Anda di halaman 1dari 132

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN


MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL DENGAN PENDEKATAN
MODEL SELF CARE OREM
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

DIAN NOVITA
106748495

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM


PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK
JUNI, 2013

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL DENGAN PENDEKATAN
MODEL SELF CARE OREM
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

OLEH
DIAN NOVITA
1006748495

FAKULTAS ILMU PERAWATAN PROGRAM


SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH UNIVERSITAS
INDONESIA
DEPOK,
JUNI, 2013

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS


AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini
:
Nama

: Dian Novita

NPM

: 1006748495

Program Studi

: Program Spesialis Keperawatan

Kekhususan

: Keperawatan Medikal Bedah

Fakultas

: Ilmu Keperawatan

Jenis Karya

: Karya ilmiah Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-exclusive Royalty-Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL DENGAN
PENDEKATAN MODEL SELF CARE OREM DI RUMAH SAKIT UMUM
PUSAT FATMAWATI JAKARTA
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (data base), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.


Dibuat di: Depok
Pada tanggal : 27 Juni 2013
Yang menyatakan

(DIAN NOVITA)
vi

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA
Karya Ilmiah Akhir, Juni 2013
Dian Novita
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal dengan Pendekatan Model Self Care Orem di Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta
x + 84 halaman + 2 tabel + 1 gambar + 5 lampiran
Abstrak
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis tentang pengalaman praktik residensi
spesialis keperawatan medika bedah dalam menjalankan peran perawat selama praktik
keperawatan. Perawat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan, peneliti, pendidik
dan innovator di RSUP fatmawati Jakarta. Sebagai pemberi asuhan keperawatan,
penulis mengaplikasikan penerapan model self care Orem dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan system musculoskeletal. Laporan analisis ini
juga menerapkan praktik keperawatan berbasis bukti (Evidence Based Nursing) untuk
mengurangi nyeri post operasi ORIF dengan menggunakan tehnik terapi music. Terapi
music efektif diterapkan untuk mengurangi nyeri pasien post operasi ORIF. Peran
perawat sebagai innovator mencoba menerapkan Clinical Practice Guideline (CPG)
pada klien post operasi ektremitas bawah. Penerapan CPG ini melibatkan tim ruangan
tempat lahan praktik. Rumah sakit sebagai institusi pelayanana kesehatan diharapkan
dapat mengembangkan sumber daya perawat melalui pendidikan yang berkelannjutan,
pelatihan dan pertemuan ilmiah khususnya dibidang ortopedi untuk meningkatkan
pelayanan keperawatan yang berkualitas, cepat dan tepat.
Kata Kunci : Self Care Orem, nyeri, terapi music, post operasi ORIF, Clinical Practice
Guideline (CPG)
Daftar pustaka 51 (1995-2012)

vii

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

MEDICAL SURGICAL NURSING SPECALIST PROGRAM


FACULTY OF NURSING
UNIVERSITY OF INDONESIA
Final Scietific Paper, June 2013
Dian Novita
Analysis of Nursing Practice Residency of Medical Surgical Nursing to Musculosceletal
System Disorder Patients with Orem Self Care Model Approach in Fatmawati General
Hospital Center Jakarta
xiii + 84 pages + 3 tables + 1 images + 5 appendix
Abstract
This report was aimed to analyze about the experience of specialist nursing practice
residency medical surgical nursing in performing the role of nurses during the nursing
practice. Nurse's role as provider of nursing care, researcher, educator and innovator in
Fatmawati General Hospital Center Jakarta. As a provider of nursing care, the practician
applied the model application Orem self care in providing nursing care to patients with f
the musculoskeletal system disorder. The analysis report also implemented evidencebased nursing practice (Evidence Based Nursing) to reduce postoperative pain ORIF
using music therapy techniques. Music therapy effectively applied to reduce
postoperative pain patients ORIF. The role of the nurse as an innovator trying to
implement Clinical Practice Guideline (CPG) on the client postoperative at lower
extremity. This involves of the application of CPG team room where the place of
practices. Hospital as an institution is expected to develop the service of health
resources through continuing education nurse, training and scientific meetings in the
field of orthopedics in particular to improve the quality of nursing services, progressive
and accurately.
Keywords : Orems self care, pain, music therapy, post ORIF surgical, Clinical Practice
Guideline (CPG)
References : 51 (1995-2012)

viii
viii
viii
viii

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa karena atas
rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan hasil Karya Ilmiah Akhir yang
berjudul Analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah pada pasien gangguan
sistem muskuloskeletal dengan pendekatan model adaptasi self care Orem di Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah Akhir ini dapat diselesaikan atas bantuan
berbagai pihak. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Dewi Irawaty M.A., PhD., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia dan Koordinator Karya Ilmiah Akhir yang telah
membimbing dan memberi pengarahan pada penyusunan Karya Ilmiah Akhir
ini.
2. Astuti Yuni Nursasi S.Kp., MN., selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah
memberikan pengarahan tentang penyusunan Karya Ilmiah Akhir
3. DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc. selaku Supervisor Utama yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis pada penyusunan Karya Ilmiah Akhir
ini.
4. Masfuri, S.Kp., MN.,

selaku Supervisor yang memberikan masukan serta

mengarahkan penulis pada Karya Ilmiah Akhir ini.


5. Umi Aisyiyah S.Kep. Ns. M.Kep. Sp. KMB., selaku Supervisor klinik yang
telah banyak memfasilitasi penulis dalam melaksanakan praktik residensi dan
membimbing penulisan dalam Karya Ilmiah Akhir ini.
6. Dudut Tanjung, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB., selaku Supervisor klinik yang telah
banyak memfasilitasi penulis dalam melaksanakan praktik residensi dan
membimbing penulisan dalam Karya Ilmiah Akhir ini
7. Seluruh staf pengajar Program Spesialis

Ilmu

Keperawatan terutama

Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah dan seluruh staf akademik yang telah
membantu penulis.

ix

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

8. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta dan seluruh staf yang
telah memberikan kesempatan serta membantu dalam proses praktik spesialis
keperawatan ini.
9. Direktur Rumah Sakit Ortopedi Prof. Soeharso Surakarta Jawa Tengah dan
seluruh staf yang telah memberikan kesempatan serta membantu dalam proses
praktik keperawatan spesialis ini.
10. Seluruh rekan-rekan sejawat perawat dan tim di Gedung Prof. Soelarto RSUP
Fatmawati Jakarta yang telah memberikan kesempatan penulis dan bekerjasama
untuk meningkatkan kompetensi keperawatan ortopedi.
11. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Spesialis Keperawatan angkatan ganjil
2012, terutama Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah yang telah
memberikan dukungan dan semangat bagi penulis.
12. Orang tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa
bagi penulis dalam menyelesaikan penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
Semoga semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis mendapat
balasan dari ALLAH SWT dan dicatat sebagai amal kebaikan.

Depok, Juni 2013

Penulis

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

DAFTAR ISI
Hal
.
HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.......................................
HALAMAN PERYATAAN ORISINALITAS.......................................................
LEMBAR PERSETUJUAN ...
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI..........................................................
ABSTRAK...............................................................................................................
ABSTRACT..............................................................................................................
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ...
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR SKEMA ......
DAFTAR GRAFIK..............................................................................................
DAFTAR GAMBAR ......
DAFTAR LAMPIRAN ...

i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
xi
xii
xiii
xiv
xv
xvi

BAB 1 : PENDAHULUAN...................................................................................
1.1 Latar Belakang ...
1.3 Tujuan Penulisan ...
1.4 Manfaat Penulisan .

1
1
7
8

BAB 2 : TINJAUAN TEORI..................................................................................


2.1 Konsep Fraktur ...........
2.2 Konsep ORIF..........................................................
2.3 Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi ORIF.......................
2.4 Konsep Teori Model Keperawatan.....................................................
2.5 Penerapan Teori Self Care Orem pada Kasus Fraktur........................

9
9
12
14
18
27

BAB 3 : ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM


MUSKULOSKELETAL..........................................................................
3.1 Deskripsi Kasus...................................................................................
3.2 Penerapan Teori...................................................................................
3.3 Pembahasan..........................................................................................
3.4 Analisis Kasus Resume........................................................................

33

xi

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

33
34
49
52

BAB 4 : ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN BERBASIS BUKTI..............


4.1 Tinjauan Literatur...
4.2 Penelitian Terkait..
4.3 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian...
4.4 Pembahasan........................................................................................

60
60
67
68
70

BAB 5 : ANALISIS PERAN PERAWAT SEBAGAI INOVATOR......................


5.1 Analisis Situasi
5.2 Kegiatan Inovasi........
5.3 Pembahasan.............

73
73
74
76

BAB 6 : SIMPULAN DAN SARAN.....................................................................


6.1 Simpulan.............................................................................................
6.2 Saran...................................................................................................

78
78
78

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................

80

xii

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 :

Gambaran radiologi pasien

Lampiran 2 :

Asuhan Keperawatan Pasien

Lampiran 3 :

Pengkajian nyeri Numeric Rating Scale

Lampiran 4 :

Format Clinical Practice Guideline

Lampiran 5 :

Lampiran Resume

Lampiran 6 :

Daftar riwayat hidup

xiii

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1

Perbedaan proses keperawatan menurut Orem

Hal
29

Tabel 3.1

Nursing Care Plan pada pasien kelolaan

39

ix
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laporan analisis praktik ini merupakan laporan dan analisis praktik residensi selama
2 semester. Laporan ini menganalisis pengalaman dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan pada system musculoskeletal dengan
mengaplikasikan salah satu teori keperawatan. Laporan ini juga melaporkan
pelaksanaan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian atau Evidence Based
Nursing Practice serta hasil analisis terhadap kegiatan inovasi yang dilakukan di
Ruang Ortopedi RSUP Fatmawati Jakarta dan RS Ortopedi Prof. Dr. R Soeharso
Surakarta.
Gangguan yang sering ditemukan saat praktik residensi ini adalah fraktur. Fraktur
juga dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak
lengkap (Price & Wilson, 2006). Fraktur juga melibatkan jaringan otot, saraf, dan
pembuluh darah di sekitarnya karena tulang bersifat rapuh namun cukup
mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan, tetapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut World Health Organization (WHO) kasus fraktur terjadi di dunia kurang
lebih 13 juta orang pada tahun 2008,

dengan angka prevalensi sebesar 2,7%.

Sementara pada tahun 2009 terdapat kurang lebih 18 juta orang mengalami fraktur
dengan angka prevalensi sebesar 4,2%. Tahun 2010 meningkat menjadi 21 juta
orang dengan angka prevalensi sebesar 3,5%. Terjadinya fraktur tersebut termasuk
didalamnya insiden kecelakaan, cedera olah raga, bencana kebakaran, bencana alam
dan lain sebagainya (Mardiono, 2010).

Tingkat kecelakaan transportasi jalan di kawasan Asia Pasifik memberikan


kontribusi sebesar 44% dari total kecelakaan didunia yang di dalamnya termasuk

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

Indonesia Angka kecelakaan di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 32.988 jiwa
dengan 12.117 korban meninggal dunia (36,73%) dan 41.281 korban luka-luka
(63,27%). Hal ini meningkat sekitar 59,96% dari angka kecelakaan pada tahun 2005
yaitu sebesar 20.623 jiwa. Departemen Perhubungan juga mengumumkan angka
kecelakaan transportasi darat yang ada di Indonesia masih cukup tinggi, dan bila
dibandingkan dengan kondisi tahun 2008 maka angka kecelakaan tahun 2009
mengalami sedikit peningkatan. Jika tahun 2008 tercatat rata-rata 18.000 kasus
kecelakaan, maka untuk tahun 2009 ada peningkatan menjadi rata-rata 19.000 kasus
(Jakarta, Kominfo News Room tanggal 24/6/2009).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang
disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma
benda tajam/tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur
sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang
mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda
tajam/tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). (Riskesdas
Depkes RI, 2007).
Survey Kesehatan Nasional mencatat bahwa kasus fraktur pada tahun 2008
menunjukkan bahwa prevalensi fraktur secara nasional sekitar 27,7%. Prevalensi ini
khususnya pada laki-laki mengalami kenaikan dibanding tahun 2009 dari 51,2%
menjadi 54,5%. Sedangkan pada perempuan sedikit menurun yaitu sebanyak 2% di
tahun 2009, pada tahun 2010 menjadi 1,2% (Depkes RI, 2010).
Rumah Sakit Ortopedi (RSO) Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta sebagai pusat rujukan
nasional, dari sekitar 13 ribu pasien yang datang, dengan jumlah kunjungan 168 ribu
tiap tahunnya, sekitar 80 persen pasien datang dengan kasus trauma akibat
kecelakaan. Selain itu masalah gangguan degenerative tulang dan sendi yang paling
sering dijumpai adalah pada ektremitas bawah.
Data yang diperoleh dari rekam medis RSUP Fatmawati Jakarta didapat sebanyak
37,6% kejadian fraktur ekstremitas bawah. Sebagian besar pasien yang menjalani
prosedur operasi di RSUP Fatmawati Jakarta berada pada rentang usia produktif

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

yaitu remaja sampai dengan dewasa madya (15 tahun sampai dengan 50 tahun). Hal
ini disebabkan tingkat mobilitas golongan usia tersebut cukup tinggi.
Pada umumnya fraktur dapat mengakibatkan kerusakan jaringan, organ di sekitar
pembuluh darah dan syaraf atau komplikasi secara langsung meliputi kompartemen
syndrome, emboli lemak, perdarahan massif pada injury jaringan lunak terbuka
memiliki konsekwensi yang serius seperti syok hipovolemik dan sepsis. Komplikasi
lanjut yang mungkin terjadi antara lain infeksi, non union, mal union, dan delayed
union (Smelzer & Bare, 2002).
Untuk mencegah dan mengatasi komplikasi ini perlu penanganan yang tepat dan
cepat. Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan atau tanpa
pembedahan, meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Reduksi adalah prosedur
yang sering dilakukan untuk mengoreksi fraktur, salah satu cara dengan pemasangan
fiksasi internal dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer & Bare, 2002).
Russel dan Palmieri (1995) dalam Maher, Salmond & Pullino, (2002) menyatakan
bahwa perubahan posisi untuk fraktur yang tidak stabil adalah direncanakannya
Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) dengan menggunakan plate, skrup,
atau kombinasi keduanya. Tindakan pembedahan ORIF ini selain menstabilkan
fraktur juga membantu mengatasi cedera vaskular seperti sindroma kompartemen
yang terjadi pada pasien fraktur.
Penatalaksanaan perawatan yang terjadi dirasakan saat ini belum efektif. Hal ini
dimungkinkan oleh beberapa factor antara lain waktu pertolongan yang lebih dari
golden periode, perawatan selanjutnnya setelah berada di ruangan yang kurang
memadai karena jumlah rasio tenaga dan jumlah pasien yang tidak sesuai. Sehingga
kurang maksimal dalam mengembalikan fungsi system. Hal ini memerukan adanya
peningkatan kemampuan perawat yang lebih kompeten dalam mengatasi pasien
ortopedi.

Perawat spesialis dikembangkan untuk menjawab tuntutan kebutuhan asuhan


keperawatan dan tuntutan perkembangan profesi keperawatan. Melalui peran
perawat spesialis diharapkan mampu bekerja sebagai pemberi dan pengelola asuhan
keperawatan, pendidik, peneliti, bimbingan dan konseling, advokasi, menerima dan

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

melakukan rujukan dalam mengatasi masalah klien, serta sebagai change agent.
Perry dan Potter (2006) mneyatakan bahwa peran perawat professional secara umum
meliputi empatperan yaitu pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti dan
pengelola, baik dalam pelayanan keperawatan maupun dalam lingkungan
komunitas.

Berdasarkan empat peran tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya serta
memiliki tanggung jawab pada setiaap peran yang dijalankan. Praktik yang
dijalankan adalah praktik residensi di ruang ortopedi RSUP Fatmawati dan RSO
Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan
berbagai macam gangguan system musculoskeletal. Pengalaman pelaksanaan
asuhan keperawatan yang dijalankan pada pasien dengan gangguan system
musculoskeletal, sering ditemukan pasien dalam keterbatasan mobilisasi, luka yang
luas, nyeri. Selain itu juga banyak ditemukan pasien dengan keterbatasan
pemenuhan kebutuhan self care. Dalam memberikan asuhan keperawatan, praktikan
menggunakan landasan teori self care Orem. Teori ini mengajarkan pasien untuk
tidak tergantung dengan pemberi asuhan, tetapi mampu melatih secara bertahap
kemampuan individu untuk melakukan perawatan mandiri untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesehatannya.

Pemberian asuhan keperawatan nyang sesuai dengan masalah kebutuhan pasien


salah satunya adalah masalah penatalaksanaan nyeri. Nyeri merupakan salah satu
elemen pada post op ortopedi yang bisa meningkatkan level hormone stress seperti
adrenokontikotropin, kortisol, katekolamin dan interleukin, dan secara simultan
menurunkan pelepasan insulin dan fibrinolisis yang akan memperlambat proses
penyembuhan luka pembedahan (Chelly, Ben-David, Williams & Kentor, 2003).
Respon tubuh terhadap nyeri pasca pembedahan tidak hanya menurunkan
metabolisme berbagai jaringan di tubuh, tetapi juga menyebabkan koagulasi darah
meningkat, retensi cairan, gangguan tidur, hingga dampak ke perilaku dan lamanya
hari rawat di rumah sakit yang memanjang (Acute Pain Management Guideline
Panel, 1992; Good, et.al., 1999).

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

Pada akhir tahun 2000 Presiden Amerika Serikat menyatakan hasil keputusan
Kongres bahwa per 1 Januari 2001 dideklarasikan bahwa dimulainya The Decade of
Pain Control and Research (Pulido, 2010). The American Pain Society sudah
mendukung secara aktif program ini dengan menitikberatkan pada riset-riset untuk
manajemen nyeri (Gordon, et al., 2002). Pengembangan riset untuk nyeri ortopedi
telah diambil alih oleh The Orthopaedic pain Committee yang mengembangkan
berbagai penelitian terutama untuk Complementory and Alternative Medicine
(CAM) (Pulido, 2010). Beberapa teknik non farmakologis adalah stimulasi dan
masase, terapi es dan panas, stimulasi syaraf elektris, distraksi, relaksasi, guide
imaginary dan hipnotis (Strong, Unruh, Wright & Baxter, 2002).

Terapi musik juga merupakan salah satu terapi komplementer yang sudah mulai
banyak dikembangkan diberbagai riset (Engwall & Duppils, 2009). Musik bisa
menyentuh individu baik secara fisik, psikososial, emosional, dan spiritual (Munro
dan Mount, 1978 ; Chiang, 2012). Tubuh manusia memiliki pola getar dasar,
kemudian vibrasi musik yang terkait erat dengan frekuensi dasar tubuh atau pola
getar dasar dapat memiiki efek penyembuhan yang sangat hebat bagi tubuh, pikiran,
dan jiwa manusia. Getaran ini juga menimbulkan perubahan emosi, organ, hormone,
enzim, sel-sel, dan atom di tubuh (Kozier, Erb, Berman, Snyder & 2010). Musik
bersifat nonverbal sehingga lebih condong bekerja pada hemisfer kanan. Musik
tidak membutuhkan analisis yang membuat hemisfer kiri bekerja, tetapi dengan
musik membantu otak kiri mendominasi untuk meningkatkan proses belajar (Kozier,
et.al., 2010).
Dasar teori keperawatan untuk melakukan kombinasi terapi farmakologi dan
nonfarmakologi adalah teori nyeri yang dikembangkan oleh Marion Good yang
berada pada tingkatan Middle Range Nursing Theory yaitu Pain : A Balance
Between Analgesia and Side Effects (Tomey & Alligood, 2006). Middle range
nursing theory ini dapat membantu perawat dan mahasiswa keperawatan dalam
memandu untuk menemukan dan mencapai tujuan yang diharapkan dari aktivitas
praktik di berbagai area keperawatan. Dalam bidang riset keperawatan, Middle
range nursing theory dapat membantu untuk membuat hipotesis penelitian yang
dapat diuji dan pada akhirnya dapat mempengaruhi praktik keperawatan.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

Pelaksanaan peran perawat sebagai peneliti yaitu menerapkan asuhan keperawatan


berdasarkan pembuktian atau Evidence Based Nursing Practice dalama menurunkan
nyeri pasac pembedahan dengan menggunakan terapi music pada pasien post opeasi
ORIF. Nyeri pada pasien pembedahan ortopedi ORIF memiliki karakteristik yaitu
melibatkan kerusakan mulai dari integument, jariangan otot, vascular, sampai ke
tulang bagian dalam, dan menimbulkan efek nyeri yang lebih lama pada masa
pemulihan (Chelly, Ben-David, Williams & Kentor, 2003). Nyeri pada pasien pasca
pembedahan ortopedi ORIF dilaporkan berada pada level severe (Chelly, BenDavid, Williams & Kentor 2003). Pemberian analgesik bukanlah menjadi pemegang
kontrol utama untuk mengatasi keluhan nyeri pasien karena memiliki efek samping
yang akan menambah lama waktu pemulihan.

Asuhan keperawatan yang berdasarkan respon pasien memberi peluang untuk


mengembangkan penelitian keperawatan. Penelitian terapi musik pada pasien
pembedahan abdomen yang dilakukan oleh Good, Anderson, Ahn, Cong, dan
Stanton-Hicks pada tahun 2005 di USA dengan menggunakan metode Randomized
Controlled Trial (RCT) menunjukkan hasil sebanyak 16-40% lebih besar penurunan
nyerinya pada kelompok intervensi daripada kelompok control. Penelitian lainnya
menggunakan terapi musik pada setting klinik telah menunjukkan bahwa terapi
musik merupakan terapi nonfarmakologi yang efektif untuk menurunkan nyeri
pasien post operasi ginekologi pada perempuan di Korea (Good & Ahn, 2008).

Terapi musik juga telah terbukti efektif menurunkan nyeri pada pasien post
pembedahan hernia ingunalis di Swedia (Nilsson, 2003). Terapi musik sangat
berkembang di dunia sebagai terapi nonfarmakologis pada post pembedahan karena
terbukti efektif menurunkan nyeri, mengurangi penggunaan analgesia dan efek
sampingnya, memperpendek lama hari rawat, kepusan pasien meningkat, dan secara
menurunkan biaya.

Peran perawat sebagai innovator yaitu membuat proyek inovasi Clinical Practice
Guidelines (CPG) berupa sosialisasi penerapan clinical practice guideline pada
pasca pembedahan ekstremitas bawah di lantai 1 Gedung Prof. Soelarto RSUP

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

Fatmawati Jakarta. Inovasi ini memberi arahan dan memudahkan para klinisi dalam
pengambilan keputusan untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien pasca
operasi ekstremitas bawah. Proyek ini dibuat berdasarkan kebutuhan ruangan untuk
menyiapkan perawat ortopedi yang kompeten. Dukungan dari manajemen RSUP
Fatmawati untuk meningkatkan kompetensi perawat merupakan kekuatan bagi
praktikan untuk menerapkan CPG.

Berdasarkan uraian di atas Penulis melakukan kajian lebih lanjut dalam Analisis
praktik residensi keperawatan medikal bedah :Penerapan teori Self Care Orem pada
pasien dengan gangguan sistem musculoskeletal di Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan gambaran umum pelaksanaan dan pengalaman praktik residensi
Mahasiswa Program Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, khususnya peminatan
Muskuloskeletal menggunakan pendekatan teori keperawatan self care Orem dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem muskuloskeletal di
Gedung Prof. Solearto lantai 1 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.

1.2.2 Tujuan Khusus


1.2.2.1 Melakukan analisis terhadap penerapan asuhan keperawatan menggunakan Teori
Model Self Care Orem pada pasien gangguan sistem muskuloskeletal terutama
pasien fraktur di Lantai 1 Gedung Prof. Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta.
1.2.2.2 Melakukan analisis terhadap kegiatan inovasi keperawatan pasien dengan
gangguan sistem musculoskeletal di Lantai 1 Gedung Prof. Soelarto RSUP
Fatmawati Jakarta.
1.2.2.3 Melakukan analisis terhadap penerapan evidence based nursing pada pasien
gangguan sistem muskuloskeletal terutama pasien fraktur di Lantai 1 Gedung Prof.
Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Bagi pelayanan keperawatan
a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan sebagai acuan
dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif pada
pasien dengan gangguan sistem musculoskeletal khususnya fraktur dengan
pendekatan teori Model Self Care Orem.
b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian sebagai dasar
pengambilan keputusan klinik berdasarkan Evidence Based Nursing Practice pada
kasus gangguan sistem muskuloskeletal khususnya fraktur.

1.3.2 Bagi perkembangan ilmu keperawatan


Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan medikal bedah
tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi layanan, pendidik, konselor,
agen perubahan atau agen inovasi, penasihat klien, peneliti, pelindung, dan manajer
kasus khususnya dalam bidang keperawatan ortopedi.

1.3.3 Bagi pendidikan keperawatan


Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan
kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan intervensiintervensi
keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan muskuloskeletal berdasarkan evidence based practice.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Fraktur


2.1.1 Definisi
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sebagian,
baik yang bersifat total maupun sebagian (Helmi, 2012). Price dan Wilson (2006)
mendefinisikan fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik.

Pengertian fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai
stress yang lebih besar daripada yang mampu diabsorpsi olehnya. Meskipun tulang
patah, jaringan lunak disekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema
jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon,
kerusakan saraf dan pembuluh darah.

Berdasarkan definisi-defini diatas, dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah


terputusnya kontinuitas tulang. Patah yang dimaksud bisa seluruhnya ataupun
sebagian akibat stressor yang mengenai tulang lebih besar dari daya serap tulang itu
sendiri, dimana kerusakan yang terjadi tidak hanya berakibat pada tulang itu sendiri,
tetapi juga melibatkan kerusakan jaringan disekitarnya seperti pembuluh darah,
pembuluh saraf, sendi, maupun otot.

2.1.2 Etiologi
Helmi (2012) membagi etiologi fraktur menjadi 3 bagian, yaitu :
a. Fraktur traumatik, disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan
kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut. Misalnya
akibat jatuh, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas

9
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

10

b. Fraktur patologis, disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan


patologis di dalam tulang. Tuang seringkali mmenunjukkan penurunan densitas.
Misalnya akibat osteosarkoma atau kanker tulang baik primer maupun metastasis,
osteoporosis, osteomalasia, atau pada penyakit Paget.
c. Fraktur stress, disebabkan oleh trauma yang terus menerus pada suatu tempat
tertentu. Misalnya kejadian fraktur kompresi pada vertebrae, juga cedera pada atlet.

2.1.3 Manifestasi Klinis


Menurut Smeltzer dan Bare (2002), manifestasi klinik fraktur antara lain:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
b. Deformitas akibat bergesernya fragmen tulang atau pemendekkan tulang yang juga
mengakibatkan ekstremitas tidak mampu berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada tempat melekatnya di tulang.
c. Krepitasi adalah bunyi derik pada tulang yang patah akibat gesekan antar fragmen
yang tidak lagi menyatu.
d. Edema dan perubahan warna serta temperature local terjadi akibat trauma dan
perdarahan.

2.1.4 Komplikasi
Secara umum komplikasi fraktur terdiri atas komplikasi awal dan komplikasi lama
(Helmi, 2011; Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2002 ).
a. Komplikasi awal, terjadi segera setelah terjadi fraktur. Komplikasi awal yang bisa
terjadi pada fraktur antara lain : syok, kerusakan arteri, sindroma kompartemen,
infeksi, avaskular nekrosis, sindrom emboli lemak. Keadaan-keadaan ini harus
segera ditangani karrena bisa mengakibatkan kehilangan fungsi ekstremitas,
kehilangan ektremitas, bahkan bisa menyebabkan kematian.
b. Komplikasi lama atau komplikasi lanjut, terjadi setelah beberapa buan atau tahun
setelah kejadian fraktur. Yang termasuk komplikasi lanjut antara lain : komplikasi
pada sendi (kaku sendi atau penyakit degenratif pada sendi pasca trauma),
komplikasi penyatuan tulang (mal union, non union, delayed union), komplikasi
pada otot (atrofi otot atau rupture tendon), dan komplikasi pada syaraf (fibrosis
intraneural).

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

11

2.1.5 Tahap penyembuhan Tulang


Proses penyembuhan tulang dapat dilihat pada pemeriksaan radiologis rontgent
(Helmi, 2012). Tahap-tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 fase (Apley &
Solomon, 1995; Smeltzer & Bare, 2002; Price & Wilson, 2006; Black, 2009)
a. Fase inflamasi, yaitu respon tubuh terhadap cedera yang ditandai dengan adanya
perdarahan dan pembentukan hematoma pada area tulang yang mengalami patah.
Ujung fragmen tulang akan mengalami penurunan vaskularisasi. Tempat tulang
yang cedera akan diinvasi oleh makrofag yang akan membersihkan area tersebut
dari zat asing. Proses inflamasi terjadi pada tahap ini yanga akan berlangsung
selama beberapa hari.
b. Fase proliferasi sel, sekitar lima hari setelah fase inflamasi, hematoma akan
mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin pada adarah dan
membentuk jaringan untuk revaskularisasi, serta invasi fibroblast dan osteoblas.
Fibroblas dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endostel, dan se periosteum)
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan
tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum
tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh
gerakan mikrominimal pada tempat patah tulang. Namun gerakan yang berlebihan
akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan
potensial elektronegatif.
c. Fase pembentukan tulang dan penulangan kalus (osifikasi), pada fase ini
pertumbuhan jaringan tulang berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan serat tulang imatur. Bentuk
kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung
berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga
sampai dengan empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan
atau jaringan fibrus. Secara klinis fragmen tulang tidak lagi bisa digerakkan.
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan 2-3 minggu setelah patah tulang
melalui proses penulangan endokondrial. Pada patah tulang panjang orang dewasa
normal penulangan memerlukan waktu 3-4 bulan.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

12

d. Fase remodeling, fase ini merupakan tahapan akhir dari perbaikan fraktur. Jaringan
mati akan diambil dan reorganisasi tulang baru ke sususnan struktur sebelumnya.
Remodelling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung
pada beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang dan stress
fungsional pada tulang.

2.1.6 Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur


Tulang yang fraktur mempunyai tahapan dalam penyembuhannya. Terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan fraktur, baik yang mempercepat
maupun yang menghambat (Black, 2009), yaitu :
a. Factor yang mempercepat penyembuhan fraktur, antara lain : immobilisasi fragmen
tulang yang patah, kontak fragmen tulang maksimal, asupan darah yang memadai,
nutrisi yang baik, latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang, hormonhormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolic, potensial
listrik pada patahan tulang.
b. Factor yang menghambat penyembuhan tulang, antara lain : trauma local ekstensif,
kehilangan tulang, imobilisasi tak memadai, rongga atau jaringan di antara fragmen
tulang, infeksi, keganasan local, penyakit tulang metabolic, radiasi tulang, nekrosis
avaskuler, fraktur intraartikuler, usia, dan konsumsi kortikosteroid.

2.2 Konsep ORIF


Pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal umumnya harus menjalani
pembedahan untuk mengkoreksi masalahnya (Maher, Salmen & Pellino, 2002; Smeltzer
& Bare, 2002). Sasaran kebanyakan pembedahan adalah memperbaiki fungsi dengan
mengembalikan gerakan, stabilisasi, mengurangi nyeri, mencegah disabilitas, sampai
dengan mengembalikan fungsi dan peran pasien sebelumnya (Hoeman, 1996; Maher,
Salmond & Pellino, 2002). Prosedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi
reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF : Open Reduction Internal Fixation) atau
dengan fiksasi eksterna untuk pasien dengan fraktur yang tidak stabil (Apley &
Solomon, 1995; Salter, 1999; Maher, Salmen & Pellino, 2002).

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

13

Pada kondisi garis patah stabil fiksasi bisa dengan gips saja (Apley & Solomon, 1995).
Artroplasti atau pergantian sendi dilakukan jika kerusakan sampai ke sendi, juga
fasiotomi, debridement, sampai tindakan amputasi adalah merupakan pilihan
penanganan fraktur yang memiliki masalah trauma sangat massif (Maher, Salmond &
Pellino, 2002)..

Indikasi dilakukannya prosedur pembedahan Open Reduction and Internal Fixation


adalah pasien yang mengalami fraktur atau patah tulang. Pengertian fraktur menurut
Smeltzer dan Bare (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada
yang mampu diabsorpsi olehnya. Meskipun tulang patah, jaringan lunak disekitarnya
juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah (Brotzman,
1996; Horlocker, 2006).

Prinsip penatalaksanaan pasien fraktur menurut Apley dan Solomon (1995) dikenal
sebagai 4R. yaitu :
a. Rekognisi : Suatu cara mengenali, mendiagnosis, dan menilai fraktur.
b. Reduksi : Suatu cara merestorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang bisa
diterima. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat
mungkin mengembalikan fungsi normal, dan mencegah komplikasi seperti
kekakuan, deformitas, serta perubahan pada sendi seperti osteoarthritis di kemudian
hari.
c. Retensi : Suatu cara meimmobilisasi bagian yang fraktur dan dilakukan setelah
fraktur direduksi. Fragmen tulang harus dipertahankan dalam posisi sejajar.
d. Rehabilitasi : Suatu program mengembalikan aktivitas fungsional pasien secara
keselurahan dengan semaksimal mungkin

Terapi-terapi pembedahan ortopedi menurut Smeltzer dan Bare (2002) biasanya


meliputi yang berikut:
a. Reduksi tertutup, dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang yang patah ke
posisinya sehingga ujung fraktur saling berhubungan (bisa dengan gips atau traksi).

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

14

Tindakan Reduksi tertutup lainnya adalah graft tulang atau cangkok tulang,
artroplasti, penggantian sendi baik sebagian maupun total, dan eksisi fibrokartilago
sendi yang rusak (menisektomi), fasiotomi, transfer tendon dan amputasi (Apley &
Solomon, 1995; Helmi, 2012).
b. Reduksi terbuka adalah melakukan reduksi dan setelah membuat kesejajaran tulang
yang patah setelah terlebih dulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang
patah. Reduksi terbuka bisa dengan fiksasi ekternal atau fiksasi internal.
Fiksasi eksternal (FE) adalah dipasangnya alat yang dapat memberikan dukungan
stabil untuk fraktur kominutif dan atau dengan kerusakan jarringan lunak yang
hancur yang masih dapat ditangani (Hoeman, 1996; Helmi 2012). Alat ini kurang
nyaman untuk pasien (Hoeman, 1996).

Fiksasi internal atau Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) dengan
melakukan reduksi terbuka dan membuat kesejajaran tulang yang patah. Fiksasi
interna adalah stabilisasi tulang yang fraktur dengan menggunakan alat-alat stress
sharing atau stress shielding screwt, plate, Kirschner Wire (K-wire), pin, nail, atau
pemasangan yang merupakan kombinasi dua atau lebih dari alat-alat tersebut
(Brotzman, 1996; Hoppenfeld & Murthy, 2002).

Operasi ORIF memiliki keuntungan yaitu reduksi yang akurat, stabilisasi reduksi
tertinggi,

pemeriksaan struktur neurovaskuler

lebih

mudah, berkurangnya

kebutuhan alat mobilisasi eksternal, penyatuan sendi yang berdekatan dengan


tulang yang patah lebih cepat, rawat inap lebih singkat, dan waktu pemulihan lebih
cepat (Brotzman, 1996; Maher, Salmond, & Pullino, 2002). Antibiotik yang
adekuat diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi (Apley & Solomon, 1995;
Horlocker, 2006).

2.3 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi ORIF


Asuhan keperawatan pada pasien yang menjalani pembedahan ortopedi adalah
suatu layanan asuhan yang unik. Perawat memiliki peran yang sangat vital atas
ketidakberdayaan klien mengatasi masalahnya. Kegiatan perioperatif yang

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

15

dilakukan perawat berlangsung kontinu sejak pre operatif, intra operatif, post
operatif, hingga waktu pemulihan pasien (Maher, Salmond &Pullino, 2002)

Proses keperawatan pada pasien dimulai dari pengkajian riwayat pasien,


menentukan masalah, menetapkan diagnose keperawatan, merencanakan intervensi,
serta melakukan implementasi dan evaluasi (Smeltzer & Bare, 2002; Maher,
Salmond & Pullino, 2002).

2.3.1 Pengkajian
Pada pasien dengan gangguan sistem musculoskeletal yang menjalani prosedur
pembedahan pengkajian post operasi adalah kesinambungan dari pengkajian pre
operasi. Setelah pembedahan ortopedi, perawat tetap melanjutkan rencana perawatan
pre operasi, melakukan menyesuaikan terhadap status pasca pembedahan terbaru.
Perawat mengkaji ulang kebutuhan pasien berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan,
promosi kesehatan, mobilitas dan konsep diri.

Trauma skeletal dan pembedahan yang dilakukan pada tulang dengan melibatkan
kerusakan jaringan pada sendi, otot, pembuluh darah, pembuluh syaraf, sampai
kerusakan jaringan integument (Smeltzer & Bare, 2002; Chelly, Ben-David,
Williams, & Kentor, 2003). Perfusi jaringan harus dipantau ketat karena edema dan
perdarahan ke

dalam jaringan dapat

memperburuk

peredaran darah dan

mengakibatkan sindrom kompartemen. Pengkajian fungsi respirasi, gastrointestinal


dan perkemihan memberikan data untuk memperbaiki fungsi sistem tersebut.

Anestesi umum, analgesic dan immobilitas dapat menyebabkan kerusakan fungsi


berbagai sistem tersebut. Selain itu, perawat harus memperhatikan mengenai
pengkajian dab pemantauan pasien mengenai potensial masalah yang berkaitan
dengan pembedahan. Komplikasi pada paru berupa ateletaksis dan pneumonia sering
terjadi dan mungkin berhubungan dengan penyakit paru sebelumnya, anestesi,
penurunan aktivitas yang bisa terjadi karena nyeri, analgetik, usia lanjut. Pengkajian
tanda vital, derajat kesadaran, cairan yang keluar dari luka, bunyi napas, bising usus,
keseimbangan cairang, nyeri, adalah data-data yang harus didokumentasikan.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

16

Menurut Black dan Hawks (2009) data yang perlu dikaji secara sistematis adalah
sebagai berikut :
a. Keluhan utama, data umum pasien, riwayat pemakaian obat, adanya alergi,
pembedahan sebelumnya, dan pengetahuan pasien terhadap persiapan tindakan
pembedahan, yang meliputi persiapan fisik dan mental serta prognosis tindakan
keperawatan selanjutnya dalam mobilisasi dini, latihan pergerakan pasca
pembedahan.
b. Riwayat penyakit sistemik seperti, liver, kardiovaskuler, diabetes, paru-paru, dan
masalah infeksi gigi, infeksi saluran kemih, dan infeksi lainnya. Osteomielitis dapat
terjadi melalui penyebaran hematologi. Disabilitas permanen dapat terjadi akibat
infeksi yang terjadi pada tulang dan sendi, infeksi yang ada harus diobati dulu
sebelum pembedahan ortopedi terencana.
c.

Penampilan fisik umum, postur, gaya berjalan, kesimetrisan tubuh, deformitas,


keterbatasan sendi, adanya massa, warna kulit, ekimosis, jejas pada kulit, nyeri
tekan, krepitus, pemakaian alat fiksasi atau alat bantu.

d. Integritas

fungsi

meliputi

keterbatasan

mobilitas,

keterbatasan

fungsi

neuromuskuler. Perubahan sensori-persepsi, pengkajian neurovaskuler, fungsi


motorik dan deficit sensori sebelum induksi.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


Smeltzer dan Bare (2002) menetapkan diagnose keperawatan utama pasien setelah
pembedahan ortopedi sesuai urutan prioritas adalah :
a. Nyeri

berhubungan

dengan

prosedur

pembedahan,

pembengkakan,

dan

immobilisasi
b. Potensial terhadap perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah.
c. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, pembengkakan,
prosedur pembedahan, adanya alat fiksasi
d. Perubahan citra diri, harga diri, atau kinerja peran yang berhubungan dengan
dampak masalah musculoskeletal

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

17

2.3.3 Intervensi
Tujuan utama pasien setelah pembedahan ortopedi dapat meliputi pengurangan
nyeri, perfusi jaringan yang adekuat, pemeliharaan kesehatan, peningkatan
mobilitas, perbaikan konsep diri, dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer & Bare,
2002). Intervensi perawatan sesuai dengan diagnose yang telah ditegakkan antara
lain :
a. Meredakan nyeri
Setelah pembedahan ortopedi, nyeri mungkin sangat berat, edema, hematoma, dan
spasme otot merupakan penyebab nyeri yang dirasakan. Tingkat nyeri pasien dan
respon terhadap upaya terapeutik harus dipantau ketat. Nyeri yang terus bertambah
dan tidak dapat dikontrol perlu dilaporkan ke dokter ahli untuk dievaluasi. Harus
diupayakan segala usaha untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan. Bila
pemberian analgesic per oral atau intramuscular diberikan pada kondisi hanya jika
diperlukan. Obat diberikan berdasarkan pencegahan dalam interval yang ditentukan
bila awitan nyeri dapat diramalkan (Smeltzer & Bare, 2002).
Pendekatan farmakologi dan nonfarmakologi diperlukan untuk penatalaksanaan
nyeri (Perry & Potter, 2006). Peninggian ekstremitas yang dioperasi dan kompres
dingin bisa dilakukan untuk membantu mengontrol nyeri dan mengurangi edema
(Smeltzer & bare, 2002). Perawat akan menyadari bahwa tehnik perubahan posisi,
relaksasi, distraksi, guided imagery, dan terapi modalitas lainnya diperlukan untuk
membantu mengurang dan mengontrol nyeri pada pasien (Pulido, Hardwick,
Munro, May & Dupies-Rosa, 2010).

b. Memelihara perfusi jaringan adekuat


Rencana perawatan pre operasi terus dilanjutkan. Perawat harus memantau status
neurovaskuler bagian badan yang dioperasi dan melaporkan segera kepada dokter
bila ditemukan adanya gangguan perfusi jaringan. Pasien diberi penyuluhan agar
melakukan latihan mobilisasi dan latihan pergelangan atau sendi (Black & Hawks,
2009). Perhatikan juga indikasi adanya pressure ulcer, peningkatan nutrisi,
pemenuhan kebersihan diri sebagai upaya juga memperbaiki perfusi.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

18

c. Memperbaiki mobilitas fisik


Mobilisasi merupakan keluhan yang paling banyak menyertai setelah nyeri, dan
keluhan takut untuk bergerak juga disertai keluhan nyeri pada pembedahan ortopedi
(Australian Acute Musculosceletal Pain Guidelines Group, 2004). Hubungan
terapeutik dapat membantu pasien berpartisipasi dalam aktivitas yang dirancang
untuk memperbaiki tingkat mobilisasi.

d. Peningkatan konsep diri


Perawat dan pasien menyusun rencana yang akan dicapai. Peningkatan aktivitas
perawatan diri dalam batas program terapeutik dan pengembalian peran dapat
membantu mengenali kembali kemampuannya dan meningkatkan harga diri,
identitas diri, dan kinerja peran. Penerimaan perubahan citra tubuh dapat dibantu
dengan dukungan yang diberikan oleh perawat, keluarga dan orang lain (Smeltzer
& Bare, 2002).

2.4 Konsep Teori Keperawatan


Teori diperlukan karena merupakan landasan dan analissi berpikir. Menurut Orem,
asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setip individu mempelajari
kemampuan untuk merawat diri sendiri ehingga membantu individu memenuhi
kebutuhan hidupnya, memelihara kesehatan dan kesejahteraan, teori ini dikenal
sebagai teori self care (Orem, 2001). Dalam paradigma keperawatan terdapat empat
konsep utam yaitu manusia, sehat-sakit, lingkungan dan keperawatan.
Beberapa penekanan pandangan dari Orem berkaitan dengan manusia, yaitu:
Manusia sebagai kesatuan unit fungsi biologis, memerlukan self care secara
mandiri, keadaan normal self care terpenuhi dan kondisi sakit self care individu
akan membutuhkan bantuan, manusia mempunyai kemampuan untuk berkembang
dan belajar, juga dipengaruhi oleh kondisi mental, sosial, budaya dan emosi. Secara
biologis manusia merupakan satu kesatuan unit dan merupakan satu sistem yang
melakukan fungsi biologisnya guna terpenuhi kebutuhan self care-nya.
Setiap manusia dalam kondisi normal/sehat dapat melakukan pemenuhan kebutuhan
sehari-harinya, tetapi pada kondisi sakit manusia mengalami gangguan dalam

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

19

kebutuhan sehari-harinnya atau ketidakmampuan melakukan kebutuhan sehariharinya, Orem memperjelas bahwa kebutuhan adanya kebutuhan psikologis dan
biologis, seperti kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, aktifitas

dan lainnya.

Didalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya manusia/individu akan melakukan


aktivitas kehidupan sehari-hari, karena kebutuhan-kebutuhan yang disampaikan oleh
teori orem menyangkut kebutuhan dasar dan kebutuhan yang bersifat komplek. Pada
konseptual model Orem penekanannya lebih pada kemampuan atau kemamdirian
individu dalam memenuhi kebutuhan perawatan sehari-harinya sedangkan dalam
konsep ADL adalah bentuk aktivitas yang dilakukan manusia/individu dalam
memenuhi kebutuhan sehari-harinya, dan kedua kondisi ini saling berkaitan dan
dapat diukur dan dinilai apakah seseorang mampu melakukan aktifitasnya dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada dimensi kebutuhan psikis/ mental individu dapat dilihat pada proses
kemampuan manusia untuk berkembang dan belajar. Pemenuhan kebutuhan mental
individu dilihat apakah manusia/individu sudah mempunyai kemampuan untuk
berkembang dan belajar disini ditekankan kearah maturasitas atau kematangan
individu dalam melakukan ADL.baik dari usia bayi sampai usia lanjut.
Sementara domain lingkungan menurut Orem berkaitan dengan bagaimana suatu
lingkungan mempengaruhi individu dalam memenuhi kebutuhan self care-nya,
dikatakan lingkungan pendukung (positif) dan lingkungan menghambat (negatif).
Ini mengambarkan bahwa penekanan pada lingkungan yang bersifat eksternal dan
internal tubuh, baik yang sifatnya fisik, kimia, biologi dan sosial dan lingkungan
internal merupakan bentuk gangguan yang berada dalam tubuh, seperti kondisi sakit
akibat stoke, kelemahan dan sebagainya. Sebagai contoh untuk memenuhi
kebutuhan oksigen orang akan bernafas cepat, belum tentu orang tersebut sakit, ada
proses kompensasi tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigennya.
Kemampuan dalam melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari dipengaruhi oleh
lingkungan-lingkungan tersebut baik internal maupun exsternal, kondisi inilah yang
perlu dinilai atau dikaji sehingga lingkungan positif maupun negatif dapat diketahui
sehingga dalam memberikan bantuan kebutuhan hidup sehari-hari dapat terarah dan

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

20

terencana dengan memanfaatkan kondisi lingkungan positif sehingga pasien dapat


beraktivitas dengan aman dan nyaman.
Orem menjabarkan konsep sehat dan kesehatan berkaitan dengan fungsi tubuh yang
terintegritasi dalam memenuhi kebutuhan self care-nya, bila seseorang mampu
memenuhi kebutuhan self care dikatakan sehat dan dapat ditingkatkan menjadi
sejahtera, tetapi bila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhannya dikatakan
mengalami sakit baik fisik maupun mental. Sehat menurutnya hasil dari individu
menghadapi dan mengatasi stimulus, tuntutan kebutuhan dan dorongan serta
keinginan. Bila seseorang tidak dalam kondisi sehat maka kebutuhan self care-nya
akan terganggu demikian juga bentuk Aktivitas pemenuhan sehari-hari, hal Ini
menunjukan bentuk integritas dari motivasi individu untuk melakukan ADL dalam
memenuhi kebutuhan self care. Dan dengan adanya motivasi ini individu dapat
mampu mencari dan memanfaatkan segala sumber daya dan kekuatannya dalam
memenuhi kebutuhan self care-nya dengan ADL yang mampu dilakukannya.
Kondisi sehat dapat dikatakan sebagai bentuk keseimbangan antara kebutuhan self
care dan kemampuan melakukan ADL, bila kebutuhan self care meningkat maka
aktivitas atau ADL juga akan meningkat, bila kebutuhan self care menurun maka
kemampuan dalam melakukan ADL juga akan menurun dan pada kondisi inilah
pasien/individu memerlukan bantuan.
Penekanan konseptual model Orem tentang keperawatan adalah keperawatan
merupakan bentuk pelayanan bantuan sukarela yang spesifik dari sekelompok orang
yang telah memperoleh pendidikan keperawatan. Aktifitas perawat merupakan
produk dan hasil dari pemenuhan kebutuhan self care pasien. Sedangkan sasaran
pelayanan keperawatan terdiri dari individu yang mengalami sakit, kelemahan, usia
lanjut dan kecacatan yang mana kondisi tersebut menunjukan kondisi penyimpangan
kebutuhan self care..
Pada kondisi self care deficit individu/pasien akan terganggu pula pemenuhan
ADLnya,

maka tugas perawat

adalah

memberi bantuan terhadap

ADL

pasien/individu sesuai tingkat ketidakmampuannya baik bantuan secara totally,


partialy dan Suportif/edukatif.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

21

Dengan demikian aplikasi dalam asuhan keperawatan dapat dilaksanakan pada


setiap langkah proses keperawatan yang dimulai dari tahap pengkajian, perumusan
diagnosa, perencanaan dan evaluasi, menggunakan self care deficit dan bentuk
ketidakmampuan melakukan ADL, sebagai berikut:
1. Tahap Pengkajian
Berfokus pada bentuk self care deficit dan ketidakmampuan melakukan ADLnya.
Penyimpangan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti pemenuhan akan
oksigen, eliminasi, makan dan minum dan lain-lain harus dikaji secara mendetail.
Penting pula dilakukan pengkajian pada bentuk ketidakmampuan dalam melakukan
aktifitasnya memenuhi kebutuhan dasar dan intrumentnya (komplek), karena dengan
pengkajian yang detail inilah akan didapat bentuk ketidakmampuan akan kebutuhan
sehari-hari pasien/individu, termasuk juga penting dikaji beberapa faktor-faktor
yang mempengaruhi bentuk ketidakmmapuan melakukan aktifitas, seperti sosial,
lingkungan, fungsi kognitif, kondisi fisik dan mental.
Karakteristik perawatan diri secara normal, berkaitan dengan kemampuan dan
kondisi normal dalam melakukan fungsi perkembangan dan bagaimana berpakaian,
makan, dan toileting tersebut bahwa ketidakmampuan pasien/individu dalam
melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan perawatan diri sendiri
dipengaruhi dari dalam diri pasien/individu tersebut seperti, umur, jenis kelamin,
kondisi mental/psichological termasuk prilaku, budaya, emosi, kebiasaan dan status
perkawinannya, sedangkan dari luar diri pasien/indivu, diantarannya: kekuatan fisik,
ability, bentuk penyimpangan kesehatan yang spesific, lamanya masalah yang
terjadi.
Semua kondisi-kondisi tersebut harus dikaji dengan teliti dan komprehensif agar
dalam melakukan intervensi keperawatan dapat direncanakan dengan baik. Tehniktehnik dalam mendapatkan pengkajian dapat dilakukan dengan wawancara,
observasi langsung pasien dan pemeriksaan fisik serta fungsi kognitifnya.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

22

Pada banyak difinisi dinyatakan ketidakmampuan dalam melakukan perawatan


diri/self care berhubungan erat dengan kemampuan dalam melakukan ADL dan
dalam

pengkajian

sudah

terdapat

beberapa

cara

dalam

menilai

atau

mengidentifiakasi baik bentuk self care dan bentuk ADL, hal terpenting dalam
melakukan penilaian apabila berkaitan dengan self care maka terdapat tingkatan dari
tingkat 0 tingkat 4, dimana tingkat 4 (level 4) didiskripsikan bahwa pasien dapat
melakukan semua aktivitas self care secara mandiri. Sedangkan tingkat 0 (level 0)
pasien tidak dapat melakukan self care secara mandiri (dibantu penuh) (Craven &
Hirnle, 2002). Apabila mengkaji/penilaian tentang ADL, yaitu semua aktivitas
pemenuhan sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, toileting dan eliminasi dapat
dilhat dari tingkat independensi dan dependent pasien, sebagai contoh dalam
memenuhi kebutuhan toileting, pasien mengalami kelumpuhan maka perawat
membantu dalam menyiapkan dan memberi penjelasan tentang pemakaian bedpan.
2. Tahap Perumusan diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah defisit self care, perubahan
dalam melakukan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti self care deficit:
kebersihan diri, berpakaian, eliminasi dan lain-lain. Sedangkan ketidakmampuan
melakukan aktifitas hidup sehari-hari baik yang bersifat total care, partial care
maupun berbentuk suportif care. Bahwa ini menjelaskan inti dari bentuk diagnosa
keperawatan yang dapat muncul adalah tingkat ketergantungan pasien/individu
dalam memenuhi kebutuhan dan perawatan dirinya berbeda-beda.
3. Tahap Perencanaan
Perencanaan keperawatan meliputi tindakan menetapkan tujuan perawatan yang
sesuai dengan tingkat

ketidakmampuan pasien/individu

dalam

melakukan

pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Rencana keperawatan diformulasikan oleh


perawat dan pasien/individu bersama-sama dan harus diimplementasikan untuk
mendukung pasien menuju kemandiriannya
4. Tahap Implementasi
Implementasi keperawatan dilakukan dengan memberikan asuhan keperawatan
berdasarkan tingkat ketidakmampuan pasien dalam melakukan aktivitasnya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik ketidakmampuan yang bersifat menyeluruh

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

23

(totally), Sebagian (partially) dan bentuk suportif/edukasi. Bentuk implementasi


disesuaikan dengan kondisi-kondisi tersebut agar kerja perawat dapat dilakukan
seoptimal mungkin.
Dalam

melakukan

implementasi

keperawatan,

perawat

harus

melibatkan

pasien/individu untuk berpartisipasi didalamnya agar proses memandirikan


individu/pasien dapat tercapai sesuai tujuan yang diharapkan. Bila bentuk
implementasi tidak sesuai dengan masalah keperawatan yang ada akan menghambat
proses

kemandirian

dan

kontinuitas

asuhan

keperawatan

yang

diterima

pasien/individu karena rasa ketergatungan yang terlalu tinggi pasien/individu


terhadap perawat menjadikan motivasi untuk proses kemandiriannya tidak terjadi.
Dengan kemampuan pasien mendeteksi ketidakmampuan dalam beraktivitas untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari maka bentuk bantuan/implementasi dapat sesuai
tujuan yang diharapkan sesuai tingkatan ketergantungannya. Bentuk implementasi
yang dapat dilakukan yaitu melakukan tindakan langsung terhadap ketidakmampuan
dalam memenuhi perawatan diri, memberikan pendidikan kesehatan, membimbing
dan memotivasi pasien dan keluarga dan yang penting adalah memfasilitasi
lingkungan yang dapat menunjang pemenuhan self care dan aktivitasnya.
5. Tahap Evaluasi
Evaluasi

terhadap

terpenuhinya

bantuan

dan

kebutuhan

pasien/individu,

diantaranya: mempertahankan kondisi sehat, sehat dari sakit atau kebutuhan self
care terpenuhi, dan kemampuan pasien/individu meningkat dalam melakukan ADL
sesuai harapan sehingga terhindar dari kecacatan dan kematian. Orem tidak
menuliskan secara spesifik mengenai evaluasi dalam bukunya, akan tetapi ia
mengemukakan bahwa pasien membutuhkan kemandirian dalam hal mengatasi
masalah kesehatannya. Oleh karena itu evaluasi difokuskan pada: Kemampuan
pasien mempertahankan kebutuhan self-care, Kemampuan pasien untuk mengatasi
defisit perawatan diri dan sampai sejauh mana perkembangan kemandirian pasien,
Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri anggota
keluarganya yang tidak mampu.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

24

Orem mengemukakan tiga teori yang saling berhubungan dan menjadi penting
dalam penggunaa proses keperawatan. Pusat dari ketiga teori tersebut adalah fungsi
manusia dalam mempertahankan kehidupan, kesehatan dan self care. Tiga teori
tersebut adalah teori Self Care, Self Care Deficit dan teori Nursing System, yang
mencakup enam konsep sentral yaitu, self care, self care agency, therapeutic self
care demand, self care deficit, nursing agency, nursing system dan conditioning
factor. Berikut penjelasannya (Tomey & Alligood, 2007).
2.4.1 The Self Care Theory
Self care adalah penampilan dari aktifitas individu dalam melakukan sendiri
dalam mempertahankan hidup, sehat dan kesejahteraannya. Self Care yang
dilakukan secara efektif dan menyeluruh dapat membantu menjaga integritas
struktur dan fungsi tubuh serta berkontribusi dalam perkembangan individu.
Memahami teori self care merupakan dasar yang penting untuk memahami
konsep self care, self care agency, basic conditioning factor, therapeutic self
care demand (George, 1995). Self care adalah fungsi pengaturan manusia
dimana individu harus melakukan atau dilakukan pada individu tersebut
(dependent care) untuk memberikan materi/kondisi untuk mempertahankan
kehidupan, memelihara fungsi fisik, psikis dan tumbuh kembang yang normal
dengan kondisi yang esensial bagi kehidupan, dan integritas fungsional dan
pengembangan (Orem, 2001).

Self care agency adalah dimana seseorang mampu melakukan self care.
Kemampuan individu untuk merawat diri sendiri dipengaruhi oleh conditioning
factor, meliputi usia, gender, tahap perkembangan, tingkat kesehatan, orientasi
sosiokultural, system pelayanan kesehatan, system dalam keluarga, gaya hidup
dan lingkungan serta kecukupan tersedianya sumber daya. Therapeutic self care
demand yang merupakan totalitas dari tindakan self care perlu dilakukan untuk
menemukan atau mengetahui kebutuhan self care yang spesifik bagi individu.
Keberhasilan dari therapeutic self care menunjukkan bahwa hasil dari tindakan
yang dipilih sudah terepeutik. Therapeutic self care demand menjadi tujuan
akhir dari self care yaitu mencapai dan mempertahankan kesehatan dan
kesejahteraan hidup. Perawat harus dinamis dan menggunakan pengembangan

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

25

intelektual dan persepsi untuk menentukan therapeutic self care demand


seseorang. Therapeutic self care demand bersifat spesifik untuk tiap-tiap
individu tergantung waktu, tempat dan situasi (George, 1995).

Konsep yang menyatu dalam teori self care adalah self care requisites. Orem
membagi self care requisites dalam 3 kategori, meliputi : universal self care
requisites, development self care requisites, dan health deviation self care
requisites.
1. Universal self care requisites terdiri dari : 1) mempertahankan asupan udara,
air dan makanan yang cukup, 2) Proses eliminasi dan pengeluaran sisa
metabolism, 3) Mempertahankan keseimbangan solitude dan interaksi social,
5) pencegahan jenis resiko yang terjadi, mengambil tindakan untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan, 6) Meningkatkan fungsi
individu dan mengembangkan diri dalm kelompok social sesuai situasi yang
normal, meliputi : pengembangan dan mempertahankan konsep diri yang
realistis, mengambil tindakan untuk menetapkan perkembangan manusia
yang

spesifik,

mengambil

tindakan

untuk

mempertahankan

dan

meningkatkan integritas struktur dan fungsi manusia.


2. Development self care requisites
Development self care requisites adalah bagaimana mempelajari proses
kehidupan, pendewasaan, dan pencegahan terhadap kondisi yang merusak
kedewasaan atau dapat mengurangi efek2 tersebut. Development self care
requisites merupakan self care sesuai tahap perkembangan manusia mulai
dari fetal termasuk kelahiran, neonatal, infant, anak-anak dan remaja, serta
dewasa. Kemampuan perawatan diri mandiri atau tergantung sesuai
tahapannya sangat mempengaruhi proses perkembangan yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan kesejahteraan.
3. Health deviation self care requisites
Health deviation self care requisites adalah bagaimana memenuhi kebutuhan
manusia pada kondisi sakit, terluka, gangguan struktur dan fungsi manusia
atau efek dari pengobatan dan tindakan. Penyakit atau luka tidak hanya
berpengaruh pada mekanisme struktur spesifik secara psikologis, tetapi juga

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

26

menyatu dengan fungsi kemanusiaan. Hal-hal yang harus diperhatikan


adalah: 1) Tindakan medis yang sesuai dengan pemaparan agen biologi atau
yang spesifik atau kondisi lingkungan yang berkaitan dengan patologi
manusia atau ketika hal itu mempengaruhi fisiologi dan psikologi. 2)
Dampak hasil dan akibat kondisi dan status keadaan termasuk dampaknya
pada perkembangan. 3) Tindakan diagnostic dan rehabilitasi yang secara
efektif mencegah patologi, untuk mengatasi keadaan patologi itu sendiri,
untuk mengatur agar terintegrasi dengan fungsi, untuk memperbaiki kelainan
atau abnormalitas atau untuk kompensasi ketidakmampuan. 4) Modifikasi
konsep diri dan self image dalam penerimaan seseorang terhadap status
kesehatannya.
2.4.2 Self Care Deficit Theory
Teori ini menjelaskan kapan keperawatan dibutuhkan, yaitu ketika berkurangnya
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan self care atau ketergantungan
kemampuan merawat diri. Membina dan menjaga hubungan perawat-pasien baik
individu, keluarga atau kelompok sampai pasien pulang. Orem mengidentifikasi
lima metode untuk memberikan asuhan keperawatan, antara lain :
1. Memberikan pelayanan langsung dalam bentuk tindakan keperawatan
2. Memberikan arahan dan memfasilitasi kemampuan pasien dalam memenuh
kebutuhannya secara mandiri.
3. Memberikan dorongan secara fisik dan psikologik agar pasien dapat
mengembangkan potensinya untuk melakukan perawatan mandiri.
4. Memberikan

dan

mempertahankan

lingkungan

yang

mendukung

perkembangan pribadi pasien untuk meningkatkan kemandirian dalam


perawatannya.
5. Mengajarkan kepada pasien tentang prosedur dan aspek-aspek tindakan agar
pasien dapat melakukan perawatan secara mandiri.

Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat pada saat memberikan


pelayanan keperawatan dapat digambarkan sebagai domain keperawatan.
Orem (1991) mengidentifikasi lima area aktifitas keperawatan, yaitu:

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

27

1. Membina dan menjaga hubungan perawat-klien (individu, keluarga dan


kelompok) sampai klien pulang.
2. Menentukan jika dan bagaimana pasien dapat dibantu melalui
keperawatan.
3. Berespon atas pertanyaan, keinginan dan kebutuhan klien untuk kontak
dengan perawat.
4. Menjelaskan dan memberikan bantuan secara langsung dalam bentuk
keperawatan.
5. Mengkkordinasikan dan mengintegrasi keperawatan dalam kehidupan
sehari-hari klien, atau perawatan kesehatan lain jika dibutuhkan serta
pelayanan social dan edukasional yang dibutuhkan atau yang akan
diterima.

2.4.3 Nursing System Theory


Nursing agency yaitu upaya umum yang dapat memenuhi kebutuhan individu,
dapat dilakukan dengan cara mengenal kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya
dan melatih kemampuannya (George, 1995). Keperawatan dibutuhkan karena
ketidakmampuan individu memenuhi self care-nya (Tomey & Alligood, 2006).
Dalam Nursing System Theory, system pelayanan memfasilitasi kebutuhan
kemandirian sesuai dengan tiga tingkatan kemampuan, yaitu the wholly
compensatory nursing system (pemberian asuhan keperawatan pada klien
dengan tingkat ketergantungan berat). The partially compensatory nursing
system (pemberian asuhan keperawatan dengan tingkat ketergantungan sedang),
dan the supportive educative nursing system (pemberian asuhan keperawatan
pada pasien dengan pemulihan/ketergantungan ringan. Memberikan suportif
edukatif untuk memotivasi pasien dalam melakukan kemandirian (Orem, 2001;
Tomey & Alligood, 2006).

