Anda di halaman 1dari 9

J Kedokter Trisakti

Vol. 23 No. 4

Budaya persalinan Suku Amungme


dan Suku Kamoro, Papua
Qomariah Alwi, Lannywati Ghani dan Delima
Badan Penelitian Kesehatan dan Pengembangan Departemen Kesehatan R.I.

ABSTRAK
Hasil Survei Cepat Papua tahun 2001 menunjukkan angka kematian ibu Kabupaten Mimika sebesar 1.100
per 100.000 kelahiran hidup. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang penanganan persalinan
yang bukan ditolong oleh petugas kesehatan. Studi potong silang dilakukan pada 204 ibu pasca persalinan
(antara seminggu sampai 1 tahun), di antaranya lima orang ibu yang persalinannya tidak dengan petugas kesehatan
dilakukan indepth studi. Tiga lokasi penelitian yaitu di Kota Timika dan dua desa yang berada sekitar Kota
Timika. Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif dengan wawancara terstruktur, dan kualitatif dengan
wawancara mendalam dan observasi di rumah responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir separuh
ibu melahirkan tidak ditolong petugas kesehatan. Bagi ibu yang melahirkan di rumah, persalinan dilakukan di
kamar mandi, kamar tidur, dan bawah rumah. Persalinan dilakukan sendiri tanpa pertolongan, dengan bantuan
keluarga perempuan atau dukun, dilakukan dengan cara-cara yang membahayakan kesehatan ibu dan bayi.
Perilaku ibu masih kuat didasari oleh beberapa tema budaya yang merugikan kesehatan ibu antara lain:
menganggap urusan persalinan adalah sepenuhnya urusan kaum perempuan, peristiwa persalinan adalah sesuatu
yang menjijikkan dan membawa penyakit berbahaya bagi laki-laki dan anak-anak, dan ibu yang meninggal
waktu persalinan karena kutukan tuan tanah (teheta).
Kata kunci : Budaya, persalinan, Suku Amungme, Kamoro

Delivery culture of Amungme and Kamoro tribes, Papua


ABSTRACT
Papua Quick Survey 2001 showed that maternal mortality rate (MMR) in Mimika District was 1,100 per
100,000 live births. The objective of the study is to get information about tradition of childbirth management of
Amungme and Kamoro tribes, Papua. A cross sectional study was conducted in Timika and two villages near
Timika (suburban) included 204 mothers. Data were collected quantitatively using structured questionnaire,
and qualitatively by in depth interview and observation. This study shows that nearly half of the mothers do
their delivery at home, in bath room, kitchen, or beneath their house. The delivery was done by herself, by
female families or traditional birth attendants, and the ways of delivery management could be dangerous for the
mothers and babies. Some cultural themes covering the delivery management behaviour are disadvantages for
mothers health such as: delivery is fully female matter, delivery as a disgusting thing that must be done in a hide
place because it can spread diseases to men and children, mother death in delivery process is caused by the
anger of teheta (evil, soul).
Keywords : Culture, delivery, indigenous people, Amungme tribes, Kamoro

141

Alwi, Ghani, Delima

LATAR BELAKANG MASALAH


Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 1999 angka kematian ibu
(AKI) besarnya 373 per 100.000 kelahiran hidup
(KH),(1) dan menurut Survei Kesehatan Nasional
(Surkesnas) tahun 2003 sebesar 461 per 100.000
KH.(2) Dibandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya AKI Indonesia masih sangat tinggi, AKI
Malaysia 20 per 100.000 KH, Srilangka 42 per
100.000 KH pada tahun 1996.(3) Di Papua, menurut
hasil Survei Cepat Papua tahun 2001, AKI di
Propinsi Papua besarnya 750 sampai 1300 per
100.000 kelahiran hidup, khusus Kabupaten
Mimika besarnya 1.100 per 100.000 KH.(4)
Untuk menekan tingginya AKI, pemerintah
Indonesia melakukan berbagai upaya antara lain
mendidik tenaga bidan sebanyak 54.956 yaitu
lulusan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK)
ditambah satu tahun pendidikan bidan untuk
ditempatkan di setiap desa.(5) Dengan demikian
jumlah tenaga bidan di Indonesia mencapai 65.000
orang merupakan jumlah tenaga bidan yang paling
banyak di dunia dalam satu negara.
Kabupaten Mimika adalah lokasi kontrak kerja
perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar
yang mulai beroperasi di dataran tinggi puncak
Eastberg dan Grassberg pegunungan bersalju sejak
tahun 1967. Kehadiran PT Freeport Indonesia (PT
FI) di Kabupaten Mimika mempunyai misi
mensejahterakan penduduk asli dengan berbagai
program kesehatan masyarakat yang gratis,
memberi lapangan kerja, dan sebagainya. Pada
mulanya program kesehatan masyarakat PT FI
terfokus pada penyakit malaria dengan Malaria
Control, namun kemudian berubah menjadi Public
Health & Malaria Control.(6,7) Dibangunnya rumah
sakit dan klinik gratis untuk penduduk asli kadangkadang membuat iri penduduk pendatang.
Upaya-upaya pemerintah dan Public Health
& Malaria Control Department PT FI belum
berhasil menekan AKI penduduk asli, ini terlihat
dari hanya 26% ibu-ibu melakukan persalinan
dengan petugas kesehatan.(4) Berbagai fenomena
muncul dengan adanya pertambangan PT FI
142

Budaya persalinan Papua

tersebut yaitu pertama memandang para pendatang


yang membangun tersebut sebagai pembawa
kemajuan, pembaharu serta produsen, kedua
pendatang tersebut sebagai penghancur, perusak dan
perampas.(8) Sumber lain mengatakan bahwa Suku
Amungme mempercayai penggalian batu tambang
merupakan proses pembunuhan ibu kandung atau
penghancuran tubuh mama, oleh karena itu banyak
ibu-ibu yang mengalami kesulitan dalam persalinan
sehingga bayi-bayi yang dilahirkan cacat dan mati.
Mereka juga meyakini bahwa pertambangan itu
membuat generasi muda terancam menderita
berbagai macam penyakit pencernaan dan
pernapasan.(9)
Suku Amungme adalah penduduk asli suku
gunung atau pedalaman yang terbanyak di
Kabupaten Mimika, sedangkan Suku Kamoro
adalah penduduk asli suku pantai yang terbanyak
di Kabupaten Mimika. Meskipun sudah pindah atau
dipindahkan ke pemukiman baru di Timika dan
desa-desa baru sekitar Timika, kedua suku ini masih
sulit bersatu dalam satu area dikarenakan perbedaan
sejarah dan prinsip. Penelitian ini dilakukan
terhadap kedua suku tersebut pada desa-desa yang
berbeda.(10)
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang budaya penatalaksanaan
persalinan ibu Suku Amungme dan Kamoro.
METODE
Rancangan penelitian
Rancangan penelitian adalah studi potong
silang (cross sectional) dengan pengambilan data
secara kuantitatif dan kualitatif.
Sampel
Responden adalah ibu pasca persalinan (antara
satu minggu sampai satu tahun) baik ditolong oleh
petugas kesehatan ataupun tidak. Sebanyak 99 ibuibu Suku Amungme dan 105 ibu-ibu Suku Kamoro
merupakan sampel penelitian ini. Responden dipilih
dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah
sepanjang ada ibu pasca persalinan dengan kriteria
seperti tersebut di atas.

J Kedokter Trisakti

Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara menggunakan kuesioner. Kuesioner
mencakup karakteristik responden (umur, tempat
tinggal, pendidikan, pendidikan suami, pekerjaan,
pekerjaan suami), frekuensi persalinan, jumlah
anak, anak meninggal, lokasi persalinan, dan ruang
tempat bersalin bagi ibu yang melakukan persalinan
tidak dengan petugas kesehatan. Untuk data
kualitatif dilakukan dengan cara wawancara
mendalam menggunakan informan inti (subyek)
sebanyak lima orang ibu (dua ibu Suku Amungme
dan tiga ibu Suku Kamoro) yang baru melakukan
persalinan satu hari sampai satu minggu. Ibu ini
adalah yang melakukan persalinan tidak ditolomg
petugas kesehatan (di rumah sendiri atau di rumah
dukun). Ada tiga fokus pertanyaan dalam
wawancara mendalam, yaitu : (i) personil atau orang
yang membantu persalinan tersebut, (ii) lokasi atau
tempat dilaksanakannya persalinan, dan (iii)
tindakan atau tahap-tahap dalam penatalaksanaan
persalinan tersebut. Untuk melengkapi data
kualitatif ini, peneliti melakukan pengamatan
dengan mengunjungi subyek sesegera mungkin
setelah persalinan dilakukan. Dengan cara itu
peneliti dapat mengamati kondisi responden dan
bayinya, kondisi ruangan atau tempat bekas
dilaksanakannya persalinan beserta lingkungannya.
Informan pendukung data kualitatif ini adalah dukun
atau personil yang berkaitan dengan penanganan
persalinan, bidan, perawat, dokter, dan kader
kesehatan.
Analisis data
Data kuantitatif dianalisis dengan program
SPSS-PC versi 10.0 dan disajikan dalam bentuk
tabel menggunakan analisis persen. Data kualitatif
dianalisis dan disajikan dalam bentuk tekstular.

Vol. 23 No. 4

mereka karena tidak tahu pasti tanggal bulan bahkan


tahun kelahirannya (Tabel 1).
Jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh
responden besarnya 745 orang dari sejumlah
responden 204 orang. Ini berarti bahwa rata-rata
responden pernah melahirkan 3-4 orang anak. Di
antaranya anak yang masih hidup sebanyak 598
orang anak (80,2%), dan jumlah anak yang sudah
meninggal saat penelitian dilaksanakan adalah
sebanyak 147 orang (19,7%). Suku Kamoro lebih
banyak mempunyai anak meninggal (20,9%)
dibandingkan dengan Suku Amungme (18,1%)
(Tabel 2).
Tabel 1. Distribusi kelompok usia (tahun)
berdasarkan suku

Tabel 2. Distribusi status anak berdasarkan suku

Tabel 3. Distribusi tingkat pendidikan


berdasarkan suku

HASIL
Responden terbanyak berada pada kelompok
umur 20-29 tahun, 63 (63,5%) pada Suku
Amungme dan 73 (69,5%) Suku Kamoro.
Kebanyakan responden hanya mengira-ngira umur
143

Alwi, Ghani, Delima

Tabel 3 menunjukkan tidak seorangpun yang


menamatkan perguruan tinggi, dan hanya 0,9 - 3%
responden yang tamat SMA. Sebanyak 71,7%
responden yang tidak pernah bersekolah berasal dari
Suku Amungme dan hanya 2,9% dari Suku
Kamoro. Responden yang tamat SD lebih banyak
pada Suku Kamoro (48,5%) dibandingkan dengan
Suku Amungme (12,1%).
Pekerjaan responden sehari-hari adalah
meramu yang di sini dikategorikan sebagai petani
atau nelayan. Mayoritas responden Suku
Amungme dan Kamoro bekerja sebagai petani,
masing-masing sebesar 81 (81,8%) dan 79
(75,2%). (Tabel 4)

Tabel 4. Distribusi pekerjaan responden


berdasarkan suku

Tabel 5. Distribusi lokasi persalinan di rumah


berdasarkan suku

Sebanyak 97 (47,5%) ibu melahirkan di rumah.


Tabel 5 menunjukkan sebanyak 14 (70,0%) Suku
Amungme melakukan persalinan di kamar mandi,
dan Suku Kamoro hanya 17,53%. Kebalikannya,
mayoritas responden Suku Kamoro melakukan
persalinan di kamar tidur 64 (83,1%). Sebanyak
10 (13,0%) Suku Kamoro masih melakukan
persalinan di bivak, sedangkan Suku Amungme
sudah tidak ada lagi (0,00%). Bivak adalah
144

Budaya persalinan Papua

semacam tempat darurat untuk tinggal sementara,


terbuat dari bambu atau kayu dan atap rumbia,
terletak di luar desa, belakang rumah atau bawah
rumah. Penduduk Suku Amungme menyebutnya in
jagatian eamo deyagan taiye dan letak tempat ini
di hutan jauh di luar kampung.(11)
Dari sebanyak 97 ibu yang melahirkan di
rumah (tidak ditolong petugas kesehatan) diambil
5 orang ibu yang baru melahirkan selama masa
penelitian ini untuk dilakukan in depth interview
dan observasi. Lima orang ibu tersebut diambil
sebagai subyek untuk pengambilan data kualitatif.
Ibu DA Suku Amungme menceritakan proses
persalinannya sebagai berikut: Saya mulai sakit
perut pukul 03.00 sore, saya belum pasti apakah
ini sakit perut biasa ataukah sudah mau melahirkan.
Suami tidak ada dirumah sudah 2 minggu ke WaaBanti di pegunungan. Adik saya YA yang juga
tinggal di rumah ini belum mempunyai anak,
sehingga tidak dapat saya harapkan untuk dimintai
pendapat dalam hal bantuan persalinan. Klinik
memang dekat dengan rumah saya yaitu kira-kira
400 meter, dibuka sampai pukul 04.00 sore, tetapi
saya tidak dapat memutuskan untuk pergi ke sana
atau minta bantuan dari sana. Saya tidak
mempunyai uang, meskipun saya tahu klinik itu
tidak membayar, tetapi saya tidak berani tanpa
pesetujuan suami. Saya pikir selama ini sudah empat
kali persalinan saya belum pernah minta bantuan
petugas kesehatan, ibu saya yang membantu saya
atau saya atasi sendiri. Akhirnya kali inipun saya
putuskan untuk mencoba lagi tangani sendiri dengan
bantuan YA yang menunggu di luar kamar mandi.
Setelah menghidupkan api di dapur, saya
menyiapkan daun pisang, silet dan kain-kain yang
bersih diletakkan di pinggir bak air. Ketika makin
sakit, kaki saya gemetar, cairan keluar. Dan ketika
rasanya makin dekat, saya masuk ke kamar mandi,
pintu saya tutup tetapi tidak saya kunci dan
berjongkok di kloset. Setelah tiga atau empat kali
mengedan, bayi pun keluar ke alas daun pisang dan
kain, bayi mulai menangis. Saya duduk bersandar
lemas di dinding kamar mandi, menunggu ajakan
mengedan lagi untuk mengeluarkan ari-ari, sambil
memandang bayiku. Setelah semua keluar, saya
memotong tali pusat dengan silet sepanjang

J Kedokter Trisakti

sejengkal, darah yang keluar dari potongan itu saya


tekan dengan tangan saya beberapa lama. Setelah
darah agak berkurang, ujung tali pusat saya
bungkus dengan potongan/sobekan kain yang sudah
saya siapkan. Saya mengelap bayi, membungkusnya
dan saya panggil adik saya yang menunggu di depan
pintu kamar mandi. Adik saya membawa bayi ke
kamar, sayapun membersihkan diri lalu berjalan
perlahan-lahan ke kamar.
Ibu JS Suku Amungme menceritakan peristiwa
ini dengan sedikit berbeda sebagai berikut: Tidak
ada orang lain di rumah selain saya, suami dan anakanak pada malam itu. Setelah menghidupkan api,
suami saya menunggu saya di ruang tengah. Saya
menangani persalinan sendiri di kamar mandi yang
dialasi dengan kain-kain. Setelah ari-ari keluar, saya
potong tali pusatnya dengan silet yang baru, lalu
saya panggil suami saya untuk mengambil bayi.
Suami saya mengambil petatas yang sedang dibakar,
lalu ditutupkannya ke ujung tali pusat bayi sampai
darahnya berhenti.
Pengamatan terhadap ibu KM Suku Kamoro
yang bertempat tinggal di Hiripao Mapurujaya
menunjukkan di bagian sudut bawah rumah KM di
pasang segi empat dinding triplek darurat, yang
dalam kunjungan-kunjungan sebelumnya dinding ini
tidak ada. Tumpukan kayu api yang sedang di bakar
di bagian belakang rumah dekat dinding tersebut.
Asapnya tidak hanya menyelusup ke bawah rumah,
tetapi juga sampai ke atas rumah KM.
Ibu JS melakukan persalinan di kamar mandi
dan dapur. Hasil pengamatan adalah sebagai
berikut: di lantai dapur, terlihat tumpukan kayu
bakar yang masih berasap meski apinya tidak
menyala lagi, juga tumpukan daun pisang yang
masih baru. Kamar mandi (tempat dilakukan
persalinan) tidak berfungsi sebagai kamar mandi
lagi, tidak ada air dalam bak dan bak menjadi
tempat menyimpan sisa bahan bangunan. Di
bagian kloset yang masih basah ada sebuah
baskom hitam besar yang berisi air dan pakaian
kotor. Di dapur yang hitam berasap, ada mangkok
plastik berisi ubi bakar dan panci berisi rebus daun
gedi bercampur potongan tempe. Dalam kamar
tidur ada selembar kasur yang sudah tipis dan di
ruang tamu, hanya ada selembar tikar tempat kami
duduk.

Vol. 23 No. 4

PEMBAHASAN
Sebanyak 97 (47,5%) ibu melakukan
persalinannya di rumah. Ibu-ibu kedua suku Papua
ini melakukan persalinan di rumahnya dan ruangan
yang dipakai adalah kamar mandi, dapur, dan bivak.
Ruangan tersebut tidak memenuhi syarat dan tidak
terjamin kebersihannya sehingga sangat
memungkinkan terjadi komplikasi infeksi pada ibu
dan bayi. Ibu mulai berada di dalam ruangan yang
sempit dan lembab pada awal kala 2 sampai akhir
kala 3 yaitu sekitar 40 menit sampai dengan dua
jam. Luka-luka perdarahan yang terjadi dalam
proses persalinan, sangat rentan untuk terjadinya
infeksi pada ibu dan bayi. Rasa pasrah dan tidak
waspada dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan
dan ekonomi, membuat mereka tetap memilih cara
seperti itu. Bahkan untuk persalinan yang tak
terduga, sering terjadi di atas pasir di pinggir pantai
atau di atas rumput di pinggir hutan lokasi meramu
dengan beratapkan pohon, beralaskan rumput,
dinding semak belukar.(12)
Ibu-ibu Suku Amungme yang melakukan
persalinan di rumah dibantu oleh ibu kandung, ibu
mertua, tetangga, teman yang dianggap sudah
berpengalaman, atau tanpa bantuan siapapun. Hal
ini disebabkan budaya atau kebiasaan keluarga yang
memberikan contoh sehingga tidak merasa takut
lagi. Bahkan ada rasa malu bila tidak berani
mengikuti cara itu, dan dapat dianggap melanggar
budaya.
Suku Kamoro mempunyai dukun yang sudah
dikenal baik, kekeluargaan, ramah, hangat, tidak
formal, dan tidak perlu memikirkan pembayaran
hanya saling pengertian. Pelayanan diberikan
sampai kepada hal-hal yang bersifat pribadi dan
spritual termasuk perawatan bayi dan obat-obatan.
Keengganan mereka ditolong oleh bidan atau
petugas kesehatan lain di rumah sakit, puskesmas,
klinik, karena ada perasaan malu, segan, tegang,
kesan dingin/kaku, takut dimarahi karena tidak
punya uang, dan bidan tidak merawat bayi.(13)
Pada penanganan proses persalinan, setelah
ari-ari keluar, tali pusat dipotong dengan sebuah
silet baru yang sudah disiapkan sebelumnya. Ada
yang membiarkan tali pusat begitu saja tanpa diikat,
dan ada juga yang menutup ujung tali pusat dengan
145

Alwi, Ghani, Delima

ubi yang baru dibakar, abu panas, bedak talk, dan


daun-daunan yang dipanaskan. Untuk persalinan
tidak terduga, tali pusat dipotong dengan pisau yang
mereka bawa atau dengan tangkai daun sagu dan
diikat dengan tali akar-akar kayu. Cara ini tidak
jauh berbeda dengan ibu-ibu Suku Bgu di Pantai
Utara Papua yaitu memotong tali pusat bayi dengan
pisau yang dibuat dari gaba-gaba (tangkai daun
sagu).(14) Penduduk Desa Gandus Sumatera Selatan
masih ada yang memberikan kotoran (tahi) kambing
yang sudah dibakar pada tali pusat yang sudah
dipotong. (1) Bahaya yang terjadi akibat tidak
mengikat tali pusat adalah darah banyak keluar dari
ujung tali pusat, meskipun lama-lama akan
membeku dan berhenti sendiri dengan risiko terjadi
ikterus pada bayi.(12) Cara mereka mengantisipasi
keluarnya darah dengan bahan-bahan yang panas/
bakar cukup efektif menghentikan perdarahan tali
pusat dan mencegah infeksi melalui tali pusat.
Menghisap asap kayu bakar yang dilakukan
ibu selama proses persalinan sangat berpotensi
menyebabkan sesak nafas dan infeksi saluran
pernafasan pada ibu dan bayi. Namun karena sudah
menjadi keyakinan dapat memberi kekuatan bagi si
ibu dan bayi maka secara psikologis mungkin
bermanfaat memberi semangat pada ibu untuk
mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya
dalam proses pengeluaran bayi.
Kematian ibu bersalin banyak terjadi pada
kelompok miskin, tidak berpendidikan, di tempat
terpencil, tidak memiliki kendali untuk
memperjuangkan kehidupannya sendiri, sehingga
kematiannya terabaikan, dan tidak mendapat
perhatian selayaknya dari berbagai pihak. (13)
Beberapa daerah lain di Indonesia juga masih
mempunyai kepercayaan bahwa ibu yang meninggal
dalam persalinan dapat meninggalkan sesuatu yang
mengerikan bagi orang-orang yang masih hidup
misalnya menjadi kuntilanak seperti di Bali.(1) Di
Papua penduduk mempercayai roh ibu yang
meninggal dapat menunggui pohon-pohon yang ada
di sekitar rumah keluarganya, kalau roh itu marah
karena ada tradisi yang dilanggar maka sewaktuwaktu dapat mencelakai orang lain atau keluarganya
sendiri.
Perilaku masyarakat yang sudah berakar dari
tradisi atau budaya bukanlah hal yang mudah dan
146

Budaya persalinan Papua

akan memakan waktu yang lama untuk


merubahnya. Kebudayaan merupakan suatu
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, sikap,
perilaku, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum,
adat-istiadat, tradisi, kemampuan dan kebiasaan
lainnya yang dipelajari, dimiliki, diwarisi oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.(15) Budaya
merupakan jati diri dari sebuah bangsa dan budaya
juga merupakan alasan kuat untuk beradaptasi
dalam meraih kesuksesan.(16) Namun jika budaya
bersifat absolut maka nilainya sebagai pembimbing
akan merosot dan menghalangi kemajuan. Ahli
waris kebudayaan dituntut keberaniannya
mengadakan perubahan bila sudah tidak sesuai
lagi.(17,18)
Dari uraian tentang perilaku penanganan
proses persalinan, diidentifikasi beberapa tema
budaya yang menjadi akar perilaku. (Gambar 1)
Tema budaya pertama, penduduk menganggap
bahwa persalinan adalah peristiwa alami, urusan
perempuan dan tidak perlu dibesar-besarkan. Lakilaki tidak perlu ikut campur memikirkan atau
membantu persalinan istrinya karena itu sudah
kodrat perempuan. Darah dan kotoran persalinan
dapat menimbulkan penyakit yang mengerikan bagi
laki-laki dan anak-anak, karena itu harus dijauhkan
atau disembunyikan. Kepercayaan ini memojokkan
posisi perempuan dan sangat merugikan
kesehatannya.
Tema budaya kedua, penduduk menganggap
tabu perempuan membuka aurat/paha di depan orang
yang belum dikenal baik itu laki-laki maupun
perempuan. Kepercayaan ini makin memperkuat ibuibu untuk tidak berani meminta melakukan persalinan
di rumah sakit, klinik, puskesmas meskipun jaraknya
dekat dan tidak membayar. Ibu khawatir disalahartikan mau melanggar tradisi, mau memanjakan diri
makan tidur sementara di rumah tidak ada yang
mengurus makanan bagi keluarga.
Tema budaya ketiga, penduduk meyakini
bahwa asap kayu bakar membawa kekuatan bagi
orang yang sakit atau lemah termasuk ibu yang
sedang melahirkan. Suami dapat membantu dalam
proses persalinan istrinya dengan menghidupkan
dan menjaga kayu bakar apinya selalu hidup tidak
jauh dari tempat persalinan sehingga asapnya
bertiup mengarah ke tempat ibu dan bayi.

J Kedokter Trisakti

Vol. 23 No. 4

Keyakinan ini secara fisik merugikan kesehatan ibu


dan bayi terjadi sesak nafas dan infeksi saluran
pernafasan.
Tema budaya keempat, ibu-ibu Suku Kamoro
mengangap dukun sebagai pewaris oto (pengobat)
ditentukan oleh roh leluhur.(19) Dukun dianggap
tokoh masyarakat dan tidak pernah dituntut atas
perbuatannya walaupun ibu dan bayi meninggal
ditangannya. Bahkan ibu meninggal yang dianggap
salah karena perilaku yang melanggar tradisi
semasa hamil. Kepercayaan mutlak terhadap dukun
dapat menimbulkan kerugian bagi kesehatan ibu,
tetapi dukun juga dapat dijadikan potensi bila dukun
tersebut ditingkatkan pengetahuan dan
keterampilannya dalam memelihara kesehatan
ibu.(14,20)

Tema budaya kelima, adanya larangan bagi


ibu untuk mandi sebelum diadakan pesta kerabat
yang biasanya 1-2 minggu setelah persalinan.
Dalam kesempatan itu ibu boleh mandi sendiri atau
dimandikan ibu-ibu lain sambil bernyanyi beramairamai.(11) Setelah itu diberikan kebebasan bagi ibu
untuk melakukan hubungan seks dengan suami.
Selama belum dipestakan, suami dilarang makan
minum dan tidur di rumah, harus di rumah keluarga
yang lain atau rumah tetangga. Akibat negatif bagi
kesehatan ibu dari larangan mandi ini yaitu timbul
berbagai penyakit infeksi yang dapat menular
kepada bayinya. Untuk hubungan seksual 1-2
minggu setelah persalinan dapat menyebabkan
kerusakan dan infeksi alat kelamin ibu karena
pemulihan tubuhnya belum sempurna.

Gambar 1. Latar belakang tema budaya dalam penanganan persalinan


147

Alwi, Ghani, Delima

Budaya persalinan Papua

KESIMPULAN DAN SARAN


1.

2.

3.

4.

Ibu-ibu kedua suku Papua dalam penelitian


ini sebagian besar berusia 15-35 tahun,
pendidikan rendah (tidak pernah sekolah
sampai tamat SD), pekerjaan sehari-hari
meramu yang dikategorikan sebagai petani
atau nelayan. Hampir separuh (47,55%) ibuibu melahirkan tidak dengan petugas
kesehatan.
Persalinan di rumah ditolong oleh dukun,
anggota keluarga, tetangga, atau tanpa
pertolongan siapapun. Persalinan dilakukan
di kamar mandi, dapur, bawah rumah, atau
di tempat-tempat ibu meramu. Cara
penanganan persalinan juga masih tidak
sesuai dengan cara pelayanan kesehatan
modern misalnya posisi jongkok di toilet,
pemotongan dan pengikatan tali pusat,
mengisap asap kayu bakar, larangan mandi
dan boleh berhubungan seks dalam masa
nifas.
Perilaku ibu-ibu dalam penanganan
persalinan ini dilandasi oleh beberapa tema
budaya antara lain; menganggap persalinan
adalah peristiwa menjijikkan dan dapat
menyebarkan penyakit berbahaya karena itu
harus disingkirkan. Beberapa tema budaya
tersebut sangat diskriminatif, dan beberapa
larangan menjauhkan ibu untuk memperoleh
hak-hak pelayanan kesehatan reproduksi.
Ibu-ibu meninggal dalam persalinan dianggap
mendapat kutukan dari mbii (roh, tuan tanah).
Perlu metode khusus yang dirancang untuk
merubah secara perlahan tradisi penduduk
Papua. Metode ini perlu diujicobakan dulu
pada penduduk dalam suatu desain penelitian
action research. Program yang langsung
diterapkan tanpa mendalami perilaku dan
budaya setempat, sulit membuahkan hasil.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.
10.

11.

12.
13.

14.
15.

Daftar Pustaka
16.
1.

148

The White Ribbon Alliance & Maternal and


Neonatal Health. Gerakan partisipatif

penyelamatan ibu hamil, menyusui dan bayi.


Jakarta: Aliansi Pita Putih; 2003.
S Sumantri, Siregar KN. Kajian kematian ibu
dan anak di Indonesia, Ringkasan Eksekutif.
Jakarta: Badan Litbangkes Depkes RI; 2004.
Djaya S, Lisa HM, Afifah T. Penyakit penyebab
kematian maternal di Indonesia, Analisis Data
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001.
Jakarta: Badan Litbangkes Depkes RI; 2002.
Dinas Kesehatan Propinsi Papua. Hasil survei
cepat kematian ibu di 7 kota dan kabupaten
Propinsi Papua tahun 2000-2001. Jayapura:
Dinkes Papua; 2001.
Azwar A. Kebijaksanaan dalam kesehatan
reproduksi. Majalah Kesehatan Perkotaan 2001;
1: 31.
PT. Freeport Indonesia. Peranan PT Freeport
Indonesia dalam pembangunan masyarakat Irian
Jaya di Kabupaten Mimika. Kuala Kencana: PT
Freeport Indonesia; 2000.
Kafiar A. Peranan PT Freeport Indonesia
Company dalam pembangunan masyarakat dan
daerah Irian Jaya. Kuala Kencana: PT FI; 1997.
Decki PN. Evolusi nasionalisme dan sejarah
konflik politik di Papua. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan; 2000.
Bachriadi D. Merana di tengah kelimpahan.
Jakarta: Elsam; 1998. p. 125-8.
Tim Peneliti FH Uncen. Ringkasan hasil
penelitian mengenai hukum adat Suku
Amungme dan Suku Kamoro di Timika Irian
Jaya. Jayapura: FH Uncen; 1999.
PT Freeport Indonesia. Asal mula dan sejarah
Suku Bangsa Amungme berdasarkan wawancara
dengan Kepala Suku di Waa. Jakarta: PT
Freeport Indonesia; 1995.
Laksono PM. Perempuan di hutan Mangrove.
Yogyakarta: PSAP & Galang Press; 2000.
Iskandar MB, Utomo B, Hull T, Dharmaputra
NG. Mengungkap misteri kematian ibu di Jawa
Barat. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia;
1996.
Koentjaraningrat. Masyarakat desa di Indonesia.
Jakarta: FE UI; 1984.
Mintarjo BS. Manusia dan nilai budaya. Jakarta:
Universitas Trisakti; 1997.
Conrad Conrad Phillip K. Cultural
anthropology. New York: McGraw-Hill Inc;
1991.

J Kedokter Trisakti

17. Rais A. Kekuasaan dan kebudayaan dalam


pembebasan budaya-budaya kita. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama; 1999.
18. Mardimin J. Jangan tangisi tradisi. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius; 1994.

Vol. 23 No. 4

19. Rahangiar S. Etnografi suku bangsa Kamoro.


Kuala Kencana: PT Freeport Indonesia; 1994.
20. Alisyahbana A. Konsep kemitraan antara dukun
bayi dan bidan di desa. Jakarta: MNH Mini
University; 2004.

149

Anda mungkin juga menyukai