Jurnal Perilaku Kekerasan (Bu Uji) PDF
Jurnal Perilaku Kekerasan (Bu Uji) PDF
PENANGGULANGANNYA
(Studi Kasus Konflik Antar Etnis di Kecamatan Sidomulyo Kabupaten
Lampung Selatan)
Oleh:
Suwarno, Abdul Syani, dan Pairulsyah
Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung
E- mail: sosiologi@unila.ac.id
ABSTRACT
The behavior of mob violence is not only happening at the moment, but has often
happened since the past ever since man living in a society. Haini prove that
violence happens everywhere, because violence is instinctive answer and no one
can be used to stop at the initial stages. The behavior of mob violence that has
ample scope, which in the process is not solely driven individually, but can also
be driven by other forces both political and non-political. Therefore, the way
people make sense of the situation, will influence the decision of the person.
Recognizing the existence of phenomena like these, this research needs to be done
in order to obtain a comprehensive overview of all phenomena of mass violence is
still common in public life. Based on the results of this research note that the
behavior of mass violence is basically the root of the problem is caused by three
factors, namely epistemological, anthropological and sociological factors factors.
These three factors influence each other so that in the end can move an individual
or group of people to commit violence against others.
Keywords: Mob violence
PENDAHULUAN
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki naluri merusak, yaitu naluri
kekerasan. Dalam keadaan-keadaan tertentu naluri kekerasan itu dapat dicegah
dengan adanya berbagai jenis social control di dalam masyarakatnya dan salah
satu jenis social control itu adalah norma hukum. Namun, ketika hukum tidak lagi
mampu mengekang naluri kekerasan itu, ketika hukum berserta para aktor
hukumnya dimata warga masyarakat di pandang tidak mampu lagi untuk
melindungi warga masyarakat, dianggap tidak mampu lagi untuk memuaskan rasa
keadilan warga masyarakat dan tidak mampu lagi menciptakan perdamaian sosial,
maka ketika itulah warga masyarakat akan melakukan apa yang secara sosiologis
diistilahkan sebagai self help. Wujud dari tindakan self help itulah yang secara
normatif yuridis dinamakan tindakan main hakim sendiri atau eigenrichting.
Meskipun demikian harus diakui bahwa tindak kekerasan yang ada dalam
masyarakat sebenarnya tidak semata- mata dilatarbelakangi oleh faktor
ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dan institusinya
saja,
melainkan juga banyak faktor penyebab lain seperti adanya kesenjangan sosial
ekonomi, sara, tersumbatnya saluran sosial politis dan sebagainya, seperti yang
terjadi pada kasus konflik antar etnis di Kecamatan Sidomulyo beberapa bulan
yang lalu.
46
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
47
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan tentang Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan sebenarnya tidak hanya terjadi pada saat ini saja, tetapi
sudah sering terjadi sejak masa lalu bahkan sejak manusia itu hidup
bermasyarakat. Hal ini membuktikan bahwa kekerasan itu terjadi dimana- mana,
sebab kekerasan adalah jawaban naluriah dan tidak ada yang dapat digunakan
untuk menghentikannya pada tahap-tahap awalnya. Oleh sebab itu, sudah cukup
banyak para ahli yang mencoba untuk mengungkapkan dan menganalisis tentang
perilaku kekerasan tersebut. Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler (dalam
Thomas Santoso, 2002), mengatakan bahwa:
istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang
terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang
(offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai penggunaan kekuatan
kepada orang lain. Kekerasaan terbuka adalah kekerasan yang dapat
dilihat seperti perkelahian; kekerasan tertutup adalah kekerasan yang
tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti perilaku
mengancam; kekerasan agresif, adalah kekerasan yang dilakukan tidak
untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu seperti
penodongan, perampokan dan sebagainya; kekerasan defensive yaitu
kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.
Sementara itu menurut Johan Galtung (dalam Windu I Marsana, 1992),
bentuk-bentuk kekerasan itu terbagai tiga,, yang disebutnya dengan istilah segi
tiga kekerasan, yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan
kultural. Kekerasan langsung melukai kebutuhan dasar manusia, sedangkan
kekerasan kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural maupun kekerasan
langsung secara budaya. Dengan demikian, penyebab kekerasan tidak lagi dilihat
secara sepihak atau one dimensional, tetapi dari berbagai keterkaitan, baik
langsung maupun tidak langsung dengan berbagai penyebab lain lahirnya
kekerasan.
Lebih lanjut Johan Galtung menguraikan adanya enam dimensi penting dari
kekerasan yaitu:
a. Kekerasan fisik dan psikologis;
Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai
pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang
dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak;
b. Pengaruh positif dan negatif;
Sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat
pengendalian, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif,
meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.
c. Ada objek atau tidak
Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis,
meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia.
d. Ada subjek atau tidak;
48
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan apabila
tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasasn tidak
langsung sudah menjadi bagian struktural itu (strukturalnya jelek) da n
menampakkan diri sebagi kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan
peluang hidup tidak sama.
e. Disengaja atau tidak;
Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya
menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup, untuk melihat, mengatasi
kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja.
Dari
sudut korban, disengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
f. Yang tampak dan tersembunyi;
Kekerasan yang tampak, nyata (manifest), baik yang personal maupun
struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan
tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (laten), tetapi bisa
dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi
menjadi tidak begitu stabil, sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun
dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang struktural terjadi jika suatu
struktur egaliter dapat dengan mudah diubah menjadi feodal, atau revolusi
hasil dukungan militer yang hirarkis dapat berubah lagi menjadi struktur
hirarkis setelah tantangan utama terlewati.
Galtung (Windhu, 1992), juga membedakan kekerasan personal dan
struktural.
Sifat kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati,
memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan.
Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkn stabilitas tertentu
dan tidak tampak.
Dalam masyarakat statis, kekerasan personal akan
diperhatikan, sementara kekerasan struktural dianggap wajar. Namun dalam suatu
masyarakat yang dinamis, kekerasan personal bisa dilihat sebagai hal yang
berbahaya dan salah, sementara kekerasan struktural semakin nyata menampilkan
diri.
Dikatakan lebih lanjut oleh Galtung bahwa kekerasan personal bertitik berat
pada realisasi jasmani aktual. Sehubungan dengan itu ada tiga pendekatan untuk
melihat kekerasan personal, yaitu:
a. Cara-caa yang digunakan (menggunakan badan manusia atau senjata);
b. Bentuk organisasi (individu, massa atau pasukan);
c. Sasaran (manusia).
Disamping itu kekerasan personal juga dapat dibedakan dari susunan
anatomis (secara struktural) dan secara fungsional (fisiologis). Pembedaan antara
yang anatomis dan fisiologis terletak pada kenyataan bahwa yang pertama sebagai
usaha menghancurkan mesin manusia sendiri (badan), dan yang kedua untuk
mencegah supaya mesin itu tidak berfungsi.
Sementara itu ada 6 faktor yang mendukung tidak egaliternya mekanisme
kekerasan struktural yaitu: (a) kedudukan linier; (b) pola interaksi yang tidak
siklis; (c) korelasi antara kedudukan dan sentralitas; (d) persesuaian antar sistem;
(e) keselarasan antar kedudukan; (f) perangkapan yang tinggi antar tingkat.
Sistem sosial akan cenderung mengembangkan keenam mekanisme ini yang pada
akhirnya memperbedar ketidaksamaan. Dalam beberapa struktur, ketidaksamaan
terjadi begitu rupa sehingga pelaku yang berkedudukan paling rendah tidak hanya
relatif terhalangi dimensi potensialnya, tetapi juga sungguh-sungguh berada di
49
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
51
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
53
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Perversi dalam kesadaran yang disebabkan oleh rasa panik ini merupakan
penjelasan mengapa dalam situasi krisis sistem nilai tertutup, seperti
fundamentalisme agama, ekstremisme sayap kanan, ataupun radikalisme, menjadi
populer. Sistem nilai tertutup memenuhi kerinduan akan konsistensi, koherensi
dan kepastian. Konsep-konsep abstrak di sini melayani agresi manusia dengan
cara membenarkannya.Tak ada sistem nilai yang begitu mempesona massa yang
gelisah selain yang memuat asas barangsiapa tidak termasuk kita, melawan kita.
Dalam sistem tertutup semacam inilah membunuh atau melukai musuh bukan
hanya benar, melainkan juga harus. Sumber dari fanatisme dan kebengisan yang
menyertainya terletak di dalam palung jiwa manusia, yaitu dalam pelarian psikis
dari perasaan tak pasti yang tak tertanggungkan. Yang jahat, demikian
Rousseau, takut kepada dirinya sendiri dan berupaya untuk melarikan diri dari
dirinya sendiri. Fanatikus gagap menghadapi ambivalensi hidup dan
menyerahkan kebebasannya kepada sistem nilai tertutup. Dengan demikian
fanatisme massa dan kekerasan yang menyertainya bukanlah tanda kekuatan,
melainkan tanda ketakberdayaan manusia sebagai individu. Fanatisme,
demikian kata Nietzsche,adalah satu-satunya jalan yang membawa orang-orang
lemah kepada kekuatan kehendak
c. Akar Sosiologis
William Chang menilai bahwa maraknya kekerasan di negeri ini beberapa
saat terakhir, sebenarnya memperlihatkan frustasi sosial yang tengah melanda
sebagian masyarakat. Dalam kondisi seperti ini orang cenderung melihat hidup
tidak lagi mempunyai makna. Hidup orang lain cenderung dinilai sangat murah,
sama sekali tidak dihargai martabatnya sebagai manusia. Frustasi yang melanda
sebagian masyarakat itu, disebabkan menurunnya
kualitas pendidikan
kemanusiaan, baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Disisi lain,
penegakan hukum yang tidak konsisten telah mendorong sebagian masyarakat
tidak lagi menghiraukan hukum.
Guru Besar Psikologi dari Universitas Indoneksia Sarlito Wirawan melihat
maraknya aksi kekerasan massa di picu oleh terlalu seringnya tokoh bangsa
berantem dan berdebat tanpa ujung di media massa, khususnya di televisi.
Dalam teori psikologi, ada namanya teori modelling. Ilustrasinya, jika anak kecil
diberi tayangan film yang di dalamnya ada adegan memukuli boneka, saat anak
itu diberi boneka, ia akan ikut- ikutan memukuli boneka. Jika di film itu
bonekanya dibelai dengan kasih sayang, si anak itu juga akan membelainya
dengan kasih sayang, katanya.
Dalam hal ini, lanjut Sarlito, media massa, terutama televisi, perlu lebih
menahan diri tidak membesar-besarkan polemik tokoh. Ia juga melihat polisi saat
ini tak lagi memiliki wibawa di mata masyarakat. Saat polisi turun ke lapangan,
mereka tak digubris. Kondisi ini terjadi karena secara sengaja atau tidak polisi
sering dihujat dan dikecilkan, terlepas kinerja polisi dalam penegakan hukum itu
baik atau tidak. Sarlito tidak menepis adanya faktor kemiskinan di balik fenomena
maraknya aksi kekerasan massa itu. Meski demikian, ia menegaskan, tidak semua
pelaku kekerasan massa dari kalangan orang miskin.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala
mengatakan, apa yang terjadi di bawah umumnya dikendalikan dari atas (elite).
54
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
Isu yang digunakan adalah isu agama dan suku. Kedua isu ini paling
menguntungkan dan berbuah bagus untuk kepentingan mereka. Sebab itu, mereka
berulang kali memakai dua isu ini untuk menggalang kekuatan massa di jalanan
melakukan tindakan destruktif, kata Meliala. Kalau menyangkut mayoritas,
umumnya elite menggunakan isu agama, tetapi kalau menyangkut minoritas,
mereka memakai isu suku, tambahnya.
Meliala menduga institusi negara dan institusi politik terlibat dalam banyak
kasus kekerasan massa di jalanan. Mereka bisa bersikap pasif dengan melakukan
pembiaran atau bersikap aktif dengan ikut mendorong terjadinya benturan,
ucapnya. Menurut Meliala, terlibatnya elite membuat polisi dan aparat hukum
lain ragu bertindak. Mereka lebih baik bermain aman daripada harus kehilangan
jabatan. Janji menindak tegas pelaku cuma janji kosong, tandasnya.
Tamrin Amal menambahkan, bentrokan di antara dua atau lebih kelompok
massa tidak lain adalah bentuk perebutan ruang fisik. Penguasaan lahan parkir
atau sumber daya ekonomi lain diakui lebih banyak menjadi alasan pemicu
bentrok. Penyelesaian kekerasan yang marak terjadi adalah dengan pendekatan
sosiologi, diiringi peningkatan pendidikan serta peluang pekerjaan.
Endriartono Sutarto menuturkan, konflik horizontal yang terjadi akhir-akhir
ini adalah kombinasi dari dua hal. Pertama, masyarakat merasa tidak bisa
mendapatkan keadilan. Kedua, menguatnya rasa ketidakpercayaan masyarakat
terhadap aparat penegak hukum. Akibatnya, masyarakat mencari keadilan
dengan cara sendiri, kata Endriatono.
4.2
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
selalu berupaya menyelesaikannya, dan upaya itu antara lain adalah melalui
rosolusi konflik dan rekonsiliasi. Resolusi konflik merupakan metode gradual
yang bersifat kondusif untuk mengadakan perubahan struktur dan sikap
lingkungan serta menuju rekonsiliasi guna membangun hubungan baru antar dua
masyarakat yang lebih baik, interdependen dan terciptanya kooperatif diantara
mereka.
Penyelesaian konflik harus memperhatikan empat hal yaitu (1) harus
mengetahui faktor utama maksud atau tujuan dari setiap kelompok yang terlibat
konflik, seperti apakah krena self determination, upaya melepaskan diri dari
dominasi etnis tertentu atau lainnya; (2) karakteristik setiap kelompok, seperti
struktur organisasi sosial, kultur dan tradisi, idiologi atau keyakinan, maupun
karakteristik lainnya; (3) hubungan yang terjadi antara kelompok yang tengah
bertikai tersebut, seperti jalinan integrasi yang terjadi antar mereka, persepsi
masing- masing pihak, terhadap lawannya dan lainnya; (4) konteks sosial yang
terjadi.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Penyebab seorang manusia melakukan kekerasan terhadap sesamanya,
karena umumnya dia berfikir dan merasa tidak melakukannya terhadap
sesamanya, melainkan terhadap musuhnya yang harus dihancurkannya. Karena
musuh itu dipersepsi mengancam survival-nya dan menimbulkan panik. Karena
kondisi struktural masyarakatnya membuatnya merasa terisolasi sebagai individu,
tercerabut dari komunitasnya dan termarginalisasi secara ekonomis. Ketiga akar
ini menjadi alasan mengapa sistem nilai tertutup yang menganjurkan jalan
kekerasan menjadi begitu menarik, yaitu karena para pelaku kekerasan massa
menemukan etika semu dalam ideologi- ideologi yang menganjurkan kekerasan
itu sebagai pelengkap defisit psikis mereka.
Para pelaku kekerasan massa adalah manusia- manusia yang dikolektifkan
dari dua sisi: oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh ke lemahan
komunitasnya. Para pelaku kekerasan massa adalah orang-orang yang bertindak
keras karena merasa kabur dengan dirinya sendiri dan tidak sanggup menegaskan
diri lewat komunikasi dan jalan pantang kekerasan.
Sementara itu tentang upaya yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemerintah harus mampu menindak tegas para pelaku tindak kekerasan massa
di demi tegaknya negara hukum dan tatanan sosial kemasyarakatan yang arif
dan bijak;
b. Pemerintah harus bertndak cepat, tepat, tegas dan komprehensif untuk dapat
membuat rasa aman dan nyaman hidup berdampingan bagi warganya, baik
kebijakan regulasi maupun implementasi, karena pemerintah mempunyai
kewenangan mengatur dan melindungi warga bangsa tanpa terkecuali.
c. Media harus mampu untuk tidak menayangkan visualisasi kekerasa n secara
vulgar yang dapat menyulut rasa kebencian ataupun amarah diantara
kelompok masyarakat.
Langkah- langkah di atas tentu tidak lagi bersifat sesederhana itu, apabila
kekerasan massa yang terjadi sudah berkembang menjadi konflik antara etnis
56
Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012
seperti yang terjadi di Kecamatan Sidomulyo beberapa bulan yang lalu. Terlebih
lagi disadari bahwa konflik antar etnis atau kelas sosial dalam sebuah negara
mungkin tidak akan pernah dianggap reda oleh masing- masing pihak yang terlibat
konflik. Oleh karena itu harus dicari penyelesaian masalah yang mampu
meredam konflik untuk tidak kembali muncul Pasti tidak akan pernah ada konflik
yang dapat diselesaikan secara permanent dan tuntas. Namun kita tetap harus
selalu berupaya menyelesaikannya, dan upaya itu antara lain adalah melalui
resolusi konflik dan rekonsiliasi. Resolusi konflik merupakan metode gradual
yang bersifat kondusif untuk mengadakan perubahan struktur dan sikap
lingkungan serta menuju rekonsiliasi guna membangun hubungan baru antar dua
masyarakat yang lebih baik, interdependen dan terciptanya kooperatif di antara
mereka.
2. Saran
1. Perlu meningkatkan kewibawaan aparat penegak hukum di mata masyarakat
dengan selalu memberikan suri tauladan yang baik kepada mayarakat.
2. Perlu dilakukan penyuluhan hukum secara rutin kepada warga masyarakat
agar tidak mudah terprovokasi oleh berbagai isue- isue negatif yang dapat
merangsang timbulnya kekerasan massa.
3. Perlu dilakukan penindakan yang tegas terhadap para pelaku kekerasan massa
untuk memberikan efek jera terhadap para pelakunya.
Daftar Pustaka
Ali, Ahmad, 2001 . Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusi,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Douglas, Jack D. and Waksler, Frances Chaput, 1982. The Sociology of Deviance,
An Introduction. Little Brown and Company, Boston.
Gurr, Ted Robert, 1970. Relative Deprivation and the Impetus to Violence.
Princenton University Press, Princeton.
Husin, Kadri, 1977. Pelaksanaan Penerapan Hak-hak Tersangka/Terdakwa
Menurut KUHP dalam Proses Peradilan Pidana. Disertasi, Program Pasca
Sarjana UI, Jakarta.
Kusuma, Mulyana W., 1983. Kejahatan, Penjahat dan Reaksi Sosial. Alumni,
Bandung.
Nitibaskara, Ronny, 2002. Meningkatnya Derajat Kekerasan Kolektif. Kompas,
Saptu, 17 Juni 2002
Santoso, Thomas, 2001. Kekuasaan dan Kekerasan, dalam Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik. Unair. Surabaya.
Santoso, Thomas, 2002. Teori-teori Kekerasan. Ghalia Indonesia, Jakarta.
57