah.


Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya ka Pak Mochtar, mari kita bahas
hal-hal yang
bapak tulis.
Bagian yang benar secara umum saya potong, yang mengganjal
dikomentari.

--- On Tue, 4/21/09, Mochtar Naim <mochtarnaim@yahoo.com> wrote:

... semua paragpraf yang di atas bisa diterima secara umum ...

>walau traktat atau kesepakatan Bukit Marapalam secara antropologi-


budaya tetap bisa
>dipakai sebagai sebuah simbol momentum penyatuan budaya yang
sifatnya sintetik,
>khususnya untuk masyarakat dan budaya Minang.

Traktat bukik Marapalam bisa jadi simbol, tapi tidak bisa dipakai, buktinya
sampai hari ini
orang Minang dengan peruntungan yang tidak jelas. Tidak jelas didunia,
apalagi di akhirat.
Kenapa ?, karena ketika turun dari bukik marapalam kedua puak merasa
menang. Kaum agama merasa menang karena kaum adat mau adat basandi
sarak, artinya adat berdasarkan agama, yang tidak sesuai dengan agama
akan dibuang. Tapi mereka tidak tahu kalau kaum adat juga merasa
menang, kenapa ?. Karena ketika kesepakatan itu diambil, bagi mereka adat
basandi sarak (agama), artinya sarak hanya sebagai sandi. Sandi yang
dimaksud sama seperti sandi rumah yang berupa limas terpancung itu. Apa
gunanya ?, bila rumah oleng atau goyang, maka dipasak dengan sandi. Jadi
gunanya hanya sebagai pengganjal kalau oleng atau tidak sama rata. Selagi
adat tidak oleng, maka belum diperlukan sarak. Oleh sebab itu hukum harta
pusaka tinggi tidak pernah mengemuka meskipun bertentangan dengan
hukum Sarak dan menjadi momok sampai hari ini. Akan tetapi secara politis
keluar, adat basandi sarak.

>Filosofi ABS-SBK ini pada dasarnya adalah, kendati pada mulanya


bersumber dari tiga >lubuk budaya yang berbeda, tetapi ketika bertemu lalu
berakulturasi dalam sebuah >persenyawaan yang baru.

Analogi ini tidak benar karena tidak semua zat kimia bisa bersenyawa.
Sarak sepeti Inert Gas yang tidak dapat bersenyawa dengan zat manapun,
karena ia lebih tinggi dari emas ataupun Intan. Ia mempunyai jumlah
elektron yang cukup, sehingga senyawa apapun yang dibentuk secara paksa
akan dengan mudah terurai. Sementara Adat adalah logam dengan urutan di
bawah Hidrogen dalam deret volta, sehingga tidak dapat aktif untuk
bersenyawa dengan yang lain, karena kadang-kadang ia berupa bukan
logam. Pemerintah di satu sisi adalah logam, meskipun kadang-kadang aktif,
tapi tidak selamanya dapat memaksa unsur non logam untuk bersenyawa
meskipun ia mempunyai elektron terluar yang aktif (nyo punyo tentara),
apalagi dengan Inert gas. Oleh sebab itu tidak akan dapat dibuat senyawa
sepeti KMnO4 yang terdiri dari tiga unsur. Kalau ini dipaksakan terus
menerus, al-hasil yang akan keluar adalah zat yang akan meracuni
kehidupan orang Minang, kalau tidak boleh dianalogikan sebagai unsur radio
aktif yang akan meluruhkan dan menghancurkan orang Minang.

> Budaya Adat lahir dari kandungan budaya asli setempat tetapi tidak
animistik sarwa-roh >dan bahkan sifatnya adalah rasional-logis (dengan
adagium: “Alam takambang jadikan >guru”).

Itu kata Prof. M. Nasroen dalam Falsafah adat alam Minangkabau,


tapi budaya syirik masih mengemuka, dengan penyalahan arti mengunjungi
kuburan Syekh Burhanuddin, basapa dan segala macamnya. Meminta
kepada kubur adalah syirik, bertawasul hanya boleh kepada orang yang
hidup, kepada orang mati tidak boleh karena syirik. Kepada yang mati hanya
boleh bersalawat, itupun kepada Nabi, kepada Sahabat, Tabi', Tabi'in, Tabi'
tabi'in, dan tabi'ihim ila yaumiddiiin.
Lalu coba larang, pemakaian kemenyan di kampung-kampung, pasti orang
marah. membakar kemenyan memanggil roh adalah budaya Hindu, tidak
sama dengan harum-haruman yang dianjurkan Nabi.

>Budaya Agama untuk seluruh dunia Melayu jelas rujukannya adalah pada
Islam (syarak); >sementara budaya luar yang masuk melalui proses
pencerahan terhadap sains dan >teknologi dalam era moderen ini terutama
dari Barat dan yang sekarang telah bercorak >global, juga diterima secara
terbuka, karena budaya adat dan agama pun juga >menghargai dan
menjunjung tinggi budaya sains dan teknologi yang sifatnya rasional dan
>universal itu.

Inipun salah kaprah, karena teknologi pada dasarnya dikembangkan oleh


Islam. Baca catatan Prof. Satar K, dan Bernard Shaw, dan Encylopedia
Amreicana, ataupun Encyclopedia Britanica, yang kesemuanya mengakui
bahwa sumber Ilmu pengetahuan modern adalah dari Pemerintahan Islam.
Modernisasi yang dikhawatirkan bukan itu, akan tetapi adalah perang
budaya, akhlak dan sopan santun yang pada akhirnya menhancurkan
aqidah. Dan selama ini, sudah merasuk dan menukar jati diri orang Minang,
dan mereka berhasil dengan motonya "Artis dan anggur lebih baik untuk
menghancurkan ummat Muhammad daripada seribu meriam".

>Ketiga unsur trilogi budaya M (Melayu, Minang) ini menempatkan I (Islam)


secara hirarkis->vertikal berada di atas kedua yang lainnya yang sekaligus
berfungsi sebagai penyaring->penentu terhadap kedua yang lainnya itu.
Melalui proses penapisan dan penyaringan ini >maka Adat pun terbagi dua,
“adat islamiyah” –adat yang serasi dengan Islam-- dan “adat >jahiliyah –
adat yang tidak serasi dengan Islam.” Adat yang serasi dipakai, adat yang
tidak serasi dibuang.

Syukur kalau baitu, nyatanya urusan harta pusaka tinggi sampai hari ini
tidak selesai-selesai. islam tidak ditempatkan di atas. malah dibawah karena
hukumitu tidak terganggu sampi hari ini.
>Hubungan fungsional yang hirarkis antara I (Islam) dan A (Adat) khususnya
telah >terungkapkan dalam berbagai adagium, seperti: “Syarak mengata,
Adat memakai;” >“Syarak berbuhul mati, Adat berbuhul sintak;” “Syarak
bertelanjang, Adat bersesamping,” >dsb.

hal ini hanya slogan, karena Adat berbuhul mati pada harta pusaka tinggi,
dan urusan pendidikan anak kepada mamak. Urang sumando bak abu di
ateh tunggua, indak batangguang jawab terhadap pendidikan anak. Perangai
anak bagaimana perangai mamak,
kalau dapat mamak yang baik dan beragama, boleh jadi anak akan baik,
itupun belum tentu, tapi kalau dapat mamak yang tidak berbudi, perangai
anak lebih-lebih lagi. Sementara Urang Sumando tabang ambua dalam
urusan ko.
>Sintesis antara adat dan syarak yang sifatnya hirarkis-vertikal ini
terlambangkan dalam >adagium ABS-SBK itu, di mana jika konflik terjadi
antara adat dan syarak maka yang >dimenangkan adalah syarak.
>Dan puncak dari segala acuan hubungan antara adat dan syarak ini adalah
Kitabullah, >yaitu Al Qurānul Karīm, wahyu Allah. Proses saneering
(pembersihan) terhadap adat ini >telah berjalan sejak dari zaman Paderi
sampai hari ini, yang klimaksnya terjadi pada >masa reformasi/
pembaharuan di pertengahan pertama abad ke 20 yang lalu di
>Minangkabau.
Tidak benar seperti yang dibahas di atas.

>Dalam tarikan nafas yang sama, hal yang sama juga berlaku terhadap
budaya luar, >khususnya budaya Barat atau modernisme, di mana juga
berlaku adagium yang sama: >yang baik dipakai, yang buruk dibuang. ABS-
SBK, tegasnya, menjauhkan diri dari sikap a >priori, jangankan xenofobi.
ABS-SBK pada dasarnya adalah sebuah filosofi budaya yang >sifatnya
universal, logis dan terbuka.

Tidak tercapai karena kita lupa ada Syetan yang menjadi musuh utama.
Budaya barat adalah tipuan yang akan menghantarkan ummat manusia
kepada kehancuran. (Bukan sains teknologi karena sains teknologi adalah
milik Islam).
ABS SBK yang dulu, belum tuntas dan tidak jelas. Menetapkannya harus
berhati-hati
dan dipikirkan masak-masak, bukan hanya dengan mensenyawakan atau
mencampur adukkan ketiga unsur, akan tetapi mesti ada sesuatu yang
dipegang kuat sekali mengatasi yang lain. Pilihan yang salah akan
menyebabkan kita semua celaka.

>Berangkat dari dasar filosofi ABS-SBK itu, maka konklusi logisnya tidak
bisa lain kecuali >adalah, apapun unsur budaya yang masuk dan yang telah
ada dalam wadah masyarakat >M (Minang cum Melayu) tidak boleh
bertentangan, dan harus serasi, dengan unsur >budaya I (Islam), terutama
yang menyangkut dengan aqidah dan syari’ahnya. Di sisi lain, >Islam atau
syarakpun memberi peluang untuk tumbuh dan berkembangnya adat (‘urf)
>sejauh tidak bertentangan dengan syarak. Malah dikatakan: Al ‘ādatu
muhakkamah (Adat >itu sifatnya menghakimi).

Dua konsekwensi logis yang saling bertentangan di konklusinya. Kalau


dipercaya Sebagai penjaga, harus serasi dan tidak boleh bertentangan,
hakimiyahnya ada pada Islam, bukan sebaliknya. Kalau adat menghakimi,
maka rusaklah tatanannya.
Dan kalau kita percaya, dua kalimah syahadah itu adalah Uluhiyah,
rububiyah dan hakimiyah. Mengapa digeser menjadi adat yang
menghakimi ?.

> Ini sekaligus jadi aba-aba dan rambu-rambu bagi masyarakat, pemerintah
dan siapapun, >yang berada di wilayah yurisdiksi budaya M yang sintetik itu
bahwa secara sosio-kultural >ada nilai budaya trilogi yang tersimpul dalam
ABS-SBK itu yang harus diindahkan di >samping norma-norma baru yang
masuk sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa >Minangkabau atau
Sumatera Barat adalah juga bahagian yang integral dari kesatuan >wilayah
Republik Indonesia.
> Kemungkinan konflik dengan undang-undang formal dari pemerintah dan
negara, >sesungguhnya tidak harus, dan tidak perlu, bahkan tidak boleh,
terjadi, karena Negara >sendiri telah memberi jaminan akan berlakunya
nilai-nilai sosial-budaya dan agama yang >hidup dalam masyarakat
bersangkutan.

Ini bukan lagi persenyawaan, tapi campur aduk yang meracuni. Kalau sudah
ditambah dengan unsur pemerintah, maka akan makin bagalisanm pinsam
urusan ko.

>Negara sendiri, per definisi, adalah negara yang berketuhanan YME, baik
yang >dinyatakan secara gamblang sekali dalam Sila Pertama Pancasila,
baik dalam >Pembukaan UUD 1945, maupun secara eksplisit dibunyikan
dalam Pasal 29, bahwa >Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apalagi NKRI bukanlah negara sekuler, >tetapi negara beragama. Dan
negara menjamin akan pelaksanaan ajaran agama dan nilai->nilai sosial-
budaya yang hidup dalam diri dan masyarakat.

Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimaksud bukan saja Allah, tapi juga Tuhan
lain yang Tiga dalam Satu (Trinity) atau Trimurti (Satu dalam Tiga). Negara
Indonesia bukan negara Islam, karena pengakuan seperti itu. Kalau negara
Islam, Islam yang mengatur negara, tapi di Indonesia, Negara yang
mengatur Islam dan di marjinalkan dalam satu departemen Agama.

> Implikasi dan sekaligus implementasinya dalam masyarakat Sumatera


Barat adalah, >ABS-SBK berlaku untuk masyarakat Minangkabau, dan
dilindungi oleh Negara, >sementara yang bukan orang Minangkabau dan
beragama lain, hak asasinya sebagai >warganegara dan warga daerah
dihormati, dan secara bernegara diperlakukan sama >dengan yang lain-
lainnya. Apalagi ajaran Islam sendiri tegas-tegas mengatakan bahwa >tidak
ada paksaan dalam memeluk agama (Lā ikrāha fid dīn).

