Anda di halaman 1dari 55

PERENCANAAN BANDAR UDARA

Diketahui suatu data sebagai berikut :


Direncanakan panjang landasan pacu 3500 meter (Lr)
Elevasi dari muka air laut 150 meter (h)
Temperature di lapangan terbang 28` C (Ft)
Kemiringan landasan pacu 0.6 % (Fs)
Tentukan panjang landasan rencana (ARFL) !
Jawab

1)

Koreksi terhadap kemiringan landasan ( faktor kemiringan )


Fs = 1 + 0.1 S
Fs = 1 + 0.1 (0.6)
Fs = 1.06 meter
2)
Koreksi terhadap faktor temperature
Ft = 1 + 0.1 ( T ( 15 0.0065 h ))
Ft = 1 + 0.1 ( 28 ( 15 0.0065 ( 150 )))
Ft = 1.14 meter
3)
Koreksi terhadap ketinggian altitude
Fe = 1 + 0.07 h/300
Fe = 1 + 0.07 150/300
Fe = 1.035 meter
ARFL =

=
ARFL =1081.92 meter

Jadi panjang Runway dihitung dengan metode ARFL untuk max take off weight adalah
1081.92 meter
Diketahui sebuah data sebagai berikut :

Elevasi dari muka laut 120 meter


Temperature udara 45 C
Kemiringan landasan (slope) 0.6%
Maximum structural payload 13747 meter
ARFL = 2710
Jawab :

1)

Perhitungan panjang landasan pacu rencana (Lr)


> Koreksi terhadap faktor kemiringan landasan (Fs)
Fs = 1 + 0.1 S
Fs = 1 + 0.1 ( 0.6 )
Fs = 1.06 meter

> Koreksi terhadap faktor temperature (Ft)


Ft = 1 + 0.01 ( T ( 15 0.0065 h ))
Ft = 1 + 0.01 (45 (15 0.0065 ( 120 )))
Ft = 1.3078 meter
> Koreksi terhadam kemiringan attitude (Fe)
Fe = 1 + 0.07 h/300
Fe = 1 + 0.07 120/300
Fe = 1.028 meter
2)
Setelah dilakukan koreksi terhadap faktor-faktor di atas, maka panjang Runway
Perencanaan (Lr) untuk pesawat B747 adalah :
Lr = ARFL x Fs x Ft x Fe
Lr = 2710 x 1.06 x 1.3078 x1.028
Lr = 3861.976 >>> 3862 meter
Diposkan 11th October 2012 oleh francesc ary

Perhitungan Panjang Runway (Landasan Pacu)


Oleh : I Made Utarka
I. Perhitungan Kebutuhan Panjang Landas Pacu (Runway)
Kebutuhan panjang landas pacu (runway) dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain :
1. Karakteristik pesawat kritis (critical aircraft) yang akan beroperasi baik untuk keperluan
lepas landas (take-off) maupun mendarat (landing).
2. Kondisi Cuaca, baik angin maupun temperatur
3. Kondisi landas pacu (runway) seperti kekasaran permukaan runway maupun kemiringan
(slope) permukaan.
4. Lokasi Bandar udara yaitu ketinggian atau elevasi dari permukaan laut yang akan
berpengaruh terhadap tekanan udara.

Kriteria perhitungan panjang runway yang digunakan adalah sebagai berikut :


1. Operating Empty Weight (OEW) pesawat kritis yang akan beroperasi
2. Pay Load untuk penerbangan dengan jarak terjauh.
3. Landing Weight pada Bandar Udara tujuan tidak boleh melebihi maximum structural
landing weight yang diijinkan pesawat tersebut.
4. Kebutuhan bahan bakar selama perjalanan untuk keperluan climb, cruise dan descent.
5. Take-off weight pesawat dihitung dengan menjumlahkan berat bahan bakar yang
diperlukan dengan OEW, atau menggunakan grafik Payload/Range dari Boeing. Berat takeoff tidak boleh melebihi Maksimum Take-off Weight (MTOW) yang diijinkan untuk pesawat
tersebut.
Contoh Data-data Critical Aircraft untuk Bandara Internasional yang akan mengoperasikan
pesawat berbadan lebar (wide body aircraft) sejenis Boeing B-747-400 adalah sebagai berikut
:
1. Critical Aircraft adalah : Boeing B747-400
2. Aircraft Dimension/characteristic (sumber Boeing) adalah sebagai berikut :
Wing Span : 64,92 m
Length : 70,67 m

Tail Height : 19,51 m


Typical Seating capacity : Upper Deck ; 42 buisness class
Lower deck : 24 first; 32 Buisness and 302 economy
Total : 402 seats
MTOW : 396.894 Kg.
Max. Design Landing Weight : 285.764 kg
Spec Operating Empty Weight (OEW) : 178.756 kg.
Max. Structural Pay Load : 67.319 kg.
Usable Fuel capacity : 215.991 ltr.= 173.426 kg
OEW + Max. Payload : 246.075 kg

I.1 Perhitungan Kebutuhan Panjang Lepas Landas (Take-off.)


Kebutuhan panjang landas pacu untuk keperluan take-off, dengan beban 336,00 ton (contoh
untuk jarak tempuh sekitar 3.410 NM= 6.310 km), dengan menggunakan Grafik yang
dikeluarkan oleh Boeing (zero wind), maka diperoleh panjang landas pacu (runway), untuk
sea level adalah 2.250 m.
Koreksi karena elevasi
Panjang runway bertambah sebesar 7 % setiap kenaikan 1000 feet (304,8 m) diatas Mean Sea
Level (MSL).
Fc = 1 + (0,07 x El/304,8.) dimana : Fc Faktor koreksi karena elevasi
El. = elevasi Bandar udara (m)

Fc = 1 + (0,07 x 19,161/304.8) = 1,0044

Koreksi akibat temperatur :


Panjang runway bertambah 1 % setiap kenaikan 1C dari Airport Reference Temperature
(ART). Setiap kenaikan 1000m dari elevasi muka air laut (MSL), maka temperature turun 6.5

C.
Ft = 1 + (0.01 x (T- (15-0.0065E)
Dimana : Ft = factor koreksi akibat temperature
T = Airport Reference Teperature (C.)=30 C (Data PT. AP-II)
E = Elevasi runway = 19,161 m (contoh)
Jadi :
Ft = 1+ (0,01x (30- (15-0,0065x19,161)
= 1,151

Koreksi terhadap kemiringan (slope) centerline runway :


Panjang runway akan dikoreksi sebesar 10 % untuk setiap 1 % perbedaan slope runway.
Fg = 1 + (0,1 x G)
Dimana : Fg = factor koreksi akibat kemiringan runway (m)
G = slope rata-rata (%) = 0,9 % (data dari PT. AP-II)
Fg = 1 + (0,1 x 0,9) = 1,09
Dengan demikian panjang runway untuk keperluan take-off adalah :
L = 2250 x 1.151 x 1.0044x1.09 = 2. 835 m. dibulatkan menjadi 2850 m
Perhitungan kebutuhan panjang take-off diatas menggunakan grafik dengan asumsi tidak ada
angin (zero wind), jadi kalau ada head wind akan mengurangi kebutuhan panjang take-off.

I.2 Perhitungan Kebutuhan Panjang Pendaratan (landing)


Dengan menggunakan Grafik dari Boeing untuk FAR Landing Runway Length Requirements
FLAPS 30 terlampir, dengan menggunakan data MDLW = 260.362 kg diperoleh panjang
runway untuk landing adalah 2000 m.
Grafik tersebut adalah pada kondisi dry condition (permukaan kering), sehingga perlu
dikoreksi kalau runway dalam kondisi basah (slippery) sebesar 15 %, sehingga panjang

runway untuk landing menjadi : L = 2000 + (0,15 x 2000) = 2300 m.

Runway extension from length 2500 m to


3000 m, for future operation of wide body aircraft Boeing B-747-400. as shown on the
picture
runway extension is under construction,
using flexible pavement with cement treated base
and asphalt concrete. This extension of the existing runway, afected to relocation of many
utilities like
Approach Lighting System Category I,
Threshold light, and also Navigation system
PAPI, Midle Marker and Glide Path + DME

Bandara, Lapter, Lanud: Apa Sih Bedanya? July 27, 2011


Posted
by
jjwidiasta
in Airport
Planning
trackback

and

Engineering.

Dalam percakapan umum sering terdengar istilah bandara, lapter, dan lanud. Ketiga istilah itu
memang menunjuk pada sebuah fasilitas atau instalasi yang berkaitan dengan dunia
penerbangan. Lalu, apa sih sebenarnya perbedaannya?
Mari kita simak apa itu beda tiga istilah tersebut. Secara praktis, kita coba merujuk saja pada
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Oh ya, sekadar pengingat
Undang-Undang ini merupakan revisi dari UU Penerbangan sebelumnya (UU Nomor 15
Tahun 1992). Jika dirunut lebih jauh, UU Penerbangan ini juga merupakan turunan dari dari
Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer-Ordonnantie) di jaman Pemerintahan Hindia
Belanda dulu kala, yaitu Staadsblaad 1939 100 jo. 101. Kalau gak percaya, lihatlah tiket
penerbangan, masih ada lho airline yang mencantumkan UU No.15/1992 atau pun
Ordonantie S. 1939-100 jo 101 tersebut.
Menurut UU Penerbangan yang baru tersebut, definisi bandar udara dan pangkalan udara
adalah sebagai berikut:

Bandar Udara (sering disingkat sebagai bandara) adalah kawasan di daratan dan/atau
perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat
dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra
dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan
penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.
Pangkalan Udara (sering disingkat sebagai lanud) adalah kawasan di daratan
dan/atau di perairan dengan batas-batas tertentu dalam wilayah Republik Indonesia yang
digunakan untuk kegiatan lepas landas dan pendaratan pesawat udara guna keperluan
pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia.
Nah, jelas, istilah bandar udara dan pangkalan udara sebenarnya merujuk pada area atau
fasilitas yang sama. Perbedaannya terletak pada fungsinya apakah untuk kepentingan
penerbangan sipil atau penerbangan militer. Bandar Udara adalah istilah yang umumnya
dipergunakan untuk kegiatan penerbangan sipil (civil aviation), sedangkan pangkalan udara
adalah istilah yang umumnya dipergunakan untuk kegiatan penerbangan militer (pertahanan
negara).
Permasalahannya, terkadang menjadi rancu karena ada beberapa bandara dan lanud itu
sebenarnya merupakan satu obyek atau area yang sama. Bedanya hanyalah pada kepentingan
untuk kepentingan penerbangan militer dan penerbangan sipil, yang secara fisik tampak pada
lokasi parkir pesawat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang dan terminal

penumpangnya berikut aksesnya ke moda transportasi lainnya. Contohnya adalah Lanud


Halim Perdanakusuma milik TNI AU yang juga dipergunakan sebagai bandar udara untuk
penerbangan sipil yang dioperasikan oleh PT Angkasa Pura II (Persero). Lanud Adisutjipto
Yogyakarta dan Lanud Adisumarmo Surakarta, keduanya merupakan pangkalan udara untuk
penerbangan militer TNI AU dan di dalamnya juga dipergunakan untuk melayani
penerbangan sipil sehingga juga disebut Bandara Adisutjipto dan Bandara Adisumarmo yang
dioperasikan oleh PT Angkasa Pura I (Persero). Lanud Ahmad Yani Semarang merupakan
pangkalan militer untuk penerbangan TNI AD, dan di dalamnya juga dipergunakan untuk
melayani penerbangan sipil yang dioperasikan oleh PT Angkasa Pura I (Persero). Demikian
pula Lanud Juanda Surabaya sejatinya merupakan pangkalan militer TNI AL. Fasilitas
terbangun di sebelah utara runway merupakan fasilitas atau bangunan untuk penerbangan
sipil yang dioperasikan oleh PT Angkasa Pura I (Persero). Bandara-bandara yang berada di
kawasan pangkalan udara tersebut sering disebut sebagai civil enclave airport (kurang lebih
berarti bandar udara sipil dalam kawasan militer).
Sebaliknya kegiatan penerbangan militer yang menumpang pada bandar udara sipil
disebut military enclave airport. Contohnya adalah Bandara Sepinggan Balikpapan dan
Bandara Juwata Tarakan. Di kedua bandara tersebut terdapat fasilitas militer untuk
kepentingan penerbangan militer.
Beberapa bandar udara di Indonesia juga dibuat dan dioperasikan secara murni sebagai
bandar udara untuk melayani penerbangan sipil. Contohnya adalah: Bandara Soekarno-Hatta
Jakarta, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar (terminal baru dan airside area yang baru), dan
beberapa bandar udara lainnya. Lantas, untuk penerbangan dinas kepolisian itu termasuk
penerbangan militer atau penerbangan sipil? Sesuai dengan UU Penerbangan tersebut,
penerbangan selain kepentingan pertahanan negara pada dasarnya mengacu dan tunduk pada
otoritas penerbangan sipil sehingga penerbangan dinas kepolisian termasuk sebagai
penerbangan sipil. Selain itu, dalam UU Kepolisian yang baru pun sebenarnya didefinisikan
dengan jelas bahwa kepolisian merupakan institusi sipil dan status personil kepolisian adalah
termasuk sebagai pegawai negeri sipil.
Istilah Lapangan Terbang (Lapter) memang tidak dikenal dalam Undang Undang
Penerbangan di Indonesia. Lapangan terbang nampaknya merupakan terjemahan dari
kata airfield. Dalam beberapa referensi terkait, istilah lapangan terbang ini merujuk pada
suatu wilayah daratan dan perairan yang digunakan sebagai tempat mendarat dan lepas landas
pesawat udara, termasuk naik turun penumpang dan bongkar-muat barang. Tetapi fasilitas
yang terdapat di lapangan terbang pada umumnya hanya fasilitas-fasilitas pokok untuk
menunjang penerbangan dan tidak selengkap seperti di sebuah bandar udara. Pada beberapa
bandar udara khusus yang dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan tambang atau kehutanan,
sering dipergunakan istilah lapangan terbang tersebut.

Istilah pelabuhan udara rupanya dalam era sejarah terdahulu pernah menjadi istilah standar
dari bandar udara. Pada era terdahulu memang ada Direktorat Pelabuhan Udara dan unit
organisasi Pelabuhan Udara. Pelabuhan udara nampaknya merupakan terjemahan dari kata
asing airport, sebagaimana Pelabuhan adalah terjemahan dari kata asing port yang merujuk
pada Pelabuhan Laut.
Sayangnya, pada Bagian atau Jurusan atau Departemen Teknik Sipil Transportasi di beberapa
perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta rupanya masih mempergunakan istilah
Perencanaan Lapangan Terbang atau Perencanaan Pelabuhan Udara untuk bagian dari mata
kuliahnya. Nampaknya menjadi sesuatu yang khas di negeri ini, dunia praktisi tampaknya
selalu selangkah di muka dibandingkan dunia pendidikan dan penelitian. Hehe

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian


Bandar Udara July 28, 2011
Posted
by
jjwidiasta
in Airport
Planning
and
Engineering.
trackback
Standar dan regulasi terkait dengan perencanaan, perancangan, dan pembangunan bandar
udara adalah sebagai berikut:
A. National Regulation and Standards
Undang-Undang:
1.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
Peraturan Pemerintah:

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan


Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4075);

Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan (Lembaga


Negara Tahun 2001 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4146);

Keputusan Menteri Perhubungan Udara Nomor: T.11/2/4-U tanggal 30 November


1960 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (CASR) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 22 Tahun 2002;

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 44 Tahun 2002 tentang Tatanan


Kebandarudaraan Nasional, yang diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM
11 Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional;;

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 48 Tahun 2002 tentang


Penyelenggaraan Bandar Udara Umum;

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pedoman dan Proses
Perencanaan di Lingkungan Departemen Perhubungan; yang diubah dengan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor KM 31 Tahun 2006 tentang Pedoman dan Proses Perencanaan
di Lingkungan Departemen Perhubungan;

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara Nomor SKEP/347/XII/1999 tentang Standar


Rancang Bangun dan/atau Rekayasa Fasilitas dan Peralatan Bandar Udara;

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara Nomor SKEP/120/VI/2002 tentang Petunjuk


Pelaksanaan Penyusunan Rencana Induk Bandar Udara;

Other regulation/mannual isued by Directoracte General of Civil Aviation of Ministry


of Transportation of The Republic of Indonesia.

Standar Nasional Indonesia (SNI)

Standar Industri Indonesia (SII)


B. International Standard and References
ICAO (International Civil Aviation Organization); Annex 1 up to Annex 18, Last
Edition, including its manual for the following:
2.
Aerodrome Design Manual (Doc 9157):

Part 1 Runway

Part 2 Taxiway, aprons dan Holding Bays

Part 3 Pavement

Part 4 Visual Aids

Part 5 Electrical System

Part 6 Frangibility.
1.

3.Airport Planning Manual (Doc 9184):

Part 1 Master Planning


Part 2 Land Use and Environmental Control
Part 3 Guidelines for Consultant/Construction Services.
4.Airport Services Manual (Doc 9137):

Part 1 Rescue and Fire Fighting


Part 2 Pavement Surface Conditions
Part 3 Bird Control and Reduction
Part 5 Removal of Disabled Aircraft
Part 6 Control of Obstacles
Part 7 Airport Emergency Planning
Part 8 Airport Operational Services
Part 9 Airport Maintenance Practices
Other standards and law regulations associated to planning, designing, and construction.

Istilah-Istilah dalam Dunia Penerbangan July 28, 2011


Posted
by
jjwidiasta
in Airport
Planning
trackback

and

Engineering.

Berikut dipaparkan istilah-istilah yang pada umumnya dipergunakan dalam dunia


penerbangan. Istilah-istilah ini menjadi standar baku bagi regulator penerbangan, airline
operator, airport operator, supporting business di bidang aviasi dan bandar udara, serta bagi
perencana, perancang dan pembangun bandar udara:
1.

Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah
udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan
keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
2.
Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan
Indonesia.
3.
Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena
gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi
yang digunakan untuk penerbangan.
4.
Pesawat Terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap,
dan dapat terbang dengan tenaga sendiri.
5.
Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap putar yang
rotornya digerakkan oleh mesin.
6.
Pesawat Udara Indonesia adalah pesawat udara yang mempunyai tanda pendaftaran
Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia.
7.
Pesawat Udara Negara adalah pesawat udara yang digunakan oleh Tentara Nasional
Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, kepabeanan, dan instansi pemerintah lainnya
untuk menjalankan fungsi dan kewenangan penegakan hukum serta tugas lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
8.
Pesawat Udara Sipil adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan
angkutan udara niaga dan bukan niaga.
9.
Pesawat Udara Sipil Asing adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan
angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda
kebangsaan negara asing.
10.
Kelaikudaraan adalah terpenuhinya persyaratan desain tipe pesawat udara dan dalam
kondisi aman untuk beroperasi.
11.
Kapten Penerbang adalah penerbang yang ditugaskan oleh perusahaan atau pemilik
pesawat udara untuk memimpin penerbangan dan bertanggung jawab penuh terhadap
keselamatan penerbangan selama pengoperasian pesawat udara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
12.
Personel Penerbangan, yang selanjutnya disebut personel, adalah personel yang
berlisensi atau bersertifikat yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang penerbangan.
13.
Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu
bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.
14.
Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut
pembayaran.

15.

Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani
kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain
di bidang angkutan udara.
16.
Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani
angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
17.
Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani
angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya.
18.
Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang
melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan
tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial
belum menguntungkan.
19.
Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke bandar
udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan.
20.
Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang
kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang,
kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.
21.
Jaringan penerbangan adalah beberapa rute penerbangan yang merupakan satu
kesatuan pelayanan angkutan udara.
22.
Tanggung Jawab Pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk
mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak
ketiga.
23.
Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan
tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan, atau
barang yang tidak bertuan.
24.
Bagasi Tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada
pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama.
25.
Bagasi Kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam
pengawasan penumpang sendiri.
26.
Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan
angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara
niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.
27.
Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk
lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara
penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau
diangkut dengan pesawat udara.
28.
Surat Muatan Udara (airway bill) adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses
elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian
pengangkutan udara antara pengirim kargo dan pengangkut, dan hak penerima kargo untuk
mengambil kargo.
29.
Perjanjian Pengangkutan Udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak
penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan
pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.
30.
Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau
kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.
31.
Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan
bandar udara dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan, keamanan,

kelancaran, dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos,
tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional dan daerah.
32.
Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem kebandarudaraan secara nasional
yang menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang,
pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi,
keterpaduan intra dan antarmoda transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan
keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.
33.
Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas
tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun
penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi,
yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas
pokok dan fasilitas penunjang lainnya.
34.
Bandar Udara Umum adalah bandar udara yang digunakan untuk melayani
kepentingan umum.
35.
Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani
kepentingan sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya.
36.
Bandar Udara Domestik adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara
yang melayani rute penerbangan dalam negeri.
37.
Bandar Udara Internasional adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar
udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari dan ke luar
negeri.
38.
Bandar Udara Pengumpul (hub) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan
pelayanan yang luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang dan/atau kargo
dalam jumlah besar dan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai
provinsi.
39.
Bandar Udara Pengumpan (spoke) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan
pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi terbatas.
40.
Pangkalan Udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dengan batas-batas
tertentu dalam wilayah Republik Indonesia yang digunakan untuk kegiatan lepas landas dan
pendaratan pesawat udara guna keperluan pertahanan negara oleh Tentara Nasional
Indonesia.
41.
Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) Bandar Udara adalah wilayah daratan dan/atau
perairan yang digunakan secara langsung untuk kegiatan bandar udara.
42.
Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah wilayah daratan dan/atau perairan
serta ruang udara di sekitar bandar udara yang digunakan untuk kegiatan operasi penerbangan
dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan.
43.
Badan Usaha Bandar Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang
kegiatan utamanya mengoperasikan bandar udara untuk pelayanan umum.
44.
Unit Penyelenggara Bandar Udara adalah lembaga pemerintah di bandar udara yang
bertindak sebagai penyelenggara bandar udara yang memberikan jasa pelayanan
kebandarudaraan untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial.
45.
Otoritas Bandar Udara adalah lembaga pemerintah yang diangkat oleh Menteri dan
memiliki kewenangan untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan
pelayanan penerbangan.
46.
Navigasi Penerbangan adalah proses mengarahkan gerak pesawat udara dari satu titik
ke titik yang lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan
penerbangan.

47.

Aerodrome adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu


yang hanya digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas.
48.
Keselamatan Penerbangan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan
keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan
udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
49.
Keamanan Penerbangan adalah suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada
penerbangan dari tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya
manusia, fasilitas, dan prosedur.
50.
Lisensi adalah surat izin yang diberikan kepada seseorang yang telah memenuhi
persyaratan tertentu untuk melakukan pekerjaan di bidangnya dalam jangka waktu tertentu.
51.
Sertifikat Kompetensi adalah tanda bukti seseorang telah memenuhi persyaratan
pengetahuan, keahlian, dan kualifikasi di bidangnya.

Feasibility Study and Site Selection for Airport Development July 28, 2011
Posted
by
jjwidiasta
in Airport
Planning
and
trackback

Engineering.

Pembangunan dan pengembangan prasarana bandar udara membutuhkan investasi dana


dalam jumlah yang tidak sedikit. Prinsip dasar pembangunan dan pengembangan bandar
udara utamanya harus memperhatikan tersedianya prasarana bandar udara dan ruang udara di
sekitarnya yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan transportasi secara selamat (safe),
aman (secure), nyaman (convenience) dan memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan
(comply). Oleh karena itu, sebelumnya perlu dilakukan studi kelayakan pembangunan
dan/atau pengembangan fasilitas bandar udara. Bila di suatu wilayah belum ada fasilitas
bandar udara, maka pemilihan lokasi pembangunan bandar udara juga merupakan hal yang
sangat signifikan karena memerlukan kajian yang komprehensif dari berbagai aspek yang
perlu diperhatikan, yaitu: 1) pengembangan wilayah, 2) teknis pelaksanaan pembangunan dan
pengembangan, 3) operasional dan keselamatan penerbangan, 4) lingkungan, 5) pengusahaan
jasa angkutan udara, serta 6) ekonomi dan finansial. Jadi studi kelayakan pembangunan dan
pengembangan bandar udara tidak hanya ditinjau dari aspek untung-rugi secara ekonomi dan
finansial semata.

Pada umumnya pembangunan dan pengembangan bandar udara di wilayah yang belum
berkembang atau sedang berkembang dilakukan oleh pemerintah sebagai kewajiban untuk
menyediaan infrastruktur publik. Sedangkan untuk wilayah yang sudah berkembang dan
skala kegiatan ekonominya pesat pada umumnya dibangun oleh badan usaha
penyelenggaraan bandar udara atau pihak swasta. Ada pula bandar udara khusus di wilayahwilayah yang hanya dapat dijangkau dengan transportasi udara seperti di kawasan tambang,
kawasan perkebunan, kawasan pengusahaan hutan yang pembangunannya dan
pengoperasiannya dilakukan oleh perusahaan yang memiliki ijin usaha khusus di kawasan
tersebut. Bandar udara khusus selalu melekat penggunaannya untuk mendukung kegiatan
pokok perusahaan di kawasan-kawasan khusus tersebut.
Maksud pelaksanaan studi kelayakan pembangunan/pengembangan bandar udara pada
dasarnya adalah melakukan kajian kelayakan pembangunan dan pengembangan bandar udara

serta menyusun rencana dasar pembangunan dan pengembangan bandar udara. Dalam
tahapan studi kelayakan juga dilakukan analisis dan evaluasi pemilihan alternatif lokasi
bandar udara untuk pembangunan bandar udara yang baru.
Tujuan pelaksanaan studi kelayakan bandar udara pada umumnya adalah sebagai berikut:
1.

Memperoleh informasi awal alternatif rencana lokasi bandar udara, kondisi ruang
udara, prospek pembangunan dan pengembangan fasilitas bandar udara pada rencana lokasi,
kondisi lingkungan dan potensi daerah sekitar;
2.
Menentukan lokasi rencana yang terpilih berdasarkan ketentuan dan persyaratan
pembangunan bandar udara serta menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk penetapan
lokasi bandar udara;
3.
Mendapatkan gambaran tingkat kelayakan pembangunan serta menentukan pedoman
langkah perencanaan lanjutan baik menyangkut aspek pengembangan wilayah, ekonomi dan
finansial, teknik pembangunan, operasional, pengusahaan jasa angkutan udara dan
lingkungan.
Rincian lingkup pekerjaan yang dilaksanakan pada tahapan studi kelayakan pembangunan
bandar udara sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut:
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Inventarisasi data terkait dengan tata ruang dengan fisik wilayah rencana
pembangunan bandar udara (rencana tata ruang, fisiografi daerah, meteorologi, jalur lalu
lintas udara dan kawasan keselamatan operasi penerbangan, ketersediaan bahan baku
konstruksi), data sosio-ekonomi dan lingkungan (demografi, kondisi perekonomian,
perdagangan dan industri, pariwisata, harga lahan, harga bahan bangunan dan unit pekerjaan
dana data sosial budaya dan kesehatan);
Telaah awal (desk study) terhadap faktor-faktor terkait dengan rencana pembangunan
bandar udara
Survei pendahuluan terhadap beberapa alternatif lokasi bandar udara yang akan
dibangun;
Pemilihan/seleksi lokasi bandar udara yang tepat dari beberapa rencana lokasi bandar
udara yang dikaji melalui aspek teknis, operasional, lingkungan dan biaya pembangunan;
Survey detail lapangan, pengukuran topografi dan penyelidikan tanah pada rencana
lokasi bandar udara yang terpilih;
Analisa mendalam (detailed analysis) kelayakan pembangunan lokasi bandar udara
terpilih, ditinjau dari kelayakan pengembangan wilayah, ekonomi dan finansial, teknis
pembangunan, operasional, pengusahaan jasa angkutan udara serta lingkungan;
Konsep tahap pembangunan bandar udara di lokasi terpilih beserta analisis kebutuhan
fasilitas bandar udara sesuai dengan rencana pentahapan pengembangannya;
Rencana pendahuluan (preliminary planning) terhadap rencana pembangunan bandar
udara di lokasi terpilih;
Penyiapan dokumen teknis untuk pengajuan penetapan lokasi bandar udara kepada
otoritas yang berwenang.
Rincian analisis kelayakan yang diperlukan dalam studi kelayakan pembangunan bandar
udara adalah sebagai berikut (Ref: Permenhub No.11/2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan
Nasional):

Analisis Kelayakan dan Keterpaduan dengan Perencanaan Wilayah, yang meliputi:


Keterpaduan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Keterpaduan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi


Keterpaduan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
Keterpaduan dengan Sistem/Tataran Transportasi Nasional
Keterpaduan dengan Tataran Transportasi Wilayah
Keterpaduan dengan Tataran Transportasi Lokal
Keterpaduan dengan Kebijakan Daerah Rawan Bencana, Daerah Terisolir, dan
Kawasan Perbatasan
Keterpaduan dengan Rencana Induk Bandar Udara Nasional.

Analisis Kelayakan Ekonomi dan Finansial, yang meliputi:


Kelayakan Ekonomi (economic feasibility includes: investation analysis and benefit analysis
impacted to the level of airport economic revenue, local governmnet revenue, and local
community revenue) dengan indikator:
E-Internal Rate of Return
E-Net Present Value
E-Benefit Cost Ratio atau E-Profitability Index
E-Payback Period

Kelayakan Finansial (financial feasibility includes cash-flow analysis for airport business
and the term of payback period) dengan indikator:
F-Internal Rate of Return
F-Net Present Value
F-Benefit Cost Ratio atau F-Profitability Index
F-Payback Period

Analisis Kelayakan Teknis Pembangunan, yang meliputi:


Kondisi topografi lahan
Kondisi relief permukaan bumi dan kemiringan lahan
Kondisi sistem drainase lahan
Kondisi cuaca (temperatur, arah dan kecepatan angin), visibility, ceiling, dan kondisi
atmosferik
Daya dukung tanah dasar, sifat fisik dan mekanik tanah dasar dan lithology tanah
dasar
Kondisi infrastruktur pendukung dan ketersediaannya (jalan, air baku, sumber daya
listrik, jaringan komunikasi)
Analisis Operasional dan Keselamatan Penerbangan, yang meliputi:
Kondisi ruang udara
Usability factor
Unit penyedia layanan pengatur lalu lintas udara
Usulan desain pesawat rencana
Dampak cuaca terhadap operasional bandar udara dan penerbangan
Ceiling
Visibility
Prosedur take-off dan landing

Analisis Kelayakan Pengusahaan Jasa Angkutan Udara, yang meliputi:


Lingkup wilayah pelayanan bandar udara

Potensi penumpang angkutan udara


Potensi cargo angkutan udara
Potensi rute penerbangan baru yang mungkin dikembangkan
Sistem pengoperasian bandar udara sebagai single airport atau multiple airport
Analisis ketersediaan armada penerbangan
Analisis multimoda untuk transportasi logistik
Analisis Kelayakan Lingkungan, yang meliputi:
Kondisi eksisting lingkungan (rona lingkungan awal)
Pengunaan lahan eksisting pada rencana lokasi bandar udara (lahan pertanian,
industri, tambang, hutan, perkebunan, kawasan konservasi alam, cagar budaya).
Status kepemilikan lahan
Kondisi drainase eksisting dan dampak pembangunan bandara terhadap sistem
drainase
Relokasi penduduk yang diperlukan
Keterpaduan dan keseimbangan dengan budaya setempat
Dampak keberadaan bandar udara terhadap masyarakat sekitarnya
Aspek demografi dan peluang lapangan kerja yang ditimbulkan.

Perencanaan dan Perancangan Bandar UdaraJuly 28, 2011


Posted
by
jjwidiasta
in Airport
Planning
trackback

and

Engineering.

Perencanaan dan perancangan bandar udara merupakan suatu pekerjaan yang kompleks dan
multi-faset. Sebuah proses yang membutuhkan integrasi dari berbagi disiplin keilmuan dan
keahlian dan memiliki lingkup perencanaan yang kompleks dari level perencanaan strategis
sampai dengan perancangan detail fasilitas yang terinci.
Disiplin keilmuan yang terlibat di dalamnya meliputi beberapa bidang sebagai berikut:

Airport planning and airport engineering.


Flight safety, airspace and air traffic operation, and airport operation system
Meteorological assessment
Air traffic forecasting and integration with other transport modes
Civil engineering (pavement engineering, structural engineering, road engineering,
include geotechnical engineering, and drainage system)
Geodetic engineering
Spatial and regional planning
Economic and financial assessment
Environmental assessment include physical, biological and socio-economic
environmental
Electrical and mechanical engineering.
Perencanaan dan perancangan bandar udara untuk penerbangan sipil (civil aviation) pada
dasarnya mengacu kepada standar dan rekomendasi praktis yang dikeluarkan oleh organisasi
penerbangan sipil sedunia yang dikenal dengan nama ICAO (International Civil Aviation
Organization). ICAO adalah sebuah badan di bawah naungan PBB yang berkantor pusat di
Montreal Kanada. Regional Office of ICAO untuk kawasan Asia dan Pasifik berada di
Bangkok Thailand. ICAO mengeluarkan dokumen standar dan rekomendasi praktis yang
harus dipatuhi oleh negara-negara anggotanya. Indonesia termasuk negara anggota ICAO
sehingga seluruh fasilitas dan instalasi bandar udara untuk penerbangan sipil semestinya
memenuhi standar dan rekomendasi yang dipersyaratkan oleh ICAO tersebut. Peraturan dan
standar yang dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan (Kementerian) dan Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara pada dasarnya senantiasa mengacu kepada standar dan
rekomendasi praktis dipersyaratkan oleh ICAO tersebut.
Dalam proses pembangunan dan pengembangan prasarana bandar udara pada umumnya
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) studi kelayakan (feasibility study)
pembangunan bandar udara di dalamnya termasuk pemilihan lokasi (site selection analysis),
2) studi rencana induk (master plan) berikut analisis KKOP (kawasan keselamatan operasi
penerbangan) dan analisis BKK (Batas Kawasan Kebisingan Bandar Udara), 3) studi Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan, dan 4) sampai pada tahapan penyusunan rancangan teknik
terinci fasilitas bandar udara (detailed engineering design).

Dalam implementasi proses perencanaan dan perancangan, sering dijumpai kasus-kasus


perencanaan yang dengan berbagai macam kontroversi permasalahan dan perlu melibatkan
beberapa pemangku kepentingan terkait dengan keberadaan bandar udara. Seperti dalam hal
pembangunan bandar udara baru, maka diperlukan kesepakatan dari berbagai pihak, seperti:
pemerintah, kalangan swasta, masyarakat setempat, airline serta operator bandar udara itu
sendiri terkait dengan tujuan proyek, sistem transportasi yang akan dikembangkan, maupun
kebijakan umum mengenai layak tidaknya suatu bandar udara baru dibangun.
Sedangkan pada kasus pengembangan bandar udara yang sudah ada biasanya tidak terdapat
pertentangan pokok antara berbagai pihak yang berkepentingan karena sasarannya cukup
jelas, yaitu peningkatan kemampuan sistem transportasi atau mutu pelayanan dalam
mengantisipasi peningkatan permintaan jasa transportasi di masa depan. Permasalahan pokok
pada pengembangan bandar udara yang ada pada umumnya terkait dengan ketersediaan lahan
pengembangan dan skala pengembangan bandar udara yang berkaitan dengan batasanbatasan tata guna lahan yang perlu diatur oleh pemerintah setempat dalam rangka menjaga
tersedianya kawasan keselamatan operasi penerbangan sesuai persyaratan yang ditentukan.
Esensinya, pengembangan bandar udara pasti memiliki dampak terhadap pengaturan
pengembangan kota atau kawasan di mana bandar udara itu berada.

Airports Master Planning July 28, 2011


Posted
by
jjwidiasta
in Airport
trackback

Planning

and

Engineering.

Rencana induk bandar udara atau yang juga dikenal sebagai master plan bandar udara pada
dasarnya merupakangrand-designpembangunan dan pengembangan dalam suatu tinjauan
waktu yang dirancang. Pada umumnya kurun waktu pengembangan adalah 20 tahun. Dengan
memperhatikan perkembangan lalu lintas udara yang dilayaninya serta memperhatikan
kondisi lingkungan strategis yang melingkupinya, dalam kurun waktu tinjauan tersebut sering
dilakukan kaji-ulang atau review terhadap rencana induk bandar udara yang telah disusun.
Definisi Rencana Induk Bandar Udara adalah pedoman pembangunan dan pengembangan
bandar udara yang mencakup seluruh kebutuhan dan penggunaan tanah serta ruang udara
untuk kegiatan penerbangan dan kegiatan penunjang penerbangan dengan
mempertimbangkan aspek-aspek teknis, pertahanan keamanan, sosial budaya serta aspekaspek terkait lainnya (Kepmenhub N048/2002).
Menurut dokumen Tatanan Kebandarudaraan Nasional (Permenhub Nomor KM 11/2010),
rencana induk suatu bandar udara paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo


Kebutuhan fasilitas
Tata letak fasilitas
Tahapan pelaksanaan pembangunan
Kebutuhan dan pemanfaatan lahan
Daerah lingkungan kerja
Daerah lingkungan kepentingan
Kawasan keselamatan operasi penerbangan
Batas kawasan kebisingan.
Prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo pada dasarnya ditentukan
oleh perhitungan permintaan dan kebutuhan (traffic forecasting) penumpang dan kargo. Tiga
hal yang harus diperhatikan dalam proses prakiraan tersebut adalah: 1) potensi penumpang
dan kargo tahunan dan pada saat jam sibuk dan kajian asal/tujuan penumpang dan kargo,
kemampuan membayar (ability to pay) dan kemauan membayar (willingness to pay) dari
suatu populasi yang ditinjau, 2) potensi jaringan/rute penerbangan dengan kajian asal dan

tujuan penumpang dan kargo, dan 3) potensi ketersediaan armada atau pesawat udara dengan
kajian kapasitas penumpang, jarak tempuh pesawat udara, umur pesawat udara, dan
perkembangan teknologi (jenis/tipe) pesawat udara.
Untuk kebutuhan fasilitas bandar udara merupakan hasil analisis dan perhitungan serta kajian
kebutuhan fasilitas pokok dan penunjang bandar udara. Dasar analisi dan perhitungan serta
kajian kebutuhan tersebut diturunkan dari parameter-parameter yang digunakan dalam
prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo (termasuk indikator jumlah
pergerakan pesawat, tipe/jenis pesawat, dan lain sebagainya).
Adapun fasilitas pokok bandar udara yang mesti dikaji dalam penyusunan rencana induk
adalah sebagai berikut:
Fasilitas Keselamatan dan Keamanan Penerbangan:
1.
PKP-PK (Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran)
2.
Salvage
3.
Alat Bantu Pendaratan Visual (Airfield Lighting System)
4.
Catu Daya Kelistrikan
5.
Pagar.
Fasilitas Sisi Udara (Airside Facilities):
1.
Landas Pacu (runway)
2.
Runway Strip
3.
Runway End Safety Area (RESA)
4.
Stopway
5.
Clearway
6.
Landas Hubung (taxiway)
7.
Landas Parkir (apron)
8.
Marka dan Rambu
9.
Taman Metorologi (fasilitas dan peralatan pengamatan cuaca)
Fasilitas Sisi Darat (Landside Facilities):
1.
Bangunan Terminal Penumpang
2.
Bangunan Terminal Kargo
3.
Menara Pengatur Lalu Lintas Penerbangan (Control Tower)
4.
Bangunan Operasional Penerbangan
5.
Jalan Masuk
6.
Parkir Kendaraan Bermotor
7.
Depo Pengisian Bahan Bakar Pesawat Udara
8.
Bangunan Parkir
9.
Bangunan Administrasi/Perkantoran
10.
Marka dan Rambu
11.
Bangunan Pengolah Limbah.
Sedangkan fasilitas penunjang yang merupakan fasilitas yang secara langsung dan tidak
langsung menunjang kegiatan pelayanan bandar udara dan memberikan nilai tambah secara
ekonomis/finansial kepada penyelenggara bandar udara antara lain sebagai berikut:
1.
2.

Fasilitas perbengkelan pesawat udara


Fasilitas pergudangan

3.
4.
5.
6.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Penginapan/hotel
Toko
Restoran, dan
Lapangan golf.
Rencana induk bandar udara juga memuat tata letak (layout) fasilitas bandar udara. Ini
merupakan rencana penataan fasilitas keselamatan dan keamanan, fasilitas sisi udara, fasilitas
sisi darat, dan fasilitas penunjang bandar udara. Rencana penataan fasilitas pokok dan
fasilitas penunjang ini setidaknya meliputi hal-hal sebagai berikut:
Kajian /analisis tapak (site), topografi, penyelidikan tanah (soil investigation)
Kajian/analisis sistem drainase bandar udara.
Kajian/analisis konfigurasi fasilitas pokok bandar udara: runway, runway strip, apron,
taxiway, terminal area dan jalan masuk menuju bandar udara dengan mengacu kepada hasil
perhitungan dan kajian kebutuhan fasilitas-fasilitas tersebut.
Kajian/analisis arah angin (wind rose) tahunan.
Kajian/analisis objek-objek obstacle di sekitar bandar udara
Kajian/analisis kondisi atmosferik
Kajian/analisis ketersediaan lahan pengembangan, dan
Kajian/analisis aksesibilitas dengan moda transportasi lainnya.
Untuk analisis atau kajian pelaksanaan pembangunan dilaksanakan dengan fokus pada
optimalisasi fasilitas eksisting dalam kerangka efisiensi dan aspek kemudahan pelaksanakan
di lapangan. Sifat rencana induk harus implementatif. Efisiensi dan efektivitas tahapan
pelaksanaan pembangunan fasilitas pada umumnya dikaji terhadap aspek:

Rencana tata guna lahan sampai desain tahap akhir (ulimate phase)
Kebutuhan fasilitas bandar udara dengan mempertimbangkan skala prioritas
berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan anggaran.
Rencana tata letak fasilitas bandar udara secara menyeluruh.
Rencana pengembangan fasilitas bandar udara tiap-tiap tahapan pembangunan hingga
tahap akhir (ultimate phase).
Adapun kebutuhan pemanfaatan lahan tapak bandar udara pada dasarnya merupakan
perhitungan dan kajian kebutuhan dan pemanfaatan lahan optimal sampai dengan tahap
ultimate yang terdiri atas

Luas lahan yang telah ada


Luas lahan tambahan untuk pengembangan
Prakiraan kebutuhan lahan pembangunan
Peta kepemilikan lahan dan rencana pembebasan lahan.
Dalam rencana induk bandar udara dikenal istilah Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara
atau disingkat dengan DLKr. DLKr merupakan daerah yang dikuasai badan usaha bandar
udara atau unit penyelenggara bandar udara, yang digunakan untuk pelaksanaan
pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas bandar udara. Daerah lingkungan
kerja bandar udara digunakan untuk:

Fasilitas pokok bandar udara (fasilitas sisi udara, fasilitas sisi darat, fasilitas navigasi
penerbangan, fasilitas alat bantu pendaratan visual, dan fasilitas komunikasi penerbangan).
Fasilitas penunjang bandar udara (fasilitas penginapan/hotel, fasilitas penyediaan toko
dan restoran, fasilitas penempatan kendaraan bermotor, fasilitas perawatan pada umumnya,
dan fasilitas lainnya yang menunjang secara langsung atau tidak langsung kegiatan bandar
udara).
Dalam rencana induk bandar udara juga dikenal istilah Daerah Lingkungan Kepentingan
Bandar Udata atau dikenal dengan istilah DLKp. Definisi DLKp adalah merupakan daerah di
luar lingkungan kerja bandar udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan
keamanan penerbangan, serta kelancaran aksesibilitas penumpang dan kargo.

Detailed Engineering Design for Airports Facilities July 28, 2011


Posted
by
jjwidiasta
in Airport
Planning
and
Engineering.
trackback
MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari pembuatan rancangan teknik terinci fasilitas bandar udara adalah untuk
melaksanakan pembuatan dokumen rancangan teknik terinci (detailed engineering
design) pembangunan dan pengembangan bandar udara yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan dan memenuhi standar kualitas persyaratan desain di bidang
kebandarudaraan.
Tujuan pembuatan rancangan teknik terinci adalah untuk mendapatkan produk detail
rekayasa desain (detailed engineering design) bandar udara berdasarkan atas hasil
penyusunan master plan, sebagai dokumen pedoman teknis pelaksanaan pekerjaan
konstruksinya.
LINGKUP PEKERJAAN
Lingkup pekerjaan yang dilaksanakan dalam tahap penyusunan detail rekayasa desain
1.
2.
3.
4.
5.

(detailed engineering design) meliputi :


Melakukan perancangan teknik terinci untuk setiap komponen fasilitas bandar udara
yang akan dibangun baik dalam gambar desain maupun dokumen analisis perhitungannya
Menyusun gambar desain/gambar tender masing-masing kelompok pekerjaan sebagai
acuan pembangunan oleh kontraktor pelaksana.
Menyusun spesifikasi teknik, yang memuat antara lain, ketentuan umum pelaksanaan
pekerjaan, bahan konstruksi, tata cara pelaksanaan konstruksi
Menyusun rencana anggaran biaya pelaksanan pekerjaan dan menyiapkan
dokumen bill of quantity.
Menyusun rencana kerja dan syarat-syarat, yaitu dokumen yang diperlukan sebagai
pedoman untuk proses pengadaan dan pelelangan pelaksanaan pekerjaan.
PROSES DAN PROSEDUR PELAKSANAAN
Dalam proses penyusunan suatu detail rekayasa desain, maka langkah dan tahapan yang
harus dilaksanakan oleh Konsultan sekurang-kurangnya adalah berikut:

1.

Melakukan kaji ulang rekomendasi tiap tahap master plan sebagai dasar bagi
penentuan kebutuhan serta dimensi komponen, bentuk komponen serta penempatannya pada
tahap yang akan dibuat rancangannya.
2.
Menyusun rancangan komponen ruang yang akan dibangun pada tahap-tahap tertentu
dalam bentuk gambar desain dengan berdasarkan kajian-kajian sebagai berikut : a)
Perhitungan dimensi dari setiap komponen bangunan yang akan dibuat rancangannya
berdasarkan standar desain yang berlaku. b) Penentuan desain arsitektur bangunan, denah,
spesifikasi bahan dan struktur bangunan, pertimbangan pengaruh iklim terhadap arsitektur
bangunan. c) Perancangan sistem saluran, pengolahan distribusi/pembagi, peralatan dan
bangunan-bangunan infrastruktur seperti: air bersih, jaringan kabel listrik, drainase, buangan
air kotor, saluran air hujan, pengolah limbah, peralatan dan perlengkapan pembuangan
sampah, pipa gas dan bahan bakar. d) Perkiraan volume galian dan timbunan.
3.
Perhitungan mengenai biaya konstruksi (pengadaan, pelaksanaan pekerjaan dan
biaya-biaya lain yang diperlukan untuk penyelesaian pekerjaan konstruksi).
KEDALAMAN KAJIAN DETAIL REKAYASA DESAIN

Dilihat dari kedalaman kajiannya, penyusunan detail rekayasa desain ini harus dapat
mengkaji dan merumuskan hal-hal sebagai berikut:
Perhitungan spesifikasi teknis rancangan dimensi daris setiap komponen bangunan.
Bentuk bangunan/desain arsitektur, tampak muka, belakang, samping, denah dan penempatan
komponen bangunan dan spesifikasi bahan.
1.

Analisis struktur perkerasan bandar udara, jalan akses dan jalan di lingkungan bandar
udara, analisis struktur bangunan untuk setiap bangunan.
2.
Detail desain dari sistem drainase termasuk dimensi saluran, detail desain dari sistem
jaringan air bersih, pegolahan limbah, sistem penyediaan bahan bakar.
3.
Analisis kebutuhan fasilitas telekomunikasi, navigasi udara, elektronika dan listrik
serta gambar skema instalasi dan spesifikasinya.
4.
Perhitungan biaya pelaksanaan konstruksi fisik serta pembagian biaya dalam setiap
tahapan pembangunan.
SISTEM PENYAJIAN GAMBAR DESAIN DAN DOKUMEN PERENCANAAN
Produk akhir pekerjaan pada tahap detail rekayasa desain bandar udara adalah Gambar
Rencana Tata Letak berskala 1:1000 yang dilengkapi dengan bentuk dasar tiap bangunan
yang disajikan dalam Gambar Rencana berskala 1:10 sampai dengan 1:100. Disamping itu,
hasil penyusunan detail desain tersebut akan divisualisasikan dalam bentuk maket berskala
1:1000.
Dalam detail rekayasa desain ini akan tergambar rancangan setiap fasilitas bandar udara
dengan skala dari 1:10 sampai dengan 1:100 yang memuat fasilitas-fasilitas bandar udara.
Disamping itu, produk lain yang dihasilkan adalah berupa Buku Rancangan Dasar (Basic
Design) yang merupakan perhitungan analisis fasilitas-fasilitas tersebut, Buku Prakiraan
Biaya Pembangunan dan Jadwal Pelaksanaan Pembangunan.
Gambar yang disajikan adalah berukuran A1 dan A3. Rincian daftar gambar sekurangkurangnya akan terdiri dari:
Umum
1.
1.
2.
3.
4.
5.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Peta Orientasi Lokasi


Rencana Tata Letak Fasilitas Bandar Udara
Rencana Pentahapan Penggunaan Lahan
Peta Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan
Peta Tingkat Kebisingan
Pekerjaan Sipil
Tata Letak Fasilitas Sisi Udara
Rencana Sistem dan Detail profil Saluran Drainase Sisi Udara
Rencana Lansekap Sisi Udara
Rencana dan Detail Sistem Pagar Pengaman Bandar Udara
Profil Memanjang dan Melintang Runway, Taxiway dan Apron
Profil Memanjang dan Melintang Service Road

7.

Rencana dan Profil Sistem Perkerasan Runway, Taxiway, Apron, dan Service
Road

3.
1.
2.
3.
4.

Pekerjaan Arsitektural
Tata Letak Bangunan dan Fasilitas Sisi Darat
Tampak dan Potongan Bangunan Terminal Penumpang dan Terminal Kargo
Detail Komponen-Komponen Bangunan Sisi Darat
Pekerjaan Bangunan Penunjang Operasi

1.

Tata Letak Bangunan Operasi (Tower, Gedung Administrasi, Power House,


dll)

2.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Tampak dan Potongan Bangunan Operasi (Tower, Gedung Administrasi,


Power House, dll)
Pekerjaan Utilitas
Tata Letak dan Jaringan Fasilitas Listrik
Tata Letak dan Jaringan Fasilitas Telekomunikasi dan Elektronika
Tata Letak dan Detail Fasilitas Navigasi Udara
Tata Letak dan Jaringan Air Bersih dan Air Kotor
Sistem Pengolahan Limbah
Sistem Penyediaan Bahan Bakar
Sistem Jaringan dan Detail Struktur Perkerasan Jalan Akses
Sistem dan Tata Letak Ruang Parkir Kendaraan dan Detail Struktur Perkerasan
dan Fasilitas Perparkiran.

Windrose Analysis August 1, 2011


Posted
by
jjwidiasta
trackback

in Airport

Planning

and

Engineering.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam


perencanaan dan perancangan bandar udara adalah penentuan arah landas pacu yang
memungkinkan di lokasi rencana pembangunan berdasarkan hasil analisis arah dan kecepatan
angin. Selain itu, besar dan kecilnya kecepatan angin dominan akan mempengaruhi
penetapan jenis pesawat yang dapat dioperasikan di bandar udara tersebut. Data arah dan
kecepatan angin dapat diperoleh dari stasiun meteorologi terdekat dengan rencana lokasi
bandara merupakan pendekatan terbaik untuk mengetahui karakteristik dan pola arah angin di
rencana lokasi bandar udara, karena ketersediaan data-series yang bisa mencakup rentang
waktu yang lama. Pada umumnya dipergunakan data-series dengan cakupan waktu 5 tahun
terakhir telah mampu menunjukkan kondisi wilayah kajian secara reliabel dan konsisten.
Analisis arah angin (windrose analysis) merupakan hal yang sangat esensial guna penentuan
arah landas pacu. Berdasarkan rekomendasi dari ICAO, arah landas pacu sebuah bandar
udara secara prinsip diupayakan sedapat mungkin harus searah dengan arah angin yang
dominan. Pada saat pesawat udara mendarat atau lepas landas, pesawat udara dapat
melakukan pergerakan di atas landasan pacu sepanjang komponen angin yang bertiup tegak
lurus dengan bergeraknya pesawat udara (cross wind) tidak berlebihan. Beberapa referensi
ICAO dan FAA menyatakan bahwa besarnya cross windmaksimum yang diperbolehkan
bergantung pada jenis dan ukuran pesawat yang beroperasi, susunan sayap dan kondisi
permukaan landasan pacu.
Penentuan arah landas pacu yang dipersyaratkan oleh ICAO adalah bahwa arah landas pacu
sebuah bandar udara harus diorientasikan sehingga pesawat udara dapat mendarat dan lepas
landas paling sedikit 95% dari seluruh komponen angin yang bertiup. Adapun besarnya batas
kecepatan komponen angin silang (cross wind) yang diijinkan adalah 10 knot untuk bandar
udara dengan panjang landas pacu kurang dari 1200 m, sebesar 13 knot untuk bandara
dengan panjang landas pacu 1200 1500 m, dan kecepatan angin silang 20 knot diijinkan
untuk bandara dengan panjang landas pacu lebih dari atau sama dengan 1500 m.

Selain faktor arah dan kecepatan angin, arah landas pacu juga harus memperhatikan faktor
kondisi topografi tapak rencana bandar udara serta relief rupabumi yang terlingkupi dalam
kawasan keselamatan operasi penerbangan. Utamanya kawasan ancangan pendaratan dan
lepas landas harus bebas dari obstruction (penghalang) berupa bentang alam, benda tumbuh
atau bangunan fisik buatan (tower, gedung, dsb.). Tolerasi variasi arah landas pacu yang
diijinkan adalah dengan memperhatikan usability factor tahunan menurut hasil windrore
analysis adalah sama atau lebih besar dari 95%.
Prosedur pengolahan data untuk analisis windrose adalah sebagai berikut :
1.

Melakukan evaluasi terhadap kualitas data dan berkonsultasi dengan institusi sumber
data (di Indonesia dilakukan oleh BMKG-Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika)
dalam hal tata cara pencatatan atau pendataannya, untuk mengetahui perilaku dan
karakteristik data yang akan diolah.
2.
Melakukan pemilihan data yang akan dipakai untuk data terpakai
3.
Membagi masing-masing data ke dalam beberapa kecepatan sehingga menjadi enam
kelompok sesuai ketentuan ICAO, yaitu:

Kecepatan kurang dari 4 knot

Kecepatan antara empat hingga 10 knot

Kecepatan antara 10 hingga 13 knot

Kecepatan antara 13 hingga 20 knot

Kecepatan antara 20 hingga 40 knot, dan

Kecepatan lebih dari 40 knot.


Langkah selanjutnya setelah pembangian data dalam kelompok kecepatan angin tersebut
adalah sebagai berikut:
1.

Membagi masing-masing data dalam setiap kelompok ke dalam arah angin per 10
derajat untuk mengelompokkan data terhadap arah angin.
2.
Membuat matrik arah angin terhadap kecepatan angin, sehingga didapatkan sejumlah
data untuk masing-masing arah dan kelompok kecepatan tertentu.
3.
Membuat windrose type-1, terkait dengan prosentase jumlah data terhadap arah angin
yang dominan
4.
Membuat windrose type-2, terkait dengan prosentase jumlah data terhadap arah dan
kecepatan angin sesuai matrik.
Berdasarkan data dan metode pengolahan tersebut di atas didapatkan besarnya prosentase
arah angin yang dominan pada kecepatan angin yang telah ditentukan serta jumlah frekuensi
untuk masing-masing kecepatan tersebut. Untuk operasi bandara selama 24 jam, maka
analisis windrose dilakukan selama pencatatan data 24 jam dan jika operasi bandara nantinya
direncanakan hanya siang hari jam 06.00 s.d 18.00 waktu setempat maka analisis windrose
juga dilakukan pada rentang waktu tersebut. Dalam hal ini dilakukan analisis untuk kondisi
24 jam tersebut sehingga akan didapatkan gambaran kondisi arah dan kecepatan angin
maupun usability factor yang terjadi.

Prosentase arah dan kecepatan angin untuk operasi bandara selama 24 jam dari hasil
analisis windrose pada umumnya disajikan dalam Tabel Perhitunganusability factor dan
Gambar Windrose.

Twin Otter Sang Armada Perintis August 2, 2011


Posted
by
jjwidiasta
in Airport
trackback

Planning

and

Engineering.

Siapa tak kenal Twin Otter? Begitu julukan populer untuk sebuah
jenis pesawat udara yang sangat-sangat populer di daerah-daerah yang masih terisolir.
Masyarakat yang tinggal di wilayah seperti di Papua, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara
Timur, atau Kepulauan Sangir Talaud tentu tidak akan pernah lupa akan jasa baik pesawat
udara kecil berdaya angkut 18-20 penumpang itu. Begitu lincah dan tangguhnya pesawat
udara ini melayani operasi di area dataran rendah berawa-rawa ataupun area penuh lekuk liku
pegunungan dengan kondisi cuaca yang beragam dan terkadang ekstrim. Pesawat udara ini
juga tidak manja, ia mau dan mampu mendarat dan lepas landas pada kondisi landas pacu
yang seadanya. Ada dataran berupa lapangan rumput sepanjang 600-an meter pun jadilah
sebagai tempat untuk mendarat atau lepas landas. Benar, memang pesawat udara ini termasuk
dalam jenis STOL (short take-off landing) aircraft. Gambar di samping ini adalah pesawat
udara Twin Otter milik maskapai Aviastar Mandiri yang sedang loading-unloading muatan di
Bandara Nabire Papua.

Diluar kehandalan pesawat udara ini,


barangkali juga terdengar beberapa kali kecelakaan yang dialami oleh jenis pesawat udara ini.
Ya, ini tak terlepas dari penugasan penerbangan keperintisan serta upaya menjelajahi daerahdaerah sulit yang terkadang berbagai faktor tak diperhitungkan sebelumnya. Tragedi Twin
Otter yang pernah menjadi cerita haru-biru yang kuingat adalah tragedi jatuhnya Twin Otter
di pegunungan Tinombala di Sulawesi Tengah. Betapa gigih perjuangan para korban yang
masih selamat dari kecelakaan pesawat udara itu untuk dapat bertahan hidup.
Nama teknis pesawat udara ini sebenarnya adalah DHC-6 Twin Otter. DHC singkatan dari De
Havilland Canada yang merupakan nama pabrik pembuat pesawat udara yang bermarkas di
Kanada. Angka 6 menunjukkan seri ke-6 dari rumpun pesawat kecil yang dibuatnya,

sedangkan nama Twin Otter nampaknya merujuk pada 2 buah mesin turbopropeler yang
dicangkokkan pada sayap yang menggantung di atas badan pesawatnya. Pabrik pembuat
pesawat De Havilland Canada tersebut kalau tidak keliru sekarang sudah diakuisisi oleh
raksasa pembuat pesawat dari Amerika Boeing Corporation dengan nama Boeing Canada.
Produk-produk terusan yang dibuat oleh pabrik Boeing Canada tersebut antara lain adalah
DASH8 yang di Indonesia seperti yang dioperasikan Wings Air, dan CRJ series (pesawat jet
regional berkapasitas 70-80an penumpang).

Keunggulan dan kehandalan pesawat jenis DHC6 Twin Otter


tampaknya memang sudah tidak diragukan lagi baik untuk penerbangan-penerbangan sipil
berjadwal maupun tidak berjadwal, penerbangan umum (general aviation), penerbangan dinas
sipil (survei pemotretan udara, SAR, dinas meteorologi, ambulance udara, dlsb), maupun
penerbangan dinas militer (misi pengintaian atau patroli). Merpati Nusantara Airline, salah
satu maskapai penerbangan nasional telah mempergunakan jenis pesawat ini sejak era 70-an
sampai sekarang di wilayah-wilayah terisolir di Kawasan Timur Indonesia. Memang untuk
Kawasan Barat Indonesia, tampaknya jenis pesawat udara ini sudah tidak banyak
dioperasikan.
Spesifikasi teknis pesawat udara DHC 6 Twin Otter adalah sebagai berikut (Janes Aircraft
Specification Book dan Wikipedia) :
Technical Drawings:

Spesifikasi (DHC6-300):
Kru: Minimum 1 orang kru, umumnya 2 orang kru. (Pramugari musti ada dalam
penerbangan jikalau jumlah penumpang lebih dari 19 orang)
Kapasitas: 19 or 20 passengers
Panjang Badan Pesawat (length): 51 ft 9 in (15.77 m)

Lebar Sayap (Wingspan): 65 ft (19.8 m)


Tinggi (Height): 19 ft 6 in (5.9 m)
Wing area: 420 ft (39 m)
Berat Kosong (Empty weight) : antara 7,000 lb (3,200 kg) dan 8,000 lb (3,628 kg)
Bobot Maksimum saat Lepas Landas (Max takeoff weight):12,500 lb (5,670 kg)
Mesin (Powerplant): 2 Pratt & Whitney PT6A-27 turboprop engines, 620 hp 680
hp (460 kW 507 kW) each
Performa:
Kecepatan Maksimum (Maximum speed): 183 knots (210 mph (340 km/h))
Kecepatan Jelajah (Cruise speed): 143 kt (165 mph (266 km/h))
Jarak Penerbangan Terjauh (Range): 920 nautical miles (1,050 mi (1,690 km))
Ketinggian Jelajah (Service ceiling): 26,700 ft (8,140 m)
Kecepatan Pendakian (Rate of climb): 1,600 ft/min (8.1 m/s)

Gambar di sebelah kiri berikut adalah DHC6 Twin Otter yang sedang
berputar di sekitar bandar udara Frans Kaisiepo Biak. Sedangkan gambar berikutnya adalah
ketika lepas landas meninggalkan bandar udara di Nabire.

Meskipun saat ini memang sudah semakin berkurang populasi Twin Otter yang beroperasi di
langit Indonesia, namun sebenarnya kebutuhan armada udara sekelas Twin Otter ini masih
sangat diperlukan, utamanya untuk penerbangan komuter di Kawasan Timur Indonesia.
Kabarnya PT Dirgantara Indonesia (dahulu IPTN) sedang mengembangkan pesawat udara
yang sekelas dengan Twin Otter yang dikenal nama N-219. Kapan tahun keluar produksinya
kita tunggu saja.

Kode Angka dan Huruf pada Ujung Landas PacuAugust 7, 2011


Posted
by
jjwidiasta
in Airport
Planning
trackback

and

Engineering.

Saat
kita
sedang take-off atau landing di
sebuah bandar udara, pernahkah kita perhatikan angka-angka yang tertera di permukaan
ujung-ujung landas pacu? Atau saat kita mau landing di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta,
pernahkah kita mendengar penjelasan dari pilot pesawat udara bahwa kita akan landing
melalui landas pacu 07R?
Apa arti dari frase landas pacu 07R itu? Ya, istilah teknis dalam dunia aviasi dan teknik
bandar udara memang khas. Namun, kalau kita mau merunut dengan jeli frase kata tersebut
dan memperhatikan bagaimana, dari arah mana pesawat udara itu landing, serta
memperhatikan layout bandar udaranya, maka sebenarnya kita akan dapat memahami secara
mudah arti frase landas pacu 07R tersebut.
Berdasarkan standar baku yang dikeluarkan oleh ICAO, landas pacu atau runway sebuah
bandar udara memang diberikan nomor kode pada ujung-ujungnya. Ibarat jalan raya, kode
garis dan angka yang tertera tersebut merupakan marka atau tanda yang memudahkan
pengguna landas pacu memanfaatkannya untuk lepas landas dan mendarat. Nomor kode
tersebut selain dimanfaatkan secara visual oleh pilot pesawat udara juga dipergunakan
sebagai identitas kode landas pacu dalam komunikasi antara awak pesawat udara dengan
pengatur lalu lintas udara yang bertugas di bandar udara.
Nomor kode tersebut pada dasarnya menunjukkan azimuth atau sudut dari ujung-ujung
runway terhadap arah utara peta atau utara magnetik. Sebagai contoh, Bandar Udara
Adisutjipto Yogyakarta memiliki kode azimuth runway 09-27. Angka 09 merujuk pada
ujung runway sebelah barat dan kode angka 27 merujuk pada ujung runway sebelah timur.
Makna dari pemberian angka pada kedua ujung landas pacu tersebut sebenarnya menunjuk
bahwa arah landas pacu Bandar Udara Adisutjipto adalah pada sudut 90 derajad dan 270
derajat atau arah timur dan barat. Angka 09 dan 27 tersebut sebenarnya merupakan hasil
pembulatan angka dalam dua digit yang mencerminkan sudut terdekat. Berapa sudut atau
azimuth riilnya (true bearing) suatu bandar udara? Data tersebut tersaji dalam AIP
(Aeronautical Information Publication) yang dikeluarkan oleh otoritas penerbangan suatu

negara. Di Indonesia dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen


Perhubungan selaku otoritas penerbangan sipil Indonesia.
Bagaimana penomoran landas pacu untuk bandar udara yang memiliki lebih dari sebuah
landas pacu? Untuk bandar udara yang memiliki dua buah runway posisinya sejajar, maka
disertakan kode huruf mengikuti kode angka yang diberikan. Contohnya adalah Bandar
Udara Soekarno-Hatta Jakarta. Bandar udara tersebut memiliki dua buah runway masingmasing sepanjang 3600m dan 3660m dengan posisi sejajar atau paralel. Orang awam sering
mengatakan runway selatan untuk runway yang berada di sebelah selatan Terminal 1, dan
runway utara untuk runway yang berada di sebelah utara Terminal 2 dan Terminal 3.Kode
untuk runway di sebelah utara adalah 07L dan 25R, sedangkan kode untuk runway di sebelah
selatan adalah 07R dan 25L.
Kedua runway di Bandar Udara Soekarno-Hatta memang dibangun dengan tata letak sejajar
dengan azimuth 70 derajad dan 250 derajad. Angka-angka sudut tersebut merupakan
pembulatan dari sudut riilnya. Dengan demikian maka penomoran runway di Bandara
Soekarno-Hatta tersebut adalah angka 07 untuk kedua ujung runway yang terletak di barat,
dan angka 25 untuk kedua ujung runway yang terletak di timur. Arti angka 07 merujuk pada
besaran sudut atau arah azimuth 70 derajad dari utara jika pesawat udara melakukan
pendekatan ke arah landas pacu dari area sebelah barat bandar udara. Sedangkan angka 25
merujuk pada sudut 250 derajad dari utara apabila pesawat udara menuju ke arah landas pacu
dari kawasan pendekatan di sebelah timur area bandar udara.
Lalu darimana asal muasal arah landas pacu itu ditetapkan? Faktor yang signifikan untuk
penentuan arah landas pacu dalam perencanaan dan perancangan bandar udara adalah
berdasarkan hasil analisis windrose dan analisis topografi tapak bandar udara.

Faktor-faktor Penentu Kebutuhan Panjang Runway September 1, 2011


Posted
by
jjwidiasta
in Airport
Planning
and
trackback

Engineering.

Panjang landas pacu sebuah bandar udara


sering kali dipahami hanya ditentukan oleh jenis pesawat udara yang melakukan pendaratan
dan lepas landas di bandar udara tersebut. Terkadang dianggap hanya sebagai sebuah hapalan
bahwa untuk operasional pesawat sekelas Cessna Grand Caravan cukup dibutuhkan runway
sepanjang 350m. Untuk jenis DHC Twin-Otter cukup dengan runway sepanjang 600 m.
Untuk pesawat sekelas ATR42, DASH8 atau Fokker 50 cukup diperlukan runway sepanjang
1400 m. Untuk pesawat sekelas Fokker 28 cukup diperlukan runway sepanjang 1850 m.
Untuk pesawat sekelas B737 series cukup diperlukan panjang 2250 m. Untuk pesawat sekelas
B747 series diperlukan panjang runway 3500 m. Benarkah memang demikian?
Berdasarkan referensi yang tertuang dalam Airport Design Manual (dokumen standar yang
dikeluarkan oleh ICAO), panjang landas pacu sebuah bandar udara ditentukan oleh berbagai
faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
a. Kinerja (Performance) Jenis Pesawat Rencana
Setiap jenis pesawat mempunyai karakteristik dan kinerja yang spesifik sesuai dengan kriteria
desain pada pasawat tersebut. Selain itu, berat pesawat juga mempunyai mempunyai
pengaruh terhadap kebutuhan panjang landasan pacu untuk tinggal landas (take-off) maupun
pendaratan (landing). Karena itu karakteristik dan kinerja pesawat udara menjadi dasar utama
dalam penentuan kebutuhan panjang ladas pacu bandar udara.
b. Suhu Udara
Suhu udara di permukaan landasan pacu suatu bandar udara berpengaruh terhadap kebutuhan
panjang landas pacu. Berdasarkan standar ISA (International Standard Atmospheric
Conditions), suhu standar yang ditetapkan untuk perhitungan panjang landas pacu adalah
sebesar 15C (27F). Artinya, kinerja dan karakteristik kebutuhan panjang dasar untuk
masing-masing jenis pesawat udara ditetapkan pada suhu tersebut. Panjang dasar kebutuhan
panjang untuk masing-masing jenis pesawat udara disebut sebagai ARFL (aeroplane
reference field of length). Adapun faktor koreksi terhadap suhu yang terjadi pada sebuah
bandar udara adalah bahwa setiap perbedaan 1C panjang landas pacu ditambah sebanyak

0,50 1,00 % dari kebutuhan panjang landasan pacu untuk take-off. Sedangkan untuk
pendaratan, suhu udara di bandar udara tidak banyak mempunyai pengaruh terhadap
kebutuhan panjang landasan pacu.
c.

Keadaan Angin

Untuk keperluan perencanaan, faktor angin baik itu berupa angin sakal (head-wind) ataupun
angin buritan (tail-wind) perlu dipertimbangkan. Dalam perhitungan kebutuhan panjang
landas pacu, keadaan angin pada umumnya diasumsikan dalam kondisi calm sehingga
diabaikan.
d. Kemiringan Memanjang (Longitudinal Slope)
Faktor kemiringan memanjang landas pacu akan mempengaruhi kebutuhan panjang landas
pacu cukup dominan dibandingkan dengan landas pacu horisontal atau rata. Kemiringan 1%
akan menyebabkan kebutuhan panjang landas pacu bertambah sekitar 5% tergantung dari
jenis pesawat yang beroperasi.
e.

Permukaan Landas Pacu

Struktur permukaan landas pacu disyaratkan sedemikian rupa sehingga efek gesekan roda
pesawat tidak banyak berpengaruh terhadap kebutuhan panjang landas pacu.
f.

Elevasi Permukaan Landas Pacu

Elevasi atau ketinggian permukaan landas pacu di atas permukaan air laut rata-rata (Mean
Sea Level MSL) akan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan panjang landas pacu.
Semakin tinggi permukaan landas pacu, maka semakin besar kebutuhan panjang landasan
pacu. Dalam perencanaan bandar udara pada umumnya dipergunakan ketinggian fisik
terhadap MSL.

PERENCANAAN GEOMETRIS RUNWAY METODA ICAO


MINGGU, NOVEMBER 18, 2012 ADI ATMADILAGA, S.T. NO COMMENTS
Dalam dunia penerbangan, perlu adanya pengaturan pesawat, baik itu take off, landing
maupun pada saat masuk ke taxi way dan apron. Runway (r/w): Bagian memanjang dari sisi
darat aerodrom yang disiapkan untuk tinggal landas dan mendarat pesawat terbang. Untuk
menjamin keselamatan pesawat maka dikeluarkan persyaratan-persyaratan untuk menentukan
panjang runway. Peraturan tersebut dikeluarkan oleh FAR (Federal Aviation Regulation) dan
I.C.A.O. Panjang landasan pacu bergantung pada suhu, kecepatan dan arah angin serta
tekanan udara di sekitarnya, juga kemampuan pesawat yang melintas di atasnya. Di daerah
gurun dan di dataran tinggi, umumnya landas pacu yang digunakan lebih panjang daripada
yang umum digunakan di bandara-bandara bahkan bandara internasional karena tekanan
udara yang lebih rendah. Jumlah landasan tergantung pada volume lalu lintas, dan orientasi
landasan tergantung kepada arah angin dominan yang bertiup, tetapi kadang kadang juga
luas tanah yang tersedia bagi pengembangan ada pengaruhnya.

Pengaruh Kemampuan Pesawat Terhadap Panjang Landas Pacu Dalam Perencanaan


Geometrik
Beberapa definisi berkenaan dengan topik ini:

Kecepatan awal mendaki - Initial Climb Out Speed (V2) : Kecepatan minimum yang
diperkenankan untuk mendaki sesudah mencapai ketinggian 10,5 m (35 Ft)

Kecepatan putusan Decision Speed (V1) : Kecepatan yang ditentukan dimana bila
mesin mengalami kegagalan saat kecepatan V1 belum tercapai pilot harus
menghentikan pesawat, namun apabila sudah melewati V1 maka pesawat harus terus
lepas landas dan tidak boleh mengurangi kecepatan

Kecepatan Rotasi - Rotation Speed (Vr) : Kecepatan pada saat pilot mulai mengangkat
hidung pesawat.

Kecepatan Angkat Lift Off Speed (V lot) : Kecepatan dari kemampuan pesawat, di
saat itu badan pesawat mulai terangkat dari landasan.

Jarak Landasan Pacu Take Off Distance : Jarak horizontal yang diperlukan untuk
lepas landas dengan mesin tidak berkerja tetapi pesawat telah mencapai ketinggian
10,5 m

Take off Run :

1. Jarak dari awal take off ke titik V lof + kali jarak pesawat mencapai ketinggian 10,5 m
dari V lof, pada keadaan mesin tidak berkerja.
2. Jarak dari awal take off ke titik V lof dikalikan 115% + kali jarak pesawat mencapai
ketinggian 10,5 m dari titik V lof x 115% tadi, pada keadaan mesin pesawat berkerja.

Jarak terbesarnya merupakan take off run


Accelerate Stop Distance : Jarak yang digunakan untuk mencapai kecepatan V1 + jarak untuk
berhenti dari titik V1
lStop way : Perpanjangan landasan, digunakan untuk menahan pesawat pada waktu gagal
lepas landas.
Clearway : Area di luar akhir landasan lebarnya paling sedikit 500 feet. As Clearway
merupakan perpanjangan as landasan, panjangnya tidak boleh melebihi panjang take off
run.
Untuk pesawat terbang bermesin turbin dalam menentukan panjang runway harus
mempertimbangkan tiga keadaan umum agar pengoperasian pesawat aman.

Ketiga keadaan tersebut adalah:

Lepas landas normal

Suatu keadaan dimana seluruh mesin dapat dipakai dan runway yang cukup dibutuhkan untuk
menampung variasi-variasi dalam teknik pengangkatan dan karakteristik khusus dari pesawat
terbang tersebut.

Lepas landas dengan suatu kegagalan mesin

Merupakan keadaan dimana runway yang cukup dibutuhkan untuk memungkinkan pesawat
terbang lepas landas walaupun kehilangan daya atau bahkan direm untuk berhenti.

Pendaratan

Merupakan suatu keadaan dimana runway yang cukup dibutuhkan untuk memungkinkan
variasi normal dari teknik pendaratan, pendaratan yang melebihi jarak yang ditentukan
(overshoots), pendekatan yang kurang sempurna (poor aproaches) dan lain-lain. Panjang
runway yang dibutuhkan diambil yang terpanjang dari ketiga analisa di atas
Keadaan pendaratan

Peraturan menyebutkan bahwa jarak pendaratan (landing distance = LD) yang dibutuhkan
oleh setiap pesawat terbang yang menggunakan bandara, harus cukup untuk memungkinkan
pesawat terbang benar-benar berhenti pada jarak pemberhentian (stop distance = SD), yaitu
60 persen dari jarak pendaratan, dengan menganggap bahwa penerbang membuat pendekatan
pada kepesatan yang semestinya dan melewati ambang runway pada ketinggian 50 ft.

1. Keadaan Normal

Semua mesin bekerja memberikan definisi jarak lepas landas (take off distance = TOD) yang
untuk bobot pesawat terbang harus 115 persen dan jarak sebenarnya yang ditempuh pesawat
terbang untuk mencapai ketinggian 35 ft (D35). Tidak seluruh jarak ini harus dengan
perkerasan kekuatan penuh. Bagian yang tidak diberi perkerasan dikenal dengan daerah bebas
(clearway = CW). Separuh dari selisih antara 115 persen dari jarak untuk mencapai titik
pengangkatan, jarak pengangkatan (lift off distance = LOD) dan jarak lepas landas dapat
digunakan sebagai daerah bebas (clearway). Bagian selebihnya dari jarak lepas landas harus
berupa perkerasan kekuatan penuh dan dinyatakan sebagai pacuan lepas landas (take off run
= TOR).

2. Keadaan dengan kegagalan mesin


peraturan menetapkan bahwa jarak lepas landas yang dibutuhkan adalah jarak sebenarnya
untuk mencapai ketinggian 35 ft (D35) tanpa digunakan persentase, seperti pada keadaan
lepas landas dengan seluruh mesin bekerja. Keadaan ini memerlukan jarak yang cukup untuk
menghentikan pesawat terbang dan bukan untuk melanjutkan gerakan lepas landas. Jarak ini
disebut jarak percepatan berhenti (accelerate stop distance = ASD). Untuk pesawat terbang
yang digerakkan turbin karena jarang mengalami lepas landas yang gagal maka peraturan
mengizinkan penggunaan perkerasan dengan kekuatan yang lebih kecil, dikenal dengan
daerah henti (stopway = SW), untuk bagian jarak percepatan berhenti diluar pacuan lepas
landas (take off run).

Panjang lapangan (field length = FL) yang dibutuhkan pada umumnya terdiri dari tiga bagian
yaitu perkerasan kekuatan penuh (FS), perkerasan dengan kekuatan parsial atau daerah henti
(SW) dan daerah bebas (CW). Untuk peraturan-peraturan diatas dalam setiap keadaan
diringkas dalam bentuk persamaan persamaan berikut :

Keadaan lepas landas normal:

Keadaan lepas landas dengan kegagalan mesin dan pendaratan :

Untuk menentukan panjang lapangan yang dibutuhkan dan berbagai komponennya yang
terdiri dari perkerasan kekuatan penuh, daerah henti dan daerah bebas, setiap persamaan
diatas harus diselesaikan untuk rancangan kritis pesawat terbang di bandara. Hal ini akan
mendapatkan setiap nilai-nilai berikut:
1. FL = (TOD, ASD, LD)/ maks (1.5)
2. FS = (TOR, LD)/ maks (1.6)
3. SW = ASD (TOR, LD)/ maks (1.7)

4. CW = (FL ASD, CW)/ min (1.8)


Dimana nilai CW minimum yang diizinkan adalah 0. Apabila pada runway dilakukan operasi
pada kedua arah, seperti yang umum terjadi, komponen-komponen panjang runway harus ada
dalam setiap arah.
Table 1.2. Klasifikasi Airport, Disain GroupPesawat dan Jenis Pesawat

Sumber ; Manual of Standards Part 139Aerodromes Chapter 2: Application of Standards


toAerodromes, Civil Aviation Safety Authority, Australian Government.

Perhitungan Panjang Runway Akibat Pengaruh Kondisi Lokal Bandara.


Lingkungan bandara yang berpengaruh terhadap panjang runway adalah:

Temperatur,

angin permukaan (surface wind)

Kemiringan runway (effective gradient)

Elevasi runway dari permukaan laut (altitude)

Kondisi permukaan runway.

Sesuai dengan rekomendasi dari International Civil Aviation Organization (ICAO)


bahwa perhitungan panjang runway harus disesuaikan dengan kondisi lokal lokasi
bandara. Metoda ini dikenal dengan metoda Aeroplane Reference Field Length
(ARFL).

Menurut ICAO, ARFL adalah runway minimum yang dibutuhkan untuk lepas landas
pada maximum sertificated take off weight, elevasi muka laut, kondisi atmosfir
standar, keadaan tanpa angin bertiup, runway tanpa kemiringan (kemiringan = 0).

Perencanaan persyaratan-persyaratan tersebut harus dipenuhi dengan melakukan


koreksi akibat pengaruh dari keadaan lokal

Koreksi elevasi
Menurut ICAO bahwa panjang runway bertambah sebesar 7% setiap kenaikan 300 m (1000
ft) dihitung dari ketinggian di atas permukaan laut. Maka rumusnya adalah:

Dengan Fe : faktor koreksi elevasi


h : elevasi di atas permukaan laut, m

Koreksi temperatur

Pada temperatur yang tinggi dibutuhkan runway yang lebih panjang sebab temperatur
tinggi akan menyebabkan density udara yang rendah.

Sebagai temperatur standar adalah 15 oC

Menurut ICAO panjang runway harus dikoreksi terhadap temperatur sebesar 1%


untuk setiap kenaikan 1 oC. Sedangkan untuk setiap kenaikan 1000 m dari
permukaaan laut rata-rata temperatur turun 6.5 oC

Rumus : Ft = 1 + 0.01 (T (15 - 0.0065h)) (1.10)


Dengan
Ft : faktor koreksi temperatur
T : temperatur dibandara, oC

Koreksi kemiringan runway


Faktor koreksi kemiringan runway dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Fs = 1 + 0.1 S .................... (1.11)
Dengan Fs : faktor koreksi kemiringan
S : kemiringan runway, %

Koreksi angin permukaan (surface wind)

Panjang runway yang diperlukan lebih pendek bila bertiup angin haluan (head wind) dan
sebaliknya bila bertiup angin buritan (tail wind) maka runway yang diperlukan lebih panjang.
Angin haluan maksimum yang diizinkan bertiup dengan kekuatan 10 knots, dan menurut
Basuki (1990) kekuatan maksimum angin buritan yang diperhitungkan adalah 5 knots. Tabel
berikut memberikan perkiraan pengaruh angin terhadap panjang runway.

Tabel 1. Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway

Sumber: Basuki (1990) Untuk perencanaan bandara diinginkan tanpa tiupan angin tetapi
tiupan angin lemah masih baik

Kondisi permukaan runway


Untuk kondisi permukaan runway hal sangat dihindari adalah adanya genangan tipis air
(standing water) karena membahayakan operasi pesawat. Genangan air mengakibatkan
permukaan yang sangat licin bagi roda pesawat yang membuat daya pengereman menjadi
jelek dan yang paling berbahaya lagi adalah terhadap kemampuan kecepatan pesawat untuk
lepas landas. Menurut hasil penelitian NASA dan FAA tinggi maksimum genangan air adalah
1.27 cm. Oleh karena itu drainase bandara harus baik untuk membuang air permukaan
secepat mungkin
Jadi panjang runway minimum dengan metoda ARFL dihitung dengan persamaan berikut:
ARFL = (Lro x Ft x Fe x Fs) + Fw (1.12)
Dengan

Lro : Panjang runway rencana, m

Ft : faktor koreksi temperatur

Fe : faktor koreksi elevasi

Fs : faktor koreksi kemiringan

Fw : faktor koreksi angin permukaan

Kontrol dengan ARC dapat dilakukan berdasarkan pada Tabel 2 berikut:


Tabel 2 Aerodrome Reference Code (ARC)

Sumber: Horonjeff (1994)


a. Lebar, Kemiringan dan Jarak Pandang Runway

Dari ketentuan pada Tabel 2 apabila dihubungkan dengan Tabel 3 berikut maka dapat
ditentukan lebar runway rencana minimum.
Tabel 3 Lebar Runway

a = lebar landasan presisi harus tidak kurang dari 30 m untuk kode angka 1 atau 2
catatan : apabila landasan dilengkapi dengan bahu landasan lebar total landasan dan bahu
landasannya paling kurang 60 m.
Sumber: Basuki (1990)

b.Kemiringan memanjang (longitudinal) runway


Kemiringan memanjang landasan dapat ditentukan dengan Tabel 5 dengan tetap mengacu
pada kode angka pada Tabel 4. Tabel 4 Kemiringan Memanjang (Longitudinal) Landasan

Catatan :
1. semua kemiringan yang diberikan dalam persen.
2. untuk landasan dengan kode angka 4 kemiringan memanjang pada seperempat pertama dan
seperempat terakhir dari panjang landasan tidak boleh lebih 0.8 %.
3. untuk landasan dengan kode angka 3 kemiringan memanjang pada seperempat pertama dan
seperempat terakhir dari panjang landasan precision aproach category II and III tidak boleh
lebih 0.8 %.
Sumber : Basuki (1990)

c. Kemiringan melintang (transversal)


Untuk menjamin pengaliran air permukaan yang berada di atas landasan perlu kemiringan
melintang dengan ketentuan sebagai berikut:
a) 1.5 % pada landasan dengan kode huruf C, D atau E.
b) 2 % pada landasan dengan kode huruf A atau B.

d. Jarak pandang (sight distance)


Apabila perubahan kemiringan tidak bisa dihindari maka perubahan harus sedemikian hingga
garis pandangan tidak terhalang dari :
a) Suatu titik setinggi 3 m (10 ft) dari permukaan landasan ke titik lain sejauh paling kurang
setengah panjang landasan yang tingginya 3 m (10 ft) dari permukaan landasan bagi
landasan-landasan berkode huruf C, D atau E.
b) Suatu titik setinggi 2 m (7 ft) dari permukaan landasan ke titik lain sejauh paling kurang
setengah panjang landasan yang tingginya 2 m (7 ft) dari permukaan landasan bagi landasanlandasan berkode huruf B.50
c) Suatu titik setinggi 1.5 m (5 ft) dari permukaan landasan ke titik lain sejauh paling kurang
setengah panjang landasan yang tingginya 1.5 m (5 ft) dari permukaan landasan bagi
landasan-landasan berkode huruf A.

Panjang, Lebar, Kemiringan dan Perataan Strip Landasan.

Tabel 5 Panjang, Lebar, Kemiringan dan Perataan Strip Landasan

Catatan:
a. 60 m bila landasan berinstrumen 30 m bila landasan tidak berinstrumen
b. kemiringan transversal pada tiap bagian dari strip di luar diratakan kemiringannya tidak
boleh lebih dari 5 %
c. untuk membuat saluran air kemiringan 3m pertama arah ke luar landasan, bahu landasan,
stopway harus sebesar 5 %

suatu landasan terbang sedikitnya 6,000 ft ( 1,800 m) biasanya digunakan untuk pesawat
terbang di bawah 200,000 lb ( 91,000 kg). Pesawat terbang lebih besar yang mencakup
widebodies ( Boeing 747, 767, 777, dan 787 [Preproduction]); Bis udara A310, A330, A340,
A350 dan A380; Mcdonnell Douglas DC-10 atau MD-11; dan Ruangan pesawat untuk pilot
L1011 pada umumnya memerlukan sedikitnya 8,000 ft (2,400 m) untuk ketinggian level
muka air laut sedang pada ketinggian lebih tinggi dibutuhkan lebih. International widebody
flights mungkin juga mempunyai kebutuhan lahan 10,000 ft ( 3,000 m)) atau lebih dan
kebutuhan takeoff 13,000 ft ( 4,000 m) atau lebih. Pada ketinggian level muka air laut,
panjang 10,000 ft ( 3,000 m) dapat dipertimbangkan suatu panjang yang cukup untuk
mengakomodasi hampir seluruh kapal. Sebagai contoh, pada O'Hare Pelabuhan udara
Internasional, ketika landasan pendaratan secara serempak pada 22R dan 27L atau 27R
paralel, negara-negara Timur Jauh yang rutin berdatangan pada vector 22R 7,500 ft ( 2,300
m) atau 27R 8,000 ft ( 2,400 m) untuk meminta 27L ( 10,000 ft (3,000 m)). Adalah selalu
mengakomodasi, walaupun adakalanya dengan suatu keterlambatan.

Konfigurasi Runway
Pada dasarnya landasan dan penghubungnya taxiway diatur sedemikian hingga :

Memenuhi persyaratan separation pemisahan lalu lintas udara.

Gangguan operasi satu pesawat dangan lainnya serta penundaan di dalam pendaratan,
taxiway serta lepas landas, minimal.

Pembuatan taxiway dari bangunan terminal menuju ujung landasan untuk lepas landas
dipilih yang paling pendek.

Pembuatan taxiway memenuhi kebutuhan hingga pendaratan pesawat dapat


secepatnya mencapai bangunan terminal.

Ada 5 bentuk wujud landasan terbang basis dasar dengan sisanya menjadi variasi pola teladan
yang asli [itu].
Banyak macam konfigurasi landas pacu, sebagian konfigurasi adalah kombinasi dari
konfiguarasi dasar. Konfigurasi dasar adalah :

Landasan tunggal

Landasan paralel

Landasan dua jalur

Landasan berpotongan

Landasan terbuka V

Konfigurasi ini ditentukan oleh arah angin dominan yang berhembus


Penamaan Runway Berdasarkan Arah Runway

Ilmu penerbangan dikendalikan oleh suatu agen Pemerintah status Yang dipersatukan
sebagai Administrasi Ilmu penerbangan Yang pemerintah pusat atau FAA.

Agen mengamanatkan standard identifikasi untuk tataruang bandara udara

Dari angka-angka landasan terbang dan strip dicat ke pelabuhan udara dan cahaya
landasan terbang dan tanda

Kompas Directionsin Ilmu pelayaran Dan survei, semua pengukuran arah dilakukan
dengan penggunaan angka-angka suatu kompas.

Suatu kompas adalah suatu 360 melingkar [di mana/jika] 0/360 adalah Utara, 90
Timur, 180 Selatan, dan 270 Barat.

Landasan terbang dipersiapkan menurut angka-angka [itu] pada suatu kompas.

Suatu arah kompas landasan terbang ditandai oleh sejumlah besar mencat pada ujung
landasan terbang masing-masing. sebelum nomor;strip berjumlah 8 belang putih.

Suatu nomor;jumlah landasan terbang tidaklah ditulis dalam derajat tingkat, tetapi
diberi suatu format stenografi.

Sebagai contoh, suatu landasan terbang dengan suatu tanda-tanda " 14" benar-benar
dekat dengan pun 140 derajat tingkat.

Suatu landasan terbang dengan suatu tanda-tanda " 31" mempunyai suatu kompas
[yang] memimpin 310 derajat tingkat, yang adalah arah barat laut.

Untuk kesederhanaan, FAA menyelesaikan judul yang tepat kepada yang paling dekat
sepuluh. Sebagai contoh, landasan terbang 7 kekuatan mempunyai suatu tanda tepat
68 derajat tingkat, tetapi dibuat untuk 70 derajat tingkat.

Landasan tunggal (Open Single Runways)

Landasan tunggal ini adalah konfigurasi yang paling sederhana, sebagian besar lapangan
terbang di Indonesia adalah landasan tunggal. Telah diadakan perhitungan bahwa kapasitas
landasan tunggal dalam kondisi Visual Flight Rule (VFR) antara 45 100 gerakan tiap jam,
sedangkan dalam kondisi IFR (Instrument Flight Rule) kapasitas berkurang menjadi 40 50
gerakan tergantung kepada komposisi pesawat campuran dan tersedianya alat bantu

navigasi. Kondisi VFR (Visual Flight Rules) adalah kondisi penerbangan dengan keadaan
cuaca yang sedemikian rupa sehingga pesawat terbang dapat mempertahankan jarak pisah
yang aman dengan cara-cara visual. Kondisi IFR (Instrument Flight Rules) adalah kondisi
penerbangan apabila jarak penglihatan atau batas penglihatan berada dibawah yang
ditentukan oleh VFR. Dalam kondisi-kondisi IFR jarak pisah yang aman di antara pesawat
merupakan tanggung jawab petugas pengendali lalu lintas udara, sementara dalam kondisi
VFR hal itu merupakan tanggung jawab penerbang. Dalam kondisi-kondisi VFR,
pengendalian lalu lintas udara adalah sangat kecil, dan pesawat terbang diizinkan terbang atas
dasar prinsip melihat dan dilihat.

Landasan Paralel (Open Parallel Runways)

Kapasitas landasan sejajar tergantung


kepada jumlah landasan dan pemisahan/penjarakan antara dua landasan. Yang biasa adalah
dua landasan sejajar (Cengkareng) atau empat landasan sejajar. Jarang ada landasan sejajar
tiga. Sampai saat ini belum ada landasan sejajar lebih dari empatPenjarakan antara dua
landasan sejajar sangat bermacam macam.
Penjarakan landasan dibagi menjadi tiga :

Berdekatan / rapat (Close)

Menengah (Intermediate)

Jauh /renggang (far)

Tergantung kepada tingkat ketergantungan antara dua landasan dalam kondisi IFR.
Landasan sejajar berdekatan (Close) mempunyai jarak sumbu kesumbu 100 ft = 213 M
(untuk lapangan terbang pesawat transport) sampai 3500 ft = 1067 M. Dalam kondisi IFR
operasi penerbangan pada satu landasan tergantung kepada operasi pada landasan lain.
Landasan sejajar menengah (Intermediate) mempunyai jarak sumbu kesumbu 3500 ft = 1067
M sampai 5000 ft = 1524 M. Dalam kondisi IFR kedatangan pada satu landasan tidak
tergantung kepada keberangkatan pada landasan lain. Landasan sejajar jauh (far) mempunyai
jarak sumbu kesumbu 4300ft = 1310 M atau lebih. Dalam kondisi IFR dua landasan dapat
dioperasikan tanpa tergantung kepada keberangkatan satu sama lain .
Untuk runway sejajar berjarak rapat, menengah dan renggang kapasitasnya per jam dapat
bervariasi di antara 100 sampai 200 operasi dalam kondisi-kondisi VFR, tergantung pada
komposisi campuran pesawat terbang. Dalam kondisi IFR kapasitas per jam untuk yang
berjarak rapat berkisar di antara 50 sampai 60 operasi, tergantung pada komposisi campuran
pesawat terbang. Untuk runway sejajar yang berjarak menengah kapasitas per jam berkisar

antara 60 sampai 75 operasi dan untuk yang berjarak renggang antara 100 sampai 125 operasi
per jam.
Untuk landasan sejajar empat, pasangan pasangan dibuat berdekatan. Dari dua pasangan
close dipisahkan jauh (far) untuk menempatkan bangunan terminal diantaranya.
.
Landasan 2 jalur

Landasan dua jalur terdiri dari dua landasan yang sejajar dipisahkan berdekatan (700 ft
2499 ft) dengan exit taxiway secukupnya. Walaupun kedua landasan dapat dipakai untuk
operasi penerbangan campuran, tetapi diinginkan operasinya diatur, landasan terdekat dengan
terminal untuk keberangkatan dan landasan jauh untuk kedatangan pesawat. Diperhitungkan
bahwa landasan dua jalur dapat melayani 70 % lalu lintas lebih banyak dari pada landasan
tunggal dalam kondisi VFR dan sekitar 60 % lebih banyak lalu lintas pesawat daripada
landasan tunggal dalam kondisi IFR. Didapat kenyataan bahwa kapasitas landasan untuk
pendaratan dan lepas landas tidak begitu peka terhadap pemisahan sumbu landasan antara dua
landasan bila pemisahan antara 1000 2499 ft. dianjurkan untuk memisahkan dua landasan
dengan jarak tidak kurang dari 1000 ft, bila di situ akan dipakai melayani pesawat pesawat
komersiil. Dengan jarak ini dimungkinkan juga pemberhentian pesawat di taxiway antara dua
landasan tanpa mengganggu operasi gerakan pesawat di landasan. Untuk memperlancar bisa
juga dibangun Taxiway sejajar namun tidak terlalu pokok.
Keuntungan utama dari landasan dua jalur adalah bisa meningkatkan kapasitas dalam kondisi
IFR tanpa menambah luas tanah.

Landasan bersilangan (Intersection Runways)

Banyak lapangan terbang (di luar negeri)


mempunyai dua atau tiga landasan dengan arah (direction) berlainan, berpotongan satu sama
lain, landasan demikian mempunyai patron bersilangan. Landasan bersilangan diperlukan jika
angin yang bertiup keras lebih dari satu arah, yang akan menghasilkan tiupan angin

berlebihan bila landasan mengarah ke satu mata angin. Pada suatu saat angin bertiup kencang
satu arah maka hanya satu landasan dari dua landasan yang bersilangan bisa digunakan Bila
angin bertiup lemah (kurang dari 20 knots atau 13 knots) maka kedua landasan, bisa dipakai
bersama sama. Kapasitas dua landasan yang bersilangan tergantung sepenuhnya di bagian
mana landasan itu bersilangan (di tengah, di ujung), serta cara operasi penerbangan yaitu
strategi dari pendaratan dan lepas landas. Kapasitas landasan ditentukan dari jarak
persilangan terhadap titik awal lepas landas. Semakin dekat jarak persilangan dengan titik
awal lepas landas maka semakin besar kapasitas yang dicapai.

Landasan V terbuka (Non-Intersection Divergen Runways)

Runway V terbuka merupakan runway


yang arahnya memencar (divergen) tetapi tidak berpotongan. Strategi yang menghasilkan
kapasitas tertinggi adalah apabila operasi penerbangan dilakukan menjauhi V. Dalam kondisi
IFR, kapasitas per jam untuk strategi ini berkisar antara 50 sampai 80 operasi tergantung pada
campuran pesawat terbang, dan dalam kondisi VFR antara 60 sampai 180 operasi. Apabila
operasi penerbangan dilakukan menuju V kapasitasnya berkurang menjadi 50 atau 60 dalam
kondisi IFR dan antara 50 sampai 100 dalam VFR. Sama halnya pada landasan bersilangan,
landasan V terbuka dibentuk karena arah angin keras dari banyak arah sehingga harus
membuat landasan dengan dua arah. Ketika angin bertiup kencang dari satu arah, maka
landasan hanya bisa dioperasikan satu arah saja, sedangkan pada keadaan angin bertiup
lembut, landasan dua duanya bisa dipakai bersama sama.
Perbandingan Dari Berbagai Konfigurasi Landasan

Dilihat dari segi kapasitas dan pengaturan lalu lintas udara, konfigurasi landasan
tunggal aalah yang paling disenangi.

Operasi dari dua arah menghasilkan kapasitas sama serta pengaturan yang sama,
konfigurasi ini menghasilkan kapasitas terbanyak dibandingkan konfigurasi lain.

Bagi pengatur lalu lintasnya mengarahkan pesawat dengan arah tunggal jauh lebih
sederhana dibandingkan banyak arah.

Sekarang kita bandingkan konfigurasi divergen, landasan dengan V terbuka lebih


disukai daripada landasan dengan konfigurasi persilangan.

Pada V terbuka, strategi operasinya dengan rute pesawat membuka V menghasilkan


kapasitas lebih banyak daripada operasi sebaliknya. Bila tidak bisa dihindari landasan
berpotongan, diusahakan agar berpotongan dua landasan tadi sedekat mungkin pada
threshold nya, dan mengoperasikan pesawat dengan arah menjauhi perpotongan
daripada sebaliknya.

Bagan alir perencanaan runway metoda ICAO

Anda mungkin juga menyukai