Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

K O M A

PEMBIMBING
dr. Dyah Nuraini, Sp.S

PENYUSUN
Fitri Nur Laeli
030.09.093

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 30 SEPTEMBER 2013 2 NOVEMBER 2013

LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa

: Fitri Nur Laeli

NIM

: 030.09.093

Bagian

: Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Periode Kepaniteraan

: 15 juli 21 september 2013

Judul Referat

: Luka Bakar

Pembimbing

: dr Ahmad Fanani, Sp B

Jakarta, September 2013


Pembimbing,

dr Ahmad Fanani, Sp B

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
izin-Nya penyusun dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. referat ini
disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik di RSUD Semarang.
Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Dyah Nuraini, Sp.S yang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan referat ini,
serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan
klinik Ilmu Bedah di RSUD Semarang. Dan juga ucapan terima kasih kepada temanteman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penyusun.
Dengan penuh kesadaran dari penyusun, meskipun telah berupaya semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan referat ini, namun masih terdapat kelemahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun
harapkan. Akhir kata, penyusun mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan
memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, Oktober 2013

Fitri Nur Laeli

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Kulit ..
5
2. Fisiologi Kulit ..
10
3. Definisi Luka Bakar .
12
4. Etiologi .
12
5. Tanda dan Gejala berdasarkan Klasifikasi Luka Bakar
14
6. Patofisiologi ..
15
7. Luas Luka Bakar ...
20
8. Derajat
Luka
Bakar
22
9. Diagnosa
24
10. Tatalaksana
26
11. Komplikasi
33

12. Prognosis ...


36
BAB III KESIMPULAN
37
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ..
38

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam keadaan normal, rangsangan kesadaran menerima masukan visual dari mata, suara
dari telinga, sentuhan dari kulit dan masukan dari setiap organ sensorik lainnya untuk melengkapi
tingkat kesiagaan yang tepat. Jika sistem rangsangan atau hubungannya dengan bagian otak yang
lain tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka sensasi tidak lagi mempengaruhi tingkat
rangsangan dan kesiagaan otak secara tepat. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul gangguan
kesadaran.

Gangguan kesadaran ini bisa berlangsung singkat atau lama dan bisa bersifat ringan atau
sama sekali tidak memberikan respon.
Istilah-istilah yang masih tetap dipakai di klinik ialah komposmentis, somnolen, stupor atau
spoor, dan koma. Terminology ini bersifat kualitatif. Tetapi penurunan kesadaran ini juga dapat
dinilai secara kuantitatif untuk anak dengan menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).
Komposmentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indera
(aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar
maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada.
Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti mengantuk, mata tampak
cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab
pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitar menurun.
Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup, dengan rangsang nyeri
atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa gerakan
mengelak tehadap rangsang nyeri.
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun tidak
ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.

BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang
menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common pathway

dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada
gagal otak dengan akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran menjadi
pertanda disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi
tubuh2. Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan
di klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma.
Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula
dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow3.
Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif3
a. Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera
(aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari
luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan
waspada.
b. Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness, berarti mengantuk,
mata tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah,
masih dapat menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan
orientasi terhadap sekitarnya menurun.
c. Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan
rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata.
Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.
d. Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri
secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan
primitif.
e. Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang
apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara,
maupun reaksi motorik.
Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif2
Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), Pemeriksaan
Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai
tertinggi 15.

Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:


E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 membuka mata dengan rangsang nyeri
E3 membuka mata dengan rangsang suara
E4 membuka mata spontan
Motorik:
M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M6 reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:
V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)
Menentukan penurunan kesadaran pada Anak
Pada Pediatric Coma Scale, dinilai kemampuan pasien untuk memperlihatkan tiga
tes fungsi saraf, yaitu : Respons membuka mata, Respons motorik dan Respons verbal.
Pada infant face scale diperiksa respons buka mata, respon motorik dan respons muka.
Tingkat kesadaran didapat dari hasil penjumlahan ketiga basil tes tersebut (Tabel 1).
Kecuali pada keadaan mata tertutup karena bengkak, endotracheal/tracheostomi. Pada
respons motorik yang, dipakai lengan yang baik/tidak parese. Kesadaran terbaik 15 SKG
dan terburuk 3 SKG. Koma disetarafkan dengan 8 SKG. Obtundation (somnolen) 13
SKG.
/

2. ETIOLOGI

1. /Menurut kausa
2. Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi
a. Gangguan kesadaran pada lesi supratentorial
b. Gangguan kesadaran pada lesi infratentorial
c. Gangguan difus (gangguan metabolik)
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan-kemungkinan penyebab
koma, model berikut ini dapat dipergunakan di klinik : SEMENITE.
S : Sirkulasi (stroke, penyakit jantung)
E : Ensefalitis (dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik atau sepsis
yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan)
M : Metabolik (hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, dan koma hepatikum)
E : Elektrolit (diare dan muntah)
N : Neoplasma (tumor otak baik primer ataupun metastasis)
I

: Intoksikasi (berbagai macam obat atau bahan kimia)

T :Trauma (terutama trauma kapitis : kontusio, komosio, perdarahan epidural,


perdarahan subdural, dan dapat pula trauma andomen dan dada)
E : Epilepsi (pasca serangan grand mal atau pada status epileptikus)
3. PATOFISIOLOGI
Gangguan kesadaran dapat dibagi dua :
1.Gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran.
2.Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran.

Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk
ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating
system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS
menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic
relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai
suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Maka apapun
yang dapat mengganggu interaksi ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan
metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.
Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di
bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma :
/1. Lesi supratentorial,
2. Lesi subtentorial,
3. Proses metabolik.

Koma supratentorial
1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang batang otak
tetap normal. Ini disebabkan proses metabolik.
2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat
di dalam cranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor
otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di
sekitarnya; terjadilah :
1. Hemiasi girus singuli,
2. Hemiasi transtentorial sentral,
3. Herniasi unkus.
1.Herniasi girus singuli
Hemiasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan
tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.

2.Herniasi transtentorial/sentral
Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak ruang
rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka
menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah
tentorium.
3)Herniasi unkus atau tentorial herniation
Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media atau lobus
temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis
tengah dan ke atas tepi bebas tentorium; akhirnya menekan n.Ifi.di mesensefalon
ipsilateral, kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon.
/

Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta merusak
pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan
nekrosis. Misalnya pads stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.

2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.


a. Langsung menekan pons.
b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melaluicelah tentorium dan
menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnumdan menekan
medula oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan
serebelum dan sebagainya.
Koma metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma
disebabkan kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.
1) Ensefalopati metabolik primer.
Penyakitdegenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel
saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2) Ensefalopati metabolik sekunder.
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang
mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun
keracunan.
Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistim motorik simetris dan
tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau atropin),
juga utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).

4. PEMERIKSAAN PASIEN KOMA


Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses patologi, apakah
di hemisfer, batang otak atau dikeduanya, dan penyebabnya.
Anamnesis sangat penting tapi jarang bisa didapat.

Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan penyakit


melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir kontak dengan
pasien dengan menanyakan :
1.

Kejadian terakhir

2.

Trauma

3.

Riwayat medis pasien

4.

Riwayat psikiatrik

5.

Obat-obatatan

6.

Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol

Pemeriksaan fisik
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan
melalui pemeriksaan fisik :
a. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial
dengan peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.
b. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness
( keracunan CO), atau kuning
c. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
d. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi
e. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya
duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan
serangan

f. kejang.
g. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) :
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
h. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi
dari penyebab koma.
Pemeriksaan saraf
1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang
tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.
2. Derajat kesadaran ditentukan dengan SKG.
3. Pola pemafasan.
a. Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pada gangguan
metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat di otak dan tidak

b.
c.
d.
e.

dapat menunjukkan tingkat anatomi lesi yang menyebabkan koma.


/
Ataxia dan gasping paling sering dilihat pada lesi pontomeduler.
Apneustic breathing : kerusakan pons
Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
/Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat disebabkan
oleh lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-obatan.
/

4. Posisi kepala dan mata. Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke
arah lesi dan menjauh dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya. Pada Iesi di
talamus dan mesensefalon bagian atas, kedua mata melirik ke arah hidung.
5. Funduskopi.

Papil

edema

subhyaloid,

menandakan peninggian
biasanya

menandakan

tekanan

rupture

intrakranial.

aneurisma

atau

Perdarahan
malformasi

arteriovena.
6. Pupil.
Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.
a) Midposition (3--5 mm) dan refleks cahaya negatif -- kerusakan mesensefalon
(pusat refleks pupil di mesensefalon).
b) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada -koma metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.
c) Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan penekanan
n.I1I oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi dan
refleks cahaya negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan
glutethimide.
d) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons seperti
infark atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan pinpoint
pupil dan refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri pads kuduk
pupil berdilatasi, berarti bagian bawah batang otak masih utuh.
/
7. Gerakan bola mata.
Khas untuk lesi batang otak.
a. Gerakan bola mata spontan.
1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari
2.
3.
4.
5.

satu sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.
Retractory nystagmus-- ciri kerusakan tegmentum mesensefalon.
Convergence nystagmus -- ciri kerusakan mesensefalon.
Ocular bobbing -- ciri kerusakan caudal pontin.
Nystagmoid jerking of a single eye -- ciri kerusakan midpontine-lower

pontine.
6. Seesaw nystagmus-- ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di batang
otak. Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi structural penyebab
koma.
b. Gerakan bola mata refleks.

Tes-tes yang lazim dilakukan :


1. Dolls head maneuver (refleks okulosefalik).
Bila refleks ini tidak normal, berarti ada lesi struktural ditingkat
mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik atau barbiturate dapat
menghalangi refleks ini.
/
2. Tes kalori (refleks okulovestibular).
Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air dingin,
berarti batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak bergerak/tidak
simetris berarti kerusakan struktural mesensefalon-pons. Obat-obat
ototoksik dapat menghalangi refleks ini.
/
c. Gerakan bola mata saat istirahat.
i. Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi
hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis
ii. Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :
1. lesi di pons kontralateral hemiparesis
2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis
3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis
iii. Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari
midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus
refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud
iv. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae
tidak menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan
disfungsi hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik

v. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola


mata ke arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat
menunjukkan kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada
pons.
vi. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan
menunjukkan suatu psikogenik unresponsive.
8. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal tube.
9. Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5( aferen) dan
CN 7 (eferen)
10. Respons motoris.
a) Spontan.
1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi
struktural. Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang
multifokal berarti koma disebabkan proses metabolik.
2. Myoclonic jerk dan asterixis (flapping tremor) berartiensefalopati
metabolik.
b) Gerakan-gerakan refleks.
Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita).
1. Gerakan dekortikasi -- fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi tungkai.
Bisa simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus atau persis di
batas dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons motorik SKG).
2. Gerakan deserebrasi -- ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan dan
ekstensi tungkai. (nilai 2 pada respons motorik SKG).
11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu lateralisasi
defisit sensoris.
12. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit
motoris yang disebabkan lesi struktural

b. Refleks plantar : respon bilateral Babinskis menunjukkan coma akibat


struktural atau metabolik.

Pemeriksaan Laboratorium
Digunakan untuk mengidentifikasi penyebab ketidaksadaran yang
mencakup tes glukosa darah, elektrolit, amonia serum, nitrogen urea
darah (BUN), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton
serum, alkohol, obat-obatan dan analisa gas darah arteri.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan
koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera
dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain :
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita
curigai terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone
window pada kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis
tidak dapat ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status
kejang, keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak
ditegakkan melalui pemeriksaan CT dan LP.
6. KEADAAN-KEADAAN PSEUDOCOMA
1. Psychogenic unresponsiveness.
Pasien kelihatannya tidak ada reaksi, tapi pads pemeriksaan saraf tidak dijumpai
kelainan.

2. The locked-in syndrome.


Lesi di basis pons akibat infark batang otak yang memutus jaras kortikobulbar dan
kortikospinal, tapi jaras yang mengatur kedip mata dan gerakan bola mata vertikal,
juga ARAS tetap utuh. Pasien sanggup berkomunikasi dengan kedipan mata(awake
dan alert).
3. Persistent vegetative state.
Koma akibat hipoksifiskemi/lesi struktural, setelah 24 minggu kembali wakeful
tapi tidak aware. Membuka mata spontan. EEG kembali normal, batang otak dan
otonom berfungsi normal. Keadaan ini dapat menetap bertahun-tahun.
/

Ciri-ciri diagnostik

Koma metabolik :
- Refleks pupil dan gerakan bola mata baik.
- Pernafasan depressed atau Cheyne-Stokes.
- Anggota gerak hipotonus/refleks simetris.

Hemiasi :
- Hemiparesis dan papil edema.
- Bertahap hilangnya fungsi n.I1I atau ada ciri-ciri kerusakan batang otak.

Lesi (lokal) batang otak :


- Gangguan pergerakan bola mata dan tetraplegia sejak permulaan.

Keadaan pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik telah
kita lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari koma tersebut.
Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan thalamus

7. TATA LAKSANA
Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat,
pengobatan dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan meliputi dua
komponen utama yaitu umum dan khusus.
II.6.1 Umum
Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit
ekstensi bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan

intrakranial yang meningkat.


Posisi trendelenburg baik

sekali

untuk

mengeluarkan

cairan

trakeobronkhial, pastikan jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika ada,

lakukan suction di daerah nasofaring jika diduga ada cairan.


Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai

dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.


Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan

elektrokardiogram (EKG).
Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah
aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi. Berikan
tiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya
overdosis opium/ morfin, berikan nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10

menit sampai kesadaran pulih (maksimal 2 mg).


II.6.2 Khusus
- Pada herniasi
Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO 2: 25- 30
mmHg.

Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv. Selama
10-20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6

jam.
Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason

10 mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.


Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti

epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi.


- Pengobatan khusus tanpa herniasi
Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti.
Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan
pemeriksaan pungsi lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi berikan
antibiotik yang sesuai. Jika LP positif adanya perdarahan terapi sesuai
dengan pengobatan perdarahan subarakhnoid.
PENGELOLAAN PASIEN KOMA
1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying
lesions / SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya :
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor
atau abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan
acyclovir 10 mg/kg iv tiap 8 jam

4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan


ceftriaxon 2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur
Terapi Umum
1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri atau
peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube,
hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan
gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit
5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan
plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium 100
mg 3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari stress
ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam
8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,
penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

Hal yang perlu Dipikirkan

Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada
beberapa pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu :
1. Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut ?
2. Apakah jalan napas baik ?
Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang
disebabkan karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi
karena hilangnya kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT)
dengan intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas
baik dan oksigenasi yang adekuat.
Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan
respirasi lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk melakukan intubasi.
Pada pasien stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 %
oksigen dengan face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.
3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ?
Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang dan
dahulu baik medis maupun neurologis.
4. Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien sebelumnya ?
Orang tua, kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir
kali kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk
menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan
terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain :

1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi


bila telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS)
ataupun Advance Cardiac Life Support (ACLS).
2. Pasang jalur intrravena (iv line)
3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini harus
dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang dapat
ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat disertai
keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma)
4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :

Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum,


kreatinin)

Hitung darah lengkap

Analisa gas darah

Kalsium dan magnesium

Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)


5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi,
tes fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia.
6. Lakukan pemasangan folley catheter
7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen
thoraks.
8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan dilapangan atau bila
etiologi dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :
Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat mengembalikan
pasien dari koma yang disebakan karena defisiensi thiamin akut
(Wernicke ensefalopati). Harus diberikan sebelum pemberian dekstrose
karena hiperglikemi dapat menyebabkan konsumsi thiamin yang
berlebihan dan memperburuk keadaan pasien.

50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv
Naloxone (Narcan) 0.4 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang disebabkan
intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10 mg.
Flumazenil (Romazicon) 0.2 1.0 mg iv, diberikan pada pasien yang
koma dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis dapat diberikan
hingga 3 mg dan jangan diberikan bila telah terjadi kejang pada pasien,
karena flumazenil ini dapat menimbulkan kejang.
Perawatan lanjutan (nursing care) :
1.
2.
3.
4.

Mempertahankan fungsi sistim kardiovaskular adekuat.


Mempertahankan fungsi sistim pernafasan adekuat.
Posisi dan kulit, ubah posisi tiap 1-2 jam.
Makanan dimulai dengan makanan IV, kemudian bila situasi telah stabil atau

koma 2-3 hari, baru dimulai tube feeding.


5. Perawatan bowel, mencegah diare; sering memeriksa rektum.
6. Perawatan kandung kemih, three-way catheter dipasang menetap, suing
diirigasi, clamp buka tiap 3-4 jam.

Penanggulangan edema serebri dan peninggian tekanan intrakranial


Sejumlah proses (trauma, perdarahan, infark, tumor dan sebagainya) akan
mengakibatkan edema serebri yang meninggikan tekanan intrakranial dan menyebabkan
herniasi jaringan otak. Dalam banyak hal, bertambah buruknya keadaan disebabkan
edema serebri dan edema ini kemungkinan besar adalah reversibel.
Pengobatan edema serebri merupakan tindakan penyelamatan hidup, sampai
dicapainya pengobatan yang mengoreksi proses patologi spesifik.
1. Hindari cairan hipotonik.
2. Hiperventilasi.
3. Mannitol 20% dosis 1.0 gr/kg IV dihabiskan dalam waktu 10-30 menit.
Diulang 12 jam kemudian. Pemberian lebih dua kali kurang efektif. Efek
antiedema serebrinya segera dan berakhir setelah beberapa jam.

4. Steroid, dexamethason dosis 10-100 mg IV dan kemudian 4 mg IV tiap 6


jam. Efek antiedema serebrinya dimulai dalam 4-6 jam dan maksimal pada
24 jam.

8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien tidak sadar meliputi gangguan
pernapasan, pneumonia, dekubitus dan aspirasi. Gagal pernafasan dapat terjadi dengan
cepat setelah pasien tidak sadar. Penumonia umumnya terlihat pada pasien yang
menggunakan ventilator atau mereka yang tidak dapat untuk mempertahankan bersihan
jalan napas. Dekubitus, pasien tidak sadar tidak mampu untuk bergerak atau
membalikkan tubuh, hal ini menyebabkan dalam tetap pada posisi yang terbatas.
Keadaan ini akan mengalami infeksi dan merupakan sumber sepsis. Aspirasi isi lambung
atau makanan dapat terjadi, yang mencetuskan terjadinya pneumonia atau sumbatan
jalan nafas.
9. PROGNOSIS
Dampak koma adalah dibutuhkannya perawatan jangka panjang. Vegetative state
persisten memiliki prognosis yang buruk, prognosis lebih baik dapat terjadi pada
kelompok anak-anak dan remaja. Koma metabolik memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan koma traumatik. Segala pendapat mengenai prognosis pada orang
dewasa, sebaiknya hanya berupa perkiraan, dana keputusana medis seharusnya
disesuaikan dengan faktor-faktor seperti usia, penyakit sistemik yang ada, dan kondisi
medik secara keseluruhan. Informasi prognosis dari banyak pasien dengan luka di
kepala, dapat dilakukan dengan GCS. Secara empiris, pengukuran ini dapat
memprediksi trauma otak. Hilangnya gelombang kortikol pada potensi terjadi somata
sensori merpakana infikator prognosis koma yang buruk.

BAB III
KESIMPULAN
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang
menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common pathway
dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada
gagal otak dengan akibat kematian. Penurunan kesadaran dapat ditentukan secara
kualitatif dan kuantitatif. Penurunan kesadaran disebabkan oleh kelainan metabolik dan
struktural yang mempengaruhi korteks dan ARAS. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik neurologis dan pemeriksaan
penunjang. Adapun tatalaksana pada pasien dengan penurunan kesadaran terdiri atas
tatalaksana umum dan khusus.

Anda mungkin juga menyukai