Anda di halaman 1dari 10

VALUASI EKOSISTEM GAMBUT

KELOMPOK 2
Meyoerdid Loppies

(12314255)

Agnes Anisa oktaviana

(12314259)

Endang Prasetyarini

(12314261)

Ahmad Faisal Harits

(13314409)

Anindita Risky Iswari

(13314411)

Apriliana Umi Lestari

(13314413)

Farid Neldi Putra

(13314419)

Ganis Arifia Ningrum

(13314421)

SEKOLAH TINGGI TEKNIK LINGKUNGAN


YAYASAN LINGKUNGAN HIDUP
YOGYAKARTA
2013/2014

A. Latar Belakang
Ekosistem gambut merupakan salah satu tipe ekosistem lahan basah yang memiliki
fungsi dan manfaat unik, khususnya terkait dengan fungsi hidrologis. Dalam kondisi
alamiahnya, ekosistem gambut selalu dalam keadaan tergenang air, memiliki pH rendah
(asam), dan miskin unsur hara. Dengan demikian, ekosistem gambut menjadi habitat yang
unik bagi keanekaragaman hayati tertentu yang memiliki kemampuan untuk hidup pada
kondisi tersebut. Beberapa jenis diantara keanekaragaman hayati tersebut memiliki nilai
penting bagi masyarakat lokal, baik sebagai sumber pangan, sandang maupun obat-obatan.
Dalam satu dekade terakhir ini, gambut bahkan banyak menjadi perhatian terutama
karena perannya sebagai pengikat dan penyimpanan karbon terkait dengan perubahan iklim.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ekosistem gambut dapat menyimpan karbon jauh
lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Pemanfaatan umum yang banyak
ditemukan adalah konversi lahan untuk pertanian, kehutanan atau perumahan. Manfaat dan
nilai lainnya termasuk kayu, hasil-hasil hutan non-kayu, penyediaan dan penyimpanan air,
pengendali banjir, penyerap dan penyimpan karbon, ekowisata dan konservasi
keanekaragaman hayati. Peningkatan konversi dan degradasi gambut yang disebabkan oleh
kebakaran hutan dan lahan telah cukup banyak mengurangi sumberdaya lahan gambut
selama beberapa tahun terakhir.
Mengingat berbagai keunikan dan manfaatnya bagi kehidupan manusia serta
kerentanannya, maka pemanfaatan ekosistem gambut memerlukan adanya perencanaan yang
sangat hati-hati. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) adalah merupakan
kemutlakan yang harus direncanakan dan diterapkan secara terpadu. Valuasi ekonomi
ekosistem gambut, dengan demikian, diharapkan akan menjadi pintu masuk strategi
perencanaan yang dapat menggambarkan sejauh mana pemanfaatan ekosistem gambut dapat
dilakukan.

B. Tujuan
Mengetahui valuasi (nilai) yang terkandung dalam ekosistem gambut sehingga dapat
terpelihara kelestarian fungsi ekologisnya yang merupakan media stabilisator keseimbangan
hidrologis bagi kawasan sekitarnya yaitu mengikat dan penyimpanan karbon.

C. Pembahasan

Dalam mengestimasi manfaat barang dan jasa ekosistem, uang digunakan sebagai
indikator perhitungan dengan alasan sekarang ini uang dianggap sebagai indikator yang
sesuai untuk mengukur keuntungan dan kerugian yang diperoleh masyarakat dari perubahan
kualitas lingkungan (Djajadiningrat, 2003). Perhitungan manfaat dari barang dan jasa yang
dihasilkan ekosistem ini dikenal dengan istilah valuasi. Valuasi berasal dari kata value atau
nilai yang artinya persepsi seseorang terhadap makna suatu obyek dalam waktu dan tempat
tertentu (Costanza dkk, 1997). Jadi valuasi adalah prosedur yang dilakukan untuk
menemukan nilai suatu sistem. Nilai yang dimaksud dalam valuasi adalah nilai manfaat
(benefit) suatu barang yang dinikmati oleh masyarakat. Valuasi ekonomi mengacu pada
penetapan nilai uang untuk asset, barang-barang dan jasa non-market suatu ekosistem
dimana nilai uang mempunyai arti dan ketepatan tertentu. Jasa dan barang-barang nonmarket mengacu pada sesuatu yang tidak mungkin secara alangsung dibeli dan dijual di
pasar (Bateman, 2002 dalam Umar 2004). Dengan demikian valuasi ekonomi merupakan
metode pengukuran untuk mentransformasi nilai barang atau jasa non-market ke nilai
moneter.
Sistem valuasi ekonomi dikembangkan berbasis pada titik pertukaran (exchange)
antara nilai barang dan jasa ekosistem serta kesediaan orang untuk membayar barang dan
jasa tersebut (Costanza dkk.,1997, Liu, 2009). Valuasi lingkungan adalah suatu alat yang
valid dan reliabel untuk menjadikan dasar pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya
alam (Anonim, 1999). Valuasi dapat dipakai untuk berbagai kepentingan, diantaranya untuk
mengkaji berapa kontribusi yang diberikan oleh suatu ekosistem untuk kesejahteraan
manusia, untuk memahami akibat yang akan dihadapi oleh para pengambil kebijakan dalam
mengelola ekosistem, dan untuk mengevaluasi konsekuensi dari tindakan-tindakan yang
akan diambil.Valuasi merupakan perangkat yang menambah kemampuan para pengambil
kebijakan untuk mengevaluasi alternatif pengelolaan ekosistem dan melacak dampak dari
berbagai kegiatan yang mengubah penggunaan ekosistem. Valuasi biasanya memerlukan
kajian terhadap perubahan kombinasi jasa yang dihasilkan oleh sebuah ekosistem. Kegiatan
yang akan dilakukan sebagian besar terkait dengan pendugaan perubahan keuntungan yang
diperoleh dari ekosistem, termasuk pendugaan manfaat secara fisik (kuantifikasi dari
hubungan biofisik), serta terkait pula dengan serangkaian hubungan sebab-akibat dari
perubahan ekosistem terhadap kesejahteraan manusia (Anonim, 1999).

Berikut ini beberapa alasan mengapa perkiraan nilai ekosistem perlu dilakukan (King
dan Mazzota, 2004) :
1. Untuk menjustifikasi dan memutuskan cara mengalokasikan dana untuk konservasi
pemeliharaan, atau restorasi lingkungan,
2. Untuk mempertimbangkan nilai-nilai masyarakat, serta memperkuat partisipasi dan
dukungan masyarakat untuk peduli lingkungan,
3. Untuk membandingkan keuntungan-keuntungan dari program atau proyek yang berbeda,
4. Untuk memprioritaskan proyek konservasi atau restorasi,
5. Untuk mengoptimalkan manfaat setiap dana yang dikeluarkan untuk lingkungan.
King dan Mazzota (2004) mengemukakan bahwa untuk menilai suatu ekosistem ada
dua pendekatan yang bisa digunakan, yaitu pendekatan penialaian berbasis dolar (DolarBased Ecosystem Valuation Methods) dan penilaian non-moneter (Non-Dolar Based
Ecosystem Valuation Methods). Sedangkan secara lebih spesifik Canonizado (2002)
mengemukakan tiga pendekatan untuk mengukur nilai keanekaragaman hayati, yaitu dengan
penilaian ekonomi total ( Total Economy Valuation), penilaian Ekonomi parsial (Partial
Economic Valuation) dan Analisis dampak (Impact Analysis).
Beberapa metode yang sering digunakan dalam valuasi ekosistem :
1. Metode harga pasar ( Market PriceMethod)
Digunakan untuk menaksir nilai ekonomi produk atau jasa ekosistem yang diperjual
belikan di pasar. Perubahan nilai dalam kuantitas atau mutu barang atau jasa ekosistem
harus diperhatikan. Metode ini menggunakan teknik ekonomi baku untuk mengukur nilai
ekonomi dari barang-barang yang dijual, berdasarkan pada jumlah orang yang membeli
dengan harga yang berbeda, serta jumlah barang yang tersedia dengan harga yang
berbeda. Metode baku untuk mengukur nilai penggunaan dari penjualan sumber daya di
pasaran adalah penilain surplus konsumen dan surplus produsen yang menggunakan
harga pasar dan data kuantitas.
2. Metode biaya perjalanan (Travel-cost Method/ TCM)
Metode ini digunakan untuk mengukur permintaan aktivitas rekreasi (Navrud, 1997).
Metode biaya perjalanan digunakan untuk memperkirakan nilai penggunaan ekosistem
atau lokasi yang digunakan untuk rekreasi.
3. Metode penetapan harga hedonik (Hedonic Pricing Method)

Digunakan untuk mengukur nilai-nilai yang menempel pada berbagai karakteristik


ekosistem sehingga menimbulkan rasa keinginan untuk membayar (willingness-topay/WTP) pada orang-orang yang menghindari dampak hilangnya jasa suatu ekosistem
(Navrud, 1997). Metode penetapan harga hedonik untuk memperkirakan nilai-nilai
ekonomi untuk ekosistem yang secara langsung mempengaruhi harga pasar. Metode ini
dapat digunakan untuk memperkirakan biaya-biaya atau manfaat ekonomi yang
berhubungan dengan mutu lingkungan, mencakup polusi udara, polusi air, atau polusi
suara dan kenyamanan lingkungan seperti pemandangan ayang estetis atau jarak ke lokasi
rekreasi.
4. Penilaian ketidaktentuan
Yaitu suatu teknik ekonomi berdasarkan survei untuk penilaian sumber daya yang
tidak ada pasarnya (non-market) di ekosistem tertentu (King dan Mazzota,2004). Sumber
daya ini berguna bagi orang-orang, namun aspek tertentu dari kegunaan

ini tidak

mempunyai pasar (harga) karena keberadaannya tidak secara langsung dapat dijual.
Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam
keadaan asam dengan pH 3,5 - 4,0. Hal itu tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara.
Menurut Indriyanto (2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada
daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di
dalamnya terdapat penumpukan bahan bahan tanaman yang telah mati.
Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik
karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada
umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi
bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.
Menurut Irwan (1992), gambut adalah suatu tipe tanah yang terbentuk dari sisa-sisa
tumbuhan (akar, batang, cabang, ranting, daun, dan lainnya) dan mempunyai kandungan
bahan organik yang sangat tinggi. Permukaan gambut tampak seperti kerak yang berserabut,
kemudian bagian dalam yang lembap berisi tumpukan sisa-sisa tumbuhan, baik itu
potongan-potongan kayu besar maupun sisa-sisa tumbuhan lainnya.
Tanah gambut selalu terbentuk di tempat yang kondisinya jenuh air atau tergenang,
misalnya cekungan di antara dua sungai besar. Bila cekungan tersebut sempit, gambut yang

terbentuk biasanya merupakan gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 (nol koma lima)
hingga 1 (dua) meter atau gambut sedang dengan ketebalan antara 1-2 m (satu hingga dua
meter). Jika jarak horizontal kedua sungai besar tersebut cukup jauh, hingga beberapa puluh
kilometer, maka tanah gambut biasanya membentuk kubah gambut (peat dome) yang cukup
besar dan dalam (2-3 meter) hingga sangat dalam (lebih dari 3 meter). Ketebalan adalah
merupakan salah satu karakteristik unik dari ekosistem gambut yang menuntut adanya
pengelolaan yang khas, berbeda dengan ekosistem lainnya.
Salah satu karakteristik unik lainnya dari lahan gambut adalah miskinnya unsur hara
bagi pertumbuhan vegetasi di atasnya. Hal tersebut antara lain disebabkan karena pasokan
haranya sebagian besar bergantung kepada air hujan. Ketidakadaan pasokan hara dari
tempat lain tersebut yang kemudian menjadikan vegetasi yang tumbuh di atas lahan gambut
akan tumbuh dalam sirklus hara yang sangat terbatas. Dengan kondisi tersebut, maka pada
bagian puncak kubah cenderung akan memiliki struktur vegetasi yang berbeda dengan di
bagian sisi kubah. Pada bagian sisi yang memiliki kedalaman gambut lebih tipis, akar
tanaman umumnya masih dapat mencapai tanah mineral, sehingga vegetasinya masih
berbentuk hutan campuran yang lebih besar dan keanekaragamannya lebih tinggi. Sementara
itu, pada bagian puncak kubah tumbuhannya cenderung memiliki diameter lebih kecil,
kurang lebat dan keanekaragaman jenisnya lebih sedikit.
Terkait dengan fungsi hidrologisnya, gambut memiliki karakteristik daya penahan air
yang sangat tinggi, hingga 300-800% (tiga ratus hingga delapan ratus per seratus) dari
bobotnya. Selain itu, gambut juga memiliki daya lepas yang cukup besar. Dengan demikian,
gambut sangat berperan penting sebagai penyimpanan air pada saat musim hujan dan
kemudian menyediakan pasokan air pada musim kemarau.
Terkait dengan isu perubahan iklim, cadangan karbon yang tersimpan di dalam gambut
di Indonesia adalah sekitar 132 (seratus tiga puluh dua) gigaton karbondioksida equivalen
(CO2e) di bawah permukaan serta 4,2 (empat koma dua) gigaton karbon di atas permukaan.
Namun apabila gambut terbakar dan drainase, maka karbon yang tersimpan kemudian akan
terlepas ke atmosfir dan menjadi gas rumah kaca yang dapat mengganggu kestabilan iklim.
Suatu studi menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut tidak saja melepaskan
karbon ke atmosfir, tetapi juga merupakan sumber utama pencemaran asap, sehingga
menyebabkan kerugian regional lebih dari US $ 9 (sembilan) miliar dan telah menimbulkan

kerugian bagi setidaknya 75 (tujuh puluh lima) juta orang. Tentu saja jumlah tersebut jauh
lebih tinggi dari penghematan finansial kegiatan pembukaan lahan dengan menggunakan
pola pembakaran.
Luas lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 20,6 (dua puluh koma enam) juta
hektar. Jika dilihat penyebarannya, sebagian besar terdapat di Sumatera (sekitar 35%),
Kalimantan (sekitar 30%), Papua (sekitar 30%), dan Sulawesi (sekitar 3%). Di Pulau
Sumatera penyebaran lahan gambut pada umumnya tedapat di dataran rendah sepanjang
pantai timur yaitu wilayah Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, dan
Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai mencapai 50300 km (lima puluh
hingga tiga ratus kilometer) dari garis pantai. Dalam wilayah yang lebih sempit, lahan
gambut juga ditemukan di dataran pantai barat, khususnya wilayah provinsi Bengkulu,
Sumatera Barat, dan Aceh. Penyebarannya ke arah hilir sungai umumnya mencapai sekitar
10-50 km (sepuluh hingga lima puluh kilometer) dari garis pantai.
Di pulau Kalimantan lahan gambut umumnya terletak di kawasan rawa, baik pada
zona lahan rawa air tawar maupun zona lahan pasang surut. Di Kalimantan Barat, umumnya
dijumpai di sekitar daerah Sambas, Singkawang, Pontianak, Ketapang, dan Kapuas Hulu. Di
Kalimantan Tengah dijumpai di sepanjang pantai dan ke arah daratan diantara sungai-sungai
besar Mentaya, Katingan, Sebangau, Kahayan, Kapuas, dan Barito. Di Kalimantan Timur
sebarannya meliputi sekitar Samarinda-Kutai dan sepanjang Sungai Mahakam. Di
Kalimantan Selatan hanya ditemukan di daerah Kabupaten Tapin dan Hulu Sungai tengah.
Di Papua, lahan gambut dijumpai di dataran pantai bagian selatan mulai dari dataran
pantai selatan Timika-Agats dan Kepi, daerah Pulau Dolak, Pulau Komolom, dan dataran
pantai selatan kepala burung (sekitar Teminabuan sampai Bintuni sekitar bagian tengah dan
hilir daerah aliran Sungai Memberamo).
Berdasarkan lembar kerja penelitian ekonomi ekosistem gambut diperoleh nilai
penggunaan langsung, terdiri dari ;
a. Penggunaan ekstraktif, meliputi sumber bahan energi, media tanam dan pupuk, lahan
untuk HTI, perkebunan dan pertanian.
b. Penggunaan tidak ekstraktif, meliputi ekowisata, pendidikan dan penelitian.

c. Penggunaan jasa lingkungan, meliputi penambat/ penyimpanan air, pencegahan


banjir/kebakaran, penyerap karbon, penyimpan karbon, penghasil oksigen, tempat
perkembangbiakan hewan.
Penghitungan nilai ekonomi dari kawasan gambut yang bermanfaat secara ekstraktif
menggunakan pendekatan harga pasar atau harga jual dari komoditi yang dimanfaatkan.
Harga pasar ini selanjutnya digunakan untuk menghitung unit rent dari penggunaan sumber
daya alam tersebut. Harga neto atau unit rent didapatkan dengan mengurangi harga jual
dengan biaya produksi atau biaya untuk mendapatkan komoditi tersebut dan laba layak yang
diasumsikan misal sebesar 15% (lima belas per seratus) (atau bunga bank yang berlaku) dari
harga jual. Indikator yang dipakai adalah nilai produksi total per tahun untuk masing-masing
produk (rupiah) selanjutnya data yang dibutuhkan dalam penghitungan ini adalah harga
pasar dari masing-masing komoditi, jumlah produksi dari komoditi yang ada di kawasan
gambut, dan total luas kawasan gambut. Selain itu data yang diperlukan adalah harga per
unit dan biaya produksi atau biaya untuk mendapatkan komoditi yang ada di kawasan
gambut.
Sebaiknya diidentifikasi sebanyak mungkin manfaat ekosistem gambut, terutama yang
mempunyai nilai manfaat ekonomi strategis di lokasi studi/kajian untuk dapat dihitung nilai
ekonominya. Penilaian ekonomi ekosistem gambut dalam penggunaannya secara tidak
ekstraktif, seperti sebagai tempat ekowisata dapat menggunakan metode biaya perjalanan
yang memperhitungkan semua biaya yang dikeluarkan dan waktu yang dikorbankan oleh
wisatawan hingga sampai dan menikmati obyek wisata tersebut. Sedangkan dalam
penggunaannya sebagai obyek penelitian dan sarana pendidikan digunakan teknik
pendekatan harga pengganti (proksi), yaitu teknik penilaian ekonomi dengan menggunakan
pendekatan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian atau pendidikan
sejenis di tempat lain.
Untuk jasa keanekaragaman hayati yang diberikan oleh ekosistem gambut, yaitu antara
lain sebagai penyerap karbon, dapat digunakan pendekatan penilaian kontingensi
(wilingness

to

pay),

yaitu

kesediaan

membayar

oleh

masyarakat

mempertahankan keberadaan ekosistem gambut beserta fungsinya.

untuk

tetap

D. Kesimpulan
Indonesia mempunyai potensi gambut yang sangat besar (26 juta ha), tetapi luasan
gambut di Indonesia ini perlu dilakukan inventarisasi ulang untuk mengetahui luas yang
sebenarnya dan untuk menyusun strategi pengelolaan, karena pada tahun 1997 terjadi
kebakaran hutan secara besar-besaran, sehingga diduga luasan gambut akan menurun.
Kenyataan di lapangan daerah gambut mempunyai aksesibilitas yang sangat rendah,
karena gambut di Indonesia umumnya dijumpai di daerah rawa-rawa yang bersifat marjinal
dan sulit dijangkau. Namun demikian gambut dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
manusia yaitu sebagai lahan pertanian, perkebunan dan sumber energi. Selain itu, gambut
juga mempunyai fungsi ekologis dalam menjaga perubahan
iklim dunia dan menjaga fungsi hidrologi. Dilain pihak gambut mempunyai sifat yang
unik yaitu bersifat fragil dengan kesuburan yang sangat jelek, sehingga sekali dibuka
akan merubah ekosistem gambut dan untuk memulihkan ke ekosistem semula 14
memerlukan waktu yang sangat lama. Untuk itu, dalam pemanfaatan gambut agar lestari dan
berkelanjutan serta meminimalkan risiko kegagalan harus menerapkan beberapa strategi
yaitu dengan melalui beberapa model pendekatan dan konsep antara
lain pendekaan konservasi, kawasan non budidaya, pendekatan tampung hujan,
pendekatan agro-manajemen terpadu dan pendekatan teknik budidaya.
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting bagi suatu wilayah, karena
secara alami berfungsi sebagai cadangan air dengan kapasitas yang sangat segar, dengan
demikian gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan kemarau. Secara ekologis,
ekosistem gambut tempat perkembangbiakan ikan yang ideal, selain itu juga menjadi habitat
berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar, termasuk jenis-jenis endemik dan dilindungi. Perlu
dicatat, bahwa pemanfaatan lahan di atas gambut (above ground) adalah suatu pilihan.
Pilihan tersebut akan dapat menghilangkan fungsi ekosistem gambut untuk pemanfaatan
lainnya. Jadi dalam valuasi ekonomi ekosistem gambut sangat tergantung pada pemanfaatan
ekosistem ini.
DAFTAR PUSTAKA
Djajadiningrat, Surna Tjahja, dkk. 2011. Ekonomi Hijau ( green economy). Rekayasa
Sains.Bandung.

[RI] Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012,
Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Gambut. Jakarta.
Supriadi, dkk. 2005. Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
http://mutiara-berharga1.blogspot.com/2012/11/makalah-ekosistem-hutangambut.html diunduh 24-10 2013, jam 12.00

Anda mungkin juga menyukai