Sejarah Hmi Dari Zaman Kemerdekaan Sampai Reformasi PDF
Sejarah Hmi Dari Zaman Kemerdekaan Sampai Reformasi PDF
I.
pergerakan waktu itu, perundingan ini merupakan sebuah kemajuan bagi perjuangan
pergerakan bangsa kita.
Pasca perundingan, di tubuh kabinet terjadi perpecahan. Partai sosialis (yang
memimpin kabinet) terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori oleh
Sutan Syahrir dan sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin.
Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana menteri dan
digantikan oleh Amir Syarifuddin. Penggantian ini menimbulkan kemarahan di kalangan
Masyumi dan termasuk HMI. Dengan demonstrasi-demonstrasi yang dilakukanya HMI
bersama kekutan Islam lain, mereka menuntut dibubarkannya kabinet Amir Syarifuddin.
Dasar penjajah, secara sepihak Belanda melakukan pelanggaran terhadap hasilhasil perundingan itu. Tanggal 29 Juni 1947, Belanda melakukan agresi militer I dengan
mengultimatum pengakuan wilayah Belanda atas Indoesia. Maka dengan segala
kegigihan semangatnya, TNI yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman
melakukan perang gerilya di hutan-hutan dan pegunungan. Perlawanan ini berakhir
dengan ditandatanganinya perjanjian Renville di atas geladak kapal Renville milik AS.
Poin penting dari perundingan tersebut adalah diadakanya gencatan senjata sambil
menunggu perundingan lebih lanjut.
Secara umum, hasil perundingan ini tidak memuaskan para pemimpin bangsa
Indonesia waktu itu. Oleh kubu yang menentangnya, perundingan ini dijadikan sebagai
alat untuk memukul balik Amir Syarifuddin dengan mengatakannya sebagai sebuah
kemunduran dan kegagalan kabinetnya. Atas kegagalan ini, kabinet Amir Syarifuddin
kemudian diganti dengan kabinet baru pimpinan Mohammad Hatta yang mendapat
dukungan dari kalangan Islam, termasuk dari HMI.
Tentu saja penggantian pergantian dari kabinet Amir Syarifuddin ke kabinet
Mohammad Hatta ini sangat mengecewakan PKI dan para pengikutnya. Mereka berpikir
keras bagaimana mengembalikan kekuasaan yang sebelumnya sudah di tangan, melalui
Amir Syarifuddin. Kepulangan salah satu kader PKI, Muso, dari tugas belajarnya di Uni
Sovyet (sekarang Rusia) menjadikan PKI seakan mendapatkan ruh barunya. Muso
mampu memberikan pijakan ideologis yang kuat bagi PKI. Muso mengimpikan
menjadikan Indonesia sebagai negara komunis murni, yang merupakan sebagai bagian
dari Komunisme Internasional (Komintern). Duet Amir dan Muso inilah yang kemudian
menjadikan PKI semakin radikal dan berani. Hatta dianggap sebagai representasi kaum
borjuis yang kontra revolusi dan merupakan antek-antek kapitalis.
Klimaksnya adalah persitiwa berdarah, Madiun 1948, yang mengakibatkan
hilangya lebih dari 150.000 nyawa anak bangsa tak berdosa. Waktu itu, PKI berhasil
memobilisir massa petani Madiun untuk melakukan perlawanan terhadap negara.
Konflik petani yang pada mulanya hanya perebutan atas tanah (yang kebanyakan
dikuasai oleh golongan beragama dan nasionalis) berubah menjadi konflik antar
kelompok pengikut komunis dan non-komunis, bahkan antar golongan agama dan nonagama (Juliantara 199). HMI sebagai bagian dari kelompok yang anti komunis terlibat
dalam konflik ini. Dalam rangka penumpasan PKI di Madiun, HMI mengirimkan kader-
Tersebutlah beberapa organisasi pergerakan Islam seperti yang lahir pada fase
itu: Serikat Dagang Islam (1908), Sarikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Persatuan
Ummat Islam (1917), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), Al-jamiatul
Wasliyyah (1930) Perti, dan Al Irsyad (1931), yang mempelopori era baru perjuangan
kemerdekan Indonesia secara lebih terorganisir. Meskipun pada mulanya organisasiorganisasi tersebut hanya bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan saja, akan
tetapi sesuai dengan tuntutan perkembangan bangsa yang berkeinginan untuk segera
mencapai kemerdekaannya, beberapa organisasi itu kemudian berubah menjadi partai
politik.
Salah organisasi kemasyarakatan Islam yang berubah menjadi partai politik
adalah Sarekat Islam (SI). Pada tahun 193, SI berubah menjadoi Partai Sarikat Islam
Indonesia atau disingkat PSII. Platform Islam sosialis atau Islam populis yang digagas
oleh tokoh SI, HOS Cokroaminoto, mengalami kontraksi ideologis Ketika faksi-faksi SI
yang lebih sekuler dan radikal berusaha menarik SI ke dalam wacana SosialismeMarxisme. Hendrik Sneevliet, pimpinan pusat Partai Sosialis di Belanda, bahkan sempat
mengintrusikan beberapa orangnya masuk ke tubuh SI untuk tujuan ini. Semaun dan
Darsono adalah dua orang yang berhasil dipengaruhinya. Sebagai pimpinan SI cabang
Semarang, mereka berhasil membawa SI Cabang Semarang keluar dari hierakhi struktur
SI dan masuk ke haluan komunis. Hal inilah yang kemudian menjadika SI terbelah
menjadi dua, yaitu: SI merah, yang berhaluan komunis, dan SI putih, yang tetap
berhaluan Islam.
SI merah kemudian dikenal dengan Sarekat Rakyar (SR) dan menjadi embrio
lahirnya PKI (23 Mei 1923), sedangkan SI putih, meski secara formal adalah SI yang asli,
namun dalam perkembangannya mengalami gejala konservatisasi ideologi dan bergerak
ke arah lebih kanan. Akibatnya SI mengalami kemerosotan luar biasa (Purwanto 1999).
Karena mengalami degradasi, SI putih kemudian berubah menjadi PSII (Paerai Serikat
Islam Indonesia) dan pada era pasca kemerdekaan lalu melebur bersama organisasi
Islam yang lain ke dalam Masyumi.
Puncak dari massifikasi perjuangan keorganisasian Islam adalah lahirnya
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun 1945. Masyumi sebagai sebuah
partai politik, lahir dari hasil dari Muktamar I Ummat Islam Indonesia yang
diselenggarakan pada tanggal 7 November 1945. Pada mulanya Masyumi bukanlah
merupakan sebuah partai politik, akan tetapi merupakan wadah tunggal yang dibentuk
oleh pemerintah Jepang bagi ummat Muslim untuk mengkooptasi kekuatan-kekuatan
Islam. Waktu itu namanya adalah MIAI (Majlis Islam Ala Indonesia) yang dipimpin oleh
K.H. Hasyim Asari (pendiri NU).
Masyumi bisa menjadi payung bagi seluruh ummat Islam karena terbentuk dari
gabungan beberapa organisasi Islam yang berbeda-beda. Dalam Mutamar Ummat Islam
I tersebut, dihasilkan beberapa keputusan :
1) Mendirikan satu partai Islam yang bernama MASYUMI
2) MASYUMI adalah satu-satunya partai politik Islam, dan tidak boleh
mendirikan partai politik Islam lain kecuali Masyumi.
mahasiswa. Maka, atas kondisi ini, Lafran Pane dan kawan-kawanya berinisitaif
mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berlabelkan Islam. Organisasi tersebut
kemudian diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI.
Meskipun pada waktu itu status ia sendiri adalah sebagai salah satu pengurus
PMY, dengan mendirikan HMI, ia dibenci oleh kawan-kawanya di PMY dan bahkan
kemudian dipecat dari anggota PMY. Ia dianggap sebagai pembangkang dan sosok yang
akan mengancam keberadan PMY.
Menurut Lafran Pane, motivasi utama didirikannya HMI adalah sebagai berikut :
Sebagai alat mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami
ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat
maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia-akhirat, akal-kalbu,
serta iman-ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di
Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karena
sistem pendidikan barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di
kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI (Sekolah Tinggi Islam), apalagi PMY
secara tegas menyatakan berdasarkan non-agama (Saleh, 1996).
II.
a. Disorganiozed
Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) kedaulatan kembali ke tangan Pemerintah
RI. Namun demikian bukan berarti semua persoalan selesai. Konflik-konflik internal
antara berbagai kepentingan ideologi semakin memanas dan menghabiskan banyak
energi dan korban jiwa. Tiga ideologi besar yang menjadi kompartemen utama bangsa
Indonesia, yaitu : Islam, Nasionalisme dan Komunisme saling berebut kekuasaan untuk
mendominasi pimpinan kabinet. Akibatnya situasi politik tidak pernah stabil dan sering
terjadi gonta-ganti kabinet. Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 adalah
salah satu klimaks dari adanya pertarungan ideologi-ideologi tersebut.
Bagi HMI sendiri, masa tahun awal 50-an, oleh Dahlan Ranuwiharjo, disebut
sebagai masa disorganized (kekacauan organisasi). Diresmikanya Perguruan Gadjah
Mada menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadikan beberapa perguruan tinggi
yang berada di wilayah Yogyakarta dan beberapa kota lainnya diintegrasikan ke dalam
UGM. Beberap diantaranya ialah Perguruan Kedokteran yang semula berada di Klaten,
Solo dan Malang diintegrasikan menjadi Fakultas Kedokteran UGM, termasuk juga
Akademi Pertanian di Klaten, kemudian menjadi Fakultas Pertanian UGM.
Oleh penyatuan beberapa perguruan tinggi ini, sebagai konsekuensinya, HMI
kehilangan beberapa cabang yang berada beberapa daerah tersebut. Kondisi
kampuspun menjadi kurang kondusif untuk aktifitas pergerakan karena ada
kecenderungan mahasiswa kembali menggeluti dunia akademis (back to campus). Dunia
bersama Masyumi, HMI anti Pancasila, HMI menjadi antek Amerika dan sebagainya
menjadi dalih bagi PKI untuk mengganyang HMI.
Terhitung sejak tahun 1964 aksi-aksi mengganyangan HMI dengan berbgai
tuduhan diatas mulai dilakukan oleh PKI. Koran-koran, majalah, aksi massa, forumforum ilmiah dan bahkan menggunakan institusi perguruan tiggi untuk melarang
aktifitas HMI. Lebh dari 30 mass media dan 46 organisasi massa digunakan oleh PKI
untuk melakukan usaha-usaha pembubaran HMI. Bentuk-bentuk aksi yang mengarah
pada pengganyangan HMI. Beberapa aksi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pelarangan HMI di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember pada
tanggal 12 Mei 1964 oleh sekretaris fakultas yang bernama Prof. Dr. Ernest Utrecht
S.H.
2. Mengeluarkan HMI dari Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa yang tertuang dalam
instruksi Majlis Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan Agustus 1964. Semenjak
bulan itu, diberbagai perguruan tinggi seperti di Yogyakarta, Medan, Jakarta dan
sebagainya, HMI dikeluarkan dari DEMA bahkn tidak diperkenankan untuk
mengikuti pemilihan ketua.
3. HMI dikeluarkan dari keanggotanya di PPMI.
Keberhasilan CGMI mendominansi PPMI menjadikanya hanya sebagai alat
kepanjangan CGMI. HMI dikeluarkan dari keanggotaan PPMI secara sepihak. Protes
yang dilakukan PMII mengnai keputusan itupun ditolak karena PKI telah menjadikan
PPMI sebagai alat kepentinganya.
4. Memfitnah HMI dengan berbagai pamflet yang isinya antara lain memprovokasi
massa agar mendukung pembubaran HMI.
5. Petisi Pembubaran HMI dengan memanfaatkan momen-momen rapat akbar seperi
peringatan 17 agustus 1945 untuk mengluarkan statemen-statemen yang berisi
pembubarn HMI.
6. Penyingkiran anggota HMI dari jabatan-jabatan strategis di kampus. Di beberapa
perguruan tinggi, dosen-dosen yang berasal dari HMI tidak pernah diberi
kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi oleh pengurus fakultas yang
telah di dominasi PKI.
Beruntunglah hampir semua ormas Islam yang ada waktu itu secara gigih
melakukan pembelaan terhadap HMI. Sehingga Sukarno, yang semula hampir-hampir
saja membuat surat keputusan pembubaran HMI, membatalkan rencananya dan HMI
bisa bertahan sampai sekarang.
Pada tahun 1952, Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam mulai mengalami
perpecahan. Perpecahan itu dimulai dengan keluarnya NU dari Masyumi. Kekecewan
golongan NU atas komposisi kepemimpinan di Masyumi yang dirasa tidak adil
menyebabkan NU keluar dan mendirikan partai sendiri. NU merupakan konstituen
terbesar Masyumi, sehingga dengan keluarnya NU dari Masyumi sangat mempengaruhi
nasib Masyumi selanjutnya. Beberapa waktu kemudian beberapa elemen lain seperti
Perti dan PSII juga ikut keluar. Selanjutnya Masyumi praktis hanya diisi oleh
Muhammadiyah dan Persis (keduanya cenderung modernis dan puritan).
10
11
12
kepada mantan aktivis gerakan mahasiswa, mereka hanya dijadikan subordinat saja dari
sebuah kebijakan besar yang didikte oleh militer. Ibarat mobil mogok, tahun 60-an
mahasiswa diminta bantuanya untuk mendorong mobil yang mogok tersebut agar hidup
kembali. Akan tetapi setelah mobil bisa berjalan, mahasiswa ditinggalkan dan militerlah
yang mengendarai mobil tersebut.
Orde
Baru
dibangun
atas
dasar
ideologi
developmentalisme
(pembangunanisme), di mana kemajuan suatu bangsa diukur dengan hanya secara
material dan matematis. Pertumbuhan ekonomi menjadi parameter keberhasilan
pembangunan suatu bangsa tanpa melihat kemerataan ekonominya. Ujung-ujungnya,
pengistimewaan terhadap satu kelompok ekonomi tertentu menafikan dan bahkan
mengorbankan ekonomi kerakyatan. Untuk mendukungnya kekuasaanya, Suharto
memelihara para taipan menjadi konglomerat dan hutang luar negeri dijadikan pijakan
utama pembangunan ekonomi. Di bidang politik, Golkar yang waktu itu tidak mau
disebut sebagai partai politik - sebagai partai pendukung utama Suharto, difungsikan
sebagai alat pengontrol kehidupan warga negera sekaligus sebagai alat legitimasi
kekuasaan yang pada tiap pemilu bertindak sebagai mesin pendulang suara. Sementara
partai politik yang jumlahnya cukup banyak, dimandulkan fungsinya dengan cara
difusikan menjadi hanya dua partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Pancasila yang sebenarnya lahir dari pergulatan
panjang atas pluralitas bangsa, ditafsirkan secara sempit oleh Suharto hanya dengan
dengan menggunakan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Di sisi lain, milter dengan dwifungsi TNI-nya dijadikan sebagai anjing-anjing
penjaga proyek-proyek konglomerasi penguasa. Mereka siap menerkam siapa saja yang
berani berpendapat berbeda dengan pemerintah. Tak heran jika gedung-gedung, pabrikpabrik dan tempat-tempat hiburan dibangun dengan cara menggadikan warisan
generasi mendatang, yaitu dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara massif.
Sementara rakyat hanya menjadi penonton proses-proses tersebut, jika tidak menjadi
korban dari sebuah proses yang dinamakan pembangunan. Parahnya lagi, mereka lantas
dipakasa untuk menyebut Suharto sebagai Bapak Pembangunan.
Pada era Orde Baru, HMI merupakan organisasi yang cukup disegani dengan
kemampuan kader-kadernya yang sudah terbukti bisa menumbangkan Orde Lama.
Purnanya beberapa fungsionaris HMI angkatan 66 sebagai pengurus di dunia
pergerakan, menuntut adanya regenerasi. Generasi baru ini adalah energi-enregi baru
yang telah mewarisi kebesaran sejarah HMI. Kondisi bangsa yang stabil dan nyaris tanpa
pergolakan, menjadikan generasi baru ini lebih menekankan kerja-kerja organisasinya
pada pengembangan aspek intelektual. Sebagaimana saat berdirinya, karakter khas dari
HMI adalah intelektualitas dan independensi. Trade mark bahwa HMI (angkatan 66)
adalah generasi yang berhahsil menumbangkan Orde Lama, maka tidak heran jika
dikampus-kampus HMI sangat populer mengalami peningkatan jumlah anggota secara
signifikan.
Era intelektual ini dipelopori oleh kepemimpinan Nurkholis Madjid yang pernah
menjabat sebagai ketua HMI selama dua periode (1966/1969-1969/1971). Ia adalah
13
mahasiswa IAIN Syarif Hdayatullah Jakarta yang lahir dari keluarga nahdliyyin di
Jombang. Perpaduan antara kecakapanya dalam penguasaan teks-teks agama dengan
dialektika di lingkungan Islam modernis menjadikan ia sosok intelektual peripurna, yang
oleh Greg Barton (1999) disebut sebagai neo-modernis. Ide sekularisasi dan statemen
kotroversialnya Islam yes, partai Islam no sempat menjadi polemik panjang di media
massa karena mendapatkan bantahan yang cukup keras dari kalangan pemikir Islam
lainnya, yang juga kebanyakan dari HMI.
Dibawah kepemimpinannya, materi-materi perkaderan mulai disusun secara
lebih sistematis dengan diciptakanya NDP (Nilai Dasar Perjuangan) sebgai pedoman
perkaderan di HMI. Pada masanya, juga mulai dirintis majalah HMI sebagai sarana untuk
pengembangan dan pertukaran pemikiran. Di tingkat internasional, eksistensi HMI
semakin mapan dengan aktifnya kembali di World Asembly Youth (WAY). HMI juga
membidani lahirnya International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO)
atau Federasi Mahasiswa Islam Internasional. Untuk keperluan eksistensi di tingkat
internasional ini, Nurkholis mengunjungi AS, Kanada, Inggris, jerman, dan Timur Tengah
dengan atas nama sebagai Ketua Umum PB HMI.
Tokoh lain yang pernah menduduki jabatan ketua umum pada masa tahun-tahun
70-an adalah Akbar Tanjung. Ia adalah mahasiswa kedokteran UI yang menandatangani
kesepakatan Cipayung. Kelompok Cipayung, yang merupakan forum irisan antar elemen
gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dan GMKI cukup mempunyai
peran dalam memberikan ide-ide tentang pluralism. Beberapa tokoh yang kritis
mensinyalir kelompok Cipayung merupakan bentuk kooptasi dari penguasa terhadap
gerakan mahasiswa.
Perisriwa Malari (5 januari 1974) di Bandung menandai mulai bangkitnya kembali
gerakan kritis mahasiswa. Aksi protes mahasiswa terhadap maraknya modal Jepang
yang masuk ke Indonesia disikapi penguasa dengan represif oleh militer. Merespons
kasus ini, HMI belum menunjukan kontribusinya yang siginifikan untuk membela
kepantingan mahasiswa. Demikian juga dalam kasus-kasus lain, HMI lebih banyak
mengurusi perebutan kursi-kursi di DEMA (Dewan Mahasiswa) sebagai berbagai
lembaga intra kampus, dibandingkan aksi langsung di masyarakat. Secara individu
memang banyak anggota HMI yang terlibat dalam bebagai aksi mahasiswa. Akan tetapi,
HMI secara organisasi tidak banyak terlibat dalam pembentukan arah sejarah
mahasiswa sat itu (Tuhuleley 1990). Untuk menyikapi isu-siu nasional seringkali HMI
bersikap ambivalen. Kadang ia berlaku kritis terhdap penguasa, seperti penolakanya
pada konsep NKK/BKK sebagai pengganti DEMA, akan tetapi pada sisi lain HMI tetap saja
bercokol di lembaga intra kampus (yang dianggapnya telah terkooptasi) dan selalu
berjuang merebutkan kursi ketua.
Tahun-tahun 70-an akhir, merupakan era kebangkitan gerakan modern Islam
kedua di Indonesia. Keberhasilan Ayatullah Khumaeni (1979)) memimpin revolusi Iran
menjadi inspirasi tersendiri bagi tokoh-tokoh Islam untuk melakukan melakukn
perlawanan. Gerakan-gerakan Islamisasi ditiap institusi mulai marak lagi, dan kelompokkelompok gerakan di timur tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, dan
14
15
menerapkan Asas Tungal Pancasila adalah edisi baru dari cara Suharto melakukan
kontrol terhadap warga negara. Kelompok ini secara taktis berafiliasi dengan kelompok
Islamis. Pengalaman historis revolusi Iran menunjukan bahwa ternyata Islam juga bisa
menjadi kekuatan revolusi.
Pada sisi lain sebagian anggota HMI memilih jalan kompromistis sebagaimana
yang biasa dilakukan HMI sebelumnya. Kesediaanya bekerja sama dengan pemerintah
dan karena kedekatanya dengan beberapa alumni yang sudah duduk dalam birokrasi
menjadikannya kurang peka terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
pemerintah. Masuk menjadi anggota HMI bukan berati harus berjuang dan hidup susah,
akan tetapi bisa saja sebagai salah satu jalan karir masa depan. Menjadi anggota HMI,
setidaknya menurut persepsi beberapa orang, berati menjadi calon pejabat dalam
birokrasi negara. Pendapat-pendapat demikian sah-sah saja dan tidak salah. Posisi HMI
yang sudah sedemikian mapan secara riil memberikan peluang untuk itu. Akan tetapi
jika pendapat demikan hanya akan menjadikan HMI tidak independen dan oportunis.
Beberapa anggota yang berpendapat demikian ternyata lebih sepakat jika HMI
mengikuti keinginan pemerintah memakai Asas Tunggal Pancasila.
16
karena itu muncul banyak kritik dalam pemunculan paket UU ini (baca bukunya Deliar
Noor berjudul Islam, Pancasila dan Asas Tunggal).
Meskipun demikian, kuatnya hegemoni kekuasan Orde Baru, menjadikan
organisasi-organisasi massa yang ada seperti Muhammadiyah, NU, GMNI, PMKRI, GMKI,
PMII, IMM dan sebagainya tidak bisa berbuat banyak. Berbondong-bondong organisasiorganisasi tersebut mengubah AD/ART-nya menjadi berasaskan Pancasila. Bebera alasan
yang dikemukan oleh organisasi yang mengubah asasnya tersebut rata-rata ialah untuk
mencari keamanan. Dari sini dapat kita rasakan betapa kuat dan ditakutinya kekuasaan
Orde Baru saat itu.
Dukungan militer dalam mengamankan kekuasaan negara yang sangat kuat
seringkali menimbulkan tindakan-tindakan represif dan anarkis oleh negara terhadap
warga negara. Sehingga kepatuhan warga negara terhdap pemerintah bukan karena
disebabkan oleh semangat dan komitmen kebangsaan akan tetapi lebih dikeranakan
oleh adanya ketakutan-ketakutan terhadap aparat.
HMI sebagi organisasi mahasiswa terbesar dan berpengaruh saat itu jelas akan
menjadi sasaran selanjutnya bagi proyek Pancasilaisasi ini. Anggota HMI yang banyak
dan tersebar diseluruh pelosok nusantara merupakan aset bangsa yang tidak bisa
diabaikan. Pemerintah berkeinginan menjadikan HMI sebagai pelopor yang akan
mendukung pelaksanaan UU tersebut. Sewaktu pengumuman akan diterapkanya UU
keormasan tersebut, HMI belum menyatakan kesediaanya untuk mengikuti keinginan
pemerintah.
Maka disusunlah strategi oleh pemerintah untuk membujuk beberapa
fungsionaris HMI agar bersedia memakakan Asas Tunggal. Dikirimlah beberapa alumni
HMI yang sudah duduk dalam kabinet untuk mendekati HMI. Jawaban pengurus HMI
ialah agar semuanya diserahkan pada hasil kongres yang akan diselenggarakan di Medan
tahun 1983. Dalam kongres tersebut pemerintah mengutus Abdul Gafur (menteri
Pemuda dan Olah raga, yang juga alumni HMI) untuk membujuk peserta agar bersedia
mengubah asas. Abdul Gafur bahkan mengancam akan melarang kongres tersebut, jika
HMI menolak merubah asas.
Pada akhir Mei 1983 diadakanlah kongres HMI XV di Medan. Kongres ini
dinamakan kongres perjuangan, karena diselnggarakan dalam tekanan yang kuat dari
pemerintah untuk merubah asas. Dalam majalah Tempo edisi 4 Juni 1983 dilukiskan
suasana kongres sebagai berikut : .Ketika sampai pada Anggaran Dasar pasal 4, bahwa
asas HMI tetap Islam teriak Allahu Akbar gemuruh menyambutnya... HMI secara
tegas menolak menggunakan Asas Tunggal Pancasila dalam AD/ART-nya dan masih setia
mempertahankan asas Islam.
Dalam kongres itu terpilih Hary Azhar Azis sebagai ketua umum HMI, yang akan
bertugas mengemban amanat ini. Kegagalan Abdul Gafur untuk membujuk adik-adiknya
ini tidak membuat pemerintah menghentikan usaha-usahanya. Pemerintah terus
berusaha untuk membujuk HMI dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif
kepada pengurus HMI hasil kiongres. Usaha-usaha tersebut berhasil Ketika pada saat
sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK) II dan rapat pleno PB HMI tanggal 1-7 April, di
17
18
Dengan diwarnai kekacauan karena adanya dua kubu yang saling bertentangan,
maka kongres XVI di Medan menjadi tonggak sejarah bagi pecahnya HMI menjadi dua
bagian, HMI Dipo dan HMI MPO. Kehadiran MPO, yang telah berhasil mengorganisir 9
cabang-cabang terbesar di HMI, ditolak oleh panitia kongres. Kongres hanya diikuti oleh
cabang-cabang yang tidak terlibat dalam MPO dan cabang transitif. Kehadiran cabang
transitif ini mendapat tantangan keras dari peserta kongres sehinga menimbulkan
kekacauan fisik dalam ruangan sidang. Adapun 9 cabang yang mendukung MPO adalah:
HMI Cabang Jakarta, HMI Cabang Bandung, HMI Cabang Yogyakarta, HMI Cabang Ujung
Pandang, HMI Cabang Pekalongan, HMI Cabang Metro, HMI Cabang Tanjung Karang,
HMI Cabang Pinrang dan HMI Cabang Purwokerto.
Kongres berlangsung sampai selesai dengan menetapkan Pancasila sebagai asas
HMI. Sementara MPO, yang sebenarnya mempunyai lebih banyak pendukung, pulang
dari Padang dengan menyungging kekecewaan mendalam. Dipandegani oleh HMI
cabang Yogyakarta, barisan ini kemudian juga melakukan kongres di Yogyakarta dan
memakai nama kongres HMI XVI juga.
Tentunya kongres ini merupakan kongres ilegal dan sangat diharamkan oleh
pemerintah saat itu. Pemerintah menganggap kongres ini sebagai bentuk
pembangkangan terhadap negara dan anti Pancasila. Meskipun demikian kongres tetap
di selenggarakan dengan membuat pengumuman bahwa kongres akan diselenggarakan
di Kaliurang-Yogyakarta. Aparatpun mengancam akan membubarkan kongres ini dan
menangkap para pesertanya. Menjelang pintu gerbang Kaliurang mobil pengangkut
peserta dibelokan ke Gunung Kidul. Kongres berhasil diselenggarakan selama tiga hari di
sebuah desa di Gunung Kidul ini. Aparat terkecoh karena mereka melakukan pengejaran
ke Kaluirang akan tetapi ternyata buronya di tempat lain. Saat mereka tahu bahwa
kongres ternyata di adakan di Gunung Kidul maka mereka mengejar. Akan tetapi setelah
sampai, kongres sudah selesai dan HMI Perjuangan sudah berdiri. HMI ini kemudian
disebut HMI MPO atau HMI Islam atau HMI 1947. Disebut HMI Islam karena HMI ini
yang tetap mempertahankan Islam sebagai asasnya, dan disebut HMI 1947 karena HMI
ini mengangap dirinya sebagai yang benar-benar mewarisi HMI pada tahun aal
berdirinya pada 1947, yaitu HMI yang independen.
HMI hasil kongres XVI di Padang merupakan HMI yang diakui secara sah oleh
pemerintah. HMI ini sekretaraitnya di Jl. Diponegoro 16, sehingga sering disebut HMI
Dipo. Atau bisa juga disebut HMI Pancasila karena asasnya Pancasila, atau di mass media
biasa disebut dengan menggunakan huruf HMI saja. Pasca reformasi, dalam
kongresnya yang ke-22 di Aceh, pada tahun 1999, HMI ini merubah kembali asas ke
Islam. Sehingga sekarang dari segi asas, sudah tidak ada bedanya antara HMI Dipo
dengan dengan HMI MPO. Namun demikian, proses penjang lebih dari 20 tahun menjadi
dua institusi yang sendiri-sendiri menjadikan struktur, perkaderan, tradisi dan sikap
politik kaduanya berbeda. Tradisi kooperatifnya dengan Golkar dan kedekatanya
dengan kebanyakan alumni (KAHMI) menjadikan HMI Dipo lebih mapan secara finansial
dan rapi dalam keorganisasian. Sementara HMI-MPO identik dengan tradisi proletarian,
komunitas eksklusif, dan tidak mapan dalam organisasi.
19
HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba Orde Baru.
Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman
warga negara serta diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai pendekar
muda yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah organisasi
Islam pertama yang menuntut Suharto harus turun. HMI MPO harus berjuang dibawah
tanah demi mempertahankan idealisme dan eksistensinya yang semakin lama-semakin
ditinggalkan cabang-cabang pendukungnya. Aparat selalu mengawasi training-traning
yang dilakukan oleh HMI dengan mengirimkan intelnya. Penyelenggaraan LK I tak jarang
gagal karena tiba-tiba digrebek aparat dan pesertanya diintrogasi. Pada tahun 1987, di
Yogyakarta terjadi penggrebekan terhadap sekretariat HMI cabang Yogyakarta, di Jl.
Dagen 16. Pengurus yang waktu itu sedang berada di lokasi lari tungang-langgang
mencari perlindungan bersamaan dikokangnya senjata oleh tentara.
Sebenarnya penggrebekan tersebut dilakukan karena cabang HMI Dipo
Yogyakarta yang baru didirikan berkeinginan untuk menempati sekretartat di jalan
Dagen. Karena terusir dari markasnya, para aktifis HMI MPO memindahkan base campnya di sebuah rumah di Gang Sambu (dekat kampus Universitas Negeri Yogyakarta). Tidk
lama HMI-MPO bermarkas di Gang Sambu, atas jasa simpatisan aktivis Islam, markas
HMI-MPO Cabang Yogyakarta pindah di Karangkajen. Sampai sekarang HMI-MPO
Cabang Yogyakarta identik dengan Karangkajen, karena kontrakan sekretariatnya selalu
di sekitar wilayah Karangkajen
Pada awal perjalananya, HMI MPO dikenal dengan sosok organisasi mahasiswa
yang radikal dan sangat kanan (untuk tidak disebut fundamentalis). Penekanan pada
nilai-nilai ke-Islaman dan kejuangan menjadi materi utama dalam training-trainingnya.
Khittah perjuangan diciptakan sebagai pedoman dalam perkaderan untuk mengganti
NIK (Nilai-nilai Identitas Kader) yang sudah dirasa tidak menggigit lagi. Sementara
banyak anggota-anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang aktif di pengajian
(halaqoh), yang saat itu memang sedang menjamur.
Demi mengurangi konflik dengan Negara, HMI MPO harus memilih jalan-jalan
yang tidak banyak mengekspos diri dan jauh dari jangkauan khalayak. HMI lebih banyak
bergerak dibelakang layar sambil sesekali muncul dengan menggunakan kamuflase.
Kajian-kajian epitemologis menjadi trade mark-nya, yang mana kemudian menjadi
identitas HMI MPO pada awal tahun 90-an. Kajian-kajian epistemologis ini ditempuh
karena tidak banyak membutuhkan biaya, aman dari tuduhan-tuduhan subversif, dan
merupakan jalan alternatif dalam tradisi intelektual di Indonesia.
Alasan HMI Penolakan Asas Tunggal
Alasan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal dikemukakan oleh
Abdullah Hehamahua (Mantan Ketua PB HMI) dalam suratnya tertanggal 16 Mei 1985
kepada PB HMI. Ada empat alasan yang melatar belakanginya yaitu :
1. Alasan Ideologis
Islam sebagai agama paripurna, selain memiliki sistem aqidah yang kokoh dan
bersih, sekaligus memiliki sistem-sistem muamalah, sebagian terdiri dari garis-garis
20
besar saja-baik sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, militer maupun
sistem keluarga. Dengan demikian sistem-sistem yang ada dalam masyarakat tidak
boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang ada dalam Islam.
2. Latar Belakang Historis
Bahwa perjuangan memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah kebanyakan
dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Justru semangat teriakan Allahu Akbar-lah yang
mampu membakar perlawanan-perlawanan di segala penjuru Indenesia. Boleh
dikata Islam-lah yang melakukan perlawanan dalam mengusir penjajah. Oleh karena
itu harus ada bagian dari bangsa ini yang selalu melakukan pembelaan terhadap
ummat Islam.
Munculnya Pancasila sebagai dasar negara merupakan kompromi tertinggi dari
ummat Islam demi kepentingan bangsanya.
Pemimpin Islam pada awal
pembentukan negara menerima Pancasila, karena:
-
Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1948 yang menghasilkan nama Pancasila
merupakan kompilasi dari pidato-pidato tokoh Islam sebelumnya.
21
Kita ketahui bahwa proses penerimaan itu tidak masuk akal dan cacat dalam hal
mekanisme pemunculanya. Sebab sidang MPK (Majelis Pekerja Kongres) PB HMI
dan pleno PB HMI kedudukanya lebih rendah dari pada kongres HMI. Kongres HMI
XV di Medan yang merekomendasikan untuk mempertahankan asas Islam telah
dikhianati oleh PB HMI sendiri, dengan mengubahnya di tengah jalan tanpa melalui
mekanisme yang sah. Adapun kemudian asas itu disahkan dalam kongres XVI di
Padang, akan tetapi mekanisme penyelenggaraan kongres Padang tersebut juga
mengalami kecacatan. Mayoritas cabang yang hadir waktu itu masih menghendaki
HMI memepertahankan Islam sebagai asas. Akan tetapi apa boleh buat, tekanan
dari penguasa dan diskrimatifnya peserta kongres menjadikan keputusanya lain.
22
sarana perkaderan yang cukup efektif untuk membentuk jiwa-jiwa kepemimpian kader.
Selain itu netralitas lembaga intra kampus menjadikan lembaga ini mudah untuk
melakukan mobilisasi massa. Hal ini sangan mendukung dalam aksi-aksi HMI. Contoh
kongkrit dari pemanfaatan lembaga intra kampus ini adalah pada saat memontum
turunnya Suharto pada tanggal 20 Mei 1998.
Suharto yang sudah berkuasa selama 30 tahun harus tumbang ditangan aksi-aksi
massa yang dilakukan oleh mahasiswa. Krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997
ternyata berimbas pada terkuaknya semua borok yang dimiliki oleh rezim Orde Baru.
Megahnya pembangunan yang selama ini sangat diagung-agungkan ternyata keropos,
karena di bangun atas pondasi hutang luar negeri yang sangat besar. Ketika fluktuasi
nilai tukar rupiha terhadap dollar tidak bisa ditolerir lagi, tiba-tiba jumlah hutang
melambung tinggi dan Indonesia harus menangis. Yang terhormat Suharto, terpaksa
harus merunduk di depan lipatan tangan Hubert Neiss (wakil IMF-International
Monetary Fund), waktu menandatangani kesepakatan hutang baru terhadap IMF. Para
kapital-imperialis Amerika tertawa karena telah berhasil membuat Indonesia makin
tergantung. Indonesia belum merdeka, Bung !
Mahasiswa bergerak, aksi demonstrasi menuntut diturunkannya Suharto
menjalar mulai dari kmpus-kampus besar sampai ke kampus-kampus kecil. Tak jarang
korban berjatuhan di mana-mana. Kasus terbunuhnya beberapa mahasiswa Trisakti 12
Mei 1998, tertembaknya Moses Gatot Kaca di Yogyakarta, dan tindakan-tindakan
anarkis aparat terhadap mahasiswa semakin membuka kesadaran masyarkat luas untuk
turut dala aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Arus tak terbendung lagi Ketika pada
tanggal 20 Mei 1998, lebih dari satu juta massa melakukan aksi di silang monas dengan
tuntutan Suharto harus turun. Demikian juga di alun-alun utara Yogyakarta, setengah
juta massa berjubel sampai jalan Malioboro dengan tuntutan yang sama. Suharto
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 jam 09.15 WIB. Aksi juga dilakukan di
Makasar, purwokerto, Bandung, Malang dan kota-kota lain.
Harus diakui bahwa fenomena munculnya aksi-aksi massa menjelang reformasi
banyak dipeplopori oleh kader-kader HMI MPO. Beberapa kader yang kebetulan
menjadi fungsionaris lembaga intra kampus turut mengusung isu-isu penurunan Suharto
ke dalam kerja-kerja lembaganya. Aksi setengah juta massa di Yogyakarta di pelopori
oleh Keluarga Mahasiswa (KM UGM), dimana yang menjadi think-tank-nya adalah kaderkader HMI MPO. Sebelum aksi itu, KM UGM mengadakan polling yang menghasilkan
rekomendasi bahwa lebih dari 80% responden menolak kepemimpinan Suharto. Hasil
polling ini mempengaruhi opini nasional, terutama di kalangan para aktifis pergerakan.
Di Jakarta juga demikian, meskipun banyak ditentang oleh elemen-elemen Islam
lainya, HMI MPO bersama FKMIJ-nya tercatat sebagai salah satu elemen mahasiswa
yang sejak awal melakukan aksi untuk menolak Suharto. Bahkan setelah Suharto turun
dan diganti oleh Habibie, HMI MPO tetap melakukan aksi-aksi penolakannya di gedung
DPR/MPR bersama elemen-elemen kiri. HMI-MPO adalah satu-satunya elemen Islam
yang menolak BJ Habibie naik menjadi presiden. HMI MPO sempat dicap bukan Islam
(atau biasa disebut dengan istila bukan orang kita) oleh kelompok-kelompok aksi
23
24
Daftar Pustaka:
Al-Mandari, S. 1999. HMI dan Wacana Revolusi Sosial. Pusat Studi Paradigma Ilmu
(PSPI). Ujung Pandang
Aidit, D. N., dkk. 2001. PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948). Era
Publisher. Jakarta
Barton, G. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Paramadina. Jakarta.
Dahlan, M. M. 1999. Sosialisme Religius. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta
Grant, T. dan Woods, A. 2001. Melawan Imperialisme. Penerbit Sumbu. Jakarta
Halim, Z. 1990. HMI, Nasakom dan Pasca Gestapu. Makalah dalam buku putih Dinamika
Sejarah HMI. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta
Hehamahua, A. 1985. HMI Membunuh Diri Sendiri. Surat Abdullah Hehamahua pada PB
HMI. Jakarta
Pratiknya, A. W. Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Penerbit Dewan dakwah Islamiyah
Indonesia dan Lembaga Laboratorium. Jakarta
Ranuwiharjo, D. 1996. Catatan : Dahlan Ranuwiharjo, S.H. pada dies natalis HMI ke-43.
Diterbitkan oleh PB HMI. Jakarta.
Roem, M. 1972. Bunga Rampai dari Sedjarah. Penerbit Bulan Bintang. Djakarta.
Sitompul, A. 1976. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam tahun 1947-1975.
Penerbit Bina Ilmu Offset. Surabaya.
Suharsono. 1998. HMI MPO dan Rekonstruksi Pemikiran Masa Depan. CIIS Press.
Yogyakarta
Sundhaussen, U. 1986. Polilti Militer Indonesia 1945-1967. LP3ES. Jakarta
Tanja, V. 1978. HMI, Sejarah dan Kedudukanya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim
Pembaharu di Indonesia. Penerbit sh. Jakarta
Tuhuleley, S. 1990. HMI di Mata Seorang Praktisi (Mahasiswa) 77-78: Sebuah Upaya
Permakluman. Makalah dalam buku putih: Dinamika Sejarah HMI. HMI Badko
Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta
25