Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

Penatalaksanaan Anestesi Umum


pada An. K dengan Hidrosefalus yang akan dilakukan Pro Vp Shunt
OK IV IBS RSUD dr.Moewardi
Surakarta

Oleh :

Achmad Muarif, AMK


Ragil Sri K, AMK
Taupik Rahman, AMK

Pelatihan dan Pendidikan Perawat Mahir Anestesi


RSUD dr.Moewardi Surakarta
Periode Maret s.d September
2015-2016

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tugas utama profesi dokter adalah mempertahankan hidup dan mengurangi
penderitaan. Dengan berkembangnya waktu, ilmu kedokteran berkembang menjadi
berbagai spesialisasi yang landasan ilmunya dikembangkan dari ilmu kedokteran
umum. Anestesiologi dan reanimasi adalah salah satu cabang perkembangan ilmu
kedokteran. Berkaca dari dua tugas utama profesi dokter di atas, maka anestesiologi
dan reanimasi menjabarkan bidang kajiannya menjadi pengelolaan bantuan hidup
serta pengelolaan stress dan nyeri. Pada tahun 1900-an tugas pembiusan masih
diserahkan kepada ahli bedah junior atau mahasiswa kedokteran. Pada tahun 1905
baru dibentuklah organisasi ahli anestesi pertama di Amerika Serikat. Dengan
berjalannya waktu terjadi perubahan persepsi dan paradigma bahwa pembedahan
adalah suatu kegawatan yang terencana. Maka dari itu peran seorang dokter anestesi
makin berkembang. Selain mengelola life support (bantuan hidup) dan mengelola
stress dan nyeri, dokter anestesi wajib menciptakan kondisi optimal untuk
pembedahan.
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang berarti
kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara aktif
yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang
berlebihan pada satu atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini
disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi
dari CSS. Bila akumulasi CSS yang berlebihan terjadi diatas hemisfer serebral,
keadaan ini disebut higroma subdural atau koleksi cairan subdural. Pada kasus
akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem ventrikuler, keadaan ini disebut
sebagai hidrosefalus internal.Selain itu beberapa lesi intrakranial menyebabkan
peninggian TIK, namun tidak sampai menyebabkan hidrosefalus. Peninggian volume
CSS tidak ekivalen dengan hidrosefalus; ini juga terjadi pada atrofi serebral.

Hidrosefalus sebagai kesatuan klinik dibedakan oleh tiga faktor: a).peninggian


tekanan intraventrikuler, b).penambahan volume CSS, c).dilatasi rongga CSS.
Secara keseluruhan, insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1 : 1000.
sedangkan insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap populasi yang
berbeda. Hershey BL mengatakan kebanyakan hidrosefalus pada anak-anak adalah
kongenital yang biasanya sudah tampak pada masa bayi. Jika hidrosefalus tampak
setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh karena kongenital. Mujahid Anwar dkk
mendapatkan 40 50% bayi dengan perdarahan intraventrikular derajat 3 dan 4
mengalami hidrosefalus. Pongsakdi Visudiphan dkk pada penelitiannya mendapatkan
36 dari 49 anak-anak dengan meningitis TB mengalami hidrosefalus, dengan 3
catatan 8 anak dengan hidrosefalus obstruktif dan 26 anak dengan hidrosefalus
komunikans. Hidrosefalus yang terjadi sebagai komplikasi meningitis bakteri dapat
dijumpai pada semua usia, tetapi lebih sering pada bayi daripada anak-anak.
Berdasarkan catatan medik di bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP
Denpasar dari tahun 1991 s/d Desember 1993 telah dirawat 21 penderita hidrosefalus
dimana 4 diantaranya adalah hidrosefalus kongenital.
B. Rumusan Masalah
Dalam hal ini penulis mengambil kasus tentang Penatalaksanaan Anestesi Umum
pada An. K dengan diagnosa Hidrosefalus Pro Vp Shunt di kamar operasi IBS
dr.Moewardi Surakarta.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dan penyusunan makalah ini adalah diajukan sebagai syarat dalam memenuhi
tugas pelatihan perawat mahir anestesi di RSUD Dr.Moewardi Surakarta.

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Teoritis Hidrosefalus


1. Definisi
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya
cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang
meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran
ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan
serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau
kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi
besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al,
2007:328).
2. Epidemiologi
Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus
kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11 % - 43 % disebabkan
oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk
kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi
pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh
toksoplasmosis.

Hidrosefalus

infantil;

46%

adalah

akibat

abnormalitas

perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan


kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2005:211).
3. Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS)
pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel
dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi
dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Teoritis pembentukan
CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan
menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi.

Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah:
a. Kelainan Bawaan (Kongenital)
1) Stenosis akuaduktus Sylvii
2) Spina bifida dan kranium bifida
3) Sindrom Dandy-Walker
4) Kista araknoid dan anomali pembuluh darah
b. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis terlihat
penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis dan daerah
lain. Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.
c. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran
CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau
akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari
serebelum,

penyumbatan

bagian

depan

ventrikel

III

disebabkan

kraniofaringioma.
d. Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis
leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang
terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.
4. Patofisiologi dan Patogenesis
CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali ke
dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang
meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis terdapat
dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang dewasa
normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml,
neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun dalam
ventrikel 500-1500 ml Aliran CSS normal ialah dari ventrikel lateralis melalui
foramen monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit
akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke
dalam ruang subarakhnoid melalui sisterna magna.Penutupan sisterna basalis
menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler.

Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu :
a. Produksi likuor yang berlebihan
b. Peningkatan resistensi aliran likuor
c. Peningkatan tekanan sinus venosa
Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial
sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme
terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat
selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :
a. Kompresi sistem serebrovaskuler.
b . Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler
c. Perubahan mekanis dari otak.
d. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis
e. Hilangnya jaringan otak.
f. Pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan
aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan
resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor
secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan
tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial
bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan
untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif
tinggi. Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians
tengkorak.
5. Klasifikasi
Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya,
berdasarkan :
a. Gambaran klinis, dikenal hidrosefalus manifes (overt hydrocephalus) dan
hidrosefalus tersembunyi (occult hydrocephalus).
b. Waktu pembentukan, dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita
c. Proses terbentuknya, dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik.
d. Sirkulasi CSS, dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non mm
komunikans.

Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, hidrosefalus


eksternal menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan
korteks. Hidrosefalus obstruktif menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi
pada aliran likuor. Berdasarkan gejala, dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik
dan asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan dimana faktorfaktor yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif
lagi. Hidrosefalus ex-vacuo adalah sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang
diakibatkan atrofi otak primer, yang biasanya terdapat pada orang tua. (Darsono,
2005)
6. Manifestasi Klinis
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat
ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejalagejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial.
Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua
golongan, yaitu :
a. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus
Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital
dan pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan
pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama
kehidupan. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah
frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan
tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis.
Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. (Peter Paul
Rickham, 2003)
b. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak
Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi
hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan
penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum
gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia
dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala.
Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala
lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal. Makrokrania
biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:

1) Fontanel anterior yang sangat tegang.


2) Sutura kranium tampak atau teraba melebar.
3) Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol.
4) Fenomena matahari tenggelam (sunset phenomenon).
Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar
dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah,
gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut
ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia
respirasi).
7. Diagnosis
Disamping dari pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar maupun
yang

khas,

kepastian

diagnosis

hidrosefalus

dapat

ditegakkan

dengan

menggunakan alat-alat radiologik yang canggih. Pada neonatus, USG cukup


bermanfaat untuk anak yang lebih besar, umumnya diperlukan CT scanning. CT
scan dan MRI dapat memastikan diagnosis hidrosefalus dalam waktu yang relatif
singkat. CT scan merupakan cara yang aman dan dapat diandalkan untuk
membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga menyebabkan pembesaran
kepala abnormal, serta untuk identifikasi tempat obstruksi aliran CSS.
8. Diagnosis Banding
Pembesaran kepala dapat terjadi pada hidrosefalus, makrosefali, tumor otak, abses
otak, granuloma intrakranial, dan hematoma subdural perinatal, hidranensefali.
Hal-hal tersebut dijumpai terutama pada bayi dan anak-anak berumur kurang dari
6 tahun.
9. Terapi
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :
a. Mengurangi produksi CSS.
b. Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi.
c. Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial.
Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :
a. Penanganan Sementara

Terapi

konservatif

medikamentosa

ditujukan

untuk

membatasi

evolusi

hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau
upaya meningkatkan resorbsinya.
b. Penanganan Alternatif (Selain Shunting)
Misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi
radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu
malformasi. Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III
adalah dengan teknik bedah endoskopik. Operasi Pemasangan Pintas
(Shunting)
Operasi pintas bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor dengan
kavitas drainase. Pada anak-anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga
peritoneum. Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun
kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga
subarakhnoid lumbar. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca
operasi, yaitu: pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan
pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Infeksi pada
shunt meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan
bahkan kematian.
10.Prognosis
Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan
neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan
meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau oleh
karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya berhenti (arrested hidrosefalus)
sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal (Allan H. Ropper,
2005). Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah operasi
sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan sekitar 16% mengalami retardasi
mental ringan. Adalah penting sekali anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut
jangka panjang dengan kelompok multidisipliner.
B. Tinjauan Teoritis Anestesi
1. Pengertian
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai


prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah Anestesia
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi
adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran pasien.
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible).Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot.Anestesi
umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan
yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialahjaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurunatau hilang, hilangnya
rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu
mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu
dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Pada anestesi umum dikenal 4 stadium anestesi terdiri dari :
a. Stadium I (stadium analgesia atau disorientasi)
Stadium ini berlangsung mulai induksi anestesi hingga hilangnyakesadaran,
rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya dapatdilakukan
pembedahan kecil. Akhir stadium ini ditandai dengan hilangnyareflek bulu
mata.
b. Stadium II (stadium hipersekresi atau eksitasi atau delirium)
Dimulai dari hilangnya kesadaran dan hilangnya reflek bulu mata
sampaiventilasi kembali teratur.Terdapat depresi ganglia basalis sehingga
refleks-refleks

tidak

terkontrol

atau

reaksi

berlebihan

berbagairangsangan.
c. Stadium III (stadium pembedahan)
Mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi. Dibagi 4 plana :
1)

Plana 1

terhadap

Dari timbulnya pernafasan teratur thoracoabdominal, anak mata terfiksasi


kadang-kadang eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi
meningkat, reflek faring dan muntah negative,tonus otot mulai menurun.
2) Plana 2
Ventilasi teratur. Abdominothoracal, volume tidal menurun,frekuensi nafas
meningkat, anak mata terfiksasi di tengah, pupilmulai midriasis, reflek
cahaya mulai menurun dan reflek komeanegative.
3) Plana 3
Ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena terjadi kelumpuhan saraf
interkostal, lakrimasi tidak ada, pupil melebar,anak mata sentral, reflek
laring dan peritoneum negative, tonusotot makin menurun.
4) Plana 4
Ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot diafragmalumpuh yang
makin nyata pada akhir plana, tonus otot sangatmenurun, pupil midriasis
dan reflek sfingter ani dan kelenjar airmata negative.
d. Stadium IV (stadium paralysis atau kelebihan obat.)
Mulai henti nafas (paralisis diafragma) hingga henti jantung.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi
maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance, dan lain-lain.
2. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dengan bertanya langsung pada pasien atau melalui
keluarga pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis :
a. Identifikasi pasien , misalnya : nama,umur, alamat, pekerjaan, dll.
b. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anesthesia, antara lain :
Penyakit alergi, Diabetes mellitus, Penyakit paru kronik : asma bronchial,
pneumonia, bronchitis, Penyakit jantung dan hipertensi (seperti infark
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), Penyakit susunan saraf
(seperti stroke, kejang, parese, plegi, dll), Penyakit hati. Penyakit ginjal,
Penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang)

c. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin


menimbulkan intereaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll) dengan obat-obat
anestetik. Misalnya, , obat anti hipertensi , obat-obat antidiabetik,
antibiotik golongan aminoglikosida ,obat penyakit jantung (seperti digitalis,
diuretika), monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
Keputusan untuk melanjutkan medikasi selama periode sebelum anestesi
tergantung dari beratnya penyakit dasarnya. Biasanya obat-obatan yang
dipakai pasien tetap diteruskan tetapi mengalami perubahan dosis, diubah
menjadi preparat dengan masa kerja lebih singkat atau dihentikan untuk
sementara waktu. Akan tetapi, secara umum dikatakan bahwa medikasi dapat
dilanjutkan sampai waktu untuk dilakukan pembedahan.
d. Alergi dan reaksi obat. Reaksi alergi kadang-kadang salah diartikan oleh pasien
dan

kurangnya

dokumentasi

sehingga

tidak

didapatkan

keterangan

yang memadai. Beratnya berkisar dari asimptomatik hingga reaksi anfilaktik


yang mengancam kehidupan, akan tetapi seringkali alergi dilaporkan hanya
karena intoleransi obat-obatan, . Pada evaluasi pre operatif dicatat seluruh
reaksi obat dengan penjelasan tentang kemungkinan terjadinya respon alergi
yang serius., termasuk reaksi terhadap plester, sabun iodine dan lateks. Jika
respon alergi terlihat, obat penyebab tidak diberikan lagi tanpa tes
imunologik atau diberi terapi awal dengan antihistamin, atau kortikosteroid.
5. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu , berapa
kali dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplilkasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat keluarga. Riwayat anestesi yang merugikan atau membayakan pada
keluarga yang lain sebaiknya juga dieveluasi. Wanita pada usia produktif
sebaiknya ditanyakan tentang kemungkinan mengandung. Pada kasus yang
meragukan , pemeriksaan kehamilan preoperative merupakan suatu indikasi.
7. Riwayat sosial yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti :
a. Perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat mempersulit induksi

anestesi karena merangasang batuk , sekresi jalan napas yang banyak,


memicu atelektasis dan pneumenia pasca bedah. Rokok sebaiknya
dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO
dalam darah.

b. Pecandu alcohol umumnya resisten terhadap obat- obat anestesi khususnya

golongan barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis hepatic.


c. Meminum obat-obat penenang atau narkotik.

8. Makan minum terakhir (khusus untuk operasi emergensi)


3. Pemeriksaan Fisik
Perhatian khusus dilakukan untuk evaluasi jalan napas, jantung, paru-paru dan
pemeriksaan neurologik . Jika ingin melaksanakan teknik anestesi regional maka
perlu dilakukan pemeriksaan extremitas dan punggung.
Pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri dari :
a. Keadaan umum : gelisah, takut, kesakitan, malnutrisi, obesitas.
b. Tanda-tanda vital
c. Tinggi dan berat badan perlu untuk penentuan dosis obat terapeutik dan
pengeluaran urine yang adekuat selama operasi .
d. Tekanan darah sebaiknya diukur dari kedua lengan dan tungkai (perbedaan
bermakna mungkin memberikan gambaran mengenai penyakit aorta thoracic
atau cabang-cabang besarnya).
e. Denyut nadi pada saat istirahat dicatat ritmenya, perfusinya (berisi) dan jumlah
denyutnya. Denyutan ini mungkin lambat pada pasien dengan pemberian beta
blok dan cepat pada pasien dengan demam, regurgitasi aorta atau sepsis. Pasien
yang cemas dan dehidrasi sering mempunyai denyut nadi yang cepat tetapi
lemah.
f. Respirasi diobservasi mengenai frekwensi pernapasannya , dalamnya dan pola
pernapasannya selama istirahat.
g. Suhu tubuh (Febris/ hipotermi).
h. Visual Analog Scale (VAS). Skala untuk menilai tingkat nyeri
i. Kepala dan leher
1) Mata
2) Hidung

: anemis, ikteric, pupil (ukuran, isokor/anisokor, reflek cahaya)


: polip, septum deviasi, perdarahan
3)Gigi

gigi palsu, gigi goyang, gigi menonjol,

lapisan tambahan pada gigi, kelainan ortodontik lainnya

4)Mulut

Lidah pendek/besar, TMJ (buka mulut

jari), Pergerakan (baik/kurang baik), sikatrik, fraktur, trismus,


dagu kecil
5) Tonsil

: ukuran (T1-T3), hiperemis, perdarahan


6)Leher

: ukuran (panjang/pendek), sikatrik, masa tumor,

pergerakan leher (mobilitas sendi servical) pada fleksi ektensi dan


ritasi, trakea (deviasi), karotik bruit, kelenjar getah bening.
7) Dalam prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T yaitu : Teet, Tongue,
Temporo mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD, Tumor,
Trakea.
j. Thoraks
1) Prekordium. Auskultasi jantung mungkin ditemukan murmurs (bising
katup), irama gallop atau perikardial rub.
2) Paru-paru.
a) Inspeksi: Bentuk dada (Barrel chest, pigeon chest, pectus excavatum,

kifosis, skoliosis) Frekwensi (bradipnue/takipnue) Sifat pernafasan


(torakal, torako abdominal/ abdominal torako), irama pernafasan
(reguler/ireguler, cheyne stokes, biot), Sputum (purulen, pink frothy),
Kelainan lain (stridor, hoarseness/serak, sindroma pancoas)
b) Palpasi : Premitus (normal, mengeras, melemah)
c) Auskulatasi : Bunyi nafas pokok ( vesikuler, bronchial, bronkovesikuler,

amporik), bunyi nafas tambahan (ronchi kering/ wheezing, ronchi


basah/rales, bunyi gesekan pleura, hippocrates succussion)
d) Perkusi : sonor, hipersonor, pekak, redup

k. Abdomen.
Peristaltik (kesan normal/meningkat/menurun), Hati dan limpa (teraba/tidak,
batas, ukuran, permukaan), distensi, massa atau asites (dapat menjadi
predisposisi untuk regurgitasi).
l. Urogenitalia.
Kateter (terpasang/tidak), urin [volume : cukup (0,5-1 cc/jam), anuria (< 20
cc/24 jam), oliguria (25 cc/jam atau 400 cc/24jam), Poliuria (> 2500 cc/24

jam)], kwalitas (BJ, sedimen), tanda tanda sumbatan saluran kemih (seperti
kolik renal).
m. Muskulo

Skletal

Extremitas.

Edema

tungkai,

fraktur,

gangguan

neurologik /kelemahan otot (parese, paralisis, neuropati perifer, distropi


otot), perfusi ke distal (perabaan hangat/dingin, cafilay refil time, keringat) ,
Clubbing fingger, sianosis, anemia, dan deformitas, infeksi kutaneus (terutama
rencana canulasi vaskuler atau blok saraf regional)
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ada 2 yaitu pemeriksaan rutin dan khusus
a.

Pemeriksaan laboratorium rutin :

1) Darah : Hb, lekosit, hitung jenis lekosit, golongan darah, masa pembekuan,
masa perdarahan.
2) Foto toraks : terutama untuk bedah mayor, pasien diatas 60 thn, atau sesuai
klinis.
3) EKG : terutama untuk pasien berumur diatas 40 tahun atau sesuai klinis.
b.

Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi, misalnya :

1) EKG pada anak.


2) Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru.
3) Fungsi hati pada pasien ikterus.
4) Fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
5) Analisa gas darah, elektrolit pada pasien ileus obstruksi atau bedah mayor.

Untuk pemeriksaan khusus yang lebih mendalam, misalnya ekokardiografi atau


kateterisasi jantung diperlukan konsulatasi dengan ahli-ahli bidang lain sehingga
persiapan dan penilaian pasien dapat dilakukan lebih baik.

5. Perencanaan anestesi.
Rencana anestesi diperlukan untuk menyampaikan strategi penanganan anestesi
secara umum. Secara garis besar komponen dari rencana anestesi adalah :
a. Ringkasan tentang anamnesis pasien, dan dan hasil-hasil pemeriksaan fisik
sehubungan dengan penatalaksanaan anastesi, buat dalam daftar masalah, satukan

bersamaan dengan beberapa daftar masalah yang digunakan oleh dokter yang
merawat.
b. Perencanaan teknik anestesi yang akan digunakan termasuk tehnik-tehnik
khusus (seperti intubasi fiberoptik, monitoring invasif ).
c. Perencanaan penanganan nyeri post operasi bila perlu.
d. Tindakan post operatif khusus jika terdapat indikasi (misalnya perawatan di ICU).
e. Jika ada indikasi buat permintaan evaluasi medik lebih lanjut.
f. Pernyataan tentang resiko-resiko yang ada , informed consent, dan pernyataan
bahwa semua pertanyaan telah dijawab.
g. Klasifikasi status fisik dan penilaian singkat.

6. Menentukan Prognosis
Pada kesimpulan evaluasi pre anestesi setiap pasien ditentukan kalsifikasi status fisik
menurut American Society of Anestesiologist (ASA). Hal ini merupakan ukuran
umum keadaan pasien. Klasifikasi status fisik menurut ASA adalah sebagai berikut :
a. ASA 1 : Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit

yang akan dioperasi.


b. ASA 2 : Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang

selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol
atau hipertensi ringan
c. ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan

dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang tak
terkontrol, asma bronkial, hipertensi tak terkontrol
d. ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain

penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial yang berat, koma
diabetikum
e. ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi

mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih besar.
Misalnya operasi pada pasien koma berat
f.

ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya
akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang
membutuhkan.

Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency) atau D (darurat),
mis: operasi apendiks diberi kode ASA 1 E

BAB 3
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama

: An. Keysha Dewi Ichsanti

Umur

: 3 bulan

Jenis kelamin

: Perempuan

BB

: 8 kg

Agama

: Islam

Alamat

: Jln Platon VI No.16 Ngawi Jawa Timur

No. RM

: 01300469

Tanggal masuk

: 20 Mei 2015

Tanggal Operasi

: 25 Mei 2015

B. Riwayat Kesehatan
Untuk memperoleh data tentang riwayat kesehatan pasien dilakukan melalui allo
anamnesis. Anamnesis dilakukan pada tanggal 24 Mei 2015 pukul 19.00 dimana
diperoleh data sebagai berikut
1. Keluhan utama : Kepala anak membesar
2. Keluhan tambahan : batuk
3. Riwayat penyakit sekarang : pasien datang dibawa oleh orang tuanya ke poliklinik
bedah Rumah Sakit Moewardi dengan keluhan kepala membesar,
4. Riwayat penyakit dahulu
Keluarga pasien mengatakan sejak pasien lahir, baru sekarang ini menderita
penyakit hidrocefalus, sebelumnya hanya menderita penyakit batuk, demam,
5. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien mengatakan pada keluarganya tidak ada yang mengalami


penyakit seperti pasien.

C. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis ; GCS E4 V5 M6
Vital sign :
Hr 120x/menit
RR 40 x/menit
Suhu 36, 5 derajat celcius
b.

Pemeriksaan kepala
Mata : Ca -/-, Si -/Telinga : NCH ( - ), discharge ( - )
Mulut : sianosis ( - )

c.

Pemeriksaan leher
Tiroid : T.A.K

d.

Pemeriksaan dada
Paru : SD.vesikuler , wheezing ( - ) , rhonki ( - )
Jantung : S1>S2.reguler , murmur ( - ) , gallop ( - )
Dinding dada : simetris , destruksi ( - )

e.

Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : intak
Hepar/lien : T.T.B
Usus : B.U ( + ), Normal

f. Pemeriksaan punggung
Columna vertebra : T.A.K
Ginjal : T.A.K

D . Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium tanggal : 20 Mei 2015
Darah lengkap
Hb : 9,6 gr/dl
Lekosit : 9,1 /ml
Hematokrit : 29 %
Eritrosit : 3,40 juta/ mm
Trombosit : 360.000/ mm
Elektrolit
Natrium : 136 mmol/l
Kalium : 45,1 mmol/l
Klorida : 106 mmol/l
Ureum darah : 13 mg/dl
Kreatinin darah : 0,2 mg/dl
HBsAg Nonreactive
E. Kesimpulan Anestesi
Bayi perempuan usia 3 bulan dengan hidrosefalus pro vp shunt dengan status fisik
ASA 2
F. Laporan Anestesi Pasien
1. Diagnosis pra-bedah

: Hidrosefalus

2. Diagnosis post-bedah : Hidrosefalus


3. Jenis pembedahan

: VP Shunt

4. Jenis anestesi

: anestesi umum (General Anestesi)

5. Premedikasi anestesi

: Sulfat Atropin 0,01 mg

Midazolam 0,6 mg
6. Induksi

: fentanyl 5 g
Sevofluran 2%

7. Muscle Relaksan

: Atracurium 3 mg

8. Pemeliharaan anestesi : Sevofluran + O2


9. Analgetik

: Novalgin 100 mg

10.Teknik anestesi

: Semi open

Induksi intravena dengan Fentanil 5 g dan induksi inhalasi dengan Sevofluran 2vol
%
Intubasi dengan ET no.3 (tanpa cuff) dengan laringoskop blade lengkung no.1 1/2
didahului oleh pelumpuh otot Atracurium 3 mg
- Maintenance dengan Sevofluran 2 vol % + O2
- Respirasi : Kendali + T-Jackson Rees
- Posisi : Supine
- Tidak terpasang Kateter
-

Di pasang warmer penghangat agar tidak terjadi hipotermi


- Infus : D5 Ns
- Status fisik : ASA II
- Induksi mulai : 07.15 WIB
- Operasi mulai : 07.30 WIB
- Operasi selesai : 08.30 WIB
- Berat badan pasien : 8 Kg
- Durasi operasi : 1 jam
- Pasien puasa : 4 jam
Monitoring Tanda-Tanda Vital
Jam
07.15
07.20
07.25
07.30
07.35
07.40
07.45
07.50

TD
95/70
100/65
100/70
98/60
94/65
90/60
98/60
98/65

HR
160x/menit
158 x/menit
154 x/menit
150 x/menit
145 x/menit
140 x/menit
148 x/menit
146 x/menit

Saturasi
99 %
99 %
99 %
99 %
99 %
99 %
99 %
99 %

Keterangan
Induksi
Intubasi oral
Mulai operasi

07.55
08.00
08.05
08.10
08.15
08.20
08.25
08.30

100/55
100/65
95/68
95/70
105/70
100/60
97/60
98/65

150 x/menit
152 x/menit
157 x/menit
147 x/menit
155 x/menit
140 x/menit
145 x/menit
143 x/menit

99 %
99 %
99 %
99 %
99 %
99 %
99 %
99 %

Selesai operasi

BALANCE CAIRAN
Nama

: An. K

Kriteria Operasi

Sedang

Puasa

:2x6x8

: 96 (terpenuhi)

Umur

: 3 bulan

Jenis Operasi

Elektif

Stress

:4x8

: 32

Berat Badan

: 8 Kg

Maintenance

:2x8

: 16

EBV

: 80 x 8 = 640

Kebutuhan Jam 1

: 48

Kebutuhan jam 2

: 48

Kebutuhan jam 3

: 48

ABL

: (29-30) x 1000 x 3 /100 = 300

Jam

Input
Kristaloid
I

07.30-08.30

D5 ns
200cc

II

Output
Koloid

Perdarahan

II

Darah

20 cc

Urin

Balance
Maintenance

48 cc

+92

G. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN


1. Pengakhiran anastesi
a. Jam 08.10 operasi sudah tahapan menjahid kulit luar. Pernafasan mulai
spontan tetapi belum adekuat nadi 147x/menit saturasi O2 99%, jam 08.15
agent sevofluran di matikan jam 08.30 operasi selesai pernafasan pasien
spontan adekuat saturasi 99%
b. Tensi, elektroda di lepas, konektor penghubung ETT dilepas, pasien kemudian
dipindahkan ke ruang RR setelah ekstubasi di dalam ok dengan ekstubasi
sadar.
c. Bersihkan lendir atau secret pasien dalam ETT trakea dan mulut pasien secara
hati-hati dan sampai benar-benar bersih dan tidak ada sumbatan jalan nafas.
2. Perawatan Di Ruang Pulih Sadar
a. Pasien tiba di ruang pulih sadar
b. Berikan oksigen nasal kanul 2 liter/menit
c. Awasi tanda-tanda vital Saturasi 99 % HR 138x/menit

H. Asuhan Keperawatan
1. Pre Operasi
a. Kecemasan Orang tua sehubungan dengan keadaan anak yang akan mengalami
operasi
Tujuan: Kecemasan Orang tua berkurang atau dapat di atasi
Implementasi :
1) Mendorong orang tua untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam
merawat anaknya
2) Menjelaskan pada orang tua tentang masalah anak terutama ketakutanya
menghadapi operasi otak dan ketakutan terhadap kerusakan otak
3) Memberikan informasi yang cukup tentang prosedur operasi dan berikan
jawaban dengan benar dan sejujurnya
Evaluasi :
S: Orang tua pasien mengatakan cemasnya sudah berkurang

O : Orang tua pasien terlihat tenang


A: masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan Intervensi
b. Potensial terhadap perubahan integritas kulit kepala sehubungan dengan
ketidakmampuan bayi dalam menggerakkan kepala akibat peningkatan ukuran
dan berat kepala
Tujuan : Tidak terjadi gangguan interitas kulit
Implementasi :
1) Mengkaji kulit kepala setiap 2 jam dan mobitor terhadap area yang tertekan
2) Memberikan nutrisi sesuai kebutuhan
3) Membaringkan kepala pada bantal karet busa
Evaluasi :
S:O: pasien masih terlihat gelisah
A : masalah belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi
2. Post operasi
a. Resiko Tinggi terjadinya infeksi sehubungan dengan infiltrasi bakteri melalui
shunt.
Tujuan: tidak terjadi infeksi/ pasien bebas infeksi
Implementasi :
1) Memonitor terhadap tanda-tanda infeksi
2) Mempertahankan tekhnik kesterilan dalam prosedur perawatan
3) Mencegah terjadinya gangguan suhu tubuh
4) Mempertahankan prinsip aseptik pada drainase dan ekspirasi shunt
Evaluasi :
S:O: tidak terjadi tanda-tanda inflamasi
A: masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan Intervensi

BAB 4
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA dan diputuskan
kondisi pasien termasuk ASA II, serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan
dilakukan

yaitu

general

anestesi

dengan

intubasi.

Setelah dilakukan pemeriksaan tentang keadaan umum pasien diputuskan untuk


dilakukan anestesi umum dengan intubasi, dengan alasan tindakan operasi tersebut
dilakukan di regio capitis, termasuk operasi mayor, sehingga dengan teknik tersebut
diharapkan

jalan

napas

dapat

dikendalikan

dengan

baik.

Pertama dilaksanakan premedikasi anestesi dengan bolus Sulfat Atropin 0,1 mg yang
berfungsi sebagai vagolitik dan anti sekresi. Sulfat Atropin bekerja sebagai anti
sekresi pada reseptor post neuro-muscular junction dengan cara melakukan
hambatan di reseptor muskarinik secara spesifik sehingga transmisi asetilkolin pada
reseptor tersebut dapat digagalkan. Sulfat Atropin bekerja sebagai vagolitik dengan
cara mengganggu sistem kolinergik pada jantung, tujuannya adalah untuk
meningkatkan

frekuensi

denyut

ventrikel

agar

curah

jantung

meningkat.

g/kgBB intravena untuk lama kerja 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk
anestesi pembedahan dan bukan untuk pasca bedah. Sevofluran merupakan
halogenisasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Sevofluran pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intracranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga sevofluran banyak digunakan untuk bedah otak.g bolus
intravena digunakan sebagai analgesi opioid. Setelah suntikan intravena, ambilan
dan distribusi Fentanyl secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi sebagian
besar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Dosis analgesi 1-3 g/kgbb

Selanjutnya induksi dilakukan dengan menggunakan fentanil 5 g secara intravena


serta sevofluran 2% secara inhalasi dan Fentanil 5 g.
Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu yakni pada
kasus ini adalah atracurium 5 mg. Pelumpuh otot non depolarisasi. Setelah pelumpuh
otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop blade lengkung no.1
(sesuai anatomis leher bayi usia 3 bulan) dengan metode chin-lift dan jaw-trust yang
berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan trakea. Setelah jalan
nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa endotrakeal no.3 tanpa cuff
yang mempunyai diameter 3,0-4,0 mm.Digunakan ETT tanpa cuff karena
penampang trakea bayi dan anak kecil berbeda dengan dewasa, penampang
melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir bulat. Apabila
digunakan cuff pada bayi dapat mengakibatkan trauma selaput lendir trakea yang
nantinya dapat menimbulkan edema disekitarnya, dan apabila terjadi edema akan
mengakibatkan

spasme

laring

dan

dilanjutkan

dengan

apneu.

Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan atau
yang biasa dikenal dengan maintenance menggunakan O2 + Sevofluran Vol %
ditambah dengan pemberian cairan parenteral yakni ringer laktat untuk mensubstitusi
cairan, baik darah maupun cairan tubuh lainnya, yang keluar selama pembedahan.
Selesai pembedahan untuk meringankan rasa nyeri pasca pembedahan diberikan lagi
metamizole 100 mg secara drif pada infus RL. Metamizole merupakan analgetik
non-opioid. Golongan obat non-opioid ini digunakan sebgai tambahan penggunaan
opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi
pernafasan. Golongan analgetik non-opioid selain bersifat anti inflamasi juga bersifat
analgesik, antipiretik, dan anti pembekuan darah. Setelah selesai anestesia dan
keadaan umum baik, kemudian setelah dilakukan dilakukan pengisapan lendir dan
lain-lain kemudian dilakukan ekstubasi sadar di ruang OK. Lalu di ruang pulih sadar
pasien diberikan injeksi IV ondansentron 2mg. Dan saat kondisi pasien sudah stabil
dan sadar penderita dipindahkan ke ruang pulih sebelum di kirim ke ruang PICU.

BAB IV
KESIMPULAN

Anestesia pada bayi dan anak kecil berbeda dengan anestesia pada orang dewasa,
karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada anestesia
untuk orang yang dewasa anestesia anak kecil dan bayi khususnya harus diketahui
betul sebelum dapat melahirkan anestesia karena itu anestesia pediatri seharusnya
ditangani oleh dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang \sudah berpengalaman

DAFTAR PUSTAKA

Steward DJ. Outpatient pediatric anesthesia. Anesthesiology. 1975; 43 : 268


276.
Loder RE. The anaesthetist and the daysurgery unit. Anaesth. 1982; 37 1037
1039.
Epstein BS. Recovery from anesthesia (editorial views) Anesthesiology. 1975;
43 : 285 288.
Gregory GA. Out patient anesthesia didalam ANESTHESIA. editor Miller RD.
New York Churcill Livingstone, 1981, hal.1323 1333.
fluid therapy. Br J Anaesth. 1984; 56 : 375 379.
Steward DJ. A Simplified scoring system for the post operative recovery room.
Canad Anaesth Soc J. 1975; 22 : 111 113.
Sylvia A, Price. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
EGC. Jakarta. 2006.
Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Anestesiologi.
FKUI. Jakarta. 1989.
Michael. B, Dobson. Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta. 1994.
Departemen Kesehatan RI Dirjen POM. Iinformatorium Obat Nasional
Indonesia 2000. Sagung Seto. Jakarta. 2001.
Arif Mansoer,dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi Ketiga. Media
Aesculapius FKUI. Jakarta. 2000.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_AnestisiaAnakTanpaMondok.pdf/12_
AnestisiaAnakTanpaMondok.html
http://medlinux.blogspot.com/2007/10/terapi-cairan-pasca-pembedahan.html

Anda mungkin juga menyukai