2.5 Penerapan Teori Self Care Orem pada Kasus fraktur


Aplikasi dari teori Self Care Orem (2001) disesuaikan dengan penerapannya pada
kondisi pasien, merupakan suatu kemampuan individu untuk memprakarsai dirinya
dalam melakukan perawatan secara mandiri dan untuk mempertahankan kesehatannya.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

28

Penerapan teori self care Orem dalam asuhan keperawatan pasien fraktur ekstremitas
bawah yang menekankan kemandirian, dimulai dari pengkajian, diagnosis keperawatan,
intevensi dan implementasi keperawatan serta evaluasi. Orem mengemukakan bahwa
proses keperawatan adalah istilah yang digunakan perawat untuk menunjukkan
profesionalisme dalam praktek keperawatan mulai dari perencanaan sampai dengan
evaluasi.
Orem (1991) mendiskusikan 3 tahap proses keperawatan sebagai pelaksanaaan praktik
keperawatan, yaitu:
1. Tahap I : Diagnosis dan pengobatan
Dalam tahap ini menentukan bahwa mengapa keperawatan dibutuhkan,
menganalisis

dan

membuat

interpretasi,

membuat

keputusan

tentang

keperawatan, juga menetapkan manajemen pelaksanaan keperawatan. Diagnose


keperawatan perlu mengamati dan mengumpulkan data focus pasien, dalam
melihat hubungan self care agency dan therapeutic self care demand (Orem,
1991). Orem menekankan ini, dalam diagnose keperawatan dan mengatur
pelaksanaan pengobatan, pasien dan keluaga harus mampu bekolaborasi setelah
apa yang dilakukan oleh perawat.
2. Tahap II : Merancang system keperawatan
Yaitu membuat desain efektif dan efisien, system keperawatan dipilih yang valid
cara membantu pasien, desain ini meliputi hubungan perawat-pasien.
3. Tahap III : Menghasilkan manajemen system keperawatan
Yaitu melaksanakan rencana keperawatan dan kemudian melakukan evauasi.

Terdapat sedikit perbedaan pendokumentasian dengan proses keperawatan yang


disepakati American Nurses Association (ANA) tahun 1980 hanya pada
pembagian tahapannya saja, sedangkan konten iisinya tetap sama. Berikut
perbedaannya bisa dilihat pada table 2.2

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

29

1.
2.
3.
4.
5.

Table 2.1 Perbedaan proses Keperawatan menurut Orem dengan


Proses Keperawatan menurut ANA
Proses Keperawatan
Proses Keperawatan Menurut Orem
Pengkajian
Langkah 1 : Diagnosis and prescription,
Diagnosis keperawatan
menentukan mengapa pasien memerlukan
perawatan, analisa dan menentukan perawatan.
Perencanaan dan rasional Langkah 2 : Desain nursing system dan
merencanakan pemberian asuhan keperawatan.
Implementasi
Langkah 3 : manajemen nursing system,
Evaluasi
melaksanakan rencana, menginisiasi dan
mengontrol tindakan keperawatan

Berikut uraian penerapan proses keperawatan berdasarkan Orem :


Tahap 1 : Diagnosis and prescription
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan, diperlukan untuk
mendapatkan informasi dan data, ada atau tidak adanya penyimpangan kesehatan
pasien. Pengkajian dalam kaitan dengan teori Orem, yaitu:
1. Basic Conditioning Factor, meliputi nama, usia, gender, tahap perkembangan
(development state), status kesehatan (health state), system pelayanan kesehatan
(health care system), orientasi social budaya (sociocultural orientation), pola hidup
(pattern of living), lingkungan / kondisi tempat tinggal (environment/condition of
living), ketersediaan sumber (resources).
2. Self care requsites, merupakan kebutuhan self care yang terjadi karena adanya
penurunan atau keterbatasan diri dalam melakukan sef care, meliputi :
a.

Universal self care terdiri dari delapan kebutuhan yaitu : pemeliharaan


pemenuhan kebutuhan terhadap udara, cairan, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan
istirahat, kebutuhan keseimbangan untuk diri sendiri dan interaksi social,
pencegahan bahaya/hambatan dan kesejahteraan dan peningkatan fungsi dan
perkembangan (promotion of normalcy).

b. Development self care requisites


Kebutuhan khusus untuk proses perkembangan dan kematangan seseorang
menuju fungsi yang optimal untuk mencegah terhambatnya penyesuaian diri
terhadap perkembangan tersebut, meliputi : pemeliharaan pengembangan
lingkungan

(maintenance

of

development

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

environment)

dan

Universitas Indonesia

30

pencegahan/manajemen kondisi yang mengancam perkembangan normal


(prevention/management

of

the

condition

threatening

the

normal

development).
c. Health deviation self care requisites
Mengkaji kebutuhan berkaitan dengan adanya penyimpangan status
kesehatan seperti adanya luka, penyakit, dalam penerimaan seseorang
terhadap status kesehatannya serta penataksanaan untuk memperbaiki
kondisi.
1. Adherence to medical regimen yaitu mengkaji ketaatan terhadap tindakan
medis, misanya tindakan keperawatan yang diberikan, pemeriksaan
penunjang, serta pengobatan yang diberikan apakah pasien menerima
atau menolak.
2. Awareness of potential problem assosciated with the regimen, yaitu
mengkaji kesadaran akan masalah potensial berhubungan dengan
pengobatan.
3. Modification of self image to incorporate changes in the health status
and medical regimen, yaitu bagaimana memodifikasi gambaran diri
untuk mengadakan perubahan status kesehatan.
4. Adjusment of lifestyle to accommodate changes in the health status and
medical regimen, yaitu mengkaji penyesuaian tentang gaya hidup untuk
mengakomodasi perubahan dalam status kesehatan dan pengobatan
d. Medical problem and plan
Mengkaji

kondisi

perspektif

dari

dokter,

diagnose

medis

dan

penatalaksanaan medis yang akan dilaksanakan.

Diagnostic Operation
Menurut Orem (2001) diagnosis keperawatan termasuk tahap pertama yaitu
proses analisis data dan pengkajian yang valid untuk membuat keputusan
keperawatan, kebutuhan dan perubahan untuk menjelaskan hubungan satu
atau seluruh komponen self care requisites terhadap self care demand.
Masalah keperawatan muncul pada kondisi adanya perbedaan antara

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

31

kemampuan dalam memenuhi self care dan self care deficit/ketergantungan


kemampuan merawat diri.
Tahap 2 Nursing System Design
Pada tahap ini merencanakan tindakan keperawatan dan menentukan desain nursing
system, sesuai dengan tiga tingkatan yaitu The Wholly compensatory nursing system,
diberikan pada pasien dengan tingkat ketergantungan berat. The partially compensatory
nursing system, diberikan pada pasien dengan ketergantungan sedang, dan the
supportive

educative

nursing

system,

diberikan

pada

pasien

dengan

pemulihan/ketergantungan ringan. Perawat memberikan suportif edukatif untuk


memotivasi pasien dalam melakukan kemandirian (Tomey & Alligood, 2006). Pada
proses keperawatan yang termasuk tahap ini adalah : prescriptive operation
Prescriptive operation adalah menentukan rencana keperawatan dibuat untuk mengatasi
self care deficit. Pada intervensi dicantumkan tujuan yang sasarannya: sesuai dengan
diagnose keperawatan; berdasarkan self care demand; meningkatkan kemampuan self
care.

Perencanaan dibuat

berdasarkan pada

tujuan

serta diupayakan

untuk

meningkatkan kemampuan self care. Perencanaan dibuat berdasarkan pada tujuan serta
diupayakan untuk meningkatkan kemampuan melakukan perawatan diri. Selain itu juga
perlu memperhatikan tingkat ketergantungan pasien meliputi: The wholly compensatory
perawat membuat membuat rencana tindakan sesuai dengan pasien yang memiliki
tingkat ketergantungan penuh. The partially compensatory adalah perawat dan pasien
saling berkolaborasi dalam melakukan tindakan keperawatan dan the supportiveeducative yaitu, memeberikan pendidikan kesehatan atau penjelasan untuk memotivasi
pasien melakukan self care secara mandiri.
Selanjutnya membuat metode yang sesuai untuk memberikan asuhan keperawatan,
yaitu: Mengarahkan (guidance), support (Support), mengajarkan (teaching), bertindak
(acting or doing for) dan memodifikasi lingkungan (providing the developmental
environment).
Tahap 3 : Nursing System Management
Tahap ini merupakan tahap akhir dari proses keperawatan Orem adalah melaksanakan,

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

32

menginisiasi dan mengontrol tindakan keperawatan. Pada proses keperawatan yang


dikenal dengan impementasi (regularly operation) dan evaluasi (control operation)
1. Regularly operation (implementasi)
Orem memandang implementasi merupakan asuhan kolaboratif dan saling
melengkapi antara perawat dan pasien. Perawat memberikan bantuan dengan
berbagai metode yaitu : memberikan arahan dalam memenuhi self care,
memberi dorongan (support)

fisik dan psikologis agar pasien dapat

mengembangkan potensinya untuk self care, mengajarkan dan memfasilitasi


kemampuan pasien terkait dengan perawatan dirinya, bertindak langsung
memberikan pelayanan keperawatan dan memodifikasi lingkungan.

Untuk memberikan pelayanan keperawatan disesuaikan dengan tingkat


ketergantunagn pasien meliputi: the wholly compensatory nursing system, the
partially compensatory nursing system, dan the supportive educative nursing
system yaitu, memberikan pendidikan kesehatan atau penjelasan untuk
memotivasi pasien melakukan self care secara mandiri (Orem, 2001).
2. Control Operation (evaluasi)
Pada tahap evaluasi, Orem tidak merinci secara spesifik aspek mana yang
dievauasi, akan tetapi dilihat kembali keefektifan tindakan untuk meningkatkan
self care, memenuhi kebutuhan self care, menurunkan self care deficit. Pada
kasus fraktur ekstremitas bawah evaluasi difokuskan pada ketiga kemampuan
tersebut untuk mempertahankan kebutuhan self care.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL

3.1 Deskripsi Kasus


Tn. M, usia 52 tahun, riwayat post operasi ORIF 2 tahun yang lalu (Januari 2010),
setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Operasi ORIF dilakukan di RS Tarakan.
Terpasang narrow plate 9-14 hole dan 1/3 tubular plate 6.
Setelah 2 minggu pasca ORIF, klien mengalami infeksi pada luka yang ditandai dengan
keluarnya cairan nanah (pus) dari luka, demam, nyeri dan edema di area yang dilakukan
operasi. Lalu klien di bawa ke RS Fatmawati untuk pemeriksaan. Kemudian klien
direncanakan untuk melakukan operasi ulang yaitu mengganti plate Fixasi Internal
dengan Fiksasi eksternal (OREF).
Karena tidak terjadi kalsifikasi, klien direncanakan bone graft (bone graft pertama
tanggal 30 September 2011), dengan mengambil cangkok tulang dari sternum. Lalu
bone graft kedua dilakukan kembali karena tetap tidak terjadi remodeling pada daerah
tibia- fibula dekstra klien. Bone graft kedua dilakukan pada tanggal 25 Mei 2012.
Pengkajian awal dilakukan pada tanggal 9 Desember 2012 di GPS Lantai 1 RSUP
Fatmawati, pasien tampak tidur terlentang dengan tungkai kanan terpasang Fiksasi
eksternal, Pulsasi distal teraba, teratur, tidak ada sianosis, akral hangat, pergerakan
dapat menggerakkan jari-jari kaki, sensasi dapat dirasakan oleh pasien saat diberikan
stimulasi pada kaki. Saat dikaji pasien tidak mengatakan nyeri, setelah di kaji ulang oleh
Supervisor, klien mengatakan nyeri masih terasa. Hal ini menunjukkan bahwa klien
telah berupaya untuk beradaptasi terhadap nyeri yang dialaminya. Nyeri yang dirasakan
pasien berada pada skala nyeri 4 saat merubah posisi tungkai yang terganggu.
Klien mengatakan selama ini ada perawat yang melakukan home care ke rumah.
Perawatan luka dilakukan setiap hari dengan menggunakan NaCl 0,9%, balutan di
sekitar pin tampak kering, tidak tambak rembes dan keluaran eksudat. Posisi tungkai
yang terganggu di elevasi diganjal bantal, sampai posisi tungkai sejajar, pasien nyaman

Universitas Indonesia
33

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

34

dan pasien merasa stabil. Tampak pemendekan antara ekstremitas kiri dan kanan. Pada
area genu tidak mampu ditekuk maksimal (limited movement)
3.2 Penerapan Teori
3.2.1 Diagnostic operation
3.2.1.1 Basic conditioning factor
1. Age and gender : Tn. M, 52 Tahun
2. Development state : Pasien adalah kepala keluarga dalam tahap perkembangan
dewasa. Klien tampak mampu mengendalikan diri, tidak cepat marah, selama
perawatan klien memiliki respon yang baik terhadap perawat dan keluarga walau
dalam keadaan fraktur dan sakit, tetapi klien tidak mudah marah, menerima
keadaannya sekarang, menerima tindakan keperawatan yang diberikan dengan
ikhlas. Pasien dapat melakukan tindakan perawatan secara mandiri, pasien
memerlukan bantuan dalam memenuhi kebutuhan ADL-nya.
3. Health state: Pasien masuk ruang perawatan GPS Lantai 1 RSUP Fatmawati
pada tanggal 18 Desember 2012 pukul 16.00 WIB karena klien akan
direncanakn operasi pada tanggal 20 Desember 2012. Operasi kali ini adalah
untuk remove FE dan repair tendon Achilles., Berdasarkan hasil pemeriksaan
radiologi pada tungkai kanan dan pemeriksaan fisik, maka diagnose medis yang
ditegakkan adalah union fraktur tibia, kotraktur tendon Achilles, dan
osteomyelitis kronis tibia fibula (pro remove FE). Pasien menyatakan meskipun
ini adalah bukan operasi pertama klien, klien tetap merasa cemas menhadapi
operasinya besok.
4. Health care system : Pasien dan keluarga mendapat fasilitas kesehatan gratis
dengan menggunakan Jamkesmas.
5. Sociocultural spiritual orientation : Pasien adalah seorang suku Betawi aseli,
status telah menikah dan memiliki 4 orang anak (semuanya perempuan).
Aktifitas ibadah klien kurang dapat dilakukan dengan posisi berdiri, klien
melakukannya dalam posisi terlentang. Persepsi klien tentang penyakitnya
adalah suatu ujian yang harus diterima.
6. Pattern of living : Sebagai kepala keluarga, pasien bekerja sebagai tukang ojek.
Pasien berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, walau dengan cara

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

35

yag sederhana. Setelah sakit ini, klien tidak lagi bekerja, saat ini istri klien
membuka usaha warung di rumah, dan klien membantu istrinya dengan menjaga
warung di rumah mereka. Pasien dan keluarga jarang melakukan aktifitas
olahraga yang rutin karena keseharian anggota keluarga telah disibukkan dengan
aktifitas bekerja dan mengurus rumah tangga. Pasien tidak mempunyai
pekerjaan lain sebagai sampingan.
7. Condition of living / Environment : Pasien tinggal di lingkungan Betawi, di
daerah padat penduduk di daerah Lenteng Agung Jakarta Selatan, bersama istri
dan 4 anaknya. Setiap harinya saat sehat pasien berangkat dengan menggunakan
sepeda motor. Lantai rumah dari keramik, tidak terdapat tangga di rumah, WC
jongkok. Tempat tinggal pasien dekat dengan fasilitas pemberi layanan
kesehatan 24 jam.
8. Resources : Istri dan anak-anak pasien merupakan support system yang baik
untuk perkembangan kesehatan pasien. Istri pasien selalu menunggu pasien di
RS. Orang tu pasien masih ada tetapi letak rumahnya agak berjauhan. Saudara
kandung pasien sering datang untuk membesuk. Pasien memperoleh fasilitas
jaminan Gakin dan ada bantuan dana dari kantor tempat pasien bekerja.

3.2.1.2 Universal self care


1.

Pemeliharaan kebutuhan udara : jalan nafas spontan, tidak tampak pucat, tidak
tampak adanya cyanosis, bunyi nafas vesikuler, pasien tidak menggunakan alat
bantu pernafasan. RR 20x/menit.

2.

Kebutuhan cairan : Mukosa lembab, turgor kulit elastic, edema pada pedis dekstra,
asupan cairan melalui oral kurang lebih 1500 ml/hari, klien tidak terpasang infuse.
Untuk memenuhi kebutuhan cairan, pasien dapat minum per oral dengan dibantu
untuk mendekatkan dan menyediakan gelas dalam jangkauan pasien.

3.

Kebutuhan nutrisi : konjungtiva tidak tampak anemis, tidak ada keluhan mual atau
muntah. Pasien menghabiskan porsi makan yang disediakan dari ruangan. Pasien
mendapat diit biasa. Tinggi badan pasien 165 cm, dengan BB 67 kg, LLA 24 cm,
hasil pemeriksaan Hb pre operasi tanggal 28 November 2012 adalah 16,0 gr/dl.
LED 17, leukosi 6700, trombosit 255 ribu. Hasil pemeriksaan fungsi hati SGOT
19 dan SGPT 27. Pemeriksaan GDS 86. Pemeriksaan fungsi ginjal ureum 21 dan

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

36

kreatinin 0,9. Natrium 138, kalium 3,64, clorida 101. Sementara nilai protein
darah tidak dilakukan pemeriksaan. Pasien dapat makan sendiri, tetapi pasien tetap
memerlukan bantuan terutama untuk mendekatkan makanan dalam jangakaun
pasien.
4.

Kebutuhan eliminasi : Pasien dapat BAB spontan, sekali sehari, konsistensi lunak.
BAB mandiri ke kamar mandi. BAK mandiri tanpa keluhan. Warna urin kuning
jernih, jumlah urine per 24 jam adalah 2400 cc.

5.

Kebutuhan aktifitas dan istirahat : Sejak masuk RS, pasien tidak hanya terbaring
dan duduk ditempat tidur, pasien dapat menggerakkan tungkai kanan yang
terpasang FE. Aktifitas perawatan diri dilakukan dengan bantuan sebagian. Pasien
belum dapat melakukan fleksi lutut, maksimal, saat dicoba terdapat keterbatasan
pada rentang gerak sendi klien. Kebutuhan istirahat dirasakan cukup oleh klien.

6.

Kebutuhan keseimbangan untuk sendiri dan interaksi social : Pasien saat masuk
pertama kali di Ruangan sudah tampak akrab dengan petugas ruangan, tidak
tampak canggung atau asing dengan keadaan ruangan. Pasien sudah langsung
dapat berinteraksi dengan pasien lain dan sangat luwes berkomunikasi dengan
perawat. Selama di rumah, interaksi pasien dengan anggota keluarga cukup dekat.

7.

Pencegahan bahaya : adanya deformitas pada area cruris dekstra klien, merupakan
risiko terjadinya injury, hal ini perlu dicegah. Dengan adanya osteomyyelitis yang
sudah terjadi pada tulang tibia dan fibula klien, hal ini beresiko terjadinya fraktur
patologis.

8.

Promotion of normalcy : Keterbatasan fungsi fisik ini, membuat pasien kehilangan


fungsinya sebagai pencari nafkah. Pasien ingin cepat sembuh dan bias kembali
mencari nafkah untk keluarganya. Pasien berusaha mematuhi intruksi perawatan
sehingga pasien bisa pulih seperti semula dan kembali bekerja mencari nafkah
keluarga.

3.2.1.3 Development self care requisites


Pasien

dalam

tahap

perkembangan

dewasa

tengah,

pasien

mampu

mengendalikan emosinya, misalnya ketika sakit pasien hanya meringis, dan


menarik nafas dalam, pasien juga takut melakukan banyak pergerakan terutama
untuk tungkai kanan yang sakit, pasien lebih berhati-hati.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

37

Kebutuhan pasien masih memerlukan bantuan, aktifitas sebagian besar masih


dilakukan di tempat tidur.
Selama pasien dirawat tidak memiliki masalah perilaku dan perasaan pasien,
pasien tidak mengalami kemunduran kognitif, afektif, maupun psikososial,
pasien tampak senang ketika didampingi istri dan anak-anaknya, maupun sanak
family membesuk.

3.2.1.4 Health deviation self care requisites


Pemasangan FE dan dengan adanya kontraktur pada kaki kanan membuat klien
mengalami keterbatasan gerak. Keterbatasan ini bisa menyebabkan komplikasi.
Masalah yang mungkin muncul akibat imobilisasi yang dikemukan oleh Lewis
(2007), yaitu DVT, kelemahan otot, luka tekan, konstipasi, retensi urin,
pneumoni. Komplikasi yang terjadi pada klien adalah adanya atrifi pada tendon
acchiles.
Look : terpasang FE pada cruris dekstra, eksudat dari pin (-), edema (-)
Feel : krepitasi (-), nyeri tekan (+), NVD +/+
Move : Limited pada genu (< 135 derajat)
Shorthening (+), kontraktur (+), limited (+) ektremitas dekstra
Kanan = femur 49cm, cruris 40cm, pedis 20cm
Kiri = femur 50cm, cruris 42 cm, pedis 22cm
Kekuatan otot = bernilai 5 untuk seluruh ektremitas superior dekstra dan sinistra,
untuk ekstremitas inferior sinistra semua benilai 5, sementara pada ekstremitas
inferior dekstra kekuatan otot hanya 4 (tidak maksimal dalam melawan tahanan
pemeriksa).

Pemberian terapi untuk pasien Tn. M belum ada. Rencana medis selanjutnya
akan dilakukan pasca operasi

3.2.2 Prescriptive operation


Diagnosa keperawatan yang di dapatkan setelah melalui analisis dan pengumpulan data,
yaitu :

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

38

1.

Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan disfungsi ektremitas bawah,


imobilisasi

2.

Nyeri berhubungan dengan gerakan fragmen ulang insisi operasi

3.

Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahan


primer

4.

Cemas berhubungan dengan mengahdapi prosedur operasi

3.2.3 Analisis Penerapan Teori Model Orems Self Care


Penerapan teori Orems self care pada kasus ekstremitas bawah telah diterapkan sebagai
suatu pendekatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada Tn. M dengan union
fraktur tibia, kotraktur tendon Achilles, dan osteomyelitis kronis tibia fibula (pro
remove FE).Pengkajian perawatan dengan menggunakan pola pengkajian dari Orem
yang terdiri dari Basic conditioning factor merupakan pengumpulan data dasar secara
umum yaitu nama, umur, gender, status perkembangan, status kesehatan sampai dengan
sistem pelayanan kesehatan yang sering digunakan pasien. Dari factor usia dapat
dikaitkan dengan kejadian fraktur di dominasi oleh usia produktif, begitu juga pada
kasus Tn. M (52 tahun) yang masih berada pada rentang usia produktif.
Penerapan pengkajian data therapeutic self care demand yang terdiri dari universal self
care, development self care requisites, dan health deviation self care requisites. Pada
universal self care yang menggali kebutuhan fisiologis dan psikologis, dimana
kebutuhan fisiologis pada teori ini dikji untuk mengetahui keadekuatan organ dan fungsi
dari pemeliharaan kebutuhan oksigen, cairan, nutrisi, eliminasi, keseimbangan aktivitas
dan istirahat. Pada pasien ini, adekuat berarti tidak bermasalah, hanya dalam
penyediaannya pasien memerlukan bantuan. Untuk mengembangkan diri dalam
kelompok social dan mengenal keterbatasan pribadi dan bagaimana harapan untuk
kembali normal. Pasien berharap akan pulih dan kembali normal seperti sebelum sakit.
Kelebihan pengkajian Orem ini adalah memungkinkan perawat untuk lebih
komprehensif dalam menggali data dari pasien mengingat Orem sangat memperhatikan
pasien secara holistic, disini terlihat peran perawat bahwa perlu mengumpulkan data
yang lengkap sampai dengan tingkat kemampuan pasien dalam sistem keperawatan dan
metode apa yang diperlukan oleh pasien.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

39

Kelemahan teori ini adalah ada beberapa langkah dalam proses keperawatan yang dalam
pelaksanaan pendokumentasiannya masih overlapping data yang satu dengan yang
lainnya. Seperti pada pengkajian self care requisites yang merupakan kebutuhan self
care menurut perawat, maka data ini muncul lagi pada health deviation self care
requisites karena di dalam data ini yang terganggu adalah merupakan salah satu
kebutuhan yang sudah dikaji pada universal self care requisites.
Tabel 3.1 Nursing Care Plan pada pasien kelolaan
Nursing Diagnosis
Outcame
Plan
1. Cemas b.d akan a. Outcome : klien mampu
Guidance :
dilakukan
mengendalikan rasa
- Monitor tanda vital,
prosedur operasi
cemasnya
hasil laboratorium,
seperti adanya
b. Nursing Goal and
peningkatan tandaobjectives :
tanda vital
Goal : klien memahami
- Monitor kesiapan
prosedur yang akan
klien untuk
dijalankan adalah
menghadapi operasi.
merupakan bagian dari
proses penyembuhan
Directing :
Objectives : pasien tidak
menunjukkan tanda-tanda - Menjelaskan
kecemasan
prosedur kepada
klien.
c. Design of the nursing
system : partially
Support
compensatory
d. Methode of helping :
- Jelaskan pada pasien
guidance, support,
untuk melaporkan
directing, teaching,
apabila ada hal yang
providing the
tidak dipahami
developmental
pasien mengenai
environment
prosedur
Teaching :
Menjelaskan pada pasien
persiapan apa saja yang
kan dilakukan menjelang
operasi (puasa,
SIO,darah).
Providing the
developmental
environment :
- Mempersiapkan
prosedur persiapan
operasi

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

40

2. Nyeri b.d insisi


operasi,
pemasangan FE,
pergerakan
fragmen tulang

Menjelaskan prosedur
pada klien dan
keluarga
- Meminta klien dan
keluarga untuk berdoa
bersama
a. Outcome : nyeri
Guidance:
terkontrol, nyeri
- Kaji pengalaman masa
berkurang
lalu dari nyeri dan
metode-metode yang
b. Nursing goals : nyeri
digunakan untuk
hilang/berkurang
mengurangi nyeri
Objectives : pasien dapat :
- Pasien minta untuk
- Menggambarkan
melaporkan intensitas,
penyembuhan/pengurang
local, tingkatan nyeri,
an nyeri tanpa obat atau
factor-faktor yang
dengan obat
memperberat kejadian
- Mendemonstrasikan
nyeri, catat dan
pengurangan nyeri
dokumentasikan
(relaks, istirahat cukup)
- Menyatakan secara lisan - Observasi respon
suatu pengurangan skala
verbal, ukur vital sign
nyeri
Support
- Immobilisasi
c. Design of the nursing
ekstremitas yang
system : Partially
compensatory
mengalami fraktur,
hindari manipulasi
d. Methode of helping :
yang berlebihan
Guidance, support,
teaching, providing the
- Berikan latihan
developmental
rentang gerak sendi
untuk ekstremitas
environment
yang tidak
mengalami
gangguan (mis. :
ankle pump,
isometric)
- Berikan latihan
relaksasi dan
distraksi dan
dukungan psikologis
pada pasien
Teaching
- Ajarkan metode
nonfarmakologi
untuk mengurangi
nyeri (mis.
Relaksasi, guided

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

41

imagery, distraksi)

3. Resiko infeksi
e. Outcome : integritas kulit
b.d tidak
normal, infeksi tidak
adekuatnya
terjadi
pertahanan
f. Nursing Goal and
primer,
objectives :
osteomyelitis,
Goal : integritas kulit
trauma jaringan,
terjaga dan terhindar dari
pemasangan alat
infeksi, personal hygiene
invasive
adekuat
Objectives : pasien akan
menunjukkan integritas
kult baik, tanda infeksi
tidak terjadi, edema tidak
terjadi, hasil leukosit
normal.
g. Design of the nursing
system : partially
compensatory
h. Methode of helping :
guidance, support,
directing, teaching,
providing the
developmental
environment

Providing the
developmental
environment:
- Diskusikan dengan
pasien, catat semua
informasi mengenai
peristiwa dari nyeri
- Ciptakan lingkunagn
yang nyaman, batasi
pengunjung
- Pemberian obat
analgetik sesuai
program.
Guidance :
- Monitor tanda vital,
hasil laboratorium,
seperti adanya
peningkatan leukosit
atau tanda infeksi
lainnya.
- Monitor luka secara
teratur terhadap
perubahan warna,
jaga kebersihan
kulit.
Directing :
- Lakukan perawatan
Luka setiap hari atau
jika ada rembesan
pada kulit.
- Mengganti alat
invasive sesuai
dengan jadwal yang
ditentukan (mis.
Infuse 3x24 jam,
kateter 7x24 jam).
Support
- Jelaskan pada pasien
untuk melaporkan
gejala-gejala seperti
keluaran, rasa panas
- Jelaskan pada pasien
untuk tidak
memegang balutan

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

42

Teaching :
Mengajarkan pasien
menggenali tanda-tanda
infeksi.

4. Gangguan
Mobilitas Fisik
b.d pembatasan
pergerakan,
immobilisasi,
kontraktur

Providing the
developmental
environment :
- Jaga kebersihan
tempat tidur pasien
- Hindari tekanan pada
area edema, ganjal
dengan menggunakan
bantal atau lapisan
tambahan
- Berikan antibiotic
sesuai prosedur
- Berikan inake nutrisi
TKTP
Guidance : mengukur
anda vital sebelum
melakukan latihan,
memonitor selama
latihan.
Support:
- Kaji motivasi untuk
memulai atau
melanjutkan program
latihan, eksplore
hambatan, melakukan
mobilisasi, motivasi
untuk
mengungkapkan
secara verbal.
- Bantu pasien untuk
membuat jadwal
latihan dan istirahat
secara periodic

a. Outcome : perubahan
posisi mandiri, mobilisasi
maksimal sesuai
kemampuan, pergerakan
sendi baik dan fungsi
sensori baik.
b. Goal : mencapai tingkat
mobilisasi optimal
c. Objectives :
- Penampilan posisi tubuh
seimbang
- ADL minimal assistance
- Kekuatan utuh mencapai
nilai maksimum
- Tanda vital dalam batas
normal
d. Design of the nursing
system : partially
compensatory
e. Methode of helping :
Teaching :
guidance, support,
- Ajarkan pasien untuk
teaching, providing the
melakukan latihan
developmental
rentang gerak sendi
environment
- Ajarkan pasien
untuk mobilisasi
pasca operasi

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

43

Ajarkan pasien
menggunakan alat
bantu berjalan
Promoting and
developmental
environment:
- Ajarkan keluarga
cara praktis untuk
menolong pasien
3.2.4 Justifikasi penegakan diagnose berdasarkan EBN
1. Gangguan Mobilitas Fisik b.d pembatasan pergerakan,

immobilisasi,

kontraktur
Perawat harus mampu melakukan tindakan keperawatan bagi klien yang mengalami
keterbatasan mobilitas atau akibat pembatasan mobilitas karena kondisi tertentu. Peran
perawat sangatlah penting dalam melakukan pergerakan dan pengaturan posisi klien
secara aman untuk mencegah komplikasi akibat immobilisasi dan mempertahankan
body aligment (Perry & Potter, 2005). Pada kondisi tertentu klien sangat beresiko
terjadinya komplikasi atau terjadinya injuri akibat pergerakan, membantu pergerakan
dan perubahan posisi secara aman merupakan tindakan keperawatan (Perry & Potter,
2005).

Perubahan posisi pada klien dengan immobilisasi dapat mengurangi tekanan pada area
tubuh tertentu sehingga mampu mencegah ulkus (luka tekan). Perubahan posisi dapat
juga meningkatkan sirkulasi darah pada area yang mengalami injuri/cedera (Black &
Hawks, 2005). Latihan yang dilakukan pada Tn M adalah perubahan posisi miring ke
kiri dan kanan, serta melakukan fleksi lutut. Tn M.

Tn. M telah mengalami kontraktur yang ditandai dengan afanya shortening di kedua
ekstremitas dan penurunan kekuatan otot. Penting bagi perawat mengurangi efek dari
immobilisasi dalam waktu yang lama (permanen atau sementara) harus dilakukan
latihan untuk mencegah atropi otot dan kontraktur sendi. Kontraktur sendi dapat terjadi
pada klien yang immobilisasi selama 3-7 hari, dan perawat harus melakukan intervensi
untuk mencegah hal tersebut (Perry & Potter, 2006).

Latihan dapat mencegah

komplikasi immobilisasi dan membantu persiapan klien untuk ambulansi. Perawat harus

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

44

melakukan latihan pergerakan sendi dan latihan isometric otot. Latihan rentang gerak
sendi dapat dilakukan secara pasif, aktiv, dan aktiv assistive (Perry & Potter, 2006).

Sebelum melakukan latihan rentang sendi harus dikaji factor-faktor yang dapat
membatasi pergerakan sendi atau penyulit seperti nyeri dan ketidakmampuan relaksasi
(Black & Hawks, 2005). Latihan yang dilakukan mulai dari latihan fleksi dan ekstensi
sendi, dan latihan isometric otot.

Klien Tn M setiap pagi dilakukan latihan rentang gerak sendi, pada awal latihan
dilakukan secara pasif. Latihan yang dilakukan adalah fleksi dan ekstensi sendi lutut,
fleksi dan ekstensi engkle, serta gerakan rotasi pada sendi engkle. Pendidikan kesehatan
terkait dengan latihan rentang gerak sendi juga dilakukan pada klien dan keluarga.
Pendidikan kesehatan yang diberikan antara lain menjelaskan tujuan, tehnik (cara
melakukan), waktu pelaksanaan, dan pentingnya kesadaran dan kemauan klien dan
keluarga. Pada awal latihan klien mengeluh nyeri dan sulit untuk mengikuti gerakan
(kaku), akan tetapi semakin lama semakin baik dan nyeri yang timbulpun berkurang,
klien dan keluarga juga melakukan latihan secara mandiri.

Klien direncanakan untuk repair tendon achiles yang mengalami kontraktur. Perawat
harus mampu melakukan tindakan keperawatan bagi klien yang mengalami keterbatasan
mobilitas atau akibat pembatasan mobilitas karena kondisi tertentu. Peran perawat
sangatlah penting dalam melakukan pergerakan dan pengaturan posisi klien secara aman
untuk mencegah komplikasi akibat immobilisasi dan mempertahankan body aligment
(Perry & Potter, 2005).

Pada kondisi tertentu klien sangat beresiko terjadinya komplikasi atau terjadinya injuri
akibat pergerakan, membantu pergerakan dan perubahan posisi secara aman merupakan
tindakan keperawatan (Perry & Potter, 2005). Perubahan posisi pada klien dengan
immobilisasi dapat mengurangi tekanan pada area tubuh tertentu sehingga mampu
mencegah ulkus (luka tekan). Perubahan posisi dapat juga meningkatkan sirkulasi darah
pada area yang mengalami injuri/cedera (Black & Hawks, 2005).

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

45

Perawat harus mendukung dan membantu klien selama terjadi perubahan status
kesehatan dan ini merupakan hal yang utama untuk mendorong klien dalam mengambil
keputusan dan mengadopsi prilaku dalam memaksimalkan fungsi individu sesuai
kondisi (Black & Hawks, 2005).

TN M dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan pentingnya nutrisi dalam proses


pemulihan dan penyembuhan, pentingnya perubahan posisi dan mobilisasi serta
bagaimana melakukan perubahan posisi dan mobilisasi yang aman. Dalam proses
rehabilitasi klien dilatih ROM pasif/aktif dalam mempertahankan rentang gerak optimal
dan mencegah komplikasi. Klien dan keluarga juga dilatih dalam mempergunakan alat
bantu yang akan digunakan oleh klien (kruk). Dalam rehabilitasi jangka panjang
sebenarnya dilakukan kolaborasi dengan ahli rehabilitasi medic dan ahli fisioterapi.
2. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang, trauma,
inisisi prosedur
Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan atau tanpa pembedahan,
meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Reduksi adalah prosedur yang sering
dilakukan untuk mengoreksi fraktur, salah satu cara dengan pemasangan fiksasi internal
dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer & Bare, 2002). Tindakan
pembedahan ini selain menstabilkan fraktur juga membantu mengatasi cedera vaskular
seperti sindroma kompartemen yang terjadi pada pasien fraktur. Respon nyeri pasien
dilaporkan berada pada level severe karena tindakan pembedahan ortopedi yang
dilakukan (Niles, LeFevre, Mallon, 2009).
Efek samping yang bisa ditimbulkan dari nyeri pasca pembedahan ortopedi adalah
waktu pemulihan yang memanjang, terhambatnya ambulasi dini, penurunan fungsi
sistem, terhambatnya discharge planning. Selain itu, efek samping analgesik akibat
terus menerus mengkonsumsi analgesik sebagai koping mengurangi nyeri, juga akan
merugikan pasien dari sisi ekonomi (Maher, Salmond & Pullino 2002). Peranan tim
pemberi layanan kesehatan sangat penting untuk meminimalkan efek-efek samping dari
nyeri post operasi ortopedi.
Manejemen nyeri harus dilakukan secara bersama-sama antara perawat, klien dan
keluarga untuk mengidentifikasi intensitas nyeri dalam memaksimalkan fungsi klien

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

46

sebagai individu (Perry & Potter, 2005). Akan tetapi kolaborasi antar petugas kesehatan
juga merupakan hal sangat penting. Persepsi klien terhadap nyeri adalah hal yang
penting dalam melakukan intervensi, sebab persepsi terhadap nyeri sangat individual.
Perawat harus menggunakan proses keperawatan secara individual dalam membantu
klien agar mampu mengontrol nyeri (Potter & Perry, 2006).

Perawat harus mampu membantu klien dalam mengontrol nyeri dengan tindakan
mandiri (nonfarmakologi). Manejemen nyeri nonfarmakologi yang dapat dilakukan
antara lain terapi music, cuteneous stimulation massage, relaxation, guided imagery,
dan distraction (Perry & Potter, 2005).

Klien Tn M dalam mengontrol nyeri dilakukan tindakan nonfarmakologi. Tindakan


nonfarmakologi yang digunakan adalah relaksasi dan distraksi. Klien dilatih dan
dibimbing dalam melakukan relaksasi dengan mengatur napas; menarik napas dalam
dan mengeluarkan secara perlahan-lahan dengan meniupkan, hal ini diminta dilakukan
klien secara teratur. Setiap periode klien diminta melakukan 10 x, khususnya jika nyeri
timbul misalnya saat perawatan luka, merubah posisi, dan ambulansi. Klien juga dilatih
untuk melakukan memfokuskan perhatian terhadap hal-hal yang dianggap klien menarik
dan menyenangkan. Klien mengatakan tindakan atau tekhnik tersebut sangat membantu
dalam mengurangi persepsi nyeri.
3. Risiko perluasan infeksi b.d. kerusakan pertahanan primer (adanya luka
akibat pembedahan).
Risiko infeksi terjadi akibat adanya infeksi (osteomyelitis). Diagnosa keperawatan ini
ditegakan dengan dukungan data antara lain pernyataan klien tentang luka yang pernah
bernanah pada pin, tanda sequester (+), LED 17
Intervensi yang dilakukan:
a. Mengobservasi tanda-tanda infeksi
Menurut Kozier dan Erb (1995) tanda-tanda infeksi meliputi rubor, calor, dollor,
tumor dan functio laesa. Selain itu dapat pula terjadi peningkatan drainage purulen.
Drainage purulen tejadi akibat proses penghancuran benda asing (termasuk
mikroorganisme) di dalam tubuh oleh sistem kekebalan tubuh.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

47

Selain itu peningkatan nyeri juga menjadi indikator dari adanya infeksi/perluasan
infeksi. Untuk itu pengkajian nyeri juga dilakukan dalam merawat klien ini. Pada
saat pengkajian didapatkan nyeri sedang dengan skala 4-5.
b. Melakukan perawatan luka
Perawatan luka merupakan peran penting dari perawat, mengingat adanya luka
menyebabkan klien berrisiko terinfeksi yang akan berdampak pada peningkatan
masa rawat dan biaya.
Menurut Kozier dan Erb (1995) untuk dapat melakukan perawatan luka secara
efektif setidaknya dua persyaratan yang dibutuhkan yaitu memahami fisiologi luka
dan

memiliki

kemampuan

melakukan

tindakan-tindakan

khusus

untuk

penyembuhan luka. Selama melakukan perawatan luka pada Tn. TH, luka
dibersihkan

dengan

larutan

NaCl

0.9%

dengan

menggunakan

tehnik

aseptik/antiseptik. Menggunakan kasa steril, luka dikompres dengan NaCl 0.9%


lalu dibalut.
4. Cemas b.d menghadapi prosedur pembedahan
Tindakan umum yang dilakukan setelah diputuskan melakukan pembedahan adalah
untuk mempersiapkan pasien agar penyulit pasca operasi dapat dicegah. Sebagian
tindakan tersebut dilakukan secara rutin seperti pembersihan kulit, sedangkan yang lain
dipilih berdasarkan keterangan anamnesis. Pemeriksaan praoperasi dan rencana
penolakan. Toleransi pasien terhadap pembedahan mencakup toleransi fisik maupun
mental (Smeltzer & bare,2002).
Persiapan pre operasi adalah suatu tahapan dimuai ketika keputusan untuk pembedahan
dan berahir ketika pasien dirujuk ke meja operasi. Persiapa pra operasi umum pada
pasien (Long,2001) : menjelaskan prosedur operasi dan apa saja yang terjadi,
mengajarkan dan mengusahakan pasien untuk relaksasi, biarkan pasien mengungkapkan
perasaannya, menegaskan penjelasan-penjelasan dari dokter, mendorong keterlibatan
pasien dalam perawatan diri.
Setiap pasien mempunya respon berbeda-beda terhadap pembedahan, berbagai variable
mempengaruhi respon tingkatan pembedahan berupa :

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

48

1. Persiapan Mental
Secara mental seorang pasien harus dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan
karena selalu ada rasa cemas atau takut terhadap penyuntikan, nyeri luka, anastesi
terhadap kemungkinan cacat atau mati. Dalam hal ini hubungan baik antara penderita,
keluarga dan dokter sangat menentukan. Ansietas ini adalah reaksi normal yang dapat
dihadapi dengan sikap terbuka dan penerangan dokter dan petugas kesehatan lainnya.
Atas dasar pengertian, pasien dan keluarga dapat memberikan persetujuan dan izin
untuk pembedahan.
2. Persiapan Fisik
a) Berbagai organ dan system
Sebelum pembedahan

semua pemeriksaan harus dilakukan seperti pemeriksaan

laboratarium, Elektokardiografi, ronsen tanda-tanda vital dalam batas normal, dan


dimulai lambung harus kosong, reflek esophagus mudah terjadi terutama pada
permulaan anastesi, sehingga dapat terjadi aspirasi isi lambung yang merupakan suatu
penyulit berbahaya karena menimbulkan pneumonia yang tidak mudah diatasi. Oleh
karena itu pasien dipuasakan 6 jam sebelum pembedahan.
Suhu badan dipertahankan normal, penderita demam metabolismenya meningkat dan
memerlukan lebih banyak zat asam sehingga iribilitas miskord meningkat dan keadaan
syok tidak dapat dikompensasikan seperti biasa.
b) Keadaan Gizi
Kebanyakan pasien yang akan dioperasi tidak membutuhkan perhatian khusus tentang
gizi. Pada umumnya mereka itu dapat berpuasa untuk waktu tertentu sesuai dengan
penyakit dan waktu pembedahan, tetapi tidak jarang pasien yang datang dalam keadaan
gizi yang kurang baik, misalnya yang terjadi pada penderita penyakit saluran cerna,
keganasan infeksi kronis dan trauma berat. Malnutrisi berat dipengaruhi morbiditas
karena terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap
infeksi. Karena itu penting sekali untuk mengkaji tingkat kecemasan pasien yang akan
menjalani prosedur operasii.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

49

3.3

Pembahasan

Pada bagian pembahasan ini akan dianalissi seluruh proses asuhan keperawatan yang
telah dilaksanakan. Anamnesa bertujuan untuk mendapatkan riwayat kesehatan dan
factor resiko serta perubahan spesifik dalam tingkat kesejahteraan dan pola kehidupan
(Potter & Perry, 2006). Berdasarkan riwayat pasien ditabrak gerobak besi dan posisi
jatuh kearah kanan kemudian tertimpa motor dan besi bekas. Data ini didapatkan dari
Tn. M, dari riwayat kejadian trauma pasien, selain itu juga waktu terjadinya sampai
dengan penatalaksanaan lebih dari golden periode penanganan untuk trauma
musculoskeletal. Jika penanganan trauma musculoskeletal dengan fraktur terbuka lebih
dari 4-6 jam, maka akan menimbulkan resiko lebih besar untuk terjadinya osteomyelitis.
Penanganan di periode emas pada fraktur terbuka akan meminimalkan komplikasi
terjadinya sepsis (Apley & Solomon, 1995)
Pada pasien Tn. M mengalami kerusakan jaringan lunak lebih dari 8 cm dan klasifikasi
fraktur pasien adalah fraktur terbuka grade IIIB. Jika ditinjau dari riwayat terjadinya
trauma jaringan lunak cukup luas dan luka sudah terkontaminasi. Masalah keperawaatan
resiko infeksi menjadi prioritas kedua karena pada saat mengkaji pasien, pasien
mendapatkan penanganan luka setelah kurang lebih 7 jam dari kejadian. Tampak tidak
ada eksudat dari luka yang telah didebridement. Pada hari ke enam setelah debridement
pertama, dilakukan debridement kedua karena luka tidak menunjukkan tanda-tanda
proses penyembuhan luka fisiologis. Sebaiknya justru luka mengeluarkan eksudat dan
pus. Keadaan disekitar luka berwarna kehitaman, bau dan edema.
Perawatan luka infeksi meliputi dengan membersihkan, debridement, pemberian obat
topical (Bryan & Nic, 2007). Pembersihan luka dengan menggunakan normal saline
bertujuan untuk menurunkan kontaminasi permukaan jaringan. Debridement adalah
tindakan pembersihan luka yang penting, karena mengangkat jaringan yang mati dan
memfasilitasi terjadinya granulasi (Bryant & Nic, 2007).
Selain perawatan luka menggunakan normal saline, pasien juga diberikan antibiotic
injeksi per intra vena untuk mencegah infeksi berkelanjutan akibat kontaminasi luka.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

50

Jenis antibiotic yang diberikan adalah antibiotic golongan pertama yaitu Gentamycin 80
mg per 12 jam dan Ceftriaxone 1 gr per 12 jam.
Pada pengumpulan data fisik didapatkan beberapa penyimpangan data, yaitu pasien
mengeluhkan nyeri. Data yang diperoleh adalah adanya edema pada ektremitas dekstra,
deformasi dan angulasi, pemendekan ektremitas, gangguan pergerakan (limited). Hal ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan Rasjad (2007) bahwa tanda-tanda fraktur yang
belum distabilisasi adalah adanya deformitas, perubahan bentuk, edema, nyeri tekan,
penurunan pulsasi distal, edema, dan tanda-tanda first inflammation lainnya.
Pada saat pengkajian, keluhan utama pasien adalah merasakan nyeri sekali, sehingga
diperlukan analgesic ekstra. Pasien mengeluh pada area post operasi. Saat dilakukan
pengkajian, pasien merasakan nyeri dengan intesitas 6-7. Nyeri merupakan salah satu
keluhan utama pada kasus musculoskeletal (Rasjad, 2007). Reaksi fisik seseorang
terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan dapat diperkirakan.
Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan, hypnosis, distraksi, relaksasi,
dan praktik spiritual (Black & Hawsk, 2009).
Karakteristik nyeri pada Tn. M dirasakan saat istirahat, karena ada luka insisi operasi
dan bertambah kalau ada pergerakan karena adanya pergerakan fragmen tulang yang
belum direduksi. Nyeri dapat timbul karena beberapa factor, luka operasi atau tindakan
pembedahan salah satu factor penyebab terjadinya nyeri, apabila nyeri berkelanjutan
tidak dihilangkan akan mengganggu aktifitas fisik yang akhirnya dapat menyebabkan
aliran vena terganggu (Potter & Perry, 2006). Menurut International Association for the
Study of Pain (IASP) (1979), nyeri adalah rasa indrawi dan pengalaman emosional yang
tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang tidak menyenangkan, yang
nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu yang tergambarkan.
Faktor social budaya menentukan perilaku psikologis seseorang, dengan demikian akan
mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiate endogen, sehingga terjadi nyeri (Smeltzer
& Bare, 2002). Tn. M merupakan suku Betawi asli yang cenderung kurang berusaha.
Pasien tampak tidak mencari tahu apa yang harus dilakukan saat keluhan nyeri muncul.
Klien hanya mengernyitkan wajah dan melindungi area yang nyeri.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

51

Tindakan yang harus dilakukan oleh perawat adalah memberikan arahan, menjelaskan
tentang nyeri dan cara mengatasinya. Penjelasan yang diberikan harus dengan bahasa
yang dimengerti klien. Upaya-upaya menurunkan nyeri dengan tehnik distraksi dan
relaksasi juga diedukasikan kepada pasien.
Adanya edema pada tungkai terjadi karena perdarahan dalam jaringan yang cedera dan
terjadi pembentukan hematom pada tempat yang patah tulang, terputusnya aliran darah
dan tempat cedera akan diinvasi oleh makrofag yang akan membersihkan daerah
tersebut (LeMone & Burke, 2008). Penjelasan yang diberikan pada pasien bahwa
keadaan akan berlangsung kurang lebih 3 hari. Dan pentingnya pasien melakukan
latihan pergerakan dengan latihan isometric dan latihan ankle pump sesuai kemampuan.
Deformitas berupa angulasi yang terjadi pada tungkai kanan pasien (SIAS-lateral
malleolus). Dari pengkajian didapat : kaki kanan = femur 49cm, cruris 40cm, pedis
20cm. Sementara kaki kiri = femur 50cm, cruris 42 cm, pedis 22cm. Shorthening
merupakan saah atu tanda terjadinya fraktur akibat pergeseran fragmen tulang dari
posisi fisiologisnya (Apley & Solomon, 1995). Perawat harus melihat ini sebagai suatu
yang harus diatasi dengan mencegah terjadinya trauma tambahan atau bahkan cacat
permanen (Rasjad, 2007).
Edema dan swelling terjadi karena perdarahan jaringan yang cedera dan terjadi
pembentukan hematom pada area yang mengalami patah tulang, terputusnya aliran
darah, dan tempat cedera akan diinvasi oleh sel darah putih yang akan membersihkan
daerah tersebut (LeMone & Burke, 2008). Penjelasan yang diberikan kepada pasien
adalah menjelaskan bahwa keadaan ini akan berlangsung kurang lebih 3hari. Dan bias
dilakukan latihan ankle pump dan latihan isometric untuk mengurangi edema.
Diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada Tn. M ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa keperawatan adalah
cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta
respon terhadap masalah actual maupun resiko (Wilkinson, 2005). Menurut North
American Nursing Diagnosis Association (NANDA), diagnose keperawatan adalah
penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, komunitas, terhadap masalah
kesehatan baik yang actual maupun yang potensial.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

52

Berdasarkan definisi diatas, pada kasus ini penulis mengangkat 4 diagnosa keperawatan
yang menggambarkan bagaimana situasi pasien yang mencerminkan perubahan yang
terjadi pada kondisi pasien. Kecemasan yang dihadapi pasien menjelang prosedur
diangkat sebagai diagnose pertama karena pasien mengalami gangguan istirahat akibat
kecemasannya. Nyeri diangkat sebagai diagnose berikutnya karena pasien mengeluhkan
nyeri pada tungkai yang sangat mengganggu aktifitas dan pemeenuhan ADL pasien.
Resiko infeksi diangkat berdasarkan keadaan luka pasien yang tidak menunjukkan
tanda-tanda perbaikan. Ditambah adanya edema pada luka yang menurunkan
vaskularisasi ke area distal pasien.
Masalah gangguan mobilitas fisik dibuat karena pasien membutuhkan intervensi untuk
memperbaiki pergerakannya. Sebagian besar pasien post operasi ortopedi akan merasa
takut untuk bergerak, hubungan terapeutik perawat-pasien akan membantu pasien
berpartisipasi dalam aktifitas untuk meningkatkan mobilitas. Pasien akan lebih yakin
jika diberi penjelasan bahwa mobilisasi yang dilakukan secara bertahap adalah suatu
aktifitas yangaman dan perawat akan selalu mengontrol kondisi pasien. Mobilisasi yang
bias segera dilakukan secara mandiri akan membantu pasien memenuhi kebutuhan
ADL-nya. Asuhan keperawatan yang diberikan perawat mengarah kepada kemandirian
pasien dalam emmenuhi kebutuhan sehari-hari, sesuai dengan teori Orem bahwa setiap
manusia mempunyai kemampuan untuk mempelajari kemampuan dalam merawat
dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Orem, 2001)
3.4

Analisis Kasus resume

Pasien yang menjadi kelolaan sebagian besar diambil di RSUP Fatmawati Gedung Prof.
Soelarto lantai 1 dan lantai 4, Pengkajian pada pasien menggunakan format Orem. Dari
basic conditioning factor penulis mengambil dari berbagai usia dewasa. Sebagian besar
pasien berada pada rentang usia produktif dan dewasa lanjut. Angka yang cukup tinggi
pada kelompok usia produktif ini karena sebagian besar penyebab kejadian fraktur
adalah trauma akibat lalu lintas dan kecelakaan kerja.
Sebagian besar pasien berjenis kelamin lelaki, terutama kejadian fraktur ekstremitas.
Seperti halnya pada gambaran rentang usia pasien yang berada pada usia produktif,
lelaki sebagai kepala keluarga yang bekerja mencari nafkah memiliki mobilitas yang
tinggi dan beresiko mengalami trauma kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

53

Semua kasus mengalami self care limitation atau self care deficit, dan didapaykan pada
pasien dengan gangguan system musculoskeletal menunjukkan nrsing diagnosis
(diagnose keperawatan) yang sama, yaitu ; nyeri, gangguan mobilitas fisik, dan resiko
infeksi.
Masalah nyeri menjadi masalah utama sebagian besar pasien, baik yang menjalani
pembedahan maupun yang tidak menjalani prosedur pembedahan. Nyeri pada post
operasi ortopedi telah dilaporkan sebagai nyeri akut pada level severe (Australian Acute
Musculosceletal Pain Guidelines Group, 2004). Pembedahan ortopedi reduksi terbuka
fraktur membantu dalam melihat lebih banyak jaringan yang rusak, jaringan lunak,
perdarahan, kerusakan diantara fragmen, maupun kerusakan pembuluh syaraf (Maher,
Salmond & Pullino, 2002; Pellino, et.al., 2005; Gillaspie, 2010). Pembedahan ortopedi
yang telah didahului oleh trauma sebelumnya akan memprovokasi perubahan persepsi
di CNS yang akan berpengaruh pada outcome post operasi (Pasero & MacCaffery,
2007).
Rowlingson (2009) mengemukakan bahwa proses fisik seperti insisi, pemotongan
jaringan, pengambilan jaringan, pemasangan implant akan menstimulasi ujung saraf
bebas dan nosiseptor. Mediator kimia akan dilepas selama proses pembedahan
berlangsung. Metabolisme laktat akibat iskemia jaringan selama pembedahan juga
berpengaruh terhadap pengeluaran mediator kimia (Maher, Salmond, & Pellino, 2002;
Engwall & Duppils, 2009). Tetapi respon stress pembedahan ini justru mencapai
puncaknya pada periode post operasi (Dunn, 2004).

Smelzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
secara umum adalah usia, jenis kelamin, kultur, makna nyeri, perhatian, ansietas,
pengalaman masa lalu, pola koping dan dukungan social. Sementara pada nyeri post
operasi ortopedi, factor,yang mempengaruhi adalah usia, jenis kelamin, riwayat
pengobatan sebelumnya, riwayat nyeri sebelumnya, dan konsumsi analgetik (Chelly,
Ben-Davis, Williams & Kentor, 2003; Pellino, Willens, Polomano, & Heye, 2003).

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

54

Pengkajian social budaya diperlukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan pasien


terhadap system keperawatan yang kita berikan pada pasien berdasarkan budaya yang
dianutnya. Keragamana budaya di Indonesia juga menimbulkan keragaman pada pasien.
Kepercayaan budaya yang lebih mempercayai dukun daripada pemberi layanan
kesehatan. Dan sebagian besar pasien yang mengalami komplikasi non union, delayed
union, atau mal union fraktur karena pasien sebelumnya berobat ke dukun.
Untuk mengatasi nyeri ada berbagai implementasi yang sudah diberikan sesuai dengan
etilogi yang ada. Antara lain memonitor nyeri meliputi, lokasi, durasi, frekuensi,
intensitas. Implementasi lainnya antara lain mengimobilisasi fraktur, memberikan posisi
nyaman dengan elevasi ektremitas yang fraktur. Implementasi keperawatan untuk
menurunkan nyeri dengan tehnik nonfarmakologi terapi music sebagai kombinasi
dengan terapi farmakologi.
Kemampuan mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak bebas.
Gangguan mobilisasi fisik oleh NANDA didefinisikan sebagai suatu keadaan individu
mengalami keterbatasan gerak fisik. Pada kasus kelolaan ini semua pasien hamper
seluruhnya mengalami masalah gangguan mobilisasi. Etiologi yang menyebabkan
pasien terganggu mobilisasinya adalah adanya fraktur, deformitas, dan kelemahan
ektremitas. Imobilisasi merupakan initial intervention pada gangguan ekstremitas. Saat
pasien sudah dilakukan koreksi, maka latihan mobilisasi terstruktur perlu diberikan pada
pasien post operasi.
Imobilisasi bertujuan mengamankan dan mencegah sebagian system musculoskeletal
dari injury tambahan, penyembuhan luka, mengembalikan fungsi normal dan
menurunkan nyeri (Maher, Salmond & Pullino, 2002). Tindakan imobilisasi sendiri
antara lain, pemasangan skin traksi, back slab, atau pasien dengan gangguan tulang
belakang. Tujuan imobilisasi berbeda pada setiap pasien, namun keterbatasan mobilisasi
ini, bukan berarti pasien sama sekali tidak mampu melakukan aktifitas. Imobilisasi yang
terlalu lama akan menyebabkan perubahan-perubahan pada system yang lain yang akan
menambah komplikasi dan penyulit proses penyembuhan. Pengaruh penurunan kondisi
otot dikaitkan dengan penurunan aktifitas fisik akan terlihat jelas dalam beberapa hari.
Pada individu normal dengan kondisi tirah baring akan mengalami pengurangan
kekuatan otot dari tingkat dasar rata-rata 3% (Potter & Perry, 2006).

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

55

Untuk mencegah terjadinyya komplikasi berlanjut maka intervensi yang bias dilakukan
oleh perawat adalah mengkaji kemampuan pasien untuk program latihan. Teaching
mengajarkan dan memberikan latihan aktif-pasif, latihan isometric pada tungkai yang
terganggu dan memotivasi supaya sendi yang sehat tidak mengalami penurunan fungsi.
Latihan penguatan tangan dan bahu membantu pasien mengatur posisi. Guidance
memberikan reinforcement untuk aktifitas self care yang telah dilakukan. Perawat
mengukur tanda-tanda vital pasien sebelum dan sesudah melakukan latihan.
Teaching mengajarkan pasien untuk latihan mobilisasi dini, membantu pasien untuk
transfer, merubah posisi, menilai kekuatan otot, meningkatkan intake nutrisi. Perawat
juga memonitor kemampuan pasien dalam melakukan mobilisasi, mengajarkan pasien
menggunakan alat bantu (Smeltzer & Bare, 2002).
Masalah resiko infeksi muncul pada sebagian besar kasus, karena adanya fraktur
terbuka dan kerusakan jaringanlunak yang luas. Luka terbuka harus diantisipasi
terjadinya infeksi (Apley & Solomon, 1995). Menurut Wilkinson (2005), seseorang
dikatakan mempunyai masalah resiko infeksi bila individu tersebut beresiko untuk
menyebarkan agen pathogen. Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau
cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik local maupun sistemik (Sherwood,
2009).

Menurut

Sherwood

(2009), sebagai

reaksi imunologi ada

beberapa

penyimpangan hasil laboratorium antara lain : peningkatan leukosit lebih dari limfosit,
basofil, eosinofil. Pada kasus resume rata-rata pasien mengalami peningkatan sel darah
putih.
Adanya prosedur operasi perlu menjadi antisipasi perawat dalam mencegah kejadian
infeksi. Resiko infeksi yang terjadi pasca pembedahan dapat berasal dari factor
pembedahan, atau dari factor internal penderita. Kejadian infeksi pasca pembedahan di
Amerika Serikat secara keseluruhan diperkirakan sebesar 7,5%. Tingginya kejadian
infeksi tersebut menimbulkan peningkatan biaya perawatan sebesar 10 juta dolar setiap
tahunnya (Al Ibrahim, 2009). Faktor yang meningkatkan terjadinya infeksi antara lain
adalah usia dewasa tua, pengobatan, obesitas, malnutrisi, perokok, diabetes, dan
pemasangan alat invasive (Black & Haws, 2009).

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

56

Penerapan pengkajian data therapeutic self care demand yang terdiri dari universal self
care, developmental self care requisites, dan health deviation self care requisites. Pada
universal self care yang menggali kebutuhan fisiologis pada teori ini dikaji untuk
mengetahui keadekuatan organ dan fungsi dari pemeliharaan kebutuhan masukan
oksigen, cairan, nutrisi, eliminasi, kesembangan aktifitas dan istirahat.
Rata-rata jumlah hari rawat pasien lamanya tergantung dari tingkat ketergantungan
pasien. Dan pasien diijinkan untuk pulang saat berada pada level supportive educative
nursing system dimana pasien butuh untuk diberikan edukasi dan discharge planning.
Control atau evaluasi dilakukan pada semua pasien kelolaan. Untuk semua masalah
keperawatan yang muncul pada pasien adalah nyeri dan mobilisasi.
Untuk masalah mobilisasi pasien kelolaan sebagian besar memperlihatkan beberapa
pasien dengan gangguan ektremitas yang sudah dikoreksi mulai teratasi. Dengan
supportive educative pasien dapat menggunakan alat bantu, akan tetapi yang harus
diwaspadai oleh perawat setelah mobilisasi teratasi adalah masalah trauma berulang.
Setelah dilaksanakan penerapan Teori Orem self care pada kasus gangguan system
musculoskeletal, penulis mendapatkan bahwa teori self care ini sangat tepat
diaplikasikan pada kasus system musculoskeletal. Tingkat ketergantungan pasien dapat
dilihat dan begitu juga kemandirian pasien dapat dikontrol, dengan melakukan methode
of helping yang tepat bagi pasien dan keluarga dapat dilibatkan sebagai mitra dalam
meningkatkan kemandirian.
Kelebihan pengkajian Orem ini adalah memungkinkan perawat untuk lebih
komprehensif

dalam

menggali

data

dari

pasien

mengingat

OREM

sangat

memperhatikan pasien secara holistic. Peran perawat disini dalam mengumpulkan data
akan lebih lengkap sampai dengan tingkat kemampuan pasien dalam system
keperawatan dan metode apa yang sebetulnya diperlukan oleh pasien.
Sebagian besar pada kasus kelolaan pada pengkajian untuk therapeutic self care
demand, didapatkan data sebagian besar mengalami gangguan, data tersebut dapat
dilihat pada developmental self care requisites dan health deviation self care requisites.
Pasien tidak mampu menyediakan makanan sendri, tidak mampu memenuhi kebutuhan

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

57

cairan. Pada awal pasien masuk mengalami deficit self care, pada saat keadaan pasien
tersebut pasien butuh bantuan perawat dan keluarga. Perawat membantu memenuhi
kebutuhan pasien, member dukungan secara bertahap sesuai kemampuan pasien. Pasien
juga memerlukan kemampuan orang terdekat untuk mengembalikan rasa percaya dan
membantu pasien beradaptasi dengan keadaannya.
Diagnosa keperawatan menurut Orem (2001) adalah hasil proses pengumpulan,
pengujian, dan analisis data, dengan pengkajian yang divalidasi dan lengkap untuk
membuat keputusan keperawatan tentang pasien, kebutuhan, perkembangan dan
perubahan untuk menjelaskan hubungan antara basic conditioning factor dan
pemenuhannya, kemampuan praktek self care terkait pemahaman komponen dari
therapeutic self care demand, keterbatasan untuk bertindak dan mengambil keputusan,
keadekuatan pengetahuan dan ketrampilan, kesediaan dan komponen penguatan lainnya
untuk

menampilkan

self

care

dan

memenuhinya.

Serta bagaimana potensi

mengembangkan self care agency bila individu berada pada kondisi yang normal.
Perencanaan keperawatan

yang dibuat

dilandasi atas tujuan mengatasi dan

meminimalkan self care deficit. Berdasarkan hal tersebut nursing agency merupakan
upaya keperawatan yang dapat memenuhi kebutuhan individu, dapat dilakukan dengan
cara mengenal, memenuhi kebutuhan dan melatih kemampuan (Orem, 2001).
Dalam membuat perencanaan ditentukan tujuan dan sasaran yang sesuai dengan
diagnose keperawatan, berdasarkan self care demand dan meningkatkan kemampuan
self care. Pemberian asuhan keperawatan berdasarkan tingkat kemampuan pasien
(Wholly compensatory, partially compensatory dan supportive educative) dan kemudian
membuat metode yang sesuai untuk menolong yaitu : mengarahkan, mensupport,
mengajarkan, bertindak dan memberikan lingkungan untuk berkembang.
Kemudian pada tahap ketiga, terdiri dari implementasi dan evaluasi, Orem (2001)
menjelaskan pada tahap ini adalah melaksanakan rencana dan mengontrol tindakan
keperawatan. Pada tahap implementasi mengacu pada rencana keperawatan yang telah
dibuat. Perawat mempunyai tanggung jawab untuk melakukan implementasi secara tim
dengan melibatkan pasien dan keluarga serta anggota tim secara keseluruhan.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

58

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan dan diarahkan untuk
menentukan respon pasien terhadap intervensi keperawatan dan sejauh mana tujuan
tercapai (Smeltzer & Bare, 2002). Pada tahap evaluasi, Orem tidak merinci apa saja
yang harus dievaluasi. Misalnya pada kasus kelolaan utama, ada beberapa diagnose
yang harusnya pada setiap asuhan keperawatan yang sudah diberikan harus dievaluasi,
sehingga kemajuan dan kemunduran pasien dapat dilihat dari evaluasi. Sedangkan pada
model Orem self care evaluasi pada kemampuan pasien akan meningkatkan self care,
menurunkan self care deficit dan mempertahankan kebutuhan self care.
Keunggulan dari teori ini adalah menurut penulis dalam proses setiap tahapnya tidak jah
berbeda dengan tahap proses keperawatan yang dirumuskkan ANA, yaitu mulai dari
pengkajian sampai dengan evaluasi, namun pendokumentasian saja yang berbeda.
Penulis juga melihat keunggulan dalam proses pengumpulan data pasien dilakukan
dengan komprehensif, perawat dituntut mendapatkan data bukan hanya fisiologis saja
tapi juga biopsikososiospiritual, dan yang lebih unggul perawat menentukan apakah
pasien perlu diberikan keperawatan sepenuhnya dan sebagian. Sehingga perawat sudah
memperhitungkan seperti apa rencana tindakan yang akan diberikan, dengan metode
yang bagaimana untuk mengatasi masalah yang ada pada pasien.
Kelemahan dari teori ini ada beberapa langkah dalam proses keperawatan yang dalam
pelaksanaan pendokumentasian masih overlapping data antara satu dengan yang lainnya
seperti pada pengkajian self care requisites yang merupakan kebutuhan self care
menurut penulis akan data yang tidak normal akan muncul kembali di health deviation
self care requisites karena dalam data yang terganggu adalah merupakan salah satu
kebutuhan yang sudah dikaji pada universal self care requisites.
Selain itu sosialisasi penggunaan teori ini belum umum dan dipelajari pada level pasca
sarjana. Kurangnya buku sumber yang menampilkan format baku aplikasi asuhan
keperawatan juga menjadi kesulitan untuk penulis.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

BAB 4
ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN BERBASIS BUKTI

4.1 Tinjauan Literatur


Pedoman

Agency

for

Healthcare

Policy

and

Research

(AHCPR)

untuk

penatalaksanaaan nyeri akut (1992) menyatakan intervensi nonfarmakologi sebagai


intervensi yang cocok untuk klien yang memenuhi kriteria bahwa pasien merasa
intervensi tersebut menarik. Selain itu klien mengekspresikan kecemasan atau rasa
ketakutan, klien yang memperoleh manfaat dari upaya menghindari atau mengurangi
terapi obat, klien memiliki kemungkinan untuk mengalami dan perlu mengembangkan
koping dengan interval nyeri pasca operasi yang lama, klien yang masih merasakan
nyeri setelah menggunakan terapi nonfarmakologi (Potter & Perry, 2006).
Penggunaan terapi nonfarmakologi yang menjadi pilihan menurut Perry dan Potter
(2006) adalah yang pendekatannya noninvasif, risikonya rendah, tidak mengeluarkan
biaya yang banyak, mudah dilakukan, berada pada lingkup keperawatan. Intervensi
yang diberikan memberikan kenyamanan, meningkatkan mobilitas, mengubah respon
psikis, mengurangi rasa takut, dan memberikan klien kekuatan untuk mengontrol nyeri
(Black & Hawsk, 2009).

Arslan, Ozer & Ozyurt (2007) dalam publikasinya di Australian Journal of Advanced
Nursing yang berjudul The Effect of music on preoperative anxiety in the during
undergoing urogenital surgery, menjelaskan bahwa terapi music sangat efektif
menurunkan nyeri pada pasien post operasi urogenital. Hal ini juga didukung oleh
penelitian RCT yang dibuat oleh Schou (2008) di Aalborg University, dengan judul
penelitian Music Therapy for Post Operative Cardiac Patients : A Randomized Control
Trial Evaluating Guided Relaxation with Music and Music Listening on Anxiety, pain,
and Mood. Schou menyatakan bahwa pasien post operasi jantung yang diberikan terapi
musik menunjukkan penurunan level nyeri dan kecemasan lebih besar dibandingkan
yang tidak diberikan intervensi terapi music.
Penelitian lain yang mendukung bahwa terapi music sangat efektif menurunkan nyeri
adalah dari jurnal Research In Nursing and Health dengan judul Relaxation and music
60
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

61

reduce pain following intestinal surgery (Good, Anderson, Ahn, Cong, & StantonHicks, 2005). Good dkk menjelaskan bahwa pasien yang menjalani pembedahan
intestinal yang diberikan kombinasi terapi music dan relaksasi menunjukkan penurunan
level nyeri yang cukup signifikan dan penggunaan dosis analgesic yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa pemberian terapi music pada post operasi
intestinal.
Sebanyak kurang lebih 21 penelitian telah dikembangkan oleh Marion Good dalam
dekade tahun 2000an terakhir ini mengenai efektifitas terapi musik terhadap nyeri post
operasi (Pellino, et. al., 2005). Perawat dapat menggunakan musik dengan kreatif di
berbagai situasi klinik (Nilsson, 2008). Sebagian besar distraksi musik dapat dilakukan
di rumah sakit, di rumah, atau di unit hospice (Chiang, 2012).

4.1.1 Masalah Klinik


a. Problem (P)
Beberapa agen farmakologi seperti analgesik digunakan untuk mengatasi nyeri
(Peterson & Bredow, 2004). Non Steroid Anti Inflammation Drugs (NSAID) non
narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri terkait
artritis rematoid, prosedur pengobatan gigi dan proses bedah minor, episiotomy, dan
masalah pada punggung bawah (Potter & Perry, 2006).
Katzung (2007) mengatakan bahwa morfin maupun ketorolak memiliki efek samping
yang hampir sama yaitu ; pruritus, mual dan muntah, retensi urin, sedasi, sampai depresi
pernapasan. Efek samping ketorolak yang lainnya berupa pusing, berkeringat, euforia,
mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkope dan sedasi. Obstipasi dan retensi urin tidak begitu sering timbul seperti pada
morfin tetapi efek sedasinya sebanding morfin. Efek samping yang jarang timbul adalah
delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik.
Kemungkinan timbulnya bahaya adiksi analgesik yang patut diwaspadai adalah inhibisi
agregasi platelet yang ditimbulkan oleh asam arachdonat dan kolagen, tetapi tidak oleh
Adenosin Difosfat (ADP). Hal ini berdampak pada pemanjangan waktu perdarahan jika
analgesic diberikan pada dosis berlebihan dan dalam jangka panjang. Bahaya lainnya
pada pemberian jangka panjang adalah berkurangnya ventilasi pulmonal sampai depresi
Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

62

napas, efek kardiovaskuler, hambatan pembentukan prostaglandin jangka panjang bisa


menyebabkan gangguan homeostasis karena prostaglandin berperan di ginjal, keadaan
yang sangat berat bisa menyebabkan koma (Neal, 2002; Katzung, 2007).
Penggunaan analgesik yang tepat membutuhkan pengkajian, aplikasi prinsip-prinsip
farmakologi, dan alasan yang cermat. Manajemen penatalaksanaan nyeri adalah
kerjasama seluruh tim pemberi layanan untuk kepentingan pasien (Rospond, 2008;
Rowlingsons; 2009). Perawat harus mengetahui obat-obatan yang tersedia dan efek-efek
samping dari obat-obat tersebut (Potter & Perry, 2006).

b. Intervensi (I)
Intervensi ini adalah melakukan penerapan terapi music untuk mengurangi nyeri pada
pasien post operasi ORIF. Instrumen pengkajian nyeri menggunakan NRS sangatlah
mudah, klien hanya diminta menunjukkan tingkat nyeri pasien pada suatu garis rentang
0-10. Nyeri diukur sebelum dan sesudah dilakukann intervensi terapi music. Intervensi
terapi music diberikan selama 15 menit menggunakan earphone. Pasien diperkenankan
memilih jenis music yang diinginkan yang ada pada daftar pilihan music. Penggunaan
earphone bertujuan bahwa terapi ini bersifat personal dan preference.

c. Comparison (C)
Survey yang dilakukan pada Oktober dan November 2012 pada pasien post operasi
ORIF yang dirawat di GPS lantai 1 RSUP Fatmawati didapatkan gambaran bahwa ratarata pasien mengeluhkan nyeri yang terjadi sehingga tujuan ambulasi dini yang akan
menjadi intervensi selanjutnya sebagai rangkaian dari implementasi penatalaksanaan
asuhan keperawatan mengalami delay. Selain itu pasien juga menyatakan jika mau
memulai ambulasi dini harus minum obat pereda nyeri terlebih dahulu. Sementara itu
pemberian terapi analgetik rute intravena yang dianjurkan sudah bisa digantikan rute
peroral, terkadang pasien masih menginginkan analgetik rute intra vena dengan alasan
nyeri lebih cepat hilang. Ketergantungan ini memiliki efek samping yang kurang
dipahami pasien.

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

63

d. Output (O)
Terapi musik sangat berkembang di dunia sebagai terapi nonfarmakologis pada post
pembedahan karena terbukti efektif menurunkan nyeri, mengurangi penggunaan
analgesia dan efek sampingnya, memperpendek lama hari rawat, kepusan pasien
meningkat, dan secara menurunkan biaya. Penerapan terapi music sebagai terapi
komplementer untuk mengurangi nyeri post operasi ORIF dan diharapkan akan
berdampak luas tidak hanya bagi pasien tetapi juga pada tujuan asuhan keperawatan
sangat mudah untuk diaplikasikan. Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan klinis
bagaimana gambaran efektifitas penerapan terapi music terhadap nyeri pasien post
operasi ORIF di Lantai 1 Gedung Prof. Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta.

4.1.2 Metoda Penelusuran Literatur


Penelusuran literatur menggunakan Proquest, Pubmed, dan CINAHL dengan
menggunakan kata kunci music therapy as nursing complementary intervention
ditemukan 40 artikel mengenai aplikasi terapi music pada pasien pasca bedah.
Pada abad ke-19 musik telah dipraktikkan sebagai bagian dari intervensi keperawatan
oleh Florence Nihgtingale (Schou, 2008). Nightingale menemukan bahwa bunyibunyian bisa membantu sebagai milieu therapy dalam menyembuhkan karena
meningkatkan relaksasi. Pada saat menyembuhan tentara yang mengalami cedera atau
sakit di Perang Krim, Nightingale menggunakan live musik karena belum ada tape
recorder pada jaman itu (Schou, 2008). Nightingale menggunakan bunyi-bunyi natural
seperti suara angin, air mengalir. Jelaslah bahwa terapi musik digunakan sebagai bagian
dari terapi komplementer adalah kontribusi dari perawat.
Elemen musik bisa mempengaruhi integrasi emosi individu terutama masa pengobatan ,
pemulihan, bahkan pada keadaan disabilitas. Musik adalah suatu komponen yang
dinamis yang bisa mempengaruhi baik psikologis maupun fisiologis bagi pendengarnya
(Wilgram, 2002; Anjali & Ulrich, 2007; Nilsson, 2009). New Zealand Society for Music
Therapy (NZSMT) (2005) menyatakan bahwa terapi musik telah terbukti efektifitasnya
untuk diimplementasikan pada bidang kesehatan, karena musik bisa menurunkan
kecemasan, nyeri, stress, dan menimbulkan mood yang positif. Selain itu musik juga
melibatkan pasien dalam prosesnya, dan terbukti meningkatkan kepuasan pasien,

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

64

mengurangi lama hari rawat di rumah sakit serta mengurangi biaya rumah sakit
(NZSMT, 2005).
Berdasarkan pada jurnal diatas, maka akan dilakukan penerapan terapi music pada
pasien post operasi ORIF untuk mengurangi nyeri pasca pembedahan. Nyeri diukur
menggunakan instrument nyeri NRS
4.1.3 Validitas
Sjostorm, Dahlgren, dan Haljamae (2000) mengatakan untuk menjaga validitas skala
nyeri pada populasi dewasa bukan anak-anak adalah dengan menggunakan Numeric
Rating Scale (NRS). Validitas alat ukur pada penelitian ini dijaga dengan memberikan
penjelasan mengenai pemakaian instrumen secara jelas kepada responden sehingga
benar-benar memahami cara lapor diri. Responden diminta untuk lapor diri apa adanya
dengan memilih satu angka yang paling tepat untuk menggambarkan tingkat persepsi
nyeri yang dirasakan.
Validitas instrument NRS telah diujikan pada 11 penelitian pada pasien post operasi dan
emergensi dengan intervensi terapi musik (Dunn, 2004). Tujuh penelitian diantaranya
menyatakan bahwa instrument ini valid untuk digunakan pada pengukuran skala nyeri
post operasi dan nyeri akut.
Brunelli, Zecca, Martini, Campa, Fagnoni, Bagnaso, et.al. (2010) melakukan uji
komparasi NRS, VAS, dan VRS untuk mengkaji nyeri pada 60 pasien. Jika nilai
Koefisien Kappa > 0,6 dan P value < 0,005, maka persepsi peneliti dan asisten peneliti
sama. Sedangkan jika nilai Koefisien Kappa < 0,6 dan P value > 0,005, maka persepsi
peneliti dan asisten peneliti berbeda (Dharma, 2011). Hasil uji Cohens Kappa untuk
instrument NRS yang dilakukan oleh Brunelli, Zecca, Martini, Campa, Fagnoni,
Bagnaso, et.al. (2010) adalah 0,86 (sangat baik). Pada penelitian ini peneliti tidak
menggunakan asisten peneliti, seluruh pengumpulan data dikerjakan sendiri oleh
peneliti.

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

65

4.1.4 Important
Penatalaksanan nyeri sebagai bagian dari asuhan perawat atas respon pasien akan
berbeda antar pasien. Persepsi yang salah mengenai penanganan nyeri harus selalu
diberi analgesik tidak berlaku pada keperawatan (Chung, Ritchie, & Su, 1997). Hal ini
justru menimbulkan suatu concern terhadap respon pasien akibat efek samping dari
analgesik itu nantinya (Potter & Perry, 2006). Pada dasarnya nyeri dapat diatasi dan atau
dikurangi, dengan melihat jenis dan tingkatan respon masing-masing individu
(Rospond, 2010).
Sasaran dari kebanyakan pembedahan ortopedi ORIF adalah memperbaiki fungsi
dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas, mengurangi nyeri dan komplikasi
(Smeltzer & Bare, 2002; Black & Hawks, 2009). Sebagian besar pasien mempercayai
bahwa nyeri yang akan mereka alami saat post operasi menimbulkan ketakutan
tersendiri yang nantinya akan menentukan perilaku mereka sebagai bagian dari
mekanisme koping (Rowlingson, 2009). Analgesik bukanlah protokol utama untuk
menghilangkan nyeri pada post operasi (Dunn, 2004). Pemberian terapi yang
memanipulasi simpatis dan parasimpatis setelah pembedahan hanya akan menghambat
proses recovery jaringan (Rowlingson, 2009).
Respon stress pembedahan ini mengalami puncaknya saat post operasi yang efek
utamanya pada jantung, koagulasi darah, dan sistem imunitas (Rowlingson, 2009).
Seluruh pembedahan di unit ortopedi akan mengakibatkan intesitas dan durasi nyeri
akut yang berbeda dari unit sistem lain. Hal ini disebabkan derajat kerusakan yang
mencedarai mulai dari superfisial, jaringan lunak, bone exposed, pembuluh darah dan
syaraf (Chelly, Ben-Davis, Williams & Kentor, 2003; Antall & Kresevic, 2004). Derajat
nyeri pasien pada periode post operasi memiliki korelasi yang kuat terhadap lama hari
rawat, waktu pemulihan, biaya yang dikeluarkan pasien dan kepuasan pasien (Adams,
2005; Finnerty, 2005; Nilssons, 2008)
Sesaat setelah pembedahan ortopedi, nyeri yang dirasakan pasien post pembedahan
ortopedi dilaporkan oleh pasien seperti terbakar, pasien merasa itulah saat yang sangat
menderita dan kesakitan (Joelsson, Olsson & Jakobson, 2010). Pada hari berikutnya
setelah operasi, banyak pasien yang mengeluhkan takut menggerakkkan ekstremitas

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

66

yang dioperasi karena nyeri (Aisudione, & Shadrac, 2010). Pada pemeriksaan dengan
Visual Analogue Scale, pasien melaporkan masih berada pada level 7-8, dan pada
beberapa pasien masih dilaporkan pada level 10 (Joelsson, Olsson & Jakobson, 2010).
Latihan untuk memulai mobilisasi juga belum bisa dilakukan karena pasien merasa
nyeri dan takut. Konsumsi obat penghilang rasa sakit mulai sering diminta oleh pasien
(Engwall & Duppils, 2009).

Permintaan penggunaan analgesik adalah jalan keluar pasien untuk mengatasi nyeri post
operasi. Penggunaan analgesik untuk mengatasi nyeri pasca pembedahan merupakan
protokol yang seharusnya (Good, et.al., 2005; Nilssons, 2008). Permintaan obat
penghilang rasa sakit juga termasuk dalam mekanisme koping seseorang terhadap nyeri
(Chelly, Ben-Davis, Williams & Kentor, 2003). Smeltzer dan Bare (2002) menjelaskan
bahwa pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
Efek sementara dari pemberian penghilang nyeri akan mengakibatkan banyak efek
samping yang harus dipahami oleh pemberi layanan manajemen nyeri, seperti sedasi,
confuse, agitasi, peningkatan produksi asam-asam saluran cerna, yang justru
menghambat proses penyembuhan luka, ambulasi sampai dengan prolonged length of
stay yang sangat berpengaruh terhadap effective cost management dari pasien (Neal,
2002; Australian Acute Musculosceletal Pain Guidelines Group, 2003; Peterson &
Bredow, 2004; Nilssons, 2008).
Pada hari-hari berikutnya nyeri yang dikeluhkan pasien selain ketakutan untuk bergerak,
adalah karena luka pembedahan (Gillaspie, 2010). Pada level ini, makin banyak obat
pereda nyeri yang diminta oleh pasien. Tetapi keluhan yang menyertai akibat efek
samping analgesik juga mulai muncul seperti nausea, vomitus, pruritus, retensi urin,
konstipasi, dan imunosupresi (Neal, 2002; Chelly, Ben-David, Williams & Kentor,
2003). Pada pasien pembedahan ortopedi yang lanjut usia, efek samping sedasi dan
confusion juga merupakan yang paling sering dilaporkan (Antall & Kresevic, 2004;
Aisudione & Shadrac, 2010). Ketidakmampuan klien dalam mengontrol nyeri pada
pembedahan ortopedi akan berpengaruh sangat besar pada kualitas hidup pasien
(McCaffrey, 1999; dalam Antall & Kresevic, 2004).

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

67

4.1.5 Applicability
Penggunaan terapi nonfarmakologi yang menjadi pilihan menurut Perry dan Potter
(2006) adalah yang pendekatannya noninvasif, risikonya rendah, tidak mengeluarkan
biaya yang banyak, mudah dilakukan, berada pada lingkup keperawatan. Intervensi
yang diberikan memberikan kenyamanan, meningkatkan mobilitas, mengubah respon
psikis, mengurangi rasa takut, dan memberikan klien kekuatan untuk mengontrol nyeri
(Black & Hawsk, 2009).
Terapi musik dengan pendekatannya yang unik dan universal membantu mencapai
tujuan dengan penurunan stress, ketakutan akan penyakit dan cedera, menurunkan
tingkat depresi, kecemasan, stress, dan insomnia. Terapi musik juga mendorong
perilaku kesehatan yang positif, mendorong kemajuan pasien selama masa pengobatan
dan pemulihan (Schou, 2008).
4.2 Penelitian Terkait
Mitchell dan MacDonald (2006) mengemukakan efek terapi musik pada nyeri adalah
distraksi terhadap pikiran tentang nyeri, menurunkan kecemasan, menstimulasi ritme
nafas lebih teratur, menurunkan ketegangan tubuh, memberikan gambaran positif pada
visual imagery, relaksasi, dan meningkatkan mood yang positif.
Chiang melakukan penelitian efek terapi musik dan suara alam terhadap tingkat nyeri
dan kecemasan pasien kanker di unit perawatan hopice kanker Taiwan pada tahun 2012.
Tehnik yang digunakan adalah Randomized Control Trial (RCT), dengan 117 sampel
pasien kanker. Partisipan dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok perlakuan
diperdengarkan musik, suara alam, dan kombinasi keduanya selama 20 menit setiap hari
selama 3 hari, dengan menggunakan earphone.
Kelompok kontrol diberikan earphone tanpa musik. Tetapi setelah penelitian selesai,
kelompok kontrol juga diberi kesempatan untuk mendengarkan CD yang berisi musik
untuk terapi. Hasil penelitiannya adalah terdapat penurunan nyeri yang signifikan pada
ketiga kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (P value= 0,001). Terapi
musik dengan kombinasi suara alam memiliki efek paling besar untuk menurunkan
nyeri pasien kanker.
Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

68

Tse, Chan dan Benzie (2005) melakukan penelitian pengaruh terapi music pada 57
pasien post operasi nasal di Polytehnic University Hong Kong. Intervensi diberikan
segera setelah 30 menit pasien kembali dari ruang operasi. Intervensi diulangi kembali 4
jam sesudahnya. Skala nyeri diukur dengan VRS. Hari berikutnya (hari pertama post
operasi dan hari kedua postoperasi), intervensi dilakukan pada jam 8 pagi dan jam 12
siang. Intervensi dilakukan di ruang perawatan selama 30 menit setiap sesi. Kelompok
kontrol mendengarkan headset tanpa musik.
Finnerty (2006) melakukan studi kualitatif yang diberi judul Musik Therapy As An
Intervention For Pain Perception, dengan pernyataan hasil penelitiannya yaitu ; terapi
musik bisa mempengaruhi keadaan biologis tubuh seperti emosi, memori. Ketukan yang
tetap dan tenang memberi pengaruh kuat pada pasien sehingga tercipta suatu keadaan
rileks. Keadaan rileks ini memicu teraktivasinya sistem syaraf parasimpatis yang
berfungsi sebagai penyeimbang dari fungsi parasimpatis. Terapi musik bisa menjadi
distraksi dari nyeri seseorang dan mengurangi efek samping analgesik, terapi musik
juga bisa menurunkan kecemasan, gejala depresi, meningkatkan motivasi, sehingga
berkontribusi meningkatkan kualitas hidup pasien.

4.3 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian


4.3.1 Subyek
Subyek dalam penerapan praktik berdasarkan bukti adalah pasien post operasi ORIF
yang dirawat di lantai 1 GPS RSUP Fatmawati Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi
selama pengambilan data berlangsung. Kriteria subjek yang ditetapkan adalah pasien
yang telah menjalani operasi ORIF tanpa operasi penyerta lainnya saat menjalani
operasi ORIF (misalnya : ORIF dan craniotomy, ORIF dan laparotomy, ORIF dan
amputasi, dsb), pasien dalam kondisi sadar penuh, pasien memiliki kemampuan baca
tulis, dan pasien tidak mengalami gangguan pendengaran. Sedangkan kriteria ekslusi
subyek adalah pasien mengalami komplikasi post operasi, seperti gangguan
hemodinamik, perdarahan atau nyeri hebat, maka terapi akan segera dihentikan, dan
pasien harus segera dikonsulkan ke dokter ahli.

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

69

4.3.2 Tempat dan Waktu


Tempat pelaksanaan EBN adalah di Lantai 1 GPS RSUP Fatmawati Jakarta pada bulan
April 2013 dengan rencana jadwal pelaksanaan sebagai berikut :
WAKTU

NO

KEGIATAN

Penyusunan Proposal

Izin Ruangan

Pelaksanaan EBN

Penyusunan laporan

Februari

Maret

April

Mei

4.3.3 Prosedur Pelaksanaan Evidence Based Practice


Prosedur pelaksanaan evidence based practice ini meliputi prosedur administrative dan
teknis. Adapun prosedur tersebut adalah sebagai berikut
1.

Prosedur Administratif : menyiapkan proposal dan izin ruangan

2.

Prosedur Teknis

a. Meminta izin pada penanggung jawab ruangan Lantai 1 GPS RSUP Fatmawati
dengan menjelaskan tujuan penerapan EBN
b. Melakukan sosialisasi pada perawat di ruangan Lantai 1 GPS RSUP Fatmawati
Jakarta
c. Mengidentifikasi pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan metode wawancara
dan melihat dokumentasi pasien.
d. Menjelaskan pada pasien tentang tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan EBN.
e. Prosedur Pelaksanaan
-

Menjelaskan pada pasien tujuan dan cara pengisian lembar pengkajian

Meminta persetujuan pasien dengan informed concent

Memberikan kesempatan bertanya mengenai hal yang tidak dipahami

Responden diminta menunjukkan tingkat nyerinya pada skala nyeri 0-10 yang ada
pada intrumen pengkajian nyeri NRS untuk menilai skala nyeri pasien sebelum
diberikan terapi musik

Responden diberikan waktu selama 5 menit untuk menempatkan diri pada posisi
yang nyaman menurut responden dan memilih musik yang disukai dari MP3 atau
memilih dari daftar pilihan musik yang diberikan oleh peneliti.
Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

70

Responden mulai mendengarkan musik yang disukainya dengan earphone.

Terapi berlangsung selama 15 menit (dihitung dengan menggunakan stopwatch,


yang dimulai sejak tombol play ditekan).

Setelah 15 menit, musik dihentikan dan earphone dilepaskan.

Pengkajian nyeri dilakukan pada periode setelah 10 menit sejak tombol off pada
MP3 ditekan. Pengkajian dengan menggunakan NRS untuk skala nyeri sesudah
intervensi.

f. Sosialisasi hasil penerapan EBN


g. Merekomendasikan hasil penerapan EBN
4.4 Pembahasan
Intervensi terapi music diberikan pada 10 orang pasien post ORIF. Setelah mendapatkan
persetujuan dari pasien untuk melakukan penerapan EBN. Rerata nyeri pasien post
ORIF berada pada level nyeri berat (7-10). Dari 10 orang yang diberikan intervensi
terapi music, terdapat 6 orang mengalami penurunan pada level nyeri sedang, dan 4
orang mengalami penurunan nyeri sampai di level nyeri ringan. Jenis kelamin pasien
yang diberikan intervensi terapi music ini semuanya laki-laki. Hal ini disebabkan saat
pasien sedang melaksanakan praktek di bulan April dan Mei 2013, sebagian besar
pasien yang menjalani prosedur pembedahan ORIF adalah laki-laki.
Pasien yang menjalani operasi bukan ORIF (fiksasi eksternal, debridement, amputasi,
atau remove implant) yang berada didekat pasien intervensi juga ikut meminta diberikan
terapi music. Lagu yang menjadi pilihan pasien adalah tembang kenangan. Rentang usia
pasien yang diintervensi adalah 30 tahun sampai dengan 62 tahun, dengan rerata berada
pada usia 30 tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kejadian trauma
musculoskeletal khususnya pada ekstremitas sering dialami oleh lelaki yang berusia
produktif.
Pemberian analgetik merupakan prosedur standar pada post operasi ORIF. Penggunaan
analgesik untuk mengatasi nyeri pasca pembedahan merupakan protokol yang
seharusnya (Good, et.al., 2005; Nilssons, 2008). Efek sementara dari pemberian
penghilang nyeri akan mengakibatkan banyak efek samping yang harus dipahami oleh
pemberi layanan manajemen nyeri, seperti sedasi, confuse, agitasi, peningkatan produksi
Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

71

asam-asam saluran cerna, yang justru menghambat proses penyembuhan luka, ambulasi
sampai dengan prolonged length of stay yang sangat berpengaruh terhadap effective cost
management dari pasien (Neal, 2002; Australian Acute Musculosceletal Pain Guidelines
Group, 2003; Peterson & Bredow, 2004; Nilssons, 2008).
Penurunan level nyeri yang cukup signifikan pada pemberian terapi music untuk nyeri
pasca operasi ORIF membuktikan bahwa terapi music efektif untuk menurunkan nyeri
post operasi ORIF. Terapi musik terbukti menurunkan tingkat nyeri lebih besar
dibandingkan yang hanya diberikan terapi standar pada pasien post operasi ORIF di
RSUDAM Propinsi Lampung (Novita, 2012). Sehingga terapi musik bisa digunakan
sebagai terapi komplementer komplementer pada pasien post operasi ORIF. Penurunan
nyeri ini membantu proses penyembuhan luka dan pemulihan kondisi umum, dan pasien
bisa memulai rehabilitasi sesegera mungkin. Efek samping dari penggunaan analgesik
juga bisa dikurangi karena pasien bisa direkomendasikan untuk mengurangi dosis
konsumsi analgesik. Hal ini akan membantu dalam pengurangan cost pasien dan
meningkatkan kepuasan pasien atas pelayanan keperawatan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori diatas dimana ada perbedaan yang signifikan
tingkat nyeri sebelum dan setelah diberikan terapi musik pada pasien post operasi ORIF
di ruang rawat inap RSUDAM Propinsi Lampung tahun 2012. Penurunan tingkat nyeri
ini bisa yang disebabkan oleh efek musik yang bersifat sedatif memberikan respon
berupa ketenangan emosional, relaksasi, denyut nadi, dan tekanan darah sistolik
menurun sehingga pasien mampu mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman yang
menyebabkan respon nyeri pun berkurang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Mitchell dan MacDonald (2006) bahwa terapi musik pada nyeri adalah distraksi pikiran
tentang nyeri, menurunkan kecemasan, menstimulasi ritme nafas lebih teratur,
menurunkan ketegangan tubuh, memberikan gambaran positif pada visual imagery,
relaksasi, dan memberikan mood yang positif.

Pada tahun 2006 di Rumah Sakit Orebro University Swedia, untuk pertama kalinya para
perawat mulai menggunakan musik sebagai salah satu acara di radio dengan
memperdengarkan lagu-lagu yang lembut dan rileks (Nilsson, 2009). Nilsson (2009)
mengemukakan bahwa terapi musik adalah intervensi keperawatan yang menggunakan
Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

manipulasi lingkungan dengan sumber pendukung stimulasi suara, dimana suara dari
musik yang bersifat relaksasi, manajemen distraksi. Musik dalam konteks keperawatan
bekerja sebagai audioanalgesia, audioanxiolytic, dan atau audiorelaxation.

Berdasarkan Middle Range Theory yang dikemukakan pakar teori keperawatan Marion
Good Pain: a balance between analgesia and side effect, partisipasi klien bersama
perawat untuk mencapai tujuan mengontrol nyeri dengan meminimalkan efek samping
analgetik akan meningkatkan kepuasan pasien, mengurangi biaya perawatan, dan
mempercepat lama hari rawat (Peterson & Bredow, 2004). Terapi musik adalah contoh
terapi modalitas keperawatan yang sangat dianjurkan untuk intervensi pada pasien post
operasi, dimana musik akan membantu pasien meningkatkan kemampuannya
untuk mengontrol gejala-gejala negative akibat nyeri pembedahan (Arslan, Ozer &
Ozyurt,
2007; Dunn, 2004; Engwall & Duppilis, 2009). Siedlecki dan Good (2006)
menyatakan bahwa mendengarkan musik telah menunjukkan efek positif yang
besar terhadap kualitas pelayanan keperawatan terutama untuk menurunkan nyeri,
kecemasan, dan dalam masa rehabilitasi. Intervensi ini sangat mudah, tidak mahal, non
invasif, bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.

Dalam praktik klinik terapi musik, sangat penting bagi perawat untuk memperhatikan
faktor-faktor yang bisa mempengaruhi respon individu terhadap musik. Hal yang tidak
bisa diabaikan adalah usia, jenis kelamin, tingkat keparahan penyakit, fungsi kognitif,
kesukaan jenis musik, kebiasaan, budaya, dan hal-hal pribadi lainnya dari pasien yang
terkait dengan terapi music (Campbell, 2006). Keunikan setiap pasien dalam berespon
terhadap intervensi terapi musik harus dipahami oleh perawat. Untuk itu, tidak
bisa selalu diasumsikan musik akan selalu memberi efek yang sempurna bagi semua
pasien, monitoring berkelanjutan sangat diperlukan (Nilsson, 2009). Penelitian tentang
terapi musik sebagai intervensi keperawatan harus terus dikembangkan di era
kesehatan modern saat ini dan masa mendatang.

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

BAB 5
ANALISIS PERAN PERAWAT SEBAGAI INOVATOR

Bab ini menguraikan pelaksanaan kegiatan inovasi yang dilakukan di Lantai 1


Gedung Prof Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta. Kegiatan dilakukan secara
kelompok oleh Chandra Bagus Ropyanto, Desak Dewi Suarse, dan Dian Novita
sebagai inovator. Inovasi yang dilakukan merupakan aplikasi Clinical Practice
Guidline (CPG) pada kasus pasca ORIF ekstremitas bawah.
5.1 Analisis Situasi
Permasalahan pasca pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri, perfusi
jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri (Bare &Smeltzer,
2006). Permasalahan pasca ORIF ekstremitas bawah memiliki karakteristik yang
berbeda tergantung pada area yang mengalami fraktur.
Fraktur pada ekstremitas bawah dapat menyebabkan ketidakberdayaan dan
ketergantungan yang besar karena tubuh bertumpu pada ekstremitas bawah untuk
bergerak. Dampak yang besar terhadap mobilisasi, aktivitas hidup, dan perawatan
diri memerlukan adaptasi terhadap situasi yang baru dan sulit (Kneale & Davis,
2005)
Karakteristik permasalahan yang berbeda pasca ORIF ekstremitas bawah
memerlukan manajemen asuhan keperawatan yang spesifik berdasarkan lokasi
fraktur. Manajemen asuhan keperawatan yang tepat adalah berdasarkan clinical
pathway. Clinical pathway merupakan rencana multidisiplin sebagai praktik klinik
terbaik pada kelompok pasien yang spesifik (Audimoolan, Nair, Gaikwad, Qing,
2005).
Manajemen asuhan keperawatan pasca ORIF ekstremitas bawah di GPS Lt.1
RSUP Fatmawati masih dilakukan berdasarkan rutinitas. Pendekatan berdasarkan
clinical pathway perlu dilakukan untuk meningkatkan pengembangan manajemen
asuhan keperawatan. CPG dapat dilakukan karena di RSUP Fatmawati sedang
dilakukan pengembangan Diagnostic Related Group (DRG).

73
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

74

5.1.1 Strength
Kekuatan yang dimiliki di GPS lantai 1 merupakan ruang khusus kasus ortopedi
sehingga dimana tenaga keperawatan sudah berpengalaman melakukan asuhan
keperawatan pada kasus bedah ortopedi dengan tingkat pendidikan adalah D-3
dan S1. Dampak yang didapatkan adalah kemampuan mengaplikasikan CPG lebih
cepat
5.1.2 Weakness
Kelemahan yang ditemukan adalah kolaborasi multidisiplin profesi belum optimal
karena terkendala beberapa hal. Dampak yang dirasakan saat aplikasi CPG
kemungkinan kurang optimal karena kewenangan.
5.1.3 Opportunities
RSUP Fatmawati sedang mengembangkan DRG yang sesuai dimana CPG
merupakan aplikasi dari DRG. Peluang yang didapat adalah adanya dukungan dari
pemangku kebijakan karena sesuai dengan pengembangan institusi.
5.1.4 Threath
Tuntutan terhadap pelayanan RSUP Fatmawati yang meningkat sebagai rumah
sakit rujukan pusat. Persaingan antar rumah sakit yang semakin meningkat.
5.2 Kegiatan Inovasi
5.2.1 Persiapan
Tahap pertama adalah analisa kebutuhan ruangan akan inovasi sesuai dengan
analisa SWOT. Persiapan selanjutnya adalah melakukan identifikasi kasus yang
akan dilakukan CPG. Hasil identifikasi didapatkan bahwa kasus yang akan
disusun CPG adalah pasca ORIF fraktur hip, femur, tibia dan fibula.
Studi literatur dilakukan untuk penyusunan CPG, yang terdiri dari outcome setiap
hari dan saat pasien pulang (discharge), dan intervensi keperawatan sesuai clinical
pathway. Intervensi keperawatan disesuaikan dengan permasalahan pada pasca
operasi seperti monitoring pasca operasi, integritas jaringan, resiko infeksi, nyeri,
eliminasi, dan aktivitas/latihan dengan rentang waktu yang telah ditentukan.

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

75

5.2.2 Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan melakukan sosialisasi program yang
dihadiri kepala instalasi, supervisor, kepala ruangan, wakil kepala ruangan, PN,
dan perawat pelaksana. Materi sosialisasi meliputi latar belakang perlunya CPG,
pengertian CPG, tujuan penggunaan CPG, serta aplikasi CPG.
Tahap selanjutnya adalah aplikasi CPG dalam asuhan keperawatan, dimana CPG
diinterprestasikan dalam asuhan keperawatan sesuai dengan permasalahan
keperawatan. Aplikasi dilakukan selama dua minggu. Tahap terakhir adalah
evaluasi aplikasi CPG yang meliputi evaluasi pasien berkaitan dengan
ketercapaian outcome, dan evaluasi diri perawat yang berkaitan dengan kesulitan,
hambatan, dan persepsi mengenai aplikasi CPG.
5.2.3 Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan kuisioner mengenai evaluasi diri dan evaluasi
pelaksanaan. Evaluasi diri terdiri dari 9 pertanyaan, sedangkan evaluasi
pelaksanaan terdiri dari 5 pertanyaan. Jawaban kuisioner menggunakan jawaban
dari tidak sesuai sampai sesuai dengan rentang skala 0 sampai 4. Evaluasi
dilakukan terhadap 14 orang perawat di GPS lantai 1 RSUP Fatmawati.
Hasil evaluasi diri menunjukan bahwa CPG memberikan dampak yang positif
terhadap perawat. Hasil evaluasi pernyataan mengenai penggunaan CPG
menunjukan bahwa perawat mengetahui penggunaan CPG dengan sebanyak 71%
perawat menyatakan pada skala 3. Evaluasi diri mengenai CPG mampu membantu
melakukan asuhan keperawatan menunjukan bahwa 57,1% perawat menyatakan
pada skala 3, sementara mengenai CPG mampu meningkatkan kemampuan
kualitas dan keberhasilan asuhan keperawatan 64,3% perawat menyatakan pada
skala 3. Evaluasi mengenai CPG mampu meningkatkan kemampuan perawat
dalam melakukan asuhan keperawatan dan kemampuan dalam berkolaborasi
dengan tim kesehatan lain 78,6% perawat menyatakan pada skala 3. Hasil evaluasi
menunjukan kesesuaian, tetapi pada beberapa pernyataan masih terdapat
kekurangan. Pernyataan mengenai kesulitan dalam mengaplikasikan CPG
menunjukan bahwa 50% perawat menjawab pada skala 2, dan mengenai

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

76

kesesuaian CPG dengan clinical pathway pasien 57,1% perawat menyatakan


dalam skala 2.
Hasil evaluasi pelaksanaan CPG menunjukan hasil yang bervariasi pada setiap
item pernyataan. Hasil evaluasi pernyataan mengenai implementasi asuhan
keperawatan sesuai CPG menunjukan 85,7%, pada skala 3, sementara penggunaan
CPG sesuai kasus 98% perawat menjawab pada skala 3, sementara untuk CPG
mampu meningkatkan kualitas asuhan keperawatan 71,4% perawat menyatakan
pada skala 3. Hasil evaluasi mengenai pernyataan CPG sesuai outcome kasus pada
pasien 50% perawat menyatakan pada skala 2, dan pernyataan mengenai lama hari
rawat CPG sesuai lama hari rawat pasien 71,4% perawat menjawab pada skala 2.
5.3 Pembahasan
Hasil evaluasi proyek inovasi CPG menunjukan hasil yang positif pada beberapa
aspek. Output dari penerapan CPG adalah peningkatan kemampuan perawat dan
kualitas pemberian asuhan keperawatan, karena manajemen asuhan keperawatan
yang tepat adalah berdasarkan clinical pathway. Clinical pathway merupakan
rencana multidisiplin sebagai praktik klinik terbaik pada kelompok pasien yang
spesifik (Audimoolan, Nair, Gaikwad, Qing, 2005).
Clinical practice guidline (CPG) merupakan produk dari clinical pathway, dimana
dalam melakukan asuhan keperawatan tidak berdasarkan rutinitas. Clinical
practice guidline indikasi spesifik yang dikembangkan berdasarkan literatur,
penelitian medis, dan klinik yang kompeten (Morris, Benetti, Marro, & Rosenthal,
2010).
Hasil evaluasi belum mendukung penerapan CPG mampu mempengaruhi lama
hari rawat pasien. Faktor lain yang berperan dan perlu ditingkatkan dalam aplikasi
CPG adalah kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain. Perawat masih
kesulitan untuk mengimplementasikan CPG karena keterbatasan tenaga. Clinical
pathway merupakan perangkat yang digunakan untuk mengkoordinasi perawatan
yang menetukan outcome sebagai antisipasi berdasarkan rentang waktu dengan
menggunakan sumberdaya yang tersedia (Audimoolan, Nair, Gaikwad, Qing,
2005). Pendekatan berdasarkan clincal pathway mampu mereduksi biaya dan

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

77

lama hari rawat pada perawatan akut berdasarkan outcome pasien (Morris,
Benetti, Marro, & Rosenthal, 2010). CPG merupakan derivat dari DRG sebagai
prospektif rencana pembayaran yang didefinisikan sebagai jumlah yang spesifik
mengenai lama hari rawat pasien berdasarkan prosedur spesifik (Morris, Benetti,
Marro, & Rosenthal, 2010).
Manajemen asuhan keperawatan pasca ORIF ekstremitas bawah di GPS Lt.1
RSUP Fatmawati masih dilakukan berdasarkan rutinitas. Pendekatan berdasarkan
clinical pathway perlu dilakukan untuk meningkatkan pengembangan manajemen
asuhan keperawatan dan didukung hasil penelitian yang menunjukan CPG
memberikan dampak yang berarti terhadap pasien. CPG dapat dilakukan karena di
RSUP Fatmawati sedang dilakukan pengembangan Diagnostic Related Group
(DRG). Penelitian oleh Morris, Benetti, Marro, dan Rosenthal (2010) dilakukan
pada pasien primary hip replacement, knee replacement, dan hip resurfacking
dengan jumlah responden sebanyak 14 untuk pre CPG dan 30 untuk post CPG.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan aplikasi CPG pasien mampu
mobilisasi 6 jam setelah tranfer dari PACU, ambulasi 16 jam setelah transfer dari
PACU, mereduksi lama hari rawat dari 4,3 hari menjadi 2,8 hari. Nyeri pasien saat
aplikasi CPG adalah 3,3 dibandingkan yang tidak dilakukan CPG yaitu 4,7.

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
1. Pemberian asuhan keperawatan secara professional pada pasien gangguan
system musculoskeletal perlu didasarkan atas pemahaman anatomi, fisiologi,
patofisiologi, penatalaksanaan keperawatan yang memadai, teori keperawatan
yang mendukung sebagai dasar asuhan keperawatan dan hasil riset yang dapat
dijadikan dasar yang kuat dalam pelaksanaan praktek klinik keperawatan.
Konsep Orem merupakan salah satu model yang menekankan pada kemampuan
individu untuk membantu kebutuhan self care, secara efektif dapat digunakan
sebagai dasar filosofi dan kerangka berfikir dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien gangguan system musculoskeletal.
2. Pengembangan peran perawat sebagai innovator dan pendidik bermanfaat untuk
memperbaiki

system

pelayanan

kesehatan,

praktek

pemberian

asuhan

keperawatan serta promosi kesehatan pada pasien, dan keluarga.


3. Praktek keperawatan yang berbasis pembuktian ilmiah, yaitu penanganan nyeri
pada pasien gangguan musculoskeletal dengan menggunakan terapi music.
Penerapan praktik berbasis pembuktian ini terbukti dapat member dampak bagi
pasien sebagai penerima asuhan keperawatan dan efektif untuk dilaksanakan
oleh perawat dalam praktek keperawatan.
6.2 Saran
1. Diperlukan penelitian dan metodologi yang memadai untuk mengevaluasi sejauh
mana penerapan model Orem Self Care Deficit digunakan dalam pemberi
asuhan keperawatan pada pasien gangguan system musculoskeletal.
2. Untuk menjadi seorang ners spesialis keperawatan medical bedah peminatan
system musculoskeletal, diperlukan pengembangan diri secara terus menerus
berkelanjutan agar dapat menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan
keperawatan, peneliti, pendidik, dan innovator.

Universitas Indonesia
78
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

79

3. Manajemen asuhan keperawatan yang sekarang ada dan dijalankan di ruang


ortopedi dan ruang rehabilitasi RSUP Fatmawati Jakarta perlu dipertahankan
dan ditingkatkan lebih lengkap, sistematik, agar tujuan yang diharapkan dapat
dicapai efektif dan efisien.
4. Praktik keperawatan professional yang melibatkan ners spesialis membutuhkan
dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada, dukungan organisasi
profesi,

praktek

keperawatan berkelanjutan

dan perlindungan perawat

berdasarkan undang-undang praktek.

Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

80

DAFTAR PUSTAKA
Aisudione, O., & Shadrac, H. (2010). Acute Trauma and Preoperative Pain.
(http://www.iasp.pain.org/AM/template, diperoleh tanggal 18 Januari 2013).
Andrzej, W., M. (2009). Stimulation methods in music therapy: Short discussion
towards the bio-cybernetic aspect. Journal of Medical Informatics and
Technologies, 13, 255-258.
American Music Therapy Association. (2008). Music therapy mental health evidence
based practice support.
(http://www.music_therapy.org/factsheet/b.b.psychopathology.pdf,
dipeoleh
tanggal 24 Januari 2012).
Amrizal (2007) Trauma pada Kecelakaan Lalu Lintas, (http://penjelajahwaktu.com ,
diperoleh pada tanggal 23 Februari 2013).
Antall, G.F., & Kresevic, D. (2004). The use of guided imagery to manage pain in an
elderly orthopaedic population. Orthopaedic Nursing, 23 (5), 335-341.
(www.nursingcenter.com/ORNurseWeek, diperoleh tanggal 12 Januari 2013).
Apley, A.G., & Solomon, L. (1995). Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Alih Bahasa :
Edi Nugroho. Edisi Ke-7. Jakarta : Widya Medika.
Arslan, S., Ozer, N.,& Ozyurt, F. (2007). Effect of music on preoperative anxiety in me
during undergoing urogenital surgery. Australian Journal of Advanced Nursing,
26 (2), 46-54.
Australian Acute Musculosceletal Pain Guidelines Group (2003). Evidence Based :
Management of Acute Musculoskeletal Pain. Brisbane : Australian Academic
Press Pty.Ltd.
Bally, K., Campbell, D., Chesnick, K., & Tranmer, J. (2003). Effect of patientcontrolled music therapy during coronary angiography on procedural pain and
anxiety distress syndrome. American Assosociation of Critical-Care Nurses
Journal,23,50-57.
(http://ccn.aacnjournals.org/cgi/external_ref?link_type=PERMISSIONDIRECT,
diperoleh tanggal 2 Maret 2013).
Brunelli, C., Zecca, E., Martini, C., Campa, T., Fagnoni, E., Bagnasco, M., Lanata, L.,
Caraceni, A. (2010). Comparasion of numerical and verbal rating scales to
measure pain exacerbations in patients with chronic cancer pain. BioMed
Central, 42, 1-8.
Brotzman, S.B. (1996). Clinical Orthopaedic Rehabilitation. 3rd Ed. St. Louis : Mosby.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

81

Berman, B.M., & Bausell, R.B. (2000). The Use of nonpharmacological therapies by
pain specialist. Pain, 85, 313-315. (www.iasp.org, diperoleh tanggal 12 Mei
2013).
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2009). Medical-Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes. (8th ed.). St. Louis: Elsevier.
Campbell, D. (2006). Music : Physician For Times to Come. 3rd Edition. Wheaton :
Quest Books.
Chang, F., Ritchie, E., & Su, J. (1997). Postoperative pain in ambulatory after surgery.
Anesthesia Analgesia, 85, 808-816 (www.anesthesiaanalgesia.org, diperoleh
tanggal 12 Januari 2013).
Chelly, J.E., Ben-David, B., Williams, B.A., & Kentor, M.L. (2003). Anesthesia and
post operative analgesia outcomes following orthopaedic surgery.
Orthopaedics, 26 (8), 865-871. (www.orthobluejournal.com, diperoleh tanggal
12 Mei 2012).
Chiang, L (2012). The effect of music and nature sounds on cancer pain and anxiety in
hospice cancer patients. Frances Payne Bolton School of Nursing Case Western
Reserve University, (unpublished dissertation paper).
Chung, G., Ritchie, E., & Su, J. (1997). Postoperative pain in ambulatory surgery.
Anesthesia and Analgesia, 85, 808-816.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Terapi Tulang.
(http://www.depkes.go.id/images/themes/theme_dreams/ peroleh Tanggal 12
Januari 2013)
Dunn, K. (2004). Music and The Reduction of Post-operative Pain. Nursing Standard.
18 (36), 33-39.
Engwall, M., & Duppils, G.S., (2009). Music as nursing intervention for postoperative
pain : a systematic review. Journal of PeriAnesthesia Nursing, 24 (6), 370-383.
(www.jopan.com/10.1016/j.jopan.2009.10.013. diperoleh tanggal 14 januari
2013).
Finnerty, R. (2001). Music Therapy as an Intervention for Pain Perception.
Anglia Ruskin University Cambridge, England. (Unpublished thesis paper).
Good, M., Anderson, G.C., Ahn, S., Cong, X., 7 Stanton-Hicks, M., (2005). Relaxation
and music reduce pain following intestinal surgery. Research In Nursing and
Health, 28, 240-251.
Gordon, D.B., Pellino, T.A., Miaskowski, C., McNeil, J.A., Paije, J.A., Laferriere, D.,
et.al., (2002). A 10 year review of quality improvement monitoring in pain
management: Reccomendation for standardized outcome measure. Pain

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

82

Management Nursing, 3 (4), 116-130. (www.nursingcenter.com, diperoleh


tanggal 18 Januari 2012).
Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2008). Fisiologi Kedokteran. Edisi 11, Alih bahasa : Irawati
et al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Heather, S. (2010). The healing power of sound : the latest research related to health
and music therapy.
(www.tlfi.com/2010/06/the-latest-research--related-to-health-and-music.pdf,
diperoleh tanggal 4 Maret 2013)
Helmi, Z.N. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Hoeman, S. P. (1996). Rehabilitation Nursing : Process and Application. 2nd Edition.
St. Louis : Mosby-Year Book.
Hoppenfeld, S., & Murthy, V.L. (2011). Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Alih Bahasa :
A.A. Mahode, et.al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Horlocker, T.T. (2006). Pain management in total joint arthroplasty : A historical
review. Orthopedics. 14 (30, 126-135. (www.ORTHOsupersite.com, diperoleh
tanggal 12 Januari 2012).
Huss, A. (2007). The relationship between music therapy and post operative pain
management. Music is an analgesic : Health and Psychology Home Page
(http://healthpsych.psy.vanderbilt.edu/Web2007/MusicPain.htm, diperoleh pada
tanggal 20 Februari 2013)
Jablonski, A., & Ersek, M. (2009). Nursing home staff adherence to evidence based pain
management practices. Journal of Gerontological Nursing, 35 (7), 28-35.
(www.JOGNonline.com, diperoleh tanggal 18 Januari 2012).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011). Profil Kesehatan Indonesia 2010.
(http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESIA_2
010.pdf , diperoleh pada tanggal 19 Januari 2013)
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2010). Fundamentals of Nursing,
Concepts, Process, and Practice. (8th ed.), California: Addison-Wesley.
Liu, Y., Chang, M., & Chen, C. (2010). Effects of music therapy on labour pain and
anxiety in Taiwannese first time mother. Journal of Clinical Nursing, 19, 10651072. (www.jcn.com/10.111/j.1365-2702.2010.03260, diperoleh tanggal 18
Januari 2013).
Limb, C. (2006). Structural and Functional Neural Correlates of Music Perception.
The Anatomical Record Part A, 288, 435-446.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

83

Macintyre, P.E., Scott, D.A., Scug, S.A., Visser, E.J., 7 Walker, S.M. (2010). Acute
pain Management : Scietific Evidence. 3rd Edition. Melbourne : ANZCA &
FPM.
McCaffery, M., & Beebe, A. (1993). Pain : Clinical Manual or Nursing Practice.
Baltimore : V.V Mosby Company. (www.rehabmeasure.org, diperoleh tanggal
2 Maret 2013).
Maher, A.B., Salmond, S.W., & Pellino, T.A. (2002). Orthopaedic Nursing. 3rd Edition
. Philadelphia : W.B Saunders Company.
Mardiono, 2010. Teknik Distraksi.( www.qittun.com. Posted by Qittun on Wednesday,
October 29, 2008, diperoleh pada Tanggal 20 Februari 2013)
Mitchell, L.A., MacDonald, R.A.R., Knussen, C. (2007). A survey investigation of the
effect of music listening on chronic pain. Society for Education music and
psychology research, 35 (1), 37-57.
Munro, B., Creamer, A., Haggerty, M., & Cooper, F., (1988). Effect of relaxation
therapy on post myocardial infarction patients rehabilitation. Nursing
Research, 37, 231-235.
Nilsson, U. (2009). Caring Music : Music Intervention For Improved Health.
(www.orebroll.se/uso/page_2436.aspx, diperoleh tanggal 2 Maret 2013).
Nilsson, U. (2009). Soothing music can increase oxytocin level during bed rest after
open-heart surgery : A Randomised Control Trial. Journal of Clinical Nursing,
18, 2153-2161.
Nilsson, U. (2008). The anxiety and pain reducing effects of music interventions :
A systematic review. AORN Journal, 87, 780-807.
Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian. Jakarta: Salemba Medika
Pasero, C., & McCaffery, M. (2007). Orthopaedic post operative pain management.
Journal of Peri Anesthesia Nursing, 22 (3), 160-174. (www.jpan.org, diperoleh
tanggal 24 Januari 2013).
Pellino, T., Willens, J.S., Polomano, R.C., & Heye, M.L. (2003). The American Society
of Pain Management Nurses Role-Delineation Study (National Association of
Orthopaedic Nurses respondent). Orthopaedic Nursing, 22 (4), 289-297,
(www.orthonurs.com, diperoleh tanggal 18 Januari 2012).
Peterson, S.J., & Bredow, T.S. (2004). Middle Range Theories. Application to Nursing
Research. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

84

Pollit, D., & Hungler, B. P. (1999). Nursing Research: Principles and Methods.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006). Fundamental of Nursing : Concepts, Process and
Practice. Edisi 4. Alih Bahasa : Renata, K et al. Jakarta : EGC.
Pullido, P., Hardwick, M.E., Munro, M., May, L., & Dupies-Rosa, D. (2010). Patient
speak out : Development of evidence based model for managing orthopaedic.
Orthopaedic Nursing, March/April (29), 92-98. (www.orthopaedicnursing.com,
diperoleh tanggal 12 Januari 2013).
Ramlall, Y., Archibald, D., Pereira, S.J.R., & Ramlall, S., (2010). Post discharge pain
management following elective primary total hip and total knee arthroplasty on
patients discharged to home on POD 5 or earlier from an acute facility.
International Journal of Orthopaedic and Trauma Nursing, 14, 185-192.
(www.elsevier.com/locate/ijotn, diperoleh tanggal 18 Januari 2013)
Rasjad, C (1998). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Cetakan Ke-5. Jakarta :
Yarsif Watampone.
Rospond, R.M. (2008). Pain Assessment. Consult Pharm, 8, 133-163.
Rowlingson, J.C. (2009). Acute Pain Management Revisited. Anesthesiology, 88,
595-603
Sabri, L., & Hastono, S.P. (2007). Modul Biostatistik Kesehatan. Jakarta: FKM-UI.
Salter. R., (1999). Textbook of Disorder and Injures of The Musculosceletal System.
3rd Edition. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.
Schou, K., (2008). Music Therapy for Post Operative Cardiac Patients : A Randomized
Contro Trial Evaluating Guided Relaxation with Music and Music Listening on
Anxiety, pain, and Mood. Aalborg University. (Unpublished dissertation paper).
Sendelbach, S.E., halm, M.A., Doran, K.A., Miller, E.H., & Gaillard, P. (2006). Effect
of music therapy on physiological and psychological outcomes for patients
undergoing cardiac surgery. Journal of Cardiovascular Nursing, 21, 194-200.
Singh, J.A., Gabriel, S., & Lewallen, D. (2008). The impact of gender, age, and
preoperative pain on pain severity after Total Knee Arthrolasty. Clinical
Orthopaedics and Related Research, 466 (11), 2717-2723.
Sjamsuhidayat, R., & Jong, W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2, Jakarta : EGC.
Sjostorm, B., Dahlgren L.O., & Haljamae, H. (2000). Strategies used in post operative
pain assessment and their clinically accuracy. Journal of Clinical Nursing, 9
(1), 111-118. (www.jcn.org/subscriptions/, diperoleh tanggal 18 Januari 2013)

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

85

Strong, J., Unruh, A.M., Wright, A., & Baxter G.D. (2002). Pain : A Textbook For
Therapist. Edinburg : Churchill Livingstone.
Suryana, (2010). Info Produk. (www.hexpharmjaya.com diperoleh pada tanggal 12
Februari 2013).
Tamsuri, A. (2007). Konsep Dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC
Thomson National Initiative on Pain Control (2011). Pain Assessment Scales.
(www.painedu.org/download/NIPC/painassessmentscales.pdf, diperoleh tanggal
2 Maret 2013).
Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2006). Nursing Theorists and their Work. 6th
Edition. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc.
Tusek, D., Church, J.M., & Fazio, V.W., (1997). Guided imagery as a coping strategy
for perioperative patients. AORN Journal, 66, 644-649. (www.aornjournals.org,
diperoleh pada tanggal 18 Januari 2013).
Wigram, A., L. (2002). The effects of vibroacoustic therapy on clinical and non-clinical
population. St. Georges Hospital Medical School London University.
(unpublished dissertation paper)

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Universitas Indonesia

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 1
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn.T, usia 80 tahun, Duda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan),
Pensiunan PNS, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Jawa, masuk RS
tanggal 1 Oktober 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis neglected column
femur sinistra. Riwayat jatuh dari tangga 4 bulan yang lalu. Nyeri di kaki
kiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta dan
disarankan untuk operasi, tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat ke
alternative. Karena tidak ada perbaikan, kemudian keluarga membawa pasien
ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan
untuk operasi Total Hip Replacement (THR). Operasi dilakukan pada
tanggal 3 Oktober 2012.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555, selisih panjang
kaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Usia 80 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan
bantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakan
bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu
berpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),
fleksi hip tidak lebih dari 70 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakan
untuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihan
keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu
berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
Tn.T dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan
lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.
Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kirti, duduk ditempat tidur,
berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selain
itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6, pasien
pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan
dengan menggunakan walker dalam jarak 15 meter dengan pengawasan
tanpa dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisis
Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)
mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi
biaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 2
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn. D (66 tahun), duda satu anak perempuan. Pekerjaan wiraswasta.


Penddidikan Universitas, agama Islam, suku Padang. Masuk RS tanggal 8
Oktober 2012. Pada tanggal 5 Oktober 2012 pasien mengalami kecelakaan
dalam perjalanan menuju Lampung dan sempat di rawat di RS Umum
Daerah di Lampung. Penatalaksanaan di RS lampung adalah dengan
pembersihan luka dan hecting VL di cruris sepanjang 7 cm. kemudian pasien
dibawa pulang ke Jakarta dan dirawat di RSUP Fatmawati. Diagnosa medis
Fr. Subtrochanter Femur Dekstra. Pasien direncanakan akan dilakukan
operasi ORIF Dynamic Hip Screwt (DHS) pada tanggal 10 Oktober 2012.
Look : deformitas (+), edema (+), shorthening (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), edema (+), NVD +/+
Move : Ki (free), Ka (limitation)
Usia 66 tahun merupakan fase perkembangan dewasa lanjut. Pada hari
pertama sampai hari ketiga setelah operasi pasien mengalami penurunan Hb
(9,0 gr%). Keadaan umum oasien tampak sedikit lemah, kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan di tempat tidur, membutuhkan
bantuan tolietting, BAK dan BAB menggunakan bed pan, mandi dibantu,
tidak mampu berganti posisi, berpindah tidak lebih dari 90 derajat. Pasien
tidak mengetahui latihan pergerakan untuk menggunakan walker, latihan
pergerakan, penguatan otot tangan, latihan keseimbangan, pasien perlu
bantuan dalam penggunaan alat bantu berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien disiapkan untuk segera mandiri bertahap dengan
supportive educative pada keluarga yang membantu memenuhi kebutuhan
pasien. Anak perempuan pasien sebagai care giver diajarkan dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dan menggunakan walker di rumah.
Manajemen keperawatan/kolaboratif meliputi : memberikan transfuse sesuai
dengan hasil kolaborasi, monitor Hb dan vital sign, motivasi untuk
meningkatkan asupan nutrisi, terapi distraksi/relaksasi , latihan rentang gerak
sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan lengan atas, mengatur posisi
kaki lateral abduksi saat tidur, merawat luka, mengajarkan pasien latihan
mobilisasi miring ke kanan, duduk di tempat tidur, duduk dengan kaki
menjuntai di pinggir tempat tidur, berdiri, latihan keseimbangan, berjalan
menggunakan walker, secara bertahap, memberikan terapi medis sesuai
program. Setelah hari ke sepuluh pasien pulang dengan kondisi : luka insisi
tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan dengan menggunakan
walker dengan jarak 10 meter dengan pengawasan tanpa bantuan.
Kasus ini memperlihatkan dengan system keperawatan partially
compensatory diperlukan untuk Tn. A agak panjang karena adanya
penurunan Hb dan asupan nutrisi yang kurang. Sistem keperawatan
supportive educative memungkinkan pasien agar lebih mandiri, dan anggota
keluarga dapat merawat pasien di rumah. Berdasarkan analisis Orem, self
care mendukung perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 3
Deskripsi Pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Tn. SI (26 tahun), agama Islam. Pendidikan SMA, karyawan swasta, suku
Jawa. Masuk IGD RSF pada tanggal 11 Oktober 2012 jam 11.00 WIB.
Pasien di diagnose mengalami fr. Shaft femur tertutup dekstra dan fr. Tibia
dekstra terbuka grade II. Riwayat 1 jam SMRS pasien akan berangkat
menuju tempat bekerja dengan mengendarai sepeda motor. Kejadian sekitar
jam 06.30 WIB, kemudian pasien mengalami kecelakaan, ditabrak mobil
dari sebelah kanan. Keluhan yang dirasa pasien tungkai kanan susah
digerakkan dan sakit. Tampak perdarahan pada fraktur yang terbuka.
Bengkak pada paha. Saat terjadi kecelakaan, pasien ditolong orang dan
membawanya ke RSPP. Di RSPP dilakukan pembebatan untuk mengatasi
perdarahan. Tidak dilakukan tindakan yang lainnya. Karena paha pasien
semakin bengkak, maka pasien memutuskan untuk dipindah ke RS
Fatmawati. Jam 11.00 WIB pasien tiba di IGD, sementara paha pasien
bertambah bengkak. Setelah dilakukan pemeriksaan, kemudian dilakukan
reposisi, bengkak pada femur berkurang. Pukul 23.00 WIB dilakukan operasi
yaitu debridement dan ORIF pada femur dan tibia pasien. Kemudian pasien
masuk ke ruangan jam 5.30 WIB. Pasca ORIF dan debridement, pasien
terpasang backslab dan dibalut elastic verband, tampak rembesan darah pada
balutan luka operasi, pasien memerlukan tambahan oksigen nasal, eliminasi
terpasang kateter urine deformitas pada shaft femur, fraktur femur belum
distabilisasi, dan penambahan cairan intra vena 1500 ml/hari. Operasi ke 2
dilaksanakan setelah 11 hari dirawat yaitu pada tanggal 22 Oktober 2012
dengan pemasangan broad plate 10 hole pada shaft femur dekstra.
Usia dewasa, masa produktif, dan hampir seluruh pemenuhan kebutuhan
dilakukan oleh perawat, pasien mengalami keterbatasan, imobilisasi pada
multiple fraktur. Developmental self care requisites dan health deviation self
care requisites menjadi tanggung jawab perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien dengan wholly
compensatory karena pasien memerlukan bantuan penuh dari perawat dan
keluarga. Partially compensatory diberikan setelah keadaan pasien dilakukan
stabilisasi pada shaft femur. Pasien disiapkan untuk segera mandiri secara
bertahap dengan supportive educative pada keluarga yang membantu
memenuhi kebutuhan pasien, kakak pasien sebagai care giver diajarkan
dalam pemenuhan kebutuhan ADL.
Wholly compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
Tn.SI dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi dan manajemen
keperawatan dan kolaboratif yaitu : menempatkan pasien pada tempat tidur
ortopedi, mempertahankan dan mengatur posisi elevasi kaki yang terpasang
backslab, melatih distraksi dan relaksasi. Perawat juga mengobservasi status
neurovaskuler perifer, merawat luka, membantu kebutuhan ADL pasien.
Perawat juga mengajarkan pasien untuk latihan rentang gerak (isometric,
isotonis, penguatan otot bahu dan tangan) sesuai kemampuan pasien. Pasien
diajarkan latihan mobilisasi miring ke kanan, melatih kekuatan otot tangan,
duduk di tempat tidur, duduk dengan kaki menggantung di tepi tempat tidur,
latihan keseimbangan, latihan transfer, berdiri dan berjalan di menggunakan
kruk secara bertahap. Dan juga pemberian terapi sesuai program. Setelah
minggu ke empat pasien pulang dengan kondisi : luka operasi tidak terdapat
tanda infeksi, pasien mampu menggunakan kruk dan pasien mampu berjalan
dengan menggunakan kruk tanpa bantuan.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Conclusion

Kasus ini memperlihatkan dengan system keperawatan wholly compensatory


diperlukan untuk Tn.SI, dimana semua kebutuhan dibantu oleh perawat.
Sejalan dengan system keperawatan yang diberikan kepada pasien dapat
dievaluasi pada setiap tahapan maka pasien akan berubah kebutuhan
keperawatannya secara bertahap sesuai dengan kemampuan perkembangan
kemampuan pasien. Dan diharapkan saat pasien diijinkan rawat jalan, system
keperawatan pasien berada pada tahap supportive educative.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 4
Deskripsi Pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn. BU (30 tahun), agama Islam, pendidikan perguruan tinggi, belum


menikah. Pasien dirawat karena mengalami multiple fraktur, ketika pasien
mengendarai motor mengalami tabrakan motor pada tanggal 22 Oktober 2012
pukul 23.00 WIB. Pasien tidak mampu mengingat kejadian yang menimpa
pasien. Pasien dibawa ke RSUP Fatmawati Jakarta oleh polisi. Di IGD RSF
dilakukan pemerikasaan fisik, pemeriksaan lab dan radiologi. Dari hasil
pemeriksaan pasien memngalami multiple fraktur. Diagnosa yang ditegakkan
adalah Fraktur tertutup femur 1/3 tengah dekstra dan fraktur terbuka
gr.II tibia 1/3 proksimal dekstra. Pasien dipasang skin traksi dengan beban
6 kg, terdapat luka dijahit di area orbital sinistra, pasien tampak gelisah,
pasien masuk ke ruangan Lantai 1 GPS pada pagi harinya.
Pada usia dewasa, pasien berada pada rentang usia produktif, semua
pemenuhan kebutuhan perawatan dilakukan oleh perawat. Pasien mengalami
keterbatasan, imobilisasi pada multiple fraktur. Developmental self care
requisites dan health deviation self care requisites menjadi tanggung jawab
perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien wholly
compensatory karena pasien memerlukan bantuan penuh dari perawat dan
keluarga. Partially compensatory diberikan setelah keadaan pasien dilakukan
stabilisasi pada femur dan tibia pasien. Pasien disiapkan untuk mandiri secara
bertahap dengan supportive educative pada keluarga yang membantu
memenuhi kebutuhan pasien.
Wholly compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan Tn.BU.
Supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan aspek
keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi manajemen keperawatan
dan kolaboratif, yaitu : menempatkan pasien pada tempat tidur ortopedi,
mempertahankan dan mengatur posisi kaki yang terpasang skin traksi.
Perawat juga mengobservasi neurovascular, perifer terutama pada tungkai
yang terpasang skin traksi, merawat luka, membantu memenuhi ADL pasien,
mengajarkan pasien latihan rentang gerak sesuai kemampuan pasien. Perawat
menyiapkan fisik dan mental pasien untuk operasi, mengajarkan pasien
mobilisasi. Setelah hari ke tujuh, pasien diperbolehkan rawat jalan.
Pada kasus ini memperlihatkan dengan system wholly compensatory
diperlukan oleh Tn. BU dengan dievaluasi secara bertahap dan
meningkatkannya pada level berikutnya yaitu partially compensatory. Sistem
keperawatan supportive educative memungkinkan pasien lebih mandiri, dan
anggota keluarga dapat merawat pasien di rumah. Berdasarkan analisis Orem
SCDNT mendukung penuh perawatan di rumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan mempertahankan serta meningkatkan kemampuan
pasien sehingga pasien dapat pulih secara sempurna.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 5
Deskripsi Pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Ny. M (56 Tahun), Agama Islam, Pendidikan Universitas, PNS, suku


Lampung. Pasien datang dengan keluhan nyeri pada daerah sendi lutut kiri,
menyebar ke atas sekitar paha dan pinggul, susah digerakkan dan sakit.
Look : edema (+), deformitas (+)
Feel : nyeri (+), edema (+), krepitasi (-)
Move : limited (susah ditekuk)
Pasien selama ini berobat di Lampung hanya diberi obat anti bengkak dan
anti nyeri. Pasien mencari tahu sendiri tentang tindakan Total Knee
Arthroplasty (TKA). Pasien masuk pada tanggal 21 November 2012 dengan
diagnose Osteoarthritis genue sinistra (Pro TKA). Seluruh pesiapan operasi
sudah dilakukan di rumah.Pasien direncanakan operasi pada tanggal 22
November 2012. Hari pertama operasi pasien mengeluh pusing dan mual
muntah. Pasien mengalami penurunan nilai Hb (9,2 gr%). Hasil kolaborasi
yaitu pemberian transfuse darah PRC dan mendapat terapi anti emetic. Pada
hari kedua pasien dipasang CPM (Continous Passive Motion)
Pada usia ini merupakan fase dewasa lanjut untuk pasien. Pasien mengalami
penurunan nilai Hb pada hari pertama sampai dengan hari ketiga. Keadaan
umum sedikit lemah, kemampuan, kemampuan pasien terbatas, aktifitas
perawatan diri dilakukan di tempat tidur, membutuhkan bantuan untuk
aktifitas eliminasi. Mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi ataupu
berpindah tempat. Posisi kaki fleksi knee dengan CPM 50 derajat. Pasien
mengatakan tidak mengetahui latihan pergerakan untuk mempersiapkan
berjalan menggunakan walker, latihan pergerakan, penguatan otot tangan,
latihan keseimbangan. Pasien perlu bantuan dalam penggunaan alat bantu
berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien disiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive educative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Anak kedua pasien sebagai care giver diajarkan dalam
pemenuhan kebutuhan ADL.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
Ny. M. Supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi manajemen
keperawatan mandiri dan kolaboratif yaitu : memberikan transfusi darah
sesuai hasil kolabrasi, monitoring Hb dan vital sign, memotivasi pasien
untuk meningkatkan intake nutrisi, terapi distraksi untuk nyeri, pemenuhan
kebutuhan asupan cairan, perawatan luka, latihan rentang gerak sendi, ankle
pump, penguatan otot bahu dan lengan atas, mengatur posisi kaki abduksi
saat tidur, mengajarkan pasien duduk di tempat tidur dan latihan berdiri.
Perawat juga melatih keseimbangan dan transfer menggunakan walker.
Pemberian terapi medis sesuai program juga diberikan. Setelah hari ke tujuh,
pasien diijinkan pulang dengan kondisi luka tidak terdapat tanda-tanda
infeksi, mampu berjalan dengan walker sejauh 10 meter tanpa dibantu.
Kasus ini memperlihatkan bahwa dengan system keperawatan partially
compensatory diperlukan untuk Ny. M agak lebih lama karena adanya
penurunan Hb dan asupan nutrisi yang kurang sehingga pasien menglami
ketergantungan agak lebih lama terhadap asuhan keperawatan. Sistem
keperawatan supportive educative memungkinkan pasien lebih mandiri dan
anggota keluarga dapat merawat pasien di rumah dan pasien terhindar dari
komplikasi post operasi.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 6
Deskripsi Pasien

Tn. SAR (45 tahun), suku Sunda, agama Islam. Pasien masuk ke poli
ortopedi tanggal 18 Oktober 2012, karena telah 1 tahun pasien merasakan
nyeri di pinggang, nyeri bila dipakai berjalan. Kemudian timbul benjolan
di tulang belakang, pasien merasa nyeri bertambah jika berjalan. Pasien
mengatakan tidak nyeri jika berganti posisi saat terlentang. Riwayat
penyakit hipertensi tidak terkontrol (TD 160/90 mmHg). Pasien masih
dapat merasakan sensasi rasa dan raba. Pasien masih dapat menggerakkan
tungkai bawah, tetapi mengeluh nyeri saat berjalan. Kebutuhan ADL
pasien dibantu sebagian. Kekuatan otot ektremitas inferior tidak lebih dari
nilai 4. Pasien mendapatkan terapi OAT sejak tanggal 12 September 2012.
Hasil pemeriksaan lumbosakral tanggal 29 Agustus 2012 adalah kesan
tampak kompresi thoracal 12, dan vertebrae thorakalis : tampak corpus
thorakal 12 lebih pipih tidak tampak formation litotesis. Diagnosa medis
Spondilitis TB Thorakal 12 Lumbal 1. Pasien direncanakan operasi
pemasangan PSSW. Terapi OAT dilanjutkan, imobilisasi untuk punggung.
Pasien sementara tidak diijinkan untuk turun dari tempat tidur. Pasien
mendapatkan terapi hipertensi, bed rest, mobilisasi dengan brace, aktifitas
perawatan diri dibantu, pasien pulang setelah 20 hari dirawat
Self care limitation Pasien berada pada rentang usia produktif tetapi pasien tidak mampu
melakukan aktifitasnya tanpa dibantu. Keterbatasannya menyebabkan
atau self care
aktifitas diri dilakukan di tempat tidur. Pasien membutuhkan bantuan
deficit
untuk toileting. Aktifitas mandi, berganti posisi dan berpindah tempat
dengan dibantu. Pasien tidak mengetahui bahaya bila pergerakan pada
punggungnya salah. Pasien juga tidak mengetahui latihan pergerakan
seperti apa untuk nyeri punggung belakang. Pasien dipersiapkan untuk
menggunakan brace. Latihan mobilisasi dan rentang gerak juga diperlukan
oleh pasien. Pasien juga diedukasi tentang pentingnya pencegahan infeksi,
pentingnya penguatan otot ekstremitas, latihan keseimbangan.
Type of nursing
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah
system
partially compensatory dan supportive educative pada keluarga yang
membatu memenuhi kebutuhan dasar pasien. Istri pasien sebagi care giver
diajarkan untuk membantu memenuhi kebutuhan ADL pasien. Perawat
juga memberikan edukasi pada keluarga tentang pencegahan infeksi.
Technological
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
dimension
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang
merupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputi
manajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu melakukan pengkajian
nyeri dan memberikan manajemen nyeri baik farmakologi maupun
nonfarmakologi. Perawat juga menjadi advokat bagi pasien saat tim
Rehabilitasi Medik memasangkan brace, dimana perawat memastikan
pasien merasa nyaman dan terbebas dari risiko injury. Perawat juga
mengajarkan dan mengkonsultasikan bila terjadi gangguan neuromuscular,
melatih ROM aktif dan pasif.
Conclusion
Pada kasus ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kebutuhan pasien
berada pada level partially compensatory, system keperawatan supportive
educative memungkinkan pasien lebiih mandiri, dan anggota keluarga
dapat melakukan perawatan intensif dirumah serta untuk mencegah
penularan infeksi terhadap anggota keluarga lain. Berdasarkan analisis self
care Orem, perawatan di rumah dengan orang-orang terdekat pasien dan
memodifikasi lingkungan keluarga akan meningkatkan kualitas pasien
pada usia produktif.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 7
Deskripsi Pasien

Ny. S (56 tahun), agama Islam, pendidikan terakhir SMP. Pekerjaan adalah
seorang IRT. Status marital telah menikah dengan 4 orang anak dan 8
orang cucu. Pasien masuk RS pada 12 November 2012 melalui poliklinik
ortopedi. Keluhan pasien adalah nyeri pada punggung belakang. Nyeri
dirasakan menjalar ke kaki kanan. Keluhan BAB dan BAK tidak ada.
Paisen disarankan untuk operasi, tetapi pasien belum berani untuk operasi.
Pasien hanya minumobat penghilang rasa nyeri. Setelah satu bulan,
keluhan dirasakan tidak berkurang. Nyeri makin bertambah. Lalu pasien
dan keluarga memutuskan untuk operasi. Hasil pemeriksaan radiologi
Lumbosakral, kesan spondiloarthrosis Lumbalis, alignment Lumbosakral
masih intak, tampak osteofit pada L2-L3, L3-L4, L4-L5, dan L5-S1,
diskus sempit dengan permukaan sklerosis. Pasien dilakukan operasi
laminectomy pada Th 9 dan PCS (Pedichle club system), beupa
pemasangan screw pada Th 7, 8, 10, 11. Graft dilakukan dengan
mengambil dari spina iliaka, debridement dan biopsy jaringan. Hasil
biopsy diperoleh kesimpulan Spondilitis kaseosa, tidak tampak keganasan.
Self care limitation Pasien berada pada rentang usia dewasa lanjut, tidak mampu melakukan
aktifitas tanpa bantuan orang lain. Keterbatasan menyebabkan pasien
atau self care
melakukan aktifitas penmenuhan kebutuhan dasarnya di tempat tidur.
deficit
Pasien tidak mampu melakukan perubahan posisi secara mandiri, pasien
tidak mampu melakukan transfer, pasien tidak mengetahui bahaya bila
melakukan pergerakan yang salah. Pasien juga tidak mmengetahui latihan
apa yang sebaiknya dilakukan. Pasien dipersiapkan untuk menggunakan
brace, latihan pergerakan, pentingnya penguatan otot ekstremitas, latihan
keseimbangan, posisi yang nyaman untuk tulang belakang, latihan
perubahan posisi dan transfer.
Type of nursing
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah
system
partially compensatory dan supportive educative pada keluarga yang
membatu memenuhi kebutuhan dasar pasien. Anak ketiga psien sebagai
care giver diajarkan dan dilatih untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien.
Technological
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
dimension
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang
merupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputi
manajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu memebrikan latihan
distraksi dan relaksasi, melakukan pengkajian nyeri dan memberikan
manajemen nyeri baik farmakologi maupun nonfarmakologi. Perawat juga
menjadi advokat bagi pasien saat tim Rehabilitasi Medik memasangkan
brace, dimana perawat memastikan pasien merasa nyaman dan terbebas
dari risiko injury. Perawat juga mengajarkan dan mengkonsultasikan bila
terjadi gangguan neuromuscular, melatih ROM aktif dan pasif.
Conclusion
Pada kasus ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kebutuhan pasien
berada pada level partially compensatory, namun system keperawatan
supportive educative memungkinkan pasien ebiih mandiri, dan anggota
keluarga dapat melakukan perawatan intensif dirumah. Berdasarkan
analisis self care Orem, perawatan di rumah dengan orang-orang terdekat
pasien dan memodifikasi lingkungan keluarga akan meningkatkan kualitas
pasien pada usia lanjut.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 8
Deskripsi Pasien

Ny. W (45 tahun), agama Islam, pendidikan terakhir tamat akademi,


pekerjaan Guru SD. Pasien mengeluh nyeri punggung sejak 5 tahun yang
lalu. Riwayat skoliosis 30 tahun yang lalu. Sudah pernah dianjurkan untuk
operasi tapi pasien menolak karena hamil. Sejak 6 bulan SMRS, pasien
mengeluh pinggul sampai dengan lutut terasa kebas. BAB dan BAK masih
spontan dan dirasa. Hasil pemeriksaan MRI Vertebrae Thoracolumbal
tanggal 19 Agustus 2012 didapat hasil : kesan skoliosis thorako-lumbal ke
kanan disertai listesis lateral L3-4 kiri, rotasi korpus vertebrae,
spondiloartrosis, penyempitan kanalis, diskus dan foramen intervertebralis
kiri, penebalan dan sklerotik facet joint bilateral serta degenerasi diskus
dan facet joint. Hasil CT Scan vertebrae lumbal tanggal 20 Juli 2012 :
khyposkoliosis thorakolumbal disertai stenosis spinal dan stenosis neural
foramina. Setelah semua pemeriksaan lengkap, pasien masuk ke RS
tanggal 2 November 2012. Pasien melakukan berbagai persiapan operasi.
Kemudian dilakukan operasi pada tanggal 10 November 2012, yaitu
koreksi dan stabilisasi scoliosis 110 degree. Terpasang pedichle screwt di
Th 8, 10, L3, 4, dan S1 (kiri) dan Th 8-12, L3, S1 (kanan). Mobilisasi post
operasi dengan brace
Self care limitation Pasien berada pada rentang dewasa madya (usia produktif ) tetapi pasien
memiliki keterbatasan anatomi dan penurunan fungsi. Keterbatasannya
atau self care
deficit
menyebabkan aktifitas diri dilakukan di tempat tidur. Pasien membutuhkan
bantuan untuk toileting, berganti posisi dan berpindah tempat dengan
dibantu. Pasien tidak mengetahui bahaya bila pergerakan pada
punggungnya salah. Pasien juga tidak mengetahui latihan pergerakan
seperti apa untuk nyeri punggung belakang. Pasien dipersiapkan untuk
menggunakan brace. Latihan mobilisasi dan rentang gerak juga diperlukan
oleh pasien. Pasien juga diedukasi tentang pentingnya pencegahan infeksi,
pentingnya penguatan otot ekstremitas dan latihan keseimbangan.
Type of nursing
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah
system
partially compensatory dan supportive educative pada keluarga yang
membatu memenuhi kebutuhan dasar pasien. Anak pasien sebagi care
giver diajarkan untuk membantu memenuhi kebutuhan ADL pasien..
Technological
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
dimension
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang
merupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputi
manajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu melakukan pengkajian
nyeri dan memberikan manajemen nyeri baik farmakologi maupun
nonfarmakologi. Perawat juga menjadi advokat bagi pasien saat tim
Rehabilitasi Medik memasangkan brace, dimana perawat memastikan
pasien merasa nyaman dan terbebas dari risiko injury. Perawat juga
mengajarkan dan mengkonsultasikan bila terjadi gangguan neuromuscular,
melatih ROM aktif dan pasif. Edukasi tentang pentingnya latihan post
stabilisasi tulang belakang secara bertahap, melatih kekuatan ekstremitas,
melatih keseimbangan dan control terapi medikasi.
Conclusion
Pada kasus ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kebutuhan pasien
berada pada level partially compensatory, namun system keperawatan
supportive educative memungkinkan pasien lebih mandiri, dan anggota
keluarga dapat melakukan perawatan intensif dirumah. Berdasarkan
analisis self care Orem, perawatan di rumah dengan orang-orang terdekat
pasien dan memodifikasi lingkungan keluarga akan meningkatkan kualitas
pasien dengan tujuan pasien lebih mandiri sesuai dengan kemampuannya.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 9
Deskripsi Pasien

Tn. H (40 tahun), pendidikan SMA, suku Padang, agama Islam, status
menikah dan memiliki 2 orang anak. Masuk RS pada tanggal 14 Oktober
2012 jam 20.45 WIB dari IGD. Diagnosa medis fraktur subtrochanter
dekstra. Tiga jam SMRS pasien ditabrak truk saat sedang mengendarai
sepeda motor. Motor menimpa paha atas kanan pasien. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan luka pada area paha kanan dengan ukuran 6cmx3cmx1cm.
gambaran radiologis ditemukan adanya fraktur subtrochanter dekstra.
Pemeriksaan lab didapatkan ahsil Hb 8,9gr%; leukosit 14.000, SGOT 27
UI, SGPT 30 UI, GDS 276. Pasien mendapatkan transfuse darah PRC
sebanyak 750 cc. Pasien dianjurkan melakukan sliding scale setiap 6 jam.
Kemudian dilakukan pemasangan skin traksi dengan beban 4 kg.
Self care limitation Pasien berada pada rentang usia dewasa dan masih produktif..
Keterbatasannya menyebabkan aktifitas diri dilakukan di tempat tidur.
atau self care
Pasien membutuhkan bantuan untuk toileting. Aktifitas mandi, berganti
deficit
posisi dan berpindah tempat dengan dibantu. Pasien tidak mengetahui
imobilisasi pada pemasangan skin traksi. Latihan mobilisasi dan rentang
gerak juga diperlukan oleh pasien. Pasien juga diedukasi tentang
pentingnya pencegahan infeksi, pentingnya penguatan otot ekstremitas,
latihan keseimbangan dan posisi yang nyaman karena pasien
menggunakan skin traksi. Edukasi juga diberikan untuk mengontrol gula
darah pasien. Pentingnya pemberian nutrisi sesuai dengan diit diabetes.
Type of nursing
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah
partially compensatory. Pasien disiapkan untu mandiri secara bertahap
system
dengan educative supportive untuk mememnuhi kebutuhan dasarnya.
Edukasi tentang penatalaksanaan DM juga diperlukan untuk pasien dan
keluarga.
Technological
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
dimension
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang
merupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputi
manajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu menempatkan pasien pada
tempat tidur ortopedi, mempeertahankan dan mengatur posisi kaki yang
terpasang skin traksi, mengobservasi neuromuscular distal pasien, merawat
luka, membantu pasien memenuhi kebutuhan dasarnya. Perawat juga
melatih rentang gerak pasien dengan melakukan latihan isotonic dan
isometric sesuai dengan kemampuan pasien. Memonitor integritas kulit
pasien untuk mencegah terjadinya luka tekan. Perawat juga memebrikan
terapi kolaborasi sesuai dengan hasil kolaborasi. Dan perawat melakukan
evaluasi atas terapi yang diberikan. Mencegah terjadinya hipoglikemia
pada pasien dengan terapi hiperglikemia, antibiotic yang sesuai dengan
kultur dan kombinasi terapi nonfarmakologis dengan terapi music untu
mengurangi nyeri.
Conclusion
Studi kasus ini memperlihatkan bahwa dengan system keperawatan
supportive educative dan partially compensatory yang diperlukan pasien
memungkinkan pasien lebih mandiri. Dan mendukung keluarga untuk bias
melakukan perawatan di rumah. Mengedukasi pasien terutama untuk
menjaga stabilnya gula darah pasien.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Tn.N, usia 30 tahun, menikah dengan 1 anak, Pekerjaan wirausaha buka
1010

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

bengkel, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Jawa, masuk RS tanggal 1


Desember 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis fraktur shaft humerus 1/3
tengah sinistra tertutup. Riwayat jatuh dari motor 4 jam SMRS saat pasien
sedang test drive motor pelanggan yang sedang diperbaiki. Nyeri dirasakan
ditangan kiri. Pasien segera dibawa ke RS Fatmawati oleh teman kerjanya..
Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi ORIF.
Operasi dilakukan pada tanggal 3 Desember 2012.
Look : tampak deformitas, pasien masih mampu berjalan, edema (+)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas atas 5555/3333, selisih panjang
tangan kiri dengan tangan yang kanan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa muda. Pada hari pertama
sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien terbatas,
aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan bantuan
toileting, buang air kecil dan buang air besar dibimbing ke kamar mandi
dibantu, mampu berganti posisi, mampu berpindah tempat (perlu bantuan).
Tidak mengetahui latihan pergerakan untuk penguatan otot lengan, latihan
keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu
arm sling untuk imobilisasi humerus sinistra.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. istri pasien dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkan
dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
Tn.T dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, penguatan otot bahu dan lengan atas,
perawatan luka. Perawat membantu melatih tangan kiri secara bertahap.
Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 3,
pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, edema
tidak ada, pasien mampu melakukan latihan ROM pada tangan kiri.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah. Pada kasus ini, pasien dapat mandiri dengan
cepat dan motivasi pasien agar cepat sembuh membantu tercapainya tujuan
intervensi keperawatan.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Tn. BT, usia 37 tahun, belum menikah, PNS, pendidikan tamat akademi,
1111

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

agama Islam, Suku Riau, masuk RS tanggal 4 November 2012, melalui


poliklinik ortopedi. Riwayat KLL 4 bulan yang lalu. Diagnosa pasien adalah
malunion closed fraktur genu sinistra. Nyeri di kaki kiri dan pasien tidak
bisa berjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta dan disarankan untuk operasi,
tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat ke alternative. Karena tidak ada
perbaikan, kemudian keluarga membawa pasien ke RSUP Fatmawati.
Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi ORIF.
Operasi dilakukan pada tanggal 6 November 2012
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555, selisih panjang
kaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Usia 80 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa muda. Pada hari
pertama sampai dengan hari kedua setelah operasi. Kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan
bantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar dibantu, mandi
dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu berpindah tempat (perlu
bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi), fleksi genu tidak lebih dari 30
derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakan untuk mempersiapkan walker,
latihan penguatan otot lengan, latihan keseimbangan, pasien memerlukan
bantuan dalam penggunaan alat bantu berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Adik laki-laki pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
Tn.BT dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan
lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.
Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kiri, duduk ditempat tidur,
berdiri, dan membantu dalam menggunakan kruk secara bertahap. Selain itu
juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 4, pasien
pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan
dengan menggunakan kruk dalam jarak 10 meter dengan pengawasan tanpa
dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaan
model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuh
perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga dan
meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi biaya perawatan
dibandingkan perawatan di rumah sakit.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Tn.S, usia 55 tahun, Menikah, sudah memiliki 3 anak (satu perempuan dan 2
1212

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

laki-laki), PNS, pendidikan tamat akademik, agama Islam, Suku Padang,


masuk RS tanggal 1 Desember 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis
osteoarthritis genu sinistra. Riwayat jatuh saat bermain bola 2 tahun yang
lalu yang lalu. Nyeri bertambah dank lien tidak mampu berjalan sejak 2
bulan SMRS. Pasien melakukan berbagai pemeriksaan, dan hasil radiologi
menunjukkan adanya osteoarthritis genus sinistra yang progresif, cavum
synovial tampak menyempit dari ukuran normal, tampak jaringan fibrosa
menyelubungi tulang patella. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien
dianjurkan untuk operasi Total Knee Replacement (TKR). Operasi dilakukan
pada tanggal 3 Desember 2012.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555
Usia 55 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa akhir. Pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan
bantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakan
bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu
berpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),
fleksi genu tidak lebih dari 30 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakan
untuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihan
keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu
berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
Tn.S dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan
lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.
Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kiri, duduk ditempat tidur,
berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selain
itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 5, pasien
pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan
dengan menggunakan walker dalam jarak 10 meter dengan pengawasan
tanpa dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisis
Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)
mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi
biaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Tn.T, usia 26 tahun, menikah, pekerjaan buruh, pendidikan SLTP, agama
1313

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Islam, Suku Sunda, masuk RS tanggal 15 November 2012, Jam 23.00 WIB.
Diagnosa medis vulnus amputatum metacarpal dekstra. Riwayat terkena
mesin pemotong kayu 7 jam SMRS saat pasien sedang bekerja. Pasien
dibawa ke puskesmas untuk dilakukan pertolongan pertama dengan
menghentikan perdarahan, hecting situasional. Lalu pasien dirujuk ke RSF.
Nilai lab pasien Hb 10,5 gr%; leukosit 15.450 gr/dL, trombosit 310 ribu
gr/dL. SGOT 67 SGPT 45, gula darah 112. Pasien mengeluh nyeri yang
sangat hebat, tampak balutan basah dan berwarna kemerahan. Pasien segera
dilakukan debridement malam itu juga. Pasien masuk ruang perawatan pada
jam 8 pagi tanggal 16 November 2012.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa muda. Pada hari pertama
sampai dengan hari ketiga setelah operasi pasien mengeluhkan nyeri hebat
pada tangan kanannya. Pasien mengatakan seolah-olah tangannya masih ada,
dan pasien sering menggerakkan tangannya seolah-olah tangannya amsih ada
(phantom pain). Kemampuan pasien terbatas, aktifitas perawatan diri
dilakukan ditempat tidur, kebutuhan ke kamar mandi bias dilakukan mandiri
dibantu. Pasien mengatakan tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan
tangan yang hanya sebelah saja yang utuh..
Disain nursing system yang seharus dsuai dengan kebutuhan pasien adalah
supportive educative. Pasien dan keluarga dipersiapkan secara psikologis
untuk bias beraktifitas dengan keterbatasan pasien. Perawat memotivasi
pasien agar tidak mengalami gangguan harga diri. Perawat juga memotivasi
keluarga untuk terus mensupport pasien dan meyakinkan bahwa pasien tetap
produktif dengan keterbatannya. Istri dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam membantu mengasisten pemenuhan kebutuhan activities
daily living sampai pasien bisa melakukannya secara mandiri penuh.
Supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan aspek
keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi tangan kanan, penguatan otot bahu
dan lengan atas, perawatan luka. Selain itu juga memberikan terapi medis
sesuai program. Mendukung pasien dan keluarga secara psikologis. Perawat
meyakinkan pasien bahwa dengan keterbatasannya, pasien tetap bias
produktif menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga. Setelah hari ke 4,
pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, pasien
menyatakan akan tetap bekerja walau tangan satu lagi tidak sempurna.
Supportive educative nursing system memungkinkan pasien dapat
memperoleh dukungan penuh dari sitem pendukung. Berdasarkan analisis
Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)
mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan
keterbatasan atau kecacatan.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Ny. G, usia 60 tahun, janda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan),
1414

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Pensiunan PNS, pendidikan SMA, agama Islam, Suku Betawi, masuk RS


tanggal 12 Desember 2012, Jam 08.00 WIB. Diagnosa medis osteoarthritis
column femur sinistra. Riwayat nyeri dan sering kesemutan sejak 2 tahun
yang lalu pada pangkal paha sebelah kiri. Nyeri di kaki kiri makin hebat
sejak 3 minggu SMRS dan pasien tidak bisa berjalan lagi. Pasien dibawa ke
RS Swasta dan disarankan untuk operasi, tetapi keluarga menolak. Karena
pasien tidak mampu beradaptasi dengan nyeri yang semakin hebat terutama
saat pasien menggerakkan kaki kirinya, kemudian keluarga membawa pasien
ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan
untuk operasi Total Hip Replacement (THR). Operasi dilakukan pada
tanggal 13 Desember 2012.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 222/5555
Usia 60 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa akhir. Pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan
bantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakan
bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu
berpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),
fleksi hip tidak lebih dari 70 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakan
untuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihan
keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu
berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan
lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.
Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kirti, duduk ditempat tidur,
berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selain
itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6, pasien
pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan
dengan menggunakan walker dalam jarak 15 meter dengan pengawasan
tanpa dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisis
Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)
mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi
biaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Tn.S, usia 30 tahun, menikah, belum memiliki anak, pendidikan tamat
1515

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

akademi, agama Kristen, Suku batak, masuk RS tanggal 28 November 2012,


Jam 17.00 WIB. Diagnosa medis fraktur clavicula 1/3 lateral dekstra.
Riwayat KLL 6 jam SMRS. Pasien mengalami kecelakaan tunggal akibat
menabrak pohon. Terdapat vulnus laserasi telah di hecting sebanyak 4
jahitan di kening. Tidak ada luka pada bahu kanan pasien. Keluhan sesak
tidak ada. Riwayat mengkonsumsi alcohol disangkal. Hb 10,8 gr%, Leukosit
10.250 gr/dL, SGOT 35, SGPT 44.
Look : tampak deformitas pada bahu kanan, jejas (+), kemerahan (+), edema
(+), luka terbuka (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas atas 5555/3333.
Pasien segera dilakukan operasi ORIF clavicula dektra pada pukul 01.00
WIB tanggal 29 November 2012. Pasien masuk ruang perawatan pada jam
06.00 wib. Pasien mengeluh nyeri. Pasien meraung-raung menahan nyeri.
Terpasang armsling pada bahu kanan pasien.
Usia 30 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa muda. Pada hari
pertama setelah operasi pasien masih menangis karena nyeri. Kemampuan
pasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur,
membutuhkan bantuan toileting dibantu ke kamar mandi. Pada hari kedua,
pasien bisa melakukan duduk, sudah bisa berdiri tanpa dibantu dengan
tangan tetap disangga armsling. Jari tangan kanan tampak edema. Pasien
tidak mengetahui latihan pergerakan untuk mempersiapkan latihan
penguatan otot lengan atas dan bawah. Pasien tidak mengetahui bagaimana
cara mengurangi edema dan mengurangi nyeri.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Istri dipersiapkan sebagai motivator dan pasien terus
dilatih agar mandiri dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien sampai dengan hari kedua post operasi. Dan supportive educative
diperlukan untuk mendukung kemandirian pasien yang merupakan aspek
keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi: terapi
distraksi/relaksasi mengurangi nyeri dan edema. Perawat melakukan
kombinasi terapi farmakologi dan nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri
pasien. Selain itu untuk mengurangu edema dan mencegah kontraktur,
perawat melakukan edukasi latihan gerak sendi, penguatan otot bahu dan
lengan atas, serta perawatan luka. Perawat mengajarkan pasien ROM secara
bertahap. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah
hari ke 3, pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi,
dapat melakukan latihan jari dan penguatan otot bahu selama 15 menit tanpa
lelah.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan pasien agar segera
mandiri dan memenuhi kebutuhannya dengan keterbatasan akibat penyakit
pasien. Berdasarkan analisis Orem, penggunaan model Self Care Deficit
Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuh perawatan dirumah oleh pasien
secara mandiri, meningkatkan dukungan keluarga dan mempertahankan
kualitas hidup pasien. Lama hari rawat yang singkat dan tujuan intervensi
segera tercaai akan memberi kepuasan pasien terhadap perawatan.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 16
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn.ZA, usia 21 tahun, menikah dengan 2 anak (satu laki-laki dan 1


perempuan), pekerjaan tukang ojek, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku
betawi, masuk RS tanggal 09 Desember 2012, Jam 16.00 WIB melalui IGD
RSUPF Jakarta. Diagnosa medis fraktur radius segmental dektra terbuka
grade II. Riwayat KLL motor dengan motor 2 jam SMRS. Nyeri di tangan
kanan. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi
ORIF. Operasi dilakukan pada tanggal 10 Desember 2012.
Look : tampak deformitas, kemerahan (+), edema (+), pasien tampak sulit
menggerakkan tangan, luka terbuka (+)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas atas 5555/3333, selisih panjang
tangan kanan dengan tangan yang kiri yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Usia pasien berada pada tugas perkembangan dewasa awal. Pada hari
pertama sampai dengan hari kedua setelah operasi. Kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri masih dilakukan ditempat tidur. Pasien
membutuhkan bantuan toileting. Pasien tidak mengetahui latihan ROM,
edema dan nyeri menjadi keluhan pasien. Pasien memerlukan latihan
penguatan otot lengan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Istri pasien dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkan
dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi: terapi
distraksi/relaksasi kombinasi terapi farmakologi dan nonfarmakologi, latihan
gerak sendi untu mengurangi edema dan ROM, dan melakukan perawatan
luka. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari
ke 3, pasien pulang dengan kondisi: tidak terdapat tanda-tanda infeksi,
edema berkurang dan nyeri berkurang.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaan
model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuh
perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga dan
meningkatkan kualitas hidup, mengurangi biaya perawatan dibandingkan
perawatan di rumah sakit.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Tn.MH, usia 65 tahun, Duda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan)
1717

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

dan 4 orang cucu. Pekerjaan pensiunan PNS, pendidikan SMA, agama Islam,
Suku Jawa, masuk RS tanggal 11 Oktober 2012, Jam 20.00 WIB. Diagnosa
medis fraktur tibia 1/3 distal sinistra cominutif terbuka grade II. Riwayat
KLL di jalan lintas pantura. Nyeri di kaki kiri dan pasien tidak bisa berjalan.
Pasien dilakukan fiksasi eksternal cruris sinistra pada tanggal 12 November
2012 pukul 08.00 WIB.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), luka
terbuka 4cmx3cmx2cm
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari pertama
sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien terbatas,
aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan bantuan
toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakan
bedpan/commode, mandi dibantu. Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),
pasien mengetahui latihan pergerakan untuk mempersiapkan latihan berjalan,
latihan penguatan otot kaki, latihan keseimbangan, pasien memerlukan
bantuan dalam penggunaan alat bantu berjalan. Perlunya pencegahan infeksi
akibat luka terbuka.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, perawatan luka. Perawat
mengajarkan pasien mobilisasi berdiri, dan membantu dalam menggunakan
kruk secara bertahap. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai
program. Setelah hari ke 6, pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat
tanda-tanda infeksi, dapat berjalan dengan menggunakan kruk dalam jarak
15 meter dengan pengawasan tanpa dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisis
Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)
mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi
biaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Ny. JH (usia 55 tahun), menikah dan memiliki 5 orang anak, agama hindu,
1818

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Suku Bali, masuk RS tanggal 10 Desember 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa
medis neglected column femur dekstra. Riwayat jatuh di kamar mandi 6
bulan yang lalu. Nyeri di kaki kanan dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien
dibawa berobat ke alternative. Karena tidak ada perbaikan, kemudian
keluarga membawa pasien ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan
pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi Total Hip Replacement
(THR). Operasi dilakukan pada tanggal 13 Desember 2012.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 5555/2222, selisih panjang
kaki kanan dengan kaki yang kiri yang tidak mengalami fraktur 4 cm.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari pertama
sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien terbatas,
aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan bantuan
toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakan
bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu
berpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),
fleksi hip tidak lebih dari 30 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakan
untuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihan
keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu
berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi: terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan
lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.
Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kanan, duduk ditempat
tidur, berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap.
Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6,
pasien pulang dengan kondisi: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat
berjalan dengan menggunakan walker dalam jarak 10 meter dengan
pengawasan tanpa dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisis
Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)
mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi
biaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Tn.FY (usia 25 tahun), belum menikah, pendidikan tamat akademi, agama
1919

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

kristen, Suku Jawa, masuk RS tanggal 25 November 2012, Jam 11.00 WIB.
Diagnosa medis closed fraktur tibia 1/3 proksimal sinistra. Riwayat jatuh
dari motor dalam kecelakaan tunggal. Nyeri di kaki kiri dan pasien tidak bisa
berjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta, karena tidak ada perbaikan, kemudian
keluarga membawa pasien ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan
pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi ORIF. Operasi dilakukan pada
tanggal 26 November 2012.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), luka (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555, selisih panjang
kaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa awal dan belum menikah.
Pada hari pertama sampai dengan hari kedua setelah operasi. Kemampuan
pasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur,
membutuhkan bantuan toileting, mandi dibantu, tidak mampu berganti
posisi, tidak mampu berpindah tempat (perlu bantuan). Tidak mengetahui
latihan pergerakan untuk mempersiapkan berjalan menggunakan kruk,
latihan penguatan otot kaki, latihan keseimbangan, pasien memerlukan
bantuan dalam penggunaan alat bantu berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory sampai dengan hari ketiga post operasi. Pasien dipersiapkan
untuk mandiri sesegera mungkin secara bertahap dengan supportive
eduvative. Pasien secara mandiri dipersiapkan dan diajarkan dalam
pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien sampai dengan hari ketiga. Dan supportive educative diperlukan
pasien yang merupakan aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien
meliputi : terapi distraksi/relaksasi untuk nyeri, latihan gerak sendi, ankle
pump, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka. Perawat
mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kiri, duduk ditempat tidur, berdiri,
dan membantu dalam menggunakan kruk secara bertahap. Selain itu juga
memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 4, pasien pulang
dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan dengan
menggunakan kruk dalam jarak 15 meter dengan pengawasan tanpa dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative pasien
berpartisipasi penuh dalam perawatan dan bersama-sama perawat mencapai
tujuan utama yaitu pemenuhan self care pasien secara mandiri. Tingkat
kepuasan pasien cukup tinggi pada perawat karena pasien menyadari
potensinya sebagai pasien adalah sebagai pendukung utama dalam proses
kesembuhan pasien itu sendiri.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 20
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn.LH, usia 60 tahun, menikah, memiliki 4 orang anak (2 laki-laki dan 2


perempuan), pendidikan tamat SMA, agama Islam, Suku Jawa, masuk RS
tanggal 1 Oktober 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis fraktur clavicula
1/3 medial dekstra. Riwayat jatuh sendiri dari tangga 6 jam SMRS. Nyeri di
bahu kanan membuat pasien tidak mampu beraktifitas. Pasien segera dibawa
ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan
untuk operasi ORIF. Tapi pasien dan keluarga menolak.
Look : tampak deformitas dibahu kanan, pasien masih mampu berjalan,
edema (+), luka (-), terpasang armsling
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari pertama
masuk RS kemampuan pasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan
ditempat tidur, membutuhkan bantuan toileting, buang air kecil dan buang
air besar menggunakan bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu
berganti duduk karena merasa nyeri. Pasien hanya menahan nyeri dan
menolak di operasi.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Dalam keadaan fraktur yang tidak dikoreksi, maka clavicula
pasien harus diimobilisasi dalam jangka waktu yang lebih lama karena
menunggu proses remodeling dari tulang clavicula. Kebutuhan pasien
dibantu oleh keluarga. Hamper semua kebutuhan ADL dibantu karena pasien
kesulitan menggunakan tangan kanannya yang nyeri. Pasien dipersiapkan
untuk segera mandiri secara bertahap dengan supportive eduvative pada
keluarga yang membantu memenuhi kebutuhan pasien. Anak kedua pasien
dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan
activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien. Perawat harus melakukan latihan dan memotivasi latihan agar bagian
tangan kanan pasien tidak mengalami kontraktur akibat imobulisasi. Tetapi
perawat juga tetap harus mempertahankan imobilisasi pada pasien agar
fraktur tidak bertambah jauh garis patahnya sehingga menyebabkan cedera
yang lebih parah pada pasien. Disain supportive educative diperlukan untuk
keluarga yang merupakan aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien
meliputi : terapi distraksi/relaksasi nyeri pasien, latihan gerak sendi,
mengurangi edema, penguatan otot bahu dan lengan atas. Perawat
mengajarkan pasien mobilisasi duduk bertahap, duduk ditempat tidur,
berdiri, dan membantu dalam menggunakan armsling. Selain itu juga
memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 3, pasien pulang
paksa dengan kondisi : edema berkurang, pasien masih mengeluh nyeri,
keterbatasan gerak, pasien mampu melakukan latihan ROM aktif dan pasif
untuk bagian sendi yang tidak fraktur dengan tetap mempertahankan posisi
imobilisasi pada clavicula.
Studi kasus ini perawat merasa belum berhasil meyakinkan pasien untuk
menjalani koreksi fraktur dengan operasi. Berdasarkan analisis Orem,
penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung
penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien. Perawat
memberikan edukasi pada pasien dan keluarga untuk latihan pencegahan
kontraktur dan menjaga posisi imobilisasi fraktur.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume
Deskripsi
pasien Tn.KI (44 tahun), menikah dan memiliki 1orang anak laki-laki. Pekerjaan
2121

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

wiraswasta, pendidikan tamat akademi, agama Islam, Suku Jawa. Masuk RS


tanggal 17 Oktober 2012, Jam 14.00 WIB. Diagnosa medis fraktur radius
1/3 tengah dekstra terbuka grade I. Nyeri di tangan kanan. Pasien langsung
dibawa ke RSF dan segera dilakukan operasi ORIF pada jam 20.00 wib.
Riwayat pasien mengalami kecelakaan jatuh dari bangunan kantor pasien
yang sedang direnovasi 2 jam SMRS.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), luka
4x2x1cm pada tangan kanan pasien.
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas atas 5555/2222, selisih panjang
tangan kanan dengan tangan kiri yang tidak mengalami fraktur 1 cm.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa pertengahan. Kemampuan
pasien terbatas hanya pada hari pertama. Aktifitas perawatan diri dilakukan
ditempat tidur, kebutuhan toileting dibantu. Tidak mengetahui latihan
pergerakan untuk latihan penguatan otot lengan, latihan keseimbangan,
pasien memerlukan bantuan dalam mengurangi nyeri
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Pasien hampir tidak memerlukan care giver dalam
pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien pada hari pertama. Pada hari berikutnya pasien memiliki motivasi
untuk sembuh yang sangat besar sehingga disain supportive educative sangat
tepat untuk keluarga dan pasien yang merupakan aspek keperawatan yang
dapat mendukung pasien meliputi: terapi distraksi/relaksasi untuk
mengurangi nyeri, latihan gerak sendi untuk mengurangi edema dan
mencegah kontraktur serta mengembalikan fungsi. Perawat mengajarkan
pasien ROM secara bertahap. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai
program. Setelah hari ke 3, pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat
tanda-tanda infeksi, dapat melakukan latihan rentang gerak mandiri, pasien
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri.
Pada kasus ini, supportive educative merupakan disain yang tepat untuk
pasien dengan motivasi kesembuhan yang sangat tinggi seperti Tn.KI.
Berdasarkan analisis Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing
Theory (SCDNT) mendukung penuh perawatan mandiri pasien sehingga
kualitas hidup pasien meningkat dan mampu mengembalikan fungsi
produktif pasien sesegera mungkin.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 22
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Ny. DL (usia 40 tahun). Menikah dan belum memiliki anak. Pekerjaan IRT,
pendidikan SMA, agama Islam, Suku Jawa. Pasien masuk RS tanggal 16
November 2012, Jam 09.15 WIB. Diagnosa medis fraktur femur 1/3
proksimal sinistra complete tertutup. Riwayat ditabrak motor 3 jam SMRS.
Nyeri di kaki kiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dianjjurkan untu
operasi ORIF. Operasi dilakukan pada tanggal 17 November 2012.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), tidak
ada luka terbuka pada fraktur, hanya luka vulnus excoriasi.
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555, selisih panjang
kaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa pertengahan. Pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan
bantuan toileting, tidak mampu berpindah tempat (perlu bantuan). Edema
pada distal tunkai Tidak mengetahui latihan pergerakan untuk
mempersiapkan berjalan menggunakan kruk. Latihan penguatan otot lengan
untuk menyangga, latihan keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam
penggunaan alat bantu berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Suami pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan
lengan atas, dan perawatan luka. Perawat mengajarkan pasien mobilisasi,
duduk ditempat tidur, berdiri, dan membantu dalam menggunakan kruk
secara bertahap. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program.
Setelah hari ke 6, pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda
infeksi, dapat berjalan dengan menggunakan kruk.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaan
model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuh
perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga dan
meningkatkan kualitas hidup pasien, apalagi kondisi psikologis pasien yang
belum memiliki anak, membuat pasien sangat sensitive.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 23
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Nn. UT (usia 22 tahun), belum menikah, mahasiswi, pendidikan SLTP,


agama Islam, Suku Jawa, masuk RS tanggal 2 Maret 2013, Jam 11.00 WIB.
Diagnosa medis neglected fraktur tibia fibula 1/3 proksimal dekstra.
Riwayat KLL 2 bulan yang lalu. Nyeri di kaki kanan dan pasien tidak bisa
berjalan. Pasien dibawa ke RS Fatmawati dan disarankan untuk operasi,
tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat ke alternative. Karena tidak ada
perbaikan, kemudian keluarga membawa pasien kembali ke RSUP
Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi
2x, pemasangan skeletal traksi dengan beban 4 kg, setelah itu direncanakan
untuk operasi ORIF tibia. Operasi pemasangan skeletal traksi dilakukan pada
tanggal 4 Maret 2013. Selanjutnya dilakukan operasi ORIf pada tanggal 20
Maret 2013.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-), luka (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 5555/2222, selisih panjang
kaki kanan dengan kaki yang kiri yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Usia pasien saat ini berada pada tugas perkembangan dewasa awal. Pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi, pasien mengeluh nyeri
pada betisnya yang terpasang traksi. Pasien mengatakan sangat tidak nyaman
dengan beban yang menggantung dikakinya. Kemampuan pasien terbatas,
aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur karena pasien harus
imobilisasi, membutuhkan bantuan toileting, buang air kecil dan buang air
besar menggunakan bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti
posisi. Posisi kaki terbatas karena harus imobilisasi digantung beban traksi.
Tidak mengetahui latihan pergerakan untuk mencegah DVT dan melatih
menarik beban traksi.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien dan terutama mencegah pasien agar tidak HDR. Ibu pasien
dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan
activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien dan supportive educative diperlukan pasien dan keluarga yang
merupakan aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi :
terapi distraksi/relaksasi mengurangi nyeri, latihan gerak sendi, ankle pump,
penguatan otot bahu dan lengan atas sebagai titik tolak pasien melakukan
latihan untuk menarik beban traksi, Selain itu juga memberikan terapi medis
sesuai program. Setelah hari ke 10, pasien pindah ke lantai 2 GPS RSF
dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada luka tempat pin
traksi, dapat melakukan latihan menarik beban traksi. Setelah dievaluasi
radiologi, tampak gambaran antara garis patah semakin menjauh, selisih
panjang kaki kanan dan kiri adalah 1 cm pada tanggal 7 Maret 2013.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan pasien memiliki
motivasi untuk sembuh dan mengembalikan fungsi ekstremitasnya yang
mengalami gangguan. Pasien selama ini merasa malu karena tidak mampu
berjalan normal, memiliki keinginan untuk segera dioperasi dan bias berjalan
normal kembali.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 24
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn.G (usia 32 tahun). Menikah dan memiliki 1 orang anak. Pekerjaan


karyawan swasta. pendidikan SMA, agama Katolik, Suku Jawa, masuk RS
tanggal 20 Maret 2013, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis fraktur femur1/3
proksimal sinistra terbuka gr I. Riwayat KLL 5 jam SMRS saat menuju ke
kantor. Pasien dibawa ke RS Swasta dan disarankan untuk operasi, pasien
dibawa ke RSF karena biaya yang ditanggung oleh jamsostek bila pasien
dirawat di RSF. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk
operasi ORIF (K-nail). Operasi dilakukan pada tanggal 21 Maret 2013.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), luka (+)
3cmx3cmx1cm
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555, selisih panjang
kaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Usia pasien berada pada tugas perkembangan dewasa awal. Pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan
bantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakan
bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu
berpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),
fleksi hip tidak lebih dari 45 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakan
untuk mempersiapkan kruk, latihan penguatan otot lengan, latihan
keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu
berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Istri pasien dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkan
dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot panggul
dan lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.
Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring, duduk ditempat tidur,
berdiri, dan membantu dalam menggunakan kruk secara bertahap. Selain itu
juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 4, pasien
pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan
dengan menggunakan kruk dalam jarak 10 meter dengan pengawasan tanpa
dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaan
model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuh
perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga dan
meningkatkan kualitas hidup pasien usia produktif, perawatan dirumah akan
mengurangi biaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit dan
pasien lebih nyaman.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 25
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn.B (usia 17 tahun), belum menikah, pendidikan tamat SLTP, belum


bekerja, agama Islam, Suku Betawi, masuk RS tanggal 13 Maret 2013, Jam
13.00 WIB. Diagnosa medis fraktur tibia 1/3 tengah sinistra terbuka gr III.
Riwayat tertimpa batu besar saat membantu kerja bangunan. Nyeri di kaki
kiri dan pasien tidak bisa berjalan. Luka terbuka. Hasil lab menunujukkan
hasil Hb 9,5 gr%. Nilai leukosit 15rb. Pasien dianjurkan operasi eksternal
fiksasi. Operasi dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2013.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), luka
10x7x3cm, pucat pada kapiler
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 1111/5555, selisih panjang
kaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 1 cm.
Usia pasien berada pada tugas perkembangan remaja akhir. Pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi pasien mengeluh nyeri
dan balutan selalu rembes. Pasien mengalami anemia. Luka rembes.
Kemampuan pasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat
tidur, membutuhkan bantuan ke kamar mandi, tidak mampu berganti posisi,
tidak mampu berpindah tempat (perlu bantuan). Tidak mengetahui latihan
pergerakan untuk mempersiapkan berjalan dengan kruk, latihan penguatan
otot lengan, latihan keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam
penggunaan alat bantu berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Ibu pasien dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkan
dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : transfuse darah
PRC 500 cc, meningkatkan intake nutrisi dan cairan, mengontrol tanda-tanda
perdarahan, mencegah infeksi, melakukan perawatan pin site. Terapi
distraksi/relaksasi untuk nyeri, latihan gerak sendi, ankle pump. Perawat
mengajarkan pasien mobilisasi miring, duduk ditempat tidur, berdiri, dan
membantu dalam menggunakan kruk secara bertahap. Keluarga pasien
dianjurkan untuk membuat celana yang ergonomis dengan keadaan eksternal
fiksasi pasien. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program.
Setelah hari ke 6, pasien pulang dengan kondisi : Hb pasien 10,9 gr%, tidak
terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan dengan menggunakan kruk
dalam jarak 10 meter dengan pengawasan tanpa dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaan
model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuh
perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga dan
meningkatkan kualitas hidup pasien usia produktif.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 26
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn.L (65 tahun) Duda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan),
Pensiunan PNS, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Jawa, masuk RS
tanggal 20 Maret 2013, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis neglected column
femur sinistra. Riwayat jatuh dari tangga 2 bulan yang lalu. Nyeri di kaki
kiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta dan
disarankan untuk operasi, tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat ke
alternative. Karena tidak ada perbaikan, kemudian keluarga membawa pasien
ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan
untuk operasi Total Hip Replacement (THR). Operasi dilakukan pada
tanggal 22 Maret 2012.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ekstremitas bawah 3333/5555, selisih panjang
kaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Usia pasien berada pada tugas perkembangan dewasa akhir. Pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan
bantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakan
bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu
berpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),
fleksi hip tidak lebih dari 45 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakan
untuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihan
keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu
berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
Tn.L dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan
lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.
Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kirti, duduk ditempat tidur,
berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selain
itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6, pasien
pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan
dengan menggunakan walker dalam jarak 15 meter dengan pengawasan
tanpa dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisis
Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)
mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi
biaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 27
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn.SA (usia 70 tahun), menikah dan memiliki 7 orang anak dan 4 cucu,
Pensiunan PNS, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Sunda Banten, masuk
RS tanggal 1 April 2013, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis fraktur femur 1/3
tengah sinistra tertutup e.c osteoporosis. Riwayat jatuh sendiri di rumah 6
jam SMRS. Nyeri di kaki kiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dibawa
ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan
untuk operasi ORIF. Operasi dilakukan pada tanggal 4 April 2013. PAsien
mengatakan takut di operasi.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555, selisih panjang
kaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari pertama
sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien terbatas,
aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan bantuan
toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakan
bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu
berpindah tempat (perlu bantuan). Tidak mengetahui latihan pergerakan
untuk menggunakan kruk, latihan penguatan otot lengan, latihan
keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu
berjalan. Pasien juga tidak mengetahui bahwa pasien memeiliki resiko
kerapuhan tulang yang bias mneyebabkan fraktur berulang akibat
pengeroposan tulang yang dialami pasien.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Anak kelima pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
Tn.T dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan
lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.
Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring, duduk ditempat tidur,
berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selain
itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Pasien juga diedukasi
untuk meningkatkan nutrisi yang tepat untuk mengatasi keadaan
osteoporosis yang terjadi pada pasien. Setelah hari ke 6, pasien pulang
dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan dengan
menggunakan walker dalam jarak 7 meter dengan pengawasan tanpa
dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisis
Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)
mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 28
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system
Technological
dimension

Conclusion

Ny. OH (33 tahun), menikah dan memiliki 2 orang anak, pekerjaan PNS,
pendidikan SMA, agama Islam, Suku Palembang, masuk RS tanggal 16
April 2013, Jam 11.00 WIB. Riwayat jatuh dari motor 12 jam SMRS.
Diagnosa medis fraktur humerus 1/3 tengah dekstra tertutup. Nyeri
ditangan kanan dan tampak edema pada tangan kanan pasien. Pasien dibawa
ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan
untuk operasi ORIF tapi pasien dan keluarga menolak.
Look : tampak deformitas, pasien mampu berjalan, edema (+)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555, selisih panjang
tangan yang fraktur dengan tangan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa awal. Pada hari pertama
dirawat, kemampuan pasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan
ditempat tidur, mandi bias mandiri dengan dibantu, mampu berganti posisi
dengan dibantu. Tidak mengetahui bahwa tangan pasien agar kembali
berfungsi normal harus di operasi.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dan keluarga tidak memahami pentingnya dilakukan
koreksi atas fraktur yang dialami melalui operasi.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
pasien berlangsung agak lebih lama dan supportive educative waktunya lebih
delay karena pasien menolak operasi. Tindakan keperawatan yang diberikan
untuk mendukung pasien meliputi : terapi distraksi/relaksasi, latihan gerak
sendi, latihan untuk mengurangi edema, penguatan otot bahu dan lengan
atas, duduk ditempat tidur, dan membantu dalam menggunakan armsling.
Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 4,
pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, edema
berkurang, nyeri masih dikeluhkan, bias menggerakkan jari-jari tangan kiri.
Studi kasus memperlihatkan partially compensatory nursing system
membutuhkan waktu yang lebih lama menuju supportive eucative karena
pasien menolak untuk dioperasi. Perawat memberikan edukasi mencegah
terjadinya injury dan kontraktur saat pasien dibawa kerumah.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 29
Deskripsi pasien

Self care
limitation atau
self care deficit

Type of nursing
system

Technological
dimension

Conclusion

Tn.T, usia 80 tahun, Duda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan),
Pensiunan PNS, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Jawa, masuk RS
tanggal 1 Oktober 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis neglected column
femur sinistra. Riwayat jatuh dari tangga 4 bulan yang lalu. Nyeri di kaki
kiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta dan
disarankan untuk operasi, tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat ke
alternative. Karena tidak ada perbaikan, kemudian keluarga membawa pasien
ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan
untuk operasi Total Hip Replacement (THR). Operasi dilakukan pada
tanggal 3 Oktober 2012.
Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)
Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+
Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555, selisih panjang
kaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Usia 80 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien
terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan
bantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakan
bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu
berpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),
fleksi hip tidak lebih dari 70 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakan
untuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihan
keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu
berjalan.
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partially
compensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahap
dengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhi
kebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dan
diajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
Tn.T dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan
aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapi
distraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan
lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.
Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kirti, duduk ditempat tidur,
berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selain
itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6, pasien
pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan
dengan menggunakan walker dalam jarak 15 meter dengan pengawasan
tanpa dibantu.
Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative dan
partially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluarga
dapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisis
Orem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)
mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,
lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi
biaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Resume 30
Deskripsi Pasien

Ny. S (56 tahun), agama Islam, pendidikan terakhir SMP. Pekerjaan adalah
seorang IRT. Status marital telah menikah dengan 4 orang anak dan 8
orang cucu. Pasien masuk RS pada 12 November 2012 melalui poliklinik
ortopedi. Keluhan pasien adalah nyeri pada punggung belakang. Nyeri
dirasakan menjalar ke kaki kanan. Keluhan BAB dan BAK tidak ada.
Paisen disarankan untuk operasi, tetapi pasien belum berani untuk operasi.
Pasien hanya minumobat penghilang rasa nyeri. Setelah satu bulan,
keluhan dirasakan tidak berkurang. Nyeri makin bertambah. Lalu pasien
dan keluarga memutuskan untuk operasi. Hasil pemeriksaan radiologi
Lumbosakral, kesan spondiloarthrosis Lumbalis, alignment Lumbosakral
masih intak, tampak osteofit pada L2-L3, L3-L4, L4-L5, dan L5-S1,
diskus sempit dengan permukaan sklerosis. Pasien dilakukan operasi
laminectomy pada Th 9 dan PCS (Pedichle club system), beupa
pemasangan screw pada Th 7, 8, 10, 11. Graft dilakukan dengan
mengambil dari spina iliaka, debridement dan biopsy jaringan. Hasil
biopsy diperoleh kesimpulan Spondilitis kaseosa, tidak tampak keganasan.
Self care limitation Pasien berada pada rentang usia dewasa lanjut, tidak mampu melakukan
aktifitas tanpa bantuan orang lain. Keterbatasan menyebabkan pasien
atau self care
melakukan aktifitas penmenuhan kebutuhan dasarnya di tempat tidur.
deficit
Pasien tidak mampu melakukan perubahan posisi secara mandiri, pasien
tidak mampu melakukan transfer, pasien tidak mengetahui bahaya bila
melakukan pergerakan yang salah. Pasien juga tidak mmengetahui latihan
apa yang sebaiknya dilakukan. Pasien dipersiapkan untuk menggunakan
brace, latihan pergerakan, pentingnya penguatan otot ekstremitas, latihan
keseimbangan, posisi yang nyaman untuk tulang belakang, latihan
perubahan posisi dan transfer.
Type of nursing
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah
system
partially compensatory dan supportive educative pada keluarga yang
membatu memenuhi kebutuhan dasar pasien. Anak ketiga psien sebagai
care giver diajarkan dan dilatih untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien.
Technological
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan oleh
dimension
pasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang
merupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputi
manajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu memebrikan latihan
distraksi dan relaksasi, melakukan pengkajian nyeri dan memberikan
manajemen nyeri baik farmakologi maupun nonfarmakologi. Perawat juga
menjadi advokat bagi pasien saat tim Rehabilitasi Medik memasangkan
brace, dimana perawat memastikan pasien merasa nyaman dan terbebas
dari risiko injury. Perawat juga mengajarkan dan mengkonsultasikan bila
terjadi gangguan neuromuscular, melatih ROM aktif dan pasif.
Conclusion
Pada kasus ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kebutuhan pasien
berada pada level partially compensatory, namun system keperawatan
supportive educative memungkinkan pasien ebiih mandiri, dan anggota
keluarga dapat melakukan perawatan intensif dirumah. Berdasarkan
analisis self care Orem, perawatan di rumah dengan orang-orang terdekat
pasien dan memodifikasi lingkungan keluarga akan meningkatkan kualitas
pasien pada usia lanjut.

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Nama

: Dian Novita, S.Kep.Ns., M.Kep.

TTL

: Gunung Sugih, 29 November 1981

Jenis Kelamin : Perempuan


Pekerjaan

: Perawat di Rumah Sakit dr. H. Abdul Moeloek Propinsi Lampung

Alamat Rumah : Jl. Pagar Alam gang Damai 15A Segala Mider Bandar Lampung
Alamat Institusi : Jl. Dr. Rivai No. 1 Bandar Lampung
Alamat Email : atudian@yahoo.co.id
Riwayat Pendidikan :
1987 1993

: SD Kristen No.3 Bandar Jaya Lampung Tengah

1993 1996

: SMP Negeri 9 Bandar Lampung

1996 1999

: SMA Negeri 2 Bandar lampung

1999 2005

: Sarjana Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas


Padjadjaran Bandung

2010 2012

: Pascasarjana Magister keperawatan Kekhususan keperawatan Medikal


Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

2012-2013

: Program Pendidikan Spesialis Keperawatan Kekhususan Keperawatan


Medical Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Riwayat Pekerjaan :
Januari 2005 April 2005

: CPNS di Dinas Kesehatan Propinsi Lampung

April 2005 Sekarang

: Perawat di RS dr. H Abdul Moeloek Propinsi


Lampung (Ruang Kecelakaan Pria)

Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai