Anda di halaman 1dari 24

Tema

PEMBANGUNAN MALUKU UTARA BERBASIS KEBUDAYAAN


Judul
TAFSIR KEBUDAYAAN MOLOKU KIE RAHA
(Kajian Budaya dan Agama)

Oleh:
IBNU FURQAN

KOMISARIAT PERSIAPAN USHULUDDIN IAIN TERNATE


HMI CABANG TERNATE
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum w.w.
Segala puji teruntuk Allah SWT, shalawat serta salam semoga tetap tercurah
bagi junjungan umat ini, Nabiyullah Muhammad SAW. Alhamdulilla, dengan ini
penulis merasa bersyukur, karena telah menyelesaikan makalah sebagai
persyaratan awal kelulusan LK-2 pada HMI Cabang Ternate.
Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan ini banyak sekali kekurangan di
dalamnya, namun hal itu tak mengurangi semangat penulis dalam pengkaderan di
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Untuk itulah penulis mohon arahan serta
bimbingannya dari Abangda dan Ayunda sekalian dlaam proses pengkaderan di
HMI Cabang Ternate. Tak lupa pula, penulis haturkan terimakasih yang sebesar-
besarnya, atas kesediaan dan kerja keras pengurus Cabang serta seluruh pengurus
komisariat se-Cabang Ternate atas pengawalan setiap agenda ke-HMI-an di
Cabang Ternate.
Demikianlah, semoga ini menjadi gerakan awal dan seterusnya dalam
perubahan kami dan setelah kami.
Billahi Taufiq Wal Hidayah

PENULIS

IBNU FURQAN

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................4
A. Latar Belakang..................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................9
C. Batasan Masalah...............................................................................................9
D. Tujuan Penulisan...............................................................................................9
E. Manfaat Penulisan...........................................................................................10
F. Defenisi Operasional.......................................................................................10
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................11
A. Kebudayaan dalam Makna Teoritis dan Praktis.............................................12
B. Pembangunan Maluku Utara lewat Kebudayaan............................................15
C. “Jou se Ngofa Ngare”, Kajian Hubungan Sosial dalam Pembangunan
Manusia...........................................................................................................16
D. Napak Tilas Kebudayaan Maluku Utara dalam Harapan dan Kenyataan.......17
E. Peran HMI dalam Menjawab Tantang Kebudayaan di Maluku Utara...........19
BAB III PENUTUP...................................................................................................22
A. Kesimpulan.....................................................................................................22
B. Saran...............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................24

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya peradaban manusia, bermula ketika menusia mulai mengenal
makna peradaban itu sendiri. Peradaban, baik dalam makna menulis, membaca
maupun makna peradaban yang lebih dalam lagi, tentang seluruh dinamika sosial
peradabannya, kerap kali menjadi arti kebudayaan suatu bangsa lewat kebiasaan
manusia yang menjadi objeknya. Bahkan tidak jarang, peradaban dimaknai
sebagai guru kehidupan, sastera lisan misalnya, menjadi teks kebudayaan suatu
bangsa yang mempunyai media lisan dalam mengajarkan nilai sosial terhadap
masyarakat peradaban tertentu dan masih banyak lagi sumber peradaban yang
dapat dijadikan makna hidup manusia. Oleh karenanya, suatu peradaban akan
dikenal jika memiliki kekhasan tersendiri yang menggambarkan kehidupan sosial
suatu peradaban.
Berkenaan dengan masalah manusia dan penciptaannya, terdapat dua teori
yang secara diametral saling “berseberangan”. Teori pertama diyakini dan di
pegang oleh kaum agamawan. Menurut teori ini manusia serta makhluk yang lain
diciptakan secara spontan tidak disertai dengan proses yang berlaku di dalamnya
(pada umumnya teori ini dipakai oleh kaum Nasrani dan Yahudi dan hal ini
dijelaskan dalam kitab masing-masing di antara mereka). Sedangkan teori kedua
menjelaskan bahwa manusia berdasarkan penciptaannya adalah melalui proses
evolusi yang mengikat dirinya sebagai sistem (Baca:Manusia). Dari kedua bentuk
ini, paling tidak ada sedikit gambaran bagaimana manusia ditinjau dari dua
perspektif yang berbeda mengenai penciptaannya sampai pada proses membentuk
sebuah tatanan masyarakat, yang di dalamnya juga menuntut tentang adanya
budaya serta adat istiadatnya dan berimplikasi pada peradaban.
Pada pemaknaan yang kebih dalam, kita tentu harus memulai dari
pembahasan yang paling mendasar dari sebuah unsur kebudayaan yang nantinya
membentuk sebuah peradaban. Justru kita akan memulai dengan membahas apa
itu masyarakat ?

4
Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia,
yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh-
mempengaruhi satu sama lain1.
Masyarakat adalah sekolompok manusia yang terjalin erat karena sistem
tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum tertentu yang sama, serta mengarah
pada kehidupan kolektif. Harus diingat, kehidupan kolektif tidak serta merta
bermakna sekolompok orang harus hidup berdampingan di suatu daerah tertentu,
memanfaatkan iklim yang sama dan mengonsumsi makanan yang sama2.
Kerbau, rusa dan kambing, yang hidup pada iklim yang sama, suasana yang
sama, dengan mencari makan pada proses yang sama, tapi bukan berarti mereka
hidup bersama ada sebuah polarisasi kehidupan yang itu terbentuk dari
keberagaman. Patut kiranya di catat, bahwa manusia adalah makhluk sosial itulah
kenapa kehidupan manusia berwatak sosial.
Yang menjadikan sekolompok tertentu tetap bersatu adalah adanya pola
pikir dan kebiasaan tertentu yang dominan 3. Dominasi pemikiran dan pola
kebiasaan dapat memicu suatu perasaan bersama antar manusia, dapatlah di ambil
contoh, misalnya, perasaan kebangsaan bersama, kesukuan, ideologi, tradisi dan
lain sebagainya. Kriteria masyarakat dapat dilihat dari bagaimana pola kehidupan
manusia pada suatu dimensi kehidupan, dari ini semua justru menimbulkan
pertanyaan, apakah masyarakat bersifat rill ataukah tidak riil. Kalaupun riil
apakah masyarakat memiliki sebuah bentuk dan hukum tersendiri dan apabila
tidak apakah dapat disebut sebagai sebuah bentuk masyarakat ?
Hal ini coba dijelaskan Murtadha Muthahhari :
Apabila keberadaan eksistensi masyarakat riil, tentu masyarakat mempunyai
hukum dan adatnya, tetapi apabila kita terima teori tentang karakter masyarakat
seperti yang digambarkan (masyarakat tidak riil, tidak memiliki hukum dan adat)
sehingga kita menolak keberadaan aktualnya, maka kita harus mengakui bahwa
masyarakat tidak memiliki hukum atau adat4.

