Anda di halaman 1dari 28

Neoplasia Skuamosa pada Permukaan Okular

Napaporn Tananuvat dan Nirush Lertprasertsuke


Departemen Ophthalmology dan Pathology,
Fakultas Kedokteran, Universitas Chiang Mai,
Thailand
1. Pendahuluan
Permukaan mata terdiri dari konjungtiva dan kornea. Konjungtiva adalah
membran mukosa yang meliputi bola mata dan bagian dalam kelopak mata.
Morfologi dari sel epitel konjungtiva adalah epitel berlapis tidak berkeratin yang
bervariasi dari cuboidal diatas tarsus, hingga columnar di forniks, hingga epitel
skuamosa pada bola mata . Sel goblet menyumbang sekitar 10% dari jumlah sel
basal yang ada dari epitel konjungtiva. Substantia propia dari konjungtiva terdiri
dari jaringan ikat longgar. Kornea itu merupakan jaringan transparan dan
avaskular yang berfungsi sebagai dinding anterior mata dan media optik untuk
cahaya dapat masuk ke mata. Lapisan epitel kornea terdiri dari sel-sel epitel
skuamosa berlapis dan menyumbang sekitar 5% (0,05 mm) dari total ketebalan
kornea. Sel-sel induk epitel kornea terletak di lapisan basal dari epitel limbal yang
berploriferasi terus menerus dan menghasilkan lapisan superfisial yang kemudian
akan berdiferensiasi menjadi sel-sel superfisial. Regulasi dari pertumbuhan sel
dan metabolisme sangat penting untuk mempertahankan permukaan mata tetap
utuh dan kornea tetap transparan.
Tumor primer dari konjungtiva dan kornea dapat dikelompokkan menjadi
dua kategori utama: kongenital dan diperoleh. Lesi yang diperoleh terdiri dari
berbagai variasi neoplasma yang berasal dari epitel skuamosa, melanosit, dan selsel limfosit. Tumor dari epitel skuamosa memiliki spektrum yang besar untuk
jenis lesinya, mulai dari lesi jinak seperti papiloma skuamosa, hingga lesi
prakanker yang terbatas pada epitel permukaan (neoplasia intraepithelial atau
displasia, yang sebelumnya dikenal sebagai penyakit Bowen). Terdapat karsinoma

sel skuamosa yang bersifat lebih invasif dan dapat menembus membran basal
hingga substantria propia dari konjungtiva atau stroma kornea.
Istilah ocular surface squamous neoplasia (OSSN) (Neoplasia Skuamosa
pada Permukaan Mata)

pertama kali dijelaskan pada 1995 oleh Lee dan

Hirst untuk menunjukkan sebuah spektrum neoplasma yang berasal dari epitel
skuamosa mulai dari dysplasia sederhana hingga karsinoma sel skuamosa invasif
(SCC), yang melibatkan konjungtiva, limbus, dan kornea. (Lee & Hirst 1995).
Mirip dengan kanker leher rahim, tumor ini juga memiliki tingkat kekambuhan
yang relatif tinggi setelah pengobatan dan dapat bermetastasis. Tumor ini
dianggap sebagai keganasan tingkat rendah ( low grade) tetapi lesi invasif dapat
menyebar ke bola mata atau orbita. Bab ini menyoroti tentang epidemiologi,
etiologi dan faktor terkait, manifestasi klinis, alat diagnostik, dan standar
perawatan untuk pengelolaan tumor ini. Papiloma skuamosa juga disertakan
dimana beberapa papilloma konjungtiva mungkin memiliki potensi displastik.
2. Epidemiologi dan patogenesis
OSSN dianggap penyakit yang tidak biasa dengan insiden geografis yang
bervariasi dari 0,2 hingga 3,5 per 100.000, dengan frekuensi yang lebih besar di
dekat daerah khatulistiwa. (Lee & Hirst 1995) Ini adalah tumor permukaan mata
yang paling umum terdapat dalam banyak seri (Lee & Hirst 1995;. Shields et al
2004;. Shields & Shields 2004) Sebelum pandemik HIV, OSSN tercatat terjadi
terutama pada lansia dimana OOSN merupakan tumor oculo-orbital ketiga yang
paling umum terjadi setelah melanoma maligna dan limfoma. (Lee & Hirst 1995)
Tumor ini jarang terjadi di Amerika Serikat, dengan tingkat kejadian 0,03 per
100.000 orang, meskipun terdapat tingkatan sebesar 5 kali lipat lebih tinggi pada
laki-laki dan Kaukasia (Sun et al. 1997).
Patogenesis OSSN masih harus dikaitkan dengan faktor etiologi tertentu,
Faktor terkait utama adalah paparan radiasi ultraviolet (UV), infeksi human
papilloma virus, dan human immunodeficiency virus (HIV) seropositif.

2.1 Ultraviolet-B
Paparan kronis dari radiasi UV-B (290-320 nm) merupakan penyebab
utama dari kebanyakan penyakit mata seperti pingecular, pterygium, katarak, dan
degenerasi makula yang terkait dengan usia. (Taylor et al. 1992) Bukti dari studi
epidemiologi dan penderita kanker di seluruh dunia telah mengkonfirmasikan
bahwa tingkat kejadian OSSN meningkat bila daerahnya semakin dekat dengan
daerah khatulistiwa, kemungkinan akibat peningkatan radiasi UV matahari. (Lee
et al 1994; Newton et al 1996) Satu penelitan untuk kanker yang berbasis populasi
menemukan bahwa kejadian karsinoma sel skuamosa (SCC) mata menurun
sebesar 49% untuk setiap kenaikan 10 derajat dari lintang, berkurang hingga lebih
dari 12 kasus per juta per tahun di Uganda, menjadi kurang dari 0,2 kasus tiap juta
tiap tahun di Inggris. Insiden SCC menurun sekitar 29% tiap pengurangan unit
dalam paparan UV. (Newton et al. 1996). Terdapat banyak bukti yang
menghubungkan keganasan kulit dengan paparan UV. (English et al. 1997) Lesi
ini terjadi teruatama didaerah kulit yang sering terpapar sinar matahari. Lesi
OSSN sering ditemukan didaerah limbus kornea di daerah interpalpebral, di mana
paparan sinar matahari lebih besar. Limbus kornea merupakan daerah transisi, dari
konjungtiva menjadi epitel kornea, analog dengan junction squamocollumnar dari
serviks uteri yang rentan terhadap perubahan displastik. Peran dari sel induk
limbal pada perkembangan OSSN masih kontroversial. Sel-sel ini berumur
panjang dan memiliki potensi besar untuk divisi clonagenik. OSSN mungkin
terjadi dari disfungsi sel-sel induk limbal dan dari agen mutagenik seperti radiasi
UV yang menyebabkan mutasi pada gen penekan tumor P53, yang juga dikenal
sebagai gen TP53. Sebuah penelitian case-control telah menemukan bahwa mutasi
TP53 terdeteksi pada 56% kasus kanker (SCC) dan 14% dari kontrol. 50% dari
mutasi merupakan transisi CC-TT dimana terjadi mutagenesis dari molekular
signatur oleh sinar UV matahari. Prevalensi ini ditemukan tinggi bila
dibandingkan dengan jenis kanker laiinya (yang tidak melebihi dari 6%), tapi
didapatkan serupa dengan kanker kulit pada subyek dengan xeroderma
pigmentosum. (Ateenyi-Agaba et al. 2004) Elastosis akibat cahaya matahari juga

ditemukan lebih sering terjadi pada spesimen patologis dari neoplasia sel
skuamosa pada konjungtiva (53,3% kasus dan 3,3% dari kontrol). (Tulvatana et al.
2003) Satu penelitian imunohistokimia menunjukkan bahwa radiasi UV dapat
berperan sebagai agen stimulasi dalam ekspresi beberapa enzim proteolitik,
seperti matriks metalloproteinase (MMP) dan inhibitor jaringan mereka (TIMPs),
yang relevan dengan neoplasia. (Ng et al. 2008)
2.2 Human papilloma virus
Human papiloma virus (HPV) adalah virus onkogenik dan peranan mereka
dalam karsinoma serviks pada manusia sangat jelas, namun peranan mereka dalam
kejadian OSSN masih tidak jelas. Nakamura menunjukkan bahwa 50% dari tumor
skuamosa pada permukaan okular dan kantung lakrimal terkait dengan HPV.
(Nakamura et al. 1997) Biopsi spesimen bersama dengan analisis dari jaringan
archrival tertanam mengungkapkan bahwa HPV risiko rendah tipe 6 dan 11 adalah
jenis virus yang paling banyak ditemukan berhubungan dengan papilloma
konjungtiva. (Sjo et al 2007;. Verma et al. 2008) HPV risiko tinggi tipe 16 dan 18
juga didapatkan dalam papiloma konjungtiva, bagaimanapun, keduanya biasa
ditemukan di dysplasia kelas tinggi, atau karsinoma sel skuamosa invasif dari
konjungtiva. (Sjo et al 2007;.. Verma et al 2008) Satu penelitian mengidentifikasi
DNA dari HPV 16, 18, dan mRNA dari daerah E6, yang mewakili virus yang
ditranskripsi secara aktif dari semua spesimen dari neoplasia intraepithelial
konjungtiva dengan menggunakan teknik PCR (n = 10). (Scott et al. 2002)
Sebaliknya, beberapa studi telah gagal untuk menunjukkan keikutsertaan
HPV pada tumor epitel konjungtiva maligna dan menyimpulkan bahwa HPV tidak
berhubungan dengan lesi konjungtiva maligna dan ditimbulkan dari mekanisme
lain, seperti UVB yang lebih penting sebagai etiologi dari lesi ini. (Eng et al
2002;. Tulvatana et al 2003;. Sen et al 2007;.. Manderwad et al 2009) Dengan
demikian, hubungan antara HPV dan OSSN bervariasi pada wilayah geografis
yang berbeda, dan mungkin tergantung pada metode deteksi yang digunakan.(Eng
et al 2002;. Sen et al 2007;. Guthoff et al. 2009; Manderwad et al. 2009)

2.3 Human immunodeficiency virus


OSSN sekarang dikenal sebagai kanker yang terkait dengan AIDS dan
insidennya meningkat dengan kejadian pandemi HIV di Afrika. (Porges &
Groisman 2003) Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa HIV sangat terkait
dengan neoplasia skuamosa konjungtiva di Afrika dengan odds ratio sebesar 13
(HIV ditemukan positif dalam 71% kasus dan 16% dari kontrol). (Waddell et al.
1996) Sebuah studi case-control dari SCC konjungtiva di Uganda menunjukkan
peningkatan risiko sebesar 10 kali lipat untuk terjadi SCC konjungtiva pada
pasien yang terinfeksi HIV. (Newton et al. 2002) Tumor ini terjadi pada usia yang
lebih muda pada individu yang terinfeksi HIV dan sering bersifat lebih agresif
daripada pasien imunokompeten. OSSN mungkin merupakan manifestasi utama
atau manifestasi yang tampak dengan jelas dari infeksi HIV didaerah sub-Sahara
Afrika. (Spitzer et al. 2008) SCC juga dapat melibatkan sitdaerah non-okular
lainnya seperti orofaring, serviks, dan anorektum (Jeng et al. 2007). Satu
penelitian

dari

Amerika

Serikat

menemukan

bahwa

ada

peningkatan

dari prevalensi HIV di antara pasien dengan CIN yang berusia lebih muda dari 50
tahun. (Karp et al. 1996. Sebuah HIV/AIDS Cancer Match Registry Study in the
USA, menunjukkan bahwa risiko dari SCC konjungtiva meningkat terlepas dari
kategori HIV, jumlah limfosit CD4, dan waktu relatif dari onset AID. Risiko
tertinggi pada usia diatas 50 tahun, etnis hispanik, dan tinggal di daerah dengan
radiasi tinggi dari UV. (Guech-Ongey et al. 2008) Analisis jaringan
dari spesimen OSSN pada pasien HIV-1 telah mengidentifikasi beberapa virus
onkogenik termasuk HPV, EBV, dan KSHV, sehingga menyimpukan bahwa
agen-agen infeksi ini dapat berkontribusi untuk perkembangan dari keganasan ini
pada pasien HIV. (Simbiri et al. 2010)
2.4 Imunosupresi
Dari catatan, OSSN memiliki beberapa kesamaan dengan neoplasma kulit.
Diyakini bahwa supresi kekebalan lokal pada kulit dari kerusakan akibat sinar
matahari dapat menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi HPV, yang

dapat menyebabkan neoplasia. Risiko tambahan juga telah dilaporkan terjadi


pasien kanker dengan imunosupresi dan pasien transplantasi organ. (Shelil et al
2003;. Shome et al. 2006) Selain itu, terdapat laporan bahwa OSSN terjadi
setelah cangkok kornea, yang mungkin sebagian terkait dengan imunosupresi
lokal, HPV, atau mungkin bahwa sel-sel neoplastik telah ada sebelumnya pada
epitel kornea donor pada saat transplantasi. (Ramasubramanian et al. 2010)
2,5 Lainnya
Faktor-faktor lain yang terkait dengan kondisi ini termasuk usia tua, jenis
kelamin laki-laki (Lee & Hirst 1995; Sun et al. 1997), dan pigmentasi kulit kuning
langsat (Lee et al 1994;. Sun et al 1997), serta perokok berat. (Napora et al. 1990),
paparan terhadap produk minyak bumi (Napora et al. 1990), dan beberapa kondisi
genetik seperti xeroderma pigmentosum. Yang disebutkan terakhir adalah
kelainan genetik yang jarang terjadi, di mana terdapat reaktivitas berlebihan
terhadap luka yang diinduksi sinar UV dan menyebabkan peningkatan keganasan.
Penyakit ini sering terjadi pada anak usia dini dengan yang berat dan fotofobia.
(Kraemer et al 1987;.. Chidzonga et al 2009).Penggunaan yang lama dari prostesis
mata (Jain et al. 2010) dan memakai lensa kontak (Guex-OSC & Herbort 1993)
juga telah telah terlibat dalam patogenesis OSSN, meskipun buktinya masih
kurang
.
3. Manifestasi klinis
Spektrum klinis dari OSSN bervariasi dari lesi jinak seperti papiloma
skuamosa, lesi prakanker seperti dysplasia konjungtiva kornea- intraepitel
(CCIN), karsinoma insitu, dan karsinoma sel skuamosa invasif (SCC).
3.1 Papiloma konjungtiva
Papiloma skuamosa adalah bentuk yang paling umum dari lesi jinak yang
diperoleh pada konjungtiva. Ada dua bentuk papilloma konjungtiva: pedunkulata
dan sessile. Keduanya memiliki etiologi dan perjalanan klinis yang berbeda.
Papilloma konjungtiva pedunkulata adalah massa exophytic berdaging dengan

inti fibrovascular yang memiliki tangkai. (Gambar 1) Sering timbul di fornix


inferior, tetapi dapat pula terjadi pada tarsus atau konjungtiva bulbar. Lesi ini
berhubungan dengan HPV subtipe 6 atau 11 (Sjo et al. 2007), dan sering terjadi
pada anak-anak. Papiloma ini bisa mengalami regresi secara spontan, atau bisa
kambuh setelah eksisi bedah.
Gambar. 1. papilloma konjungtiva pedunkulata yang timbul dari palpebra
konjungtiva atas.
Papilloma sessile biasanya lebih ditemukan di limbus dan memiliki dasar
yang luas. Permukaan berkilauan dan titik-titik merah dalam jumlah banyak
menyerupai stroberi. (Gbr.2) Sebaliknya, lesi sessile biasanya terjadi pada orang
dewasa dan lebih rentan terjadi perubahan displastik. Lesi ini terkait dengan
HPV subtipe 16 atau 18. HPV subtipe 18 merupakan strain virus onkogenik yang
berkaitan erat dengan karsinoma serviks pada manusia
Gambar. 2. A. Masa sessile yang timbul dari konjungtiva bulbar. B.
Papiloma multipel melibatkan kulit dari dua jari pada pasien yang sama.
3.2 Neoplasia intraepithelial konjungtiva-kornea
Gejala klinis umumnya tidak spesifik, bervariasi dari tanpa gejala hingga
iritasi kronis, kemerahan, dan berbagai tingkatan keterlibatan visual yang
ditentukan dengan perluasan lesi menuju sumbu visual. Pola klinis mungkin
berupa papilliform, serta seperti beludru, agar-agar, leukoplaki, nodular atau
bahkan difus. (Gbr. 3-5) Lesi ini umumnya paling sering muncul di daerah
interpalpebral dari konjungtiva perilimbal, tetapi jarang terjadi di forniceal atau
palpebra konjungtiva. Sebuah plakat putih (leukoplakia) dapat terjadi pada
permukaan lesi, yang mewakili dari kejadian hiperkeratosis sekunder, yang
dihasilkan dari disfungsi sel skuamosa . Lesi konjungtiva bersifat mobile dengan
feeder vessel bagi masa. Tumor ini mungkin tampak sebagai lesi lokal yang
tumbuh secara perlahan-lahan yang mirip dengan tumor jinak degenerasi

konjungtiva, dan kadang-kadang terjadi bersamaan dengan pterygia atau


pingecula. (Hirst et al. 2009) Kadang-kadang, lesi dapat terjadi pigmentasi dan
terlihat sebagai melanoma maligna. (Shields et al. 2008) (Gbr.6) OSSN dapat
berupa difus atau memiliki keterlibatan bilateral. (Gbr.7) OSSN kornea biasanya
merupakan perluasan dari neoplasia skuamosa. Konjungtiva. Keterlibatan kornea
terisolasi telah dilaporkan ditemukan dengan bentuk yang berpotensi agresif tetapi
hal ini sangat jarang terjadi. (Gbr.8) Lapisan Bowman biasanya merupakan
pelindung terhadap lesi invasif. (Cha et al. 1993)
Gambar. 3. neoplasia intraepithelial konjungtiva tampak sebagai massa
nodular dengan fokus dari leukoplakia pada permukaan lesi.
Gambar. 4. neoplasia intraepithelial konjungtiva-kornea: massa agar-agar
datar dengan leukoplakia pada permukaan dan melibatkan 2 kuadran dari
limbus.
Gambar. 5. Neoplasia intraepithelial kornea melibatkan daerah sebesar 270
derajat dari limbus (perhatikan tufa vaskular yang muncul pada massa)
Gambar. 6. Neoplasia intraepithelial konjungtiva-kornea tampak sebagai
massa nodular dengan pola papillomatous dan hiperpigmentasi (perhatikan
feeder vessels yang ada).
Gambar. 7. Neoplasia intraepithelial konjungtiva-kornea bilateral pada
pasien yang terinfeksi HIV.
A. lesi berpigmen dengan fibrovascularfond timbul di limbus. B. Lesi difus
datar yang melibatkan 360 derajat limbus (perhatikan epitel kornea sentral
yang cacat pada foto).

Gambar. 8. Neoplasia intraepithelial kornea muncul sebagai massa kelabu


datar dengan perbatasan berfimbriae dan keratinisasipermukaan.
3.3 Karsinoma sel skuamosa
Karsinoma sel skuamosa merupakan tahap akhir dari tumor ini di mana
epitel displastik menyerang hingga ke luar membran basal ke substansia propia
konjungtiva atau stroma kornea. Secara klinis, karsinoma sel skuamosa invasive
umumnya lebih besar dan lebih meninggi daripada CIN (Gbr.9). Dalam
prakteknya, hal itu bisa jadi tidak mungkin untuk membedakan karsinoma sel
skuamosa invasif dari lesi intraepitel atau karsinoma in-situ dengan menggunakan
fitur klinis saja. Namun, lesi tahap lanjut atau massa tak mobile dan terfiksir pada
bola mata harus dicurigai sebagai lesi invasif. Sebuah massa yang secara jangka
panjang diabaikan atau massa yang dieksisi secara tidak lengkap dapat
menginvasi melalui bola mata atau orbita. (Gbr.10) Invasi lokal adalah mekanisme
yang paling umum untuk penyebaran tumor. Invasi intraokular mungkin
berhubungan dengan iritis, glaukoma, ablasio retina, atau ruptur bola
mata. Metastasis jarang terjadi, dan lokasi di luar mata pertama yang terkena
adalah kelenjar getah bening regional.
Gambar. 9. Karsinoma sel skuamosa invasif melibatkan dua kuadran
konjungtiva dan kornea (perhatikan pola vaskular papiler yang ada pada
pada massa dengan feeder vessels).
Sebuah varian langka karsinoma sel skuamosa konjungtiva adalah
karsinoma mucoepidermoid. Secara klinis, tumor ini terjadi pada pasien yang
lebih tua dan memiliki komponen kistik kuning bulat karena adanya sel-sel yang
mensekresi mukosa secara berlimpah di dalam kista. Jenis ini cenderung lebih
agresif daripada karsinoma sel skuamosa standar, sehingga memerlukan eksisi
luas dan follow up yang lebih teliti. Varian karsinoma sel skuamosa sel spindle
juga merupakan bentuk agresif. (Shields et al. 2007)

Gambar. 10. Sebuah karsinoma sel skuamosa tahap lanjut melibatkan


seluruh permukaan kornea dan konjungtiva dengan tonjolan massa ke
kelopak mata bawah.
4. Diagnosis dan Pemeriksaan
Ada beberapa poin yang harus dipenuhi sebelum mencapai diagnostik dan
perencanaan pengelolaan untuk OSSN, termasuk temuan klinis dan patologis,
serta penyuluhan dan komplikasi dari tumor.

Fitur klinis lesi: morfologi, ukuran, lokasi, permukaan, feeder vessels, dan
lokasi anatomi yang tepat apakah konjungtiva (bergerak dengan
konjungtiva

ketika

melakukan

anestesi

topikal

dengan

ujung

aplikatorkapas) atau perlibatan scleral (terfiksir pada bola mata).

Penilaian perluasan lesi


o Invasi intraokular: melakukan gonioscopy untuk menilai sudut
invasi tumor.(Gbr.11) pemeriksaan fundus dilated harus dilakukan
untuk menilai invasi intraokular. Dalam kasus opasitas media,
pemindaian USG B-scansangat membantu untuk menilai sclera dan
penyebaran intraokular.
o Invasi Orbital: dengan menggunakan CT scan atau MRI scan,
akurasi dan perluasan massa secara akurat dapat menilai
keterlibatan mata anterioratau orbital.
o Penyebaran ke kelenjar getah bening regional: sangat penting
untuk menilai kelenjar getah bening regional (kelenjar getah
bening preauricular, submandibula dan servikal) sebagai bagian
dari pemeriksaan klinis.

Diagnosis patologis
Karena tampilan klinis saja mungkin tidak membedakan lesi intraepithelial
dari lesi invasif, baku emas untuk diagnosis pasti adalah histologi jaringan,
yang dapat dilakukan oleh insisi atau eksisi biopsi. Untuk tumor yang
relatif kecil (< 4 jam keterlibatan limbus atau diameter basal<15 mm),

biopsi eksisi umumnya lebih disukai dari pada biopsi insisi. Lesi yang
lebih besar dapat didekati oleh wedge biopsyatau punch biopsy. Biopsi
insisi juga cocok untuk kondisi yang idealnya diobati dengan kemoterapi
topikal, atau perawatan lain, seperti radiasi.
Gambar. 11. Karsinoma sel skuamosa A. massa difus melibatkan lebih dari
dua kuadran limbus. Temuan B. Temuan Gonioscopic dalam mata yang
sama menunjukkan invasi angulus oleh massa.
4.1 Histologi
Fitur histologis OSSN dapat diklasifikasikan sesuai dengan keberadaan
sel-sel displastik yang berasal dari lapisan sel basal yang meluas ke arah
permukaan. Ada berbagai pola perubahan displastik, mulai dari sel-sel skuamosa
kecil dengan peningkatan rasio inti-sitoplasma (N/C), sel-sel skuamosa besar
dengan inti hiperkromatik, dan sel spindle di sekitar inti berbentuk oval. Sel-sel
displastik mengandung inti yang abnormal baik dengan pleomorfisme nuklir atau
anisonukleosis.Selain itu, gambaran tanda mitosis mengalami peningkatan dan
secara bertahap terdorong ke arah permukaan seiring dengan tingkat
displasia. Banyak gambaran mitosis yang abnormal.Istilah histologis digunakan
untuk menggambarkan OSSN meliputi (Font et al 2006.):

Displasia: lesi epitel displastik konjungtiva dan kornea terbagi menjadi


tiga kelas berdasarkan ketebalan keterlibatan intraepitel. Koilocytes jarang
teridentifikasi

namun

ditemukan. Ketebalan

sugestif
keterlibatan

untuk

infeksi

HPV

dapat

diperkirakan

bila
dengan

menggunakan pengecatan Periodic acid-Schiff (PAS) untuk menunjukkan


adanya glikogen dalam sel skuamosa superfisial non-neoplastik. Selain itu,
immunostaininguntuk proliferating cell nuclear antigen(PCNA), Ki-67
dan

p53

serta

pengecatan

argyrophillic

nucleolar

organizer

region(AgNOR) mungkin berguna untuk grading lesi displastik serta


menentukan korelasi dengan temuan morfologi klinis. (Aoki et al
1998).Grading displasia digambarkan sebagai:

o Ringan -Kurang dari sepertiga ketebalan dari epitel ditempati oleh


sel-sel atipikal (Gbr.12A)
o Sedang - dalam tiga kuartal ketebalan epitel ditempati oleh sel-sel
atipikal.
o Parah - ketebalannya hampir seluruh epitel ditempati oleh sel-sel
atipikal (Gbr.12B).

Karsinoma in situ: neoplasia melibatkan seluruh ketebalan epitel dengan


hilangnya lapisan permukaan normal. (Gbr.12C) Pengumpulan pembuluh
darah yang berproliferasi dan perluasan jaringan ikat di sepanjang daerah
neoplastik dapat membuatnya mirip dengan papilloma sessile. (Pizzarello
& Jakobiec 1978)

Karsinoma sel skuamosa invasif: seluruh ketebalan epitel telah digantikan


oleh sel-sel displastik dan membran basal lapisan epitel basal telah
tertembus karena invasi sel displastik ke substantiapropia. Pembentukan
sarang sel kanker dan sel-sel kanker tunggal dengan inti aneh dalam
stroma adalah tanda untuk definitif karsinoma jenis invasif. (Tunc et al.
1999) (Gbr.12D)

4.2 Sitologi
Sitologi permukaan okular dapat dilakukan dengan dua teknik utama:
pertama dengan sitologi eksfoliatif dengan menggunakan kerokan spatula atau
cytobrush untuk mengumpulkan sampel, dan kedua adalah sitologi impresi
dengan menggunakan perangkat pengambil untuk mengumpulkan sampel melalui
kontak dengan permukaan lesi. Fitur sitologi dari OSSN telah ditelaah oleh
beberapa penulis. (Lee & Hirst 1995)

Displasia: Sel skuamosa dengan bantalan inti membesar dengan granulasi


halus hingga kasar pada kromatininti, batas inti tidak teratur, sitoplasma
sedikit. Latar belakang bersih.

Karsinoma in situ: Berbagai jumlah sel displastik dengan campuran sel-sel


ganas utuh dan terpelihara dengan baik. Beragam ukurannya dengan

sitoplasma sedikit, biasanya <1 diameter nuklir lebarnya. Inti yang


membesar menunjukkan gambaran neoplastik dari hiperkromatisme,
penebalanmembran

inti

tidak

teratur,

atau

pengerasan

membran

inti. Gambaran inti lainnya termasuk kliring atau kondensasi chromatins


inti abnormal dan nukleoliasidofilik yang besar. Namun, latar belakang
apusan dalam keadaan bersih.

Karsinoma sel skuamosa invasif: gambaran sitologi dari SCC telah dinilai
menjadi dua kelompok.
o Grade1-2: Ditandai aberasi sitologi dengan tanda sel ganas aneh
termasuk tadpole cell dengan cytolplasmic tail, selserat atau
spindle, sel hiperkeratinisasi dengan sitoplasma merah atau oranye
refraktil buram, dan inti ganas.
o Grade 3-4: Sel kanker besar atau kecil dengan sitoplasma
sedikit. Sel mukosanya tidak berkeratin mungkin sebagian sel yang
rusak, atau kehilangan bantalan sitoplasma secara lengkap dengan
inti pleomorfik besar hingga raksasa. Dengan invasi dalam dan
ulserasiyang lebih, latarbelakang "diatesis" tumor-sel tumor
nekrotik, eksudat debris sel, darah, dan leukosit dalam keadaan
yang lebih menonjol.
Keuntungan dari sitologi yakni teknik yang sederhana dalam diagnosis dan

tindak

lanjut

setelah

pengobatan

OSSN,

terutama

untuk

mendeteksi

rekurensi. Namun, beberapa masalah telah dilaporkan dalam teknik sitologi


eksfoliatif yang dapat meliputi beberapa tingkat ketidaknyamanan bagi pasien,
masalah dengan artefakpengeringan, masalah dengan tumpang tindih seluler (sulit
untuk menafsirkan spesimen secara terpercaya) dan lesi yang tak terlokalisir.
Sitologi impresi (IC) adalah teknik untuk mengumpulkan lapisan
permukaan dari permukaan mata dengan menggunakan alat pengambil. Yang
sering digunakan adalah kertas filter asetat selulosa dengan ukuran pori berkisar
antara 0,025-0,45 mikron atau bahan lainnya (filter nitroselulosa, membran
biopori, atau filter polieter sulfon) (Calonge et al 2004) sehingga sel-sel

menempel ke permukaan material dan dapat diangkat dan diproses lebih lanjut
untuk analisis dengan berbagai metode. IC merupakan teknik sederhana dan noninvasif untuk diagnosis dan follow up setelah pengobatan beberapa gangguan pada
permukaan mata. Keuntungan utamanya adalah bahwa cara ini memungkinkan
pengumpulan sampel epitel yang relatif mudah dengan tingkat ketidaknyamanan
minimal bagi pasien, dapat dilakukan secara rawat jalan, dan memungkinkan
lokalisasi lebih tepat pada daerah yang sedang diperiksa. Selain itu, hubungan sel
ke sel dapat dinilai, yang memungkinkan seseorang untuk melihat sel-sel sesuai
keadaan in vivo.
Gambar. 12. Gambaran histologis. Displasia ringan A.; sel-sel basal yang
teratur dengan peningkatan ukuran inti dan kromatin inti yang kasar. B.
displasia berat; sel-sel epitel yang bervariasi dalam bentuk dan ukuran
dengan inti pleomorfik besar. Sel-sel permukaan merata dengan inti
pyknotic. C. Karsinoma in situ: seluruh ketebalan epitel terdiri dari sel-sel
displastik dengan bantalan inti pleomorfik. Perhatikan reaksi inflamasi
dalam stroma. D. Invasif karsinoma sel skuamosa; sarang invasif dalam
stroma terdiri dari sel-sel aneh mirip dengan yang di epitel. Inti yang
plemorfik dengan membran inti tebal dan nukleolus yang menonjol
(Pengecatan Hematoksilin dan Eosin . Pembesaran asli X40) memberikan
yang ketidaknyamanan bagi pasien, dapat dilakukan pada kondisi rawat
jalan, dan memberikan lokalisasi area yang lebih tepat untuk diteliti. Selain
itu, hubungan antara satu sel dengan yang lainnya dapat dinilai, yang
memberikan kesempatan melihat sel-sel tersebut ada secara in vivo.
Keberhasilan hasil IC dalam menegakkan diagnosis OSSN pada kasuskasus yang telah terkonfirmasi secara histologis telah dilaporkan, dengan hasil
positif sekitar 77 80 % kasus. (Nolan et al. 1994; Tole et al. 2001) Salah satu
penelitian pada tumor-tumor permukaan okular menemukan bahwa IC memiliki
nilai prediktif positif sebesar 97.4% dan nilai negatif sebesar 53,9%, jika
dibandingkan dengan histologi. (Tananuvat et al. 2008) Keterbatasan IC adalah,

pertama, IC dapat kurang sensitif untuk kasus-kasus dengan lesi-lesi keratotik,


karena lesi-lesi keratotik umum ditemukan pada OSSN (68%) dibandingkan
dengan sejumlah kecil insidensi pada kanker serviks. Kedua, IC tidak mungkin
membedakan karsinoma in situ dari penyakit minimal invasif, karena hanya selsel superfisial yang terkumpul pada metode IC. Oleh karena itu, biopsi jaringan
masih diperlukan dalam kasus-kasus sitologi negatif.
Hingga saat ini, belum terdapat kriteria sitologi yang telah teridentifikasi
untuk membedakan karsinoma invasif dengan in situ pada sampel-sampel IC
secara terpercaya. Abnormalitas sel skuamosa dapat diklasifikasikan ke dalam 4
kelompok, menggunakan modifikasi dari sistem Bethesda dari sitologi serviks
(Solomon et al. 2002): (1) sel-sel skuamosa atipikal (atypical squamous cells/
ASC) (Gambar 13.B); (2) lesi-lesi skuamosa inraepitelial derajat rendah (low
grade squamous intraepithelial lesions/ LSIL), yang mencakup papiloma
skuamosa dan dysplasia ringan (Gambar 13.C); (3) lesi-lesi skuamosa
intraepithelial derajat tinggi (high grade squamous intraepithelial lesions/ HSIL),
yang meliputi dysplasia sedang hingga berat dan karsinoma in situ (carcinoma in
situ/ CIS) (Gambar 13.D-E); dan (4) karsinoma sel skuamosa (squamous cell
carcinoma/ SCC). (Gambar 13.F) Salah satu rangkaian OSSN menemukan bahwa
SCC dari pemeriksaan sitologi memiliki rerata korelasi tertinggi (91,7%) dengan
hasil histologi yang disertai oleh HSIL (45,5%), ASC (42,9%), epitelial normal
(33%), dan LSIL (21,4%). (Tananuvat et al. 2008) Barros dan rekan-rekannya
menggunakan

penilaian

indeks

modifikasi

dari

sistem

Bethesda

yang

membuktikan bahwa suatu skor indeks prediktif > 4,5 menunjukkan titik potong
terbaik untuk diagnosis SCC menggunakan IC dengan sensitivitas 95%,
spesifisitas 93%, nilai prediktif positif 95%, dan nilai prediktif negatif 93%.
(Barros et al. 2009) Oleh karena itu, keterampilan dan pengalaman ahli sitologi
diperlukan untuk interpretasi spesimen-spesimen IC.
4.3Analisis imunohistokimia : indeks proliferative KI-67
Antigen nuklear Ki-67 diekspresikan dalam semua fase siklus sel, kecuali
pada fase G0. Analisis imunohistokimia Ki-67 telah diterapkan pada diagnosis

histopatologis dari tumor-tumor ganas. Pada mukosa skuamosa serviks normal,


sel-sel positif Ki-67 ditemukan utamanya pada lapisan parabasal. Pada lesi-lesi
intraepithelial skuamosa serviks (squamous intraepithelial lesions/ SIL), jumlah
sel-sel positif Ki-67 meningkat dengan meningkatnya derajat dari normal ke SIL
derajat rendah (LSIL) dan ke SIL derajat tinggi (HSIL). Temuan serupa juga telah
dilaporkan pada kasus SCC konjungtiva dan neoplasia intraepithelial. Dalam salah
satu penelitian yang membandingkan spesimen jaringan yang dikumpulkan dari
lesi-lesi SCC, CIN, dan non-CIN (pterigium), membuktikan bahwa indeks
priloferatif Ki-67 (Ki-67 PI) secara signifikan lebih tinggi pada SCC dan CIN
dibandingkan pada pterigium. (Ohara et al. 2004) Dalam penelitian lainnya, Ki67 PI dari CIN terhitung sebesar 20 48 % yang secara signifikan lebih besar
dibandingkan lesi-lesi non-CIN (8 12 %) dan konjungtiva normal (8 12 %).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat signifikansi sel-sel positif
P53 pada lesi-lesi CIN dibandingkan lesi-lesi non-CIN dan konjungtiva normal
akibat standar deviasi yang lebar. (Kuo et al. 2006) Oleh karena itu, Ki-67 PI
berperan sebagai petanda diagnostik penting untuk OSSN.
Gambar 13. Fitur sitologis dari spesimen-spesimen sitologi. A. Sel-sel
skuamosa normal dengan nuklei kecil dan granul-granul keratohyalin halus.
B. Sel-sel atipikal dengan peningkatan rasio nukleus terhadap sitoplasma (N/
C) dan sitoplasma tampak glassy. C. Lesi-lesi intraepithelial kornea derajat
rendah; sel-sel displastik memiliki ukuran bervariasi dengan peningkatan
rasio N/ C. Mereka serupa dengan sel-sel basal. Sel-sel skuamosa polygonal
besar dengan nuklei kecil juga diinklusikan. D. Lesi-lesi intraepithelial
kornea derajat tinggi; nuklei pleomorfik dengan kromatin nuklear kasar. E.
Lesi intraepithelial kornea derajat tinggi dengan eksudat-eksudat inflamasi
pada latar belakangnya. Sel-sel displastik berkelompok dengan nuklei
pleomorfik. F. Karsinoma sel skuamosa. Sel-sel kanker ber-spindle dan kecil
yang disertai dengan latar belakang inflamasi. Detail nuklear sulit tercatat
karena sel-sel saling tumpang tindih, yang satu dengan yang lainnya.
(Pengecatan Papanicolaou. Pembesaran asli 40x)

4.4 Perangkat investigasi lainnya


Saat ini, mikroskop konfokal in vivo telah terbukti berguna sebagai teknik
non-invasif untuk menginvestigasi berbagai lesi permukaan okular, termasuk
OSSN. Dua buah penelitian menemukan bahwa temuan mikroskopik konfokal
berkorelasi erat dengan fitur-fitur histologik dalam CIN, sehinggi memberikan
monitoring ketat terhadap kondisi selama terapi. (Alomar et al. 2011; Parrozzani
et al. 2011) Bagaimanapun, ketika membandingkan secara histologi, terdapat
beberapa keterbatasan. Pertama, mikroskop konfokal memberikan tampilan en
face dari sel-sel dibandingkan dengan tampilan cross-sectional dari jaringan
histologi. Kedua, proses fiksasi diperlukan untuk hasil histologi dari jaringan yang
mengkerut/ shrinkage, dengan demikian, perbandingan morfometrik antara
jaringan hidup dan terfiksasi dapat ditampilkan dalam konteks ini. Ketiga, adalah
sulit untuk mengumpulkan tampilan mikroskopik konfokal in vivo dan tampilan
histologik dari lokasi jaringan yang benar-benar sama untuk diperiksa.
Tomografi koherens optik (optical coherence tomography/ OCT) dengan
resolusi tinggi ultra (ultra high resolution/ UHR), merupakan suatu teknik
diagnostik untuk menilai lesi-lesi segmen mata mata anterior, yang digunakan
untuk menegakkan diagnosis dan follow-up setelah pengobatan dari neoplasia
intraepithelial kornea-konjungtiva (conjunctival-corneal intraepithelial neoplasia/
CCIN) dalam rangkaian kasus prospektif. Tampilan UHR OCT berkorelasi baik
dengan spesimen histologi yang diperoleh dari biopsi insisi sebelum terapi. UHR
OCT mampu mendeteksi penyakit sisa yang secara klinis tak tampak.
Keterbatasan dari mesin ini adalah kemampuan untuk mendeteksi lesi-lesi
mikroinvasif karena resolusi dari UHR OCT saat ini diperkirakan hanya 2 mikron,
sehingga tidak dapat mendeteksi fitur-fitur intraseluler. (Shousha et al. 2011)
Diagnosis diferensial/banding
Karena sifat non-invasif OSSN, diagnosis sering kali terlewatkan atau
terlambat. Keluhan-keluhan pasien terkadang diobati sebagai konjungtivitis

kronik. Kondisi-kondisi lainnya yang sering kali salah antara lain : pterigium,
pingecula, pannus kornea, keratokonjungtivitis viral, dan distrofi kornea.
5. Penatalaksanaan
5. 1 Papiloma konjungtiva
Banyak papiloma konjugtiva yang mengalami regresi spontan. Papiloma
pedunkulata merupakan papiloma kecil, yang secara kosmetik dapat diterima dan
sering kali asimtomatik, meskipun dibutuhkan berbulan-bulan hingga bertahuntahun untuk resolusi spontan. Lesi-lesi yang lebih besar dan lebih berpedukulata
secara umum menimbulkan gejala dan tidak dapat diterima secara kosmetik, oleh
karena itu, direkomedasikan dilakukan operasi ditambah dengan kryoterapi.
Papiloma sesil harus diobservasi secara ketat. Jika terdapat bukti bahwa terjadi
perubahan displastik, eksisi dengan kryoterapi harus dilakukan.
Eksisi komplit tanpa manipulasi tumor (teknik tanpa sentuh) merupakan
bagian krusial dari operasi eksisi untuk meminimalisir risiko virus menyebar ke
konjungtiva sehat yang tak terlibat. Kryoterapi freeze-thaw ganda diaplikasikan ke
konjuctiva yang tereksisi untuk mencegah rekurensi tumor. Suatu eksisi yang
tidak lengkap dapat menstimulasi pertumbuhan dan menyebabkan rekurensi lesi
dan perburukan outcome kosmetik.(Gambar 14) Interferon- alpha 2b topikal
(Schechter et al. 2002; Kothari et al. 2009) dan mitomycin C(Hawkins et al.
1999; Yuen et al. 2002) telah digunakan dalam terapi papiloma konjunctiva. Agenagen imunomodulasi seperti cimetidin oral menyebabkan regresi viral terkait
papiloma. (Chang & Huang 2006)
Gambar

14.

Papiloma

konjungtiva

rekuren

multifocal

melibatkan

konjungtiva palpebra inferior, forniks, karankula, dan punctum inferior


setelah dua kali eksisi sebelumnya.
5.2 Neoplasia skuamosa preinvasif dan invasif
5.2.1 Pembedahan

Penatalaksanaan OSSN bervariasi tergantung dari luasnya lesi. Metode


OSSN yang paling diterima adalah eksisi bedah komplit. Namun, sisa sel-sel
tumor yang ditinggalkan di jaringan perbatasan dapat menginduksi terjadinya
rekurensi tumor. Terapi adjuvan seperti kryoterapi, abrasi alkohol, atau agen-agen
topikal digunakan untuk benar-benar memberantas sel-sel tumor dari permukaan
mata. Dengan demikian, strategi pengobatan utama adalah eksisi komplit tumor
dengan margin bebas bedah luas yang diikuti oleh kryoterapy freeze-thaw ganda
pada margin konjungtiva dan alkohol epiteliektomi untuk komponen kornea.
Dalam kasus tumor yang menempel okuli, sebuah lapisan tipis lamella sklera yang
mendasari harus diangkat.
Untuk mengurangi kemungkinan rekurensi tumor, teknik bedah standar
harus ditekankan dalam semua kasus. Teknik "tanpa sentuh" yang diusulkan oleh
Shieldet al. (Shields et al. 1997) merupakan pendekatan bedah yang telah diterima
secara luas karena komponen konjungtiva, bersama dengan fascia Tenon ini, harus
dipotong dengan manipulasi minimal terhadap tumor karena sel-sel dari tumor ini
subur sehingga dapat menanamkan benihnya ke jaringan yang berdekatan.
Selain itu, operasi harus dilakukan dengan menggunakan teknik mikroskopik dan
bidang operasi harus dipertahankan tetap kering sampai tumor benar-benar
diangkat untuk meminimalkan penyebaran sel tumor. Kryoterapi diduga berperan
langsung melalui efek merusak pada sel-sel, serta menyebabkan hilangnya
mikrosirkulasi di area yang diterapi, hal ini menyebabkan infark iskemik dari
jaringan abnormal. Teknik ini dilakukan dengan membekukan konjungtiva bulbi
yang terdapat di sekitarnya setelah diangkat dari sklera menggunakan kryoprobe.
Ketika bola es mencapai ukuran 4-5 mm, maka diperbolehkan untuk mencair dan
siklus diulangi. Komplikasi yang mungkin terjadi akibat penyalahgunaan teknik
ini atau ketika bulbus sengaja dibekukan antara lain: katarak, uveitis, penipisan
sklera dan kornea, serta phthisisbulbi.
Dalam kasus tumor lanjut, defek konjungtiva luas yang dikibatkan oleh
eksisi, terutama yang lebih dari 4 jam, sering kali membutuhkan penggantian
jaringan dari flap konjungtiva transpositional, suatu autograft konjungtiva bebas

dari mata yang berlawanan, graft mukosa bukal, atau transplantasi membran
amnion.
Namun, OSSN dapat disebarkan atau multifokal, dengan batas-batas yang
sulit dideteksi secara klinis, dan juga terdapat kesempatan bagi area ini terlewati
dari pemeriksaan histopatologi. Tingkat kekambuhan yang dilaporkan setelah
pengobatan bedah sangat signifikan (berkisar antara 15% -52%). (Lee & Hirst
1995; Tabin et al 1997;. Sudesh et al 2000;.. McKelvie et al 2002) Eksisi
inkomplit dengan margin bedah yang positif telah diidentifikasi sebagai faktor
risiko utama terhadap kekambuhan. (McKelvie et al. 2002) Semakin berat derajat
OSSN maka semakin tinggi tingkat rekurensi. Dengan kryoterapi adjuvan, tingkat
rekurensi tampaknya berkurang (dari 28,5% pada OSSN primer dan 50% pada
OSSN rekuren setelah eksisi sederhana, menjadi 7,7% dan 16,6% setelah eksisi
dengan kryoterapi). (Sudesh et al. 2000)
Kekurangan dari pengobatan bedah adalah komplikasi yang dihasilkan
dari proses penyembuhan, terutama pada lesi-lesi lanjut, yaitu jaringan granulasi,
symblepharon,

pseudopterygium,

diplopia

akibat

pemendekan

jaringan,

blepharoptosis, defisiensi sel induk/ stem cell limbal, dan komplikasi lain.
Permasalahan-permasalahan bedah ini menyebabkan penyelidikan lebih lanjut ke
metode pengobatan alternatif yang lebih aman.
5.2.2 Kemoterapi
Karena tingkat kekambuhan yang relatif tinggi setelah eksisi bedah,
berbagai perawatan topikal telah dianjurkan sebagai terapi tunggal untuk OSSN.
Terapi topikal menawarkan suatu metode non-bedah untuk mengobati seluruh
permukaan mata dengan kurang menekankan pada definisikan margin tumor.
sehingga berpotensi menghilangkan lesi-lesi subklinis. Pengobatan topikal dapat
mengunakan obat dengan konsentrasi tinggi, untuk menghindari efek samping
sistemik. Di samping itu, peningkatan biaya, stres, nyeri, dan trauma yang terkait
dengan prosedur bedah juga dapat dihindari. Berbagai obat topikal telah
digunakan secara efektif untuk mengobati kondisi ini, yaitu mitomycin C (MMC),
5-fluorouracil (5-FU), dan interferon. MMC merupakan agen topikal yang paling

sering digunakan oleh kelompok dokter spesialis penyakit eksternal. (Stone et al.
2005) Agen-agen ini telah digunakan sebagai terapi tunggal atau adjuvan
pembedahan (preoperasi, intraoperasi, dan pascaoperasi) untuk pengobatan
OSSN.
Mitomycin C
Mitomycin C (MMC) adalah antibiotik ankylating yang mengikat DNA
dalam seluruh fase siklus sel yang menyebabkan cross-linking ireversibel dan
penghambatan sintesis nukleotida. Ketika diaplikasikan pada permukaan
konjungtiva sebagai adjuvan pembedahan, MMC telah terbukti menghambat
migrasi sel fibroblast, menurunkan produksi matriks ekstraseluler, dan
menginduksi apoptosis pada fibroblast kapsula Tenon. Selain itu, juga diketahui
bahwa efek jaringan kronis dari pemberian MMC topikal dapat bertahan selama
bertahun-tahun setelah penghentian pengobatan, sehingga meniru efek radiasi
ionisasi. (McKelvie & Daniell 2001)
MMC telah banyak digunakan dalam operasi glaukoma dan pterygium
karena efek anti-fibrotik pada fibroblast subkonjungtiva. Penggunaan MMC untuk
pengobatan OSSN pertama kali deskripsikan pada tahun 1994. (Frucht-Pery &
Rozenman 1994) Sejak saat itu, berbagai seri kasus yang menggunakan MMC
telah dipublikasi dengan konsentrasi dan jangka waktu yang berbeda. Protokol
umum dari pemberian MMC topikal berkisar dari 0,02% -0,04% dan diberikan
empat kali sehari untuk mata yang sakit selama 7 sampai 28 hari. (Gambar 15)
Dalam salah satu seri kasus menunjukkan bahwa bahkan MMC dengan
konsentrasi yang lebih kecil dari 0,002% efektif dalam pengobatan OSSN primer
dan rekuren. (Prabhasawat et al. 2005) Beberapa penelitian (mirip dengan yang
digunakan dalam fraksinasi radiasi dalam pengobatan kanker-kanker sistemik)
menyukai siklus 7 hari dan bergantian antar-minggu (1 minggu pemberian dan 1
minggu off) untuk memungkinkan sel-sel Satu percobaan randomise control
menemukan bahwa tetes mata MMC 0,04% yang digunakan 4 kali sehari selama 3
minggu efektif dan menyebabkan resolusi awal pada OSSN noninvasif. Tingkat
resolusi relatif pada MMC dibandingkan dengan plasebo adalah 40,87 dan waktu

rata-rata untuk resolusi tumor dalam penelitian ini adalah 121 hari, serta tidak ada
komplikasi yang serius yang ditemukan pada follow up jangka menengah. (Hirst
2007) MMC juga telah digunakan sebagai tambahan terapi bedah untuk OSSN:
perioperatif, untuk mengurangi ukuran lesi yang luas sebelum eksisi bedah
(chemoreduction), intraoperatif, dan postoperatif untuk mengurangi kekambuhan
(Kemp et al, 2002; Chen et . al 2004; Gupta & Muecke 2010)
Gambar. 15. neoplasia kornea intraepithelial berat yang diobati dengan
mitomycin C 0,02% empat kali sehari, bergantian setiap minggu: A.
Penampilan sebelum pengobatan; B. Lesi sebagian terobati dua bulan setelah
pengobatan; C. Massa sepenuhnya terobati tiga bulan setelah pengobatan; D.
Kornea tampak jelas tanpa adanya kekambuhan delapan tahun kemudian.
Gambar. 16. A. Skleritis mata dengan neoplasia konjungtiva intraepithelial
setelah biopsi eksisi dan pasca operasi mitomycin C.B. Scleral menipis pada
mata yang sama satu tahun kemudian setelah scleritis terobati.
Komplikasi yang dilaporkan pada pengobatan MMC terhadap OSSN
diantaranya hiperemia konjungtiva, erosi epitel punctum, dan keratoconjunctivitis.
Serangkaian penelitian retrospektif yang luas (n = 100 mata) terhadap tumor
permukaan mata yang diobati dengan MMC topikal 0,04% mengungkapkan
bahwa reaksi alergi dan stenosis punctum adalah dua komplikasi yang sering
terjadi. (Khong & Muecke 2006) Beberapa efek samping ini dapat diatasi dengan
menghentikan obat dan menambahkan steroid topikal 3-4 kali sehari. Tidak ada
perubahan signifikan yang ditemukan pada sel endotel kornea setelah pengobatan
dengan MMC topikal 0,04% yang diberikan secara siklik. (Panda et al. 2008)
Namun, ditemukan bahwa MMC memiliki efek yang dapat menyebabkan
kerusakan pada sel endotelium setelah operasi pterygium, sehingga obat ini harus
digunakan secara bijaksana dan diikuti dengan pengawasan jangka panjang.
(Bahar et al. 2009) Meskipun efek samping yang sering terjadi terkait dengan
pemberian MMC topikal dapat berbeda pada setiap individu, defisiensi limbal
stem cell dipandang sebagai komplikasi jangka panjang yang signifikan. (Dudney

& Malecha 2004; Russell et al 2011.) McKelvie and co melaporkan efek MMC
terhadap perngobatan OSSN pada aspek sitologi; MMC terlihat dapat
menyebabkan kematian sel secara apoptosis dan nekrosis. Perubahan seluler yang
berkaitan dengan MMC disebabkan oleh radiasi-cytolmegaly, nucleomegaly, dan
vacuolation. Perubahan ini dapat bertahan setidaknya 8 bulan setelah penghentian
terapi MMC. (McKelvie & Daniell 2001) Perubahan sitologi jangka panjang pada
permukaan okular yang diinduksi oleh MMC telah dibuktikan dalam penelitian
lain. (Dogru et al. 2003) Komplikasi MMC seperti scleromalacia, perforasi
kornea, katarak, glaukoma, dan uveitis anterior telah dilaporkan dalam
pengobatan pterygium dan harus menjadi perhatian jika agen ini digunakan dalam
lesi konjungtiva terbuka atau digunakan secara berlebihan. (Rubinfeld et al. 1992)
(Gambar 16)
Ketika MMC diresepkan sebagai pengobatan untuk OSSN, harus
dilakukan beberapa tindakan pencegahan. Pasien dan keluarga mereka disarankan
untuk hati-hati dalam menggunakan obat. Wanita hamil dan anak-anak harus
menghindari kontak langsung dengan obat. Pasien harus diinstruksikan untuk
menutup mata mereka selama setidaknya 5 menit setelah instillasi (terjadinya
pengaruh yang bengangsur-angsur) dari MMC atau penyumbat ditempatkan di
kedua punctum superior dan inferior untuk menghindari penyerapan obat secara
nasolakrimalis maupun sistemik. Karena MMC adalah agen kemoterapi, semua
botol sisa obati ini harus dikembalikan ke apotek agar dapat dibuang dengan cara
yang tepat.
5-Fluorouracil
Seperti halnya MMC, 5-fluorouracil (5-FU) topikal telah digunakan untuk
menghambat subconjunctival fibroblas pada operasi glaukoma. 5-FU adalah
antimetabolit yang digunakan untuk mengobati banyak kanker epitel karena
aksinya yang cepat terhadap sel-sel yang berproliferasi dengan cepat. Cara
kerjanya dengan menghambat timidilat sintetase selama fase S dari siklus sel,
mencegah sintesis DNA dan RNA pada sel yang membelah dengan cepat
disebabkan kurangnya timidin. Pemberian 5-FU 1% topikal selama siklus 4 hari
"on" diikuti oleh 30 hari "off" sampai terjadi resolusi lesi adalah metode yang

efektif serta dapaat ditoleransi dengan baik pada pengobatan OSSN, baik tunggal
maupun sebagai obat tambahan untuk tindakan eksisi atau terapi debulking.
(Yeatts et al 2000;. Al-Barrag et al .; Parrozzani et al .; Rudkin & Muecke) Telah
dilaporkan efek samping lokal yang terkait dengan 5-FU topikal, seperti toksisitas
kelopak mata, keratitis superfisial, epifora, dan defek epitel kornea. (Rudkin &
Muecke 2011) Dengan menggunakan mikroskop confocal, tidak ada toksisitas
jangka panjang pada kornea terkait dengan 5-FU 1% topikal dibandingkan dengan
mata yang dijadikan sebagai kontrol. (Parrozzani et al. 2011) Keuntungan dari
agen ini adalah kecilnya efek samping, murahnya obat, serta mudah untuk
digunakan baik oleh tenaga medis maupun oleh pasien.
Interferon
Interferon (IFN) adalah kelompok protein yang terikat pada reseptor
permukaan sel target dan memicu terjadinya kaskade antiviral dan antitumor
intraseluler. Interefon-alpha sistemik telah digunakan pada pengobatan hairy cell
leukemia, kondiloma acuminata, sarkoma karposi pada AIDS, dan hepatitis (B
dan C). Rekombinan topikal IFN-2b (1 juta IU / ml) 4 kali sehari telah
digunakan secara efektif dalam pengobatan OSSN primer. (Sturges et al. 2008)
Efek antiviral dari IFN-2b dapat menjelaskan mengapa agen tersebut kurang
efektif sebagai pengobatan utama untuk lesi yang tidak terkait dengan infeksi
HPV. Topikal IFN-2b telah digunakan secara efektif dalam pengelolaan lesi
berulang atau bandel di mana eksisi bedah atau MMC yang dilakukan telah gagal.
(Holcombe & Lee 2006) Agen ini ditoleransi dengan baik dan tidak merusak sellimbal stem sel secara nyata. Subconjunctival / perilesional IFN-2b (1-3000000
IU / ml) juga telah digunakan secara efektif untuk pengobatan pada OSSN primer
dan rekuren. (Nemet et al 2006;.. Karp et al 2010) Pemberian IFN topikal yang
perlahan-lahan, tampaknya berhubungan dengan beberapa efek samping, seperti
konjungtivitis folikular dan injeksi konjungtiva, yang tampaknya dapat benarbenar sembuh setelah penghentian obat. (Schechter et al. 2008) Dilaporkan
adanya microkista epitel kornea setelah pemberian interferon topikal yang identik
dengan yang telah dilaporkan pada terapi interferon sistemik. (Aldave & Nguyen

2007) IFN-2b subconjunctival dikaitkan dengan terjadinya demam sementara


dan mialgia yang serupa dengan yang terjadi pada aplikasi sistemik.
Agen kemoterapi topikal pada pengobatan OSSN telah menunjukkan
efikasi yang bisa diterima. Perbandingan dari ketiga obat ini terhadap pengobatan
OSSN non-invasif mengungkapkan bahwa MMC adalah agen yang paling efektif
(88%), diikuti oleh 5-FU (87%), dan IFN-2b (80%). MMC memiliki rasio efek
samping tertinggi, mungkin karena MMC merupakan agen topikal yang paling
sering digunakan. IFN-2b adalah agen yang memiliki toksisitas paling rendah,
namun merupakan yang termahal dari ketiga agen. (Sepulveda et al 2010) Indikasi
relatif penggnaan perawatan topikal pada OSSN adalah: 1) keterlibatan
konjungtiva > 2 kuadran, 2) keterlibatan limbal > 180 derajat, 3) pemanjangan ke
dalam clear cornea yang melibatkan sumbu papiler, 4) margin positif setelah
eksisi, dan 5) pasien yang tidak dapat menjalani operasi. (Sepulveda et al. 2010)
Namun, beberapa dokter lebih memilih eksisi bedah sebagai pengobatan awal
pada lesi invasif jika pemanjangannya kurang dari 6 jam, karena ini dapat
memberikan konfirmasi diagnosis dengan cacat kosmetik yang sedikit jika
dilakukan dengan benar. (Shields et al. 2002) Ketika

dipertimbangkan agen

topikal sebagai rejimen pengobatan OSSN, agen tersebut harus digunakan dengan
hati-hati karena efek jangka panjangnya terhadap permukaan okular mata, juga
kelopak mata yang berdekatan dan sistem drainase nasolacrimal, belum
didefinisikan sepenuhnya.
Modalitas terapi lainnya untuk pengelolaan OSSN meliputi plak
brachytherapy dengan Iodine-125 (Walsh-Conway & Conway 2009), terapi betaradiasi, gamma radiasi, dan imunoterapi dengan dinitrochlorobenzene (DNCB).
(Lee & Hirst 1995) Pengobatan agresif seperti enukleasi atau exenterasi
dipertimbangkan pada kasus dengan invasi ocular atau orbital. (Shields & Shields
2004)
6. Tujuan klinis
OSSN adalah tumor yang tumbuh lambat; Namun beberapa kasus jika
diabaikan dapat menyerang bulbus dan orbita dan dapat menyebabkan kematian.
Tumor ini memiliki potensi untuk kambuh setelah pengobatan. Pada serangkaian

OSSN, pada lesi intraepithelial dan invasif, ditemukan bahwa keterlibatan sclera
terjadi pada 37%, invasi orbital 11%, dan tidak ada metastasis atau kematian yang
berhubungan dengan tumor. (Tunc et al.1999) Pada serangkaian 26 SCC
konjungtiva, invasi intraokular terjadi pada 11% pasien, invasi kornea atau sclera
30%, dan invasi orbital 15%. Exenterasi diperlukan pada 23% kasus, dan 8%
meninggal karena metastasis. (McKelvie et al. 2002) Faktor yang diprediksi yang
berhubungan dengan peningkatan kekambuhan tumor secara signifikan yaitu
meliputi usia tua, lesi berdiameter besar, indeks proliferasi tinggi (Ki-67 skor),
dan surgical margin positif. (McKelvie et al. 2002)
Sebuah studi jangka panjang CCIN juga menemukan bahwa tingkat
kekambuhan setelah operasi lebih tinggi pada kasus dengan surgical margin yang
positif dibandingkan dengan free margin (56% berbanding 33%). Waktu untuk
kekambuhan berkisar antara 33 hari sampai 11,5 tahun setelah pengobatan primer,
dan pada pasien dengan eksisi tidak lengkap kambuh lebih awal daripada pasien
dengan free margin. (Tabin et al. 1997) Pertumbuhan tumor kambuhan yang
lambat dan bukti adanya kekambuhan laten 10 tahun setelah operasi,
mengakibatkan perlunya untuk follow up pasien tahunan selama sisa hidupnya.
OSSN pada individu imunosupresi tampaknya memiliki agresifitas yang
berbeda dengan perjalanan klinis yang relatif jinak pada OSSN klasik
(Masanganise & Magava 2001; Gichuhi & Irlam 2007). Tumor sering tumbuh
dengan pesat dan memiliki kecenderungan untuk menyerang bulbus oculi atau
orbita. Masalah ini diperparah oleh fasilitas kesehatan yang buruk, dan kepatuhan
pasien, yang sering ditemukan di daerah endemis HIV. Manajemen dengan
pendekatan standar pada pasien-pasien ini sering dikaitkan dengan tingkat
kekambuhan dan invasi intraokular atau orbital

yang lebih tinggi. Dengan

demikian, mungkin diperlukan eksisi luas dengan analisis histologis terhadap


margin, seperti juga rejimen tambahan lain seperti cryotherapy, agen kemoterapi
topikal untuk mencegah kekambuhan lokal, invasi intraokular atau orbital, dan
metastasis. Selain itu, sangat penting bagi setiap pasien HIV untuk menjalani
pemeriksaan mata secara rinci pada saat datang ke klinik dan menjalani follow up
untuk mendeteksi rekurensi penyakit secepat mungkin.

7. Kesimpulan
OSSN adalah spektrum penyakit mulai dari simple displasia sampai
karsinoma invasif. Lesi ini dianggap memiliki keganasan yang rendah, tetapi
secara invasif dapat menyebar ke seluruh bulbus oculi atau orbit. OSSN adalah
tumor permukaan mata yang paling umum dan memiliki insiden yang bervariasi
pada setiap lokasi geografis yang berbeda. Faktor risiko utama adalah paparan
UV-B dimana terdapat meningkatnya insiden OSSN di daerah yang dekat dengan
khatulistiwa. Faktor risiko penting lainnya adalah human papilloma visur dan
human immunodeficiency virus (HIV). Namun, tidak jelas apakah faktor host
(misalnya faktor genetik dan gangguan kekebalan terkait HIV) atau karakteristik
epitel permukaan mata juga merupakan bagian dari etiopatogenesis dari OSSN.
Gejala OSSN berkisar dari tidak adanya gejala sama sekali sampai gejala nyeri
yang berat atau hilangnya penglihatan. Secara klinis, tumor ini paling sering
muncul di daerah interpalpebral, terutama di daerah limbal. Diagnosis dan
penanganan awal dapat mengurangi risiko agresifitas lokal dan dapat
meningkatkan prognosis pasien dalam hal kontrol lokal dan mempertahankan
visus. Dalam praktek klinis, OSSN umumnya dievaluasi dengan histologi
jaringan. Perkembangan teknik diagnostik pra-operasi seperti pemeriksaan
sitologi adalah kemajuan dalam hal penemuan diagnosis dan tindakan follow up
setelah pengobatan. Bedah eksisi tambahan dengan cryotherapy dikombinasikan
dengan abrasi alkohol pada kasus keterlibatan kornea merupakan strategi
pengobatan utama. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada OSSN dengan tingkat
yang lebih berat dan yang memiliki margin bedah yang adekuat pada eksisi awal.
Perawatan manajemen standar untuk OSSN tampaknya bergeser ke arah
kemoterapi topikal seperti MMC, 5 FU, dan interferon sebagai terapi tunggal, atau
sebagai tambahan terapi bedah, terutama dalam kasus-kasus OSSN difus atau
unoperable. Pengobatan alternatif ini terus berkembang meskipun memiliki
kekurangan dalam literatur jangka panjang yang telah diterbitkan. Penyakit invasif
dapat menyebabkan keterlibatan intraokular atau orbital dengan hilangnya
penglihatan, dan kadang-kadang dapat menyebabkan kematian. Kekambuhan

setelah pengobatan awal adalah bervariasi dan menyebabkan perlunya follow up


seumur hidup pada semua kasus OSSN.

Anda mungkin juga menyukai