ISI
A. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan DSM-5, gangguan seksual masuk ke dalam paraphilic
disorders (Maslim R, 2013):
Voyeuristic disorder
Exhibitionistic disorder
Frotteuristic disorder
Sexual masochism disorder
Sexual sadism disorder
Pedophilic disorder
Fetishistic disorder
Trasvertic disorder
Other specified paraphilic disorder
Unspecified paraphilic disorder
Klasifikasi berdasarkan PPDGJ-III, gangguan preferensi seksual masuk ke dalam F65:
F65.0 Fetihisme
F65.2 Ekshibisionisme
F65.3 Voyeurisme
F65.4 Pedofilia
F65.5 Sadomasokisme
B. Epidemiologi
Parafilia dipratekkan oleh sejumlah kecil populasi. Tetapi, sifat gangguan yang
berulang menyebabkan tingginya frekuensi kerusakan akibat tindakan parafilia. Di
antara kasus parafilia yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah jauh lebih sering
dibandingkan yang lainnya. Voyeurisme memiliki resiko yang tidak besar. Sekitar 20%
wanita dewasa telah menjadi sasaran orang dengan ekshibisionisme dan voyeurisme.
Masokisme seksual dan sadisme seksual kurang terwakili dalam perkiraan prevalensi
yang ada. Zoofilia merupakan kasus yang jarang.
Menurut definisinya, parafilia adalah kondisi yang terjadi pada laki-laki. Lebih dari
80% penderita parafilia memiliki onset sebelum usia 18 tahun. Pasien parafilia umunya
memiliki 3 sampai 5 parafilia baik yang bersamaan atau pada saat terpisah. Kejadian
perilaku parafilia memuncak pada usia antara 15 dan 25 tahun, dan selanjutnya
menurun. Parafilia jarang terjadi pada pria umur 50 tahun, kecuali mereka tinggal
dalam isolasi atau teman yang senasib.
Tabel 1. Frekuensi Tindakan Parafilia yang dilakukan oleh Pasien Parafilia yang mencari
Terapi Rawat Jalan (Sadock BJ et al, 2010)
Kategori Diagnostik
Pedofilia
Eksibisionisme
Veyorisme
Frotteurisme
Masokisme seksual
Transvestik Fetishisme
Sadisme seksual
Fetishisme
Zoofilia
C. Etiologi
1. Faktor Psikososial
Dalam model psikoanalitik klasik, seseorang dengan parafilia adalah orang
yang gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan normal ke arah penyesuaian
heteroseksual, tetapi model tersebut telah dimodifikasi oleh pendekatan
psikoanalitik. Kegagalan menyelesaikan krisis oedipus dengan mengidentifikasi
aggressor ayah (untuk laki-laki) atau aggressor ibu (untuk perempuan)
menimbulkan baik identifikasi yang tidak sesuai dengan orang tua dengan jenis
kelamin berlawanan atau pilihan objek yang tidak tepat untuk penyaluran libido.
Eksibisionisme dapat merupakan suatu upaya menenangkan kecemasan mereka
akan kastrasi (Sadock BJ et al, 2010). Kecemasan kastrasi membuat eksibisionis
meyakinkan diri sendiri tentang maskulinitasnya dengan menunjukkan kelakilakiannya kepada orang lain (Davison GC et al, 2006).
Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya adalah
metode yang dipilih oleh seseorang (biasanya laki-laki) untuk mengatasi
kecemasan yang disebabkan oleh: (1) kastrasi oleh ayah dan (2) perpisahan dengan
ibu. Bagaimanapun kacaunya manifestasi, perilaku yang dihasilkan memberikan
jalan keluar untuk dorongan seksual dan agresif yang seharusnya telah disalurkan
kedalam perilaku seksual yang tepat.
Berdasarkan teori ini terdapat beberapa penyebab parafilia. Freud dan
koleganya
parafilia
penyimpangan dari fase courtship. Normalnya, fase ini akan berujung pada proses
mating pada pria dan wanita. Fase ini dimulai dari masa remaja dan dengan/ tanpa
adanya sexual intercourse pada tahap awal perkembangan seksual.
Fase Definitif Courtship
a)
Locating partner potensial fase inisial dari courtship.
b)
c)
d)
pribadi
tidak
diceritakan
kepada
orang
lain,
penggunaan
dan
perbedaan dalam otak, suatu disfungsi pada lobus temporalis dapat memiliki
relevansi dengan sejumlah kecil kasus eksibisionisme (Davison GC et al, 2006).
3. Teori Behavioural (Kelakuan)
Berdasarkan teori ini, parafilia disebabkan oleh proses conditioning. Jika
objek nonseksual dipakai sering dan diulang-ulang untuk aktivitas seksual maka akan
mengakibatkan objek tersebut menjadi sexually arousing. Tidak harus dengan adanya
dorongan positif tapi bisa disebabkan oleh dorongan negatif. Misalnya jika anak lakilaki suka membanggakan penisnya ketika ereksi maka ibunya akan memarahinya,
akibat dari itu, anak merasa bersalah dan malu dengan kelakuan seksual normal.
Pedofilia, ekshibisionisme dan vouyerisme merupakan akibat dari perilaku
yang beresiko dilakukan secara berulang-ulang. Conditioning bukan satu-satunya hal
yang berperan pada perkembangan parafilia. Hal yang juga berpengaruh adalah
kepercayaan diri yang rendah. Ini sering dijumpai pada pasien parafilia (Nevid JS et
al 2005).
4. Teori Dawkin (Teori Transmisi Gen)
Parafilia dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Contohnya kebanyakan
orang akan mendapatkan orgasme yang pertama pada prepubertas tetapi ada
beberapa orang dapat terjadi sebelum periode prepubertas. Ada sedikit orang yang
tanpa adanya stimulus eksternal bisa mengalami orgasme, orang ini biasanya
memiliki dorongan seksual yang tinggi saat bayi (sonogram menunjukkan bayi
memegang penisnya dalam uterus). Anak yang aktif secara seksual pada usia muda
akan cenderung aktif secara seksual pada remaja. Hal ini dipengaruhi oleh DNA dan
akan diturunkan kepada anak- anaknya (Nevid JS et al 2005).
5. Teori Darwin
Faktor operatif dari teori Darwin ada 2, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas
jika dari keturunan yang dihasilkan yang besar dibandingkan dengan yang survive.
Kualitas yaitu yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan. Pria yang secara fisik
dapat menghasilkan banyak keturunan (kuantitas), dan wanita yang bertanggung
jawab untuk kualitas. Wanita akan lebih berhati hati dalam memilih pasangannya
sedangkan pria cenderung hanya untuk melakukan hubungan seksual dengan
banyak wanita (tidak memilih-milih). Hal tersebut menjelaskan mengapa parafilia
sering terjadi pada pria. Study dari Sharnor (1978) menyatakan bahwa pria usia 1219 tahun memikirkan seks 20 kali dalam 1 jam atau sekali dalam 3 menit Pria usia
30-39 tahun, memikirkan seks 4 kali per jam. Hal ini dapat menjelaskan alasan,
mengapa parafilia biasanya terjadi pada usia 15-25 tahun (Nevid JS et al 2005).
memuaskan.
Fantasi fetihistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila
menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya
sampai menggangu hubungan seksual dan menyebabkan bagi penderitaan
individu.
Fetihisme terbatas hampir hanya pada pria saja
Kriteria Diagnostik Fetihisme menurut DSM-V
Selama waktu sekurangnya 6 bulan terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa
Transvestisme Fetishistik
Pedoman Diagnostik Tranvetisme Fetihistik menurut PPDGJ - III (Maslim R, 2013)
Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai
kepuasaan seksual
Gangguan ini harus dibedakan dari fetihisme (F65.0) dimana pakaian sebagai
objek fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk menciptakan
penampilan seorang dari lawan jenis kelaminya. Biasanya lebih dari satu jenis
tempat umum, tanpa ajakan atau niat untuk berhubungan lebih akrab.
Ekshibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual yang
memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa, biasanya menghadap mereka
dalam jarak yang aman di tempat umum. Apabila yang menyaksikan itu
dalam
tidak menduga.
Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
Veyourisme
Pedoman Diagnostik Voyeurisme menurut PPDGJ-III (Maslim R, 2013)
Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang
berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti sedang menanggalkan
pakaian.
Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan mastrubasi, yang
dilakukan tanpa orang yang diintip menyadarinya.
Pedofilia
Pedoman Diagnostik menurut Pedofilia PPDGJ III (Maslim R, 2013)
Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya pra-pubertas atau awal masa
Harus dibedakan dari kebrutalan dalam hubungan seksual atau kemarahan yang
tidak berhubungan dengan erotisme.
seksual.
Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
tindakan (nyata, atau disimuasi) sedang dihina, dipukuli, diikat, atau hal lain
Adalah pelengkap yang tepat untuk pengobatan pasien yang menderita disfungsi
seksual tertentu dimana mereka mencoba melakukan aktivitas seksual yang tidak
menyimpang dengan pasangannya.
3. Terapi Perilaku
Digunakan untuk memutuskan pola parafilia yang dipelajari. Stimuli yang
menakutkan, seperti kejutan listrik atau bau yang menyengat, telah dipasangkan
dengan impuls tersebut, yang selanjutnya menghilang. Stimuli dapat diberikan oleh
diri sendiri dan digunakan oleh pasien bilamana mereka merasa bahwa mereka
akan bertindak atas dasar impulsnya.
4. Terapi Obat
Termasuk medikasi antipsikotik dan antidepresan, adalah diindikasikan sebagai
pengobatan skizofrenia atau gangguan depresif jika parafilia disertai dengan
gangguan-gangguan tersebut. Antiandrogen, seperti ciproterone acetate di Eropa
dan medroxiprogesterone acetate (Depo-Provera) di Amerika Serikat, telah
digunakan secara eksperimental pada parafilia hiperseksual. Medroxiprogesterone
acetate bermanfaat bagi pasien yang dorongan hiperseksualnya diluar kendali atau
berbahaya (sebagai contoh masturbasi yang hampir terus-menerus, kontak seksual
setiap kesempatan, seksualitas menyerang yang kompulsif). Obat serotonorgik
seperti Fluoxetin (prozac) telah digunakan pada beberapa kasus parafilia dengan
keberhasilan yang terbatas.
5. Psikoterapi Berorintasi Tilikan
Merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati parafilia.
Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan peristiwaperistiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia. Secara khusus, mereka
menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka bertindak atas
impulsnya (sebagai contohnya, penolakan yang nyata atau dikhayalkan).
Psikoterapi juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya dan
memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang dapat
diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual. Terapi kelompok juga berguna.
G. Prognosis
Prognosisnya buruk untuk parafilia adalah berhubungan dengan onset usia yang awal,
tingginga frekuensi tindakan, tidak adanya perasaan bersalah atau malu terhadap
tindakan tersebut, dan penyalahgunaan zat. Perjalanan penyakit dan prognosisnya baik
jika pasien memiliki riwayat koitus disamping parafilia, jika pasien memiliki motivasi
tinggi untuk berubah, dan jika pasien datang berobat sendiri, bukannya dikirim oleh
badan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Bannon,
GE
dan
Carroll
KS.
2008.
Paraphilias.
Available
from: