Buku Saku Bedah
Buku Saku Bedah
TETANUS
Lalu Aditya Haris Pratama
1. Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Clostridium Tetani, ditandai
dengan gangguan neuromuskuler berupa trismus, spastisitas dan kejang otot. 1
2. Etiologi
Infeksi disebabkan oleh Clostridium Tetani yang bersifat anerob. Kuman ini masuk ke dalam
tubuh melalui porte dentree (luka, melalui umbilikus yang dipotong tanpa memperhatikan
kaidah asepsis antisepsis, otitis media dan gigi berlubang).
Spora Clostridium Tetani terdapat di tanah atau debu, dan tidak jarang pada feses manusia,
kuda, anjing dan kucing.1
3. Patogenesis
Clostridium Tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka bentuk spora menjadi bentuk
vegetatif mengeluarkan eksotoksin berupa tetanolisin (bersifat menghancurkan sel darah
merah dan menambah optimal kondisi lokal untuk perkembangan bakteri) dan tetanospasmin
(bersifat toksik terhadap sel saraf) toksin diabsorpsi end organ saraf motorik diteruskan
sampai ke ganglion dan SSP gejala klinis tetanus.1
4. Klinis
Secara klinis, tetanus dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
a. Tetanus Umum : bentuk paling sering dari tetanus, dengan gejala klinis :
- Trismus (kekakuan m. masseter)
- Opistotonus, yang disebabkan kaku kuduk, kaku leher, dan kaku punggung
- Perut keras seperti papan
- Risus sardonikus, disebabkan kekkakuan otot-otot wajah
- Disfagia
- Kejang hipertonus pada ekstremitas superior dengan fleksi siku
- Ekstensi ekstremitas inferior
- Konstipasi, nyeri kepala, berdebar, berkeringat juga sering dijumpai
- Demam
- Bertambahnya frekuensi nafas
- Sensorium sadar1
b. Tetanus Lokal : ditandai rasa nyeri dan spasme otot di dekat luka, dapat terjadi beberapa
minggu dan menghilang tanpa gejala sisa.1,2
c. Tetanus Sefalik : bentuk yang jarang dari tetanus lokal, terjadi setelah trauma kepala atau
infeksi telinga. Fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala yang terkena. 1
d. Tetanus Neonatorum : terjadi pada neonatus dengan penyebab tersering adalah
penggunaan alat-alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat pada ibu yang
belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari.
Gejala klinis :
- Gelisah
- Rewel
- Sulit minum asi
- Mulut mencucu
- Spasme berat2
5. Penatalaksaan Tetanus Umum:1,3
- Perawatan Luka
- Pemberian obat-obatan:
- Terapi Anti tetanus :
Human tetanus immune globulin (TIG) 3.000-6.000 IU i.m dosis tunggal, atau
Anti tetanus serum (ATS) 20.000 IU i.m selama 5 hari berturut-turut
- Antikonvulsan :
Diazepam 0,5-1 mg/kgBB/4 jam, atau
1
TETANUS
Tolok Ukur
Masa Inkubasi
Kurang 48 Jam
2-5 Hari
6-10 Hari
11-14 Hari
>14 Hari
Lokasi Infeksi
Skor Phillips
Internal/Umbilikal
Leher, Kepala, Dinding Tubuh
Ekstremitas Proksimal
Ekstremitas Distal
Tidak Diketahui
Tetanus Sedang (Skor Phillips 9Tetanus Ringan (Skor Phillips <9) Tidak Ada
16)
Mungkin Ada/Ibu Mendapat
Imunisasi
Nilai
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
Tetanus Berat (Skor
10 Phillips >16)
8
4
2
0
10
8
4
2
0
- Rawat Luka
Lampiran 2. Kriteria Ablett2
Obat-Obatan
Kriteria
Tanda-Pemberian
Klinis
Trismus ringan (lebar antar gigi 2 cm)
Spastisitas generalisata
Ringan
Tidak dijumpai kejang
Tidak ada gangguan respirasi
Tanpa disfagia
Klinis Memburuk (Kriteria Ablett)
Klinis Membaik (Kriteria Ablett)
Trismus sedang (lebar antar gigi < 1 cm)
Spastisitas generalisata makin jelas
Sedang
Gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan >30 kali/menit
Disfagia ringan
Trismus berat (kedua baris gigi rapat)
Spastisitas generalisata
Terapi Lanjut
Perawatan Intensif di ICU
Dengan otot sangat spastis
Timbul kejang spontan
Berat
Frekuensi pernafasan >40 kali/menit
Serangan apnea (apneic spell karena spasme laring)
Disfagia berat
Takikardia (>120 kali/menit)
Sangat Berat
Derajat berat dengan gangguan otonomik berat
Hipertensi berat (TD 220/120 mmhg) dengan takikardi (>120 kali/menit), terjadi
berselingan dengan
Hipotensi (TD 70/30 mmhg) dengan bradikardi (<60 kali/menit)
Salah satu dari hipertensi berat dengan takikardia atau hipotensi dengan
4
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R. De Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
2. Satari. H. I. 2008. Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak. Available from
http://buk.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=275&Itemid=58. (Accessed: April 28, 2013)
3. Fauci, B. 2008. Harrisons Principlesof Internal Medicine : 17th Edition. United States :
McGraw-Hill
LUKA BAKAR
Honesti Trijuniarni
GIGITAN ULAR
Agus Eka Swanjaya
2.1. Definisi
Luka gigitan ular adalah cidera yang disebabkan oleh gigi ular. Hewan mungkin menggigit
untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus untuk mencari makanan (4). Luka gigitan
ini dapat menyebabkan(4) :
a. Kerusakan jaringan secara umum,
b. perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
c. infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
d. mengandung racun seperti pada gigitan ular
e. awal dari peradangan
2.2. Perbedaan Ular Berbisa dan Tidak Berbisa(5)
Gambar . Bekas
gigitanan ular. (A) Ular
tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa
dengan bekas taring. Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional dan POM, 2012
Tabel. Perbedaan Fisik Ular Berbisa dan Tidak Berbisa (5)
Tidak berbisa
Berbisa
Bentuk Kepala
Bulat
Elips, segitiga
Gigi Taring
Gigi Kecil
Bekas Gigitan
Lengkung seperti U
Warna
Warna-warni
Gelap
Sumber : Dirangkum dari Sentra Informasi Keracunan Nasional dan POM, 2012
2.3. Bisa Ular(5)
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang
termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan
suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang
mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks,
terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik(5).
Komposisi Bisa Ular(2,6) :
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus
juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang
dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi
kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular
tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama
protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
8
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat pula
menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung beberapa
prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade pembekuan darah.
Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara
langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan,
tingkat faktor pembekuan darah menjadi sangat rendah (koagulopati konsumtif) sehingga
darah tidak dapat membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi pembuluh
darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase A)
racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas membran sel dan
menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan membran sel
dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik ennzim ini dapat menghancurkan membran sel,
endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) merupakan
phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan transmiter
asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk
mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang mirip seperti
paralisis kuraonium.
2.4. Sifat Bisa Ular(4)
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel
darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada
mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Bisa ular dapat merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak
kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf
pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.
2.5. Patofisiologi Gigitan Ular Berbisa(7)
Bisa ular biasanya berupa cairan mengandung proteinefek lokal dari bisa ular dan
kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ.
Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi.
Efek lainnya, berupa edema lokal, bila masuk pembuluh darahmeningkatkan kebocoran kapiler dan
penumpukan cairan interstitial di paru-paruedema parukesulitan bernafas. Kebocoran kapiler
juga menyebabkan hipotensi. Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan
pergerakan diafragmaparalisis otot pernafasan.
Efek lainnya berupa kematian sel meningkatkan konsentrasi asam laktatasidosis. Gagal
jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi.
10
11
12
Sistemik
Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut, lemah,
mengantuk, lemas.
Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis),
koagulopati, atau trombositopenia.
Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal,
paralisis, dan lainnya.
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia
(klinis), kelainan EKG.
Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria
(klinis), peningkatan kreatinin/urea urin (hasil
laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin
coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan
adanya hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis
generalisata (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis, hasil
laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya
terhadap tanda venerasi.
Sumber : Dirangkum dari Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East
Asia Region,2010.
13
14
Rawat intensif jika dalam pengulangan dosis SABU sudah maksimal namun masih terdapat tanda di
bawah ini :
1. Koagulopati atau perdarahan aktif tidak teratasi
2. Perburukan gejala kardiovaskuler dan neurologis
Observasi :
1. Observasi seperti pada tabel kriteria observasi
2. Cek Laboratorium : Darah Lengkap, Fungsi Pembekuan, Golongan darah, Kimia darah
( elektrolit, BUN, Kreatinin ), LFT, RFT, AGD.
3. Pemeriksaan Radiologis : Ro.Thorax
4. Tekanan Kompartemen
Sumber : Dirangkum dari Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East
Asia Region, 2010.
Pada kasus gigitan ular berbisa, selain pemberian SABU juga diberikan terapi konservatif.
Terapi konservatif juga diberikan bila di pelayanan kesehatan tidak tersedia SABU (2).
Tabel. Perawatan Konservatif pada Pasien dengan Gigitan Ular Berbisa (2)
PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan Ochwar
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan Ochwartz (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan OchwartzO ( Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin, Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian ATS
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
Sumber : Dirangkum dari Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East
Asia Region, 2010
3 menit
90%
15
15-30 menit
50%
1 jam
1%
Sumber : Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia Region,2010.
Tindakan yang dilakukan terhadap reaksi sampingan pemberian SABU (2) :
a. Reaksi anafilaktik (anaphyilactic shock)
Penderita harus dibaringkan dengan kepala lebih rendah, jangan diberi selimut atau botol
berisi air panas. Suntikkan 0,3-0,5 ml adrenalin 1:1000 intramuskuler.
Periksa tekanan darah secara teratur. Bila tekanan darah tetap rendah, beri lagi 0,3-0,5
adrenalin 1:100 intravena, bila perlu sediaan kortikosteroid intramuskuler.
Bila keadaan belum teratasi, segera kirim ke rumah sakit atau alih rawat intensif.
b. Penyakit serum (serum sickness)
Beri antihistamin selama beberapa hari dan penderita sebaiknya istirahat. Bila sangat
mengganggu dapat diberikan sediaan kortikosteroid.
c. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat menghilang dalam 24
jam.
d. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang dengan sendirinya.
16
KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual a
17
TIDAK
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
RAWAT
RAWAT
YA
BERIKAN ANTIBISA
LIHAT RESPON
TIDAK
YA
DOSIS INISIASI ANTIBISA MAX. 80-100 CC
OBSERVASI TANDA ENVENOMASI
TANDA ENVENOMASI SISTEMIKULANGI
MENETAP
TIDAK
YA
TANDA ENVENOMASI SISTEMIK MENETAP ATAU KONDISI
PASIEN
RAWAT
MEMBURUK
ICU
18
Tanda sistemik
+/-
<3cm/12 jam
+/-
<3cm/12 jam
II
+++
>12cm25cm/12jam
+. Neurotoksik, mual,
pusing, syok
III
++
+++
>25cm/12jam
++,syok,
petekie,ekimosis
++
+++
Pada satu
ekstremitas
secara
menyeluruh
IV
+
*Menurut <chwartz, Sumber : Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
PEMBERIAN SABU (SERUM ANTI BISA ULAR)
Derajat
SABU (serum antibisa ular)
0-I
Tidak perlu
II
5-20 cc
III-IV
40-100 cc
*Menurut <chwartz, Sumber : Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
19
DAFTAR PUSTAKA.
1) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept Bites Of
Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5August 1, 2002
2) WHO. 2010. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia
Region.
3) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, et al.
2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based on Regional
Estimates
of
Envenoming
and
Deaths.
PLoS
Med
5(11):
e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218
4) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from :
www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
5) Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan Akibat
Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id
6) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
7) Sudoyo et al. eds. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta.
20