Nobi Elek
Nobi Elek
1. OTITIS EKSTERNA
Sri Rukmini, Soepriyadi, Sri Harmadji
BATASAN: Otitis eksterna adalah infeksi pada kulit Meatus Akustikus
Eksternus (MAE).
Kuman penyebab paling sering adalah S. aureus. Penyebab lain adalah
P.aeruginosa, jamur golongan Aspergilus atau Kandida.
PATOFISIOLOGI
A. Sebagai faktor predisposisi:
a. Faktor endogen : Keadaan umum yang buruk akibat anemia,
hipovitaminosis, diabetes melitus, atau dermatitis seboroik
b. Faktor eksogen : Terlalu sering membersihkan telinga, mengakibatkan
serumen yang berfungsi sebagai pertahanan kulit MAE hilang.
Trauma karena tindakan mengorek telinga, kuman masuk lewat lesi yang ada.
Suasana yang lembab, panas, atau alkalis di dalam MAE menyebabkan
meningkatnya pertumbuhan kuman dan jamur. Kelembaban kulit terjadi
akibat MAE kemasukan air waktu setelah berenang, mandi atau udara yang
terlalu panas / berkeringat.
Bentuk MAE yang tidak lurus menyulitkan penguapan dan mengakibatkan
kulit MAE lebih sering dalam keadaan lembab.
Keadaan tersebut menimbulkan udem di kulit MAE yang dirasa gatal
sehingga mendorong penderita mengorek telinga, trauma yang timbul akan
memperberat infeksi.
Korek-korek telinga juga dapat menyebabkan hilangnya protective lipid
layer dan acid mantle. Hal ini menyebabka meningkatnya kelembaban dan
suhu di MAE. MAE yang lembab, hangat dan kotor merupakan media
pertumbuhan kuman yang baik. Penetrasi kuman lebih mudah terjadi. Pada
awalnya terjadi penyumbatan pada apopilosebaseus unit yang dilanjutkan
dengan terjadinya radang akut yang disebut furunkel.
B. Eczomatoid otitis eksterna: Terjadi akibat reaksi
hhipersensitifitas, misalkan karena obat tetes telinga yang mengandung
antibiotik, pemakaian bahan kimia / logam misalkan hairspray,
anting-anting (kontak dematitis), reaksi atopik, atau akibat
rangsangan sekret dari otitis media. Termasuk golongan ini adalah
Psoriasis dan neudermatitis.
C. Otitis eksterna seboroik: Merupakan bagian dari dermatitis
seboroik. Penyebabnya tidak diketahui, penyakit ini bersifat
heriditer. Kelainan berupa sisik-sisik atau lapisan tebal berminyak
terutama terdapat pada kulit kepala. Di telinga kelainan dapat
ditemukan di MAE, konka atau di retro aurikuler.
DIAGNOSIS
Anamnesis:
- Rasa gatal sampai rasa nyeri di dalam telinga. Rasa gatal dapat
dirasakan sampai tenggorok. Kadang-kadang disertai sedikit rasa nyeri.
Awalnya sekret encer, bening, tetapi dapaat berubah menjadi sekret
kental purulen. Pada bentuk kronik sekret tidak ada atau hanya sedikit
atau berupa gumpalan, berbau akibat adanya bakteri saprofit ataupun
jamur.
- Pendengaran normal atau sedikit berkurang.
- Pada furunkel MAE gejala yang paling dominan adalah nyeri telinga
(otalgi). Nyeri akan bertambah saat gerakan mengunyah atau bila
telinga disentuh.
Pemeriksaan:
- MAE terisi sekret serus (alergi), purulen (infeksi kuman),
keabu-abuan atau kehitam-hitaman (jamur).
- Kulit MAE udim, hiperemi merata sampai ke membrana timpani.
- Pembesaran kelenjar regional: daerah servikal antero superior,
parotis atau retro aurikuler. P
- ada furunkel didapatkan udim, hiperemi pada pars katrilagenus MAE,
nyeri tarik aurikulum dan nyeri tekan tragus. Bila udim hebat membran
timpani dapat tidak tampak
DIAGNOSIS BANDING:
- Otitis media akut
- Otits eksterna bulosa
PENYULIT:
- Perikondritis
- Dermatitis aurikularis
- Erisipelas
PENATALAKSANAAN:
- MAE dibersihkan dengan menggunakan kapas lidi.
Pemasangan tampon pita cm x 5 cm yang telah dibasahi dengan larutan
Burowi filtrata (3%) pada MAE. Tampon secukupnya, tidak boleh
diletakkan terlalu ke dalam (nyeri/bahaya melukai membran timpani,
sulit mengeluarkan).
Tampon setiap 2-3 jam sekali ditetsi dengan larutan Burowi agar tetap
basah. Tampon diganti setiap 2 hari sekali. Obat tetes diberikan
sampai 2-3 hari setelah gejala nyeri/gatal hilang.
Larutan Burowi dapat diganti dengan tetes telinga yang mengandung
steroid dan antibiotik.
Apabila diduga infeksi kuman Pseudomonas berikan tetes neomisin hidrokortison.
Pada infeksi jamur digunakan tetes telinga asam sailisilat 2-5% dalam
alkohol 20 %.
2. Pemeriksaan:
- udim luas pada aurikula dapat meluas keluar aurikula.
- Nyeri dan hiperemia
- Terdapat fluktuasi bila terjadi supurasi
- Terdapat deformitas bila sudah terjadi nekrosis
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Suhu tubuh naik, leksoit naik.
TERAPI
1. Antibiotik : Untuk yang ringan, diberikan kloksasilin 3 X 500 mg
oral/hari.Untuk yang berat diberikan gentamisin intra vena 2 X 80 mg/
hari atau aminoglikosida lainnya.
2. Anti inflamasi/analgesik : asam mefenamat, piroksikam atau diklofenak
3. Insisi bila sudah terjadi supurasi, dilanjutkan dengan eksisi bila
sudah terjadi nekrosis tulang rawan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Linstrom JL, Lucente FE. Infections of the external ear. In: Bailey
BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology
Vol. II Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:1542-56.
2. Meyerhoff WL, Caruso VG. Trauma and infections of the external ear.
In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds.
Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology and Neuro-otology.
Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders, Co, 1991:1227-36.
3. Austin DF. Diseases of the external ear. In: Ballenger JJ. Ed.
Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed.
Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:1069-80.
3. TULI MENDADAK
Sri Soekesi, Adriani Iskandar, Nyilo Purnami
BATASAN
Suatu ketulian sensorineural yang terjadi secara tiba-tiba dalam
beberapa jam atau beberapa hari (5-7 hari), umumnya unilateral, dan
dapat disertai tinitus atau vertigo.
PATOFISIOLOGI
1. Teori infeksi virus
- Penyebab: virus campak, parotitis, herpes zoster, varisela,
influenza, dan penyakit virus lainnya.
- Pada koklea menyebabkan labirintitis endolimfatik, dan pada nervus
VIII menyebabkan neuronitis dan ganglionitis.
- Virus juga menginvasi endotel vaskular dan melekat pada eritrosit
sehingga lumen vaskular mengecil akibat pembengkakan endotel dan
DAFTAR PUSTAKA
1. Snow JB, Telian SA. Sudden deafness. In: Paparella NN, Shumrick DD,
Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II.
Otology and Neuro-otology. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders,
Co, 1991:1619-28.
2. Kohut RI, Hinojosa R. Sudden sensory hearing loss. In: Bailey BJ
and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology
Vol. II Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:1820-25.
4. OTITIS MEDIA SEROSA
Sri Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto
BATASAN
Otitis media serosa ialah keradangan non bakterial mukosa kavum
timpani yang ditandai dengan terkumpulnya cairan yang tidak purulen
(serous atau mukus).
Sinonim: otitis media efusa, otitis media sekretoria, otitis media
musinosa, glue ear.
PATOFISIOLOGI
Gangguan fungsi tuba Eustakhius merupakan penyebab utama. Gangguan
tersebut dapat terjadi pada:
- Keradangan kronik pada rongga hidung, nasofaring, faring misalnya oleh alergi.
- Pembesaran adenoid dan tonsil.
- Tumor nasofaring.
- Celah langit-langit.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis:
- Telinga terasa penuh, terasa ada cairan (grebeg-grebeg).
- Pendengaran menurun.
- Terdengar suara dalam telinga sewaktu menelan/menguap.
2. Pemeriksaan :
- Pada otoskopi membran timpani berubah warna (kekuning-kuningan)
refleks cahaya berubah atau menghilang.
- Dapat terlihat "air-fluid level" atau "air bubles".
3. Pemeriksaan tambahan: (bila tersedia sarana).
- Audiogram : tuli konduktif.
- Timpanogram : tipe B atau C.
DIAGNOSIS BANDING
Otitis media supuratif akut tipe kataral.
PENYULIT
- Otitis media kronik.
- Mastoiditis kronik.
- Timpanosklerosis.
TERAPI
1. Tahap I :
- Miringotomi dan pasang "ventilating tube" (Gromet).
- Obat-obatan terhadap gangguan fungsi tuba. ((Dekongestan oral atau
lokal, lihat terapi Otitis media supuratif akut).
2. Tahap II:
- Bila ada pembesarantonsil dan/adenoid, dilakukan ddenotonsilektomi.
- Bila ada factor alergi dilakukan perawatan alergi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kenna MA. Otitis media with effusion. In: Bailey BJ and Pillsburry
III HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. II
Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:1592-606.
2. Paparella MM, Jung T TK., Goycoolea MV. Otitis media with effusion.
In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds.
Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology and Neuro-otology.
Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991: 1317-42.
3. Austin DF. Catarrhal diseases of the middle ear. In: Ballenger JJ.
Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed.
Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:1092-103.
5. OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT
Sri Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto
BATASAN
Otitis media supuratif akut ialah infeksi akut yang mengenai
mukoperiosteum kavum timpani. dengan disertai pembentukan sekret
purulen.
KUMAN PENYEBAB: tersering
- S. pneumoniae
- H. Infuenzae
Kuman lain yang lebih jarang adalah S. aureus, S. pyogenes, B. catarrhalis,
PATOFISIOLOGI
Biasanya diawali dengan terjadinya infeksi akut saluran pernafasan
JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed.
Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:1104-8.
2. Kenna MA. Otitis media with effusion. In: Bailey BJ and Pillsburry
III HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. II
Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:1592-606.
3. Shambaugh Jr GE, Girgis TF. Acute otitis media and mastoiditis In:
Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds.
Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology and Neuro-otology.
Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:1343-48.
4. Neely JG. Intratemporal and intracranial complications of otitis
media. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery
Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:1607-22
6. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
Sri Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto
BATASAN
Otitis media supuratif kronik ialah keradangan kronik yang mengenai
mukosa dan struktur tulang di dalam kavum timpani dan tulang mastoid.
ETIOLOGI
Kuman aerob:
Positif Gram : S. pyogenes, S. albus.
Negatif Gram : Proteus spp., Pseudomonas spp., E.coli.
Kuman anaerob : Bacteroides spp.
PATOFISIOLOGI
Otitis media supuratif kronik timbul dari infeksi yang berulang dari
otitis media supuratif akut.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya infeksi berulang:
1. Eksogen : infeksi dari luar melalui perforasi m. Timpani.
2. Rinogen : dari penyakit di rongga hidung dan sekitarnya.
3. Endogen : alergi, Diabetes melitus, TBC paru.
Klasifikasi :
Otitis media supuratif kronik tipe benigna
Disebabkan peradangan atau sumbatan tuba Eustachius akibat penyebaran
infeksi dari
nasofaring, sinus atau hidung. Tipe ini ditandai dengan perforasi
sentral atau subtotal pada pars tensa., sekret mukoid tidak berbau dan
ganguan pendengaran ringan sampai sedang
Otitis media supuratif kronik tipe maligna
Ditandai oleh perforasi total, marginal atau perforasi atik dengan
7. Chole RA, Brodie HA. Surgery of the mastoid and petrosa. In: Bailey
BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology
Vol. II Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:1647-65.
8. Austin DF. Surgery in chronic ear diseases. In: Ballenger JJ. Ed.
Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed.
Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:1119-38.
7. VERTIGO
Sri Soekesi, Adriani Iskandar, Nyilo Purnami
BATASAN
Gangguan keseimbangan tubuh terhadap ruang sekitarnya atau
berhalusinasi dari gerakan berputar yang merupakan gejala dari
bermacam-macam penyebab/penyakit.
PATOFISIOLOGI
Adanya gangguan pada input sistem vestibuler (kanalis semi sirkularis,
dan organ otolit yaitu utrikulus dan sakulus), input visual dan
proprioseptif. Vertigo bukan merupakan penyakit tetapi suatu simtom
yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit.
ETIOLOGI
Lesi perifer
Lesi sentral
Lesi sistemik
Psikogen
DIAGNOSIS
Anamnesis:
Sifat gangguan keseimbangan: frekwensi, lamanya, faktor pencetus dsb.
Adanya gejala yang menyertai: penurunan pendengaran, tinitus,
otalgi, telinga terasa penuh, otore diplakusis rekruitmen, fenomena
Tullio, mual dan muntah, trauma kepala, paparan bising dsb.
Penyakit sitemik: hipotiroid, insufisiensi adrenokortikal, penyakit
kardiovaskuler, diabetes melitus, penyakit kolagen, penyakit ginjal,
sifilis, gangguan penglihatan, alergi, kelainan darah dan obat-obat
yang digunakan dsb.
Pemeriksaan:
THT rutin, tes fistula, fungsi pendengaran.
Adanya nistamus: spontan, posisional, manuver Hallpike, tes kalori.
Tes keseimbangan: Romberg, Stepping, dll.
Neurologi: saraf kranialis, kekuatan otot, sensibilitas, tes fungsi
serebelum, observasi gait (atas indikasi).
Adanya penyakit sistemik dan vaskuler yang menyertai (sesuai dengan anamnesis)
Pemeriksaan psikiatrik: bila diduga ada faktor psikogen.
Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan audiologi: tes garpu tala, audiometrik nada murni,
audiometrik nada tutur, SISI tes, Tone Deccay tes, timpanometri,
reflek stapedius, dan apabila ada fasilitas dapat dilakukan BERA (atas
indikasi)
Tes kalori, elektronistagmografi, posturografi (atas indikasi).
Radiologi: X-foto kepala posisi Stenver dan Towne, foto mastoid,
foto vertebra servikal, CT scan, MRI dsb (atas indikasi).
Pemeriksaan laboratorium dan EKG (atas indikasi).
Penyakit / penyebab:
Penyakit meniere: vertigo hebat dan berulang, penurunan pendengaran
yang berfluktuasi, rasa penuh di telinga dan tinitus yang progresif.
Labirintitis bakterial: vertigo hebat dan mendadak, tinitus dan tuli
persepsi yang permanen.
Neuronitis vestibuler: serangan vertigo yang berat dan mendadak,
seringkali disertai rasa cemas, mual dan muntah tanpa disertai
gangguan pendengaran.
Neuroma akustik: penurunan pendengaran, rasa tidak seimbang,
gangguan koordinasi, peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala
terkenanya saraf otak yang berbatasan, dan kadang disertai vertigo.
Vertigo posisi jinak berulang ( BPPPV = Benign Paroxysmal Positional
Vertigo); vertigo yang timbul akibat perubahan posisi kepala.
Vertigo sentral: umumnya disertai gejala SSP lain (gejala visual,
sensoris maupun motoris yang mendahului), vertigo umumnya tidak hebat
sekali dan kompensasi relatif lambat.
PENYULIT
Tergantung penyebabnya
PENATALAKSANAAN
Tergantung pada penyebabnya. Namun bila penyebabna belum dapat
diidentifikasi, dapat diberikan terapi non spesifik.
1. Medikamentosa:
Fase akut: bertujuan untuk menekan mual dan muntah secara sentral,
antara lain diazepam 3 x 2-5 mg, meklizine 3 x 25 mg dan prometazine 3
x 25-50 mg, kosikosteroid dengan tapering off untuk penyakit Meniere
dan neuritis vestibuler, diuretik hemat kalium pada penyakit Meniere.
Pada kasus berat perlu terapi parenteral: diazepam 5-10 mg i.m,
droperidol 2,5 mg i.m atau klorfromazin 25 mg supositoria.
Serangan rekuren yang tak terlalu hebat: a.l difenhidrinat,
prometasin, sinarisin, flunarisin, betahistin.
dominan pada fase lambat. Gejala ini dapat menetap jangka lama pada
rinitis yang persisten (chronic ongoing rhinitis).
GEJALA KLINIK
Serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab.
Didahului rasa gatal pada hidung, mata, atau kadang-kadang palatum mole.
Bersin-bersin paroksismal, pilek encer, dan buntu hidung.
Gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang-kadang disertai
sakit kepala.
Tidak ada tanda-tanda infeksi (misalnya panas badan).
KLASIFIKASI
Rinitis alergi intermiten : serangan < 4 hari per minggu, atau
berlangsung < 4 minggu
Rinitis alergi persisten : serangan > 4 hari per minggu, dan
berlangsung > 4 minggu.
Rinitis alergi ringan : Tidur normal, aktifitas sehari-hari, saat
olah raga dan santai normal, kegiatan bekerja dan sekolah normal, tak
ada keluhan mengganggu
Rinitis alergi sedang berat : Tidur terganggu (tak normal),
aktifitas sehari-hari saat olah raga dan santai terganggu, terdapat
gangguan saat kerja dan sekolah, adanya keluhan mengganggu.
DIAGNOSIS
Anamnesis yang lengkap dan cermat. Adanya paparan alergen. Mungkin ada
riwayat alergi pada keluarga, adanya alergi di organ lain (asma,
dermatitis)
Pemeriksaan:
Rinoskopi anterior: Konka udim dan pucat, sekret seromusinus. Pada
rinitis alergi persisten rongga hidung sempit, konka udim hebat.
Pemeriksaan tambahan:
- Tes kulit:"Prick Test".
- Eosinofil sekret hidung. Positif bila > = 25%.
- Eosinofil darah. Positif bila >.= 400/mm
- Bila diperlukan dapat diperiksa:
o IgE total serum (RIST dan PRIST). Positif bila > 200 IU.
o IgE spesifik (RAST).
- Endoskopi nasal: bila diperlukan dan tersedia sarana.
DIAGNOSIS BANDING
- Rinitis akut: ada keluhan panas badan, mukosa hiperemis, sekret mukopurulen..
- Rhinitis medikamentosa (drug induced rhinitis): karena penggunaan
tetes hidung dalam jangka lama, reserpin, klonidin, alfa metildopa,
guanetidin, klorpromasin, dan fenotiasin yang lain.
- Rhinitis hormonal (hormonally induced rhinitis): Pada penderita
hamil, hipertiroid, penggunaan pil KB.
- Rinitis vasomator.
PENYULIT
- Sinusitis paranasal
- Polip hidung.
- Otitis media.
TERAPI
- Hindari alergen penyebab.
- Medikamentosa :
o Antihistamin pada saat serangan: dapat dipakai CTM 3 x 2-4 mg. Untuk
yang non sedatif dapat dipakai: loratadin, setirizin (1X sehari 10
mg) atau fleksofenadin (2X sehari 60 mg). Desloratadine adalah turunan
baru loratadine yang punya efek dekongestan. Antihistamin baru non
sedatif cukup aman untuk pemakaian jangka panjang.
o Kortikosteroid (deksametason, betametason), untuk serangan akut yang
berat. Ingat kontra indikasi. Diberikan dengan tappering off.
o Dekongestan lokal: tetes hidung, larutan efedrin -1%, atau
oksimetazolin 0.025%-0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih
dari seminggu.
o Dekongestan oral: pseudo-efedrin, 2-3 x 30-60 mg sehari. Dapat
dikombinasi dengan antihistamin. (triprolidin + pseudo-efedrin,
setirizin + pseudo-efedrin, loratadin + psedo-efedrin)
o Steroid semprot hidung untuk rinitis persisten sedang berat.
- Pembedahan: apabila ada kelainan anatomi (deviasi septum nasi),
polip hidung, atau komplikasi lain yang memerlukan tindakan bedah.
- Meningkatkan kondisi tubuh:
o Olah raga pagi.
o Makanan yang baik.
o Istirahat yang cukup dan hindari stres.
DAFTAR PUSTAKA
1. International Consensus Report of the Diagnosis and Management of
Rhinitis. International Rhinitis Management Working Group. Mechanisme
of Rhinitis. Allergy 1994;49(Suppl.)7-9.
2. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III
2. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III
HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. I Philadelphia:
JB Lippincott Company. 1993:269-89.
3. Gluckman JL, Stegmeyer RJ. Non allergic rhinitis. In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed.
Vol. III, Head and Neck.. Philadelphia, Londom, Toronto, WB Saunders,
Co, 1991:1889-98.
4. Marshall KG, Attia EL. Disorder of the nose and paranasal sinus.
Massachusetts: PSG Publishing Company, Inc, 1987:195-98.
10. SINUSITIS AKUT BAKTERIAL
Siswantoro, Dwi Reno Pawarti, Bakti Soerarso
BATASAN
Sinusitis paranasal akut merupakan proses infeksi dari mukosa sinus
maksilaris yang akut yaitu kurang dari 4 minggu yang disebabkan oleh
mikroorganisme.
Catatan: 4 minggu 3 bulan maksilaris sub akut
> 3 bulan sinus maksilaris kronis
PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI
Didahului oleh infeksi virus pada rinitis akut, terjadi udim mukosa
pada dan disekitar ostium sinus, diikuti oleh obstruksi ostium yang
akan menyebabkan hipoksi pada rongga sinus. Selanjutnya disfungsi
silia, kemudian terjadi pengentalan dan penumpukan sekret.
Pada skema di bawah ini akan lebih jelas menggambarkan kondisi tersebut:
Sumbatan ostium
Hipoksia
Vasodilatasi Disfungsi silia Disfungsi kelenjar mukus
Transudasi Stagnasi sekret Sekret mengental
BATASAN
Sinusitis paranasal kronik adalah proses keradangan dari mukosa sinus
paranasal yang kronis, yaitu lebih dari 3 bulan.
PATOFISIOLOGI / ETIOLOGI:
Sinusitis paranasal akut dapat menjadi kronik oleh berbagai faktor
yakni faktor alergi, faktor gangguan pada komplek ostio meatal (KOM)
yang mengganggu patensi ostium (deviasi septum nasi, polip nasi, konka
bulosa dan sebagainya). Terjadi perubahan mukosa sinus (penebalan,
degenarasi polip, kista, mukokel). Batasan infeksi dan non infkasi
sering tidak jelas.
Kuman penyebab: Campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman dominan adalah
P. aeruginosa dan kuman anaerob. Pada sinusitis maksila
dentogen kuman anaerob sangat dominan.
GEJALA KLINIK
Gejala utama adalah rinore yang kronik dengan sekret mukopurulen.
Kadang-kadang terjadi sakit kepala. Gejala lainnya adalah buntu
hidung, kadang-kadang terjadi penurunan penciuman dan pengecapan.
Dapat terjadi sekret bercampur darah dari hidung atau sekret yang
turun ke faring (postnasal drip).
DIAGNOSIS
1 Anamnesis seperti di atas.
2 Pemeriksaan
a) Rinoskopi anterior:
(a) Dapat ada sekret muko purulen/kekuningan yang kadang-kadang
bercampur darah, terutama pada meatus medius.
(b) Dapat terjadi polip yang tampak pada meatus medius.
(c) Dapat juga terlihat deviasi septum nasi
b) Rinoskopi posterior: post nasal drip dengan sekret muko purulen,
kadang-kadang bercampur darah.
c) Transiluminasi: pada sinus yang terkena gelap (hanya untuk sinus
maksila dan sinus frontal).
d) Evaluasi untuk adanya latar belakang alergi
Pemeriksaan tambahan:
- Plain foto sinus: penebalan mukosa, perselubungan, atau bentukan
polip/mukokel.
- Nasal endoskopi : melihat rongga hidung dan meatus medius lebih
jelas. Kondisi KOM dapat dievaluasi lebih cermat.
- CT Scan kadang-kadang diperlukan khususnya pada yang unilateral
untuk menyingkirkan kemungkinan malignansi atau bila disiapkan untuk
tindakan pembedahan.
- Pemeriksaan gigi atas untuk mencari kemungkinan penyebab dari gigi (dentogen).
DIAGNOSIS BANDING
- Keganasan
- Sinusitis karena jamur
PENYULIT
- Selulitis orbita
- Abses orbita
- Osteo mielitis
- Abses epidural / subdural
- Meningitis
- Abses otak
- Trombosis sinus kavernosus
PENATALAKSANAAN:
- Terutama menghilangkan faktor penyebab. Untuk patologi di KOM perlu
pembedahan.
- Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) untuk mengembalikan fungsi
drainase dan ventilasi sinus.
- Irigasi sinus maksila (untuk sinusitis maksila).
- Caldwell Luc untuk sinusitis maksila kronik.
- Pemberian antibiotik disesuaikan dengan kuman penyebab, terutama
juga untuk eradikasi kuman penghasil laktamase dan kuman anaerob.
Dapat diberikan amoksisilin, amoksisilin + asam klavulanat,
sefalosporin generasi II/III oral, klindamisin. Bila diperlukan
penambahan metronidazol untuk infeksi kuman anaerob.
Perawatan gigi bila ada penyebab dentogen.
DAFTAR PUSTAKA
1. White JA. Paranasal sinus infections. In: Ballenger JJ. Ed.
Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed.
Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991: 184-202.
2. Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concepts and management. In:
Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery
Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:366-76.
3. Gustafson RO, Bansberg SF. Sinus surgery. In: Bailey BJ and
Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. I
Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:377-87.
4. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Infections of the upper respiratory Tract. In: Harrison's Manual of
Medicine. 15th ed. Boston: McGraw Hill International Edition,
2002:213-5.
5. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious diseases of the paranasal
sinuses. In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL,
eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia,
hebat dan sekret menjadi encer kalau penderita terserang rinitis akut
atau serangan alergi.
- Semua gejala-gejala ini bertambah secara lambat tetapi progresif.
DIAGNOSIS
1 Anamnesis yang cermat dan teliti.
2 Pemeriksaan fisik
i) Inspeksi: dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama pada polip
yang berasal dari sel-sel etmoid.
ii) Rinoskopi anterior: tampak sekret mukus dan polip multipel atau
soliter. Polip kecil sering tak terlihat.
iii) Rinoskopi posterior: kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal.
3 Pemeriksaan tambahan
i) Naso-endoskopi untuk melihat KOM secara cermat, polip kecil dapat terlihat.
DIAGNOSIS BANDING
- Angiofibroma nasofaring juvenilis: tampak seperti polip koanal,
tetapi relatif mudah berdarah.
- Inverted Cell Papilloma: tampak seperti polip multipel, tetapi
biasanya unilateral dan banyak pada orang berusia lanjut.
- Meningokel: biasanya pada bayi atau anak-anak. Polip jarang dijumpai
pada anak-anak maupun bayi.
PENYULIT
Jarang terjadi; kalau ada sebagai akibat tertutupnya ostium sinus
paranasal atau ostium tuba yakni polip dalam sinus paranasal,
sinusitis paranasal atau otitis media.
TERAPI
Terapi kausal belum ada.
Yang dilakukan adalah:
Untuk polip kecil dapat diberikan terapi medikamentosa dulu:
antibiotik, steroid oral atau intra-nasal.
Untuk polip yang besar/multipel
- Ekstraksi polip intranasal
- Terapi dari sudut alergi kalau ada latar belakang alergi.(lihat
Rinitis alergi).
- Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
- Operasi Caldwell-Luc kalau polip mengisi sinus maksilaris
- Semprot hidung steroid intranasal (Mometason, Triamsinolon,
Flutikason, dsb) pasca bedah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III
HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. I Philadelphia:
GEJALA KLINIK
Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan
arah perluasannya.
- Gejala hidung
Buntu hidung unilateral dan progresif, terutama pada tumor di rongga
hidung. Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
Sekret hidung bervariasi. Purulen dan berbau bila ada infeksi. Sekret
yang bercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan
keganasan. Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh
gangguan ventilasi sinus. Sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan
progresif umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.
- Gejala lokal masing-masing sinus
Sinus maksila
Pertumbuhan tumor lebih lanjut dapat menyebabkan:
- Pembengkakan pipi.
- Pembengkakan palatum durum.
- Geraham ataas goyah, maloklusi gigi.
- Gangguan mata bila tumor masuk orbita.
Sel-sel etmoid.
- Masuk ke orbita melalui lamina papirasea, mendesak bola mata, terjdi
diplopi, dan penurunan visus.
- Pendesakan ke arah depan menyebabkan benjolan pada pangkal hidung.
Sinus frontal
- Pendesakan ke depan menyebabkan benjolan pada dahi.
- Ke orbita menyebabkan diplopi, gangguan visus.
Sinus sfenoid
- Pertumbuhan ke arah nasofaring, benjolan terlihat pada rinoskopi
posterior (RP).
- Pendesakan ke retrobulbair, menyebabkan prostrusio bulbi dan
penurunan visus, dan gangguan gerakan bola mata.
DIAGNOSIS
- Anamnesis yang cermat terhadap keluhan-keluhan di atas.
- Pemeriksaan
Inspeksi terhadap dahi, mata, pipi, geraham dan palatum.
Palpasi terhadap tumor yang tampak dan kelenjar leher (bila ada).
Rinoskopi anterior untuk mengevaluasi tumor di dalam rongga hidung.
Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring.
Pemeriksaan THT lainnya menurut keperluan.
- Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan radiologi :
X-foto posisi Water: untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus
maksilaris, dan sinus frontal. Kranium lateral : untuk melihat
ekstensi ke fosa kranii anterior/media.
CT SCAN: untuk mengetahui lebih tepat perluasan tumor.
Biopsi:
Biopsi dengan forsep Blakesley dilakukan pada tumor yang tampak.
Tumor di dalam sinus maksilaris dibiopsi dengan pungsi melalui meatus
nas inferior. Untuk tumor kecil di dalam rongga sinus maksila atau
rongga hidung dapat dilakukan menggunakan antroskopi atau
naso-endoskopi. Tumor jinak langsung dilakukan operasi. Untuk
kecurigaan terhadap keganasan, bila perlu dapat dilakukan potong beku.
TERAPI
Tumor jinak: Terapi pembedahan.
Beberapa macam pembedahan antara lain:
- Rinotomi lateral
- Caldwell-Luc
- Pendekatan trans paltal
Tumor ganas:
Pembedahan:
Reseksi:
- Rinotomi lateral
- Maksilektomi partial/total
- Dapat dengan kombinasi eksenterasi orbita
Paliatif: mengurangi besar tumor (debulking), sebelum radiasi.
Radiasi:
- Dilakukan bila operasi kurang radikal atau residif.
- Pra bedah pada tumor yang radio sensitif (misal: tumor sangat
besar/inoperable, metastasis jauh, kombinasi dengan radiasi).
Kemoterapi: sebagai terapi tambahan pada pembedahan dan radiasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Miller RH. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In:
Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck.
14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991: 109-18.
2. Krespi YP, Levine TM. Tumors of the nose and paranasal sinuses. In:
Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds.
Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck.. Philadelphia, London,
Toronto, WB Saunders, Co, 1991:1938-58.
3. Myers EN, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses.
In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck surgery
DIAGNOSIS BANDING
Difteri tonsil: pseudo membran putih keabuan, melekat, bila dilepas
timbul pendarahan, meluas keluar dari tonsil. Didapati udim perifokal
kelenjar leher (Bull Neck)
Leukemia, agranulositosis, mononukleosis
PENYULIT
Lokal: Peritonsilitis, abses peritonsil, abses parafaring, otitis
media akut, laring, rinosinusitis, infeksi leher dalam
Sistemik: Bila penyebabnya S. pyogenes, dapat terjadi
glomerulonefritis akut, demam rematik, rematoid artritis, endokarditis
bakterial subakut, septikimia
Penatalaksanaan:
Istirahat, makan lunak, minum hangat
Obat kumur (Gargarisma Kan)
Analgesik/antipiretik: parasetamol 3-4 x 500 mg, 3-5 hari
(anak-anak: 10 mg/kg BB/dosis, 3-4 x sehari)
Antibiotika (pada tonsilitis karena Streptococcus):
fenoksimetil penisilin 4 x 500 mg/hari, 5-10 hari
(anak-anak: 7,5-12,5 mg/kg BB/dosis, 4 x sehari)
Bila alergi terhadap penisilin dapat diganti makrolid (eritromisin,
spiramisin, azitromisin). Eritromisin 4 x 500 mg/hari, 5-10 hari
(anak-anak: 12,5 mg/kg BB/dosis, 4 x sehari)
Penyembuhan: 5-7 hari.
Pada Penyulit abses peritonsil:
Pungsi, insisi dan pemberian antibiotik seperti di atas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ballenger JJ. Diseases of the oropharynx. In: Ballenger JJ, ed.
Diseases of the nose, throat, ear and neck. 14th ed. Philadelphia,
London: Lea & Febiger, 1991:243-58.
2. Brodsky L. Tonsillitis, tonsillectomy and adenotonsillectomy. In:
Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery
Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:833-47.
3. Kornblut AD. Non-neoplastic disease of the tonsils and adenoids.
In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds.
Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia, London,
Toronto, WB Saunders, Co, 1991:2129-47.
17. LARINGITIS AKUT NON SPESIFIK
Sardjono Soedjak, Sri Herawati, Siswantoro
BATASAN
Laringitis akut adalah infeksi akut pada mukosa laring. Infeksi ini
pada umumnya merupakan kelanjutan dari rhinitis akut atau
nasofaringitis akut.
Walaupun epiglotis termasuk laring, batasan ini tidak untuk epiglotitis akut.
ETIOLOGI
Penyebab utama adalah: Virus
Kuman penyebab infeksi sekunder: H influenzae, S. pneumoniae, S.
aureus dan Pneumococcus.
PATOFISIOLOGI
Laringitis akut ini sering terjadi pada anak usia di bawah 5 tahun dan
sering menyebabkan sumbatan jalan napas atas.
Terjadi dilatasi kapiler, infiltrasi lekosit pada mukosa dan submukosa
dengan lebih banyak sel mononuklear pada awal infeksi tetapi bila
terjadi infeksi sekunder akan lebih banyak sel polimorfonuklear.
Mukosa laring tampak hipermi dan udim.
DIAGNOSIS
- Didapatkan gejala panas badan (subferil: 38,5oC), malaise, batuk dan pilek.
- Kemudian diikuti suara membesar, kemudian parau sampai afoni (tidak
ada suara sama sekali)
- Nyeri menelan atau berbicara
- Gejala sumbatan jalan napas atas, terutama pada anak.
PEMERIKSAAN FISIK
- Suara parau sampai afoni
- Panas badan subfebril
- Gejala sumbatan jalan napas atas:
* Stridor inspirasi
* Sesak saat inspirasi
* Retraksi supravikula, interkostal, epigastrial
- Pemeriksaan laringoskopi indirekta / direkta didapatkan
* Mukosa laring dan korda voklais hiperemi dan udim
* Rima glotis sempit (terutama pada anak)
PENYULIT
Lebih sering terjadi pada anak, dapat berupa:
Sumbatan jalan napas atas
- Trakeitis
- Bronkitis
- Pneumoni
TERAPI
- Istirahat, khususnya istirahat bicara
- Terapi simptomatis analgetik-antipiretik untuk panas badan dan nyeri menelan
- Ekspektoran untuk batuk dan mengencerkan lendir
- Humidifikasi dalam ruangan yang sejuk . dingin
- Amoksisilin diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.
Laringittis Akut Non Spesifik Pada Anak
Sering menyebabkan sumbatan jalan napas atas dan dapat berakibat fatal, karena:
- Rima glotis "sempit", bila korda vokalis udim, rima glotismenjadi lebih sempit
- Banyak jaringan ikat kendor pada daerah supra/subglotis.
TERAPI
- Kortikosteroid: deksametason 0,1-0,2 mg/kgBB/hr p.o
- Amoksisilin 4 x 25 mg/kgBB/hr p.o
- Obat diberikan selama 5 10 hari
Bila ada gejala sumbatan jalan napas atas:
- Berikan oksigen
- Kortikosteroid: deksametason 0,3 mg/KgBB i.m.
- Kalau masih sesak diulang 1 jam kemudian berturut-turut sampai3
kali. Kalau tidak ada kemajuan dilakukan trakeotomi.
- Stoom uap air untuk mengencerkan lendir dengan kelembaban tinggi.
- Infus dan antibiotika.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bastian RW. Acute inflamatory diseases of the larynx. In: Ballenger
JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed.
Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:605-15.
2. Fried MP, Shapiro J. Acute and chronic laryngeal infections. in:
Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds.
Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia, London,
Toronto, WB Saunders, Co, 1991:2245-56.
3. Feehs RS, Koufman JA. Laryngitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III
HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. I Philadelphia:
JB Lippincott Company. 1993:612-19.
4. Pedoman diagnosis dan terapi Lab / UPF Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung dan Tenggorok 1994. RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
18. NODUL VOKAL
Sardjono Soedjak, Sri Herawati, Siswantoro
BATASAN
DIAGNOSIS BANDING
Nodul vokal
PENATALAKSANAAN:
- Dalam keadaan sesak, dilakukan trakeotomi.
- Ekstraksi tumor melalui Bedah Laring Mikroskopik (BLM).
- Kanul trakea dipakai terus sampai pertumbuhan berhenti minimal 6
bulan atau bila anak telah berusia lebih dari 8 tahun karena hampir
selalu residif.
- Kontrol setiap 1-2 bulan secara teratur.
- Bila residif, dilakukan ekstraksi lagi melalui BLM.
- Keluarga dilatih dalam perawatan kanul dan disadarkan penting
kontrol secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaiser TN, Spector GJ. Tumor of the larynx and laryngopharynx. In:
Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck.
14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991: 682-746.
2. Shapshay SM, Rebeiz EE. Benign lesions of the larynx In: Bailey BJ
and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology
Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:630-43.
3. Thawley SE. Cyst and tumor of the larynx. in: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed.
Vol. III, Head and Neck. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders,
Co, 1991: 2307-70.
20. BENDA ASING JALAN NAPAS
(Laring, Trakea, Bronkus)
Sardjono Soedjak, Sri Herawati, Siswantoro
BATASAN
Benda asing jalan napas adalah benda asing yang secara tidak sengaja
terhirup masuk ke jalan napas (laring, trakea, bronkus).
PATOFISIOLOGI
Sering terjadi pada anak-anak dibawah 6 tahun yang pertumbuhan
gerahamnya belum terbentuk sempurna.
Jenis benda asing: kacang, kecik, sempritan mainan dll.
Masuknya benda asing ke dalam laring/trakea/bronkus terjadi ketika
benda berada di dalam mulut penderita, penderita menghirup napas
(inspirasi) dengan mulut terbuka (waktu tertawa atau menangis),
sehingga benda tersebut terhisap masuk kedalam laring/trakea/bronkus.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis:
- Pada awalnya timbul batuk mendadak, hebat, bertubi-tubi dan dapat
sampai biru (sianosis). Kemudian diikuti dengan fase tenang, tidak
batuk, sebab benda asing berhenti pada salah satu cabang bronkus. Bila
"lepas", dapat timbul batuk-batuk lagi.
- Sesak napas terjadi bila ada penyumbatan pada laring atau trakea.
- Anamnesis yang cermat, sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
2. Pemeriksaan fisik:
- Kadang-kadang tidak dapat ditemukan gejala yang jelas.
- Bila ada penyumbatan jalan napas atas, tampak:
Gelisah
Sesak
Stridor inspirasi
Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrial, supra sternal.
Biru (sianosis).
- Bila benda asing berhenti pada salah satu cabang bronkus:
Gerak napas satu sisi berkurang
Suara napas satu sisi berkurang
- Pada fase tenang, mungkin gejala tersebut di atas tidak ada.
3. Pemeriksaan tambahan:
- X-foto dada, hanya dikerjakan pada kasus-kasus tertentu, karena bila
masih baru dan bendanya non radio opaque, sering tidak tampak
kelainan.
DIAGNOSIS BANDING
- Laringitis akut.
- Trakeitis
- Bronkitis
- Pneumoni
- Asma bronkial: didapatkan stridor ekspiratoir, wheezing.
PENYULIT
- meninggalPenyumbatan total laring/trakea
- Bronkitis
- Pneumoni
- Emfisema, terjadi bila timbul check valve mechanism, di mana udara
dapat masuk tetapi tidak dapat keluar.
- Atelektasis, terjadi bila timbul penyumbatan total pada salah satu
cabang bronkus.
TERAPI
- Ekstraksi benda asing melalui bronkoskopi. Bila tidak tersedia
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
- Tertelan sesuatu
- Terasa ngganjel pada tenggorok
- Sakit/sulit waktu menelan
- Muntah bila ada obstruksi total
2. Pemeriksaan fisik:
- Pada pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, tak ditemukan kelainan yang khas.
3. Pemeriksaan tambahan:
- Tes minum:
Obstruksi total (biasanya pada benda asing daging): muntah.
Sebagian (biasanya benda asing uang logam): masih dapat minum sedikit-sedikit.
- Pemeriksaan X-foto:
Dibuat foto leher-toraks-abdomen AP (anak-anak) atau foto leher
AP/lateral (dewasa/orang tua) bila benda asing radio-opaque. Foto
leher ini harus dibuat sebab sebagian besar (>90%) benda asing
berhenti pada daerah krikofaring (just bellow cricopharynx).
Dibuat foto esofagus dengan kontras (barium + kapas), bila benda
asing tidak radio-opaque dan kecil.
Untuk benda asing daging, tidak perlu dibuat foto.
DIAGNOSIS BANDING
- Faringitis akut.
- Esofagitis.
PENYULIT
- Dehidrasi.
- Lesi esofagus.
- Perforasi esofagus, dengan tanda-tanda: pendarahan, nyeri dada
krepitasi dan febris.
- Infeksi, sepsis, terutama pada penderita diabetes melitus.
TERAPI
- Dipersiapkan esofagoskopi yang bersifat urgent dengan pembiusan umum
untuk diagnosis pasti dan sekaligus ekstraksi benda asing.
DAFTAR PUSTAKA.
1. Thompson JN, Browne JD. Caustic ingestion and foreign bodies in the
aerodigestive tract. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head
and Neck Surgery Otolaryngology Vol. I. Philadelphia: JB Lippincott
Company. 1993:725-37.
- Pemeriksaan leher:
Inspeksi: teutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring dan tiroid.
Palpasi: untuk memeriksa pembesaran pada membran krikotiroid atau
tirohioid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laringeal.
Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dan
keras. Memeriksa ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening leher.
3. Pemeriksaan tambahan:
Pemeriksaan radiologik:
- X-foto leher AP dan Lateral (jaringan lunak).
- Tomogram laring atau CT Scan (bila tersedia fasilitas).
Biopsi:
Biopsi dilakukan dengan LI, LD, atau melalui bedah laring mikroskopik (BLM).
PENENTUAN STADIUM
Tumor supraglotik
T1 = Tumor terbatas di supraglotik, gerakan pita suara normal.
T2 = Tumor keluar dari supraglotik, tanpa fiksasi.
T3 = Tumor masih terbatas di laring dengan fiksasi dan/atau ekstensi
tumor ke pos-krikoid, sinus piriformis atau daerah epiglotis.
T4 = Tumor sudah keluar laring, mengenai orofaring, jaringan lunak
leher, atau merusak tulang rawan tiroid.
Tumor glotik
T1 = Tumor terbatas di korda vokalis, gerakan normal.
T2 = Ekstensi ke supraglotik/subglotik dengan gerakan normal, atau
sedikit terganggu.
T3 = Tumor terbatas di laring dengan fiksasi korda vokalis.
T4 = Tumor masif dengan kerusakan tulang rawan tiroid dan/atau
ekstensi keluar laring.
Tumor subglotik
T1 = Tumor terbatas di daerah subglotik.
T2 = Mengenai korda vokalis dengan gerakan normal atau sedikit terganggu.
T3 = Tumor terbatas pada laring, dengan fiksasi korda vokalis.
T4 = Tumor masif dengan kerusakan pada tulang rawan atau ekstensi keluar laring.
M0 = Belum ada metastasis jauh.
M1 = Metastasis jauh.
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1-3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 M0
T1-4 N2-3 M0
T1-4 N0-3 M0
T1-4 N0-3 M1
DIAGNOSIS BANDING
Tuberkulosis laring
Tumor jinak laring (papiloma, kista, polip).
Nodul vokal.
TERAPI
Trakeotomi:
Dilakukan pada penderita yang mengalami sesak napas.
Pembedahan:
- Laringektomi parsial (LP
- Laringektomi total (LT)
Dapat dikombinasi dengan:
Deseksi leher fungsional (DLF).
Deseksi leher radikal (DLR).
Radioterapi dan kemoterapi:
Stadium I : Radiasi, bila gagal, diteruskan dengan tindakan
pembedahan (LP/LT).
Stadium II : LP/LT.
Stadium III: dengan/tanpa N1: LT dengan/tanpa DLF/DLR, diikuti radiasi.
Stadium IV: tanpa N/M: LT + DLF diikuti radiasi
Stadium IV lainnya: radioterapi dan kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lane M, Donovan DT. Neoplasms of the head and neck. In: Calabresi
P, Schein PS. Eds. Medical Oncology. 2nd ed New York: Mc Graw Hill,
Inc. 1993:565-92.
2. Thawley SE. Cyst and tumours of the larynx. I2307-70n: Paparella
NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd
ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia, London, Toronto, WB
Saunders, Co, 1991: 2307-70.
3. Kaiser TN, Spector GJ. Tumor of the larynx and laryngopharynx. In:
Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck.
14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991: 682-746.
4. Fried MP, Girdhar-Gopal HV. Advance cancer of the larynx. In:
Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery
Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:1347-60.
5. DeSanto LW. Supraglottic laryngectomy. In: Bailey BJ and Pillsburry
III HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. I
Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:1334-46.
23. KARSINOMA NASOFARING
-Shigenoi Haruki