1
Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta,Bina Askara;1983)h.47
2
Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah (Jogjakarta,Rausyan Fikr,Cet 2:2015)h.5
3
Ibid.h.5
4
Ibid.h.20

5
Muslim pertama yang mengkongretkan sebuah sistem hukum dan adat
dalam sebuah mansyarakat yang mengaturnya serta membedakan antara hukum
dan adat, adat individual, personalitas, karakter dan realitas adalah Abdurrahman
bin Khaldun dari Thunis. Ia mengupas secara detail dalam karya termahsyurnya,
Mukaddimah. Sedangkan pakar modern yang pertama kali menjelaskan tentang
ini adalah Montesquieu seorang filsuf asal prancis pada abad ke-18.

Dalam teologi Alqur’an juga menjelaskan, bahwa masyarakat manusia


memiliki hukum dan adat tersendiri yang menentukan hidupnya. Hukum dan adat
itu pula yang dapat menjerumuskan masyarakat pada sebuah kehancuran ataupun
membebaskannya. Perihal bangsa israil, Alqur’an menjelaskan:
“Dan telah kami tetapkan atas bani Israil dalam kitab itu ‘sesungguhnya
kalian akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kalian
akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar,’ maka bila
datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu,
kami datangkan kepada kalian hama-hamba kami yang memiliki kekuatan
yang besar, lalu mereka meraja lela di kampung-kampung dan itulah
ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian kami berikan kepada kalian
giliran untuk mengalahkan mereka kembali. Kami membantu kalian dengan
harta kekayaan, anak-anak dan kami jadikan kamu kelompok yang lebih
besar. Jika kalian berbuat baik bagi diri kalian dan jika kalian berbuat
jahat, maka (kejahatan) itu bagi diri kalian, dan saat datang hukuman bagi
(kejahatan) kedua. (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan
muka-muka kalian, mereka masuk kedalam masjid sebagaimana kalian
memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasahkan sehabis-
habisnya apa saja yang mereka kuasai. Muda-mudahan Tuhan kalian
melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian dman sekiranya kalian kembali
kepada (kedurhakaan), niscaya kami kembali (mengazab kalian) dan kami
jadikan Neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.”
(QS Al-Isra:4-8).

Kata “kalian” pada ayat ini menunjukan pada sebuah komunitas bukan
ditunjukan kepada individu. Sedangkan pada pemaknaannya, ayat ini bersifat
universal sehingga yang dimaksudkan bukan hanya bangsa Israil saja, akan tetapi

6
kepada seluruh komunitas masyarakat. Dengan demikian, begitu kongkret
dijelaskan dalam teologi Alqur’an, bahwa secara langsung sistem yang berupa
hukum serta adat masyarakat telah menjadi bahan alami yang lahir bersamaan
dengan masyarakat itu sendiri.

Hukum serta adat dalam sebuah masyarakat dapat berupa Agama, ekonomi,
politik, etika, estetika dan ini semua terbentuk dalam suatu bentuk kebudayaan
yang nantinya menjadi tolok ukur suatu masyarakat dalam keberlangsungan
kehidupannya.

Determinasi Agama terhadap perilaku kehidupan juga menjadi satu-satunya


faktor perubahan ~ patut di catat baik-baik ~ dan juga faktor determinan terhadap
etika ekonomi. Tentunya, jalan hidup yang ditentukan secara keagamaan itu
sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi dan politik yang beroperasi
dalam ikatan-ikatan geografis, politis, sosial dan nasional5.

Nampaknya Weber ingin memberitahukan, bahwa faktor utama


kesejahteraan secara ekonomi adalah Agama. Agama menjadi faktor paling kuat
untuk membentuk watak manusia dalam kehidupannya. Dalam bukunya The Etic
of Protestan and The Spirit of Capitalism, yang terbit pada dekade awal abad ke-
20, ia mencoba menggambarkan bagaiman Agama dapat mempengaruhi faktor
ekonomi suatu bangsa, komunitas maupun secara individualistiknya. Sampel,
yang diambil adalah ajaran Protestan Calvinis yang mengajarkan kepada
jemaatnya dengan sebuah doktrinal, bahwa “jika ingin sukses serta selamat di
akhirat hal utama yang dilakukan adalah harus pula selamat dan sukses di dunia”.
Ajaran ini telah menjadi basis kehidupan masyarakat Eropa sehingga tak heran
mereka melakukan ekspansi kekuasaan sampai pada faktor ekonomi dalam
menjajah bangsa-bangsa yang dapat digarap sumber daya alamnya. Bagaimana
tidak, ini menjadi spirit kapitalisme bangsa Eropa dalam menjajah bangsa lain
untuk mengeruk keuntungan dunia dalam menempuh keuntungan akhirat di waktu
kemudian.

Terlepas dari itu, paling tidak ini bisa menjadi suatu gambaran tentang
bagaiman pengaruh Agama pada pola hidup suatu masyarakat. Kita seharusnya

5
Max Weber, Teori Dasar Analisis Kebudayaan (Jogjakarta,IRCiSoD,Cet-2:2013)h.9

7
tidak bersusah payah mendiskusikan hal ini jika kita masih mencoba
mendemonstrasikan segala ketergantungan dengan semua singularitas. Di sini,
kita hanya bisa berusaha mengupas elemen-elemen petunjuk dalam perilaku
kehidupan dari strata sosial yang sangat mempengaruhi etika praktis keagamaan
masing-masing. Berbagai elemen, ini menunjukan berbagai ciri yang lebih
berkarakter dalam etika praktis, ciri yang membedakan satu etika dari etika yang
lain; dan, pada saat yang sama, elemen-elemen ini begitu penting bagi etika
ekonomi masing-masing6.

Kaitannya dengan kebudayaan. Budaya dalam pengertian secara umum


adalah tindakan manusia yang melingkupi segala sistem sosial, serta menjadi
indikator terbentuknya suatu masyarakat dengan memiliki nilai yang terus
dipegang hingga turun temurun. Sedangkan secara hakikatnya, manusia hidup
dengan sistim kebudayaan yang telah di atur untuk menjadi sebuah pandangan
hidup dalam proses keberlangsungan secara Sosial Human untuk mencapai
pengakuan secara umum tentang suatu kebudayaan universal dalam masyarakat.
Koetjaraningrat (1974) misalnya, menerangkan, manusia hidup dengan sistem
kebudayaan, sistem kebudayaan sendiri menyangkut 7 hal, yaitu: sistim ilmu dan
pengetahuan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem religi dan kepercayaan,
sistem tekhnologi dan peralatan, sistem bahasa, sistem mata pencaharian dan
sistem kesenian. Inilah kebudayaan secara universal yang secara tidak langsung
ada, serta menjadi identitas suatu kebudayaan masyarakat tertentu.
Maluku Utara, sebagai sebuah daerah dengan pola geografis yang
membentuk kepulauan telah menjadi kajian para ahli sejak berabad-abad silam.
Itulah mengapa Maluku Utara begitu menukik dalam pengkajian perdagangan
antar peradaban. Daerah yang juga dikenal oleh bangsa Arab sebagai Jazirah
Almamluk (Daerah Para Raja) sejak berabad silam ini. Bagaimana tidak, daerah
ini adalah daerah yang mempunyai empat kerajaan dengan empat raja yang
berkuasa pada masing-masing kerajaan tersebut, Ternate, Tidore, Jailolo dan
Bacan serta juga memiliki raja-raja kecil pada daerah kerajaan yang lainnya,
misalnya kerajaan Loloda, Obi dan beberapa kerajaan kecil lainnya namun cukup
disayangkan, kerajaan-kerajaan kecil itu hilang termakan zaman. Disamping

6
Ibid.h.9

8
kerajaan yang disebutkan tadi, Maluku Utara juga memiliki kebudayaan yang
beraneka ragam, tetapi dari sektor ekonomi hasil alamnya pun begitu berlimpah.
Cengkih dan Pala, misalnya, menjadi saksi bisu, atas keelokkan negeri ini, karena
keharumannya yang tercium sampai ke manca negara, telah mampu
mendatangkan bangsa-bangsa asing untuk datang dan memperebutkan hasil
alamnya, sejak abad ke-7 M sampai dengan abad ke-19 M dan berakhir ketika
terjadi revolusi industri dalam sejarah Eropa, bahkan tidak heran ketika membaca
sejarah, darahpun menjadi tumbal dari monopoli ekonomi maupun kekuasaan di
negeri ini selama beberapa abad.
Terkadang, banyak pula yang terjebak pada romantisme sejarah Moloku Kie
raha (Maluku Utara), sehingga pada pemanfaatan basis keilmuan justru hilang
dengan seiring waktu berjalan. Bahkan, kisah yang didengarkan dari tahun
berganti tahun telah menjadi momok yang baik, namun dalam realitas saat ini
mulai memudar, kejayaan budaya mulai tak lagi menampakkan hasilnya, rakyat
Maluku Utara seakan kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang
berkebudayaan. Itulah kenapa baiknya kebudayaan pada suatu masyarakat akan
berpengaruh pada pembangunan dari sektor kebudayaan, politik, ekonomi, etika
dan Agama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana “Budaya” dalam teori dan praktik pembangunan di Maluku
Utara ?
2. Bagaimana peran HMI dalam menjawab tantangan budaya di Maluku
Utara ?
C. Batasan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka pada penulisan makalah ini di batasi pada
masalah “menafsir kebudayaan Moloku Kie Raha dalam prosesi pembangunan
Maluku Utara”.
D. Tujuan Penulisan
Kajian tentang kebudayaan Moloku Kie raha dalam sumbangsih
pembangunan Maluku Utara memiliki arti penting dalam memperkaya
pengetahuan serta praktek dalam menjalankannya. Untuk itulah pada penulisan
makalah ini bertujuan:

9
1. Untuk menjajaki makna kebudayaan Moloku Kie raha dalam
masyarakat Maluku Utara secara teoritis.
2. Untuk mencari pola perbaikan dalam membangun Maluku Utara
berbasis kebudayaan.
E. Manfaat Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, di samping memiliki tujuan, juga memiliki
manfaat penulisan. Adapun manfaatnya adalah :
a. Teoritis
1. Dapat menambah wawasan tentang kebudayaan Maluku Utara.
2. Menjadi bahan masukan untuk solusi pembangunan Maluku Utara
dari sektor kebudayaan.
3. Agar dapat dijadikan bahan reverensi untuk memperkaya khazanah
keilmuan untuk kader HMI dan masyarakat pada umumnya..
b. Praktis
1. Termaknai secara menyeluruh kebudayaan Moloku Kie Raha
2. Masyarakat tetap melestarikan budayanya sebagai identitas yang
membentuk pola pikir dan pola tindak dalam berhubungan sosial
sesamanya.
F. Defenisi Operasional
“Tafsir”: adalah keterangan atau penjelasan tentang suatu makna kejadian
atau makna secara tekstual, contoh (tafsir Qur’an, tafsir fenomena dan lain
sebagainya).
“Kebudayaan”: adalah hasil kegiatan dan penciptaan akal budi manusia
dalam kehidupan, seperti, sistem kepercayaan, seni dan adat istiadat.
“Moloku”: bahasa lokal yang di ambil dari ejaaan lama Al Mamluk (Arab)
yang berarti “Raja” (banyak penafsiran terhadap kata Moloku. Namun yang sering
di pakai adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam pendekatan bahasa Arab.
“Kie”: dalam bahasa lokal Kie berarti gunung.
“Raha”: dalam bahasa lokal Raha berarti empat.
Defenisi secara keseluruhan adalah, penjelasan tentang hasil kegiatan
masyarakat dalam ruang kepercayaan, seni dan adat istiadat di empat kerajaan
yang berada di Maluku Utara.

10
BAB II

PEMBAHASAN

Beberapa tahun yang lalu, pernah ada penelitian Arkeologis yang dilakukan
Australian National University terhadap kepulauan Maluku, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Matthew Spring dalam tulisannya “Recent Advances in Our
Knowledge of Moluccas Earliest History”. Mengungkapkan, bahwa kepulauan
Maluku telah didiami manusia sejak zaman es (Kala Plestosen), sekurang-
kurangnya 30.000 tahun yang lalu. Kawasan ini merupakan kawasan strategis
bagi perpindahan penduduk Asia Tenggara ke Melanesia dan Mikronesia. Bahkan
Richard Shutler Jr. Mengemukakan, bahwa Halmahera yang merupakan pulau
terbesar di Maluku adalah daerah yang menjadi kunci untuk ditetapkan masa awal
penduduk yang berbahasa Austronesia. Situs maupun benda prasejarah, pun telah
ditemukan di pulau Waidoba dan Teneti (Kayoa), serta di Doro dan Tanjung Luari
(Kao dan Tobelo). Sementara itu penemuan peninggalan tradisi batu besar
(Megalitik), telah ditemukan di Ternate dan tradisi batu kecil di Waidoba 7
Kepulauan Maluku, terlepas dari penelitian Arkeologis di atas, juga
merupakan daerah penghasil rempah-rempah. Menurut Andi Atjo, penulis buku
“Orang Ternate dan Kebudayaannya”, menjelaskan, bahwa pada awalnya, daerah
yang disebut penghasil rempah-rempah bukanlah dikhususkan pada daerah
Maluku Ambon dan sekitarnya, tetapi dikhususkan pada kawasan Maluku Utara.
Kawasan ini merupakan kawasan penghasil rempah-rempah, yang memiliki daya
saing tinggi dalam arus globalisasi perdagangan pada abad ke-16 sampai pada
abad ke-18. Jika ditarik ulur ke belakang, sejak abad ke-7 rempah-rempah Maluku
Utara sudah tersebar sampai ke negeri Arab, bahkan abad ke-3 SM bangsa Cina
telah mengenal hasil alam berupa rempah-rempah. Secara tidak langsung, Maluku
Utara sudah ada jauh sebelum makna peradaban yang sesungguhnya dipahami
oleh manusia di Maluku Utara. Sehingga yang menjadi perbincangan dalam
polemik para ahli, adalah mengenai tentang bagaimana seharusnya Maluku Utara
yang lebih dikenal dalam dimensi lokal adalah Moloku Kie Raha dalam
kebudayaannya sejak dahulu hingga kini serta realitas kebudayaannya.
7
Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah (Jakarta,KPG,Cet-1:2010)h.1

11
A. Kebudayaan dalam Makna Teoritis dan Praktis
Dalam pemaknaannya, kebudayaan terbentuk dan tersusun atas rasa, cipta
dan karsa yang kemudian menjadi sebuah sistem pada masyarakat tertentu. Secara
langsung, kebudayaan adalah identitas masyarakat sebagai kumpulan dari
berbagai macam pola individu yang memiliki corak yang sama dalam
kehidupannya. Mustahil, seorang manusia menganggap, bahwa dirinya tidak
memiliki kebudayaan, sebab kebudayaan menjadi sesuatu yang alami (Suantullah)
yang terbangun dalam dinamika kemanusiaan.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-
anggotanya seperti kekuatan alam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya, di dalam
masyarakat itu sendiri tidak selalu baik baginya. Selain itu manusia dan
masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spritual maupun materiil.
Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di atas untuk sebagian besar dipenuhi
oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian
besar karena kemampuan manusia terbatas, sehingga kemampuan kebudayaan
yang merupakan hasil ciptaanya juga terbatas di dalam memenuhi segala
kebutuhannya8. Itulah kenapa secara teoritis kebudayaan memiliki pengertian
yang luas serta mencakup pada rana kehidupan manusia. Dan secara praktis
kebudayaan memiliki nilai yang dipraktekkan pada kehidupan umat manusia.
Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang saling berbeda
satu dengan lainnya, setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku
umum bagi semua kebudayaan di manapun juga. Menurut Robin M. Williams,
hakikat kebudayaan tersebut adalah:
1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu
generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi
yang bersangkutan.
3. Kebudayaan diperlakukan oleh manusia dan diwujudkan tingkah
lakunya.

8
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta,Rajagrafindo Persada, Cet-45:2013)h.155

12
4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-
kewajiban, tindakan-tindakan yang di terima dan di tolak, tindakan-
tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang dizinkan9.
Artinya, suatu kebudayaan lahir dari dalam dirinya sendiri yakni manusia
yang menjadi subjek kebudayaan, sehingga tidak dapat dipungkiri, bahwa
kebudayaan adalah hasil dari manusia serta bukan alam yang menjadi satu-
satunya faktor penentu pembentukan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan juga
hidup sebelum suatu generasi lahir dan bertahan dan tidak mati dengan habisnya
usia generasi itu pula, artinya dia akan terus turun temurun dari waktu ke waktu.
Maka secara tidak langsung kebudayaan tersusun atas aturan-aturannya yang
mengikatnya.
Kita bisa saja memaknai sosial sebagai yang merangkul kebudayaan, sebab
di dalam sosial juga membahas tentang kebudayaan dan gerakan-gekannya.
Dalam hal ini, jejak rekam pembentukan dan pelembagaan teori kebudayaan
dalam gerakan sosial tidak dapat dilepaskan dari serangkaian revolusi yang
melanda jajirah Eropa Barat pada akhir abad ke-17 sampai dengan abad ke-19
karena realita sosial baru ini, memberikan latar bagi akademisi gerakan sosial
mengembangkan teori. Satu kelompok akademisi, dengan Auguste Comte dan
Emile Durckheim sebagai perintis utamanya, memandang, meskipun Revolusi
Prancis yang terjadi pada tahun 1789 merubah landscape politik Prancis yang
ditandai dengan berakhirnya bentuk pemerintahan monarki dan memberikan
inspirasi kepada kelompok-kelompok masyarakat di Inggris, Jerman dan Italia
untuk mempercepat terjadinya revolusi politik dengan target utamanya adalah
terbentuknya pemerintahan rakyat. Revolusi politik di beberapa negara utama
Eropa Barat telah menimbulkan kekacauan berkepanjangan, ketidakteraturan dan
pudarnya tatanan lama yang terbukti mampu menciptakan keteraturan di
masyarakat10. Renaisance Eropa yang digambarkan, telah menjadi watak
kehancuran yang berimplikasi pada pola hidup masyarakat dari tradisi lama
kepada tradisi baru. Itulah kenapa, sejarah renaisance Eropa adalah juga
merupakan penurunan kualitas manusia secara moralitas.

9
Ibid.h.160
10
Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Teori dan Praktik (Jogjakarta,Pustaka
Pelajar,Cet-2:2013)h.5

13
Paling tidak itu bisa menjadi gambaran sederhana dari implikasi kebudayaan
yang wujud dari dalam dimensi manusia yang kehilangan nilai (Agama). Dari
sini, sudah dapat diketahui apa yang perlu di khawatirkan dan yang perlu dipakai
dalam pembangunan manusia berperadaban.
Jika dikontekskan pada maluku Utara, maka jawabannya dapat diketahui,
bahwa kebudayaan menjadi basis riil dari pembangunan moralitas masyarakat
Maluku Utara serta hal yang perlu diterapkan, adalah pemaknaan secara
mendalam pada kebudayaan yang dimiliki, sebab, saat masyarakat tidak mengenal
kebudayaannya, maka tidak ada lagi yang dapat di harapkan dalam pembangunan
manusia berperadaban.
Praktik kebudayaan Maluku Utara, dapat dibilang sebagai suatu bentuk
budaya yang dilatarbelakangi dengan nilai keagamaan Islam yang dianut kerajaan-
kerajaan di Maluku utara. Sebagai suatu sistem budaya, Maluku Utara memiliki
pelajaran tersendiri dalam memahami konteks pengamalan ajaran Islam terhadap
penganutnya yang terbilang mayoritas di negeri ini. Walau mayoritas
masyarakatnya Islam tidak menutup kemungkinan orang yang non muslim juga
ikut serta dalam interaksi kultural dalam rana sosial masyarakat Maluku Utara.
Karena penghargaan terhadap hak beragama bagi siapa saja, juga telah
mendapatkan legitimasinya dalam institusi keagamaan di Maluku Utara. Mungkin
salah satu ajaran yang tetap terjaga sampai sekarang adalah pesan religi yang
terkandung dalam syair-syair lokal masyarakatnya. Sebut saja, Dola Bololo,
sebagai contoh:
Ino fomakati nyinga
Doka gosora se bualawa.
Om doro yoma mote
Foma gogoru
Se madudara.
Empat buah bait syair di atas, adalah salah satu dari beberapa bentuk
kearifan lokal Maluku Utara yang ada hingga sekarang yang terdapat dalam Dola
Bololo dalam bahasa Ternate. Konsep persatuan yang digambarkan, dan
dituangkan dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara, berupa syair di atas, juga
tidak terlepas dari pembawaan historis hingga kini.

14
B. Pembangunan Maluku Utara Lewat Kebudayaan.
Agama, adalah entitas kebudayaan yang melatarbelakangi kehidupan rakyat
Maluku Utara, lebih-lebih Agama Islam, terlepas dalam kajian tentang Agama
adalah simbol kebudayaan, masyarakat Maluku Utara meyakini, bahwa hal yang
bersifat primordial bersama Tuhan adalah tanggungjawab sosial yang merupakan
implikasi dari itu semua.
Jauh sebelum itu, kajian tentang Agama adalah simbol. Paul Tillich (1953)
mengulas tentang “Religious Symbol” dalam Daedalus, Volume XIV, No.129,
yang tentu saja menekankan penggunaannya pada gereja. Selain itu, konsep
simbol juga telah dibahas dalam teks filsafat untuk kepentingan khusus. Salah satu
teks dasar yang populer adalah dari Suasanne Langer (1951) Pilosophy in a New
Key, yang antara lain mengulas pengertian dasar simbol dan simbolisme. Jangan
dilupakan pula bahwa para linguis sudah sejak lama mengulas bahasa sebagai
sistem simbol. Para Antropolog seperti Geertz melakukan sintesis simbol dan
struktur sosial serta memberi makna substantif suatu ranah kajian mengenai
Agama dalam pendekatan Antropologi yang antara lain lewat tulisan yang
monumental “Religion as a Cultural System” (1966) dalam buku suntingan M.
Banton, Antropological Approaches to the Study of Religion. Untuk kepentingan
metodologi antropologi yang berorientasi pada realitas empirik, Geertz
mengemukakan suatu definisi agama sebagai sistem simbol yang: a)
mempresentasi pikiran, aktualitas, kelakuan, konteks dan histori; b) memberi aura
yang menyelimuti aktualitas, sehingga yang tidak nyata menjadi seolah-olah
nyata; c) sehingga membangun suatu keseluruhan yang idealistik, intens,
memenuhi suasana jiwa11.
Yah, bisa dikatakan Agama sebagai simbol lebih mengerucut pada
pemaknaan dan aktualisasinya. Justru dengan Agama sebagai simbol, orang
kemudian dapat memahami betul bagaimana sombolisasi kehidupannya dalam
hubungan secara vertikal bersama sang pencipta, dan horizontal sesama manusia.
Itulah yang dimaknai dalam kebudayaan Moloku Kie Raha (Maluku Utara).
Bagaimana tidak, kebudayaan Maluku Utara lebih banyak menekankan pada

11
Achmad Fedyani Saifuddin, Logika Antropologi (Jakarta,Kencana,Cet-1:2015)h.205

15
kajian simbol sebagai wujud peradaban dan membawa manusia pada taraf moral
yang tinggi, yakni menjadikan manusia sebagai manusia sebenarnya.
C. “Jou Se Ngofa Ngare”, Kajian Hubungan Sosial Dalam Pembangunan
Manusia.
Ada sebuah adigium orang-orang tua di Maluku Utara, yang menjadi awal
peradaban di Maluku Utara serta menjadi ajaran yang sejak lama tetap diwariskan
hingga kini, yakni makna kata dalam kata sampai pada kata yang tak lagi
berbunyi, yaitu sebuah sistem Agama yang berupa hubungan transedensi dan
sosial. Hakikat ini ada dalam ajaran yang dibahasakan secara lokal dengan kalimat
“Jou Se Ngofa Ngare” (Hidayatullah:Suba jou).
“Jou” yang berarti “Tuhan” dan “Ngofa Ngare” yang berarti anak muda.
Secara eksplisit dimaknai sebagai hubungan yang mendasarkan pada ketauhidan,
orang-orang tua Maluku Utara biasa memahami, bahwa “Jou Se Ngofa Ngare”
adalah bahasa lain dari dua kalimat syahadat yang menjadi cikal bakal
diciptakannya seluruh alam semesta. Itulah kenapa pembawaan kalimat ini begitu
dalam pengkajiannya, karena hakikat kemanusiaan dalam pola pikir dan pola
tindak manusia pun dibahas dalam makna kalimat ini. nilai yang terkandung di
dalamnya begitu berarti, sehingga menjadikan suatu pengantar teologi dalam
berkeyakinan bagi masyarakat Maluku Utara.
Sebenarnya inilah identitas yang sudah selayaknya dipegang oleh seluruh
lapisan masyarakat Moloku Kie raha. Sungguh dalam kalimat ini, pengkajian
Tuhan begitu mendalam, namun implikasinya pada hubungan antar manusia pun
dijelaskan secara non materiil. Karena semua akan berwujud ketika di wujudkan
lewat realitas pengamalan. Saat Tuhan menjadi awal mula dari segala sesuatu,
maka ada utusannya yang menjadi penyambung risalah aturan dari Tuhan, dan itu
menjadi barometer berkehidupan bagi manusia. Kalau “Jou” membahas pada rana
nilai ketuhanan (sebuah hubungan transedensi), maka “Ngofa Ngare” membahas
implementasi dari nilai ketuhanan tadi.
Di saat Allah menyebut dirinya kekal, yaitu Zat yang tidak mengalami
kematian, dia menafikan sifat tersebut berlaku atas makhluk-Nya. Sebab, apapun
yang mengalami perubahan, pasti berpotensi kehancuran dan kematian. Segala
sesuatu akan rusak, kecuali zatnya. Bila kita berkata ada pencipta selain Allah dan

16
sifatnya langgeng maka jelas hal ini adalah terbilang sebagai perbuatan musyrik
dan keluar dari rel ketauhidan Islam. Demikian pula halnya ketika Allah
mengatakan dia Esa berarti menunjukan, bahwa tiada keesaan bagi alam dan
masyarakat. Keesaan hanya milik Allah dan selainnya adalah pluralitas yang bisa
saja menampung ratusan atau ribuan bentuk12. Alqur’an menjelaskan:
“Katakanlah Allah (Tuhan) itu esa”. (QS. Al Ikhlas:1)
Dengan demikian dalam kajian kearifan lokal Maluku Utara, nilai
ketauhidan begitu berarti sebagai fondasi awal terbentuknya tatanan hidup
manusia yang berarti pula. Jou Se Ngofa Ngare, adalah merupakan Keselarsan
hukum lokal dan juga Alqur’an serta menjadi hakikat kehidupan masyarakat
Maluku Utara yang memuat banyak nilai sebagai pedoman masyarakat Moloku
Kie Raha dan siapapun yang ingin mempelajarinya.
D. Napak Tilas Kebudayaan Maluku Utara dalam Harapan dan
Kenyataan
Pada hakikatnya berbagai kebudayaan, yang menjadi identitas Maluku Utara
dalam Local Wisdom, memiliki nilai keagamaan yang tinggi. Dola Bololo, Dalil
Tifa Dalil Moro dan Cum-cum di Ternate, Borero Gosimo di Tidore, Ompu Batita
di Bacan dan syair lokal lainnya memberikan pelajaran bagi masyarakatnya untuk
menjalani hidup dengan nilai-nilai yang mengantarkan pada kearifan dan
kebijaksanaan dalam proses hidup sebagai manusia seutuhnya. Nilai persatuan,
sopan santun, etika dan tata cara interaksi sosial, diajarkan sebagaimana mestinya
dalam petuah bijak orang-orang tua Moloku Kie Raha, serta untuk
diinternalisasikan dalam kehidupan bersosial bagi masyarakatnya. Nilai sejarah
yang diajarkan, menjadi sebuah perenungan besar, bagi masyarakat Maluku Utara,
yang nantinya dapat diambil dan diharapkan dapat diterapkan pada hubungan
antar masyarakat.
Alih-alih mengambil contoh yang begitu objektif dalam pembangunannya,
yakni sebuah gerakan bawah yang menonjolkan ke atas pada realitas budaya.
Maluku Utara, pada usia yang tidak lagi muda pada kerajaan-kerajaannya, saat ini
mulai kehilangan identitas yang semestinya dimiliki. Bagaimana tidak, perhatian
rakyat Moloku Kie Raha pada kebudayaannya sendiripun tak lagi menampakkan
12
Gamal Al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat islam (Jakarta,MataAir Publishing,Cet-
1:2006)h.3

17
eksistensi sebenarnya. Belum lagi peran pemerintah yang mulai bergeming pada
kepentingan politik semata, tanpa memandang pembangunan dari dalam
(Kebudayaan), yang nantinya menjadi basis perjuangan manusia seutuhnya.
Dapat diperhatikan saat ini, komunitas-komunitas lokal masih terus menjadi
subjek dari berbagai produk hukum yang dibentuk oleh negara. Produk-produk
hukum ini mencakup berbagai aspek kehidupan mulai dari aspek ekonomi,
pengorganisasian sosial masyarakat, tata budaya dan aspek kepercayaan. Alih-alih
membawa kemajuan, ketentuan-ketentuan perundangan ini justru lebih banyak
mendatangkan kerugian bagi masyarakat lokal, baik karena adanya aspek
diskriminasi dan pembentukan citra atau stereotip tertentu berkaitan dengan
karakter masyarakat lokal. Dalam beberapa kasus, ketentuan perundang-undangan
ini bahkan melegitimasi terjadinya kekerasan, baik kekerasan fisik maupun non
fisik terhadap masyarakat-masyarakat lokal. Dalam perkembangan terakhir, justru
kuantitas dan kualitas kekerasan ini meningkat tak hanya dari segi pelaku tapi
juga korban. Tidak melulu dilakukan oleh aparatus opresif negara, namun juga
dilakukan oleh kelompok-kelompok sipil terorganisir13.
Dalam perkembangannya, ini menjadi perhatian serius dalam proses
perbaikan daerah ini, entah dari segi fisik maupun non fisik. Realitasnya, dengan
sistem kenegaraan saat ini, pusat pengembangan masyarakat yang dimotori
pemerintah terfokus pada formalitas program kerja (pembangunan infrastruktur,
penyediaan lapangan kerja dan lain sebagainya) sehingga lupa bahwa ada esensi
pembangunan yang apabila baik pada rana itu maka akan baik pula pada sisi yang
lain, yakni pembangunan dari segi kebudayaan. Masyarakat Maluku Utara sudah
selayaknya kembali pada identitas awalnya, yakni sebagai manusia
berkebudayaan yang kaya akan nilai leluhurnya.
Kembali mengaca Moloku Kie Raha, dengan primadona budayanya yang
telah terkenal di berbagai belahan dunia sebagai fakta sejarah, kini mulai hilang
eksistensinya di tengah kehidupan sosial masyarakat Maluku Utara itu sendiri.
Dapat dikatakan Problem Sosial. Budaya konsumen dalam konteks liberalisme,
westernisasi (kebarat-baratan), seakan menjadi ancaman besar bagi moralitas
masyarakat, belum lagi legitimasi pemerintah terhadapnya karena arus

13
Hak Minoritas (Jakarta,The Interseksi Foundation:2007)h.238

18
kebudayaan yang tak dapat dibendung. Lantas, apa yang harus dilakukan,
terhadap fenomena sosial Maluku Utara saat ini. Minuman keras dianggap biasa
saja, seks bebas yang bermula dengan perilaku yang tidak sehat telah menjadi
kebiasaan para remaja yang bahkan orang tuanya sendiri pun tidak tahu.
Pornografi yang semakin mendapat tempatnya di setiap media sosial yang sangat
sulit dibendung karena perkembangan sistem tekhnologi yang pesat dewasa ini.
Tawuran anak sekolah serta kasus demoralisasi lainnya yang hakikatnya jauh dari
nilai budaya Moloku Kie Raha. Inikah yang diharapkan, bahwa Maluku Utara
akan berkembang secara nilai budaya dalam kehidupan rakyatnya? Tidaklah
demikian, selama belum ada gerakan penyadaran akan identitas, maka realitas
akan berkata sebaliknya.
E. Peran HMI dalam Menjawab Tantangan Kebudayaan di Maluku
Utara
HMI sebagai organisasi tertua di Indonesia yang masih bertahan dewasa ini,
berkembang dengan pesat lewat sistem pengkaderan dan sebagai organisasi
perjuangan membawa misi ilahi dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.
Maka jangan heran, kalau HMI menjadi salah satu patron perjuangan masyarakat
Islam di Indonesia, bagaimana tidak! Sejak tahun 1947 HMI berdiri, serta berani
memegang senjata bersama TNI untuk melawan kesewenang-wenangan
imperialisme. Itulah penyebab Jend. Soedirman mengatakan HMI bukan hanya
Himpunan Mahasiswa Islam, tapi “HMI adalah Harapan Masyarakat Indonesia”.
Selain keindonesiaan, kebangsaan dan kemahasiwaan, kualifikasi HMI
sebagai gerakan pemuda adalah keislaman. Maka, selain harus tampil sebagai
pendukung nilai-nilai keindonesiaan dan kemahasiswaan, HMI juga harus tampil
sebagai pendukung nilai-nilai keislaman. Sekalipun dukungan pada nilai-nilai
keislaman itu tetap dalam format yang tidak dapat dipisahkan dari keindonesiaan
dan kemahasiswaan. Artinya, penghayatan HMI pada nilai-nilai keislaman tentu
tidak dapat lepas dari lingkungan keindonesiaan (antara lain, demi efektifitas dan
fungsionalitas keislamannya itu sendiri). Dan juga tidak lepas dari nilai
kemahasiswaan (yaitu suatu pola penghayatan keislaman yang lebih cocok dengan
kelompok masyarakat yang menikmati hak istimewa sebagai anggota Civitas

19
akademica, yang menurut konstitusi HMI sendiri disebut sebagai “insan
akademis”14.
HMI di tengah pertarungan tradisi menjadi sesuatu yang tak bisa dipungkiri,
pertarungan dua pemikiran besar antara Barat dan Timur, telah menjadi dinamika
sosial modern yang tidak bisa dipungkiri, bahkan sejak beberapa abad silam.
Dalam hal ini HMI di tuntut untuk menjawab serta mengambil tindakan preventif
serta rsionalisasi dalam melihat persoalan ini. Kalau HMI tidak lagi
memperdulikan keadaan ini, maka bersiap-siaplah untuk melihat kenyataan yang
jauh dari harapan.
Dr. Victor Immanuel Tanja adalah seorang intelektual Kristen yang
melakukan penilitian dan melahirkan karya ilmiah terhadap posisi HMI dalam
wacana modernisme pemikiran di Indonesia. Sungguhpun dapat disebut telah
memberikan citra baik terhadap kehadiran HMI sebagai organisasi pergerakan,
namun tidak berarti predikatnya sebagai salah satu organisasi penggerak
modernisme selalu dapat dibanggakan15. Agus Salim Sitompul dalam 44 Indikator
Kemunduran HMI juga telah menjelaskan, bahwa pada dasarnya HMI tidak
semestinya bereforia dengan keberhasilan-keberhasilan HMI dalam
konstribusinya untuk bangsa Indonesia, namun patut diingat HMI juga memiliki
kekurangan yang perlu diperbaiki lebih dahulu dalam mengembangkan misi
keumatan dan kebangsaan. Tafsir asas, tujuan dan tafsir indepedensi HMI paling
tidak dijiwai dengan seksama sebagai Thariqah (jalan) bagi keberlangsungan
HMI lebih baik lagi. Karena HMI hadir untuk Islam dan Indonesia.
Lebih dari itu, sebagai sebuah gerakan, HMI tidak dapat diukur dengan
hardware maupun aspek eksoterik organisasi, tetapi dari dimensi esoteriknya.
Karena itu mengukur berhasil tidaknya HMI di masa kini dan masa yang akan
datang, terletak pada seberapa jauh gerakan ini mengekspansikan dan
memanifestasikan dimensi-dimensi esoteriknya, apakah HMI mampu
mempertahankan Islam bukan saja pada asas organisasinya, tetapi juga menjadi
kerangka nilai pemikiran dan kultur organisasi 16, untuk nantinya hidup dalam
masyarakat di Maluku Utara dalam bentuk nilai pula.
14
Nurcholis Madjid, Tradisi Islam (Jakarta,Paramadina,Cet-2:2008)h.89
15
Ahmad Syafi’i Safinuddin, HMI dan Wacana Revolusi Sosial (Jakarta,hijau
Hitam:2003)h.20
16
Suharsono, HMI Pemikiran dan Masa Depan (Jogjakarta,CIIS Pres,Cet-1:1997)h.122

20
Kebudayaan Maluku Utara adalah bentuk riil dari realitas sosial, nyatanya
identitas masyarakatnya harus menjadi sahabat bagi para kader HMI di Maluku
Utara, sebab HMI hadir adalah membantu dalam melengkapi hakikat gerakan
keislaman untuk membentuk sebuah tatanan peradaban yang di ridhai Allah SWT.
Kita sudah membahas lebih lanjut, bagaimana sebuah kebudayaan
seharusnya serta kenyataan yang terjadi di Maluku Utara. Itulah kenapa, para
kader HMI baik di tingkat cabang maupun di tingkat komisariat, harus mampu
lebih jeli menafsirkan serta mengambil langkah dalam upaya melestarikan dan
mengembalikan identitas sebenarnya dari masyarakat Moloku Kie Raha. Terlepas
dari tanggung jawabnya sebagai insan akademis, namun Goal-nya dalam
membentuk masyarakat berperadaban yang di ridhai Allah SWT, sudah barang
tentu menjadi tujuan akhir dari lima kualitas insan cita Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). Wallahu ‘Alam
“Daripada hidup tak berguna, lebih baik mati berkalang tanah”
YAKUSA

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudayaan, sejatinya menjadi sunatullah, yang tak dapat dipisahkan dalam
dimensi kemanusiaan, serta sistem yang berlaku di dalamnya sudah ada sejak
lama. Dalam peningkatan mutu kemanusiaan dibutuhkan lebih jeli, pada rana
kebudayaan. Karena itulah, kebudayaan adalah manusia dan manusia yang
berperadaban sudah barang tentu memiliki kebudayaan.
Lebih jauh, dari pembahasan di atas, sedikitnya dapat diambil gambaran,
bagaimana seharusnya perbaikan kebudayaan di masa kini khususnya di Maluku
Utara. Imam Malik berkata:
“Tidak akan menjadi baik umat pada kurun abad terakhir ini, kecuali
mengikuti perbaikan umat-umat terdahulu”
Kasus perbaikan bukan berbicara pada basis teoritisnya saja, tapi lebih jauh
berbicara mengenai metode apa yang digunakan dalam perbaikan serta
pembangunan umat manusia di dunia maupun di Maluku Utara. Itulah kenapa,
sebagai pengamalan Problem Solving, dibutuhkan keseriusan, sebab nantinya itu
juga menjadi awal yang baik dalam perbaikan Maluku Utara.
Seorang intelektual Kristen, Dr. Victor Immanuel Tanja, yang melakukan
penilitian dan melahirkan karya ilmiah terhadap posisi HMI, sudah memberikan
apresiasi berharga, namun lain halnya dalam mempertahankan citra itu, masih
sangat jauh dari harapan para kader-kader yang memiliki perhatian terhadap
perkembangan HMI. Ayahanda Agus Salim Sitompul pun dalam 44 Indikator
Kemunduran HMI yang ditulis olehnya menjelaskan, bahwa pada dasarnya HMI
jangan dulu bereforia dengan keberhasilan-keberhasilan HMI selama ini, namun
patut diingat HMI juga memiliki kekurangan yang perlu diperbaiki bersama.
Tafsir asas (NDP), tujuan dan tafsir indepedensi HMI adalah hal yang perlu
dijadikan sebagai Thariqah (jalan) bagi keberlangsungan HMI lebih baik lagi.
B. Saran
1. Untuk menjadi peradaban yang berkebudayaan, maka sudah seharunya
hal utama yang dilakukan adalah menjaga secara utuh identitas
kebudayaannya.

22
2. Maluku Utara adalah ladang ilmu yang sangat sedikit orang mengetahui
hal ini, maka ilmu yang sudah dibawa sejak turun temurun perlu
dipelajari sebagai tambahan pengetahuan.
3. Bagi seluruh kader HMI, jangan dulu menjustise sebuah ajaran itu keliru
tanpa mengkaji lebih dulu esensi dan eksistensinya serta perspektif
sebuah ilmu.
4. Kebudayaan maluku utara adalah harta berharga orang Indonesia dan
lebih-lebihnya adalah masyarakat Moloku Kie Raha. Maka menjaga,
melestarikan serta mewariskan adalah perbuatan yang bijak untuk
mempertahankan kebudayaan serta khazanah pengetahuan di Maluku
Utara.
Dengan demikian, semoga dapat bermanfaat.

23
DAFTAR PUSTAKA
Al-Banna, Gamal, Pluralitas dalam Masyarakat islam (Jakarta,MataAir
Publishing,Cet-1:2006)
Amal, Adnan, Kepulauan Rempah-rempah (Jakarta,KPG,Cet-1:2010)
Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam (Jakarta,Paramadina,Cet-2:2008)
Muthahhari, Murtadha, Masyarakat dan Sejarah (Jogjakarta,Rausyan Fikr,Cet
2:2015)
Saifuddin, Achmad Fedyani, Logika Antropologi (Jakarta,Kencana,Cet-1:2015)
Safinuddin, Ahmad Syafi’i, HMI dan Wacana Revolusi Sosial (Jakarta,hijau
Hitam:2003)
Shadily, Hassan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta,Bina
Askara;1983)
Situmorang, Abdul Wahib , erakan Sosial: Teori dan Praktik (Jogjakarta,Pustaka
Pelajar,Cet-2:2013)
Sulistyowati, Soerjono Soekanto dan Budi, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta,Rajagrafindo Persada, Cet-45:2013)
Suharsono, HMI Pemikiran dan Masa Depan (Jogjakarta,CIIS Pres,Cet-1:1997)
Weber, Max, Teori Dasar Analisis Kebudayaan (Jogjakarta,IRCiSoD,Cet-2:2013)
Hak Minoritas (Jakarta,The Interseksi Foundation:2007)

24

Anda mungkin juga menyukai