Bukan di sini memasang La ikraaha fid diin itu.


Bila Islam yang mengatur negara, baru dipakai Laa ikraaha fid diin. Tolong
bapak baca lagi Sirah nabawiyah sampai kepada zaman keemasan.

> Prinsip I: Bahwa ABS-SBK berlaku utuh dan penuh bagi warga masyarakat
yang >beragama Islam dan yang berkebudayaan Melayu/Minang. Terhadap
warga yang tidak >beragama Islam, agama dan kepercayaannya dilindungi.

Ini sangat didukung bila bisa demikian, kalau dari kayu bacupang tigo tu,
Islam yang dipiliah, nan dipanjangkan agak sajangka, nan akan mamutuih
akan manabuak.
Tapi bentuk ABS SBK itu sendiri sampai kini belum jelas.
Sekarang, dari kayu bacupang tigo tu, nan ma nan dipiliah.

> Prinsip II: Nilai-nilai adat dan sosial-budaya yang terjalin dalam filosofi
dasar ABS-SBK >dilindungi oleh negara dan hukum negara, sehingga
pengimplementasiannyapun juga >dilindungi dan dijamin oleh negara dan
hukum negara. Dengan demikian, di samping >hukum negara yang berlaku
sepenuhnya di wilayah hukum Sumatera Barat, praktek >pelaksanaan dan
pemberlakuan nilai-nilai ABS-SBK juga berlaku sepenuhnya dan >dilindungi
oleh negara, dan bertingkat sejak dari provinsi, kabupaten/kota dan nagari.

Kalau seandainya begini, tentu saja enak. Hanya saja kita tidak sabagak
Urang Aceh.

> Prinsip III: Prinsip-prinsip ABS-SBK berlaku pada semua aspek kehidupan
sosial, >ekonomi, pendidikan, pariwisata, kebudayaan, olah-raga, dsb.
Pemerintah Daerah >berkewajiban untuk melindungi, memelihara dan
melaksanakan prinsip-prinsip ABS-SBK >itu melalui proses perundang-
undangan, dan jalur-jalur sistemik dan struktural-fungsional >lainnya. Nilai-
nilai ABS-SBK sejauh mungkin dimasukkan ke dalam sistem perundang-
>undangan sehingga tidak perlu ada dualisme, apalagi dikotomi, antara
keduanya. ABS->SBK adalah bagaikan garam dari airlautnya kehidupan.
Saya tidak tahu kalau pemerintah mau meluluskannya dalam undang-
undang. Yang jelas, lingkaran NKRI dengan UUD 45 dan Pancasilanya sulit
untuk ditembus.

> Prinsip IV: Karena ABS-SBK, sebagaimana dengan nilai-nilai budaya


lainnya adalah >juga berproses menurut waktu, tempat dan keadaan, upaya
penyempurnaan dalam >perumusan dan pengimplemen-tasiannya harus
juga terus-menerus dilakukan, dan >dibudayakan serta disosialisasikan
dalam kehidupan nyata dalam diri dan masyarakat, >yang berjenjang dari
kehidupan bernagari, berkabupaten/kota dan berprovinsi.

Kalau sudah jelas ndak apa-apa. dan Prinsip selanjutnya sama, hanya
teknisnya saja.
Memperjelas nan kamanjadi ABS SBK ko dulu yang jadi perhatian. Kalau
indak, berbuihpun mulut bicara, hasilnya tidak ada.

Eh... lah habis ...

Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya. Saya Mohon maaf pada Pak
Mochtar kalau ada kata yang tidak pada tempatnya, kalau baik dan benar
datangnya dari Allah swt, kalau tidak, datangnya dari diri saya sendiri yang
da'if.
NB: Baa kaba Amelia kini pak, lah lamo ndak basuo sajak bapisah di ITB.

Wassalam

Dr. Ir. Khairi Yusuf St. Sinaro


Enginerring Design and Manufactuer Laboratory
Andalas University, Kampus Limau Manih
Padang, April 2009

Assalamualaikum w.w. Sanak Sutan Sinaro dan pak Mochtar Naim dan para
sanak sa palanta,
Jelas sekali bahwa ABS SBK masih memerlukan renungan mendasar, bukan
hanya untuk menyelaraskan substansi adat dan syarak yang belum
seluruhnya kompatibel, tetapi juga untuk merapikan aspek
operasionalisasinya dalam kehiduoan sehar-hari.
Kompilasi dan sistematisasi yang telah dilakukan Tim Perumus ABS SBK yang
dibentuk pak Gubernur jelas baru merupakan langkah pertama.
Yang jauh lebih sulit adalah mengintegrasikan keseluruhannya itu menjadi
satu kesatuan wawasan yang utuh. Untuk itu -- saya kira -- diperlukan
kemampuan berfikir filsafati yang bersifat mendasar, kritis, sistematis,
konsisten,dan koheren, yang sayangnya tak seorangpun di antara kita yang
selain mempunyai cukup waktu juga cukup terlatih untuk itu. termasuk saya
sendiri.
Jadi bagaimana selanjutnya kajian masalah ABS SBK ini?
Kelihatannya wacana mengenai ABS SBK ini akan bergulir terus menerus,
berulang-ulang, berputar, naik turun sejak dari tataran yang amat abstrak
sampai pada tataran kasus-kasus konkrit yang amat khusus, sampai puluhan
tahun ke masa depan, sampai datang seorang tokoh filosof Minangkabau
yang bersedia mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyelesaikan benang
kusut pemikiran ini.
Sementara itu di daerah-daerah lain, seperti di Gorontalo, pelaksanaan ABS
SBK tenang-tenang saja.
Kalau begitu, layak kita bertanya: adakah sesuatu yang salah dengan cara
berfikir kita orang Minang ini ?

Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com

Assalamu'alaikum. w.w.

Pak Saaf yang ambo hormati.


Bukan mamacah timbo di rumah,
bukan pulo mancari uduah.
Ambo cuma maajak bapikia logika, dan maranuang jo iman,
kudian maraso jo raso nan awak punyo jo hati.
Ambopun kini sadang bagalinsam pinsam jo kakeh nan kok lai ka lai
tasalamaik-an juo urang nan di kampuang. Cuma dalam hal iko, rancaklah
kito inok ranuangi bana. Bak kecek ambo tadi ka pak Saaf,
"lambek lago lai ka manang". Indak baa do pak Saaf,
tolong se kecekkan ka Pak Gubernur, basaba lah Pak kok lai
ka manjadi. Sungguah di Minang ko Sumber daya manusia nyo banyak.
Basaba lah Pak.
Nabi pun maanjurkan untuak indak buru-buru walaupun perjuangan tu
di restui Allah.
"Urusan ini akan dilanjutkan sampai ada seorang yang berjalan dari San'a
(Yaman)
ke Hadramaut (Palestin), tidak ada yang dtakutinya meskipun binatang buas
kecuali Allah, namun engkau hendak buru-buru". Baitu kecek Nabi.
Ambo yakin, urusan ko akan salasai, salagi awak namuah, Allah akan
manunjuakkan jalan.
Pak Saaf sebagai caretaker, nan paralu kini ko baa mambuek sumangaik
urang ko
jan pudua dulu.
Nan ambo sayangkan, hanyo di milist ko sajo urang bisa serius, di tampek
lain indak.
Dan indak ado koran yang amuah mengayomi satiok tulisan. (Ambo kanai
tulak di Padang
Ekspress, cuma dek lah patah hati, lupo mamasuakkan kan Singgalang, kini
tulisan tu
lah hilang, indak basuo file nyo ambo cari lai).
Kok dapek pak Saaf koordinir, tulisan sia sajo nan maagiah pencerahan
buliah dimuek
kok di Singgalang atau Haluan atau dima.
Basaba pak Saaf, kalau lai awak picayo Sumber daya alam mungkin kurang
di Minang,
tapi Sumber daya manusia sangaik banyak.
Ka Tuhan Allah kito mamintak, niek baiak managakkan nan bana pasti di
balakangnyo Allah swt. Jan ragu lo pak Saaf lai.

Wassalam

St. Sinaro

Assalamu'alaykum warahmatullahi wa barakatuh,


Pak Saaf Yth,
Alah lamo lo kito indak basuo,
Menarik bahasan ini,
dan Buya ingat kembali kepada perbincangan hangat kita
di masa membahas pandangan-pandangan di antaranya dari Pak Mochtar
ini.
Kita setuju dalam berapa hal,
walau ada perbedaan dalam berapa ungkapan,.
Masih ingatkan Pak Saaf,
ketika Buya sampaikan
"jangan dibiarkan syarak (Islam) merujuk ke adat (kebiasaan) di
Minangkabau."
Tetapi tuntunlah adat ini merujuk kepada syariat (agama Islam) dengan
mengartikan secara pasti bahwa Kitabullah itu adalah Alquran".
Kita mesti giring kembali kepada ketentuan yang sudah disebut oleh adat itu
sendiri,
yaitu syarak mangato, adaik mamakai.
Kata-kata ini luas cakupannya, perlu penerjemahan, perlu kompilasi,
walau masih banyak yang tidak setuju mengarah kesitu.
Bila ABSSBK akan dipakai,
konsekwensinya melaksanakan tuntunan agama (ISLAM),
tidak lain dari itu.
Namun, banyak menerjemahkan ke arah politik,
sehingga harus mengganti Sumbar menjadi sama dengan Aceh.
Pak Saaf, ingat bagaimana keberanian Rejang Lebong
dengan menerapkan ABSSBK,
tanpa harus mengatakan Kabupaten Rejang Lebong ini bersyariat Islam,
tapi mereka konsekwen melaksanakan ajaran Islam di dalam adatnya.
Demikian juga ketiga tujuh Prof, mendatangi Sumbar meneliti PPIM,
mengkaji ABSSBK, dan mereka teguh...
di tahun 2001 filosofi pemerintahan mereka di Gorontalo mereka ganti,
adagium Gorontalo Adat bersendi adat (leluhur) selama ini,
menjadi adat bersendi Syariat dan Syariat bersendi Kitabullah.
Yang terbaik kita lakukan sekarang ini adalah
"tekanan" terhadap masyarakat Minangkabau di Sumbar
dan juga kepada penentu kebijakan (legislatif dan eksekutif)
bahwa komitmen beradat Minangkabau dengan merujuk kepada Islam ini
wajib diimplementasikan,
artinya anak-anak Islam yang lahir di Minangkabau berilah nama Islam,
kecil sangat kerja ini tapi besar maknanya, bukan ???
Bahwa nikah kawin harus dilakukan menurut syariat Islam,
sehingga tidak ada lagi orang yang nikah sembunyi sembunyi,
atau menjatuhkan thalak sampai serumpun betung,
sehingga anak keturunan di Minangkabau jelas nasabnya,
usaha ini kecil juga, tetapi besar pula maknanya.
Agar tidak ada lagi orang yang menjual harta anak kemenakannya,
untuk kepentingan diri sendiri,
karena tindakan itu dzalim menurut ajaran Islam,
dan inilah yang diminta untuk diterapkan dalam ABS SBK itu.

Mohon maaf diperbanyak Pak Saaf...

Wassalam,
Buya HMA

Waalaikumsalam w.w. Buya Mas'oed dan saluruah sanak sa palanta,


Ambo aminkan sagalo petuah Buya tu.
Lain dari itu, ambo ulang-ulang kearifan nan Buya sampaikan ka ambo
wakatu kito basuo di TMII, bahaso kito urang Minang 'basuku ka Ibu,
banasab ka Bapak,basako ka mamak', bahkan masuak ka 'signature' dalam
e-mail ambo. Dalam hubuangan itulah pulo ambo kambangkan dan ambo
lewakan konsep 'Ranji ABS SBK'.
Tantang kainginan Buya supayo kito batua-batua malaksanakan ABS SBK
sacaro labiah 'Istiqomah' ,"konsisten' dan 'koheren', nampaknyo iyo masih
akan makan waktu, karano [sabagian] kito alah lamo tabiaso untuak hiduik
indak konsisten, indak koheren, indak istiqomah, dan herannyo itu pulo nan
salamo ko kito namokan 'khas Minang'.
Basaba malah kito Buya, dan kita pulangkan sajo sagalonyo ka bakeh Allah
s.w.t.

Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com

Wa alaykum salaam wa rahmatullahi wa barakatuh,


Insyaallah pak Saaf,
tapi sambie tatap ba usaho,
Moga Allah memberkati kito dan masyarakat kito sado no.
Amin
Wassalam
Buya HMA
(l.74,Majo Kayo, Piliang, Kotogadang, kini di Padang)

Insya Allah, Buyo. Usaho tantu taruih. Baa hasilnyo kito pulangkan ka Allah
swt juo.

Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com

Waalaikumsalam w.w. Sanak Sutan Sinaro,


Sanang hati ambo mambaco respons Sanak. Ado sumangaik untuak
malanjuikkan karajo gadang ko.
Memang batua, nampaknyo di milis RN ko sajo masalah ABS SBK ko sabana
dibahas sacaro mendasar, dan herannyo baputa-puta di situ-situ juo.
Ambo satuju jo tekad Sanak 'lambek lago lai ka manang'.
Tipak di ambo surang, kini sabagian gadang wakatu ambo jo kawan-kawan
ambo di Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat (Setnas MHA) tacurah
pado perjuangan mendorong RUU Masyarakat Hukum Adat. Indak ringan
memang, tapi kalau jadi manfaatnyo gadang bana untuak saluruah
masyarakat hukum adat di Indonesia, tamasuak untuk Minangkabau.

Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com
Assalamu'alaikum. w.w.

Pak Saaf yang ambo hormati.


Bukan mamacah timbo di rumah,
bukan pulo mancari uduah.
Ambo cuma maajak bapikia logika, dan maranuang jo iman,
kudian maraso jo raso nan awak punyo jo hati.
Ambopun kini sadang bagalinsam pinsam jo kakeh nan kok lai ka lai
tasalamaik-an juo urang nan di kampuang. Cuma dalam hal iko, rancaklah
kito inok ranuangi bana. Bak kecek ambo tadi ka pak Saaf,
"lambek lago lai ka manang". Indak baa do pak Saaf,
tolong se kecekkan ka Pak Gubernur, basaba lah Pak kok lai
ka manjadi. Sungguah di Minang ko Sumber daya manusia nyo banyak.
Basaba lah Pak.
Nabi pun maanjurkan untuak indak buru-buru walaupun perjuangan tu
di restui Allah.
"Urusan ini akan dilanjutkan sampai ada seorang yang berjalan dari San'a
(Yaman)
ke Hadramaut (Palestin), tidak ada yang dtakutinya meskipun binatang buas
kecuali Allah, namun engkau hendak buru-buru". Baitu kecek Nabi.
Ambo yakin, urusan ko akan salasai, salagi awak namuah, Allah akan
manunjuakkan jalan.
Pak Saaf sebagai caretaker, nan paralu kini ko baa mambuek sumangaik
urang ko
jan pudua dulu.
Nan ambo sayangkan, hanyo di milist ko sajo urang bisa serius, di tampek
lain indak.
Dan indak ado koran yang amuah mengayomi satiok tulisan. (Ambo kanai
tulak di Padang
Ekspress, cuma dek lah patah hati, lupo mamasuakkan kan Singgalang, kini
tulisan tu
lah hilang, indak basuo file nyo ambo cari lai).
Kok dapek pak Saaf koordinir, tulisan sia sajo nan maagiah pencerahan
buliah dimuek
kok di Singgalang atau Haluan atau dima.
Basaba pak Saaf, kalau lai awak picayo Sumber daya alam mungkin kurang
di Minang,
tapi Sumber daya manusia sangaik banyak.
Ka Tuhan Allah kito mamintak, niek baiak managakkan nan bana pasti di
balakangnyo Allah swt. Jan ragu lo pak Saaf lai.

Wassalam

St. Sinaro

Assalamu'alaikum. w.w.

Pak Saaf na ambo hormati jo Buya nan disayangi nan kaduonyo Insya Allah
dimuliakan dek Allah swt.
Kalau namuah, sabananyo bana, Indak pulo barek-barek ko doh ..(iko kecek
ambo),
Kalau awak namuah bapikia terstruktur. dan namuah mamakai manajemen
agak saketek,
di tambah jo aturan administrasi, Indak pulo sulik ko doh.
Baa caronyo ?.
Caronyo,... ma kompilasi adaik nan ado (dari hasil kompilasi dari Prof. M
Nasroen, Idrus hakimi datuak rajo Pangulu bahkan tulisan pak Mochtar)
....bantangkan.
Kito turuikkan kecek buya ... bantangkan Qur-an hadits, jo sagalo hukum
fiqih.

Teliti ciek-ciek ... nan langsuang baradu ... KIV (ditunda)


nan indak ... langsuang jadi point ..
Nan langsuang jadi point ko dicaliak pulo jo pemerintah daerah ...(jan jo
negara, sebab pasti baradu banyak, takah Tanggerang indak jo negara
diadunyo doh)
Nan ma nan baradu ... KIV.
nan indak, aaa... diumumkan sebagai hukum nan alah masak untuak di
Minang.
nan KIV antaro adaik jo agama, tolong di kunyah-kunyah dek kaum adaik jo
agamo,
(memang lamo ko, sabab baliak ka iman di dado). Lah salasai beko ... baru jo
Pemda.
Nan KIV jo Pemda, dikunyah-kunyah pulo dek tim ko jo Pemda ... (lamo juo
ko karano
ado NKRI di balakang) ... salasai ... diumumkan ...
Cubo pak saaf caliak bara Milestone nyo nan harus dikaja tu.
Kalau dapek ciek Milestone sajo, itu lah kemajuan luar biasa pak Saaf.
Namonyo ado harapan.
Aaa.... Baitu ... eh iko bukan maajai pak Saaf nan gadang dari ambo.
Iko caro kami bapikia dalam Riset jo Sains dan Teknologi.
Kalau ado pulo caro nan labih rancak dari iko dari Urang Ekonomi atau maa
sajo,
eh rancak bana ... Ambo raso, Urang Minang kini bak kecek sanak nan tadi
(Alaah lupo
pulo sia tadi di palanta ko), labiah tinggi sumber daya manusianyo pado
dulu.
Urang lah banyak nan basikola dan penjajah indak ado lai.

Singan itu se dulu pak Saaf

wassalam

St. Sinaro

Sanak St Sinaro, Dr Ir Khairi Yusuf,

Saya sudah baca komentar Anda. Terima kasih. Ada satu hal yang secara
akademik agaknya harus kita dudukkan. Yaitu kita harus membedakan
secara epistemologis-mendasar antara ajaran, yang berarti filosofi dan
ideologinya, di satu pihak, dengan praktek pengamalannya, di pihak lain.
Jangan sampai dicampur-aduk dan dikacaukan. Ketika kita menganalisis
tentang ajaran, yaitu filosofi dan ideologinya itu, lihatlah secara jeli dan apa
adanya tentang ajaran itu yang sifatnya murni dan ideal. Yang dikritik adalah
kelemahan dan kekurangannya dari segi ajaran itu sendiri.
Ketika kita mengkritik tentang praktek pengamalannya, kita harus
memasukkan faktor waktu, tempat dan keadaan serta sekian banyak faktor
lainnya yang ikut menentukan dan mempengaruhi. Masyarakat Minang,
seperti juga masyarakat manapun di dunia ini, tidaklah 'encapsulated',
artinya hanya dikendalikan oleh faktor ajaran yang mereka miliki saja, tetapi
juga sekian banyak faktor-faktor eksternal yang masuk yang juga ikut
menentukan.
Malah, bisa saja, faktor-faktor luar itu yang justeru lebih menentukan. Dan ini
tercermin dari masyarakat Minang kontemporer sekarang ini, di mana faktor
eksternal, baik nasional maupun global, lebih menentukan, sementara faktor
internal-primordialnya sudah arkaik dan termarjinalkan.
Pertanyaan mendasarnya, lalu, yang dikritik dan dianalisis itu, yang mana.
Ajarannya atau praktek pengamalannya. Saya melihat kecenderungan Anda
suka mencampur-adukkan antara keduanya, yang secara epistemologis
mestinya harus dipisah. Ketika kita bicara tentang ajaran, bicarakan tentang
ajaran itu, yang sifatnya murni dan ideal. Jangan dilihat kelemahannya dari
segi praktek pengamalannya, di mana, seperti saya katakan itu, bisa
dipengaruhi oleh sekian banyak faktor eksternal lain-lainnya,yang
menyebabkan ajaran itu bisa tidak murni dipraktekkan.
Sekian Sutan. Amelia sekarang memilih jalan hidup esoterik, yang sedikit
yang membanyakkan. Kegiatannya lebih di bidang enlightenment dalam
pelatihan-pelatihan yang sifatnya manajerial dengan pendekatan holistik
intelektual, emosional dan spiritual. Emailnya: amelianaim@yahoo.com.
Salam saya, MN

Pak Mochtar dan Dunsanak Spalanta.

Kalau misalnya yang kita lihat ini sebagai sebuah perguruan tinggi, yang
sering saya baca2 sepertinya sudah "jatahnya" program PhD. Jadi
bagaimana
kalau yang kebutuhan dan kemampuannya baru untuk program Diploma I
aeperti
saya?

Selain "ajaran tingkat tinggi" (menurut saya) yang penuh dengan berbagai
istilah asing itu, mungkin ga orang2 seperti saya yang pemahamannya
terhadap
Minangkabau nyaris Nol ini memperoleh pelajaran praktis, yang betul2 saya
temeui dalam keadaan sehari2? Untuk orang seperti saya (dan mungkin ada
juga
satu dua dunsanak lain yang masih seperti saya), terlalu tinggi kalau bicara
filosofi, idiologi, atau juga sejarah bukik marapalam dst.

Terimakasih

Riri
Bekasi, L 46

Waalaikumsalam w.w. Sanak Sutan Sinaro jo Buya Mas'oed sarato para


sanak sa palanta,
Ambo satuju jo metodologi nan Sanak sarankan. Nan penting kan
tasusunnyo sacaro sistematis saluruah nilai ABS SBK tu menjadi kesatuan
fikiran nan utuh, nan indak ado lai unsur-unsur nan saling bertentangan di
dalamnyo. Supayo kito urang Minang ko jan basifaik ambivalen juo tantang
'jatidiri' urang Minangkabau ko.
Adolah jaleh bahaso untuak mawujudkannyo diparalukan kamampuan
analitik jo sintetik, kasabaran, sarato ketekunan untuak manyalasaikannyo
sampai tuntas..
Bak kecek Sanak Suryadi, salamo ko ABS SBK baru merupakan sekedar
'garih demarkasi' sasudah parang, atau kalau manuruik pancaliakan ambo
baru sekedar 'statement of intent', alun marupokan suatu doktrin nan
langkok lai.
Supayo salasai, ado baiaknyo Sanak Sutan Sinaro mancari kawan nan
'sabaun' untuk mamulai dan manauihkan karajo gadang ko, nan amuah
baabih hari untuk manyalasaikannyo. [Kalau indak 'sabaun' beko badebat
kapanjangan, indak salasai-salasai.]
Ado rancaknya untuak untuak mambao sato nan mudo-mudo jo kaum ibu
untuak membahas, karano salamo ko perspektif mereka ko alun banyak
bana dimasuakkkan.
Sacaro khusus ambo sarankan untuak mamparetongkan persepsi, aspirasi,
dan kepentingan dari fihak-fihak nan [sabananyo] alun nyaman bana jo ABS
SBK ko. Syukurnyo pandangan baliau-baliau ko alah banyak dikamukokan
sacaro taruih tarang dalam RN ko.

Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com

Riri, Sanak Sutan Sinaro, pak Mochtar dan para sanak sa palanta,
Dari Riri ko diparalukan masuakan tantang masalah apo nan paralu
dijaniahkan sahinggo baliau-baliau nan baminat pado aspek operasionalisasi
ABS SBK sajo -- atau untuak kalompok ' D3' kato Riri -- lapeh pulo hauihnyo.
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com

Pak Saaf,

Tarimokasih banyak. Kalau buliah ambo bisa mandapek pelajaran tentang


“ba’a sabananyo sistem komunikasi di antaro urang awak”.

Caritonya bantuak iko. Selama ini saya sering mendengar bahwa ada suku2
tertentu yang mengokotak2an masyarakatnya. Dalam level praktis kotak2
tersebut tampak dari – salah satunya – dari cara berkomunikasi, baik tentang
sikap dan gaya komunikasi, bahkan di suku tertentu, bahasa yang digunakan
pun bisa berbeda2 (contohnya Jawa, Sunda, dan Madura). Perbedaan cara
berkomunikasi ini seringkali berpengaruh ke hasil dari komunikasi itu sendiri.
Seringkali karena ssalah satu pihak “sadar bahwa posisinya lebih rendah”
terpakasa (dan kemudian jadi terbiasa) ngomong iya untuk sesuatu yang
sebenarnya menurut dia tidak.

Saya tidak tahu persis, apakah itu salah satu bentuk feodalism atau bukan.

Tetapi yang jelas dari dulu saya selalu dengan sangat bangga men-declare
bahwa “Kami orang Minangkabau tidak seperti itu”. Kami bebas bicara
kepada siapapun, tidak ada pengkotakan. Kami tidak menganut feodalism.
Memang tentu saja ada batasan2 tertentu, misalnya sopan santun dan
penggunaan “kato malereng” dsb, tetapi – yang selalu saya banggakan – itu
tidak akan berpengaruh ke hasil komunikasi.

Itu yang selalu saya katakan ke orang “luar”

Tapi yang saya alami sangat berbeda, baik waktu saya bekerja di Padang
dulu, maupun sampai sekarang, di lingkungan sasamo urang awak.
Seringkali dalam suatu komunikasi, yang pertama kali dicari adalah umur
seseorang. Apakah dia lebih muda atau bukan? Tadinya saya pikir ini Cuma
untuk memperlancar komunikasi, tetapi seringkali ternyata tidak. Kalau
diskusi sudah mulai mentok, yang keluar adalah ”umua ambo lah sekian,
ambo lah baliak dari situ mah ...” atau ada yang lebih halus (tapi artinya
dalam): ”Danga lah dek Dinda dulu ...”

Penekanan kata ”Dinda” itu memang kedengarannya lembut, tapi dalam.


Kalau menurut saya, itu sudah bentuk ”pemaksaan kehendak ...” Sepertinya,
kalau beliau lebih senior (dalam umur lho), yang dikatakannya harus selalu
dibenarkan ...

Nah, kalau sudah keluar frase ”Danga lah dek Dinda dulu ...”, itu artinya,
diskusi selesai.

Ini tidak sekali dua kali saya alami, sehingga sebenarnya saya ragu, apakah
memang kita tidak feodal?

Tarimokasi

Wassalam

Riri
Bekasi, L 46

Riri,
Sacaro konseptual tatanan adat Minangkabau tabagi duo, yaitu 1) tatanan
Koto Piliang nan elitis dan aristokratis dan mengenal adonyo 'panghulu
pucuak'; dan 2) tatanan Bodi Chaniago, nan resminyo labiah egalitarian. Duo
varian kultural tu tampak dalam bantuak balai adat dan mungkin juo rumah
gadang, nan ciek ado anjuangan, nan ciek lai data sajo. Tantu ado nagari-
nagari nan manggabuangkan kaduo macam varian ko.
Izinkan ambo manjawab pertanyaan Riri jo pertanyaan pulo: lai ado nampak
dek Riri para niniak mamak dan penghulu kito barundiang baiyo bana jo
anak kamanakan dan jo kaum ibu sacaro duduak samo randah tagak samo
tinggi di dalam kaum dan di balai adat sabalun maambiak kaputusan ?
Kalau ado, bara persen nan malakukan hal tu? A nan takanduang dalam
pepatah' 'kamanakan barajo ka mamak; mamak barajo ka penghulu;
penghulu barajo ka mufatakat; mufakat barajo ka kakabanaran; dan
kabanaran tagak sandirinyo. Alah Riri tanyo ka anak mudo jo para bundo
kanduang taradok baa sabananyo wujuik adat Minangkabau tu dalam
kanyataan ? Alah sempat Riri mambaco buku-buku Buya Hamka manganai
adat Minangkabau ko ? Alah Riri baco buku-buku dari pegiat hak padusi di
Minangkabau maso kini taradok posisinyo dalam adat?
Ringkasnyo, walau kito yakin bahaso pepatah 'duduak samo randah tagak
samo tinggi' itu rancak, tapi itu kan balaku di kalangan sasamo penghulu.
Untuak nan lain ado pulo papatahnyo 'sadangkan kayu di rimbo lai batinggi
barandah', 'batanggo naiak, bajanjang turun'. Apo aratinyo tu, ambo
sarahkan ka Riri.
Jadi baa lai? Ambo raso iyo paralu bana dijaniahkan -- dan ditulih sarato
disapakati -- apo sabananyo esensi adat Minangkabau tu dan baa
malaksanakannyo dalam hiduik kito sahari-hari, dalam bahaso lugas, tantu
dalam karangko ABS SBK. [Iko wacana gadang lain nan alah mulai
diparatikan dan ditangani dek Sanak Sutan Sinaro.]

Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com

Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta,


Sesuai dengan postings saya terdahulu untuk meningkatkan peranan serta
posisi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, saya ikut bangga dengan Kapolda Banten ini, seorang
perempuan. Sayangnya bukan perempuan Minang.
Tapi kalau saya tak salah ingat, sekolah polisi wanita pertama di Indonesia
dahulu justru terletak di Bukit Tinggi.

Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang
Dalam, Pariaman.)
"Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak"
Alternate e-mail addresses:
saaf10leo@gmail.com;
saafroedin.bahar@rantaunet.org
saafroedin.bahar@yahoo.com

Rumiah, Keseimbangan sebagai Kepala Polda


Kompas, Kamis, 23 April 2009 | 03:53 WIB
Lewat caranya sendiri, Raden Adjeng Kartini
berusaha mengangkat derajat perempuan
serta menghapus diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki. Setelah 105 tahun
berselang, tidak sedikit perempuan yang
berhasil menduduki jabatan strategis di
lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia.
Satu di antara mereka adalah Rumiah
Kartoredjo. Anita Yossihara
Rumiah Kartoredjo adalah seorang brigadir
jenderal di lingkungan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri). Prinsip
keseimbangan dan kerja keras yang dia yakini
selama ini membawanya ke pucuk pimpinan tertinggi di Kepolisian Daerah
(Polda) Banten. Dia dilantik sebagai Kepala Polda Banten pada Januari 2008.
Ini menjadikan dia sebagai perempuan pertama yang menjadi Kepala Polda
di Indonesia.
Perempuan kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, ini tidak pernah
membayangkan akan menjadi seorang polisi, apalagi bisa menjabat sebagai
pimpinan di jajaran kepolisian. Rumiah muda menggantungkan cita-citanya
untuk menjadi guru. Sebuah cita-cita ”sederhana” dari seorang gadis dari
kota kecil.
Cita-cita itulah yang kemudian membawa Rumiah hijrah ke Surabaya untuk
melanjutkan kuliah di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya
(sekarang Universitas Negeri Surabaya) pada tahun 1975. Kesukaannya
pada olahraga membuat Rumiah memilih belajar di jurusan Pendidikan
Olahraga.
Sebelum menamatkan kuliah, Rumiah memutuskan untuk mengikuti
pendidikan di Sekolah Perwira Militer Sukarelawan (Sepa Milsukwan) ABRI
tahun 1978.
”Waktu itu saya masih tingkat lima, dan kuliah (di IKIP) tetap saya lanjutkan
sampai tamat,” ujar Rumiah.
Lingkungan keluargalah yang membawa Rumiah masuk ke dunia militer.
Kakak Rumiah adalah seorang marinir, sedangkan adiknya seorang perwira
Angkatan Darat. Saat pertama masuk militer, Rumiah mendapat dukungan
penuh dari sang ayah, Kartoredjo. Kebetulan, sang ayah bercita-cita menjadi
polisi, tetapi dia gagal karena dilarang orangtua.
Sekitar tahun 1990 Rumiah melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan
Perwira (Selapa) Polri. Mantan atlet nasional sofbol ini kemudian terus
mengembangkan diri dengan mengikuti pendidikan pada Sekolah Staf
Komando Angkatan Darat (Seskoad) tahun 1995 dan Sekolah Staf Perwira
Tinggi (Sespati) Polri pada 2003.
Kariernya di kepolisian dimulai dari ”bawah”. Sebelum dilantik menjadi
Kepala Polda Banten, Rumiah menduduki sejumlah posisi penting di
kepolisian. Dia antara lain pernah menjadi Komandan Peleton (Danton) Seba
Polisi Wanita (Polwan), Kepala Sekolah Polwan (1999), kemudian Sekretaris
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Seslemdiklat) Polri.
Rumiah meraih sedikitnya lima tanda jasa, yakni Satya Lencana Kesetiaan 8
Tahun, Karya Bakti, Dwidya Sistha, Kesetiaan 16 Tahun, dan Bintang
Bhayangkara Naraya.
Keseimbangan
Selama hidupnya, Rumiah berusaha memegang teguh prinsip keseimbangan
antara tugas dan kewajiban sebagai manusia, sekaligus menjalani kodratnya
sebagai perempuan. Prinsip inilah yang terus dia terapkan dalam menjalani
kewajiban sebagai Kepala Polda Banten.
Sebagai pimpinan tertinggi di Polda Banten, Rumiah harus selalu siap
menjalankan tugas, memberikan pelayanan dan perlindungan terbaik bagi
warga.
Dia tidak segan mengunjungi wilayah tugasnya sampai ke daerah-daerah
pelosok sekalipun jika menerima laporan tentang adanya gangguan
ketertiban masyarakat. Seperti pada saat terjadi ledakan bom ikan di Carita,
Pandeglang, Rumiah turun sendiri mengamati lokasi ledakan.
Bagi anak buahnya, Rumiah merupakan sosok atasan yang tidak terpaku
pada aturan protokoler dan selalu turun ke lapangan. Bahkan sering kali dia
mendatangi pusat-pusat keramaian, seperti pasar swalayan atau pasar
tradisional, untuk memantau situasi secara langsung.
Pada saat harga beras dan bahan pangan naik-turun, dia menyempatkan diri
berkeliling Pasar Induk Rau dengan menggunakan pakaian preman. Rumiah
pun tak segan mengajak bicara pedagang pasar hanya untuk mengetahui
kondisi pasar.
Satu hal lain yang juga penting, ia selalu siap menerima laporan maupun
pengaduan dari anak buahnya melalui telepon seluler selama 24 jam penuh.
Dia tidak canggung turun ke lapangan bersama para anak buahnya. Sebagai
penganut agama Islam, Rumiah berusaha menjalankan kewajibannya.
Sepadat apa pun jadwal kerja, dia menyempatkan diri untuk shalat.. ”Prinsip
ini juga saya terapkan kepada para anggota,” katanya.
Setiap hari Rumiah memberlakukan jadwal shalat dzuhur berjemaah di
masjid Polda bagi anggota Polda Banten yang beragama Islam. Selain itu, dia
juga menjadwalkan pengajian rutin setiap hari Kamis. Demikian juga
kegiatan keagamaan rutin bagi anggota polisi pemeluk agama lain.
Sebagai perempuan dan ibu rumah tangga, dia menyempatkan diri untuk
membuatkan makanan kesukaan anaknya, Yudi Sulistiyanto dan Surya Dwi
Adji Gemilang yang duduk di kelas VI sekolah dasar. Bahkan, dia masih
sempat meluangkan waktu menemani Surya belajar. Putra pertamanya,
Yudi, kini telah menjadi perwira polisi dengan jabatan kepala kepolisian
sektor di wilayah Polda Metro Jaya.
Selain prinsip keseimbangan, Rumiah punya enam kiat dalam melaksanakan
tugasnya di kepolisian. ”Pertama, bersikap simpatik,” kata anak pasangan
Kartoredjo (almarhum) dan Musinah ini. Maksudnya, dengan bersikap
simpatik, polisi bisa menjadi pengayom masyarakat, dan bukan sebaliknya.
Kiat berikutnya adalah usaha, yakni bekerja keras untuk menjalankan
kewajiban, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Selanjutnya adalah kompetensi, yang berarti memanfaatkan kompetensi
atau kemampuan yang dimiliki untuk membantu organisasi (Polri).
”Lalu, semangat, yang intinya mencerminkan kepercayaan dan keberanian
kita bertindak untuk kebenaran,” ujarnya menambahkan.
Dua kiat Rumiah lainnya adalah efektivitas dan kesederhanaan. Menurut dia,
pola hidup sederhana harus diterapkan agar hidup menjadi lebih efisien.
”Hidup itu enggak usah neko-neko, seadanya saja. Kita cukup
memanfaatkan dan memaksimalkan potensi yang ada sehingga semua bisa
dilakukan dengan tepat, cepat, dan murah,” katanya.
Rumiah berpesan kepada para polisi wanita (polwan) untuk memanfaatkan
peluang dan meningkatkan kompetensi agar bisa memberikan prestasi yang
terbaik bagi Polri.
”Pimpinan Polri sudah memberikan peluang yang sama kepada polwan. Oleh
karena itu, kita yang harus bisa memanfaatkan peluang itu sebaik mungkin,”
kata perempuan bernomor registrasi prajurit atau Nrp 52030124 ini.
Bagi Rumiah, prestasi itu harus diwujudkan melalui kerja keras dan tanggung
jawab. Tanpa keduanya, niscaya kemuliaan itu tak akan bisa diraih.

Anda mungkin juga menyukai