Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. SINDROM METABOLIK


II.1.1. Definisi
Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult
Treatment Panel (NCEP-ATP III), Sindrom Metabolik adalah seseorang
dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: 1). Obesitas abdominal (lingkar
pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); 2). Peningkatan
kadar trigliserida darah ( 150 mg/dL, atau 1,69 mmol/ L); 3). Penurunan
kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada
wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L); 4). Peningkatan tekanan darah
(tekanan darah sistolik 130 mmHg, tekanan darah diastolik 85 mmHg
atau sedang memakai obat anti hipertensi); 5). Peningkatan glukosa darah
puasa (kadar glukosa puasa 110 mg/dL, atau 6,10 mmol/ L atau sedang
memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment Panel III, 2001).
Selain kriteria berdasarkan NCEP-ATP III diatas masih ada beberapa
kriteria untuk definisi Sindrom Metabolik antara lain; kriteria World Health
Organization (WHO), kriteria International Diabetes Federation (IDF), The

Universitas Sumatera Utara

American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute


(AHA/NHLBI), saat ini kriteria NCEP-ATP III telah banyak diterima secara
luas (Mittal, 2008). (Tabel 1)
II.1.2. Epidemiologi
Konsep dari Sindrom Metabolik telah ada sejak 80 tahun yang lalu, pada
tahun 1920, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama yang
menggambarkan

sekumpulan

dari

gangguan

metabolik,

yang

dapat

menyebabkan resiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis yaitu hipertensi,


hiperglikemi dan gout (Eckel, dkk, 2005).
Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan berbagai faktor resiko:
dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi secara bersamaan dikenal sebagai
multiple risk factor untuk penyakit kardiovaskuler dan disebut dengan sindrom
X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal dengan sindrom resistensi insulin. Dan
kemudian NCEP-ATP III menamakan dengan istilah Sindrom Metabolik.
Konsep Sindrom Metabolik ini telah banyak diterima secara Internasional
(Reaven, 1988).
Berdasarkan tinjauan dari beberapa studi, didapatkan angka prevalensi
Sindrom Metabolik pada populasi urban laki-laki yaitu dari 8% (India)
sampai24% (Amerika Serikat), sedang untuk wanita

dari 7% (Perancis)

sampai 46% (India) (Cameron, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik


Unsur Sindrom
Metabolik
Hipertensi

Dislipidemia

NCEP ATP III

WHO

AHA

Dalam
pengobatan
antihipertensi
atau TD 130/85
mmHg

Dalam
pengobatan
antihipertensi atau
TD 140/90
mmHg

Dalam
pengobatan
antihipertensi
atau TD 130/85
mmHg

Dalam pengobatan
antihipertensi atau
TD 130/85 mmHg

Plasma TG 150
mg/dL, HDL-C

Plasma TG 150
mg/dL dan atau
HDL-C

Plasma TG 150
mg/dL, HDL-C

Plasma TG150
mg/dL HDL-C

L < 40 mg/dL

L < 40 mg/dL

P< 50 mg/dL

P< 50 mg/dL atau


dalam pengobatan
dislipidemia

Lingkar pinggang
L >102 cm,
P>88cm

Obesitas sentral
(lingkar perut)

L < 40 mg/dL
P< 50 mg/dL

L < 35 mg/dL
P< 40 mg/dL

Obesitas

Lingkar pinggang
L >102 cm,
P>88cm

IMT > 30 kg/m2


dan atau rasio
perut-pinggul L
>0,90; P>0,85

IDF

Asia:L>90 cm
P>80 cm

Gangguan
metabolisme
Glukosa

GD puasa 110
mg/dL

GD puasa 100
mg/dL

Mikroalbuminuri
20 g/menit
(rasio albumin:
kreatinin 30)

Lain-lain

Kriteria Diagnosa

DM tipe 2 atau
TGT

Minimal 3 kriteria

DM tipe 2 atau
TGT dan 2 kriteria
di atas. Jika
toleransi glukosa
normal, diperlukan
3 kriteria.

Minimal 3 kriteria

(nilai tergantung
etnis)
GD puasa 100
mg/dL atau diagnosis
DM tipe 2

Obesitas sentral + 2
kriteria di atas

Keterangan: TD = Tekanan Darah; L = Laki-laki; P = Perempuan; TG = Trigliserida;


HDL-C = Kolesterol HDL; IMT = Indeks Massa Tubuh; DM = Diabetes
Melitus; TGT = Toleransi Glukosa Terganggu; GD = Gula Darah

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan di Indonesia prevalensi Sindrom Metabolik sekitar 13,13%


(Soegondo, 2004).

II.1.3. Patofisiologi
Insulin merupakan hormon anabolik tubuh yang prinsipil, yang mengatur
perkembangan dan pertumbuhan yang sesuai dan juga sebagai maintenance
dari sistem homeostasis glukosa di seluruh tubuh. Hormon insulin disekresi
oleh sel pulau Langerhan dari organ pankreas. Insulin berperan dalam
menurunkan kadar gula darah melalui beberapa cara; 1). supressi hepatic
glucose output (melalui penurunan gluconeogenesis dan glycogenolysis), 2).
merangsang penyimpanan terutama ke otot dan jaringan lemak melalui
glucose transporter yaitu Glucose Transporter -4 (GLUT-4) (Mittal, 2008).
Reseptor insulin terdistribusi secara luas di sistem sarap pusat, terutama
di daerah hipotalamus dan pituitary. Pada eksperimen hewan percobaan,
gangguan gen reseptor insulin di sistem sarap pusat memperlihatkan suatu
keadaan kebutuhan asupan makanan yang meningkat pada hewan tersebut
sehingga menginduksi keadaan obesitas dan resisten insulin. Aksi Insulin di
sistem sarap pusat memberikan negatif feedback bagi inhibisi postprandial
dari asupan makanan dan berperan sebagai pusat pengaturan berat badan
(Martini, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Insulin juga mempunyai efek antiapoptosis, hal ini didukung oleh studi
eksperimen pada binatang percobaan dimana dengan penambahan insulin
pada cairan reperfusi berhubungan dengan pengurangan ukuran miokard
infark sekitar 50%. Sedangkan studi pada manusia, pemberian infus insulin
dosis rendah dengan heparin dan agen trombolitik menunjukkan efek
kardioprotektif (Dandona, 2005).
Efek anti inflamasi juga terdapat pada insulin hal ini didukung oleh
eksperimen pada binatang percobaan bahwa pemberian insulin menunjukkan
pengurangan mediator-mediator inflamasi (IL-, IL-6, macrophage migration
inhibitor factor [MIF], TNF-), dan expression of proinflammatory transcription
factors CEBP (C enhancer binding protein) dan cytokines. Kemampuan
insulin

dalam efek antioksidan didukung dengan kemampuannya untuk

menekan reactive oxygen species (ROS) (Dandona, 2005).


Patogenesis sindrom metabolik masih tidak jelas, tetapi kelainan
dasarnya adalah resistensi insulin (Poerjoto, 2007). Resistensi insulin
didefinisikan sebagai suatu kondisi dijumpainya produksi insulin yang normal
namun telah terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin,
sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel
Beta. Resistensi insulin ini sering mendahului onset dari diabetes tipe 2 dan
mempunyai kontribusi dalam perkembangan terjadinya keadaan hiperglikemi.

Universitas Sumatera Utara

Dan resistensi insulin dijumpai pada sebagian besar pasien dengan Sindrom
Metabolik (Reaven, 1988).
Resistensi Insulin dan hipertensi sistolik merupakan faktor yang
menentukan terjadinya disfungsi endotel. Resistensi Insulin menyebabkan
menurunnya produksi Nitric Oxide (NO) yang dihasilkan oleh sel-sel endotel,
sedangkan hipertensi menyebabkan disfungsi endotel melalui beberapa cara
seperti; secara kerusakan mekanis, peningkatan sel-sel endotel dalam
bentuk radikal bebas, pengurangan bioavailabilitas NO atau melalui efek
proinflamasi pada sel-sel otot polos vaskuler. Disfungsi endotel ini
berhubungan

dengan

stres

oksidatif

dan

menyebabkan

penyakit

kardiovaskuler (Barnet, 2004). Proses-proses seluler yang penting yang


berkenaan dengan disfungsi endotel ini dapat dilihat pada gambar-1.
Menurut Kuusisto (1993) pada keadaan hiperinsulinemia insulin dapat
ditemukan pada otak, berperan sebagai neuromodulator yang menghambat
aktifitas sinap. Reseptor-reseptor insulin telah ditemukan pada daerah
hipotalamus dan hipokampus. Dipercaya bahwa insulin yang ada berasal dari
plasma dan berakses ke otak pada daerah circumventricular yang
merupakan daerah yang sedikit mengandung sawar darah otak. Insulin juga
bertransportasi melewati sawar darah otak melalui reseptor spesifik dan
masuk ke jaringan syaraf secara langsung atau masuk melalui cairan
serebrospinal.

Universitas Sumatera Utara

Gambar-1. Proses seluler yang berkenaan dengan disfungsi endotel


menyebabkan vascular injury dan aterosklerosis.

Ang-II, angiotensin-II; ET-1, endothelin-1; FFA, free fatty acids; FGF,


fibroblast growth factor; ICAM, intracellular cell adhesion molecule; NO, nitric
oxide; PAI-1, plasminogen activator inhibitor-1; PDGF, platelet-derived growth
factor; RAGEs, receptor for advanced glycation end products (promotes
inflammation and oxidation, particularly in cells involved in atherogenesis);
VCAM-1, vascular cell adhesion molecule-1.
Dikutip dari: Staels B. PPARgamma and atherosclerosis. Curr Med Res Opin
2005;21(suppl 1):S1320.

Universitas Sumatera Utara

Pada beberapa studi ditemukan bahwa dalam keadaan hiperinsulinemia,


insulin dapat mengurangi aktifitas kolinergik yang bersifat reversibel pada
kultur neuron striatum dan dapat mempercepat turnover dari monoamin di
otak.
Sebagaimana diketahui bahwa neuron-neuron kolinergik

banyak yang

rusak pada demensia atau penyakit Alzheimer. Fakta-fakta tersebut


menjelaskan bahwa insulin dapat mengganggu fungsi kognitif melalui
penghambatan aktifitas sinap secara langsung, penurunan aktifitas kolinergik
ataupun melalui keterlibatan metabolisme monoamin di otak (Kuusisto dkk,
1993).
Faktor-faktor resiko untuk gangguan fungsi kognitif seperti demensia
vaskuler adalah umumnya sama dengan faktor resiko untuk stroke yaitu
hipertensi, diabetes, hiperlipidemi, merokok, aritmia jantung. Pengobatan
medis untuk demensia vaskuler ini ditujukan sebagai kontrol terhadap
berbagai keadaan seperti hipertensi, diabetes, hiperlipidemia yang dapat
menyebabkan infark (Kempler, 2005).
Hubungan antara kolesterol dengan fungsi kognitif telah banyak diteliti,
dan hasilnya banyak yang saling bertentangan. Reitz, dkk (2005) melakukan
studi terhadap 1147 lanjut usia yang sehat tanpa demensia ataupun

Universitas Sumatera Utara

gangguan kognitif, didapati hasilnya tidak ada hubungan yang bermakna


antara kolesterol total, HDL dan LDL dengan gangguan fungsi kognitif.
Launer, dkk (2001) menyatakan bahwa hubungan antara kadar lipid di
usia paruh baya terhadap resiko terjadinya gangguan kognitif dibuktikan
dengan autopsi dengan hasilnya bahwa kadar kolesterol total yang rendah di
usia paruh baya dihubungkan dengan jumlah neuritik yang lebih sedikit,
adanya plak amyloid dan neurofibrillary tangels.

II.2. MILD COGNITIVE IMPAIRMENT


II.2.1. Definisi
Mild Cognitive Impairment merupakan suatu keadaan transisi antara
kognisi pada proses penuaan yang normal dengan demensia ringan
(American Psychiatric Association, 1994).
Kusumoputro (2001) menyatakan seorang penyandang Mild Cognitive
Impairment adalah seseorang yang normal dalam kognisi dan inteleknya,
tetapi mengalami kemunduran daya ingat, terutama daya ingat jangka
pendek (recent memory). Mild cognitive Impairment ini merupakan kondisi
peralihan antara fase mudah-lupa (forgetfulness) yang fisiologis dan
kepikunan yang patologis.

Universitas Sumatera Utara

II.2.2. Epidemiologi
Pada penelitian Canadian Study of Health and Aging, didapati angka
prevalensi dari MCI sekitar 17%. Angka prevalensi untuk gangguan memori
yang berhubungan dengan usia didapati berkisar antara 17% sampai 34%
(Graham dkk, 1997).
Seseorang dengan MCI mempunyai resiko untuk menjadi AD dengan
kecepatan setiap tahunnya 10-12%, dan semakin cepat progresifitasnya bila
MCI ini disertai dengan kelainan pada APOE4 dan hasil MRI hipokampus
(Sjahrir, 1999).
Pada tahun 2000 diperkirakan lebih kurang 4,5 juta individu dengan
penyakit Alzheimers di Amerika Serikat, dan angka ini akan meningkat
sampai 14 juta di tahun 2050 hal ini berkenaan dengan meningkatnya
populasi manusia lanjut usia (Fink, 2004).
Fink, (2004) menyatakan bahwa lebih kurang 12-15% individu dengan
MCI akan berkembang menjadi AD atau demensia lainnya pertahun
dibanding dengan populasi tua normal yang hanya sekitar 1-2% saja.
Pengobatan

dini

pada

MCI

dapat

mencegah

atau

memperlambat

progresifitas menjadi AD.

Universitas Sumatera Utara

II.2.3. Patogenese
Jack, dkk (1999) melakukan studi Cross-sectional dan longitudinal dengan
memakai modalitas CT Scan, MRI dan PET terhadap 80 penderita MCI
selama 36 bulan didapati 27 orang berkembang menjadi demensia, dan juga
didapati gambaran atrofi pada daerah hipokampus pada amnestic MCI
dibanding kontrol. Atrofi daerah hipokampus tersebut dapat sebagai prediktor
kejadian konversi dari MCI ke AD, dan juga mempunyai korelasi dengan bukti
autopsi didapati atrofi dan neuronal loss.
Price, dkk (1999) melakukan studi longitudinal dengan mengamati seri
patologi terhadap 62 pasien (39 tanpa demensia, 15 dengan nilai CDR 0,5
dan 8 dengan AD), didapati hasil dari semua 15 pasien dengan nilai CDR 0,5
memperlihatkan gambaran neuropatologi sebagai AD. Hasil ini membuktikan
bahwa plak senile dapat terlihat pada subjek yang tidak terdeteksi adanya
penurunan kognitif dan ini menegaskan bahwa kemungkinan gambaran
neuropatologi pada AD sudah ada pada keadaan MCI.
Menurut Attix (2006) bahwa penderita MCI sudah mengalami atrofi
hipokampus derajat sedang dibanding kontrol dan penderita AD. Penderita
MCI ini juga telah mengalami perubahan pada daerah metabolik serebralnya
serta terjadi peningkatan frekuensi Apolipoprotein Alel E4 yang hampir sama
dengan penderita AD.

Universitas Sumatera Utara

Pada suatu studi longitudinal oleh Sunderland, dkk tahun 1999


menunjukkan bahwa hampir semua subjek dengan MCI yang telah
berkonversi menjadi AD mempunyai nilai tau yang tinggi di dalam cairan
serebrospinalnya, sementara yang tidak berkonversi (nonprogressive MCI)
level dari tau nya masih rendah (Petersen 2001).

II.2.4. Diagnosis
Pada umumnya, diagnosis Mild cognitive Impairment dibuat apabila pada
seseorang ditemukan beberapa kriteria: ada gangguan memori, fungsi
memori abnormal untuk usia dan pendidikan, aktivitas sehari-hari normal,
fungsi kognisi umum normal dan tidak dijumpai demensia (Kusumoputro,
2001; Fink, 2004).
Menurut Petersen (2004) pada MCI terdapat gangguan fungsi kognitif
sebesar 0.5 -1 SD dibandingkan orang normal setelah dilakukan matching
terhadap faktor usia dan pendidikan. Diagnosis MCI dapat dibagi atas 4
subtipe klinis;

Universitas Sumatera Utara

Diagnosis MCI dapat dibagi atas 4 subtipe klinis;


1. Amnestic MCI - single domain: terdapat gangguan memori dengan tidak
adanya gangguan dari area fungsi kognitif yang lain seperti atensi,
orientasi, bahasa dan visuospatial.
2. Amnestic MCI - multiple domain: terdapat gangguan memori ditambah satu
atau lebih gangguan dari area fungsi kognitif yang lainnya.
3. Non Amnestic MCI - single domain: terdapat gangguan pada satu area
fungsi kognitif tanpa adanya gangguan dari area fungsi memori.
4. Non Amnestic MCI - multiple domain:

terdapat gangguan pada dua atau

lebih area fungsi kognitif tanpa adanya gangguan dari area fungsi memori.
Ke empat subtipe klinis tersebut berbeda dalam hal etiologi dan outcome
nya. Amnestic MCI (single domain lebih baik dari yang multiple domain)
mempunyai kemungkinan yang lebih besar mengalami progresifitas menjadi
penyakit demensia Alzheimer. Sedangkan subtipe non-Amnestic mempunyai
kemungkinan mengalami progresifitas menjadi penyakit demensia nonAlzheimer (Petersen, 2004).
Untuk evaluasi diagnosis dari MCI diperlukan wawancara klinis terhadap
pasien dan informan yang dapat dipercaya seperti pengasuh, pasangan
hidup ataupun rekan kerja. Selain itu dilakukan pemeriksaan neurologi,

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan

status

mental,

test

neuropsikologi,

tes

laboratorium,

pemeriksaan imaging dan penilaian kondisi komorbid psikiatri seperti depresi


(Fink, 2004).
Komplain dari gangguan memori mungkin dilaporkan sendiri oleh si
pasien atau dapat juga dari orang sekitarnya yang disebut sebagai informan.
Bila sudah ada komplain dari gangguan memori maka haruslah dilakukan
pemeriksaan

seperti

pemeriksaan

status

mental

atau

pemeriksaan

neuropsikologi (Fink, 2004).


Oleh karena MCI ataupun demensia merupakan bagian dari penyakit
neurologi, maka diharuskan pemeriksaan neurologi pada penderitanya
termasuk saraf-saraf kranial, refleks-refleks, sistem motorik, koordinasi dan
pemeriksaan sensorik (Fink, 2004).
Berbagai macam instrumen screening fungsi kognitif dilakukan untuk
untuk menilai individu dengan sangkaan mengalami gangguan fungsi kognitif,
seperti Mini-Mental Status Examination, Mayo Short Test of Mental Status,
Clock Drawing Test, Clinical Dementia Rating dan tes lainnya (Fink, 2004).
Mini-Mental Status Examination (MMSE) merupakan salah satu dari
sekian

banyak tes yang sering digunakan secara luas untuk mendeteksi

gangguan kognitif. Sensitifitas untuk mendeteksi MCI semakin bagus jika nilai
cut-off untuk demensia yang digunakan lebih tinggi yaitu 26-28 dan jika

Universitas Sumatera Utara

dilakukan adjustment terhadap usia dan pendidikan. Individu dengan skor


26-28 harus di screen lebih lanjut untuk MCI dengan menggunakan
pemeriksaan seperti Clinical Dementia Rating ataupun Mayo Short Test of
Mental Status (Fink, 2004).
Clinical Dementia Rating digunakan untuk menilai 6 domain yang
berhubungan dengan kognitif dan fungsional performa seperti memori,
orientasi,

judgement

dan

pemecahan

masalah,

kegiatan

komunitas,

pekerjaan rumah dan hobi serta perawatan diri. Clinical Dementia Rating
menggunakan 5 skala keparahan yaitu 0=normal, 0,5=MCI/questionable
dementia, 1=mild dementia, 2=moderate dementia, 3=severe dementia (Fink,
2004).

Universitas Sumatera Utara

II.3. KERANGKA KONSEPSIONAL

Resistensi Insulin
Gregg,
dkk
(2000)
diabetes
mempunyai
hubungan
yang
signifikan dengan fungsi kognitif pada
level yang rendah

Reaven, 1988: Resistensi insulin


mendahului onset Diabetes tipe 2
keadaan hiperglikemi.

Hiperinsulinemi

Yaffe dkk, 2002 : kadar yang


tinggi dari LDL dan kolesterol
total berhubungan dengan
gangguan kognitif.

Kuusisto dkk,1993: insulin mengganggu fungsi


kognitif menghambat aktifitas sinap, penurunan
aktifitas kolinergik dan keterlibatan metabolisme
monoamin di otak

Hipertensi

Yaffe, 2004: hipertensi dan diabetes


telah berperan dalam hal patogenesa
dari penyakit Alzheimer terutama
dalam
perkembangan demensia
vaskuler

Sindrom Metabolik

Dislipidemi

MCI

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai