Makalah ini akan membahas mengenai anatomi sendi panggul, definisi, epidemiologi, tipe
dislocasi panggul, mekanisme cedera, gambaran klinis, pemeriksaan untuk menegakkan
diagnosis, tatalaksana non-operatif dan operatif, complicasi, dan prognosis. Hal ini penting untuk
mendapatkan diagnosis dislocasi panggul dengan cepat dan tepat sehingga dapat dilakukan
pemilihan tatalaksana yang tepat dan efektif.
BAB II
ANATOMI SENDI PANGGUL disini tidak dibahas
BAB III
DISLOCASI PANGGUL
3.1. DEFINISI
Dislocasi panggul adalah suatu keadaan dimana terjadi perpindahan permukaan sentuh caput
femoris terhadap acetabulum. Dislocasi terjadi ketika caput femoris keluar dari acetabulum.
Kondisi ini dapat congenital atau didapat (acquired).12
3.2. DISLOCASI PANGGUL CONGENITAL
Terminologi dislocasi panggul congenital sebenarnya telah diganti dengan terminologi
developmental dysplasia of the hip (DDH). Kelainan yang tercakup di dalamnya meliputi
displasia asetabulum, subluksasi, dan dislocasi. Dislocasi congenital adalah suatu fase dari
berbagai ketidakstabilan panggul pada bayi-bayi yang baru lahir. Biasanya pada saat kelahiran,
panggul benar-benar stabil dan dipertahankan berflexi sebagian, tetapi kadang-kadang, sendi
tidak stabil dalam arti bahwa sendi itu berdislocasi atau dapat berdislocasi.5
3.2.1. Epidemiologi
Insidensi ketidakstabilan yang dilaporkan adalah 5 20 per 1000 kelahiran hidup (Palmen, 1961;
Barlow, 1962; Wilkinson, 1972); tetapi kebanyakan panggul ini menjadi stabil secara spontan,
dan pada pemeriksaan ulang 3 minggu setelah kelahiran, insidensi ketidakstabilan hanya 1 atau 2
per 1000 bayi. Biasanya anak perempuan lebih sering terkena daripada anak laki-laki, rasionya
kira-kira 7:1. Panggul sebelah kanan lebih sering terkena daripada yang sebelah kanan; 1 dalam
5 kasus ini bersifat bilateral.6
3.2.2. Etiologi dan Patogenesis
Faktor genetik pasti berperan pada etiologi, karena dislocasi congenital cenderung berlangsung
dalam keluarga atau bahkan seluruh populasi (misalnya masyarakat yang tinggal di negara
pesisir pantai utara dan timur Mediterania).10
Faktor hormonal (yaitu tingginya kadar estrogen, progesteron, dan relaksin pada ibu dalam
beberapa minggu terakhir kehamilan) dapat memperburuk kelonggaran ligamentum pada bayi.
Hal ini dapat menerangkan jarangnya terjadi ketidakstabilan panggul pada bayi prematur, yang
lahir sebelum hormon-hormon ini mencapai puncaknya. 10
Malposisi intrauterin (terutama posisi sungsang dengan kaki yang berextensi) dapat
mempermudah terjadinya dislocasi; ini berhubungan dengan lebih tingginya insidensi pada bayi
yang merupakan anak sulung; dimana versi spontan lebih sedikit kemungkinannya untuk terjadi.
Dislocasi unilateral biasanya mempengaruhi panggul kiri; hal ini sesuai dengan presentasi
verteks (oksiput anterior kiri) dimana panggul kiri berdekatan dengan sakrum ibu, sehingga
posisinya beradduksi.10
Faktor postnatal dapat berperan dalam menetapnya ketidakstabilan neonatal dan gangguan
perkembangan asetabulum. Dislocasi sering terjadi pada orang Indian Amerika Utara yang
membedong bayinya dan menggendongnya dengan posisi kaki bayi rapat, panggul dan lutut
sepenuhnya berextensi, dan masyarakat Cina Selatan dan Afrika menggendong bayi di
punggungya dengan posisi kaki bayi berabduksi lebar. Terdapat juga bukti dari percobaan bahwa
extensi lutut dan panggul secara serentak menyebabkan dislocasi panggul selama perkembangan
awal (Yamamuro dan Ishida, 1984).11
3.2.3. Patologi
Saat kelahiran, meskipun tidak stabil, bentuk panggul mungkin normal, namun kapsulnya
biasanya teregang secara berlebihan.5
Ketika masa bayi, beberapa perubahan terjadi, beberapa di antaranya mungkin menunjukkan
displasia primer pada asetabulum dan/atau femur proximal, tetapi kebanyakan di antaranya
muncul karena adaptasi terhadap ketidakstabilan menetap dan pembebanan sendi secara
abnormal.5
Caput femoris mengalami dislocasi di bagian posterior, tetapi dengan extensi panggul, caput
tersebut awalnya berada di posterolateral dan kemudian superolateral dari acetabulum. Soket
tulang rawan terletak dangkal dan anteversi. Caput femoris yang bertulang rawan berukuran
normal, namun inti tulangnya muncul terlambat dan osifikasi tertunda selama masa kanakkanak.5
Kapsul teregang dan ligamentum teres menjadi panjang dan hipertrofi. Di bagian superior,
acetabulum labrum dan tepi kapsul dapat didorong ke dalam soket oleh caput femoris yang
mengalami dislocasi. Limbus fibrocartilaginosa ini dapat menghalangi usaha reduksi tertutup
caput femoris.
Setelah mulai menyangga tubuh, perubahan-perubahan ini terjadi lebih hebat. Acetabulum dan
collum femoris tetap anteversi dan tekanan dari caput femoris menyebabkan terbentuknya soket
palsu di antara tepi acetabulum dan otot psoas, memberikan gambaran jam pasir (hourglass).
Seiring waktu, otot-otot yang berada di sekelilingnya akan beradaptasi dengan cara memendek.
berflexi dan berabduksi, dan diperiksa kembali 6 minggu kemudian. Pada saat tersebut mungkin
perlu dinilai apakah panggul berhasil direduksi dan stabil, tereduksi tapi tidak stabil, mengalami
subluksasi atau dislocasi. 6,7,9
Pada kasus yang terlambat dikenali. Seorang ibu yang jeli akan melihat ketidaksimetrisan,
panggul yang berbunyi klik, atau kesulitan ketika memakaikan popok karena terbatasnya
abduksi. Bila dislocasi bersifat unilateral, lipatan kulit akan tampak asimetris dan kaki sedikit
pendek dan berexorotasi; ibu jari yang diletakkan di lipat paha dapat merasakan ketiadaan caput
femoris. Bila dislocasi bersifat bilateral, maka terdapat celah perineal abnormal yang lebar dan
abduksi berkurang. 6,7,9
Jika tersedia fasilitas ultrasonografi, semua bayi baru lahir dengan latar belakang berisiko tinggi
untuk mengalami ketidakstabilan panggul harus diperiksa menggunakan USG. Jika pemeriksaan
menunjukkan bahwa panggul telah tereduksi dan memiliki garis cartilago yang normal, tidak
diperlukan tata laksana, namun anak tersebut tetap harus diawasi selama 3-6 bulan. Jika terdapat
displasia acetabulum atau ketidakstabilan panggul, maka panggul dibebat dalam posisi flexi dan
abduksi. Pemeriksaan ultrasonografi diulang hingga panggul stabil dan anatomi kembali normal
atau telah diputuskan untuk dilakukan terapi yang lebih agresif.5,6
Jika tidak tersedia fasilitas ultrasonografi, kebijakan yang paling sederhana adalah menganggap
semua bayi dengan latar belakang berisiko tinggi (riwayat keluarga atau kelahiran sungsang
dengan extensi), atau dengan uji Ortolani atau uji Barlow positif, harus dicurigai dan
merawatnya dengan popok dobel atau abduction pillow selama 6 minggu pertama. Pada stadium
tersebut, mereka diperiksa kembali: bayi yang panggulnya stabil diperbolehkan bebas namun
tetap dalam pengawasan sekurang-kurangnya selama 6 bulan; bayi yang mengalami
ketidakstabilan menetap diterapi dengan pembebatan abduksi yang lebih formal sekurangkurangnya selama 6 bulan hingga panggul stabil dan pemeriksaan X-ray memperlihatkan bahwa
acetabular roof berkembang dengan memuaskan (biasanya 3-6 bulan). 5,6
Terdapat dua kelemahan untuk pendekatan ini: 1)sensitivitas uji klinis tidak cukup tinggi untuk
meyakinkan bahwa semua kasus dapat dikenali (Jones, 1994); dan 2) dari panggul yang tidak
stabil saat lahir, 80-90% akan stabil secara spontan dalam 2-3 minggu, sehingga lebih bijaksana
untuk tidak memulai pembebatan. Hal ini mengurangi sedikit risiko (namun bermakna) akan
terjadinya necrosis epifisis yang menyertai setiap bentuk pembebatan pada neonatus. Maka, jika
panggul dapat mengalami dislocasi, tetapi tidak mengalami dislocasi, bayi tidak diberi terapi,
melainkan diperiksa ulang setiap minggu; jika setelah 3 minggu panggul tetap tidak stabil, maka
bebat abduksi dipasang. 5,6
Jika panggul telah mengalami dislocasi pada pemeriksaan yang pertama, dengan hati-hati
panggul ditempatkan pada posisi reduksi dan dilakukan pembebatan abduksi. Reduksi
dipertahankan hingga panggul stabil; ini dapat berlangsung hanya beberapa minggu, namun
tindakan yang paling aman adalah mempertahankan bebat hingga pemeriksaan X-ray
menunjukkan acetabular roof yang baik. 5,6
Tujuan pembebatan adalah mempertahankan panggul agar berflexi dan berabduksi; posisi
ekstrim dihindari dan sendi-sendi harus dimungkinkan untuk melakukan sedikit gerakan dalam
bebat. Untuk bayi yang baru lahir, popok dobel atau abduction pillow yang empuk cukup
membantu.
Von Rosen harness adalah suatu bebat lunak yang berbentuk H yang bermanfaat karena mudah
digunakan (kelemahannya adalah mudah terlepas). Pavlik harness lebih sulit dipakaikan tetapi
lebih banyak memberi kebebasan bagi pemakainya. 5,6
(A)
(B)
Gambar 25. X-Ray menunjukkan hasil dari pembebatan pada panggul kanan pada usia 3
bulan dan 18 bulan
(Diambil dari: Salomon L, Warwick D, Nayagam S. Apleys System of Orthopaedic and
Fractures. Edisi ke-9. London; 2010. Hal 501)
Jika setelah terapi dini panggul belum sepenuhnya tereduksi, atau jika anak tersebut di kemudian
hari menunjukkan adanya dislocasi yang tersembunyi, panggul tersebut harus direduksi terutama dengan metode tertutup, jika perlu dengan operasi dan tetap direduksi hingga
perkembangan acetabulum memuaskan. 5,6
Reduksi tertutup. Cara ini cocok untuk anak di atas usia 3 bulan dan dilakukan di bawah
anestesi umum, disertai dengan arthrogram untuk mengkonfirmasi reduksi konsentrik. Reduksi
tertutup merupakan cara ideal, namun memiliki risiko rusaknya pasokan darah pada caput
femoris dan menyebabkan terjadinya necrosis. Untuk memperkecil risiko ini, reduksi dilakukan
bertahap; traksi dilakukan pada kedua kaki. Jika panggul tidak tereduksi, maka cara ini harus
ditinggalkan dan pendekatan operasi harus dipilih pada usia kira-kira 1 tahun. 5,6
Pembebatan. Pembebatan panggul yang direduksi secara konsentrik ditahan dalam plaster spica
(gips) dalam keadaan 600 flexi, 400 abduksi, dan 200 endorotasi. Setelah 6 minggu, spica diganti
dan stabilitas panggul dinilai di bawah anestesi umum. Jika posisi dan stabilitas memuaskan,
maka spica dipertahankan hingga 6 minggu berikutnya. Setelah plaster spica dilepas, panggul
dibiarkan tidak terbebat atau dipakaikan bebat abduksi yang dapat dilepas-pasang yang
dipertahankan hingga 6 bulan, bergantung hasil pemeriksaan radiologi yang menunjukkan
perkembangan acetabulum yang memuaskan. 5,6
Operasi. Jika di setiap tahap reduksi konsentrik masih belum tercapai, maka diperlukan operasi
terbuka. Tendon psoas dibagi; lapisan yang menghambat (kapsul yang berlebihan atau
ligamentum teres yang menebal) dibuang dan panggul direduksi. Biasanya panggul stabil pada
600 flexi, 400 abduksi, dan 200 endorotasi. Spica dipasang dan panggul dibebat seperti yang
dijelaskan di atas. Jika stabilitas hanya dapat dicapai dengan melakukan endorotasi, maka
osteotomi korektif subtrochanter perlu dilakukan baik pada saat reduksi terbuka atau 6 minggu
kemudian. Pada anak yang lebih muda biasanya hal ini memberi hasil yang baik (Gibson dan
Benson, 1982).
Pada anak yang lebih tua, reduksi tertutup kemungkinan kurang berhasil; banyak ahli bedah
langsung melakukan artrografi dan reduksi terbuka.
Traksi. Meskipun reduksi tertutup tidak berhasil, suatu periode traksi (jika perlu dikombinasi
dengan tenotomi psoas dan adductor) akan membantu melonggarkan jaringan dan membawa
caput femoris ke bawah ke arah acetabulum.
Artrografi. Suatu artrogram pada tahap ini akan memperjelas anatomi panggul dan
memperlihatkan apakah terdapat suatu limbus atau displasia acetabulum yang nyata.
Operasi. Kapsul sendi dibuka di bagian anterior, setiap limbus yang berada di dalam dibuang
dan caput femoris ditempatkan pada acetabulum. Biasanya diperlukan osteotomi derotasi yang
dipertahankan dengan plate dan screw. Pada saat yang bersamaan, segmen kecil dari femur
proximal dapat dibuang untuk mengurangi tekanan pada panggul (Klisic dan Jankovic, 1976).12
Jika terdapat displasia acetabulum yang nyata, maka diperlukan juga beberapa bentuk
acetabuloplasty baik rekonstruksi perikapsular pada acetabular floor (operasi Pemberton) atau
suatu osteotomi inominata yang memposisikan kembali seluruh tulang inominata dan
acetabulum (Salter). 5,6
(A)
(B)
Gambar 26. A) Osteotomi derotasi dan B) Osteotomi inominata
Reduksi dan stabilisasi akan lebih sulit pada usia yang lebih tua. Namun, pada anak-anak yang
berusia di antara 4-8 tahun terutama jika dislocasi bersifat unilateral harus tetap dipikirkan
bahwa risiko necrosis avaskular dan kekakuan panggul dilaporkan terjadi > 25%. Prinsip tata
laksananya sama seperti yang telah dijelaskan di atas.
Dislocasi unilateral pada anak-anak yang berusia > 8 tahun seringkali memperlihatkan panggul
yang mobile dan sedikit nyeri. Hal ini merupakan alasan untuk tidak melakukan intervensi,
meskipun pada kasus tersebut anak ini harus menerima kenyataan bahwa gaya berjalannya
abnormal. Jika reduksi ingin dilakukan, maka diperlukan operasi terbuka dan rekonstruksi
acetabulum. 5,6
Dislocasi bilateral memberikan deformitas dan gaya berjalan waddling yang simetris sehingga
tidak terlalu mencolok; risiko intervensi operasi juga meningkat karena kegagalan pada satu
sendi akan membuat deformitas yang asimetris.
Oleh karena itu, pada kasus ini, sebagian besar ahli bedah menghindari operasi pada anak usia di
atas 6 tahun, kecuali jika panggul terasa sangat sakit atau deformitas berat. Pasien yang tidak
diterapi berjalan dengan bergoyang-goyang namun tidak ada keluhan. 5,6
Orang dewasa, yang tampaknya telah beradaptasi dengan sangat baik selama bertahun-tahun,
pada usia 30-an atau 40-an dapat mengalami rasa tidak nyaman yang semakin meningkat akibat
dislocasi congenital yang tidak direduksi. Berjalan akan semakin melelahkan dan seringkali
disertai dengan nyeri punggung. Bila dislocasinya bilateral, hilangnya abduksi dapat benar-benar
menghambat hubungan seksual pada wanita.
Ketidakmampuan dapat menjadi sangat berat sehingga menjadi alasan untuk
melakukan penggantian sendi keseluruhan (total hip replacement). Operasi ini sulit dilakukan
pada kelompok pasien ini dan tidak boleh dilakukan sembarangan. Caput femoris didudukkan di
atas acetabulum yang dangkal atau lenyap. Soket baru harus dibuat di lokasi anatomi yang
normal; namun, dinding pelvis biasanya tipis dan mungkin diperlukan untuk membuat atap soket
dengan bone graft. Kemudian akan sulit untuk membawa caput femoris ke bawah, sejajar dengan
soket tanpa risiko kerusakan nervus ischiadicus; jika perlu, osteotomi dilakukan dan segmen
kecil dari tulang femur dibuang agar pas. Femur proximal biasanya sempit dan collum femoris
dapat anteversi; hal ini juga membutuhkan koreksi ketika sedang dilakukan osteotomi, dan
implan spesial tersedia untuk medullary canal yang kecil. 5,6
3.2.7. Complicasi
Gagal reduksi. Banyak usaha yang gagal untuk mencapai reduksi konsentrik lebih baik jika
dibandingkan tanpa terapi sama sekali. Acetabulum tetap tidak berkembang, caput femoris dapat
mengalami deformitas, collum femoris biasanya anterversi, dan kapsul menebal. Sangatlah
penting untuk bertanya-tanya mengapa reduksi gagal: apakah dislocasi merupakan bagian dari
kondisi umum atau gangguan neuromuskular yang disertai dengan ketidakseimbangan otot? 5,6
Necrosis avaskular. Complicasi yang paling ditakuti dari terapi adalah iskemia dari
caput femoris yang imatur. Hal ini dapat terjadi pada setiap tingkatan usia dan terapi dan
mungkin disebabkan oleh cedera vaskular atau obstruksi dari reduksi dan pembebatan yang
terlalu kuat. Pencegahan adalah terapi yang terbaik: reduksi manipulatif yang dipaksa tidak
diperbolehkan; traksi harus dilakukan dengan lembut dan pada posisi netral; posisi abduksi yang
ekstrim harus dihindari; tenotomi adductor harus mendahului reduksi tertutup; jika kesulitan
maka reduksi terbuka lebih dipilih. 5,6
Ketika terjadi necrosis avaskular, maka tidak ada tata laksana yang efektif kecuali
menghindari manipulasi dan menopang berat tubuh hingga epifisis pulih. Pada kasus yang
ringan, tidak terjadi deformitas residual, atau seburuk-buruknya dapat terjadi deformitas collum
femoris yang dapat dikoreksi dengan osteotomi. Pada kasus yang berat, dapat terjadi displasia
acetabulum, pemendekkan collum femoris, dan permukaan caput femoris menjadi rata sehingga
diperlukan koreksi bedah. 5,6
3.3.2. Klasifikasi
Berdasarkan arah dislocasi, dislocasi panggul dibagi menjadi 3, yaitu dislocasi posterior,
dislocasi anterior, dan dislocasi pusat (central).28
Trochanter major dan bokong di daerah yang mengalami dislocasi terlihat menonjol.
Panggul sangat beradduksi sehingga lutut di extremitas yang mengalami dislocasi tampak
menindih di paha sebelahnya.
-
Trochanter major dan bokong di daerah yang mengalami dislocasi terlihat menonjol.
Jika salah satu tulang panjang mengalami fracture (biasanya femur), dislocasi panggul seringkali
tidak terdiagnosis. Pedoman yang baik adalah dengan pemeriksaan pelvis dengan pemeriksaan
radiologis. Tungkai bawah juga harus diperiksa untuk mencari apakah terjadi cedera syaraf
ischiadicus.
Cedera neurovaskular pada dislocasi panggul posterior dapat memberikan gambaran sebagai
berikut:19
Hematoma lokal.
Klasifikasi
Epstein dan Thompson (1951) menganjurkan suatu klasifikasi yang dapat membantu perencaan
tata laksana. Klasifikasi ini dibuat sebelum ditemukannya CT-scan.14
Berikut ini adalah klasifikasi dislocasi panggul posterior menurut Epstein dan Thompson:
Tipe I
Tipe II
Tipe
Tipe IV
Tipe V
: Dislocasi dengan fracture caput femoris, yang diklasifikasikan menurut
Pipkin (1957).
1. Pasien
berbaring
dalam posisi
supine.
2. Seorang
3. Operator
asisten
memegang
menekan spina tungkai yang
iliaca anterior mengalami
superior.
dislokasi pada
pergelangan kaki
menggunakan
satu tangan.
6.Setelah traksi
dipertahankan,
caput femoris
diungkit ke dalam
acetabulum
dengan abduksi,
rotasi eksternal,
dan ekstensi
pinggul.
Manuver Stimson
Manuver ini menggunakan berat tungkai bawah dan gravitasi untuk mengurangi dislocasi.
Teknik Whistler
Panggul yang mengalami dislocasi direlokasikan menggunakan lengan operator untuk
mengangkat dan memanuver tungkai yang mengalami dislocasi ketika bahu operator diangkat.
Tangan operator bertumpu pada paha kontralateral. Seorang asisten atau tangan lain operator
melakukan kontratraksi pada tibia atau fibula.
(Diambil dari: Schafer SJ, Anglen JO: The East Baltimore Lift: a simple and effective method for
reduction of posterior hip dislocations, J Orthop Trauma. 1999. 13:56)
Pemeriksaan X-Ray sangat diperlukan untuk memastikan reduksi dan untuk menyingkirkan
fracture. Bila terdapat sedikit kecurigaan saja bahwa fragmen tulang telah terperangkap di dalam
sendi, maka diperlukan pemeriksaan CT-scan.16
Reduksi biasanya stabil, panggul yang telah mengalami cedera harus diistirahatkan. Cara yang
paling sederhana untuk mengistirahatkan panggul adalah dengan memasang traksi dan
mempertahankannya selama 3 minggu. Gerakan dan latihan dimulai segera setelah nyeri mereda.
Pada akhir minggu ketiga pasien diperbolehkan berjalan dengan kruk penopang. 24
Jika pemeriksaan X-Ray atau CT-scan pasca reduksi memperlihatkan adanya fragmen intraarticular, fragmen itu harus dibuang dan sendi dibilas melalui posterior approach. Hal ini
biasanya ditunda hingga keadaan pasien stabil. 17
Fracture-dislocasi tipe II Epstein sering diterapi dengan reduksi terbuka segera dan fiksasi
anatomis pada fragmen yang terlepas. Namun, jika keadaan umum pasien meragukan atau tidak
tersedia ahli bedah yang terampil di bidang ini, panggul direduksi tertutup seperti diuraikan di
atas. Jika sendi tidak stabil atau fragmen besar tetap tidak tereduksi, maka reduksi terbuka dan
fiksasi internal tetap diperlukan. Pada kasus tipe II, traksi dipertahankan selama 6 minggu.26
Fracture-dislocasi tipe III diterapi secara tertutup, tetapi mungkin terdapat fragmen yang
bertahan dan fragmen-fragmen ini harus dibuang dengan operasi terbuka. Traksi dipertahankan
selama 6 minggu. 26
Fracture-dislocasi tipe IV dan V pada awalnya diterapi dengan reduksi tertutup. Fragmen caput
femoris dapat secara otomatis berada pada tempatnya, dan ini dapat dipastikan dengan CT-scan
pasca reduksi. Jika fragmen tetap tidak tereduksi, terapi operasi diindikasikan: fragmen yang
kecil dibuang, namun fragmen yang besar harus diganti; sendi dibuka, caput femoris
didislocasikan dan fragmen diikat pada posisinya dengan countersunk screw. Pasca operasi,
traksi dipertahankan selama 4 minggu dan pembebanan penuh ditunda selama 12 minggu. 26
Dislocasi Panggul yang Tidak Tereduksi
Kadang-kadang dislocasi panggul posterior tanpa fracture acetabulum atau caput femoris tidak
dapat direduksi dengan metode reduksi tertutup.
Pada dislocasi posterior, caput femoris keluar ke arah posteroinferior dari kapsul dan dapat
menembus otot-otot exorotasi. Jaringan lunak yang mengelilingi collum femoris dapat mencegah
relokasi dari caput femoris.18,33
Sebagai contoh, labrum acetabulum dapat terlepas dari tempat melekatnya, dengan atau tanpa
fragmen tulang, ketika reduksi, labrum mungkin tertarik masuk ke dalam sendi di depan caput
secara
konsentris
ke
dalam
Mulai dengan insisi kulit pada daerah trochanter major dan perluas ke arah proximal
sepanjang 6 cm dari spina iliaca posterior (Gambar 35A). Insisi dapat diperluas ke arah
distal sepanjang permukaan lateral paha sepanjang 10 cm atau seperlunya.
Pisahkan fasciae latae sejajar dengan insisi kulit dan pisahkan gluteus maximus secara
tumpul sejajar dengan arah seratnya (Gambar 35B). Lindungi cabang dari nervus gluteus
inferior ke arah anterosuperior dari gluteus maximus.
Kenali dan lindungi nervus ischiadicus yang berada di atas quadratus femoris (Gambar
35C).
Identifikasi kapsul yang mengelilingi collum femoris dan jika perlu perbesar robekan ke
arah proximal dan distal untuk membebaskan collum dan caput femoris.
Reduksi:
Eratkan caput femoris dengan membuat traksi longitudinal pada femur yang diflexikan
dan diadduksi.
Setelah reduksi terbuka, dilakukan pemasangan skin traction di tungkai bawah. Panggul dalam
posisi extensi dan extremitas sedikit abduksi.24
Traksi dipertahankan selama 3 minggu. Beberapa hari setelah reduksi, gerakan aktif dan pasif
sendi panggul dapat dimulai. Pada akhir minggu ketiga, pasien diperbolehkan jalan
menggunakan kruk penopang. Pasien diperbolehkan menopang berat badan pada akhir minggu
ke 12-14 dan diperbolehkan kembali beraktivitas seperti biasa 6-10 bulan setelah operasi. Ikuti
perkembangan pasien selama 2 tahun (setiap 3 bulan), setiap pemeriksaan rekam perkembangan
range of motion dari sendi panggul dan lakukan pemeriksaan X-ray untuk mengetahui ada
tidaknya necrosis avaskular dari caput femoris.24
Complicasi
DINI16,29
Cedera nervus ischiadicus. Syaraf ini kadang-kadang mengalami cedera, namun biasanya
membaik lagi. Jika setelah mereduksi dislocasi, lesi nervus ischiadicus dan fracture acetabulum
yang tidak tereduksi terdiagnosis, maka nervus harus dieksplorasi dan fragmennya dikoreksi ke
tempat asalnya (disekrupkan pada posisinya). Penyembuhan sering membutuhkan waktu
beberapa bulan, dan sementara itu tungkai harus dihindarkan dari cedera dan pergelangan kaki
harus dibebat untuk menghindari kaki terkulai (foot drop).
Cedera pembuluh darah. Kadang-kadang arteri gluteus superior robek dan mungkin terdapat
banyak perdarahan. Jika keadaan ini dicurigai, maka harus dilakukan arteriogram. Pembuluh
darah yang robek mungkin perlu diligasi.
Fracture corpus femoris. Bila ini terjadi bersamaan dengan dislocasi panggul, dislocasi
biasanya terlewatkan. Maka harus digunakan pedoman bahwa pada setiap fracture corpus
femoris, bokong dan trochanter per palpasi, dan panggul harus dilakukan pemeriksaan X-ray.
Sekalipun tindakan pencegahan ini tidak dilakukan, suatu dislocasi harus dicurigai bila fragmen
proximal pada fracture melintang pada batang terlihat beradduksi. Reduksi dislocasi ini jauh
lebih sulit, tetapi manipulasi tertutup yang perlahan harus tetap dicoba. Jika cara ini gagal, maka
reduksi terbuka harus dicoba, dan pada saat yang sama, femur dapat difiksasi dengan
intramedullary nail.
Necrosis avaskular. Persediaan darah pada caput femoris sangat terganggu sekurang-kurangnya
pada 10% dislocasi panggul traumatik. Jika reduksi ditunda lebih dari beberapa jam, angkanya
meningkat menjadi 40%. Necrosis avaskular terlihat pada pemeriksaan X-Ray sebagai
peningkatan kepadatan caput femoris, tetapi perubahan ini tidak ditemukan sekurang-kurangnya
selama 6 minggu, dan kadang-kadang jauh lebih lama (sampai 2 tahun), tergantung pada
kecepatan perbaikan tulang. Jika caput femoris menunjukkan tanda-tanda fragmentasi, mungkin
diperlukan operasi. Jika terdapat segmen nekrotik yang kecil, osteotomi penjajaran tulang
(realigment) merupakan metode terpilih. Sebaliknya, pada pasien yang lebih muda, pilihannya
adalah antara penggantian caput femoris dengan prostesis bipolar atau artrodesis panggul. Pada
pasien berusia di atas 50 tahun, penggantian panggul keseluruhan adalah pilihan yang lebih baik.
Miositis osifikans. Complicasi ini jarang terjadi, mungkin berhubungan dengan beratnya cedera.
Karena sulit diramalkan, complicasi ini sulit dicegah. Gerakan tidak boleh dipaksa dan pada
cedera yang berat, masa istirahat dan pembebanan mungkin perlu diperpanjang.
Dislocasi yang tak tereduksi. Setelah beberapa minggu, dislocasi yang tak diterapi jarang dapat
direduksi dengan manipulasi tertutup dan diperlukan reduksi terbuka. Insidensi kekakuan atau
necrosis avaskular sangat meningkat dan di kemudian hari pasien dapat memerlukan
pembedahan rekonstruktif.33
Osteoartritis. Osteoartritis sekunder sering terjadi dan diakibatkan oleh (1) kerusakan cartilago
pada saat dislocasi, (2) adanya fragmen yang bertahan dalam sendi, atau (3) necrosis iskemik
pada caput femoris.
Dislocasi anterior jarang terjadi jika dibandingkan dengan dislocasi posterior. Dislocasi ini
terjadi sebanyak 10-12 % dari keseluruhan kejadian dislocasi panggul traumatik. Penyebab yang
lazim adalah kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan penerbangan. Caput femoris didorong
dengan paksa ke arah anteroinferior dan berpindah ke foramen obturatorium atau pubis.16,20
Mekanisme Cedera
Dislocasi ini dapat terjadi dalam kecelakaan lalu lintas ketika lutut terbentur dashboard ketika
paha dalam posisi abduksi. Dislocasi pada satu atau bahkan kedua panggul dapat terjadi jika
seseorang tertimpa benda berat pada punggungnya saat posisi kaki merentang, lutut lurus, dan
punggung ke depan.16
Caput femoris didorong dengan paksa ke arah anteroinferior dan berpindah ke foramen
obturatorium atau pubis.
Dislocasi obturator dapat terjadi akibat 3 dorongan yang berbeda:39
1. Ekstremitas bawah
abduksi, eksorotasi, dan
fleksi.
2. Dorongan mengenai sisi
belakang paha
3. Caput femoris keluar dari
acetabulum.
berekstensi.
3. Caput femoris keluar dari sendi.
Dislocasi pubis jarang terjadi jika dibandingkan dengan dislocasi obturator dan sangat sulit untuk
direduksi. Mekanisme dislocasi ini adalah hiperextensi dan exorotasi yang berlebihan sehingga
memaksa caput femoris keluar dari sendi melalui robekan kapsul sendi di bagian anterior.
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Kaki berada dalam posisi exorotasi, abduksi, dan sedikit flexi. Kaki tidak memendek karena
perlekatan rektus femoris mencegah caput femoris bergeser ke atas. Bila dilihat dari samping,
tonjolan anterior pada caput yang mengalami dislocasi tampak jelas. Kadang-kadang kaki
berabduksi hampir membentuk sudut siku-siku. Caput yang menonjol mudah diraba. Gerakan
panggul tidak dapat dilakukan.16,20,23
Pemeriksaan Radiologi
Pada foto anteroposterior, dislocasi biasanya jelas, tetapi kadang-kadang caput hampir berada di
depan posisi normalnya sehingga jika meragukan dapat dilakukan foto lateral.17
Tata laksana
Dislocasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi umum. Reduksi harus dilakukan
dalam waktu 12 jam sejak terjadinya dislocasi. Sebelum melakukan reduksi, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan neurovaskular.26
Manuver yang digunakan hampir sama dengan yang digunakan untuk mereduksi dislocasi
posterior, kecuali bahwa ketika paha yang berflexi ditarik ke atas, paha harus diadduksi. Tata
26,41
laksana berikutnya mirip dengan tata laksana pada dislocasi posterior. 16,
2. Insisi fasia sepanjang tepi anterior M. tensor fasciae latae. Kenali dan lindungi nervus
cutaneous femoris lateralis, yang biasanya berada di bagian medial M. tensor fasciae
latae dan lateral dari M. sartorius.
3. Insisi perlekatan otot di aspek lateral ilium sepanjang crista iliaca. Pisahkan perlekatan
otot di antara spina iliaca anterior superior dan acetabulum labrum, lalu tampak M.
tensor fasciae latae, M. gluteus minimus, dan bagian anterior M.gluteus medius.
4. Insisi fasia kemudian dilanjutkan ke arah insersio M. tensor fasciae latae ke ikatan
iliotibial dan paparkan bagian lateral M. rectus femoris dan bagian anterior M. vastus
lateralis.
5. Mulai insisi kapsular di aspek inferior kapsul, lateral dari acetabulum labrum; dari titik
ini, perluas ke arah proximal, paralel dengan acetabulum labrum dan belokkan ke arah
lateral.
6. Lakukan traksi longitudinal pada tungkai bawah. Ketika traksi dipertahankan, tungkai diendorotasi-kan dan berikan tekanan pada caput femoris secara langsung untuk
menimbulkan efek reduksi.
(Gambar dapat dilihat di halaman berikutnya)
Terdapat luka lecet atau memar pada paha, namun kaki terletak pada posisi normal. Trochanter
dan daerah panggul terasa nyeri. Gerakan minimal masih dapat dilakukan. Pasien harus diperiksa
dengan cermat untuk mencari ada tidaknya cedera pelvis dan abdomen.16,31
Pemeriksaan Radiologi
Pada foto anteroposterior, caput femoris tampak bergeser ke medial dan lantai acetabulum
mengalami fracture.17 (Gambar dapat dilihat di halaman berikutnya)
Tata Laksana
Pada kasus dislocasi panggul central tetap harus diusahakan untuk melakukan reduksi dan
memulihkan bentuk lazim panggul. Meskipun osteoartritis sekunder tidak dapat dielakkan,
paling tidak anatomi yang normal akan memudahkan pembedahan rekonstruktif. 13,31,48
Dislocasi central yang disertai dengan fracture kominusi pada lantai acetabulum kadang-kadang
dapat direduksi dengan manipulasi di bawah anestesi umum. Ahli bedah menarik paha dengan
kuat dan kemudian mencoba mengungkit keluar caput dengan mengadduksi paha, menggunakan
bantalan keras sebagai titik tumpu. Jika cara ini berhasil, traksi longitudinal dipertahankan
selama 4-6 minggu dengan pemeriksaan X-ray untuk memastikan bahwa caput femoris tetap
berada di bawah bagian acetabulum yang menahan beban.31
Jika manipulasi gagal, kombinasi traksi longitudinal dan lateral dapat mereduksi dislocasi selama
2-3 minggu. Pada semua metode ini, gerakan perlu dimulai secepat mungkin. Bila traksi dilepas,
pasien diperbolehkan bangun dengan kruk penopang. Penahanan beban diperbolehkan setelah 8
minggu. Hasilnya terhadap fungsi lebih baik daripada yang ditunjukkan pada penampilan X-ray,
tetapi semua gerakan kecuali flexi dan extensi tetap sangat terbatas, dan pada akhirnya terjadi
artritis degeneratif, kecuali jika pergeseran hanya terjadi sedikit.31
Indikasi Operasi13,48,49
-
Fracture dinding posterior dengan > 50% keterlibatan permukaan artikulasi sendi pada
dinding posterior.
-
Beberapa penulis menganjurkan operasi dilakukan 2-3 hari setelah cedera untuk menunggu
kondisi pasien agar stabil. Idealnya reduksi terbuka dan fiksasi internal fracture acetabulum
seharusnya dilakukan dalam 5-7 hari setelah cedera. Reduksi anatomis akan menjadi lebih sulit
setelah melewati waktu tersebut karena pembentukan hematoma, kontraktur jaringan lunak, dan
pembentukan callus awal.49
Setelah dilakukan reduksi terbuka, dilakukan pemasangan skeletal traction. Pemasangan ini
dilakukan dengan cara:
1. Masukkan threaded wire di bawah tibial tubercle.
2. Pasang bebat Thomas dengan Pearson attachment balanced dari rangka di atas kepala.
3. Panggul dan lutut sedikit diflexikan
4. Berikan beban seberat 20-25 lbs.
Kekakuan sendi, dengan atau tanpa osteoartritis sering terjadi. Jika penggantian panggul
keseluruhan dipertimbangkan, perlu dipastikan bahwa fracture acetabulum telah menyatu, jika
tidak maka mangkuk dapat terlepas Pada pasien muda, lebih baik dilakukan artrodesis.35
Necrosis avaskular pada caput femoris dapat terjadi meskipun caput femoris tidak benar-benar
mengalami dislocasi.
Formasi tulang heterotropik. Osifikasi periarticular biasa terjadi pada cedera jaringan lunak yang
berat. Antisipasi dapat dilakukan dengan pemberian profilaksis indometasin.45
3.3.3. Prognosis
Setelah dislocasi panggul, fungsi panggul yang baik masih dapat kembali asalkan tidak terjadi
necrosis avaskular atau artritis traumatik dari caput femoris. Reduksi awal telah terbukti sebagai
cara terbaik untuk mencegah necrosis avaskular dengan cara mempersingkat waktu terganggunya
sirkulasi caput femoris. Dalam tinjauan Stewart dan Milford dalam 128 kasus fracture-dislocasi,
mereka tidak mendapatkan hasil yang baik pada kasus dislocasi yang direduksi lebih dari 24 jam.
Mereka melaporkan necrosis avaskular pada 15,5% kasus yang diterapi dengan reduksi tertutup
dan pada 40% kasus yang diterapi dengan reduksi terbuka. 36 Dalam laporannya mengenai 262
kasus dislocasi dan fracture-dislocasi, Brav menemukan kejadian necrosis avaskular sebesar
17,6% pada panggul yang direduksi dalam waktu 12 jam setelah cedera dan 56,9% pada panggul
yang direduksi setelah 12 jam. Hougard dan thomsen melaporkan necrosis avaskular sebesar 4%
pada panggul yang direduksi dalam waktu 6 jam dan 58% pada panggul yang tetap mengalami
dislocasi selama lebih dari 6 jam.30
Penundaan weight bearing memberikan dampak yang kecil dalam perkembangan necrosis
avaskular. Brav, dalam laporan mengenai 523 pasien, menemukan insiden necrosis avaskular
sebesar 25,7% pada kelompok pasien yang memulai menopang berat tubuh sebelum 12 minggu
dan 26,6% pada kelompok pasien memulai menopang berat tubuh setelah 12 minggu.53
DAFTAR PUSTAKA
1. Drake RL, Vogl W, Mitchell A. Grays Anatomy for Student. Edisi ke-1. Philadelphia:
Elsevier; 2005. Hal 48-58.
2. Platzer, Werner. Color Atlas of Human Anatomy, Vol. 1: Locomotor System. Edisi ke-5.
2004. Hal 198.
3. Salomon L, Ganz R, Leunig M, Monsell F, Learmonth I. The hip. Dalam: : Salomon L,
Warwick D, Nayagam S. Apleys System of Orthopaedic and Fractures. Edisi ke-9.
London; 2010. Hal 498-503.
4. Barlow TG. Early diagnosis and treatment of congenital dislocation of the hip. J Bone
Joint Surg;1962. 44B: 292301.
5. Catterall A. Assessment of adolescent acetabular dysplasia. In Recent Advances in
Orthopaedics 6 (ed. A. Catterall), Churchill Livingstone, Edinburgh; 1992.
6. Harcke T, Kumar J. The role of ultrasound in the diagnosis and management of
congenital dislocation and dysplasia of the hip. J Bone Joint Surg; 1993. 73A: 6228.
7. Jones DA. Principles of screening and congenital dislocation of the hip. Ann R Coll Surg
Engl; 1994. 76: 24550.
8. Wynne-Davies R. Acetabular dysplasia and familial joint laxity: two aetiological factors
in congenital dislocation of the hip. J Bone Joint Surg; 1970. 52B: 70416.
9. Yamamuro T, Ishida K. Recent advances in the prevention, early diagnosis and treatment
of congenital dislocation of the hip in Japan. Clin Orthop Relat Res; 1984. 184: 3440.
10. Lavelle DG. Fractures and dislocations of the hip. Dalam: Canale ST, Beaty JH.
Campbells Operative Orthopaedics. Edisi ke-11. Philadelphia: Elsevier; 2009. Hal 328698.
11. Guyton JL, Perez EA. Fractures of acetabulum and pelvis. Dalam: Canale ST, Beaty JH.
Campbells Operative Orthopaedics. Edisi ke-11. Philadelphia: Elsevier; 2009. Hal 330930.
12. Thompson VP, Epstein VP. Traumatic dislocation of the hip. J Bone Joint Surg; 1951.
33A: 74678.
13. Tornetta P III, Mostafavi HR. Hip Dislocation: Current Treatment Regimens. J Am Acad
Orthop Surg; 1997. 5(1): 2736.
14. Nayagam S. Injuries of the hip and femur. Dalam: Salomon L, Warwick D, Nayagam S.
Apleys System of Orthopaedic and Fractures. Edisi ke-9. London; 2010. Hal 843-47.
15. Brooks RA, Ribbans WJ: Diagnosis and imaging studies of traumatic hip dislocations in
the adult, Clin Orthop Relat Res 377:15, 2000.
16. Canale ST, Manugian AH: Irreducible traumatic dislocations of the hip, J Bone Joint
Surg; 1979. 61A:7.
17. Cornwall R, Radomisli TE: Nerve injury in traumatic dislocation of the hip, Clin Orthop
Relat Res 377:84, 2000.
18. DeLee JC, Evans JA, Thomas J: Anterior dislocation of the hip and associated femoralhead fractures, J Bone Joint Surg;1980. 62A:960.
19. Dreinhofer KE, Schwarzkopf SR, Haas NP, et al: Isolated traumatic dislocation of the
hip: long-term results in 50 patients, J Bone Joint Surg; 1994. 76B:6.
20. Epstein HC: Posterior fracture-dislocations of the hip, J Bone Joint Surg; 1961.
43A:1079.
21. Epstein HC: Traumatic anterior and simple posterior dislocations of the hip in adults and
children, Instr Course Lect 22:115, 1973. Epstein HC: Traumatic dislocations of the hip,
Clin Orthop Relat Res; 1973. 92:116.
22. Epstein HC: Posterior fracture-dislocation of the hip: long-term follow-up, J Bone Joint
Surg 56A:1103, 1974.
23. Epstein HC: Traumatic dislocation of the hip, Baltimore, 1980, Williams & Wilkins.
24. Epstein HC, Harvey JP: Traumatic anterior dislocations of the hip, management and
results: an analysis of fifty-five cases, J Bone Joint Surg; 1972. 54A:1561.
25. Epstein HC, Wiss DA, Cozen L: Posterior fracture dislocation of the hip with fractures of
the femoral head, Clin Orthop Relat Res; 1985201:9.
26. Goddard NJ: Classification of traumatic hip dislocation, Clin Orthop Relat Res; 2000.
377:11.
27. Gregory CF: Early complications of dislocation and fracture dislocations of the hip joint,
Instr Course Lect; 1973.22:105.
28. Hougaard K, Thomsen PB: Traumatic posterior fracture-dislocation of the hip with
fracture of the femoral head or neck, or both, J Bone Joint Surg;1988. 70A:233.
29. Salomon L. Injuries of the pelvis. Dalam: Salomon L, Warwick D, Nayagam S. Apleys
System of Orthopaedic and Fractures. Edisi ke-9. London; 2010. Hal 837-41.
30. Letournel E, Judet R: Fractures of the acetabulum. Edisi ke-2. New York: SpringerVerlag; 1993.
31. McKee MD, Garay ME, Schemitsch EH, et al: Irreducible fracture- dislocation of the hip:
a severe injury with a poor prognosis, J Orthop Traum;1998. 12:223.
32. Robinson MK: The East Baltimore Lift: a simple and effective method for reduction of
posterior hip dislocations, J Orthop Trauma; 1999. 13:461.
33. Rodriguez-Merchan EC: Coxarthrosis after traumatic hip dislocation in the adult, Clin
Orthop Relat Res; 2000. 377:92 .
34. Stewart MJ, Milford LW: Fracture-dislocation of the hip: an end-result study, J Bone
Joint Surg;1954. 36A:315.
35. Szpalski M, Descamps PY, Hayez JP, et al: Prevention of hip lag screw cut out by cement
augmentation: description of a new technique and preliminary clinical results, J Orthop
Trauma; 2004. 18:34.
36. Thompson VP, Epstein HC: Traumatic dislocation of the hip: a survey of two hundred
and four cases covering a period of twenty-one years, J Bone Joint Surg; 1951.33A:746.
37. Toms AD, Williams S, White SH: Obturator dislocation of the hip, J Bone Joint Surg;
2001.83B:113.
38. Upadhyay SS, Moulton A: The long-term results of traumatic posterior dislocation of the
hip, J Bone Joint Surg; 1981. 63B:548.
39. Yang EC, Cornwall R: Initial treatment of traumatic hip dislocations in the adult, Clin
Orthop Relat Res; 2000. 277:24.
40. Bosse MJ: Posterior acetabular wall fractures: a technique for screw placement, J Orthop
Trauma; 1991.5:167.
41. Bray TJ, Esser M, Fulkerson L: Osteotomy of the trochanter in open reduction and
internal fixation of acetabular fractures, J Bone Joint Surg; 1987. 69A:711.
42. Helfet DL, Schmeling GJ: Somatosensory-evoked potential monitoring in the surgical
treatment of acute, displaced acetabular fractures: results of a prospective study, Clin
Orthop Relat Res;1994. 301:213.
43. Johnson EE, Kay RM, Dorey FJ: Heterotopic ossification prophylaxis following
operative treatment of acetabular fracture, Clin Orthop Relat Res; 1994. 305:88.
44. Kebaish AS, Roy A, Rennie W: Displaced acetabular fractures: long-term follow-up, J
Trauma; 1991. 31:1539.
45. Letournel E: Acetabulum fractures: classification and management, Clin Orthop Relat
Res; 1980. 151:81.
46. Mayo KA: Open reduction and internal fixation of fractures of the acetabulum: results in
163 fractures, Clin Orthop Relat Res; 1994. 301:31.
47. Siebenrock KA, Gautier E, Ziran BH, et al: Trochanteric flip osteotomy for cranial
extension and muscle protection in acetabular fracture fixation using a KocherLangenbeck approach, J Orthop Trauma; 2006. 20:S52.
48. Templeman DC, Olson S, Moed BR, et al: Surgical treatment of acetabular fractures,
Instr Course Lect; 1999. 48:481.
49. Tile M, Helfet DL, Kellam JF, eds: Fractures of the pelvis and acetabulum. Edisi ke-3.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2003.
50. 50.
Brav EA: Traumatic dislocation of the hip: army experience and results over a
twelve-year period, J Bone Joint Surg;1962. 44A:1115.