2. Perasaan Rohani
a. Perasaan
intelektual,
yaitu
perasaan
yang
bersangkutan
dengan
kagum akan kebesaran tuhan, rasa syukur setelah terlepas dari bahaya
secara ajaib dan sebagainya.
B. Tahap-tahap Perkembangan Emosi Anak
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa emosi merupakan gejala
psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala
mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai
taraf. Perkembangan emosi menempuh beberapa tahap beriring dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak.(Martoenoes, 1998: 55)
Secara umum Semiawan (2002: 11) membagi perkembangan anak dalam
berbagai tahap, dalam uraiannya dikatakana bahwa :
Kemampuan untuk berkembang tahap demi tahap seperti : 1) fase
sensoris motor berkembang pada usia 0 2 tahun. Fase ini
berkembang sensoris motor terdiri dari motorik kasar dan motorik
halus/panca indera harus berkembang dengan sempurna. Sentuhan
kasih sayang orang tua sangat bermakna pada fase ini. 2) fase
prekonkrit operasional (usia 3 6). Pada fase ini perkembangan
bahsa anak sangat pesat. 3) fase konkrit operasional berkembang
pada usia 6/7 tahun s/d 11/12 tahuhn. Pada fase ini rasa ingin tahu
anak besar sekali. Anak akan sangat mudah memahami jika
diberikan data yang nyata kegiatan proses berfikir mulai nyata. 4)
fase berfikir abstrak (usia 12 tahun ke atas). Pada fase anak telah
berhasil menyelesaikan hal-hal yang abstrak seperti penerapan
rumus, simbol, dan lain-lain.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat fase-fase perkembangan
kemampuan anak. Pada setiap fase kesemuanya proses kesinambuangan yang
saling berhubungan dan menentukan fase-fase berikutnya. Proses belajar yang
berbeda, juga pengaruh gen yang dibawah menyebabkan adanya perbedaan tiap
individu dalam kontesk kemampuannya. Hal ini menyebabkan adanya anak yang
kecenderungan emosional dan tidak emosional (Kohlberg, 1995: 77).
Ketika bayi baru lahir, kemampuan untuk bereaksi secara emosional
sudah ada. Gejala pertamanya ialah keterangan umum yang berlebih-lebihan dan
tercermin pada aktivitas bayi (Rosjidan.1996: 39). Meskipun deemikian, pada
saat lahir bayi sudah tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dinyatakan
sebagai keadaan emosi yang spesifik.
Sebelum melewati masa neonate, keterangan umum pada bayi yang baru
lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana yang mengesankan tentang
kesenangan dan ketidaksenangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat
diperoleh dengan cara mengubah posisi secara tiba-tiba, sekoyong-koyong
membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap
mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang dingin pada
kulitnya. Rangsangan semacam itu menyebabkan timbuilnya tangisan dan
aktivitas besar. Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak jelas takkala bayi
menetek. Reaksi semacam itu juga dapat diperoleh dengan cara mengayunngayunnya, menepuk-nepuknya, memberikannya kehangatan, dan memopongnya
dengan mesra. Rasa senang pada bayi dapat dilihat dari reaksi yang menyeluruh
pada tubuhnya, dan dari suara yang menyenangkan berupa mendekut.
Seiring dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka
menjadi kurang menyebar, kurang sembarangan, dan lebih dapat dibedakan.
Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidaksenangan semata-
mata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin
bertambah yang meliputi; perlawanan, melemparkan benda, mengejangkan
tubuh, lari menghindar, berbunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan
bertambahnya umur anak, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat
sedangkan reaksi gerakan otot berkurang (Pratidarmanastiti, 1991: 66).
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi variasi
dalam segi frekuensi, intensitas serta jangka waktu dari berbagai macam emosi
dan juga usia pemunculannya. Variasi sudah mulai terlihat sebelum bayi berakhir
dan semakin sering terjadi dan lebih menyolok dengan meningkatnya usia anak
(Budiningsih, 1984: 33).
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara jelas
lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi
yang berlebihan, meskipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang
menyenangkan lainnya. Variasi disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu
dan, taraf kemampuan intelektualnya serta kondisi lingkungan. Anak yang
cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat.
Demikian juga anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai
macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. (Masri,
1974: 66)
C. Faktor yang mempengaruhi emosi
Hasil dari berbagai situasi menunjukkan bahwa perkembangan emosi
anak bergantung sekaligus pada faktor maturasi an faktor belajar (Sunarti, 2001:
8). Maturasi dan belajar berjalin erat dalam mempengaruhi perkembangan emosi
sehingga pada saatnya akan sulit untuk menentukan dampak relatifnya.
1. Faktor Maturasi
Perkembangan
intelektual
menghasilkan
kemampuan
untuk
1)
sekaligus
4)
Conditioning; dalam metode ini obyek dan situasi yang pada umumnya
gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan
cara asosiasi.
5)
pada saat bayi lahir tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dapat
dinyatakan sebagai keadaan emosi yang spesifik.
Sebelum melewati masa neonate, keterangan umum pada bayi yang baru
lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana yang mengesankan tentang
kesenangann dan ketidak senangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat
diperoleh dengan cara mengubah posisi secara tiba-tiba, sekonyong-konyong
membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap
mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang pada kulitnya.
Rangsangan semacam itu menyebabkan timbulnya tangisan dan aktivitas besar.
Seiring dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka
menjadi kurang menyebar, kurang sembarangan, dan lebih dapat dibedakan.
Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidaksenangan sematamata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin
bertambah yang meliputi perlawanan, pelemparan benda, mengejangkan tubuh,
lari
menghindar,
bersembunyi,
dan
mengeluarkan
kata-kata.
Dengan
3. Dampak Negatif
Demikian pula perkembangan emosi anak juga dapat bedampak negatif
pada perkembangan anak. Hal ini dapat menyebabkan kertelantaran emosi,
seperti
anak
tidak
cukup
mendapatkan
pengalaman
emosional
yang
Emosi Anak TK
Emosi anak TK berbeda dengan emosi dengan anak yang lebih tua atau
orang dewasa karena adanya faktr maturasi dan belajar. Ciri khas emosi anak
yang membuatnya berbeda dari emosi dewasa menurut Sunarti (2001: 11), yaitu :
4. Emosi yang kuat; anak kecil bereaksi dengan intensitas yang
sama baik terhadap situasi remeh maupun serius.
5. Emosi seirng kali tampak, anak sering kali memperlihatkan
emosi mereka meningkat dan mereka menjumpai bahwa
ledakan emosional sering kali mengakibatkan hukuman,
mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang
membangkitkan emosi. Kemudian mereka mengekang ledakan
emosi mereka atau bereaksi dengan cara yang lebih dapat
diterima.
6. Emosi bersifat sementara, peralihan yang cepat pada anak-anak
kecil dari tertawa kemudian menangis atau dari marah ke
tersenyum, atau dari cemburu ke rasa sayang, merupakan
akibat dari tiga faktor.
BAB II
PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK
A. Pengertian Perkembangan Sosial Anak TK
Menurut Hurlock (Sujanto, 1996: 38) perkembangan sosial usia
prasekolah berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan
tuntutan sosial. Kemampuan anak menyesuaikan diri dalam lingkungan TK
memerlukan tiga proses yaitu; 1) belajar berperilaku yang dapat diterima secara
sosial, 2) memainkan peran sosial yang dapat diterima, 3) perkembangan sosial
untuk bergaul dengan baik.
1.
TK
Sebagaimana perubahan pada fisik dan kognitif, anak mengalami
perubahan pada kepribadiannya. Terdapat beberapa macam pendekatan tentang
hal ini, yaitu pendekatan psikoanalisis klasik yang meliputi pendekatan Freudian
maupun neo-Freudian. Pendekatan psikoanalisis klasik ini lebih menekankan
pada aspek psikoseksual seorang individu, di mana perkembangan yang terjadi
digerakkan yang mempengaruhi tiga komponen kepribadian yaitu ego, id dan
superego (Pudjosuwano, 1984: 56).
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan interpersonal, di mana
individu dilihat sebagai suatu makhluk sosial yang dibentuk oleh lingkungan
budaya dan interpersonal. Perkembangan sosial seseorang dilihat pada interaksi
yang terjadi antara individu yang sedang berkembang dengan teman sebaya,
orang tua, sahabat, musuh, dan masyarakat sekitar. Interaksi yang terjadi
merupakan suatu pertukaran cinta, kasih sayang dan perhatian.
Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan epigenesis, di mana tahapan
perkembangan yang terjadi tidak berdiri sendiri-sendiri, namun tahapan
perkembangan sebelumnya menjadi fondasi bagi tahapan perkembangan
berikutnya.
Menurut Snowman (Sunarti, 2001: 40) mengemukakan ciri-ciri usia
prasekolah di TK meliputi 1) Umumnya anak pada usia ini memiliki teman satu
atau dua sahabat, tetapi cepat tergant, 2) kelompok bermain cenderung lebih
kecil, 3) Anak yang lebih muda sering kali bermain bersebelahan dengan anak
yang lebih besar, 4) pola bermain yang variatif sesuai dengan kelas sosial dan
gender. 5) telah menyadari pesan jenis kelamin.
2.
Pada masa ini perhatian anak terhadap teman sebaya sangat tinggi. Anak
sangat membutuhkan untuk diterima oleh kelompok teman sebaya, terutama
kelompok yang dipandang bergengsi.
3.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
BAB III
PERKEMBANGAN DISIPLIN ANAK TK
A. Pengertian Disiplin
Konsep populer dari disiplin adalah sama dengan hukuman
(Kanto,
1998: 7). Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak melanggar
peraturan dan perintah yang diberikan orang tua, guru atau orang dewasa yang
berwenang mengatur kehidupan bermasyarakat, tempat anal itu tinggal. Jika kita
beranggapan demikian, maka akibatya, bahwa seorang berdisiplin yang baik
adalah adalah orang yang menggunakan hukuman untuk menghalangi perilaku
yang salah atau untuk mengajar anak tentang apa yang diterima dan yang tidak
diterima oleh kelompok sosialnya. Pendisiplin yakin bahwa semakin sosial
perilaku mereka, semakin berat hukuman yang diberikan. Cara terbaik untuk
mengajar anak bersikap sesuai dengan harapan sosial, yaitu dengan membuat
perilaku yang tidak disetujui, tidak menarik sehingga anak menghindarinya dan
mengalihkan energinya ke perilaku yang disetujui. Mereka yang berpendirian
demikian, yakin hukuman badnlah akan mencapai tujuan pendidikan.
jawabkan
karena
kontrol
oleh
nilai-nilai
moral
yang
terinternalisasi.
Kemudian menurut Kamus Besar Indonesia (1998) mengandung arti 1
tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dsb) 2. Ketaatan (kepatuhan) kepada
peraturan, tata tertib, dsb. Dari segi etimologinya disiplin menurut Liang Gie
(Martoenoes, 1998: 2) yaitu berasal dari bahasa Yunani yaoitu disciple yang
mengandung makna pengikut atau penganut. Berdasarkan makna dari segi
etimologi ini, disiplin diartikan sebagai suatu keadaan tertib di mana orang-orang
yang bergabung dalam suatu oragnisasi tunduk pada peraturan-peraturan.
B. Unsur-unsur Disiplim
1. Konsep-konsep Tentang Disiplin
Berkaitan
dengan
bentuk
disiplin
serta
bagaimana
proses
1)
Otoriter
Dalam hal ini memandang bahwa disiplin yang baik adalah suatu suasana
di mana anak duduk dengan tenang sambil terus memperhatikan guru.
Pihak yang mendisiplikan terus mengawasi secara keras, dan jika perlu
menggunakan tangan besi demi tegaknya aturan-aturan kelas.
2)
Liberal
Menekankan perlunya anak diberikan kebebasan sepenuuhnya dalam
bertingkah laku, persoalan disiplin, dengan demiakain dipandang sebagai
urusan anak, yang tidak perlu dicampuri oleh pihak laian. Menurut konsep
ini setiap anak diharapkan akan berkembang sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.
3)
Kebebasan Terbimbing
Kebebasan terbimbing berpandangan bahwa anak seyogyanya diberikan
kebebasan yang tembimbing dan terkontrol. Dalam arti bahwa anak
bertingkah laku bukan karena dipaksa dari luar melainkan karena
keinsyafan.
2. Jenis-jenis Disiplin
Terdapat tiga cara umum yang digunakan untuk mendisiplikan anakanak.
1)
Dispilin Otoriter
Dalam disiplin yang bersifa otoriter, orang tua dan pengasuh yang lain
menetapkan peraturan-peraturan dan memberitahukan anak bahwa, ia
2) Displin Bebas
Filsafat yang mendasari teknik disiplin ini adalah bahwa melalui akibat
dari perbuatannya sendiri anak akan belajar bagaimana berperilaku secara
sosial. Dengan demikian anak tidak diajarkan peraturan peraturan, ia tidak
dihukum karena sengaja melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi
anak yang berperilaku sosial baik.
3) Displin Demokrasi
Perinsip disiplin ini menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa
peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan
pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil.
Diusakan agar anak mengerti apa arti peraturan-peraturan dan mengapa
kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi peraturan-peraturan itu.
C. Perlunya disiplin anak TK
Setidaknya terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan upaya orang tua
dalam membantu anak untuk mengembangkan disiplin diri. Antara lain adalah 1)
penataaan lingkungan fisik, 2) penataan lingkungan sosial, 3) penataan
lingkungan pendidikan, 4) dialog-dialog keluarga
menjaga
kebersihan
ruangan,
melakukan
tindak
belajar,
menjelaskan tujuannya unutk diterima secara rasional oleh anak. Anak yang
menerima secara rasional tersebut dapat mengapresiasi upaya orang tuanya.
Realitas ini menunjukkan suasana keluarga yang sangat demokratis.
Suasana demokrasi dalam keluarga sebagai unsur esensi dalam kedekatan dan
keakraban untuk melakukan hubungan antar anggota keluarga, merupakan
persyaratan adanya dunia bersama.
Penghayatan anak-anak terhadap hal tersebut merupakan bimbingan,
arahan, dan bantuan unutk semakin mendekatkan dan mengakrabkan mereka
dengan nilai-nilai yang tampak dari realitas dalam perilaku kesehariannya.
Mereka belajar kurang lebih 2,5 jam sehari meskipun orang tua tidak ada
dirumah. Mereka serius dalam belajar dan dalam mengikuti pelajaran privat.
Di samping itu, nilai rapor mereka berkisar pada urutan kesatu sampai ketiga
ini merupakan prestasi yang gemilang karena mereka sekolah di sekolah
pavorit.
Anak-anak semakin dekat dan akrab dengan nilai-nilai ekonomi yang
disuburkan oleh kemampuan orang tua untuk melibatkan anak secara
langsung dalam usaha yang di tekuni ( ibunya) pada saat anak-anak libur dan
waktu luang. Pemberian uang saku dilakukan dalam satu bulan sekali. Anak
diharapkan mampu mengaturnya sendiri. Masing-masing anak di beri buku
tabanas dan dilatih unutk menabung di bawah pengawasan orang tua.
Anak-anak menghayati kedekatan dan keakraban dengan nilai moral
ekonomi. Hal ini tampak dalam realitas perilaku kesehariannya, seperti
mampu mengatur uang saku yang diberikan setiap bulan, konsistensi dalam
menabung di bank, keseriusan dalam membantu ibunya untuk menggeluti
usaha, dan kesadaran terhadap perilaku orang tua unutk mencari keuangan
keluarga demi kepentingannya. Anak-anak merealisasikannya dengan belajar
secara serius.
Interpretasi terhadap penataan lingkungan sosial eksternal bertujuan
menyingkap nilai-nilai yang diapresiasikan anak dalam menerima bantuan
orang tuanya untuk memiliki dan mengembangkan disiplin diri. Penataan
lingkungan sosial internal dalam keluarga adalah merupakan motivasi badi
anak. Mereka merasakan sebagai bantuan karena adanya suasan keakraban di
antara orang tua dengan anak.
D. Dampak Displin pada anak TK
Secara umum pendididkan anak dapat dibagi ke dalam dua bagian yakni
pola asuh yang bersifat otoriter dan pola asuh yang bersifa demokratis. Akan
tetapi yang berkaitan dengan pengembangan disiplin anak, setidaknya terdapat
tiga varian yang akan dibahas pada bagian anak, yaitu, mendisiplin anak secara
otoriter, mendisiplin anak secara permisif, dan mendisiplinkan anak secara
demokratis.
1.
mengetahui apa yang terbaik bagi anaknya dan sikap bahwa yang menghemat
tongkat akan merusak anak. Menurut Matoenoes (1998: 25) bahwa :
Melalu cara ini peraturan dan pengaturan yang keras digunakan
untuk tujuan membentuk perilaku yang diinginkan orang tua dan
guru pada anak. Anak akan mendapat hukuman yang berat bila
gagal memenuhi standar perilaku yang ditentukan oleh orang tua
atau guru. Sebaliknya sedikit atau sama sekali tidak mendapat
pujian jika berhasil memenuhi standar perilaku yang diharapkan.
Pengendalian perilaku anak dilakukan melalui kekuatan dari luar
dalam bentuk hukuman, terutama hukuman fisik atau badan. Disiplin otoriter
ini berkisar antara yang masih dikatakan wajar dengan sangat kaku.
Orang tua atau guru yang menerapkan teknik ini secara kaku,
cenderung tidak mempertimbangkan usia anak. Akibat dari itu anak yang
dididik dengan disipilin otoriter juga cenderung mengembangkan kepribadain
yang kurang positif. Ia akan sulit menjalin hubungan dengan orang lain
terutama orang-orang yang mempunyai kekuatan besar seperti orang tua atau
guru. Mereka juga sering belajar menjadi licik, tidak jujur dan cenderung
tertutup. Sifat ini berkembang karena anak berusaha menghindari hukuman
bila mereka menentang orang tua atau guru atau melanggar disiplin yang
ditentukan oleh orang tua atau guru. Dampak lain yang ditimbulkan adalah
munculnya sikap submisif (tunduk pada orang lain) dan cenderung menarik
diri dari lingkungan sosialnya.
2.
rendah, tidak tahan menghadapi kekerasan dan situasi yang agak keras, selalu
butuh bantuan dan dukungan mental dari orang lain, mudah menyerah dan
putus asa. Namun dibalik kelemahan segi pribadinya tersebut dalm
bahwa
semua
orangtua
akan
menggunakannya,
karena
luar diri individu (sosial). Dengan demikian, perkembangan yang terjadi adalah
suatu proses adaptasi aktif.
Sesuai dengan konsep anak sebagai individu, perkembangan juga
merupakan suatu proses yang sifatnya menyeluruh (holistik). Maksudnya bahwa
perkembangan itu terjadi tidak hanya dalam aspek yang saling terjalin
(interwoven) satu sama lain. (Rohman Wahab 1999:15). Secara garis besar,
proses perkembangan sosial dapat dikelompokan ke dalam tiga domain; proses
biologis, kognitif, dan psikososial (Santrock dan Yussen, 1992; Seifert dan
Hoffnung, 1991). Ketiga domain proses perkembangan tersebut merupakan
sesuatu yang terpadu dan saling berpengaruh satu sama lain.
Proses-proses biologis atau perkembangan fisik mencakup perubahanperubahan dalam tubuh individu seperti pertumbuhan otak, otot, sistem saraf,
struktur tulang, hormon, organ-organ indrawi, dan sejenisnya. Selain dari pada
yang termasuk perkembangan biologis adalah perubahan-perubahan dalam cara
menggunakan tubuh atau keterampilan motorik, perkembangan seksual, dan
perubahan dalam kemampuan fisik.
Proses kognitif melibatkan perubahan-perubahan dalam kemampuan dan
pola berfikir, kemahiran berbahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan
dari
lingkungannya.
Aktivitas-aktivitas
seperti
mengamati
dan
tentang kerajinan bagi dirinya dan orang lain, anak tersebut akan mempraktekan
berbuat rajin di sekolah maupun di rumah
Carry (Kohlberg, 1995:317) mengkategori-kan perbedaan individual ke
dalam bidang-bidang berikut:
1) Perbedaan fisik; usia, tinggi dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran,
penglihatan, kemampuan bertindak.
2) Perbedaan sosial termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga, suku.
3) Perbedaan kepribadian termasuk watak, motif, minat, dan sikap.
4) Perbedaan intelegensi dan kemampuan dasar.
5) Perbedaan kecakapan dan kepandaian di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmasi, 1990. Pendidikan di Lingkungan Keluarga. Jawara: Surabaya
Budiningsih, C.A., 1984. Hubungan Antara Intelegensi dengan Tingkat
Perkembangan Moral pada Remaja Usia 13 tahun sampai 15 tahun. Skripsi
(tidak diterbitkan), Fakultas Psikologi, UGM Yogyakarta.
Depdikbud. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kwalitas Sumber Daya
Manusia di Daerah Sulawesi Selatan. Depdikbud : Ujung Pandang.
Hardiman, B. 1987. Pendidikan Moral sebagai Pendidikan Keadilan. Basis Andi
Offset, Yogyakarta.
Kanto, Kullasse, 1998. Psikologi Perkembangan. FIP UNM
Kohlberg, L., 1995. (terjemahan). Tahap-tahap Perkembangan Moral. Kanisius
Yogyakarta.
Depdikbud, 1995. Kamus Besar Indonesia. Jakarta, Depdikbud
Martoenoes, dkk, 1998. Metodologi Pengembangan Agama Moral, Dosiplin dan
Afektif. Program D2 PGTK PADU
Masri, A.W. 1974. Paradigma Psikologi Sosial. Jakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP
Jakarta.
Pratidarmanastiti, L., 1991. Perkembangan Moral Remaja Delinkuen dan NonDelinkuen. Tesis (tidak diterbitkan). Fakultas Pasca Sarjana. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pudjosuwano Sayekti. 1984. Pola Asuhan dalam Hubungannnya dengan
Penyesuaian Diri Anak. Bandung: Tesis pada PPS IKIP Bandung
Rosjidan.1996. Pendidikan Keluarga Indonesia Sejahtera di Tinjau dari Segi
Pendidikan. Makalah. Ujung Pandang. Disampaikan pada Konvensi
Nasional Pendidikan Indonesia III.
Shochib, Moh, 1998. Pola Asuh Orang Tua. Rineka Cipta. Jakarta