Anda di halaman 1dari 17

Delicate ring: cincin halus adalah suatu bentuk khusus dari perkembangan p.

falcifarum
berupa tropozoit immature (muda)

Bagaimana mekanisme tidak sadar dan kejang?


Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yg berlebihan sehingga menggangu fungsi
normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak norrmal di bawah kondisi
patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa dan elektrolit. Kejang juga
merupakan suatu manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan.misalnya
gangguan metabolisme, infeksi intrakranium,intoksikasi obat, atau ensefalopati hipertensi.

Merozoit bertambah jumlah dalam rbc , mengekspresikan p.falcifarum eritrosit membran


protein (pfemp-1) pada permukaan rbc, melekat di endotel kapiler, terjadi penyumbatan,
iskemia di otak (-o2) , fofporilisasi berhenti, sel mengandalkan glikolisis, peningkatan asam
laktat, menurunkan pH intrasel, pnurunkan aktivitas enzim, gangguan pompa na-k,
depolarisasi berlebihan , kejang
Isi kesadaran disimpan di area korteks asosiasi yang khusus berfungsi pada hal tersebut.
Kesigapan kesadaran tidak hanya membutuhkan aferen spesifik yang ditransmisikan. ke

korteks serebri, tetapi juga membutuhkan pengaktifan yang tidak spesifik dari ARAS.
Di ARAS ini, neuron dari formasio retikularis akan mengaktifkan sebagian besar area
korteks serebri melalui neuron intralaminar talamus. Kerusakan luas di area korteks dan/atau
gangguan di ARAS akan menyebabkan kehilangan kesadaran.

Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi
kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara hemisfer serebri
yang intak dan formasio retikularis di batang otak. Gangguan pada hemisfer serebri atau
formasio retikularis dapat menimbulkan gangguan kesadaran. Bergantung pada beratnya
kerusakan, gangguan kesadaran dapat berupa apati, delirium, somnolen, sopor atau koma.
Lintasan asendens dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan impuls sensorik
protopatik, propioseptik dan perasa pancaindra dari perifer ke daerah korteks perseptif primer
disebut lintasan asendens spesifik atau lintasan asendens lemniskal. Ada pula lintasan
asendens aspesifik yakni formasio retikularis di sepanjang batang otak yang menerima dan
menyalurkan impuls dari lintasan spesifik melalui koleteral ke pusat kesadaran pada batang
otak bagian atas serta meneruskannya ke nukleus intralaminaris talami yang selanjutnya
disebarkan difus keseluruh permukaan otak Pada manusia pusat kesadaran terdapat didaerah

pons, formasio retikularis daerah mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini
disebut diffuse ascending reticularactivating system (ARAS). Melalui lintasan aspesifik ini,
suatu impuls dari perifer akan menimbulkan rangsangan pada seluruh permukaan korteks
serebri.
Dengan adanya 2 sistem lintasan tersebut terdapatlah penghantaran asendens yang pada
pokoknya berbeda.Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor
ke satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya lintasan asendens aspesifik
menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke seluruh korteks serebri.
Neuron-neuron di korteks serebri yang digalakkan olehimpuls asendens aspesifik itu
dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, sedangkan yang berasal dari formasio
retikularis dan nuklei intralaminaris talami disebut neuron penggalak kewaspadaan.
Gangguan pada kedua jenis neuron tersebut oleh sebab apapun akan menimbulkan gangguan
kesadaran.

Nyeri kepala
Mekanisme :
Infeksi Plasmodium melepaskan toksin malaria (GPI) mengaktivasi makrofag
menskresikan IL12 mengaktivasi sel Th mensekresikan IL 3 mengaktivasi sel
mast menskresikan PAF mengaktivasi faktor Hagemann sintesis bradikinin
merangsang serabut saraf (di otak) nyeri SAKIT KEPALA
Atau :
Infeksi Plasmodium melepaskan toksin malaria (GPI) mengaktivasi makrofag
TNF meningkat menstimulasi sel-sel otak mensintesis NO (Nitrit oksida) SAKIT
KEPALA
Terdapat tiga mekanisme terjadinya sakit kepala :
1. NO yang meningkat karena IL-1&TNF yang tinggi akibat toksin dari plasmodium.

2. merozoit yang keluar dari RBC yang pecah, memacu produksi prostaglandin dan
bradikinin yang bisa merangsang reseptor nyeri di kepala ( prostaglandin mediator
kimiawi sensitivasi nyeri kepala)
3. akibat iritasi serebral yang bersifat sementara
4. Nyeri pada tulang dan sendi
Mekanisme nyeri dimulai dari stimulus nociceptor oleh stimulus noxious pada jaringan,
yang kemudian akan mengakibatkan stimulasi nocereceptor di mana di sini stimulus noxious
tersebut akan diubah menjadi potensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi
reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan ditransmisikan menuju neuron susunan
saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi adalah konduksi impuls
dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medulla spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron
aferen primer bersinap dengan neuron susunan saraf pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut
akan naik ke atas medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus selanjutnya terjadi
hubungan timbal balik antara thalamus dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang
mengurusi respon persepsi dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Terdapat proses
modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut tempat modulasi sinyal
yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis medulla spinalis. Setelah itu, timbullah
persepsi di mana pesan nyeri menuju ke otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak
menyenangkan.
Stimulasi mosiceptor ini merupakan akibat dari pembebasan berbagai mediator
biokimiawi selama proses inflamasi terjadi.
Selain nyeri karena inflamasi, nyeri pada sendi dapat pula disebabkan karena adanya
osteofit, bakteri, dan adanya fibrilasi tulang rawan.

Patogenesis
Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopeles betina menggigit manusia, akan
masuk kedalam sel hati dan terjadi skizogoni ektsra eritrosit. Skizon hati yang matang akan
pecah dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra
eritrosit, menyebabkan eritrosit mengalami perubahan seperti pembentukan knob,
sitoadherens, sekuestrasi dan rosseting Eritrosit Parasit (EP)
EP memulai proses patologik infeksi malaria falsiparum dengan kemampuan adhesi
dengan sel lain yaitu endotel vaskular, eritrosit dan menyebabkan sel ini sulit melewati
kapiler dan filtrasi limpa. Hal ini berpengaruh terjadinya sitoadherens dan sekuestrasi.
Sitoadherens
Sitoadherens adalah melekatnya EP matang di permukaan endotel vaskular. Sitoaherens
merupakan proses spesifik yang hanya terjadi di kapiler dan venula post kapiler.
Penumpukan EP di mikrovaskular menyebabkan gangguan aliran mikrovaskular sehingga
terjadi anoksia/hipoksia jaringan.
Sekuestrasi
Sitoadherens menyebabkan EP bersekuestrasi dalam mikrovaskular organ vital. Parasit yang
bersekuestrasi menumpuk di otak, paru, usus, jantung, limpa, hepar, otot dan ginjal.
Sekuestrasi menyebabkan ketidak sesuaian antara parasitemia di perifer dan jumlan total
parasit dalam tubuh. Penelitian di Vietnam melaporkan bahwa sekuestrasi di otak terjadi baik
pada kasus malaria serebral maupun non serebral dengan jumlah kuantitatif lebih tinggi pada
malaria serebral. Dilaporkan juga tidak ada kasus malaria serebral yang tidak mengalami
sekustrasi. Dengan demikian sekuentrasi diperlukan dalam patogenesa malaria serebral.
Rosetting
Rosetting adalah perlekatan antara satu buah EP matang yang diselubungi oleh sekitar 10
atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Rosetting berperan dalam
terjadinya obstruksi mikrovaskular. Meskipun demikian peranan rosetting dalam patogenesis
malaria berat masih belum jelas.
Sitokin
Kadar TNF-alfa di daerah perifer meningkat secara nyata pada penderita malaria terutama
malaria berat. Kadar IFN-gamma, IL-1, IL-6, LT dan IL-3 juga meningkat pada malaria

berat. Sitokin-sitokin ini saling berinteraksi dan menghasilkan efek patologi Meskipun
demikian peranan sitokin dalam patogenesis malaria berat masih dalam perdebatan.
Patogenesis
Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui
dua cara yaitu :
Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit malaria
Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia,
misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta
ibu yang terinfeksi (congenital).
Sporozoit malaria dilepaskan ke dalam darah dan dalam beberapa menit akan menempel
dan menginvasi sel hati dengan cara berikatan dengan reseptor hepatosit pada protein plasma
thrombospondin dan properdin, yang terletak di basolateral permukaan hepatosit. Di dalam
sel hati, parasit malaria bermultiplikasi. Setelah sel hati pecah, merozoit (aseksual, bentuk
darah haploid) sebanyak 30,000 (P. falciparum, sedangkan 20,000 untuk P. Malariae) untuk
keluar.
Setelah dilepaskan, merozoit P.falciparum berikatan oleh parasit molekul seperti lektin
dengan protein sialic pada molekul glycophorin di permukaan sel darah merah. ( Merozoit P.
vivax berikatan dengan antigen Duffy pada sel darah merah oleh lektin). Setelah masuk ke
dalam sel darah merah, parasit akan bereplikasi di dalam membran vakuola digestive dan
akan mengeluarkan beberapa enzim protease dari organel spesial yang disebut rhoptry. Enzim
protease ini berfungsi untuk menghidrolisis hemoglobin. Setelah sel pecah, merozoit keluar
dan mulai menginfeksi sel darah merah yang lain, dan beberapa merozoit lainnya
berkembang menjadi gametosit yang menginfeksi nyamuk saat menghisap darah manusia.
Selama parasit malaria matang di dalam sel darah merah, ia mengubah bentuknya dari
stadium ring menjadi schizont dan mensekresi protein yang membentuk benjolan 100 nm di
permukaan sel darah merah yang disebut knob. Protein malaria yang ada di permukaan knob
disebut sequestrin. Sequestrin ini berikatan dengan sel endotelial oleh ICAM-1, yang
merupakan reseptor thrombospondin, dan glycophorin CD46 yang dapat menyebabkan sel
darah merah yang terinfeksi sel darah merah terbuang dari sirkulasi.
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit , inang dan lingkungan.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah.

Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan menyebabkan anemia.
Beratnya anemia tidak sebanding dengan parasitemia, hal ini menunjukkan adanya kelainan
eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan
gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa sehingga parasit
keluar. Faktor lain yang menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi
terhadap eritrosit.
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah
pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis
dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi
hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke
dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpor membran sel, penurunan deformabilitas,
pembentukan knob, ekspresi varian non antigen di permukaan sel, sitoadherensi, sekuestrasi
dan rosetting, peranan sitokin dan NO (Nitrik Oksida) 8.
Menurut pendapat ahli lain patogenesis malaria berat atau malaria falciparum dipengaruhi
oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yang termasuk ke dalam faktor parasit adalah
intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk ke
dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status
nutrisi, dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2
stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam ke II. Permukaan
EP stadium cincin akan menampilkan antign RESA (Ring-erythrocyte surgace antigen) yang
menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur
akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich Protein-1 (HRP-1)
sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan
dilepaskan toksin malaria berupa GP1 yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang
pelepasan TNF- dan IL-1 dari makrofag.
Timbulnya manifestasi klinis dimulai dari :

Sitoadherensi

Sekuestra
si
Rosetting

Pengeluaran mediator inflamsi


(sitokin)
Timbul manifestasi
klinis

Keterangan :
Sitoadherensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel vaskular.
Sekuestrasi ialah Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular
karena sitoadherensi menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang
non-parasit. Rosseting ini menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga
mempermudah terjadinya sitoadherensi.
Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit, dan makrofag setelah mendapat
stimulasi dari malaria toksin (LPS, GP1). Sitokin ini antara lain : TNF-, IL-1, IL-6, IL-3,
LT (lymphotoxin), dan IFN-.
Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai
berikut :
-Penghancuran eritrosit yang terjadi oleh karena :
-Pecahnya eritrosit yang mengandung parasit
-Fagositosis eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung parasit
-Akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler
-Pelepasan mediator Endotoksin-makrofag
-Pada proses skizoni yang melepaskan endotoksin, makrofag melepaskan berbagai
mediator endotoksin.
-Pelepasan TNF

Merupakan suatu monokin yang dilepas oleh adanya parasit malaria. TNF ini
bertanggung jawab terhadap demam, hipoglikemia, ARDS.
-Sekuetrasi eritrosit
Eritrosit yang terinfeksi dapat membentuk knob di permukaannya. Knob ini mengandung
antigen malaria yang kemudian akan bereaksi dengan antibody. Eritrosit yang terinfeksi akan
menempel pada endotel kapiler alat dalam dan membentuk gumpalan sehingga terjadi
bendungan.
Patologi malaria
Sporozoit pada fase eksoeritrosit bermultiplikasi dalam sel hepar tanpa menyebabkan
reaksi inflamasi, kemudian merozoit yang dihasilkan menginfeksi eritrosit yang merupakan
proses patologi dari penyakit malaria. Infeksi eritrosit ini mengakibatkan 250 juta kasus
malaria dan 2 juta kematian setiap tahunnya di seluruh dunia. Proses terjadinya patologi
malaria serebral yang merupakan salah satu dari malaria berat adalah terjadinya perdarahan
dan nekrosis sekitar venula dan kapiler. Kapiler dipenuhi leukosit dan monosit, terjadi
sumbatan pembuluh darah oleh roset eritrosit yang terinfeksi.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi
malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium, daerah asal infeksi,
umur, dugaan konstitusi genetic, kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaktis, dan pengobatan
sebelumnya.
1. Demam
Demam mempunyai dua stadium yaitu : stadium frigoris (menggigil) yang berlangsung
selama 20-60 menit, kemudian stadium akme (puncak demam) selama 1-4 jam, lalu
memasuki stadium surodis selama 1-3 jam dimana penderita banyak berkeringat.
Serangan demam ini umumnya diselingi masa tidak demam. Pada malaria tertiana
demam timbul setiap 2 hari, pada malaria quartana timbul setiap 3 hari; sedangkan pada
malaria tropikal demam bersifat hectic, timbul tidak teratur. Bila tidak diobati, karena
kekebalan yang timbul, demam ini akan hilang dalam 3 bulan. Dan jika keadaan tubuh
lemah dapat terjadi relaps.
2. Pembesaran Limpa

Pada malaria tertiana, limpa membesar mulai minggu kedua, sedangkan pada malaria
tropika pada hari ke-3 sampai 4, limpa membesar karena harus menghilangkan eritrosit
yang pecah. Pada infeksi kronik hepar juga akan membesar.
3. Anemia
Bervariasi dan ringan sampai berat. Paling berat pada infeksi plasmodium falciparum.
Eritrosit juga menjadi lebih mudah melekat satu dengan yang lain dan dengan endotel,
sehingga lebih mudah timbul trombus.
Gejala Patologik
Masa tunas intrinsik berakhir dengan timbulnya serangan demam pertama. Serangan
demam yang khas terdiri atas 3 stadium : a. stadium ferigoris (menggigil) ; b. stadium acme
(puncak demam) ; c. stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun). Serangan demam
berbeda-beda sesuai dengan jenis malaria.
Kekambuhan dapat bersifat :
a. Rekrudensi (short term relapse) : timbul karena marasit malaria dalam eritrosit menjadi
banyak. Timbul beberapa minggu setelah penyakit sembuh .
b. Rekuren (long term relapse) karena parasit ekso-eritrosit masuk kedalam darah dan
menjadi banyak. Biasanya timbul 6 bulan setelah penyakit sembuh.
Hipertrofi dan hiperplasi sistim retikuloendotelial menyebabkan limpa membesar. Sel
makrofag bertambah dan dalam darah terdapat monositosis.
3. Anemia dapat terjadi oleh karena: a. Eritrosit ysng diserang hancur pada sporulasi. b.
Derajat fagositosis RES meningkat, akibatnya banyak eritrosit hancur.
Manifestasi umum malaria
Malaria memiliki gambaran karakteristik demam periodic, anemia, dan splenomegali.
Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodormal dapat terjadi
sebelum terjadinya demam berupa kelesuhan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa
dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tak enak, diare
ringan dan kadang-kadang dingin. Keluhan prodormal sering terjadi pada P.ovale dan
P.vivax, sedang pada Pfalsiparum dan P.malariae sering tidak jelas bahkan dapat timbul
mendadak.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria secara berurutan:
1. Periode dingin (15-60) menit

2. Periode panas
3. Periode berkeringat
Trias Malaria lebih sering terjadi pa P.vivax, pada P.falsiparum menggigil dapat
berlangsung berat atau tidak ada. Periode tidak panas belangsung 12 jam pada P.falsiparum,
36 jam pada P.vivax dan P.ovale, 60 jam pada P.malariae.
Anemia merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada infeksi malaria.
Pembesaran limpa sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari
dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan
organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria.
Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria:
Serangan primer: masa dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksismal yang
terdiri dari dingin / menggigil, panas, dan berkeringat. Serangan paroksismal ini dapat
pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitas penderita
Periode laten : yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi
malaria. Biasanya terjadi diantara 2 keadaan paroksismal.
Recrudescence: yaitu berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu
sesudah berakhirnya serangan primer. Recrudescence dapat terjadi berupa berulangnya gejala
klinik sesudah periode laten dari serangan primer.
Recurrence: yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya
serangan primer.
Relaps atau rechute: yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari
waktu diantara serangan periodic dari infeksi primer yaitu setelah periode yang lama dari
masa laten (sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk
diluar eritrosit atau hati pada malaria vivax atau ovale.
Komplikasi (dan patofisiologinya, misal komplikasinya malaria cerebral, jelaskan
patofisiologi malaria cerebral
Komplikasi
Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena P. falciparum dan sering disebut
pernicious manifestations. Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan

sebagai malaria berat yang menurun WHO didefinisikan sebagai infeksi P. falsiparum dengan
satu atau lebih komplikasi sebagai berikut :
1. Malaria Serebral (coma)
Gejala klinisnya dapat dimulai secara lambat atau mendadak setelah gejala permulaan
yang tidak disebabkan oleh penyakit lain. Sakit kepala disusul dengan kehilangan
kesadaran, kelainan saraf dan kejang yang bersifat fokal atau menyeluruh.koma adalah
ketiks lebih dari 30 menit tidak memberi respons motorik dan atau verbal setelah
serangan kejang, derajat penurunan kesadaran harus dilakukan penilaian berdasar GCS
(Glasgow Coma Scale)
Patogenesis malaria serebral sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Terdapat
beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya malaria serebral antara lain edema otak,
peninggian tekanan intrakranial, hipoksia serebri obstruksi mikrovaskuler,
dan sequestration. Sel-sel darah merah yang mengandung parasit, alirannya menjadi lambat
dalam mikrosirkulasi otak karena deformabilitas eritrosit dan adanya perlengketan eritrosit
pada endotel kapiler. Kedua keadaan ini dapat menyebabkan hipoksia serebri. Selain itu pada
pemeriksaan postmortem, didapatkan kapiler-kapiler penuh dengan sel-sel darah merah yang
mengandung parasit malaria, petekie, dan makrofag berisi pigmen malaria (6).
Patogenesis malaria berat sangat kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
terdiri dari faktor parasit, host dan sosial geografik. Faktor parasit tampaknya berperan sangat
besar untuk terjadinya malaria berat. Seluruh manifestasi klinis dari malaria disebabkan oleh
perkembangannya di darah. Parasit yang sedang tumbuh mengkonsumsi dan menghancurkan
protein sel dengan hebatnya terutama hemoglobin yang menyebabkan terbentuknya pigmen
malaria dan hemolisis dari sel darah merah yang terinfeksi. Selain itu juga mengganggu
sistem transportasi dari membran sel itu sendiri sehingga terjadi perubahan bentuk menjadi
lebih spheris . Ruptur dari sel akan mengeluarkan faktor penting dan toksin seperti
glikosifosfotidilnositol dari protein membran parasit, fosfoliopprotein, produk membran sel
darah merah, komponen yang sensitif pada protease dengan hemozoin, dan toksin malaria .
Toksin ini akan menginduksi terlepasnya sitokin seperti TNF dan IL 1 dari makrofag
sehingga terjadi demam.

Selain itu sitokin pro inflamasi juga keluar seperti TNF alpha dan

Interferon alpha. Sitokin ini memberikan perlindungan terhadap stadium aseksual


parasit . sitokin ini juga dapat menginduksi penambahan dan produksi yang tidak terkontrol

dari nitrit oksida. Nitrit Oksida dapat berdifusi kedalam sawar darah otak dan mengganggu
fungsi sinaps yang mirip anastesi umum dan konsentrasi etanol yang tinggi yang menurunkan
kesadaran

(7).

Di lain pihak kadar sitokin lokal di suatu organ yang tinggi dapat mengganggu

fungsi organ tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dengan meningkatkan
atau memperberat sitoadherens.
Pada malaria falciparum, semua sel darah merah di berbagai tingkat terinfeksi, ditambah
dengan adanya pembentukan sticky knobs (tonjolan) pada permukaan sel yang disebabnya
oleh Pf Erythrocyte Membrane Protein 1 (PEMP1). Sel darah merah yang terinfeksi ini akan
terikat pada sel endotel pada venula post capilary atau disebut sitoaderens. Sel darah merah
dan sel endotel ini akan membentuk rosettes dengan sel yang tidak terinfeksi. Selain itu juga
eritrosit terinfeksi ini dapat menyebabkan agregasi dengan trombosit (clumping). Proses
Knobs-cytoadherence-rosetting dan clumping ini menghasilkan sekuestrasi parasit pada
jaringan yang lebih dalam , jauh dari pembersihan limpa dan membantu parasit untuk
berkembang biak dengan aman. Selain itu akan menghambat mikrosirkulasi yang
menyebabkan hipoksia, asidosis laktat dan kerusakan orga
2. Acidemia/acidosis
Asidosis (bikarbonat < 15 meq) atau asidemia (pH < 7,25), pada malaria menunjukkan
prognosa buruk.
Asidosis disebabkan karena:

Perfusi jaringan yang buruk oleh karena hipovolemia yang akan menurunkan

pengangkutan oksigen.

Produksi laktat oleh parasit.

Pembentukan laktat karena aktifasi sitokin terutama TNF alfa.

Aliran darah ke hati yang berkurang, sehingga mengganggu kebersihan laktat.

Gangguan fungsi ginjal, sehingga mengganggu ekskresi asam.

3. Anemia berat
(Hb < 5g/dl atau hematokrit ,15%) pada keadaan parasit >10.000/ul; bila anemianya
hipokromik dan/atau miktositik harus dikesampingkan adanya anemia defisiensi besi,
talasemia/ hemoglobinopati lainnya

Pada malaria dapat terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang
menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria falsiparum dengan
penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia
pada malaria adalah hemolitik, normokrom dan normositik. Pada serangan akut kadar
hemoglobin turun secara mendadak.
Anemia disebabkan beberapa faktor :
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit
terjadi di dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang peran.
b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung parasit
tidak dapat hidup lama.
c. Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi
eritropoesis dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dapat dilepaskan dalam peredaran
darah perife
4. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa.
Komplikasi ini menunjukkan tanda-tanda klinis dehidrasi, yaitu penurunan tekanan
okular dan turgor kulit.
5. Gagal ginjal akut
(urine kurang dari 400ml/24 jam pad/da orang dewasa atau 12ml/kg BB pada anak-anak)
setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin >3 mg/dl
Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi prerenal karena dehidrasi (>50%), dan hanya 5-10 %
disebabkan oleh nekrosis tubulus akut. Gangguan fungsi ginjal ini oleh karena anoksia yang
disebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat dehidrasi dan sumbatan mikrovaskular
akibatsekuestrasi, sitoadherendan rosseting.
Apabila berat jenis (BJ) urin <1.01 menunjukkan dugaan nekrosis tubulus akut; sedang urin yang
pekat dengan BJ >1.05, rasio urin:darah > 4:1, natrium urin < 20 mmol/L menunjukkan dehidrasi
Secara klinis terjadi oligouria atau poliuria. Beberapa faktor risiko terjadinya GGA ialah
hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuria.
Dialisis merupakan pengobatan yang dapat menurunkan mortalitas. Seperti pada
hiperbilirubinemia, anuria dapat berlangsung terus walaupun pemeriksaan parasit sudah negati

6. Edema paru non-kardiogenik/ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)


Petunjuk pertama edema paru yang akan terjadi adalah peningkatan frekuensi pernapasan,
yang terjadi mendahului perkembangan tanda-tanda lain di dada. Keadaan ini dapat
dilihat dengan radiografik.
Kolaps sirkulatorik dan syok.
Yaitu suatu keadaan pasien memiliki tekanan darah sistolik < 80 mm Hg pada posisi
berbaring dan < 50 mm Hg pada anak-anak. Disebut juga dengan malaria algid bila
menyebabkan syok dan hipovolemik.
7. Hipoglikemi
gula darah < 40 mg/dl Gagal sirkulasi atau syok; tekanan sistolik <70 mmHg (anak 1-5
tahun <50 mmHg); disertai keringat dingin atau perbedaan temperature kulit-mukosa
>10oC
Hipoglikemi sering terjadi pada anak-anak, wanita hamil, dan penderita dewasa dalam
pengobatan quinine (setelah 3 jam infus kina). Hipoglikemi terjadi karena: 1) Cadangan glukosa
kurang pada penderita starvasi atau malnutrisi; 2) Gangguan absorbsi glukosa karena
berkurangnya aliran darah ke splanchnicus; 3) Meningkatnya metabolisme glukosa di
jaringan;4) Pemakaian glukosa oleh parasit; 5) Sitokin akan menggangu
glukoneogenesis; 6)Hiperinsulinemia pada pengobatan quinine.
Metabolisme anaerob glukosa akan menyebabkan asidemia dan produksi laktat yang akan
memperburuk prognosis malaria berat
8. Pendarahan abnormal
Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna, dan/atau disertai kelainan laboratorik
adanya gangguan koagulasi intravaskular
9. Malaria Algid
Terjadi gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik <70 mmHg, disertai gambaran klinis
keringat dingin, atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1 C, kulit tidak elastis, pucat.
Pernapasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun, sering tekanan sistolik tak terukur
dan nadi yang normal.Syok umumnya terjadi karena dehidrasi dan biasanya bersamaan
dengan sepsis. Pada kebanyakan kasus didapatkan tekanan darah normal rendah yang
disebabkan karena vasodilatas

10. hemoglobinuria
Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena antimalaria /
kelaian eritrosit kekurangan G-6-PD) Merupakan suatu sindrom dengan gejala serangan
akut, menggigil, demam, hemolisis intravascular, hemoglobinuria, dan gagal ginjal.
Biasanya terjadi pada infeksi P. falciparum yang berulang-ulang pada orang non-imun
atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat dan yang bukan disebabkan oleh karena
defisiensi G6PD atau kekurangan G6PD yang biasanya karena pemberian primakuin
Diagnosa post mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler
pada jaringan otak.
Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan
gambaran klinis daerah setempat ialah :
1. gangguan kesadaran ringan (GCS < 15) di Indonesia sering dalam keadaan delirium
2. kelemahan otot tanpa kelaian neurologik
3. hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria
4. ikterik (bilirubin >3mg/dl) bila disertai gagal organ lain
5. hiperpireksia (temperatur rektal >40oC) pada orang dewasa/ anak.

Dapus
FKUP, IPD. Penatalaksanaan Malaria Berat. ILMU PENYAKIT DALAM Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran.
Buku parasitologi kedokteran fkui
Buku patofisiologi murray
Buku ipd ui

Anda mungkin juga menyukai