Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PERKEMBANGAN EMOSI ANAK TAMAN KANAK-KANAK


A. Pengertian Emosi
Emosi berasal dari kata emetus atau emovere yang berarti mencerca,
yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Menurut Crow & Crow (Sunarti,
2001: 1) emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu
yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk
mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu. Emosi merupakan gejala
psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala
mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai
taraf.
Bigot (Suryabrata, 1984: 30) membagi emosi atau perasaan atas :
1. Perasaan Jasmaniah (rendah)
a. Perasaan indriati, yaitu persaaan-perasaan yang berhubungan dengan
perangsangan terhadap pancaindera, seperti; sdap, manis, asin, pahit,
panas dan sebagainya.
b. Perasaan vital, yaitu perasan-peasaan yang berhubungan dengn keadaan
kasmani pada umumnya, seperti; perasaan segar, letih, sehat, lemah, tidak
berdaya, dan sebagainya

2. Perasaan Rohani
a. Perasaan

intelektual,

yaitu

perasaan

yang

bersangkutan

dengan

kesanggupan intelek (pikiran dalam menyelesaikan masalah yang


dihadapi.
b. Perasaan kesusilaan atau perasaan etis, ialah perasaan yang berhubungan
dengan baik atau buruk. Tiap orang mempunyai ukuran baik buruk
sendiri-sendiri yang bersifat individual yang sering disebut norma
individual.
c. Perasaan keindahan, yaitu perasaan yang menyertai atau timbul karena
manusia, perasaan untuk hidup bermasyarakat dengan sesama manusia;
untuk bergaul, saling tolong menolong, memberi dan menerima simpati
dan antipati, rasa setia kawan, dan sebagainya.
d. Perasaan sosial, ialah perasaan yang mengikatkan individu dengan sesama
manusia, perasaan untuk hidup bemasyarakat.
e. Perasaan harga diri, dapat dibedakan atas dua macam, yaitu perasaan
harga diri positif, misalnya perasaan puas, senang gembira, bangsa yang
dialami seseorang yang mendapatkan penghargaan. Sedangkan perasaan
harga diri negatif, misalnya kecewa, tidak senang, tidak berdaya kalau
seseorang mendapat celaan, dimarahi, mendapatkan hukuman, dan
sebagainya.
f. Perasaan keagamaan, yaitu perasaan yang bersangkut paut dengan
kepercayaan seseorang tentang adanya Yang Maha Kuasa, misalnya rasa

kagum akan kebesaran tuhan, rasa syukur setelah terlepas dari bahaya
secara ajaib dan sebagainya.
B. Tahap-tahap Perkembangan Emosi Anak
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa emosi merupakan gejala
psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala
mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai
taraf. Perkembangan emosi menempuh beberapa tahap beriring dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak.(Martoenoes, 1998: 55)
Secara umum Semiawan (2002: 11) membagi perkembangan anak dalam
berbagai tahap, dalam uraiannya dikatakana bahwa :
Kemampuan untuk berkembang tahap demi tahap seperti : 1) fase
sensoris motor berkembang pada usia 0 2 tahun. Fase ini
berkembang sensoris motor terdiri dari motorik kasar dan motorik
halus/panca indera harus berkembang dengan sempurna. Sentuhan
kasih sayang orang tua sangat bermakna pada fase ini. 2) fase
prekonkrit operasional (usia 3 6). Pada fase ini perkembangan
bahsa anak sangat pesat. 3) fase konkrit operasional berkembang
pada usia 6/7 tahun s/d 11/12 tahuhn. Pada fase ini rasa ingin tahu
anak besar sekali. Anak akan sangat mudah memahami jika
diberikan data yang nyata kegiatan proses berfikir mulai nyata. 4)
fase berfikir abstrak (usia 12 tahun ke atas). Pada fase anak telah
berhasil menyelesaikan hal-hal yang abstrak seperti penerapan
rumus, simbol, dan lain-lain.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat fase-fase perkembangan
kemampuan anak. Pada setiap fase kesemuanya proses kesinambuangan yang
saling berhubungan dan menentukan fase-fase berikutnya. Proses belajar yang
berbeda, juga pengaruh gen yang dibawah menyebabkan adanya perbedaan tiap

individu dalam kontesk kemampuannya. Hal ini menyebabkan adanya anak yang
kecenderungan emosional dan tidak emosional (Kohlberg, 1995: 77).
Ketika bayi baru lahir, kemampuan untuk bereaksi secara emosional
sudah ada. Gejala pertamanya ialah keterangan umum yang berlebih-lebihan dan
tercermin pada aktivitas bayi (Rosjidan.1996: 39). Meskipun deemikian, pada
saat lahir bayi sudah tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dinyatakan
sebagai keadaan emosi yang spesifik.
Sebelum melewati masa neonate, keterangan umum pada bayi yang baru
lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana yang mengesankan tentang
kesenangan dan ketidaksenangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat
diperoleh dengan cara mengubah posisi secara tiba-tiba, sekoyong-koyong
membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap
mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang dingin pada
kulitnya. Rangsangan semacam itu menyebabkan timbuilnya tangisan dan
aktivitas besar. Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak jelas takkala bayi
menetek. Reaksi semacam itu juga dapat diperoleh dengan cara mengayunngayunnya, menepuk-nepuknya, memberikannya kehangatan, dan memopongnya
dengan mesra. Rasa senang pada bayi dapat dilihat dari reaksi yang menyeluruh
pada tubuhnya, dan dari suara yang menyenangkan berupa mendekut.
Seiring dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka
menjadi kurang menyebar, kurang sembarangan, dan lebih dapat dibedakan.
Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidaksenangan semata-

mata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin
bertambah yang meliputi; perlawanan, melemparkan benda, mengejangkan
tubuh, lari menghindar, berbunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan
bertambahnya umur anak, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat
sedangkan reaksi gerakan otot berkurang (Pratidarmanastiti, 1991: 66).
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi variasi
dalam segi frekuensi, intensitas serta jangka waktu dari berbagai macam emosi
dan juga usia pemunculannya. Variasi sudah mulai terlihat sebelum bayi berakhir
dan semakin sering terjadi dan lebih menyolok dengan meningkatnya usia anak
(Budiningsih, 1984: 33).
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara jelas
lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi
yang berlebihan, meskipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang
menyenangkan lainnya. Variasi disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu
dan, taraf kemampuan intelektualnya serta kondisi lingkungan. Anak yang
cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat.
Demikian juga anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai
macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. (Masri,
1974: 66)
C. Faktor yang mempengaruhi emosi
Hasil dari berbagai situasi menunjukkan bahwa perkembangan emosi
anak bergantung sekaligus pada faktor maturasi an faktor belajar (Sunarti, 2001:

8). Maturasi dan belajar berjalin erat dalam mempengaruhi perkembangan emosi
sehingga pada saatnya akan sulit untuk menentukan dampak relatifnya.
1. Faktor Maturasi
Perkembangan

intelektual

menghasilkan

kemampuan

untuk

memahami makna yang sebelumnya tidak dipahami, memperlihatkan


rangsangan dalam jangka waktu yang telah lama, dan memutuskan
ketegangan emosi dalam satu obyek. Demikian pula kemampuan mengingat
dan menduga mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian anak-anak
menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi
mereka pada usia yang lebih muda (Ahmasi, 1990: 88).
Perkembangan kelenjer endokrin perlu untuk mematangkan perilaku
emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi kelenjar endokrin yang
diperlukan untuk menopang rekasi fisiologi terhadap sters. Kelenjar adrenalin
memainkan peran utama pada emosional mengecil secara tajam segera setelah
bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar itu mulai membesar lagi, dan
membesar dengan pesat sampai anak berusia lima tahun, pembesarannya
melambat pada usia 5 dan usia 11 tahun, dan membesar lebih pesat lagi
sampai anak berusia 16 tahun pada usia 16 tahun kelenjar tersebut mencapai
kembali ukuran semula seperti pada saat anak lahir.
2. faktor Belajar
Ada beberapa metode yang menunjang perkembangan emosi anak,
antara lain :

1)

Tiral and error learning; anak

belajar secara coba-coba untuk

mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan


pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan
pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan.
2)

Leraning by initation, belajar dengan cara meniru

sekaligus

mempengaruhi aspek rangsangan dan aspek reaksi.


3)

Learning by identification, belajar dengan cara menidentifikasi diri


sama dengan belajar menirukan.

4)

Conditioning; dalam metode ini obyek dan situasi yang pada umumnya
gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan
cara asosiasi.

5)

Traning; pelatihan atau belajar dengan bimbingan dan pengawasan,


terbatas pada aspek reaksi

D. Pola perkembangan emosi anak taman kanak-kanak


Emosi sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan, meskipun
demikian sangat sukar mempelajari perkembangan emosi anak, karena informasi
tentang aspek emosi yang subyektif hanaya dapat diperoleh dengan cara
introspeksi, sedangkan anak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik
karena mereka masih berusia sangat mudah.
Ketika bayi baru lahir, kemampuan untuk bereaksi secara emosional
sudah ada (Suhartin R.I. 1984). Gejala utamanya ialah keterangsangan umum
yang berlebih-lebihan dan tercermin pada aktivitas bayi. Meskipun demikian,

pada saat bayi lahir tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dapat
dinyatakan sebagai keadaan emosi yang spesifik.
Sebelum melewati masa neonate, keterangan umum pada bayi yang baru
lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana yang mengesankan tentang
kesenangann dan ketidak senangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat
diperoleh dengan cara mengubah posisi secara tiba-tiba, sekonyong-konyong
membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap
mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang pada kulitnya.
Rangsangan semacam itu menyebabkan timbulnya tangisan dan aktivitas besar.
Seiring dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka
menjadi kurang menyebar, kurang sembarangan, dan lebih dapat dibedakan.
Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidaksenangan sematamata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin
bertambah yang meliputi perlawanan, pelemparan benda, mengejangkan tubuh,
lari

menghindar,

bersembunyi,

dan

mengeluarkan

kata-kata.

Dengan

bertambahnya umur anak, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat


sedangkan reaksi gerakan otot berkurang.
Meskipun pola perkembangan emosi anak dapat diramalkan, tetapi
terdapat variasi dan juga pemunculannya. Viriasi sudah mulai terlihat sebelum
masa bayi berakhir dan semakin sering terjadi dan lebih menyolok dengan
meningkatkan usia kanak-kanak.

Dengan meningkatnya emosi anak, semua emosi diekspresikan secara


jelas lunak karena harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi
yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang
menyenangkan lainnya. Variasi disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu
dan taraf kemampuan intelektualnya serta kondisi lingkungan. Anak yang sehat
cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat.
Demikian juga anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai
macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai.
1)
Anak TK

Dampal Positif dan Negatif Perkembangan Emosi

Perkembangan emosi anak TK, dapat bedampak positif dan negatif.


Masing-masing aspek ini memiliki peluang yang sama. Oleh karenanya
diperlukan pengetahuan yang mendasar tentang perkembanganemosi anak agar
dampak negatif dapat dieleminir.
2. Dampak Positif
Emosi apabila diarahkan dengan baik, maka akan dapat menjadikan anak
tersebut dapat berkembang dengan baik. Perkembangan emosi yang baik akan
mengantarkan anak tersebut dapat mengembangkan kemampuah imajinasi,
intelektual dan lain sebagainya.

3. Dampak Negatif
Demikian pula perkembangan emosi anak juga dapat bedampak negatif
pada perkembangan anak. Hal ini dapat menyebabkan kertelantaran emosi,

seperti

anak

tidak

cukup

mendapatkan

pengalaman

emosional

yang

menyenangkan, terutama keingintahuan, kegembiraan, kebahagiaan, dan kasih


sayang. Akibatnya, anak akan mengalami keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan normal, anak biasanya telambat untuk berbuat lebih baik lagi
sesuai dengan umurnya, perkembangan bicara terlambat, perkembangan
intelektual terlambat.
1)

Emosi Anak TK
Emosi anak TK berbeda dengan emosi dengan anak yang lebih tua atau

orang dewasa karena adanya faktr maturasi dan belajar. Ciri khas emosi anak
yang membuatnya berbeda dari emosi dewasa menurut Sunarti (2001: 11), yaitu :
4. Emosi yang kuat; anak kecil bereaksi dengan intensitas yang
sama baik terhadap situasi remeh maupun serius.
5. Emosi seirng kali tampak, anak sering kali memperlihatkan
emosi mereka meningkat dan mereka menjumpai bahwa
ledakan emosional sering kali mengakibatkan hukuman,
mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang
membangkitkan emosi. Kemudian mereka mengekang ledakan
emosi mereka atau bereaksi dengan cara yang lebih dapat
diterima.
6. Emosi bersifat sementara, peralihan yang cepat pada anak-anak
kecil dari tertawa kemudian menangis atau dari marah ke
tersenyum, atau dari cemburu ke rasa sayang, merupakan
akibat dari tiga faktor.

BAB II
PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK
A. Pengertian Perkembangan Sosial Anak TK
Menurut Hurlock (Sujanto, 1996: 38) perkembangan sosial usia
prasekolah berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan
tuntutan sosial. Kemampuan anak menyesuaikan diri dalam lingkungan TK
memerlukan tiga proses yaitu; 1) belajar berperilaku yang dapat diterima secara
sosial, 2) memainkan peran sosial yang dapat diterima, 3) perkembangan sosial
untuk bergaul dengan baik.
1.

Karakteristik Perkembangan Sosial Anak

TK
Sebagaimana perubahan pada fisik dan kognitif, anak mengalami
perubahan pada kepribadiannya. Terdapat beberapa macam pendekatan tentang
hal ini, yaitu pendekatan psikoanalisis klasik yang meliputi pendekatan Freudian
maupun neo-Freudian. Pendekatan psikoanalisis klasik ini lebih menekankan
pada aspek psikoseksual seorang individu, di mana perkembangan yang terjadi
digerakkan yang mempengaruhi tiga komponen kepribadian yaitu ego, id dan
superego (Pudjosuwano, 1984: 56).
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan interpersonal, di mana
individu dilihat sebagai suatu makhluk sosial yang dibentuk oleh lingkungan
budaya dan interpersonal. Perkembangan sosial seseorang dilihat pada interaksi

yang terjadi antara individu yang sedang berkembang dengan teman sebaya,
orang tua, sahabat, musuh, dan masyarakat sekitar. Interaksi yang terjadi
merupakan suatu pertukaran cinta, kasih sayang dan perhatian.
Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan epigenesis, di mana tahapan
perkembangan yang terjadi tidak berdiri sendiri-sendiri, namun tahapan
perkembangan sebelumnya menjadi fondasi bagi tahapan perkembangan
berikutnya.
Menurut Snowman (Sunarti, 2001: 40) mengemukakan ciri-ciri usia
prasekolah di TK meliputi 1) Umumnya anak pada usia ini memiliki teman satu
atau dua sahabat, tetapi cepat tergant, 2) kelompok bermain cenderung lebih
kecil, 3) Anak yang lebih muda sering kali bermain bersebelahan dengan anak
yang lebih besar, 4) pola bermain yang variatif sesuai dengan kelas sosial dan
gender. 5) telah menyadari pesan jenis kelamin.
2.

Pola Perkembangan Sosial Anak Tk


Aktivatas kehidupan anak pada tingkat perkembangan sosial usia

prasekolah yang berlangsung antara umur lima sampai dengan enam


tahun(Sujanto, 1996: 40). Kebanyakan bukan lagi dalam rumah bersama
orangtua dan saudara-saudaranya, tetapi di luar rumah dengan teman sebaya dan
bahkan dengan orang dewasa lainnya. Pada saat ini anak akan memasuki sekolah,
oleh karena itu, hubungan sosial dengan teman sebaya makin bertambah luas.

Pada masa ini perhatian anak terhadap teman sebaya sangat tinggi. Anak
sangat membutuhkan untuk diterima oleh kelompok teman sebaya, terutama
kelompok yang dipandang bergengsi.
3.

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

Perkembangan Sosial Anak TK


1. Fakto Pendukung
Menurut Sunarti (2001: 48) bahwa faktor pendukung perkembangan sosial
usia prasekolah yaitu; 1) sifat altruistik, 2) Kesadaran tentang diri sendiri dan
orang lain.
a. Sifat Altruistik
Sifat altruistik adalah gejala tingkah laku di mana anak lebih cenderung
mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri
atau menyayangi orang lain terutama yang lemah atau binatang.
b. Kesadaran tentang diri sendiri dan orang lain
Aspek penting lainnya yang dimiliki anak untuk mengembangkan tingkah
laku sosialnya adalah timbulnya kesadaran dalam memahami suasana hati
orang lain. Kesadaran akan memahami orang lain ini dikuasai karena
dalam diri anak telah tumbuh kemampuan untuk empati dan role taking.
2. Faktor Penghambat
Menurut Sunarti (2001: 54) bahwa kecenderungan bawaan dapat
menimbulkan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial.
seorang anak laki-laki dengan tubuh yang kecil dan otot yang lemah tidak
mampu menyesuaikan diri dalam suatu budaya yang menganggap ideal tubuh
yang sempurna sperti atlit.

BAB III
PERKEMBANGAN DISIPLIN ANAK TK
A. Pengertian Disiplin
Konsep populer dari disiplin adalah sama dengan hukuman

(Kanto,

1998: 7). Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak melanggar
peraturan dan perintah yang diberikan orang tua, guru atau orang dewasa yang
berwenang mengatur kehidupan bermasyarakat, tempat anal itu tinggal. Jika kita
beranggapan demikian, maka akibatya, bahwa seorang berdisiplin yang baik
adalah adalah orang yang menggunakan hukuman untuk menghalangi perilaku
yang salah atau untuk mengajar anak tentang apa yang diterima dan yang tidak
diterima oleh kelompok sosialnya. Pendisiplin yakin bahwa semakin sosial
perilaku mereka, semakin berat hukuman yang diberikan. Cara terbaik untuk
mengajar anak bersikap sesuai dengan harapan sosial, yaitu dengan membuat
perilaku yang tidak disetujui, tidak menarik sehingga anak menghindarinya dan
mengalihkan energinya ke perilaku yang disetujui. Mereka yang berpendirian
demikian, yakin hukuman badnlah akan mencapai tujuan pendidikan.

Pendapat lain tentang disipilin menyatakan bahwa disiplin ialah orang


yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Anak yang
berdisipilin diri dimaksudkan sebagai keteraturan perilaku berdasarkan nilai
moral yang telah mempribadi dalam dirinya tanpa tekanan atau dorongan dari
faktor eksternal. Menurut Gnagey (Shochib, 1998: 21) menyatakan bahwa
disipilin diri anak merupakan produk disiplin. Sementara itu Madson (Shochib,
1998: 21) mengemukakan bahwa kepemilikan disiplin memerlukan proses
belajar. Dan pada awal proses belajar inilah memerlukan kehadiran orangtua. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara 1) melatih, 2) membiasakan diri berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai berdasrkan acuan moral, 3) diperlukan juga kontrol
untuk mengembangkannya.
Ketiga upaya ini digunakan kontrol eksternal. Kontrol yang bersonansi
demokrasi dan keterbukaan ini memudahkan anak unutk menginternalisasi nilainilai moral. Kontrol eksternal ini dapat menci[takan dunuia kebersamaan yang
menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan bersama antara orang tua dan
anak.
Kontrol internal merupakan kontrol diri yang digunakan anak dalam
mengarahkan perilakunya. Disiplin ini merupakan perilaku yang dapat
ditertanggung

jawabkan

karena

kontrol

oleh

nilai-nilai

moral

yang

terinternalisasi.
Kemudian menurut Kamus Besar Indonesia (1998) mengandung arti 1
tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dsb) 2. Ketaatan (kepatuhan) kepada

peraturan, tata tertib, dsb. Dari segi etimologinya disiplin menurut Liang Gie
(Martoenoes, 1998: 2) yaitu berasal dari bahasa Yunani yaoitu disciple yang
mengandung makna pengikut atau penganut. Berdasarkan makna dari segi
etimologi ini, disiplin diartikan sebagai suatu keadaan tertib di mana orang-orang
yang bergabung dalam suatu oragnisasi tunduk pada peraturan-peraturan.
B. Unsur-unsur Disiplim
1. Konsep-konsep Tentang Disiplin
Berkaitan

dengan

bentuk

disiplin

serta

bagaimana

proses

terbentuknya, terdapat berbagai pendapat atau pandangan. S Nasution


(Martonoes, 1998: 4) menyebutkan adanya dua pandangan, yaitu pandangan
(pendirian) lama dan panfangan (pendirian baru (modern).
Pandangan lama mengartikan disiplin sebabai bentuk kepatuhan yang
disebabkan karena adanya pengawasan atau otoritas dari pihak luar (dalam
hal ini guru). Menurut pendirian lama adalah usaha untuk mengatur dan
mengontrol kelakukan anak untuk mencapai tujuan pendidikan.(Maroenoes ,
1998: 4). Pandangan lama atau modern diartikan bahwa disiplin bukanlah
keatuhan lahiriah, bukanlah paksaan, dan bukanlah ketaatan pada otoritas
untuk melaksanakan suatu perintah. Disipilin menurut pandangan modern
pada dasarnya membutuhkan rasa tanggung jawab dari siswa untuk
melaksanakan sesuatu yang baik berdasarkan kematangan rasa sosial.
Dalam konteks ini terdapat tiga konsepsi disiplin, yaitu, otoritar,
liberal, dan kebebasan terbimbing.

1)

Otoriter
Dalam hal ini memandang bahwa disiplin yang baik adalah suatu suasana
di mana anak duduk dengan tenang sambil terus memperhatikan guru.
Pihak yang mendisiplikan terus mengawasi secara keras, dan jika perlu
menggunakan tangan besi demi tegaknya aturan-aturan kelas.

2)

Liberal
Menekankan perlunya anak diberikan kebebasan sepenuuhnya dalam
bertingkah laku, persoalan disiplin, dengan demiakain dipandang sebagai
urusan anak, yang tidak perlu dicampuri oleh pihak laian. Menurut konsep
ini setiap anak diharapkan akan berkembang sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.

3)

Kebebasan Terbimbing
Kebebasan terbimbing berpandangan bahwa anak seyogyanya diberikan
kebebasan yang tembimbing dan terkontrol. Dalam arti bahwa anak
bertingkah laku bukan karena dipaksa dari luar melainkan karena
keinsyafan.

2. Jenis-jenis Disiplin
Terdapat tiga cara umum yang digunakan untuk mendisiplikan anakanak.
1)

Dispilin Otoriter
Dalam disiplin yang bersifa otoriter, orang tua dan pengasuh yang lain
menetapkan peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa, ia

harus mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Tidak ada usaha untuk


menjelaskan kepada anak, mengapa ia harus patuh dan kepadanya tidak
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil tidaknya
peraturan-peraturan itu masuk akal atau tidak\

2) Displin Bebas
Filsafat yang mendasari teknik disiplin ini adalah bahwa melalui akibat
dari perbuatannya sendiri anak akan belajar bagaimana berperilaku secara
sosial. Dengan demikian anak tidak diajarkan peraturan peraturan, ia tidak
dihukum karena sengaja melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi
anak yang berperilaku sosial baik.
3) Displin Demokrasi
Perinsip disiplin ini menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa
peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan
pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil.
Diusakan agar anak mengerti apa arti peraturan-peraturan dan mengapa
kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi peraturan-peraturan itu.
C. Perlunya disiplin anak TK
Setidaknya terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan upaya orang tua
dalam membantu anak untuk mengembangkan disiplin diri. Antara lain adalah 1)
penataaan lingkungan fisik, 2) penataan lingkungan sosial, 3) penataan
lingkungan pendidikan, 4) dialog-dialog keluarga

1. Penataan Lingkungan Fisik


Konteks ini dipahami bahwa penataan lingkungan fisik keluaga
bertujuan untuk menyingkap nilai-nilai moral yang diapresiasikan anak
terhadap bantuan yang diberikan orang tua kepada anaknya agar memiliki dan
mengembangkan dasar-dasar disiplin diri.
Keakraban dengan nilai moral dasar juga tampak dengan adanya
ruangan musola yang ditempatkan berhadapan dengan ruang keluarga, kamar
makan, dapur dan dekat dekat dengan kamar mereka. Penataan ini bertujuan
agar kontrol terhadap perilaku-perilaku anaknya dapat dilakukan secara
fungsional. Ketersedian perangkat salat untuk masing-masing anggota
keluarga, seperti Al-quran, buku-buku agama yang diperuntukkan unutk
dibaca anak-anak dan buku-buku agama yang dipergunakan unutk orang tua,
hiasan-hiasan dinding di musola dan di ruang keluarga yang mencerminkan
nafas keagamaan, juga mempermudah terciptanya keutuhan keluarga.
Kondisi dan situasi di dalam rumah yang mencerminkan realisasi
nilai moral dasar juga terlihat dengan adanya sandal untuk didalam rumah
yang khusus di pergunakan untuk salat. Munculnya motifasi untuk belajar dan
memiliki nilai-nilai dasar dapat diaplikasikan setia hari.
Anak-anak juga menghayati keakraban dengan nilai moral kebersihan
dan keteraturan. Mereka mengatur rapi ruang tidur, menempatkan pakaian di
lemari berdasarkan fungsinya, menempatkan peralatan-peralatan salat pada
tempat masing-masing jika telah selesai melakukan salat, serta mengatur dan

membersihkan ruangan. Perbuatan-perbuatan tersebut tetap mereka lakukan


walaupun kedua orang tua tidak ada dirumah
Penataan fisik lingkungan seyogyanya yang mencerminkan nilai
moral demokrasi, tampak dalam penataan dan pengaturan barang-barang
scara ajek pula mereka melakukan dialog dengan anak-anak sehingga apa
yang merekak lakukan diputuskan bersama. Berdasarkan keputusan tersebut,
semua anggota kelurga berkewajiban unutk mematuhinya.
Fakta ini menunjukkan baha pengaturan ruang fisik dalam keluarga
dapat digunakan unutk mengupayakan nilai moral demokrasi. Penghayatan
anak-anak terhadap hasil tersebut dapat dibaca dari perilaku-perilaku mereka
dalam

menjaga

kebersihan

ruangan,

melakukan

tindak

belajar,

mengembangkan nilai moral dasar, serta penciptaan suasana yang tenteram


dalam kelurga.
2.

Penataan lingkungan sosial


Interpretasi terhadap penataan lingkungan sosial internal bertujuan
menyingkap nilai-nilai yang diapresiasi anak dalam menerima bantuan orang
tuanya untuk memilki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri.
Komunikasi yang efektif dengan anak disebut komunikasi dialogis.
Komunikasi dialogis dilakukan dengan dialog-dialog yang penuh kehangatan
dan keakraban dengan anak-anaknya. Dengan kominikasi dialogis, dunia
anak dapat dibaca oleh orang tua sehingga mereka dapat menjelaskan kepada
anak tujuan yang diinginkan untuk kepentingannya. Orang tua dapat

menjelaskan tujuannya unutk diterima secara rasional oleh anak. Anak yang
menerima secara rasional tersebut dapat mengapresiasi upaya orang tuanya.
Realitas ini menunjukkan suasana keluarga yang sangat demokratis.
Suasana demokrasi dalam keluarga sebagai unsur esensi dalam kedekatan dan
keakraban untuk melakukan hubungan antar anggota keluarga, merupakan
persyaratan adanya dunia bersama.
Penghayatan anak-anak terhadap hal tersebut merupakan bimbingan,
arahan, dan bantuan unutk semakin mendekatkan dan mengakrabkan mereka
dengan nilai-nilai yang tampak dari realitas dalam perilaku kesehariannya.
Mereka belajar kurang lebih 2,5 jam sehari meskipun orang tua tidak ada
dirumah. Mereka serius dalam belajar dan dalam mengikuti pelajaran privat.
Di samping itu, nilai rapor mereka berkisar pada urutan kesatu sampai ketiga
ini merupakan prestasi yang gemilang karena mereka sekolah di sekolah
pavorit.
Anak-anak semakin dekat dan akrab dengan nilai-nilai ekonomi yang
disuburkan oleh kemampuan orang tua untuk melibatkan anak secara
langsung dalam usaha yang di tekuni ( ibunya) pada saat anak-anak libur dan
waktu luang. Pemberian uang saku dilakukan dalam satu bulan sekali. Anak
diharapkan mampu mengaturnya sendiri. Masing-masing anak di beri buku
tabanas dan dilatih unutk menabung di bawah pengawasan orang tua.
Anak-anak menghayati kedekatan dan keakraban dengan nilai moral
ekonomi. Hal ini tampak dalam realitas perilaku kesehariannya, seperti

mampu mengatur uang saku yang diberikan setiap bulan, konsistensi dalam
menabung di bank, keseriusan dalam membantu ibunya untuk menggeluti
usaha, dan kesadaran terhadap perilaku orang tua unutk mencari keuangan
keluarga demi kepentingannya. Anak-anak merealisasikannya dengan belajar
secara serius.
Interpretasi terhadap penataan lingkungan sosial eksternal bertujuan
menyingkap nilai-nilai yang diapresiasikan anak dalam menerima bantuan
orang tuanya untuk memiliki dan mengembangkan disiplin diri. Penataan
lingkungan sosial internal dalam keluarga adalah merupakan motivasi badi
anak. Mereka merasakan sebagai bantuan karena adanya suasan keakraban di
antara orang tua dengan anak.
D. Dampak Displin pada anak TK
Secara umum pendididkan anak dapat dibagi ke dalam dua bagian yakni
pola asuh yang bersifat otoriter dan pola asuh yang bersifa demokratis. Akan
tetapi yang berkaitan dengan pengembangan disiplin anak, setidaknya terdapat
tiga varian yang akan dibahas pada bagian anak, yaitu, mendisiplin anak secara
otoriter, mendisiplin anak secara permisif, dan mendisiplinkan anak secara
demokratis.
1.

Mendisipilinkan anak secara otoriter


Di masa lalu, hanya cara ini yang digunakan untuk mendisiplikan
anak. Cara ini didasari keyakinan bahwa orang tua adalah orang yang

mengetahui apa yang terbaik bagi anaknya dan sikap bahwa yang menghemat
tongkat akan merusak anak. Menurut Matoenoes (1998: 25) bahwa :
Melalu cara ini peraturan dan pengaturan yang keras digunakan
untuk tujuan membentuk perilaku yang diinginkan orang tua dan
guru pada anak. Anak akan mendapat hukuman yang berat bila
gagal memenuhi standar perilaku yang ditentukan oleh orang tua
atau guru. Sebaliknya sedikit atau sama sekali tidak mendapat
pujian jika berhasil memenuhi standar perilaku yang diharapkan.
Pengendalian perilaku anak dilakukan melalui kekuatan dari luar
dalam bentuk hukuman, terutama hukuman fisik atau badan. Disiplin otoriter
ini berkisar antara yang masih dikatakan wajar dengan sangat kaku.
Orang tua atau guru yang menerapkan teknik ini secara kaku,
cenderung tidak mempertimbangkan usia anak. Akibat dari itu anak yang
dididik dengan disipilin otoriter juga cenderung mengembangkan kepribadain
yang kurang positif. Ia akan sulit menjalin hubungan dengan orang lain
terutama orang-orang yang mempunyai kekuatan besar seperti orang tua atau
guru. Mereka juga sering belajar menjadi licik, tidak jujur dan cenderung
tertutup. Sifat ini berkembang karena anak berusaha menghindari hukuman
bila mereka menentang orang tua atau guru atau melanggar disiplin yang
ditentukan oleh orang tua atau guru. Dampak lain yang ditimbulkan adalah
munculnya sikap submisif (tunduk pada orang lain) dan cenderung menarik
diri dari lingkungan sosialnya.
2.

Mendisiplinkan anak secara permisif


Anak menjadi sulit menyesuaikan diri dan hal ini akan semakin terasa
dengan usianya, yang berarti anak mengalami hambatan dalam perkembangan

kepribadianya. Perilakunya menjadi tidak sesuai dengan usianya, yang berarti


anak mengalami hambatan da;am perkembangan kepribadiannya. Perilaku
yang semakin hari semakin sulit diterima, karena tidak sesuai dengan harapan
dan standar sosial yang berlaku dimasyarakatnya, menyebabkan ia sering
mendapat mendapat kritikan, hukuman, kecaman, dari orang dewasa lain atau
teman-temannya yang tidak bersedia memperlakukannya dengan cara
permisif seperti yangdi perolehnya dari orang tua. Bahkan orang tuanya yang
pada awalnya menerima perilaku anak apa adanya, semakin hari semakin
merasa kewalahan dan pada akhirnya tidak mau lagi menerima perilaku anak
tersebut. Dalam banyak kejadian orangtua bersikap kurang bijaksana, mereka
juga tidak menyadari bahwa mereka turut andil besar dalam terbentuknya
perilaku negatif anak tersebut. Tetapi setelah mereka sendiri merasa
kewalahan menghadapinya, mereka tidak dapat menerima dan menuntuk anak
berperilaku seperti yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya, dalam hal ini
orang tua menjadi sangat tidak realistis, karena sebenarnya merasa tidak
pernah mengajar anak untuk berperilaku sesuai standar sosialnya.
Anak yang dibesarkan dengan cara permisif ini cenderung
berkembang menjadi anak yang ragu-ragu, cemas, kepercayaan dirinya tidak
terbentuk

dengan kuat dan sulit mengendalikan diri. Ambangfrustasinya

rendah, tidak tahan menghadapi kekerasan dan situasi yang agak keras, selalu
butuh bantuan dan dukungan mental dari orang lain, mudah menyerah dan
putus asa. Namun dibalik kelemahan segi pribadinya tersebut dalm

menghadapi situasi yangmenekan reaksinya menjadi sangat agresif, yang


dilakukan untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.
3.

Mendisiplinkan anak secara demokratis


Disiplin demokratis adalah penggabungan yang baik dari cara
mendisiplinkan yang otoriter dan permisif. Cara ini terbukti sebagai cara
pendisiplinan yang paling baik, dan menghasilkan sikap, perilaku yang
matang. Walaupun diakui sebagai cara terbaik, tetapi tidak secara otomatis
menjamin

bahwa

semua

orangtua

akan

menggunakannya,

karena

penerapannya tidaklah mudah.


Cara ini dilakukan dengan menggunakan penjelasan, diskusi dan
penalaran unutk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu
diharapkan untukmembantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu
daharapkan dan yang lain tidak. Pada anak yang masih kecil, penjelasan
tentang suatu peraturan atau bentuk perilaku yang dianggap salah atau benar
disampaikan dalam bentuk kata-kata yangdapat dimengerti oleh anak. Tidak
jaranghal tersebut diikuti pula dengan peragaan, contoh konkret atau
pengalaman langsung yang dirasakan oleh anak.
Menurut Erikson (Sujanto, 1996: 65) perkembangan manusia melewati
suatu proses dialektik yang harus dilalui dan hasil dari proses dialektik ini adalah
salah satu dari kekuatan dasar manusia yaitu harapan, kemauan, hasrat,
kompetensi, cinta, perhatian, kesetiaan dan kebijaksanaan. Perjuangan di antara
dua kutub ini meliputi proses di dalam diri individu (psikologis) dan proses di

luar diri individu (sosial). Dengan demikian, perkembangan yang terjadi adalah
suatu proses adaptasi aktif.
Sesuai dengan konsep anak sebagai individu, perkembangan juga
merupakan suatu proses yang sifatnya menyeluruh (holistik). Maksudnya bahwa
perkembangan itu terjadi tidak hanya dalam aspek yang saling terjalin
(interwoven) satu sama lain. (Rohman Wahab 1999:15). Secara garis besar,
proses perkembangan sosial dapat dikelompokan ke dalam tiga domain; proses
biologis, kognitif, dan psikososial (Santrock dan Yussen, 1992; Seifert dan
Hoffnung, 1991). Ketiga domain proses perkembangan tersebut merupakan
sesuatu yang terpadu dan saling berpengaruh satu sama lain.
Proses-proses biologis atau perkembangan fisik mencakup perubahanperubahan dalam tubuh individu seperti pertumbuhan otak, otot, sistem saraf,
struktur tulang, hormon, organ-organ indrawi, dan sejenisnya. Selain dari pada
yang termasuk perkembangan biologis adalah perubahan-perubahan dalam cara
menggunakan tubuh atau keterampilan motorik, perkembangan seksual, dan
perubahan dalam kemampuan fisik.
Proses kognitif melibatkan perubahan-perubahan dalam kemampuan dan
pola berfikir, kemahiran berbahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan
dari

lingkungannya.

Aktivitas-aktivitas

seperti

mengamati

dan

mengklasifikasikan benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu


kalimat, menghafal sajak atau doa, memecahkan soal-soal matematika, dan

menceritakan pengalaman, merefleksikan peran merupakan proses kognitif dalam


perkembangan anak.
Perkembangan kognitif perlu dibedakan dengan perubahan dalam arti
belajar. Perkembangan kognitif mengacu kepada perubahan-perubahan penting
dalam pola dan kemampuan berfikir serta kemahiran berbahasa, tetapi belajar
cenderung lebih terbatas pada perubahan-perubahan sebagai hasil dari
pengalaman atau peristiwa yang relatif spesifik. Selain itu, perubahan-perubahan
yang dipelajari seringkali dipelajari dalam waktu yang singkat, tetapi
perkembangan kognitif terjadi dalam kurun waktu yang relatif lama.
Perkembangan kognitif anak dan pengalaman belajar ini sangat erat kaitannya
dan saling berpengaruh satu sama lain. Yaitu perkembangan kognitif anak akan
menfasilitasi atau membatasi kemampuan belajar anak, sebaliknya pengalaman
belajar anak akansangat menfasilitasi perkembangan kognitifnya.
Proses-proses psikososial melibatkan perubahan-perubahan dalam aspek
perasaan, emosi, dan kepribadian individu serta cara yang bersangkutan
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian perkembangan identitas diri
(self identity) dan krisis-krisis yang menyertainya serta perkembangan cara dan
pola hubungan dengan anggota keluarga, teman sebaya, guru-guru, dan yang
lainnya dapat dikelompokkan ke dalam domain perkembangan ini. Contoh dari
proses-proses, psikososial antara lain: perilaku agresif anak terhadap teman
bermain, rasa percaya diri dan keberanian anak, juga perkembangan hubungan
pertemanan di antara anak.

Pengelompokan aspek perkembangan anak sebagai individu menJ'adi 3


domain di atas memberikan suatu gambaran bahwa ketiga domain tersebut,
proses biologis, proses kognitif, serta proses psikososial saling berpengaruh satu
sama lainnya serta secara terpadu dan menyeluruh membentuk suatu karakteristik
individu yang unik yang membedakan dengan individu yang lainnya.
Berkaitan dengan hal ini anak sebagai individu yang unik dapat dibedakan
dengan orang dewasa dalam segala aspek bukan hanya aspek fisik saja melainkan
keseluruhan aspek dalam dirinya sehingga anak bukan miniaturnya orang
dewasa.
Secara fisik anak sedang mengalami pertumbuhan yang pesat sedangkan
pada orang dewasa proses pertumbuhan fisik relatif tak berkembang lagi,
demikian juga secara kognitif pola fikir seorang anak masih terbatas pada hal-hal
yang kongkret tak seperti orang dewasa yang sudah mampu berfikir abstrak, dari
segi emosional seorang anak tentunya masih bersifat egosentris sedangkan orang
dewasa lebih mampu berfikir empatik dan sosial.
Pembahasan mengenai perbedaan anak sebagai pribadi yang unik akan
lebih jelas bila dikaji lebih dalam mengenai bidang-bidang perbedaannya. Di
dalam diri individu terdapat perbedaan dalam bermacam-macam aspek dari
keseluruhan kepribadiannya. Tetapi karena tidak ada satu sifatpun yang berdiri
sendiri, berfungsinya satu sifat akan mempengaruhi keseluruhan pola tingkah
laku individu. Sebagai contoh, seorang anak yang telah mengetahui makna

tentang kerajinan bagi dirinya dan orang lain, anak tersebut akan mempraktekan
berbuat rajin di sekolah maupun di rumah
Carry (Kohlberg, 1995:317) mengkategori-kan perbedaan individual ke
dalam bidang-bidang berikut:
1) Perbedaan fisik; usia, tinggi dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran,
penglihatan, kemampuan bertindak.
2) Perbedaan sosial termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga, suku.
3) Perbedaan kepribadian termasuk watak, motif, minat, dan sikap.
4) Perbedaan intelegensi dan kemampuan dasar.
5) Perbedaan kecakapan dan kepandaian di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmasi, 1990. Pendidikan di Lingkungan Keluarga. Jawara: Surabaya
Budiningsih, C.A., 1984. Hubungan Antara Intelegensi dengan Tingkat
Perkembangan Moral pada Remaja Usia 13 tahun sampai 15 tahun. Skripsi
(tidak diterbitkan), Fakultas Psikologi, UGM Yogyakarta.
Depdikbud. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kwalitas Sumber Daya
Manusia di Daerah Sulawesi Selatan. Depdikbud : Ujung Pandang.
Hardiman, B. 1987. Pendidikan Moral sebagai Pendidikan Keadilan. Basis Andi
Offset, Yogyakarta.
Kanto, Kullasse, 1998. Psikologi Perkembangan. FIP UNM
Kohlberg, L., 1995. (terjemahan). Tahap-tahap Perkembangan Moral. Kanisius
Yogyakarta.
Depdikbud, 1995. Kamus Besar Indonesia. Jakarta, Depdikbud
Martoenoes, dkk, 1998. Metodologi Pengembangan Agama Moral, Dosiplin dan
Afektif. Program D2 PGTK PADU
Masri, A.W. 1974. Paradigma Psikologi Sosial. Jakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP
Jakarta.
Pratidarmanastiti, L., 1991. Perkembangan Moral Remaja Delinkuen dan NonDelinkuen. Tesis (tidak diterbitkan). Fakultas Pasca Sarjana. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pudjosuwano Sayekti. 1984. Pola Asuhan dalam Hubungannnya dengan
Penyesuaian Diri Anak. Bandung: Tesis pada PPS IKIP Bandung
Rosjidan.1996. Pendidikan Keluarga Indonesia Sejahtera di Tinjau dari Segi
Pendidikan. Makalah. Ujung Pandang. Disampaikan pada Konvensi
Nasional Pendidikan Indonesia III.
Shochib, Moh, 1998. Pola Asuh Orang Tua. Rineka Cipta. Jakarta

Soelamana, 1994. Keluarga Sebagai Pendidikan Pertama dan Utama. Surabaya:


Papirus
Suhartin R.I. 1984. Cara Mendidik Anak dalam Keluarga Masa Kini. Jakarta:
Bharata Karya Aksara.
Sunarti Kustiah. 2001. Psikologi Perkembangan. FIP UNM
Suryabrata, Sumadi, 1984. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM Press
Semiawan Conny. R, 2002. Petunjuk Layanan dan Pembinaan
Kecerdasan Anak: Sejak Pranata Sampai Dengan Usia
Sekolah Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai