I.
DEFINISI BIOPSI
Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh manusia untuk
pemeriksaan patologis mikroskopik. Dari bahasa latin bios:hidup dan opsi: tampilan.
Jadi secara umum biopsi adalah pengangkatan sejumlah jaringan tubuh yang
kemudian akan dikirim ke laboratorium untuk diperiksa. Biopsi kebanyakan dlakukan
untuk mengetahui adanya kanker. Bagian apapun dari tubuh, seperti kulit, organ tubuh
maupun benjolan dapat diperiksa. X-ray, CT scan ataupun ultrasound dapat dilakukan
terlebih dahulu untuk mengalokasikan area biopsi. Biopsi dapat dilakukan juga
dengan proses pembedahan. Dengan demikian biopsi adalah pemeriksaan penunjang
untuk membantu diagnosa dokter bukan untuk terapi kanker kecuali biopsi eksisional
dimana selain pengambilan sampel juga mengangkat semua massa atau kelainan yang
ada.
II.
TUJUAN BIOPSI
1. Mengetahu morfologi tumor
Subtipe tumor
Grading sel
2. Radikalitas operasi
3. Staging tumor
III.
Bentuk tumor
Nodus regional
o Banyak kelenjar limfe yang ditemukan
o Banyak kelenjar limfe yang mengandung metastasis
o Adanya invasi kapsuler
o Metastase ekstranodal
JENIS BIOPSI
a. Biopsi Kapsul
1
Biopsi kapsul merupakan alternatif dari biopsi endoskopik. Biopsi ini dilakukan bila
diperlukan sampel dari lapisan intestinal. Selama pelaksanaan biopsi kapsul, pasien akan
diberikan sebuah kapsul kecil untuk ditelan dimana kapsul tersebut dilekati oleh tabung
tipis. Gambaran x-ray akan digunakan untuk mengetahui kapan kapsul tersebut telah
mencapai titik yang tepat di dalam usus. Saat kapsul tersebut telah mencapai titik yang
tepat, tercipta tekanan dalam tabung, sehingga bagian kecil dari lapisan intestinal tersedot
ke dalam kapsul.
Biopsi usus halus dapat diperoleh dengan endoskopi atau dengan kapsul Crosby.
Biopsi usus dapat dilakukan dengan mengukur enzim brush border pada laboratorium
tertentu untuk membantu mendiagnosis malabsorpsi akibat defisiensi enzim (Hayes, Peter
C,1993).
b. Biopsi Endoskopik
Biopsi Endoscopik adalah suatu tindakan pengambilan contoh jaringan untuk
pemeriksaan
histopatologi
dan
microbiologi
dengan
meggunakan
alat
biopsi
Indikasi :
-
Kontra Indikasi
-
c. Biopsi Jarum
Biopsi jarum merupakan cara paling sederhana untuk mendapatkan jaringan untuk
pemeriksaan histologik. Cara ini hanya sedikit mengganggu jaringan sekitarnya. Risiko
menyebabkan implantasi sel tumor melalui jarum saat diaspirasi sangat kecil. Namun
demikian, interpretasi dari specimen biopsy jarum memerlukan orang yang cukup
berpengalaman.
Biopsi ini merupakan pengambilan sampel jaringan atau cairan dengan cara disedot
lewat jarum. Biasanya cara ini dilakukan dengan bius lokal (hanya area sekitar jarum) dan
bisa dilakukan langsung atau dibantu dengan radiologi seperti CT scan atau USG sebagai
panduan bagi dokter untuk membuat jarum mencapai massa atau lokasi yang diinginkan. Bila
biopsi jarum menggunakan jarum berukuran besar maka disebut core biopsi, sedangkan bila
menggunakan jarum kecil atau halus maka disebut fine needle aspiration biopsy.
(anonim,2011)
Biopsy tusuk jarum atau yang lebih dikenal dengan Fine Needle Aspiration Biopsy ,
biasa disingkat FNAB. FNAB adalah suatu tindakan biopsi tumor atau benjolan yang
dilakukan dengan jarum halus 25G berdiameter 0,5 mm atau lebih kecil, untuk mengambil
contoh jaringan lalu memeriksanya dibawah mikroskop secara sitologi. Dengan FNAB
diperoleh diagnosis tumor apakah jinak atau ganas, tanpa harus melakukan sayatan atau
mengiris jaringan, sehingga keraguan seorang penderita apakah dirinya menderita kanker
atau tidak segera terjawab dengan cepat dan akurat.
Tindakan FNAB ini mudah dikerjakan, waktunya cepat hanya memerlukan beberapa
detik, tidak nyeri, relatif tanpa komplikasi, biaya murah dan akurasinya cukup memuaskan.
Dapat dikerjakan pada siapa saja, laki-laki atau perempuan, orang tua , anak-anak, bahkan
pada bayi. FNAB dapat dilakukan pada tumor yang terletak di permukaan tubuh yang dapat
dilihat atau diraba seperti tumor kulit, payudara, kelenjar gondok, kelenjar getah bening.
Untuk tumor-tumor organ tubuh yang lebih dalam, juga dapat dilakukan FNAB, namun
biasanya dibutuhkan bantuan dokter ahli radiologi untuk membimbingnya dengan USG ,
misalnya pada tumor paru, tumor hati, tumor ginjal, tumor pancreas dsb.
FNAB juga sangat dianjurkan pada penderita tumor atau kanker dengan keadaan
umum lemah, sehingga dapat ditegakkan diagnosisnya segera dengan resiko yang rendah,
dimana pemeriksaan ini biasanya tidak memberatkan kondisi pasien. Pada kanker yang sudah
tersebar di kelenjar getah bening, seperti kanker nasofaring atau kanker lainnya, untuk
memastikan benar tidaknya pesebaran tersebut, dianjurkan dilakukan FNAB pada benjolan di
4
kelenjar getah bening. Hal ini sangat bermanfaat untuk memastikan stadium penyakit dan
tindakan selanjutnya (Anonim2, 2009).
Pengamatan klinisi yang cermat tentang sasaran biopsi aspirasi baik pada tumor yang
letaknya superfisial (palpable rumor) maupun tumor di dalam rongga tubuh (nonpalpable)
diperlukan untuk memperoleh hasil optimal. Tumor yang letaknya superfisial dapat dilakukan
langsung biopsi aspirasi tanpa kombinasi pemeriksaan lain. Pada tumor difus dan letaknya
dalam sering diperlukan pemeriksaan radiologi
(Linsk dan Franzen,1986)
Alat yang dipergunakan terdiri dari tabung suntik plastik ukuran 10 ml, jarum halus,
gagang pemegang tabung suntik, kaca objek dan desinfektan alkohol atau betadin.
b) Pendekatan pasien
Dengan ramah pasien dianamnesis singkat. Wawancara singkat ini dibuat sedemikian
rupa, sehingga pasien tidak takut atau stres dan bersedia menjalani biopsi aspirasi.
Biopsi dilakukan dengan kelembutan hati dan rasa tanggung jawab terhadap sesama
manusia.
c) Pengambilan aspirat tumor :
1) Tumor dipegang lembut
2) Jarum diinsersi segera ke dalam tumor.
3) Piston di dalam tabung suntik ditarik ke arah proksimal.
Tekanan di dalam tabung menjadi negatif; jarum manuver mundur-maju.
Dengan cara demikian sejumlah sel massa tumor masuk ke dalam lumen jarum
suntik.
4) Piston dalam tabung dikembalikan pads posisi semula dengan cara
melepaskan pegangan.
5) Aspirat dikeluarkan dan dibuat sediaan hapus, dikeringkan di udara dan
dikirimkan ke laboratorium pusat pemeriksaan kanker.
(Tambunan,1990)
Inkonklusif dapat terjadi karena kesalahan teknik atau karena situasi tumor, misalnya
mudah berdarah, reaksi jaringan ikat banyak atau tumor terlalu kecil, sehingga sulit
memperoleh sel tumor. Dalam praktek, sitologi inkonklusif meningkatkan negatif
palsu.
(Tambunan,1989)
d. Biopsi Eksisional
Biopsi eksisional merupakan insisi lesi secara in toto adalah pendekatan yang umum
untuk lesi yang kecil. Eksisi ini didesain dengan melibatkan jaringan normal dan
memungkinkan dilakukan penutupan kembali. Lesi mulut yang paling sering dilakukan
biopsi eksisional adalah fibroma, serta lesi yang ukuran dan lokasinya memungkinkan untuk
diambil secara total/dieksisi. Papiloma, granuloma periferal, dan banyak lesi berpigmen
biasanya juga diambil secara eksisi total.
Sebagian besar biopsi eksisional maupun insisional dilakukan dengan teknik elips.
Bentuk elips didesain sedemikian rupa sehingga dapat dibuat biopsi yang menyertakan lesi
dan jaringan normal di sekitarnya setebal 2-3 mm. Supaya penutupannya lebih efektif dan
meniadakan kerusakan marginal submukosa (untuk menghindari ketegangan pada penutupan
kembali), panjangnya sebaiknya 2,5 sampai 3 kali dari diameter terbesar. Jika elips tersebut
karena pertimbangan anatomi atau alasan lain harus dibuat pendek, penutupan dapat
dilakukan dengan penggangsiran (undermining). Apabila biopsi atau eksisi lesi yang di
bawahnya (misalnya mucocele) diindikasikan, teknik elips juga dapat memberikan jalan
masuk ke struktur yang lebih dalam, yang bisa dilakukan dengan menggunakan guntinga
tajam/tumpul (Pedersen, 1996).
Biopsi eksisional digunakan untuk pengambilan lesi kecil yang secara klinis
merupakan lesi yang jinak, secara keseluruhan (diameter kurang dari 1 cm), baik lesi
superfisial atau profundus, lunak atau keras. Pendekatan yang dilakukan bisa dengan insisi
berbentuk elips (untuk lesi permukaan) atau modifikasinya, apabila lesi terletak di jaringan
lunak. Lesi keras yang kecil baik superfisial atau profunda biasanya juga diambil in toto
(Pedersen, 1996).
Y
X1
penggangsir
an
Y1
Y1
YY1 : XX1
3:1
YY1 : XX1
2:1
Biopsi mukosa seharusnya kurang lebih berdiameter 3 mm. Akan tetapi, lesi
oral yang belum ganas dan SCC seringkali membutuhkan biopsi yang lebih dalam
karena mempunyai ciri lapisan epitel yang lebih tebal dan hiperkeratosis. Untuk lesi
ini, kedalaman yang direkomensasikan adalah 4 mm atau 5 mm. Bevel pada sisi
potong biasanya 1,5 mm dapat digunakan sebagai penuntun kedalaman.
d. Memperoleh sampel biopsi dengan punch biopsy.
Selama punch biopsy, punch dimasukkan ke dalam mukosa dengan gerakan
rotasi untuk menyertai pemotongan jaringan dengan kedalaman yang tepat. Forcep
jaringan dan scalpel digunakan untuk mengeluarkan sampel biopsi. Jaringan biopsi
kemudian diletakkan di sepotong kertas yang bersih dengan permukaan jaringan lunak
(lapisan paling bawah) menghadap ke bawah selama 1 menit untuk menjamin bahwa
sampel tetap flat selama fiksasi dan untuk menjamin sampel tetap dalam keadaan baik
selama pemeriksaan histologi (hal ini adalah tahap kritis).
Gambar 3. Ilustrasi punch biopsy yang dilakukan pada area mukosa bukal
Sampel kemudian diletakkan di 10% fiksatif formalin buffer netral. Volume
fiksatif seharusnya kurang lebih 20 kali volume sampel untuk menghindari fiksasi
yang tidak baik atau autolisis. Tidak ada fiksatif lain yang dapat menggantikan fiksatif
formalin. Alkohol, desinfectan untuk permukaan, solusi anastesi lokal atau obat
kumur tidak dapat memfiksasi jaringan dengan benar untuk evaluasi histologis yang
cukup.
e. Memastikan Hemostatis.
Jika memungkinkan, tempat biopsi seharusnya dijahit untuk menutup luka dan
menjamin hemostatis yang baik.
10
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,2011 http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003416.htm
Anonim. 2011. Makalah Seminar Pedodonsia Bedah Mulut Untuk Anak ( Oral Surgery For
Children). Universitas Padjajaran: Fakultas Kedokteran Gigi Bandung
Anonim, 2011. Biopsy insisional dan eksisional. http://bedahumum.wordpress.com/biopsiinsisional-dan-eksisional/Diakses pada tanggal 24 Okt Anonim1, 2009.
http://keladitikus.info/pemeriksaan-a-pengobatan/biopsi.html. diunduh tanggal 22
Oktober 2011
Anonim,
oktober 2011
Hayes, Peter C, 1993, Buku Saku Diagnosi dan Terapi, EGC: Jakarta
Linsk JA, Franzen S. Fine needle aspiration for the clinician. Philadelphia : J.B. Lippincott
Co, 1986.
Pedersen, GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.
Schwartz, Seymour.2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 5. EGC: Jakarta
ober 2011
Tambunan GW. Sitologi aspirasi dalam tatalaksana limfadenopati. Khusus limfoma
malignum. Naskah Simposium Lekemia dan Limfoma II, Medan 1989
Tambunan GW. Teknik Biopsi Aspirasi. Penuntun Biopsi Aspirasi Jarum Halus. Aspek Klinik
dan Sitologi Neoplasma. Jakarta : Percetakan Hipokrates 1990
11
12