Referat Sifilis
Referat Sifilis
REFERAT SIFILIS
Disusun Oleh :
Nama
NIM
: 09711011
SIFILIS
Latar Belakang
Di Amerika Serikat, sifilis yang lebih umum di kalangan orang-orang dari ras
dan etnis minoritas. Prevalensi sifilis yang dilaporkan antara orang kulit hitam agak
lebih tinggi daripada kelompok etnis lain. Namun demikian, tingkat ini telah menurun
secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2000-2003, sifilis menurun
dari 12 kasus per 100.000 penduduk hingga 7,8 kasus per 100.000 penduduk pada
kelompok etnis ini.
Di Indonesia, pada beberapa puluh tahun yang lalu, nama PHS yang
paling terkenal adalah Raja Singa, yang menjadi korban umunya adalah kaum
dewasa, antara usia 19-35 tahun. Tetapi yang kini muncul dan lebih
memprihatinkan adalah penderita penderita PHS bukan hanya orang-orang yang
telah dewasa, tetapi dari kalangan remaja telah menjadi korbannya. Hal ini,
bukan rahasia lagi.
SIFILIS
A. Definisi
pallidum berbentuk spiral, negatif-Gram dengan panjang rata-rata 11 m (antara 620 m) dengan diameter antara 0,09 0,18 m. Treponema pallidum mempunyai
titik ujung terakhir dengan 3 aksial fibril yang keluar dari bagian ujung lapisan
bawah. Treponema dapat bergerak berotasi cepat, fleksi sel dan maju seperti
gerakan pembuka tutup botol.
Kuman ini bergerak secara aktif dan karena spiralnya sangat lembut maka
hanya dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap atau dengan teknik
imunofluorosensi. Sukar diwarnai dengan zat warna aniline tetapi dapat mereduksi
perak nitrat menjadi logam perak yang tinggal melekat pada permukaan sel
kuman.
Kuman ini berkembang biak dengan cara pembelahan melintang. Dalam
keadaan anaerob pada suhu 25oC, T. pallidum bergerak secara aktif dan tetap hidup
selama 4-7 hari dalam pembenihan cair yang mengandung albumin, natrium
karbonat, piruvat, sistein, ultrafiltrat serum sapi. Waktu pembelahan kuman ini
kira-kira 30 jam.
Ada tiga macam antigen T. pallidum yaitu protein tidak tahan panas,
polisakarida, dan antigen lipoid. Antigen treponema yang paling khas antara lain
dapat diperiksa dengan tes imobilisasi T. pallidum (TPI). Tes ini memerlukan
komplemen dalam reaksinya pengeraman selama 18 jam dan suhu 35oC. selain
dengan menggunakan tes ini, ada banyak tes-tes lain yang dapat dilakukan untuk
memeriksa keberadaan bakteri ini berdasarkan antigennya.
Adapun klasifikasi bakteri penyebab penyakit sifilis adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Eubacteria
Filum
: Spirochaetes
Kelas
: Spirochaetes
Ordo
: Spirochaetes
Familia
: Treponemataceae
Genus
: Treponema
Spesies
: Treponema pallidum
D. Klasifikasi
Pembagian sifilis menurut WHO ialah sifilis dini dan sifilis lanjut dengan
waktu diantaranya 2 tahun, ada yang mengatakan 4 tahun:
a. Sifilis Dini
1. Sifilis primer (S1)
2. Sifilis sekunder (S2)
3. Sifilis laten dini
b. Sifilis Lanjut
1. Sifilis laten lanjut
2. Sifilis tertier (S3)
3. Sifilis kardiovaskuler
4. Neurosifilis
E. Patogenesis
Treponema pallidum tidak dapat tumbuh dalam media kultur sehingga
pengetahuan tentang imunopatogenesis penyakit sifilis hanya diperoleh dari
keadaan penderita (berdasarkan tanda dan gejala yang tampak), model pada
binatang percobaan dan data in vitro dari ekstraksi jaringan spirocaeta. Setelah
mengeksposure permukaan epitel, spirocaeta akan berpenetrasi dan menyerang
lapisan sel endotel, yang merupakan tahap penting dalam tingkat virulensi
treponema (meskipun mekanisme yang jelas sampai saat ini belum diketahui).
Histopatologi dari chancre primer tergantung pada banyaknya spirocaeta
dan infiltrasi seluler yang pada mulanya terdiri dari T limfosit yang terjadi 6 hari
postinfeksi, kemudian makrofag pada hari ke 10 dan sel plasma. Aktivasi
makrofag akan merangsang pelepasan sitokin dari T limfosit yaitu interleukin 2
(IL 2) dan interferon gamma (IFN).
Antibodi spesifik akan muncul dalam serum pada awal infeksi yang akan
menghalangi spirocaeta merusak sel dan Ig G dengan bantuan komplemen akan
dapat membunuh T. pallidum serta meningkatkan kemampuan netrofil dan
makrofag memfagosit treponema tersebut. Antibodi berperanan dalam
menghancurkan protein membran luar yang tipis dari treponema pallidum
(TROMPs).
Secara umum tingkat kekebalan yang timbul karena infeksi oleh T.
pallidum relevan dengan level antibodi pada TROMPs. Meskipun humoral
immunity juga dibutuhkan dalam melawan infeksi dari treponema, respon antibodi
ini dapat juga menyebabkan kelainan. Adanya kompleks imun pada sifilis
sekunder mungkin menjelaskan patologi timbulnya lesi pada kulit dan deposit di
ginjal yang menyebabkan terjadinya nefropati sifilik. Antibodi kardiolipin yang
merupakan penentu pada sifilis primer dan menjadi dasar tes nontreponemal pada
penyakit ini, tidak sejalan dengan terjadinya sindrom antibodi antifosfolipid.
Pemeriksaan histologik menunjukkan banyaknya sel T pada daerah lesi.
Pada chancre primer CD4 lebih banyak berperanan sedangkan pada lesi sekunder
lebih banyak ditemukan CD8. Gumma yang lebih sering timbul pada sifilis tertier
menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dengan tanda khas
berupa granuloma. Peranan sel T pada sifilis yang belum jelas menimbulkan
dugaan adanya cross infeksi HIV pada penderita sifilis. Para ilmuwan di Spanyol
meneliti adanya perubahan viral load dan jumlah CD4 selama terinfeksi sifilis dan
menemukan bahwa infeksi sifilis pada pasien HIV-positif berhubungan dengan
peningkatan viral load dan penurunan jumlah CD4.
Penurunan jumlah CD4 dan peningkatan viral load ditemukan pada hampir
sepertiga pasien yang diamati. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa satusatunya faktor yang dikaitkan dengan peningkatan viral load adalah karena
penderita tidak menggunakan terapi antiretroviral (ART), sementara satu-satunya
faktor yang dikaitkan dengan penurunan jumlah CD4 sebanyak lebih dari 100,
adalah jumlah CD4 pasien sebelum terinfeksi sifilis (pasien yang mempunyai
jumlah CD4 lebih tinggi sebelum sifilis mengalami penurunan yang lebih besar),
tetapi tidak ada perbedaan pada perubahan virologi berdasarkan stadium sifilis.
Temuan lain dari penelitian ini menunjukkan lebih dari dua pertiga kasus
sifilis ditemukan pada pasien yang sebelumnya didiagnosis HIV-positif. Dalam hal
ini, para peneliti menyoroti perilaku pasien yang berisiko dan strategi pencegahan
yang lemah. Sehingga perlu adanya upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah
infeksi sifilis baru dan secepatnya mengenal serta mengobati pasien terinfeksi
sifilis, dengan tujuan mengurangi penyebaran baik infeksi sifilis maupun HIV.
Stadium Dini
Pada sifilis yang didapat, Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui
mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut
berkembang biak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri
atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluhpembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh Treponema pallidum dan
sel-sel radang. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofi endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis
obliterans). Pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I. Sebelum S I terlihat,
kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan
berkembang biak, terjadi penjalaran hematogen yang menyebar ke seluruh
F. Manifestasi Klinis
1. Sifilis Primer ( S I )
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tungga (disebut chancre ),
tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi di mana saja
di daerah genetalia externa, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya
berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi.
Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya berfariasi dari
beberapa mm sampai dengan 1-2cm bagian yang mengelilingi lesi meniggi dan
keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain maka akan berbentuk khas dan
hamper tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut di namakan efek primer. Pada
pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita
di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di externa genital, misalnya di
lidah, tonsil, dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe
inguinal medial unilateral/bilateral.
Seminggu setelah efek primer, biasa terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional di ingunalis medialis. Keseluruhannya di sebut kompleks
primer. Kelenjar tersebut solitary, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya
lentikular, tidak suporatif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit diatas tidak
menunjukkan tanda-tanda radang akut. Istilah symphilis demblee dipakai, jika
tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam,
misalnya pada transfuse darah atau suntikan.
2. Sifilis sekunder ( S II )
Biasanya S II timbul setelah 6-8 minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga
kasus masih disetai S I. lama SII dapat sampai 9 bulan. Berbeda dengan SI yang
tanpa disertai gejala konstitusi, pada SII dapat disertai gejala tersebut yang
terjadi sebelum atau selama SII. Gejala umumnya tidak berat, berupa anaroksia
turunnya berat badan malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan
altralgia.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lender, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya
kelainan kulit dan selaput lender dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata
pemerikasaan serologis reaktif lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa
macula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustu. Jarang dijumpai keluhan
gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis konggingital.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut
the great imitator. Selain member kelainan pada kulit, SII dapat juga member
kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang dan saraf.
Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan ( malaise ) kehilangan nafsu
makan , mual, lelah, demam, dan anemia.
Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya
bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut
dapat terjadi kerontokan setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang
ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah
seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris. Gejala dan tanda sifilis
sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak diobati, infeksi akan
berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.
3. Sifilis laten
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi
pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui
tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan
berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi
sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan
kardiovaskuler. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis
negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.
Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau
bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang
infeksius kembali muncul.
Sifilis lanjut
10
Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut:
a. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali
kemungkinan pada wanita hamil.
b. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukanTpallidum, pada
sifilis lanjut tidak ditemukan.
c. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan yang
cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.
d. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut
destruktif.
e. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah
diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer
rendah, sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer
rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan.
Titer yang tinggi pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan paresis.
1. Sifilis laten lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes
serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan
dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk
menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk
melihat, apakah ada aorititis.
2. Sifilis tersier (S III)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S
I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya
melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar
telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang
akut dan dapat digerakkan. Setelah beber pa bulan mulai melunak, biasanya
mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa
dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan
keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus
disertai jaringan nekrotik.
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,
dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus
berkonfluensi sehingga membentuk pinggiryang polisiklik. Jikatelah menjadi
ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan
11
menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan
hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel,
umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma
multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam.
Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di
kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa
minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus
tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah
dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik.
Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar
hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk
bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya
merah kecoklatan.
Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terns secara serpiginosa.
Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut
psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang
jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus
subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.
a. S III pada mukosa
12
13
Neurosifilis asimtomatik.
Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis,
14
15
17
hialin, dan anular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Padaparu
kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih".
Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu.
Osteokondritis pada tulang panjang umumnyaterjadi sebelum berumur enam
bulan dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X.
Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan;
seolah-olah terjadi paralisis dan disebut pseudo paralisis Parrot. Kadangkadang terjadi komplikasi berupa terlepasnya epifisis, fraktur patologik, dan
artritis supurativa. Pada pemeriksaan dengan sinar-X terjadi gambaran yang
khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah dua belas bulan, tetapi
periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis jarang. Umumnya terdapat anemia
berat sehingga rentan terhadap infeksi.
Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T. pallidum
pada otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti.
Bentuk neurosifilis meningovaskular yang lebih umum pada bayi muda
menyebabkan konvulsi dan defisiensi mental. Gangguan nervus II terjadi
sekunder akibat korioditis atau akibat meningitis karena guma. Destruksi
serabut traktus piramidalis akan menyebabkan hemiplegia/ diplegia.
Demikian pula dapat terjadi meningitis sifilitika akuta.
b. Sifilis kongenital lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun.Guma
dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas
ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi
akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung
mengalami kolaps dengan deformitas. Guma pada palatum mole dan durum
jugs sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada palatum.
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah
tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiostitis
setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot nodus,
umumnya terjadi pada daerah frontal dan parietal.
18
d. Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh Berta
meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian
merupakan stigmata sifilis kongenita, akan tetapi hanya sebagian penderita
yang menunjukkan gambaran tersebut.
pada retina.
Stigmata dan lesi lanjut.
Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis
Atrofi optik, tersendiri tanpa iridoplegia
19
Ketulian syaraf
Tanda dan gejala
Masa inkubasi antara 10-90 hari, dngan gejala:
a. Tahap 1
9-90 hari setelah terinfeksi. Timbul: luka kecil, bundar dan tidak sakit
chancre- tepatnya pada kulit yang terpapar/kontak langsung dengan penderita.
Chancre tempat masuknya penyakit hampir selalu munci di dalam dan sekitar
genetalia, anus bahkan mulut. Pada kasus yang tidak dibobati (sampai tahai 1
berakhir), setelah beberapa minggu, chancre akan menghilang tapi bakteri
tetap berada di tubuh penderita.
b. Tahap 2
1-2 bulan kemudian, muncul gejala lain: sakit tenggorokan, sakit pada bagian
dalam mulut, nyeri otot, dmam, lesu, rambut rontok dan terdapat bintil.
Beberapa bulan kemudian akan menghilang. Sejumlah orang tidak mengalami
gejala lanjutan.
c. Tahap 3
Dikenal sebagai tahap akhir sifilis. Pada fase ini chancre telah menimbulkan
kerusakan fatal dalam tubuh penderita. Dalam stase ini akan muncul gejala:
kebutaan, tuli, borok pada kulit, penyakit jantung, kerusakan hati, lumpuh dan
gila. Tahap letal.
G. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis sifilis dapat ditegakkan dengan cara melihat langsung organisme
dengan mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan antibodi fluoresen langsung dan
kedua dengan mendeteksi adanya antibodi dalam serum dan cairan serebrospinal.
Tes serologis merupakan tes konfirmasi untuk melihat adanya antibodi terhadap
organisme penyebab sifilis. Tes serologis juga diperlukan untuk menegakkan
diagnosis infeksi sifilis pada masa laten sifilis dimana tidak tampak adanya gejalagejala penyakit. Ada dua kelompok tes serologis yang dapat digunakan dalam
20
mendiagnosis penyakit sifilis yaitu tes serologis antibodi non treponema dan
antibodi treponema.
1. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal
Yaitu antibodi yang terbentuk akibat adanya infeksi oleh penyakit sifilis
atau penyakit infeksi lainnya. Antibodi ini terbentuk setelah penyakit menyebar
ke kelenjar limpe regional dan menyebabkan kerusakan jaringan serta dapat
menimbulkan reaksi silang dengan beberapa antigen dari jaringan lain. Tes
serologis non treponema mendeteksi antibodi yang merupakan kompleks dari
lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan digunakan untuk skrining adanya infeksi
oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal Disease Research
Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR) yang memberikan hasil
positif setelah 4 6 minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien dengan lesi
primer dan stadium lanjut). Tetapi tes ini dapat memberikan positif palsu pada
kondisi seperti kehamilan, kecanduan obat, keganasan, penyakit autoimun dan
infeksi virus. Imunoasai ini menggunakan antibodi nontreponemal dan lipoid
sebagai antigen, termasuk pemeriksaan ini adalah:
a. Veneral Disease Research Laboratory (VDRL)
b. Rapid Plasma Reagin (RPR)
c. Cardiolipin Wassermann (CWR)
d. Unheated Serum Reagin (USR)
e. Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST)
f. ELISA
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi adanya reaksi antara antibodi dari sel
yang rusak dan kardiolipin dari treponema. Digunakan untuk skrining penderita
dan monitoring penyakit setelah pemberian terapi. Tes-tes seperti Veneral
Disease Research Laboratory (VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR), Unheated
Serum Reagin (USR) dan Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST)
mendeteksi adanya reaksi antigen-antibodi dengan menilai presipitasi yang
terbentuk baik secara makroskopik (RPR dan TRUTS) maupun mikroskpoik
(VDRL dan USR).
Antibodi yang terdeteksi biasanya timbul 1 4 minggu setelah
munculnya chancre primer. Pengambilan spesimen pada stadium primer akan
21
22
dengan
difosfatidil
gliserol.
Tes
VDRL dapat
mendeteksi
2. Antibodi treponemal
Bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap antigen treponema
dan sebagai konfirmasi dari hasil positif tes skrining nontreponemal atau
konfirmasi adanya proses infeksi pada hasil negatif tes nontreponemal pada fase
late atau laten disease dapat dibedakan atas 2 jenis antibodi yaitu:
a. Grup treponemal antibodi, antibodi terhadap antigen somatik yang terdapat
pada semua jenis treponema. Imunoasai berdasarkan pada penggunaan
beberapa strain saprofitik dari treponema, yaitu Reiter Protein Complement
Fixation (RPCF).
b. Antibodi treponema spesifik, antibodi yang spesifik untuk antigen dari T.
pallidum. beberapa tes yang termasuk diantaranya adalah:
Treponema pallidum Complement Fixation
Treponemal Wassermann (T-WR)
Treponema pallidum Immobilization (TPI)
Treponema pallidum Immobilization Lyzozym (TPIL)
Treponema pallidum Immobilization-symplification
Fluorecense Treponemal Antibody (FTA)
Treponema pallidum Hemagglutination (TPHA)
Treponema pallidum Immuneadherence (TPIA)
ELISA T. pallidum
Sedangkan Tes serologik treponemal yang banyak digunakan adalah:
1. Tes Treponema pallidum Immobilization (TPI)
Sensitifitas tes rendah pada beberapa stadium penyakit terutama stadium I ,
tetapi spesifisitasnya paling baik dibanding tes serologis lain dan
merupakan satu-satunya tes yang hampir tidak memberi hasil positif semu.
Tes menggunakan serum penderita yang tidak aktif ditambah dengan T.
pallidum yang mobil dan komplemen, lalu diinkubasi pada suhu 35 C
selama 16 jam selanjutnya dilihat di bawah mikroskop. Hasil positif terlihat
dengan T. pallidum yang tidak mobil.
2. Fluorescent treponemal antibody-absorbed double strain test (FTA-ABS
DS).
Sebelum tes serum pasien diinaktifkan dengan pemanasan dan diserap
dengan sorbent untuk membersihkan dari antibodi terhadap treponema
komensal, kemudian dicampur dengan apusan T. pallidum pada kaca
24
obyek, inkubasi lalu bilas hati-hati. Tambahkan konjugat antibodi antiimunoglobulin human yang dilabel dengan tetrametil-rodamin isotiosinat
[TMRITC] tutup dengan kaca penutup, inkubasi dan bilas. Periksa apusan
di bawah mikroskop pengcahayaan ultraviolet. Hasil positif ditunjukkan
dengan adanya treponema berfluoresensi-TMRITC pada apusan. Tes FTA
adalah imunoasai yang sangat sensitif dan spesifik sehingga baik
digunakan untuk diagnosis tetapi tidak dipakai dalam pemantauan terapi
sebab hasil tes positif akan tetap positif walaupun telah diberi pengobatan
sampai sembuh.
3. Tes Treponema pallidum Hemagglutination (TPHA)
Merupakan uji hemaglutinasi pasif secara kualitatif dan semi kuantitatif
yang dapat mendeteksi anti T. pallidum antibodi dalam serum atau plasma,
di mana hasil positif didapatkan bila terjadi aglutinasi. Sensitivitas dan
spesifisitas cukup baik kecuali untuk sifilis stadium I, tes ini juga cukup
praktis, mudah dan sederhana serta harganya relatif murah. Sebagai antigen
dipakai T .pallidum strain Nichol dan sebagai carrier digunakan sel darah
merah kalkun. Sel darah merah kalkun yang diliputi Ag T . pallidum dan
Ab serum penderita lalu diinkubasi, antibodi T. pallidum dalam serum akan
mengikat antigen pada sel darah merah membentuk kompleks Ag-Ab dan
hasil positif dinilai dengan melihat adanya aglutinasi.
25
H. Diagnosis
26
I. Diagnosis banding
27
1. Diagnosis banding SI
Dasar diagnosis S I sebagai berikut. Pada anamnesis dapat diketahui mass
inkubasi; gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu
tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus
yang bersih, solitar, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T.pallidum
positif. Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional
dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa
supurasi. Tes serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah. Sebagai
diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit.
a. Herpes simpleks
Penyakit ini residif dapat disertai rasa gataV nyeri, lesi berupa vesikel di alas
kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok
erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.
b. Ulkus piogenik
Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus
tampak kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat
limfadenitis regional disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi
yang serentak, dan terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi.
c. Skabies
Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia eksterna,
terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat
predileksi, misalnya lipat jari Langan, perianal. Orang-orang yang serumah
juga akan menderita penyakit yang sama.2
d. Balanitis
Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans penis disertai
eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes melitus dan yang tidak
disirkumsisi.
e. Limfogranuloma venereum (L.G.V.)
Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul,
ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional,
28
29
Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat
disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk
eritema sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada
sifilis biasanya tidak gatal.
b. Morbili
Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedannya: pada morbili
disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak
membesar.
c. Pitiriasis roses
Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan skuama
halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar dengan lipatan kulit.
Penyakit ini tidak disertai limfadenitis generalisata seperti pada S II.
d. Psoriasis
Persamaannya dengan S II : terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis
tidak didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat
tanda tetesan lilin dan Auspitz.
e. Dermatitis seboroika
Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan skuama.
Perbedaannya pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya pada tempat
seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai
limfadenitis generalisata.
f. Kondiloma akuminatum
Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk papul.
Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya runcingruncing, sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya datar serta
eksudatif.
g. Alopesia areata
Kebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada S II.
Perbedaannya: pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya
beberapa, sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular) dan banyak
serta seperti digigit ngengat.
3. Diagnosis banding S III
30
Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat
pada penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes
serologik pada S III dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting
ialah anamnesis, apakah penderita tersangka menderita S I atau S II dan
pemeriksaan histopatologik.
a. Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan
aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang
terletak sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada
pembiakan akan ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat
jarang di Indonesia. Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak
seperti guma S III. Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen.
Kelainan kulitnya berbeda, yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya
tampak butir-butir kekuningan yang disebut sulfur granules. Pada biakan
akan tumbuh Actinomyces.
b. Tuberkulosis kutis gumosa mirip gums S III. Cara membedakannya dengan
pemeriksaan histopatologik. Demikian pula frambusia stadium lanjut. Guma
S III bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip
keganasan. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik.
J. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini
mungkin, makin dini hasilnya makin balk. Pada sifilis laten terapi bermaksud
mencegah proses lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan
antibiotik lain.
1. Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat
menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat
menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang
dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum
selama sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh
sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari
31
angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka
kuman dapat berkembang biak. Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam
penisilin:
a. Penisilin G prokain dalamakua dengan lama kerja dua puluh empat jam,
jadi bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat
(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam
serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral
tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan
dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja
masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari,
dan yang ketiga biasanya setiap minggu.
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, make kadar obat dalam
serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu
disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua.
Obat ini mempunyaikekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis
karens sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah
penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa
nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang tidak menganjurkan
pemberiannya kepada bayi. Demikian pule PAM memberi rasa nyeri pada
tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam;
obat ini kini jarang digunakan.
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin
G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval
seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain
dalam akua 18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam
selama 10-14 hari.
32
33
Daftar Pustaka
Daili, Fahmi, dkk. 2011. Infeksi Menular Seksual. Jakarta. FKUI.
Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams. EGC: Jakarta
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPS
Wolff, Klaus et all.2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicin Seventh
Edition. USA. The McGraw-Hill Companies.
34