Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM BIOLOGI ORAL II

EFEKTIVITAS ANTIBIOTIKA
PADA KUMAN RONGGA MULUT

KELOMPOK C1

Antony Wijaya

021311133091

Tiara Eva D.

021311133097

Saad Kumayangan

021311133092

Wienny Setyadewi

021311133098

Dwi Maulidiniyah

021311133093

B. Vindi Januarisca 021311133099

Aisyah Marwah

021311133094

Dewi Tamara S.

021311133100

Johanna Chandra

021311133101

Amelia Putri Rizkita 021311133095


Nur Latifah Zuniati

021311133096

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Antibiotika sudah banyak digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan
berbagai penyakit terutama penyakit infeksi. Akan tetapi akibat pemakaian yang
tidak rasional dan pemakaian yang tidak tuntas dari antimikroba, malah dapat
membahayakan bagi pasien. Bakteri penyebab penyakit ini dapat menjadi
resistensi terhadap pengobatan dengan antimikroba. Antibiotik digunakan untuk
mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi,
misalnya pada pembedahan besar.
Uji efektivitas antibiotika secara mikrobiologik adalah suatu teknik untuk
menetapkan suatu potensi antibiotika dengan mengukur efek senyawa tersebut
terhadap pertumbuhan mikroorganisme uji yang peka dan sesuai.
Antibiotik adalah bahan yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau sintetis
yang dalam jumlah kecil mampu menekan menghambat atau membunuh
mikroorganisme lainnya. Antibiotik memiliki spektrum aktivitas antibiosis yang
beragam. (Dwidjoseputro, 1994) Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai
substansi yang bahkan di dalam konsentrasi rendah dapat menghambat
pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi. (Pelczar dan Chan, 1986).
Berdasarkan sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dibagi menjadi dua:
1. Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif
terhadap bakteri.
2. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja
menghambat pertumbuhan atau multiplikasi bakteri
Antibiotik bekerja dengan cara: 1. Menghambat sintesis dinding sel mikroba, 2.
Mengganggu membrane sel mikroba, 3. Menghambat sintesi protein dan asam
nukleat mikroba, 4. Menganggu metabolism sel. (Gupte, 1990)
Antibiotika tersebar di dalam alam dan memegang peranan penting dalam
mengatur populasi mikroba dalam tanah, air, limbah, dan kompos. Antibiotika ini
memiliki susunan kimia dan cara kerja yang berbeda-beda sehingga masingmasing antibiotika memiliki kuman standar tertentu. Dari sekian banyak

antibiotika yang telah berhasil ditemukan, hanya beberapa saja yang cukup tidak
toksik untuk dapat dipakai dalam pengobatan.
1.2 Tujuan
1. Mengukur zona hambatan pada kultur kuman rongga mulut.
2. Membandingkan berbagai macam antibiotika pada kuman rongga mulut.
1.3 Manfaat
1. Dapat mengetahui zona hambatan pada kultur kuman rongga mulut.
2. Dapat membandingkan berbagai macam antibiotika pada kuman rongga mulut.

2. ALAT DAN BAHAN


a. Kultur kuman rongga mulut
b. Antibiotika :
i. Amoksisilin
ii. Amoksisilin + Asam Klavulanat
iii. Eritromisin
iv. Klindamisin
c. Blood Agar
d. Jangka sorong
e. Cawan petri
f. Burner
g. Mikropipet
h. Tabung reaksi

3. METODE KERJA
a. Kuman yang diambil dari penderita di klinik FKG Unair dikultur dalam blood
agar dan diinkubasi selama 24 jam.
b. Media kuman pada cawan petri dibagi menjadi 5 zona, yaitu 4 zona untuk
kelompok antibiotika dan 1 zona untuk kelompok kontrol.
c. Masing-masing zona diberi papperdish yang telah ditetesi antibiotika.
d. Setelah diinkubasi selama
menggunakan jangka sorong.

24 jam, zona hambatan yang ada diukur dengan

4. HASIL PRAKTIKUM

Keterangan Gambar
A.
B.

Amoksisilin + Asam Klavulanat : 31,5 mm


Amoksisilin : 28,72 mm

C. Eritromisin : 24,6 mm
D. Klindamisin : 37,2 mm
5. TINJAUAN PUSTAKA
5.1 Amoksisilin
Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik
bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat menghentikan pertumbuhan
atau membunuh jasad renik lainnya (Subronto dan Tjahajati, 2001). Antibiotika

yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotika alami,


antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika
yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan
menambahkan senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan
Tjahajati, 2011).
Gambar. Struktur kimia amoksisilin (Subronto dan Tjahajati, 2011).

Rumus struktur dari amoksisilin adalah C16H19N3O5S.3H2O dengan berat


molekul 419,45. Pemeriannya berupa serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau,
berasa pahit. Senyawa ini sukar larut dalam air dan metanol (1 gram dalam 370 ml
air atau dalam 2000 ml alkohol), tidak larut dalam benzen, dalam karbon
tetraklorida dan dalam kloroform (Ditjen POM, 1995; Wattimena, 1991).
Struktur kimia amoksisilin terdiri atas cincin -laktam, cincin tiazolidin
rantai samping amida dan gugus karboksil. Amoksisilin merupakan antibiotika
berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif dengan cara kerja
mengganggu perkembangan dinding sel mikroba dengan jalan mencegah kerja
enzim transpeptidase sehingga menjadi inaktif (Subronto dan Tjahjati, 2001).
Amoksisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma ke dalam jaringan tubuh
hewan dan dieksresikan melalui ginjal, kelenjar susu, hati dan usus (Subronto dan
Tjahjati, 2001). Antibiotika derivat penisilin banyak digunakan pada peternakan
domba, babi dan unggas untuk mengobati penyakit infeksi dan sebagai tambahan
bahan makanan atau ditambahkan kedalam minuman untuk mencegah serangan
dari beberapa penyakit (Doyle, 2006). Residu penisilin yang terdapat di dalam
daging dan jaringan lainya biasanya dapat diabaikan keberadaannya setelah 5 hari
pasca pemberian terakhir. Penisilin biasanya cepat hilang dalam darah melalui
ginjal dan keluar melalui urin (Subronto dan Tjahjati, 2001). Residu penisilin
yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yaitu reaksi alergi,
gatal, urtikaria dan demam (Subronto dan Tjahjati, 2001).
Amoksisilin memiliki beberapa efek samping. Kebanyakan efek samping
cukup ringan, namun meningkat menurut dosis dan lama penggunaan.
Kebanyakan reaksi yang merugikan disebabkan oleh fakta bahwa amoksisilin

tidak hanya membunuh bakteri patogen tetapi juga bakteri baik yang
merupakan flora alami usus. Efek samping potensialnya meliputi mual dan
muntah, sakit perut, diare, gangguan pencernaan (dispepsia), dubur gatal dan
reaksi alergi.
5.2 Amoksisilin dan Asam Klavulanat
Amoksisilin merupakan antibiotika dari penisilin semisintetik yang stabil
dalam suasana asam, kerja bakterisida, atau pembunuh bakterinya seperti
ampisilin. Amoksisilin diabsorbsi dengan cepat dan baik di saluran pencernaan,
tidak tergantung adanya makanan dalam lambung dan setelah 1 jam
konsentrasinya dalam darah sangat tinggi sehinggaefektivitasnya tinggi.
Amoksisilin diekskresikan atau dibuang terutama melalui ginjal, dalam air kemih
terdapat dalm bentuk aktif. Amoksisilin sangat efektif terhadap organisme gram
positif dan gram negatif. Penggunaan amoksisilin seringkali dikombinasikan
dengan asam klavulanat untuk meningkatkan potensi dalam membunuh bakteri
(Junaidi, 2009).
Amoksisilin adalah salah satu contoh antibiotik golongan -laktam. Asam
klavulanat adalah golongan antibiotik penghambat -laktamase. Ada jenis bakteri
yang sudah resisten terhadap antibiotik golongan penisilin (-laktam), hal itu
disebabkan antara lain karena bakteri memproduksi enzim -laktamase sehingga
dapat menghancurkan antibiotik golongan -laktam ini. Organisme yang
resistenterhadap amoksisilin meliputi sebagian besar Staphyococcus aureus, 50%
strain Escherichia coli, dan sampai dengan 15% strain Haemophillus influesnzae.
Banyak -laktamase dihambat oleh asam klavulanat, dan campuran inhibitor
inidengan amoksisislin(ko-amoksiklav) menyebabkan antibiotik menjadi efektif
melawan organisme penghasil penisilinase. Ko-amoksiklav diindikasikan pada
infeksi saluran pernapasan dan saluran kemih yang dikonfirmasi resisten terhadap
amoksisilin (Neal, 2005)
Secara umum efektivitas antibiotik seperti amoksisilin-asam klavulanat dan
eritromisin yang digunakan untuk mengobati infeksi yang diakibatkan oleh S.
aureus digunakan dalam jangka waktu 7 hari (WHO, 2001). Kadar subinhibisi

pada antibiotik bisa memicu ekspresi yang berbeda pada faktor yang menentukan
virulensi bakteri, yang berakibat pada berulang dan semakin memburuknya
infeksi. Hal ini biasanya terjadi pada keadaan dimana pasien tidak mengkonsumsi
rejimen antibiotik dengan tepat atau kurang dari rejimen yang seharusnya karena
merasa sudah sembuh (Joo H, 2010).
5.3 Eritromisin
Eritromisin adalah antibiotik makrolid yang spektrum antimikrobanya mirip
dengan penisilin, dan sering dipakai pada penderita yang mempunyai alergi
terhadap penisilin. Eritromisin terdapat dengan bentuk enteric-coated tablets,
slow release capsules, oral suspensions, ophthalmic solutions, ointments, jel dan
injeksi. Eritromisin mencegah bertumbuhnya bakteri dengan mengganggu sintesis
protein. (Sfetcu & Nicolae, 2014)
Antibiotik ini diperoleh dari suatu jenis jamur Streptomyces erythreus yang
ditemukan pertama kali oleh Waksman dan Henrici dalam sampel tanah di
Filipina. Isolasi dilakukan oleh Mc Gurie dan rekan-rekannya pada 1952,
sedangkangkan struktur kimianya ditemukan oleh Wiley pada 1957. (Sumardjo &
Damin, 2009)
Eritromisin menghambat sintesis protein pada ribosom prokariotik, tetapi
tidak pada ribosom eukariotik. Oleh karena itu, obat ini secara selektif
menghambat pertumbuhan bakteri. Namun karena ribosom mitokondria serupa
dengan ribosom bakteri, sintesis protein mitokondria juga dapat terhambat. Cara
kerja Eritromisin adalah dengan berikatan dengan subunit ribosom 50S bakteri.
Eritomisin menghambat translokasi, pergerakan peptidil-tRNA dari tempat Ake
P pada ribosom. (Sumardjo & Damin, 2009)
Eritromisin mudah diinaktivasi oleh asam lambung, oleh karena itu semua
formulasi oral diberikan sebagai enteric coated atau sebagai garam atau ester yang
lebih stabil. eritromisin sangat cepat diserap, dan menyebar ke jaringan tubuh dan
fagosit. Karena fagosit yang berkonsentrasi tinggi, eritromisin secara aktif
diangkut ke tempat infeksi di mana selama fagositosis aktif, konsentrasi besar
eritromisin dilepaskan. (Sfetcu & Nicolae, 2014)

Sebagian besar eritromisin dimetabolisme di hati oleh demetilasi. Rute


utamanya adalah di empedu, dan sedikit di urin. Waktu paruh eritromisin adalah
1,5 jam. (Sfetcu & Nicolae, 2014)
Gangguan gastrointestinal seperti diare, mual, nyeri abdominal, dan muntah
sering terjadi, jadi eritromisin tidak diresepkan sebagai first-line drug. Tetapi,
eritromosin dapat digunakan untuk mengobatin gastroparesis karena efek promotility yang dimiliki oleh eritromisin. Eritromisin intravena bisa juga digunakan
pada endoskopi sebagai tambahan untuk mengosongkan isi lambung. Efek
samping yang lebih serius seperti ketulian reversible jarang terjadi. Reaksi alergi,
walaupun jarang, tetapi bisa saja terjadi, dari urticaria sampai anaphilaktik.
Cholestatis, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik adalah efek
samping yang jarang terjadi . (Sfetcu & Nicolae, 2014)
5.4 Klindamisin
Clindamycin merupakan antimikroba yang spektrumnya menyerupai
linkomisin namun aktivitasnya lebih besar terhadap organisme yang sensitif.
Clindamycin
Streptococcus

aktif

terhadap

pyogenes,

Staphylococcus

Streptococci

(kecuali

aureus,

D.

pneumoniae,

Streptococcus

faecalis).

Streptococcus viridians dan Avtinomycesis raelli serta aktif terhadap Bacteroides


fragilis dan kuman patogen anaerob yang peka lainnya. Clindamycin menghambat
sintesa protein dengan cara mengikat pada gugus 50 S sub unit ribosomal bakteri
(Ditjen POM, 1995).
Clindamycin diabsorpsi hampir lengkap pada pemberian per oral, dan kadar
puncak 2-3 mcg/ml dicapai dalam 1 jam setelah pemberian 150 mg. Adanya
makanan dalam lambung tidak mempengaruhi absorpsinya. Waktu paruhnya 2,7
jam. Clindamycin didistribusi secara baik ke berbagai cairan tubuh, jaringan dant
ulang, kecuali ke cairan serebrospinal dan diekskresi melalui urin dan feses.
Klindamisin palmitat yang digunakan sebagai preparat oral pediatrik tidak aktif
secara in vitro. Tetapi setelah mengalami hidrolisis akan dibebaskan klindamisin
yang aktif. Kira-kira 90% klindamisindalam serum terikatdengan albumin. Hanya
sekitar 10% klindamisin diekskresi dalam bentuk asal melalui urin. Sejumlah
kecil klindamisin ditemukan dalam feses. Sebagian besar obat dimetabolisme

menjadi N-dimetil klindamisin dan klindamisin sulfoksid untuk selanjutnya


diekskresi melalui urin dan empedu (Ditjen POM, 1995).
Klindamisin efektif untuk pengobatan infeksi serius yang disebabkan oleh
bakteri anaerob, streptococcus, pneumococcus dan staphylococcus, seperti infeksi
saluran pernafasan yang serius, infeksi tulang dan jaringan lunak yang serius,
septicemia, abses intra-abdominal, sertainfeksi pada panggul wanita dan saluran
kelamin (Ditjen POM, 1995).
Beberapa efek klindamisin yang perlu diperhatikan antara lain adalah
keamanan penggunaan pada wanita hamil dan menyusui yang belum diketahui
dengan pasti, perlunya dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya
super infeksi dengan bakteri dan jamur, dan terapi dengan klindamisin dapat
menyebabkan kolitis berat yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu pemberian
klindamisin dibatasi untuk infeksi serius dimana tidak dapat diberikan
antimikroba yang kurang toksik misalnya eritromisin (Ditjen POM, 1995).
6. ANALISA HASIL PRAKTIKUM
Hasil praktikum menunjukkan bahwa daerah D dengan pemberian klindamisin
merupakan daerah yang paling luas diameternya hingga 37,2 mm, sedangkan daerah
C dengan pemberian eritromisin merupakan daerah yang paling kecil dengan luas
diameternya 24,6 mm.
Pada hasil praktikum dapat terlihat kuadran A yang diberi kombinasi amoksisilin
dengan asam klavulanat memiliki daerah yang bebas bakteri lebih luas dibandingkan
dengan daerah pada kuadran B yang hanya diberi amoksisilin saja. Hal ini
dikarenakan asam klavulanat merupakan antibiotik penghambat -laktamase,
sedangkan amoksisilin merupakan antibiotik golongan -laktam. Beberapa bakteri
gram negatif, bakteri gram positif, dan bakteri anaerob dapat menghasilkan enzim laktamase sehingga resisten terhadap antibiotik golongan -laktam. Oleh karena itu,
antibiotik amoksisilin dapat dihancurkan oleh bakteri penghasil -laktamase dan
tidak dapat bekerja maksimal. Agar dapat bekerja maksimal dan membunuh bakteri
patogen, amoksisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat yang merupakan
penghambat -laktamase. Asam klavulanat akan berikatan dengan enzim -laktamase

sehingga amoksisilin dapat mencapai bakteri dan menghancurkan dinding sel dari
bakteri tersebut. Dengan formulasi asam klavulanat pada posisi luar dan di dalamnya
terdapat amoksisilin, maka spectrum bakteri yang dimatikan akan lebih luas.
Daerah pada kuadran C yang diberi eritromisin memiliki daerah bebas bakteri atau
efektifitas paling kecil. Hal ini disebabkan karena eritromisin tidak stabil dalam
suasana asam, kurang stabil pada suhu kamar, tetapi cukup stabil pada suhu rendah.
Aktivitas in vitro paling besar dalam suasana alkalis. Sedangkan, daerah pada
kuadran D yang diberi klindamisin memiliki daerah bebas bakteri atau efektifitas
antibiotik paling besar, yang berarti klindamisin memiliki efek bakteriostatik paling
tinggi pada kuman rongga mulut diantara antibiotika yang digunakan.
7. KESIMPULAN
Klindamisin memiliki efek bakteriostatik yang paling tinggi, terlihat dari daerah
bebas bakteri yang paling besar. Kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat
merupakan daeerah paling luas ke dua karena asam klavulanat akan membantu
amoksisilin mencapai bakteri dan menghancurkan dinding selnya. Sedangkan daerah
yang hanya diberikan amoksisilin merupakan daerah terluas ke tiga karena beberapa
bakteri bisa menghasilkan -laktamase yang bisa menghambat -laktam dari
amoksisilin. Dan yang terakhir daerah terkecil yaitu daerah dengan pemberian
eritromisin karena eritromisin tidak stabil dalam suasana asam dan suhu kamar.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Ke IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Doyle, M. E. 2006. Veterinary drug Residues in Processed Meats-Potential Health Risk.
Reviews of the scientific Literatur. Food Research Institute.
Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Gupte, S. 1990. Mikrobiologi Dasar. Jakarta: Binarupa Aksara.

Joo H, Chan JL, Cheung GYC, et al. 2010. Subinhibitory concentration of protein
synthesis-inhibiting antibiotics promote increased expression of the agr virulence
regulator and production of phenol-soluble modulin cytolysins in communityassociated methicillin-resistant Staphyloccous aureus. Antimicrob Agents
Chemother, 54(11): 4942-44.
Junaidi, I. 2009. Pedoman Praktis Obat Indonesia. Jakarta: Buana Ilmu Populer.
Neal, M.J. 2005. At a Glance FARMAKOLOGI MEDIS. Jakarta: EMS (Erlangga
Medical Series).
Pelczar, M. J. dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta : UI Press.
Subronto dan Tjahjati. 2001. Pedoman Pengobatan pada Hewan Ternak. Bentang
Pustaka.
Wattimena, J. R., 1991. Farmakodinami Dan Terapi Antibiotik. Yogyakatya: Gajah
Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai